Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati tempat
yang penting sekali, baik sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat dan bangsa. Sebab jatuh bangunnya, jaya hancurnya, sejahtera
rusaknya suatu bangsa dan masyarakat, tergantung kepada bagaimana
akhlaknya. Apabila akhlaknya baik (berakhlak), akan sejahteralah lahir
batinnya, akan tetapi apabila akhlaknya buruk (tidak berakhlak), rusaklah
lahirnya dan batinnya. Demikan pula pada tingkat perguruan tinggi. Sudah
semestinya pendidikan akhlak diintegrasikan dalam berbagai mata kuliah
lain yang sesuai. Bahkan dalam sistem penilaian, semestinya ada porsi
tersendiri untuk akhlak ini (tidak hanya quiz, tugas, midterm dan final).
Pertanyaan yang muncul mungkin terkait dengan apakah akhlak tersebut
bisa diukur atau tidak dan bagaimana cara mengukurnya. Kalau yang
ditanyakan adalah pengukuran secara komprehensif, saya pikir memang
akan sangat sulit. Tapi bila yang diukur adalah terkait dengan akhlak
peserta didik selama di dalam kelas (seperti akhlak terhadap dosen, akhlak
terhadap sesama teman, kejujuran dalam mengerjakan tugas kuliah dan
saat mengikuti ujian) tentu bukan tidak mungkin dilakukan.
Seseorang yang berakhlak mulia, selalu melaksanakan kewajiban-
kewajibannya, memberikan hak yang harus diberikan kepada yang berhak,
dia melakukan kewajibannya terhadap dirinya sendiri, yang menjadi hak
dirinya, terhadap Tuhannya, yang menjadi hak Tuhannya, terhadap
makhluk yang lain, terhadap sesama manusia, yang menjadi hak manusia
lainnya, terhadap makhluk hidup lainnya, yang menjadi haknya, terhadap
alam dan lingkungannya dan terhadap segala yang ada secara harmonis,
dia akan menempati martabat yang mulia dalam pandangan umum. Dia
mengisi dirinya dengan sifat-sifat terpuji, dan menjauhkan dirinya dari

1
sifat-sifat yang tercela, dia menempati kedudukan yang mulia secara
obyektif, walaupun secara materiil keadaannya sangat sederhana.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi pendidikan akhlak
2. Apa saja metode-metode dalam pendidikan akhlak
3. Apa saja tujuan pendidikan akhlak
4. Apa saja faktor pembentukan akhlak
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi pendidikan akhlak
2. Mengetahui apa saja metode dalam pendidikan akhlak
3. Mengetahui tujuan pendidikan akhlak
4. Mengetahui faktor pembentukan akhlak

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN
pendidikan akhlak adalah pendidikan mengenai dasar-dasar akhlak dan
keutamaan perangai, tabiat yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh
anak sejak masa analisa sampai ia menjadi seorang mukallaf, seseorang yang
telah siap mengarungi lautan kehidupan. Ia tumbuh dan berkembang dengan
berpijak pada landasan iman kepada Allah dan terdidik untuk selalu kuat, ingat
bersandar, meminta pertolongan dan berserah diri kepada-Nya, maka ia akan
memiliki potensi dan respon yang instingtif di dalam menerima setiap
keutamaan dan kemuliaan. Di samping terbiasa melakukan akhlak mulia. 1
Pembentukan akhlak dapat diartikan sebagai usaha sungguh-sungguh
dalam rangka membentuk kepribadian manusia dengan menggunakan sarana
pendidikan dan pembinaan yang terprogram dengan baik serta dilaksanakan
dengan sungguh-sungguh serta konsisten.

B. METODE PEMBENTUKAN AKHLAK


Dalam buku Daur al-Bait fi Tarbiyah ath-Thifl al-Muslim, karangan Khatib
Ahmad Santhut yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, membagi
metode pendidikan moral/akhlak ke dalam 5 bagian, di antaranya adalah : 2

1
Raharjo, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan
Kontemporer, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 63.
2
Khatib Ahmad Santhut, Daur al-Bait fi Tarbiyah ath-Thifl al-
Muslim, terj. Ibnu Burdah, “Menumbuhkan Sikap Sosial, Moral dan
Spiritual Anak dalam Keluarga Muslim, (Yogyakarta : Mitra Pustaka,
1998), hlm. 85-95.

3
1. Keteladanan: Metode ini merupakan metode terbaik dalam pendidikan
akhlak. Keteladanan selalu menuntut sikap yang konsisten serta kontinyu,
baik dalam perbuatan maupun budi pekerti yang luhur.
2. Dengan memberikan tuntunan: Yang dimaksud di sini adalah dengan
memberikan hukuman atas perbuatan anak atau perbuatan orang lain yang
berlangsung di hadapannya, baik itu perbuatan terpuji atau tidak terpuji
menurut pandangan al-Qur’an dan Sunnah.
3. Dengan kisah-kisah sejarah: Islam memperhatikan kecenderungan alami
manusia untuk mendengarkan kisah-kisah sejarah. Di antaranya adalah
kisah-kisah para Nabi, kisah orang yang durhaka terhadap risalah kenabian
serta balasan yang ditimpakan kepada mereka. al-Qur’an telah
menggunakan kisah untuk segala aspek pendidikan termasuk juga
pendidikan akhlak.
4. Memberikan dorongan dan menanamkan rasa takut (pada
Allah): Tuntunan yang disertai motivasi dan menakut-nakuti yang
disandarkan pada keteladanan yang baik mendorong anak untuk menyerap
perbuatan-perbuatan terpuji, bahkan akan menjadi perwatakannya.
5. Memupuk hati nurani: Pendidikan akhlak tidak dapat mencapai
sasarannya tanpa disertai pemupukan hati nurani yang merupakan
kekuatan dari dalam manusia, yang dapat menilai baik buruk suatu
perbuatan. Bila hati nurani merasakan senang terhadap perbuatan tersebut,
dia akan merespon dengan baik, bila hati nurani merasakan sakit dan
menyesal terhadap suatu perbuatan, ia pun akan merespon dengan buruk.

Menurut Ahmad D. Marimba, ada 3 metode dalam pendidikan akhlak, yaitu : 3

1. Dengan pembiasaan; Tujuannya adalah agar cara-cara yang dilakukan


dengan tepat, terutama membentuk aspek kejasmanian dari kepribadian
atau memberi kecakapan berbuat dan mengucapkan sesuatu.

3
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung :
Al-Ma’arif, 1989), hlm. 76-81.

4
2. Dengan pembentukan pengertian, minat dan sikap; Dengan diberikan
pengetahuan dan pengertian
3. Pembentukan kerohanian yang luhur

C. DASAR-DASAR PEMBENTUKAN AKHLAK


1. Al-Quran
Al-Qur’an sebagai dasar akhlak menjelaskan tentang kebaikan
Rasulullah SAW sebagai teladan bagi seluruh umat manusia.

2. Hadits
Dalam ayat Al-Quran telah diberikan penegasan bahwa Rasulullah
merupakan contoh yang layak ditiru dalam segala sisi kehidupannya.

D. PEMBENTUKAN AKHLAK
Membahas tentang pembentukan dan pembinaan akhlak ini, ada dua aliran
yang menyatakan, sebagai berikut :
1. Akhlak tidak perlu dibentuk
Dengan alasan, karena akhlak adalah instict yang dibawa manusia
sejak terlahir.4 Aliran ini berpendapat, bahwa akhlak adalah pembawaan
dari manusia sendiri, yaitu kecenderungan kepada kebaikan yang ada
dalam diri manusia dan dapat juga berupa kata hati atau intuisi yang selalu
cenderung kepada kebaikan dan kebenaran. Pandangan seperti ini, maka
akhlak akan tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, meskipun tanpa
dibentuk oleh siapapun. Sebab, akhlak sudah dimilikinya sejak terlahir
yang didasarkan fitrah yang melekat pada dirinya. Dengan modal fitrah
yang dibawanya itulah, manusia akan cenderung pada kebaikan dan
cenderung pula kepada keburukan, lagi pula banyak manusia yang dididik
akhlaknya

4
Manshur Ali Rajab, “Ta’ammulat fi Falsafah al-Akhlak”, (mesir : Maktabah al-Anjlu al-Mishriyah,
1970), hlm. 92.

5
2. Akhlak perlu dibentuk
Alasannya adalah bahwa misi Nabi dan Rasul membentuk akhlak
manusia, mulai dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad, misi mereka
adalah membina dan membentuk akhlak umat manusia. Perilaku Nabi dan
Rasul, manusia diperintahkan untuk dijadikan sebagai model (al-qudwah)
dalam semua aspek kehidupan, sebagaimana yang disampaikan Al-Quran
(QS. 33:21). Bahwa, orang-orang yang menjadikan Rasulullah sebagai
uswah hasanah itu adalah orang-orang yang selalu berharap rahmat Allah,
dan selalu berharap pada hari pembalasan serta mereka banyak mengingat
Allah. pentingnya Nabi dan Rasul untuk mendidik manusia kepada akhlak
yang baik disebabkan manusia tidak akan mengetahui secara keseluruhan
mana yang baik dan mana yang buruk. Jika Tuhan tidak mengutus
Rasulnya, tentulah umat manusia tidak akan mengetahui mana yang baik
dan mana yang buruk. Karena, persoalan mana yang baik dan mana yang
buruk ditentukan wahyu yang disampaikan kepada Rasul. Hampir semua
tokoh akhlak, seperti Ibnu Miskawaih, Ibnu Sina dan teramsuk Al-
Qhazali,5 berpendapat bahwa akhlak adalah hasil dari pendidikan, latihan,
pembinaan, dan perjuangan keras dan sungguh-sungguh. Secara faktual,
usaha pembinaan akhlak melalui berbagai lembaga pendidikan baik
lembaga formal, informal, dan nonformal dan melalui berbagai macam
cara terus dilakukan dan dikembangkan. Hal ini menunjukan bahwa
akhlak perlu dibentuk, dibina, dididik, dan dibiasakan. Dari hasil
pendidikan, pembinaan, dan pembiasaan itu, ternyata membawa hasil bagi
terbentuknya pribadi-pribadi muslim yang berakhlak mulian.
Adapun yang membentuk dan membina akhlak seseorang adalah orangtua
dan lingkungannya, tanpa binaan akhlak dari orangtua dan lingkungan
seorang anak, perilaku anak tersebut akan tidak terarah kepada yang baik.

5
Imam Al Ghazali, “ihya Ulum al-Din”, jilid 3, (Beirut : Dar al-Fikr, t.t.) hlm.53

6
E. Proses Pembentukan Ahlak
Ahmad Amin, sebagai tokoh ilmu akhlak era modern, memberi formula dalam
proses pembentukan dan pendidikan akhlak sebagai berikut:
1. Memperluas wawasan pikiran (akal).
Pikiran yang sempit menimbulkan watak yang kaku dan kasar, sehingga
membuahkan perbuatan yang rendah.
2. Menyediakan teman, kawan, atau sahabat yang baik atau shaleh.
Kawan ini penting karena manusia tidak dapat terlepas dari hukum
interaksi dalam hidupnya. Apalagi sudah menjadi watak manusia untuk
mencontoh dan meniru apa yang dilihatnya.
3. Memberikan model orang-orang atau pahlawan dlam bentuk sejarah atau
biografi.
Artinya, mengajak si terdidik untuk membaca perjalanan hidup orang-
orang yang baik. Ini juga penting dalam konteks akhlak, karena semangat
orang-orang yang menjadi pahlawan kebaikan terebut dapat mengalir ke
dalam lubuk hati pembacanya, sehingga terseraplah nilai-nilai positivenya.
Ini dapat dilakukan dengan membaca sirah nabi, para sahabat, tabi’in dan
ulama shaleh, baik yang tertulis dalam Al-quran, hadist, maupun kitab-
kitab agama pilihan.
4. Mengikat diri untuk berbuat baik dan menjauhi keburukan.
Inilah yang disebut dengan komitmen bagi seseorang yang menginginkan
kebaikan.
5. Menguatkan komitmen untuk membenahi diri dengan pembiasaan diri
dengan perbuatan perbuatan nyata.6

F. Tujuan Pendidikan Akhlak


Tujuan pendidikan akhlak secara umum, adalah sebagai berikut:

1. Menumbuhkan pembentukan kebiasaan berakhlak mulia da beradat


kebiasaan yang baik
6
Ahmad Amin, etika (ilmu akhlak), trj. Farid Ma’ruf (jakarta:bulan bintang), 19770 hlm. 74-77

7
2. Memantapkan rasa keagamaan pada siswa, membiasakan diri berpegang
pada akhlak mulia dan membenci akhlak yang rendah.
3. Membiasakan siswa bersikap rela, optimis, percaya diri, emosi, tahan
menderita dan sabar.
4. Membimbing siswa ke arah dikap yang sehat dan dapat membantu mereka
berinteraksi sosial yang baik, mencintai kebaikan untuk orang lain, suka
menolong, sayang kepada yang lemah, dan menghargai orang lain.
5. Membiasakan siswa bersopan santun dalam berbicara dan bergaul baik di
sekolah maupun di luar sekolah.
6. Selalu tekun beribaah dan mendekatkan diri kepada Allah dan
bermuamalah yang baik.7

G. Faktor-faktor Pembentukan Akhlak


1. Instink
Instink(naluri) adalah pola prilaku yang tidak dipelajari,mekanisme
yang dianggap ada sejak lahir dan juga muncul pada setiap spesies
8
,merupakan tabiat yang dibawa manusia sejak lahir.
Ahli-ahli psikologi menerangkan berbagai instink yang ada pada manusia
diantaranya:
1) Nutritive Instinct(naluri biakan)
Bahwa begitu manusia terlahir membawa suatu hasarat tanpa
didorong oleh orang lain.
2) Seksual Instinct(naluri berjodoh)
Laki-laki menginginkan wanita, begitu pula sebaliknya.
3) Paternal Instinct(naluri keibu bapakan)
Tabiat kecintaan orang tua terhadap anaknya dan sebaliknya.
4) Combative Instinct(naluri berjuang)

Chabib Thoha, Saifudin Zuhri, dkk., Metodologi Pengajaran


7

Agama, (Fakultas Tarbiyah,Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 136.

8
A. Budiardjo, Kamus Psikologi (Semarang: Dakara Prize, 1987), 208-209.

8
Tabiat manusia yang cenderung mempertahankan diri dari
gangguan dan tantangan.
5) Naluri ber Tuhan
Tabiat manusia mencari dan merindukan penciptanya yang
mengatur dan memberikan rahmat kepadanya.
Dan masih banyak lagi instink yang lain selain instink diatas
seperti instink takut,instink bergaul dan instink meniru9.
2. Keturunan
Turunan adalah kekuatan yang menjadikan anak menurut
gambaran orang tua. Ada pula yang mengatakan bahwa turunan adalah
yang terbelakang mempunyai persediaan persamaan dengan yang
terdahulu10, ada pula perbedaan-perbedaan yang menjauhkan antara yang
terdahulu dengan yang terbelakang,antara pokok dengan cabang,antara
anak dengan orang tuanya, meskipun perbedaan itu sangat berdekatan11.
Dapat disimpulkan bahwa soal turunan bukan masalah yang mudah
dipecahkan,misal anak tersebut memiliki persamaan ataupun
perbedaan,karena manusia merupakan himpunan dari berbagai macam
sifat, baik jasmaniah maupun rohaniah,akal nya,akhlak nya dan lain
sebagainya.
Sifat yang diturunkan orang tua kepada anak secara garis besar ada dua
macam:
1. Sifat-sifat Jasmaniah
Yakni kekuatan dan kelemahan otot dan urat syaraf orang tua dapat
diwariskan kepada anak-anaknya.
2. Sifat Rohaniah
Yakni lemah atau kuatnya suatu naluri dapat diturunkan yang kelak
mempengaruhi tingkah laku anak cucunya12

9
Hamzah Ya’kub, Etika Islam (Bandung: Diponegoro,1985),58-59.
10
Rahmad Djatmika, Sistem Etika Islami (Surabaya: Pustaka Islam,1985),76
11
Ibid., 77.
12
Ibid., 68-69.

9
H. Tanggung Jawab Pendidikan Akhlak
Dalam melaksanakan pendidikan ini, hendaknya ada pelajaran keagamaan
yang dapat memberikan kesan yang sungguh-sungguh , yang menjadikan
teori-teori akhlak dapat direalisir dan tercemin dalam pergaulannya.
Tanggung Jawab Pendidikan Akhlak dapat dilakukan oleh:
1. Orang tua,
ayah ibu yang lebih dituntut dulu untuk memberikan pendidikan
akhlakkpada putra-putrinya. Karakter anak mesti dibentuk dari dan oleh
orangtuanya. Oleh sebab itu, Al-quran banyak memerintahkan agar
mendidiki dan mewaspadai perilaku generasinya.
2. Pendidik
Sebagaimana diketahui bahwa tugas pendidik sangatlah berat dan
tanggung jawab. Pendidik diistilahkan dengan mu’alim(pengajaran),
murabbiy(memelihara,mengatur, dan mengurus), mudzakki(penanaman
nilai afektif atau pencucian otak), mursyid (meningkatkan spiritual). Term
lain yang tak ketinggalan adalah ulama. Guru harus memiliki banyak ilmu
yang mampu mengintegrasikan berbagai macam ilmu pengetahuan yang
ada.
3. Pemerintah
Tugas dan peranan pemerintah mesti menentukan arah kebijakan
pendidikan. Pemerintah harus dapat merumuskan tujuan poendidikan yang
telah dibentuk dan dibangunnya. Misalnya di Indonesia terdapat tiga jenis
pendidikan yaitu: sekolah, madrasah, dan poindok pesantren, dimana
tempat tersebut dijadikan sebagai tempat pertumbuhan dan perkembangan
akhlak mulia demi masa depan bangsa. 13

13
Dr. H. Nasharuddin, Akhlak ‘ciri manusia paripurna’ (Jakarta:PT. Raja Grafindo
Persada,2015),hlm.351

10
I. Akhlak sebagai tujuan pendidikan islam
Agama Islam yang kaffah itu, menempatkan akhlak sebagai tujuan
pendidikannya, tidak ada pendidikan bila akhlak tidak dijadikan sebagai
tujuan. Sebab, para Nabi dan Rasul diutus hanyalah untuk memperbaiki
budi pekerti manusia. Karena ugentnya akhlak, maka semua tokoh
pendidikan islam menempatkan akhlak sebagai tujuan pendidikan islam,
sebagai berikut :
1. Tujuan pendidikan Menurut Ibnu Miskawaih
Pendidikan bertujuan untuk tewujudnya sikap batin yang mampu
mendorong untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik,
sehingga dapat mencapai kesempurnaan dan memperoleh
kebahagiaan sejati. Jadi tujuan pendidikan islam perspektif
Miskawaih adalah mencapai kebahagiaan secara lahir dan batin
dunia dan akhirat.14
2. Tujuan poendidikan menurut Ibnu Sina
Tujuan pendidikan islam harus diarahkan pada pengembangan
seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangan
yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual, dan budi
pekerti. 15
3. Tujuan pendidikan menurut Al Ghazali
Pendidikan Islam bertujuan mempersiapkan peserta didik untuk
menjadi manusia berakhlak al karimah yang dapat membentuk
pribadi secara utuh dalam rangka menyembah Allah SWT, dan
mencapai kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat., untuk itu
diperlukan ilmu pengetahuan agar peserta didik menjadi ‘abdullah
dan khalifatullah fi al ardh.16 Al Ghazali dalam merumuskan tujuan
pendidikan islam, lebih mengarahkan pendidikan untuk
terbentuknya abdullah yang mentaati perintah Tuhan dan menjauhi
laranganNya serta dapat menjadi khalifah Allah di muka bumi.
14
Ibnu Miskawaih,”kitab al-Sa’adah”, (Beirut : Dar al Maktabat al Hayat, 1938 H) hlm 34-35.
15
Ibnu sina, “Al-Siyasah fi al Tarbiyah”, (Mesir : Al-Masyriq, 1960), hlm 176.
16
Al Ghazali, ‘ihya’ Ulum al Din “jilid 2, (Beirut: Dar Al Fikr, t.t.) hlm 12

11
4. Tujuan pendidikan menurut Athiyah al-Abrasyi.
Tujuan pendidikan akhlak disimpulkan menjadi lima tujuan,
17
sebagai berikut:
1) Untuk membentuk akhlak yang mulia, karena kaum
muslimin dari dahulu sampai sekarang setuju dengan
pendidikan akhlak mulia adalah inti pendidikan islam, dan
mencapai akhlak yang sempurna adalah tujuan pendidikan
akhlak/pendidikan islam yang sebenarnya.
2) Mempersiapkan untuk kehidupan dunia dan kehidupan di
akhirat
3) Mempersiapkan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan
dari segi manfaat.
4) Menumbuh kembangkan semangat keilmiahan peserta
didik dan memuaskan rasa ingin tahu.
5) Menyiapkan peserta didik secara profesional, teknikal dan
pertukangan, dan menguasai profesi tertentu dan
memelihara segi kerohanian dan keagamaan
5. Tujuan pendidikan menurut Al-Nahlawy
Tujuan pendidikan secara umum terdapat empat rumusan,18
sebagai berikut:
1) Pendidikan akal dan persiapan pikiran
2) Menumbuhkan potensi-potensi dan bakat-bakat asal pada
anak-anak.
3) Memiliki perhatian pada kekuatan dan potensi-potensi
generasi muda
4) Berusaha dan berupaya untuk menyumbangkan segala
potensi dan semua bakat manusia.

17
M. Athiyah al-Abrasyi, “Al-Tarbiyah al Islamiyah wa Falsafatuha”, (Qahirah: al-Babi al-
Halabi,1972). Hlm. 72
18
Abd, al-Rahman ‘Ariy al-Nahlawy, “Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa al-Thuruq
Tadrisiha”,(Damaskus: Dar al-nandah al-arabiyah, 1970), hlm.69.

12
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dengan demikian akhlak adalah hasil usaha pembinaan dan
bukan terjadi dengan sendirinya. Pendidikan akhlak dimaksudkan
agar potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia, termasuk di
dalamnya akal, nafsu amarah, nafsu syahwat, pembawaan fitrah
dan gharizah, kata hati, hati nurani dan intuisi dibina, ditumbuhkan
dan diarahkan secara optimal dengan cara dan pendekatan yang
tepat.

13
DAFTAR PUSTAKA

Raharjo, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan


Kontemporer, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 63.

Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Al-


Ma’arif, 1989), hlm. 76-81.

Manshur Ali Rajab, “Ta’ammulat fi Falsafah al-Akhlak”, (mesir : Maktabah al-


Anjlu al-Mishriyah, 1970), hlm. 92.

Imam Al Ghazali, “ihya Ulum al-Din”, jilid 3, (Beirut : Dar al-Fikr, t.t.) hlm.53

Ahmad Amin, etika (ilmu akhlak), trj. Farid Ma’ruf (jakarta:bulan bintang), 19770
hlm. 74-77

Chabib Thoha, Saifudin Zuhri, dkk., Metodologi Pengajaran Agama, (Fakultas


Tarbiyah,Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 136.

14

Anda mungkin juga menyukai