YOGYAKARTA
2019
PENDAHULUAN
2. Patofisiologi
Gout terjadi akibat pembentukan asam urat yang berlebihan atau penurunan
ekskresi asam urat dalam tubuh akibat proses penyakit lain atau pemakaian obat
dan konsumsi nutrisi tertentu. Peningkatan kadar asam urat dalam darah akan
menimbulkan masalah ketika mulai terbentuk kristal-kristal dari monosodium urat
monohidrat pada sendi-sendi dan jaringan perifer. Kristal yang berbentuk jarum
ini dapat mengakibatkan reaksi peradangan yang bila dalam kondisi lanjut dapat
menyebabkan nyeri hebat yang sering menyertai gout. Jika tidak diobati endapan
kristal ini dapat menyebabkan kerusakan hebat pada sendi dan jaringan lunak.
Dalam proses fisiologis, kadar asam urat laki-laki akan mulai meningkat setelah
pubertas sedangkan pada wanita kadar asam urat tidak meningkat sampai setelah
menopause karena hormon estrogen dapat meningkatkan ekskresi asam urat
melalui ginjal sehingga asam urat yang berlebih akan dengan mudah diekskresikan
melalui urin. Namun setelah terjadinya proses menopause, akan terjadi
peningkatan kadar asam urat yang sama seperti pada pria. Oleh sebab itu, gout
jarang terjadi pada wanita dan sekitar 95% penderita gout adalah pria (Hainer dkk.,
2014).
Asam urat merupakan produk akhir degradasi purin. Kelarutan monosodium
urat pada plasma sekitar 6,8 mg/dl pada suhu C. Pada manusia, gout dapat
terbentuk akibat menurunnnya enzim uric acid oxidase atau uricase. Enzim ini
berfungsi untuk mengoksidasi asam urat menjadi senyawa yang sangat larut di air
yaitu allantoin. Hiperurisemia merupakan akibat dari peningkatan produksi asam
urat, penurunan ekskresi asam urat, atau kombinasi dari keduanya. Sebagian besar
disebabkan oleh penurunan ekskresi asam urat. Faktor predisposisi yang berperan
ialah faktor genetik (defisiensi enzim HGPRT dan peningkatan aktivitas PRPP
synthetase), diet tinggi protein dan fruktosa, penggunaan obat dan alkohol dan
akibat penyakit lain seperti gagal ginjal, penyakit hematologi, psoriasis,
malignansi, hipertensi dan obesitas (Hainer dkk., 2014).
3. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum, antropometri (tinggi dan berat badan), vital sign (tekanan
darah, suhu, nadi, respirasi), head to toe, pemeriksaan paru, palpasi akral. Pada
pemeriksaan fisik ekstremitas akan dijumpai deformitas sendi dan tofus pada
jaringan (kristal MSU dikelilingi sel mononuclear dan sel raksasa).
b. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah lengkap, GDS/GDP, pemeriksaan kadar asam urat serum,
dan pemeriksaan radiologis rontgen sendi yang terlibat.
KASUS
Diagnosis medis:
Gout arthritis
Tanda-Tanda Vital
TD : 120//80mmHg
Suhu : 36,2oC
RR : 26x/ menit
Nadi : 96x/menit
PRIMARY SURVEY
- Airway: Tidak ada obstruksi jalan napas
- Breathing: respirasi 26x/menit, tipe pernapasan dangkal dan cepat, pemeriksaan fisik
paru pada auskultasi didapatkan suara wheezing
- Circulation: CRT<2detik, TD 120/80mmHg, saturasi oksigen 92%
INTERVENSI: Pemberian Oksigenasi dengan nasal kanul 3L/menit, pemberian
salbutamol nebulizer 1 ampule
- Disability: GCS=15, pasien tampak kesakitan
- E: dbn
Setelah dilakukan intervensi, observasi selama 5 menit -> perbaikan pada pernapasan
pasien, saturasi oksigen >95%.
SECONDARY SURVEY
- Vital Sign: dbn
- Head: Tidak ada conjungtiva anemis, tidak tampak pucat dan sianosis. Tidak ada tanda
dehidrasi
- Thoraks: dbn, suara paru vesikuler, wheezing (-)
- Abdomen: dbn
- Extremitas: edema dan eritema pada sendi MTP-1 sinistra, ROM sendi yang terkena
menurun.
PEMBAHASAN
A. Kedokteran
Berdasarkan data yang didapatkan, Bapak Budi adalah pasien gout arthritis
yang sedang menjalani pengobatan dan serangan asma akibat induksi obat NSAID.
Setelah satu bulan rutin mengonsumsi obat penurun kadar asam urat dan pereda nyeri
sendi, obat yang dikonsumsi pasien habis. Pasien mengaku mengonsumsi daging
merah dan jeroan beberapa hari yang lalu sehingga merasakan nyeri hebat pada
persendiannya. Pasien kemudian membeli obat pereda nyeri yaitu piroxicam di apotek
pagi hari. Sekitar satu jam yang lalu pasien merasa sesak napas yang memberat
sehingga memutuskan untuk pergi ke IGD RS Bethesda Yogyakarta. Didapatkan hasil
pemeriksaan primary survey dan secondary survey sebagai berikut:
Anamnesis
1. RPS: Sesak napas sejak 1 jam yang lalu.
2. RPD: Gout arthritis dengan pengobatan rutin alopurinol dan paracetamol,
terdiagnosis gout arthritis sejak tanggal 29 Maret 2019 yang lalu. Riwayat asma
dengan faktor pencetus bulu kucing.
3. Lifestyle: tidak merokok, tidak mengonsumsi alkohol, suka mengonsumsi daging
merah dan jeroan (terakhir konsumsi beberapa hari sebelum muncul nyeri
persendian).
Pemeriksaan fisik
1. TTV: BP= 120/80 mmHg, R=26x/menit , N= 96x/menit , Suhu= 36,2°C
2. Head to toe: anemis (-/-), ikterik (-/-), dehidrasi (-),
3. PF paru: - Inspeksi = dbn
Palpasi = dbn
Perkusi = dbn
Auskultasi = wheezing
4. PF Abdomen: - Inspeksi = dbn
Palpasi = dbn
Perkusi = dbn
Auskultasi =dbn
5. Inspeksi pada ekstremitas bawah: eritema dan edema pada sendi MTP-1 sinistra,
ROM sendi yang terkena menurun.
Pemeriksaan penunjang
1. GDS = 110 mg/dl (strip test)
2. Asam urat serum = 8,6 mg/dl
3. Darah Lengkap = dbn
Dari hasil penggabungan hasil pemeriksaan perawat dan dokter didapatkan diagnosis
utama adalah serangan asma eksaserbasi akut akibat penggunaan obat NSAID dan
diagnosis penyerta adalah gout arthritis dengan tophus. Pola minum obat penurun asam
urat oleh pasien dilakukan dengan patuh, teratur. Namun, pasien sempat kehabisan
obat dan tidak melakukan kontrol ke dokter. Hal ini diperberat pula dengan riwayat
makan makanan tinggi protein sehingga ketika nyeri sendi muncul, pasien membeli
obat NSAID over the counter. Ketika serangan asma pasien sudah teratasi, dokter ingin
meresepkan obat untuk menghentikan peradangan sendi pasien. Dokter bertanya
kepada apoteker mengenai efektivitas penggunaan kortikosteroid prednison pada
pasien tersebut.
Prednison adalah salah satu obat yang dapat diberikan untuk meredakan
peradangan pada kasus gout arthritis. Obat ini tidak memiliki interaksi dengan obat
alopurinol serta diketahui tidak akan mencetuskan asma seperti pada pemberian
NSAID. Solusi yang dapat diberikan adalah meresepkan kortikosteroid prednisone
dengan paracetamol untuk membantu mengurangi peradangan serta meredakan nyeri
secara lebih efektif pada pasien. Pilihan obat yang direkomendasikan oleh apoteker
adalah prednisone dengan dosis 0,5mg/kgbb/hari.
Dosis penggunaan alopurinol adalah 100mg satu kali sehari yang diminum setelah
makan. Penentuan dosis ini bisa ditentukan dengan kondisi kadar asam urat pasien.
Karena dirasa kadar asam urat pasien masih tinggi, maka obat tetap diresepkan namun
akan mulai diminum ketika nyeri pasien sudah mereda.
Sehingga tatalaksana farmakologi yang diberikan adalah sebagai berikut:
R/ Prednison tab mg 25 no V
S .1 dd. caps 1
Penggunaan obat lain yang seharusnya diresepkan kepada pasien adalah inhaler
salbutamol. Obat ini berguna untuk mengatasi kasus eksaserbasi akut apabila sewaktu-
waktu pasien mengalami serangan kembali akibat munculnya faktor pencetus. Obat
dapat diberikan dalam bentuk MDI.
B. Perawat
Nama Perawat : Ibu Nita dan Enjelia
DATA KLIEN
1. Data Umum
Nama : Bp. B
Usia : 55 tahun
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Sleman
2. Pengkajian
a. Primer
1) Air way : tidak ada sumbatan jalan nafas
2) Breating : terdengar suara wheezing di keisabylidua lapang paru
3) Circulasi : capillary refill kurag dari 3 detik , tekanan darah 120/80
mmHg, Nadi 100 kali/menit, saturasi 92 %
4) Disability : kesadaran pasien composmentis, GCS 15
b. Sekunder
1) Riwayat penyakit sekarang
Keluhan Utama : sesak nafas
Sejak kapan/onset : 1 jam yang lalu
Obat dipakai saat ini : minum piroxicam 1 tablet
Pasien masuk IGD dengan keluhan sesak nafas sejak 1 jam yang lalu,
sebelumnya pasien minum piroxicam 1 tablet.
5) Pemeriksaan fisik
- KU : compos mentis, kooperatif
- Tanda Vital : TD: 120/80 mmHg; N: 100 x/menit; pernafasan
26 x/menit; t: 36,5 ⁰C
- Kepala/leher : conjunctiva anemis -/- sklera ikterik -/-, limfonodi
coli tidak teraba, sianosis (-)
- Toraks
Inspeksi : dinding dada simetris, jejas (-), retraksi (-)
Palpasi : fremitus normal, nyeri tekan (-)
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : suara napas vesikuler, wheezing (-) di akhir
ekspirasi, ronki (-)
- Abdomen : abdomen dalam batas normal
- Ekstremitas : akral hangat
- Status Lokalis :pedis sinistra: tofus (+) di metatarsophalangeal
digiti I, eritem (+), nyeri (+)
6) Data penunjang
a) Darah lengkap
- Hb: 11,7 g/dL (normal: 11,5-16,5 g/dL)
- Eritrosit: 4,6 x 106 /mL (normal: 4-5,2 x 106 /mL)
- Leukosit: 6,5 x 103 /mL (normal: 4,4-11,3 x 103 /mL)
- Netrofil: 45% (normal: 50-70%) atau 4,3 x 103 /mL (normal:
1,5-8 x 103 /mL)
- Limfosit: 35% (normal: 25-40%) atau 3 x 103 /mL (normal
1-4 x 103 /mL)
- Trombosit: 245 x 103 /mL (normal: 150-450 x 103 /mL)
b) Asam urat: 8,6 mg/dL
c) GDS: 110 mg/dL
d) Ureum: 20 mg/dL
e) Kreatinin: 1 mg/dL
Foto untuk molase:
Diagnosis medis:
Gout arthritis
R/ Prednison tab mg 25 no V
S .1 dd. caps 1
R/ Allopurinol tab mg 100 no XXX
S .1 dd tab 1
R/ Paracetamol tab mg500 no XC
S .p.r.n.3 dd tab1
3. Analisa Data
Data Subyektif :
- Pasien mengatakan sesak nafas
- Pasien mengatakan nyeri pada kaki kiri
Data Obyektif :
- Kesadaran compos mentis
- Suara paru terdengar wheezing
- Saturasi oksigen 92 %
- Skala nyeri 7
- Vital sign : T 120/80 mmHg, Nadi 100 x/menit, suhu 36,5⁰ C Pernafasan
26 kali
- Ekstremitas teraba hangatPedis sinistra tampak tofus di
metatarsophalangeal digiti 1, tampak eritema dan nyeri
- Hasil laboratorium asam urat 8,6 mg/dl
DO:
Skala nyeri
Vital sign : T 120/80 mmHg, Nadi
70 x/menit, suhu 36,5⁰ C
Ekstremitas teraba hangat
Pedis sinistra tampak tofus di
metatarsophalangeal digiti 1,
tampak eritema dan nyeri
Hasil laboratorium asam urat 9,6
mg/dl
(NANDA, 2018).
4. Diagnosa Keperawatan
DO:
Suara paru terdengar wheezing
Saturasi oksigen 92 %
Tekanan darah 120/80 mmHg
Nadi 100 kali/menit
Pernafasan 26 kali / menit
No Tanggal Diagnosa Keperawatan
DO:
Skala nyeri
Vital sign : T 120/80 mmHg, Nadi 70 x/menit, suhu 36,5⁰ C
Ekstremitas teraba hangat
Pedis sinistra tampak tofus di metatarsophalangeal digiti 1,
tampak eritema dan nyeri
Hasil laboratorium asam urat 9,6 mg/dl
(NANDA, 2018).
5. Nursing Care Plan
4. Kolaborasi
- Kolaborasi dalam - Pemberian bronchodilator untuk
pemberian broncodilator mencegah terjadinya sumbatan
jalan nafas
3. Edukasi
- Jelaskan penyebab rasa - Peningkatan pengetahuan akan
nyeri, pemicu nyeri nyeri akan meningkatkan
kerjasama dengan pasien
- Jelaskan strategi - Membantu mengurangi nyeri dan
meredakan nyeri meningkatkan kepatuhan pasien
terhadap rencana terapeutik
4. Kolaborasi
- Kolaborasi dengan dokter - Pasien mendapatkan analgetika
dalam pemberian yang sesuai. Analgetik memblok
analgetika lintasan nyeri sehingga nyeri akan
berkurang.
6) Tindakan Keperawatan
Ada di catatan perkembangan pasien terintegrasi ( terlampir di belakang).
C. Farmasi
1. Piroxicam
Piroxicam diduga menjadi salah satu penginduksi asma pada pasien, selain dari
riwayat alergi pasien terhadap bulu kucing. Pasien menggunakan piroxicam untuk
mengatasi nyeri karena piroxicam memiliki mekanisme menghambat sintesis
prostaglandin dengan menghambat jalur COX 1 & 2 (Medscape, 2019), namun
piroxicam dapat memicu terjadinya kondisi asma karena penghambatan jalur
COX yang dapat mengaktifkan jalur lipoksigenase, yang mengarah pada
peningkatan sintesis leukotrien dan risiko bronkospasme (Lo Chia et al., 2016).
Sehingga untuk pasien ini tidak dianjurkan untuk mengkonsumsi NSAID
(piroxicam) karena dikhawatirkan dapat memicu terjadinya serangan asma
kembali.
2. Prednisone
Pasien diberikan prednisone oral untuk meredakan peradangan yang dialami oleh
pasien. Diberikan prednisone oral karena menurut Khanna (2012), jika sendi yang
terkena adalah sendi kecil maka diberikan prednisone oral. Jika yang terkena
adalah sendi besar seperti lutut, pergelangan kaki, bahu, siku, dll, maka diberikan
kortikosteroid intraartikular. Prednisone merupakan glukokortikosteroid yang
berperan dalam proses inflamasi. Mekanisme dari prednisone yaitu mengontrol
atau mencegah inflamasi dengan cara mengontrol kecepatan sintesis protein,
menekan migrasi polymorphonuclear leukosit (PMNs) dan fibroblas (Medscape,
2019). Dokter menanyakan dosis yang tepat untuk pasien, sehingga apoteker
menyarankan dosis sesuai guideline ACR, yaitu prednisone oral dengan dosis
0,5mg/kgBB/hari (Khanna, 2012). Setelah dikonfirmasikan kepada dokter, maka
pasien diberikan dosis prednisone oral 25 mg/hari (BB pasien 50 kg) selama 5
hari. Prednisone tersedia dalam kekuatan 5mg, sehingga perlu dilakukan
peracikan untuk memudahkan pasien dalam mengkonsumsi obat dan diharapkan
kepatuhan pasien dapat meningkat. Prednisone diracik menjadi sediaan kapsul
yang masing-masing berisi 25 mg prednisone, sehingga pasien mendapatkan 5
kapsul untuk 5 hari. Efek samping yang umum terjadi akibat dari penggunaan
prednisone adalah anafilaksis, bradikardia, jerawat, abnormalitas deposit lemak,
retensi cairan, abnormalitas distensi, meningkatnya nafsu makan dan berat badan,
dll (Medscape, 2019).
3. Allopurinol
Menurut Himpunan Rheumatologi Indonesia (2018), pada pasien yang sudah
dalam terapi rutin obat penurun asam urat, terapi allopurinol tetap dilanjutkan.
Oleh karena itu kami tetap memberikan allopurinol karena pasien sudah
menggunakan allopurinol selama satu bulan, namun karena ternyata pasien
sempat berhenti menggunakan allopurinol, maka seharusnya pemberian
allopurinol ditunda, yaitu diberikan 2 minggu setelah serangan akut reda dan
diberikan setelah pasien melakukan pemeriksaan kembali. Dosis allopurinol yang
dapat diberikan adalah dimulai dari 100 mg/hari (1x sehari, 1 tablet) dan dapat
dinaikan secara bertahap sebanyak 100mg per 2-5 minggu sampai target kadar
asam urat tercapai (6mg/dL). Dosis maksimal 900 mg/hari (Himpunan
Reumatologi Indonesia, 2014). Allopurinol memiliki mekanisme menghambat
xanthine oxidase yang berfungsi untuk mengubah hypoxanthine menjadi xanthine
sehingga produksi asam urat menurun tanpa mengganggu sintesis purin yang vital
(Medscape, 2019). Efek samping yang umum terjadi akibat dari penggunaan
allopurinol adalah ruam, mual dan muntah, serta kemungkinan terjadinya gagal
ginjal (Medscape, 2019). Allopurinol dikonsumsi setelah makan, dan sebaiknya
pada waktu yang sama setiap harinya.
4. Paracetamol
Pada kasus ini pasien memiliki riwayat penggunaan parasetamol. Parasetamol
biasanya digunakan oleh pasien untuk menangani nyeri yang dirasakan oleh
pasien. Dalam kasus ini persediaan parasetamol yang dimiliki oleh pasien sudah
habis dan kami tidak memberikan parasetamol lagi kepada pasien dengan
pertimbangan sudah diberikan prednisone karena sesuai guideline ACR, jika nyeri
ringan-sedang (yang terkena adalah beberapa sendi kecil atau 1-2 sendi besar),
maka diberikan monoterapi saja. Namun berdasarkan pembahasan setelah
roleplay bersama dosen, disarankan untuk tetap diberikan parasetamol sebagai
terapi anti nyeri bila nanti nyeri pasien kambuh. Menurut Medscape (2019),
mekanisme kerja dari parasetamol yaitu bekerja pada perifer untuk memblok
mediator nyeri dan bisa juga menghambat sintesis prostaglandin pada sistem saraf
pusat. Dosis paracetamol yang diberikan adalah 500mg, diminum sebanyak 3x1
tablet jika perlu.
Penggunaan jangka panjang paracetamol dapat menimbulkan efek samping
diantaranya angioedema, pusing, kemerahan, hepatotoksik, dan sebagainya
(Medscape, 2019).
5. Salbutamol
Pada kasus ini kami tidak memberikan salbutamol, namun seharusnya pasien tetap
diberikan salbutamol (inhaler) untuk mengantisipasi jika pasien mengalami
kekambuhan asma. Salbutamol merupakan obat golongan simpatomimetika yang
memiliki mekanisme menstimulus reseptor beta 2 adrenergik yang dapat
mengaktivasi adenil siklase yang dapat menghasilkan peningkatan AMP siklik
intraselular sehingga hal ini dapat menyebabkan relaksasi otot polos, stabilisasi
membran sel mast, dan stimulasi otot skelet. Salbutamol termasuk dalam Short-
Acting β2-Agonists (SABA) yang merupakan bronkodilator selektif untuk
penanganan episode bronkospasme ireguler dan merupakan pilihan pertama
dalam penanganan asma akut. Obat ini hanya digunakan jika diperlukan untuk
mengatasi gejala. Adapun efek samping yang dapat ditimbulkan dalam pemberian
Salbutamol seperti mual, sakit kepala, palpitasi, tremor, takikardi dan hipokalemia
yang kadang timbul setelah pemberian dosis tinggi (Sukandar dkk., 2013). Dosis
yang diberikan untuk pasien ini adalah 200mcg 3-4 kali sehari (PDPI, 2003).
Pasien harus diberikan edukasi terkait cara penggunaan inhaler agar pengobatan
menjadi optimal.
Pasien diberi edukasi mengenai cara penggunaan obat yang benar. Menurut
Dipiro, et al. (2011), cara menggunakan inhaler yang tepat, yaitu:
a. Buka tutup dan pegang inhaler dalam posisi tegak.
b. Kocok inhaler.
c. Miringkan kepala sedikit dan hembuskan nafas perlahan.
d. Posisikan inhaler
e. Tekan inhaler untuk melepaskan obat, mulai bernafas dengan perlahan dan
dalam melalui mulut, bukan hidung.
f. Bernafas dengan perlahan (3-5 detik).
g. Tahan nafas selama 10 detik agar obat dapat mencapai paru-paru
h. Apabila dibutuhkan dosis lebih, beri jeda 1 menit untuk tiap puff.
Saat menyerahkan obat, pasien diberi edukasi terkait cara penggunaan, aturan
pemakaian dan cara penyimpanan masing-masing obat, edukasi terkait efek samping
obat yang mungkin muncul dan apa yang harus dilakukan jika muncul efek samping
tersebut. Pasien juga diberikan edukasi untuk menghindari obat-obatan NSAID karena
kemungkinan dapat memicu serangan asma.
Monitoring yang harus dilakukan adalah:
1. Monitoring outcome terapi yaitu berkurangnya rasa nyeri yang dialami pasien
2. Monitoring gejala asma pada pasien.
3. Monitoring fungsi ginjal
4. Monitoring kadar asam urat secara berkala
Setelah dilakukan diskusi berdasarkan visite oleh dokter, perawat, dan farmasis, maka
terapi yang akan dilanjutkan adalah obat penurun asam urat, yaitu allopurinol (diberikan 2
minggu setelah nyeri reda). Pengobatan untuk menghilangkan nyeri dan mengatasi peradangan
sendi dapat diberikan paracetamol dan prednison. Untuk mengatasi asma, dapat diberikan
salbutamol MDI.
SARAN
1. Jaringan IPE ditingkatkan sehingga tidak hanya kolaborasi dokter, perawat, dan
apoteker saja tapi dapat pula melibatkan profesi tenaga paramedis lain, misalnya ahli
gizi sehingga kolaborasi menjadi lebih maksimal
2. Pada sesi IPE selanjutnya sebaiknya dijelaskan mengenai alur pelaksanaan sesi
sehingga jalannya sesi IPE bisa berjalan dengan lebih baik dan efektif.
3. Waktu pengerjaan laporan sebaiknya ditambah lagi karena cukup susah untuk
menentukan waktu berdiskusi antar 3 universitas.
DAFTAR PUSTAKA
British Society for Rheumatology Guideline for The Management of Gout. Rheumatol. 2017.
Dipiro, et al., 2015. Pharmacotherapy Handbook Eight Ed.
Hainer BL, Matheson E, Wilkes T. Diagnosis, Treatment and Prevention of Gout. American
Academy Fam Physician. 2014.
Hikmatyar, Gulbuddin dan TA Larasati. Penatalaksanaan Komprehensif Arthritis Gout dan
Osteoarthritis pada Buruh Usia Lanjut. 2017. Jurnal Medula Unila, Volume 7
Nomor 3.
Hui M, Carr A, Cameron S, Davenport G, Doherty M, Forrester H, Jenkins W, dkk. The
Khanna, D., et al. American College of Rheumatology Guidelines for Management of Gout.
Part 2: Therapy and Antiinflammatory Prophylaxis of Acute Gouty Arthritis.
American College of Rheumatology. 2012.
Lo Chia, et al. Risk of Asthma Exacerbation Association with Nonsteroid Anti-Inflamatory
Drugs in Childhood Asthma. Us National Library of Medicine National Institutes
of Health. 2016.
Medscape, 2019. Acetaminophen, https://reference.medscape.com/drug/tylenol-
acetaminophen-343346, diakses pada tanggal 9 Mei 2019.
Medscape, 2019. Allopurinol, https://reference.medscape.com/drug/zyloprim-aloprim-
allopurinol-342811, diakses pada tanggal 9 Mei 2019.
Medscape, 2019. Prednisone, https://reference.medscape.com/drug/prednisone-intensol-
342747#4, diakses pada tanggal 9 Mei 2019.
PDPI. 2003. Asma: Pedoman, Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. PDPI
Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Pengelolaan Gout. IRA. 2018.
Sukandar, E. Y., Andrajati, R., Sigit, J. I., Adnyana, I. K., Setiadi, A. P. & Kusnandar, 2013.
ISO Farmakoterapi. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia.