Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

SPACE OCCUPYING LESION

Angga Nugraha, S.Ked


0918011103

Konsulen :
Dr. Imam Ghozali, Sp.An., M.Kes

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RUMAH SAKIT UMUM ABDUL MULUK
BANDAR LAMPUNG
2014
Daftar Isi :
BAB I
Pendahuluan
BAB II
Tinjauan Pustaka
1. Tumor Otak
2. Pancoast Tumor
3. Anestesi Untuk Operasi Tumor Intrakranial

BAB III
Laporan Kasus
1. Pembahasan
2. Daftar Pustaka

1
BAB I
PENDAHULUAN

Insidensi kanker di seluruh dunia pada tahun 2004 mencapai 11,4 juta orang.
Insidensi tertinggi didapatkan di Western Pacific. Asia Tenggara menduduki
peringkat ke empat setelah Amerika yaitu dengan jumlah 1,7 juta orang. Di
samping insidensi yang cukup tinggi, kanker juga merupakan penyakit yang
belum memiliki terapi definitif. Saat ini penatalaksanaan kanker bertumpu pada
upaya kemoterapi, radioterapi dan atau operasi reseksi. Efek dari kemoterapi dan
radioterapi dapat menyebabkan rasa yang sangat tidak nyaman kepada pasien
yang menjalaninya (Ali, 2006).

Tumor otak merupakan neoplasma, baik yang jinak maupun ganas, yang
berasal dari inflamasi dalam jangka waktu yang lama, yang tumbuh di dalam otak,
selaput otak atau tengkorak. Gambaran diagnosis yang menyebabkan tumor otak
dapat ditegakkan dari petunjuk epidemiologi, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
khusus, manifestasi klinik maupun pengetahuan tentang patologi.

Pada pasien-pasien bedah syaraf, penatalaksanaan anestesi memerlukan


pemahaman mendalam mengenai Central Nervous System / CNS (Sistem Saraf
Pusat). Selain itu untuk pemberian anestesi pada operasi intrakranial dan operasi
di luar otak tetapi pasien memiliki kelainan serebral, kita harus mengerti
mengenai anatomi, fisiologi, dan farmakologi dari CNS. Penggunaan anestesi
dapat memberikan kerugian dan manfaatnya tersendiri dalam hubungannya
dengan neurofisiologi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. TUMOR OTAK
Pendahuluan
Tumor otak dalam pengertian umum berarti benjolan, dalam istilah radiologisnya
disebut lesi desak ruang/ Space Occupying Lesion (SOL). Neoplasma sistem saraf
pusat umumnya menyebabkan suatu evaluasi progresif disfungsi neurologis.
Gejala yang disebabkan tumor yang pertumbuhannya lambat akan memberikan
gejala yang perlahan munculnya, sedangkan tumor yang terletak pada posisi yang
vital akan memberikan gejala yang muncul dengan cepat. Sekitar 10% dari semua
proses neoplasma di seluruh tubuh ditemukan pada susunan saraf dan selaputnya,
8% berlokasi di ruang intrakranial dan 2% di ruang kanalis spinalis. Proses
neoplasma di susunan saraf mencakup dua tipe, yaitu:
a. Tumor primer, yaitu tumor yang berasal dari jaringan otak sendiri yang
cenderung berkembang ditempat-tempat tertentu. Seperti ependimoma yang
berlokasi di dekat dinding ventrikel atau kanalis sentralis medulla spinalis,
glioblastoma multiforme kebanyakan ditemukan dilobus parietal,
oligodendroma di lobus frontalis dan spongioblastoma di korpus kalosum
atau pons.
b. Tumor sekunder, yaitu tumor yang berasal dari metastasis karsinoma yang
berasal dari bagian tubuh lain. Yang paling sering ditemukan adalah
metastasis karsinoma bronkus dan prostat pada pria serta karsinoma mammae
pada wanita.

Tabel 1 Neoplasma intrakranial dan Penyakit-penyakit paraneoplastik


Tumor Persentase total
Glioma
- Glioblastoma multiforme 20
- Astrositoma 10
- Ependimoma 6
- Meduloblastoma 4

3
- Oligodendroglioma 5
Meningioma 15
Pituitary adenoma 7
Neurinoma 7
Karsinoma metastasis 6
Kraniofaringioma, dermoid, epidermoid, teratoma 4
Angioma 4
Sarkoma 4
Tak dapat diklasifikasikan (terutama glioma) 5
Miscellaneous (Pinealoma, kordoma, granuloma, 3
limfoma
Total 100

Klasifikasi
Berdasarkan kebanyakan tumor patologi anatomi, tumor sistem saraf pusat dibagi:
1. Tumor Jaringan Otak
2. Tumor Jaringan Mesenkim
3. Tumor Selaput Otak
4. Tumor dari cacat perkembangan
5. Tumor Kelenjar Pineal
6. Tumor Medula Spinalis
7. Tumor Otak Metastatik

Gejala Klinis
Gejala klinis tumor intrakranial dibagi atas 3 kategori, yaitu gejala umum, gejala
lokal dan gejala lokal yang tidak sesuai dengan lokasi tumor.
a. Gejala Klinik Umum
Gejala umum timbul akibat peningkatan tekanan intrakranial atau proses
difus dari tumor tersebut. Tumor ganas menyebabkan gejala yang lebih
progresif daripada tumor jinak. Tumor pada lobus temporal depan dan frontal
dapat berkembang menjadi tumor dengan ukuran yang sangat besar tanpa
menyebabkan defisit neurologis dan pada mulanya hanya memberikan gejala-

4
gejala yang umum. Tumor pada fossa posterior atau pada lobus parietal dan
oksipital lebih sering memberikan gejala fokal dahulu baru kemudian
memberikan gejala umum. Terdapat 4 gejala klinis umum yang berkaitan
dengan tumor otak, yaitu perubahan status mental, nyeri kepala, muntah, dan
kejang.
 Perubahan status mental
Gejala dini dapat samar. Ketidakmampuan pelaksanaan tugas sehari-hari,
lekas marah, emosi yang labil, inersia mental, gangguan konsentrasi,
bahkan psikosis. Fungsi kognitif merupakan keluhan yang sering
disampaikan oleh pasien kanker dengan berbagai bentuk, mulai dari
disfungsi memori ringan dan kesulitan berkonsentrasi hinggga disorientasi,
halusinasi, atau letargi.
 Nyeri kepala
Nyeri kepala merupakan gejala dini tumor intrakranial pada kira-kira 20%
penderita. Sifat nyeri kepalanya berdenyut-denyut atau rasa penuh di
kepala seolah-olah mau meledak. Awalnya nyeri dapat ringan, tumpul dan
episodik, kemudian bertambah berat, tumpul atau tajam dan juga
intermiten. Nyeri juga dapat disebabkan efek samping dari obat
kemoterapi. Nyeri ini lebih hebat pada pagi hari dan dapat diperberat oleh
batuk, mengejan, memiringkan kepala atau aktifitas fisik. Lokasi nyeri
yang unilateral dapat sesuai dengan lokasi tumornya sendri. Tumor di
fossa kranii posterior biasanya menyebabkan nyeri kepala retroaurikuler
ipsilateral. Tumor di supratentorial menyebabkan nyeri kepala pada sisi
tumor, di frontal orbita, temporal atau parietal.
 Muntah
Muntah ini juga sering timbul pada pagi hari dan tidak berhubungan
dengan makanan. Dimana muntah ini khas yaitu proyektil dan tidak
didahului oleh mual. Keadaan ini lebih sering dijumpai pada tumor di
fossa posterior.
 Kejang
Kejang fokal merupakan manifestasi lain yang biasa ditemukan pada 14-
15% penderita tumor otak. 20-50% pasien tumor otak menunjukan gejala

5
kejang. Kejang yang timbul pertama kali pada usia dewasa
mengindikasikan adanya tumor di otak. Kejang berkaitan tumor otak ini
awalnya berupa kejang fokal (menandakan adanya kerusakan fokal
serebri) seperti pada meningioma, kemudian dapat menjadi kejang umum
yang terutama merupakan manifestasi dari glioblastoma multiforme.
Kejang biasanya paroxysmal, akibat defek neurologis pada korteks serebri.
Kejang parsial akibat penekanan area fokal pada otak dan menifestasi pada
lokal ekstrimitas tersebut, sedangkan kejang umum terjadi jika tumor luas
pada kedua hemisfer serebri.
 Edema Papil
Gejala umum yang tidak berlangsung lama pada tumor otak, sebab dengan
teknik neuroimaging tumor dapat segera dideteksi. Edema papil pada
awalnya tidak menimbulkan gejala hilangnya kemampuan untuk melihat,
tetapi edema papil yang berkelanjutan dapat menyebabkan perluasan bintik
buta, penyempitan lapangan pandang perifer dan menyebabkan
penglihatan kabur yang tidak menetap.

b. Gejala Klinik Lokal


Manifestasi lokal terjadi pada tumor yang menyebabkan destruksi parenkim,
infark atau edema. Juga akibat pelepasan faktor-faktor ke daerah sekitar
tumor (contohnya : peroksidase, ion hydrogen, enzim proteolitik dan sitokin),
semuanya dapat menyebabkan disfungsi fokal yang reversibel.
 Tumor Lobus Frontal
Tumor lobus frontal menyebabkan terjadinya kejang umum yang diikuti
paralisis pos-iktal. Meningioma kompleks atau parasagital dan glioma
frontal khusus berkaitan dengan kejang. Tanda lokal tumor frontal antara
lain disartri, kelumpuhan kontralateral, dan afasia jika hemisfer dominant
dipengaruhi. Anosmia unilateral menunjukkan adanya tumor bulbus
olfaktorius.
 Tumor Lobus Temporalis
Gejala tumor lobus temporalis antara lain disfungsi traktus kortikospinal
kontralateral, defisit lapangan pandang homonim, perubahan kepribadian,

6
disfungsi memori dan kejang parsial kompleks. Tumor hemisfer dominan
menyebabkan afasia, gangguan sensoris dan berkurangnya konsentrasi
yang merupakan gejala utama tumor lobus parietal. Adapun gejala yang
lain diantaranya disfungsi traktus kortikospinal kontralateral, hemianopsia/
quadrianopsia inferior homonim kontralateral dan simple motor atau
kejang sensoris.
 Tumor Lobus Oksipital
Tumor lobus oksipital sering menyebabkan hemianopsia homonym yang
kongruen. Kejang fokal lobus oksipital sering ditandai dengan persepsi
kontralateral episodic terhadap cahaya senter, warna atau pada bentuk
geometri.
 Tumor pada Ventrikel Tiga dan Regio Pineal
Tumor di dalam atau yang dekat dengan ventrikel tiga menghambat
ventrikel atau aquaduktus dan menyebabkan hidrosepalus. Perubahan
posisi dapat meningkatkan tekanan ventrikel sehingga terjadi sakit kepala
berat pada daerah frontal dan verteks, muntah dan kadang-kadang pingsan.
Hal ini juga menyebabkan gangguan ingatan, diabetes insipidus,
amenorea, galaktorea dan gangguan pengecapan dan pengaturan suhu.
 Tumor Batang Otak
Terutama ditandai oleh disfungsi saraf kranialis, defek lapangan pandang,
nistagmus, ataksia dan kelemahan ekstremitas. Kompresi pada ventrikel
empat menyebabkan hidrosepalus obstruktif dan menimbulkan gejala-
gejala umum.
 Tumor Serebellar
Muntah berulang dan sakit kepala di bagian oksiput merupakan gejala
yang sering ditemukan pada tumor serebellar. Pusing, vertigo dan
nistagmus mungkin menonjol.

c. Gejala Lokal yang Menyesatkan (False Localizing Signs)


Lesi pada salah satu kompartemen otak dapat menginduksi pergeseran dan
kompresi di bagian otak yang jauh dari lesi primer. Tumor otak yang
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dapat menghasilkan false

7
localizing signs atau gejala lokal yang menyesatkan. Suatu tumor intrakranial
dapat menimbulkan manifestasi yang tidak sesuai dengan fungsi area yang
ditempatinya. Tanda tersebut adalah:
a. Kelumpuhan saraf otak. Karena desakan tumor, saraf dapat tertarik atau
tertekan. Desakan itu tidak harus langsung terhadap saraf otak. Saraf yang
sering terkena tidak langsung adalah saraf III, IV, dan IV.
b. Refleks patologis yang positif pada kedua sisi, dapat ditemukan pada tumor
yang terdapat di dalam salah satu hemisferium saja.
c. Gangguan mental
d.Gangguan endokrin dapat juga timbul proses desak ruang di daerah
hipofise.

Pemeriksaan Penunjang
Tumor otak dapat dideteksi dengan CT-scan atau MRI. Pilihannya tergantung
ketersediaan fasilitas pada masing-masing rumah sakit. CT-scan lebih murah
dibanding MRI, umumnya tersedia di rumah sakit dan bila menggunakan kontras
dapat mendeteksi mayoritas tumor otak. MRI lebih khusus untuk mendeteksi
tumor dengan ukuran kecil, tumor di dasar tulang tengkorak dan di fossa
posterior. Selain itu MRI juga dapat membantu ahli bedah untuk merencanakan
pembedahan karena memperlihatkan tumor pada sejumlah bidang.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan SOL meliputi:
a. Simptomatik
 Antikonvulsi
Mengontrol epilepsi merupakan bagian penting dari tatalaksana pasien
dengan tumor otak.
 Edema serebri
Jika pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial dan gambaran
radiologi memperlihatkan adanya edema serebri, maka dexametason dapat
digunakan dengan keuntungan yang signifikan. Rasa tidak menyenangkan
pada pasien akan dikurangi dan kadang-kadang juga berbahaya, gejala dan

8
tanda status intrakranial ini akan lebih aman bila intervensi bedah saraf
akan diambil.
b. Etiologik (pembedahan)
 Complete removal
Meningioma dan tumor-tumor kelenjar tidak mempan dengan terapi
medis, neuroma akustik dan beberapa metastase padat di berbagai regio
otak dapat diangkat total. Terkadang, operasi berlangsung lama dan sulit
jika tumor jinak tersebut relatif sulit dijangkau.
 Partial removal
Glioma di lobus frontal, oksipital dan temporal dapat diangkat dengan
operasi radical debulking. Terkadang tumor jinak tidak dapat diangkat
secara keseluruhan karena posisi tumor atau psikis pasien.

Prognosis
Prognosis tergantung jenis tumor spesifik. Berdasarkan data di negara-negara
maju, dengan diagnosis dini dan juga penanganan yang tepat melalui pembedahan
dilanjutkan dengan radioterapi, angka ketahanan hidup 5 tahun berkisar 50-60%
dan angka ketahanan hidup 10 tahun berkisar 30-40%.

2. PANCOAST TUMOR
Pendahuluan
Pada awal abad 20 jarang terjadi keganasan karena tumor paru, sekarang
merupakan kejadian epidemik pada beberapa bagian dunia. Tumor paru
merupakan kanker tersering di Amerika Serikat dan juga tersering menyebabkan
kematian dari kanker, sekitar 37.000 kematian setiap tahun. Angka kejadian
kanker paru meningkat pada wanita di Amerika Serikat, sedangkan angka
kejadiannya menurun pada laki-laki, terutama yang berusia kurang dari 50 tahun.
Jumlah kasus kanker paru pada wanita adalah 40% dari semua kasus kanker paru
yang ada.

Salah satu tumor paru yang akan diketengahkan adalah tumor pancoast, yang
terletak pada bagian apeks paru. Tumor sulcus superior pertama kali dikemukakan
oleh Henry Pancoast pada tahun 1924. Setelah dikemukakan oleh Pancoast, istilah

9
tumor Pancoast, tumor sulcus superior atau tumor sulcus pulmonary superior
adalah sinonim. Lokasi tumor ini di alur pleuropulmonari apical, yang berbatasan
dengan vena sub clavia.

Faktor Risiko

Merokok adalah faktor risiko predominan yang berhubungan dengan kanker paru.
Angka kejadian kanker paru meningkat 10-30 kali lipat pada perokok dari pada
yang tidak merokok.

Zat karsinogen yang berhubungan dengan kanker paru :

1. Asap rokok, mengandung “tar” suatu persenyawaan hidrokarbon aromatik


polisiklik.
2. Asap mobil.
3. Asap pabrik / industri.
4. Asap tambang.
5. Debu radio aktif / ledakan nuklir.
6. Zat-zat kimia : asbes, krom, nekel, besi, uranium, haloeter.

Manifestasi Klinik

Manifestasi klinik berhubungan dengan penjalaran regional dari tumor tersebut,


yang meliputi elecasi hemidiafragma karena paralise nervus phrenikus, suara
serak karena paralise nervus laringeal rekuren, sindroma Horner karena paralise
nervus simpatik, sindroma vena cava superior karena obstruksi vaskuler.

Lesi pada sulcus supeior menimbulkan gejala sindroma Pancoast, yang terdiri
dari: nyeri pada bahu dan lengan (sesuai dengan distribusi dermatom C8, T1 dan
T2), sindroma Horner, kelemahan dan atrofi pada otot tangan.

Nyeri Bahu

Gejala awal yang sering timbul pada Pancoast tumor adalah nyeri pada bahu, yang
timbul sekitar 44%-96% kasus. Nyeri terjadi oleh karena invasi ke pleksus
brakialis atau ekstensi tumor ke pleura parietalis, fasia endotorasis, iga 1 dan 2

10
atau korpus vertebra. Nyeri bersifat progresif, dapat menjalar ke arah lengan
ipsilateral bagian ulnar. Nyeri tersebut sering di terapi sebagai osteoartritis
cervical atau burs sitis bahu, sehingga diagnosis tumor pancoast sering terlambat
sekitar 5-10 bulan.

Sindroma Horner
Sindroma Horner terdiri dari ptosis ipsilateral, miosis, enophtalmus, dan
anhidrosis yang disebabkan oleh paralisis nervus simpatikus. Prevalensi sindroma
Horner sekitar 14%-50%.

Komplikasi neurologi pada ekstremitas atas


Gejala neurologi karena ekstensi tumor ke cabang nervus C8 dan T1 terjadi
sekitar 8%-22% kasus, gejala tersebut meliputi kelemahan dan atrofi otot, nyeri
dan paresthesia pada jari 4,5 dan bagian medial lengan. Gejala awal dapat berupa
sensasi abnormal dan nyeri pada daerah dermatom T2 (aksila dan bagian medial
lengan atas) dan hilangnya reflek triceps. Tumor Pancoast dapat menginvasi ke
foramina inter vertebral, yang dapat menyebabkan kompresi korda spinalis dan
paraplegia yang terjadi sekitar 5% kasus.

Gejala lain dari tumor Pancoast adalah pembesaran kelenjar getah bening
supraklavikula dan penurunan berat badan sekitar 25%-35% kasus. Paralisis
sekitar 5%-10% kasus. Gejala batuk, hemoptisis dan sesak nafas di jumpai karena
lokasi tumor di perifer.

Diagnosis
Diagnosis pasti tumor Pancoast ditemukan dengan cara biopsi jarum perkutansus
dengan menggunakan penuntun fluoroskopi, USG, X-Ray atau CT untuk
menentukan lokasi tumor. Pemeriksaan penunjang bronkoskopi dengan sitologi
dan biopsi dapat mendiagnosa sekitar 30%-40% kasus, mengingat loksi tumor
Pancoast di perifer. Sekitar 15% deteksi tumor Pancoast ditemukan dengan
pemeriksaan sitologi sputum.

11
Gambar 1. Pancoast Tumor
Klasifikasi
Tumor paru di bagi dalam 2 kategori besar, yaitu: “non small cell lung cancer”
(NSCLC) yang meliputi ¾ kasus dan “small cell lung cancer” (SCLC) yang
meliputi ¼ kasus tumor paru. “Non small cell lung cancer” terdiri dari bebarapa
tipe patologi, yaitu : “squamous cell”, “adenocarcinoma”, “large cell”.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tumor paru tergantung dari jenis sel (“non-small cell lung
cancer” atau “small cell lung cancer”) stadium tumor. Pada NSCLC stadium
IA/B, IIA/B, IIIA : “operable”, sedangkan stadium IIIB dan IV “inoperable”.
Penderita NSCLC stadium IIIB dengan “performance status” yang masih baik
(Karnofsky >70%) dapat dilakukan kombinasi kemoradioterapi. Penderita dengan
“performance status” baik dan berat badan berkurang < 5% dalam 6 bulan terakhir
respon terhadap kemoterapi.

Prognosis
Prognosis jelek bila pada tumor Pancoast ditemukan sindroma Horner, ekstensi
tumor ke bagian basal leher, korpus vertebra atau ke pembuluh-pembuluh besar
atau ditemukan pembesaran kelenjar getah bening mediastenal. Prognosis lebih
baik bila di temukan “performance status” baik dan <5% berat badan berkurang.
Penderita tumor Pancoast yang di terapi dengan preoperative radio terapi dan
dilakukan reseksi bedah, ketahuan hidup 5 tahun sekitar 20%-35%. Sedangkan

12
penderita yang mendapat radio terapi primer, ketahanan hidup sekitar 0%-29%.
Pada “non-small cell lung cancer” stadium IIIb ketahanan hidup 5 tahun adalah
5%. Prognosis wanita lebih baik dari laki-laki.

3. ANESTESI UNTUK OPERASI TUMOR INTRAKRANIAL

Anestesi untuk bedah saraf memerlukan pengetahuan tentang prinsip dasar dan
neurofisiologi dan pengaruh obat anestesi pada dinamika intrakranial
(neurofarmakologi). Kebanyakan prosedur bedah saraf intrakranial adalah karena
adanya lesi massa, sekitar 80% terletak di supratentorial (Rao, 2005). Prosedur
supra tentorial termasuk operasi untuk tumor, hematom, trauma dan vaskuler.
Walaupun gambaran patofisiologis berbeda untuk setiap lesi yang berbeda, tetapi
pertimbangan anestesinya sama. Tumor otak primer, sebagian besar (60%) adalah
glioma, meningioma dan adenoma hipofise. Glial tumor (40%) berasal dari
astrocyt (astrocytoma dan glioblastoma multiforme) dan oligodendrocyt
(oligodendroglioma). Astrosit anaplastik dan glioblastoma merusak BBB (Tatang,
Wargahadibrata, dan Eri, 1997).

Prosedur bedah untuk supratentorial sering melalui frontal atau pteriontal.


Pendekatan pterional dilakukan melalui lobus temporal dan memerlukan
pemutaran kepala pasien ke posisi yang berlawanan. Pada pendekatan frontal,
termasuk bi-frontal kraniotomi untuk lesi-bilateral atau lesi di garis tengah.
Karena sinus sagitalis berjalan transversal, maka ada risiko perdarahan dan emboli
udara pada pendekatan bi-frontal. Tumor dalam SSP menimbulkan gejala karena
efek penekanan pada struktur saraf sehingga terjadi gejala neurologis spesifik atau
kenaikan ICP yang tidak spesifik, atau adanya kejang-kejang. Kejang dan defisit
neurologis lokal bisa disebabkan karena efek penekanan lokal oleh tumor. Tumor
pada kelenjar hipofise menimbulkan efek hormonal.

Beberapa tumor harus dieksisi, yang lainnya hanya paliatif dengan dekompresi,
pemasangan VP-Shunt atau radioterapi. Edema hebat sekeliling tumor sering
terjadi pada tumor malignan. Meningioma yang besar tetapi jinak sering khas

13
dengan tingginya shunting aliran darah dalam tumor. Dalam jaringan tumor
autoregulasi hilang, juga hal ini terjadi di jaringan sekeliling tumor. Bila ada
penekanan dan efek tekanan yang nyata oleh tumor, dan selanjutnya terjadi
kenaikan ICP bisa terjadi hemiasi tentorial. Karena itu pertimbangan prinsip untuk
anestesi tumor cerebri adalah pengendalian ICP.

Kebanyakan tumor supratentorial bersifat jinak, dan astrositoma yang kurang


agresif dapat diangkat secara lengkap. Kesulitan bisa terjadi dengan beberapa
tumor, misalnya meningioma yang berdekatan dengan struktur penting atau tumor
basis. Kebanyakan malignan glioma berhubungan rapat dengan jaringan otak
normal dan hanya partial debulking yang mungkin dilakukan tanpa menyebabkan
kerusakan neurologis. Jika lesi terdapat pada lobus temporal atau frontal,
pengangkatan tumor yang lengkap dapat dilakukan dengan lobektomi.

Meningioma suatu tantangan bagi anestetist dan dokter bedah saraf karena jinak
dan bisa sembuh, tetapi komplikasi operasi dapat mengerikan. Meningioma bisa
mencapai ukuran besar sebelum menimbulkan gejala klinis serta sangat vaskuler
yang bisa menyebabkan kehilangan darah yang banyak saat dilakukan
pembedahan. Beberapa konveksitas meningioma menekan ke dalam vauet tulang
tengkorak. Anestetist harus mempersiapkan terhadap kemungkinan adanya
perdarahan banyak ketika tulang diangkat. Bahaya ini juga terdapat operasi
ulangan (redo Craniotomy) untuk meningioma recurent. Dalam keadaan-keadaan
ini, juga pada tumor yang berasal dari pembuluh darah harus dipasang monitor
CVP (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).
Tumor yang lebih besar dan vaskuler, teknik hipotensi akan mengurangi
jumlah perdarahan. Kadang-kadang pasien menunjukkan adanya edema otak
setelah tumor diresekst semuanya. Dalam keadaan ini monitor ICP harus dipasang
dan pasien harus diventilasi pasca bedah untuk menjamin bahwa edema otak yang
telah ada tidak diperburuk oleh hipoksia atau hiperkapnia, serta karena adanya
risiko episode apnoe yang tiba-tiba. Adanya ICP monitor akan menyebabkan kita
waspada terhadap adanya hematoma pasca bedah. Pada keadaan ada kenaikan
ICP, tujuan prinsip adalah menghindari hiperkarbia dan hipotensi atau hipertensi.

14
Bila pembengkakan otak terjadi setelah operasi tumor, steroid harus diteruskan
post-operatif. Di beberapa senter memberikan tambahan bolus dexamethason 12-
16 mg perioperatif, diikuti dengan penambahan dosis untuk beberapa hari pertama
pasca bedah. Daerah yang iskemik atau trauma pada tempat operasi seperti halnya
darah dalam ventrikel, akan merupakan predisposisi terjadinya konvulsi, karena
itu berikan anti konvulsi. Jadi sasaran anestesilogist adalah :
a. Memahami tipe, berat penyakitnya dan lokasi tumor
b. Pasen tidak bergerak, relaksasi otak, pengendalian tanda vital
c. Menjamin CPP yang adekuat
d. Cepat bangun sehingga bisa memberikan keadaan untuk pemeriksaan
neurologis
e. Terapi dan cegah hipertensi, batuk dan gangguan nafas yang membahayakan
pada periode paska bedah

1. Evaluasi Pra Bedah


Evaluasi pra bedah untuk operasi supratentorial sama seperti tindakan anestesi
lainnya dengan riwayat medis lengkap yang menekankan terhadap fungsi jantung
dan paru. Pada prosedur bedah saraf; seperti halnya prosedur bedah lain,
kebanyakan morbiditas dan mortalitas anestesi perioperatif adalah akibat disfungsi
paru atau jantung (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).
a. Anamnesis
Pasien bedah saraf membutuhkan pertanyaan khusus tentang penyakit SSP.
Gejala kenaikan ICP harus ditanyakan (sakit kepala, mual, muntah, penurunan
kesadaran, gangguan penglihatan). Adanya kejang dan defisit neurologis lokal
akibat efek penekanan lokal dari tumor. Perdarahan otak atau Cerebro Vascular
Accident sebelumnya dicatat sebagai residu defisit neurologis. Telaahlah
dengan hati-hati hasil operasi intrakranial atau prosedur diagnostik
sebelumnya, dan pertimbangan kemungkinan pneumocephalus residu atau
interaksi anestetik lain.

Telaahlah kembali obat-obatan yang lalu dengan lebih menekankan perhatian


kita pada obat-obat yang mempunyai efek pada periode perioperatif. Terapi

15
obat-obatan pada pasien bedah syaraf dapat menyebabkan penurunan volume
intravaskuler.

Mannitol dan diuretik lain yang digunakan pra bedah untuk mengurangi edema
serebral, dapat menimbulkan hipoyplemia dan gangguan keseimbangan
elektrolit yang bisa menyebabkan terjadinya hipotensi berat dan aritmia pada
saat induksi anestesi. Kortikosteroid, yang juga digunakan untuk menurunkan
edema serebral, akan meningkalkan kadar glukosa darah dengan stimulasi
glukoneogenesis dan menyebabkan penekanan adrenal secara langsung yang
dapat menyebabkan terjadinya hipotensi dan insufisiensi kardiovaskuler
dengan adanya stres bedah. Obat anti hipertensi dapat merubah volume
intravaskuler. Tricyclic anti depresant dan levodopa telah nyata dapat memicu
terjadinya hipertensi intraoperatif dan cardiac disritmia Benzodiazepin,
phenothiazine dan butirophenon dapat berperanan terjadinya hipotensi
perioperatif (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pra bedah ditujukan pada jalan nafas, paru, sistim
kardiovaskuler dan SSP. Pada pasien-pasien dengan penyakit sertaan,
pemeriksaan ditujukan terhadap kemungkinan adanya hipovolemia. Pasien-
pasien bedah saraf sering somnolent dan intake oral yang tidak adekuat yang
dapat menimbulkan keadaan hipovolemia. Juga bisa terjadi peningkatan
diuresis akibat diabetes insipidus, atau pemberian diuretik. Hipovolemia ringan
atau sedang umumnya dapat ditolerir dengan baik, tetapi hipovolemia yang
nyata harus dikoreksi sebelum induksi anestesi.

Pemeriksaan neurologis harus dilakukan, tingkat kesadaran dan setiap defisit


sensoris/motoris harus dicatat. Pemeriksaan neurologis harus diulang di kamar
operasi sesaat sebelum dilakukan induksi. Pemeriksaan tanda-tanda kenaikan
ICP, seperti adanya sakit kepala, mual, muntah, midriasis unilateral, pupil
edema, palsi occulomotor atau abdusen. Bila ICP meningkat lebih jauh,
kesadaran pasien memburuk dan diikuti dengan disfungsi respirasi dan jantung.
Adanya pernafasan Cheyne-Stokes atau bradikardi disertai hipertensi

16
merupakan tanda penekanan batang otak (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri,
1997).
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin, termasuk jumlah sel darah, kimia serum dan
koagulasi harus dilakukan. Hiperventilasi dan diuresis, akan menurunkan kadar
K-serum, jadi pemberian K harus dipertimbangkan. Bila kadar glukosa serum
> 200 mg% diperlukan terapi insulin untuk menurunkan kadar glukosa ke nilai
normal yang berguna untuk proteksi otak dan tekanan osmotik. Osmolariti
serum harus diukur pada pasien dalam terapi ICP. Pasien dengan cedera kepala
sering EKG-nya abnormal, maka pemantauan EKG pra bedah harus dilakukan,
untuk melihat perubahan selama operasi dan anestesia. Pemeriksaan radiologis
pra bedah untuk informasi tentang ukuran tumor atau perdarahan serta
lokasinya, edema serebral, dan mid-line shift. Mid-line shift 0,5 cm pada MRI
atau CT-Scan atau gangguan dari jaringan otak pada sisterna basalis
menunjukkan adanya kenaikan ICP (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).
d. Pengelolaan Obat
Sekali diagnosis dibuat dan direncanakan untuk tindakan pembedahan, tujuan
prinsip pemberian obat adalah untuk mengendalikan ICP dan terapi epilepsi.
Steroid efektif untuk mengurangi edema peritumor dan meningkatkan
kompliance otak pada pasien tumor ganas dan meningioma. Dosis umum
dexamethasone adalah 4 mg 3x sehari bersama-sama dengan hidrogen reseptor
antagonist. Epilepsi diterapi dengan phenitoin 100 mg 3x sehari. Normal range
therapetik adalah 40-100 µMol/l (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).
e. Premedikasi
Sedasi pra bedah merupakan kontra indikasi pada pasien dengan penurunan
kesadaran. Bila premedikasi diperlukan, dapat diberikan benzodiazepin
(diazepam, lorazepam atau midazolam). Piazepam 5-10 mg atau lorazepam 1-2
mg dapat diberikan 1-2 jam pra bedah per oral. Diazepam dan lorazepam
mempunyai waktu paruh yang cukup panjang dan bisa memperlambat bangun
paska bedah, karena itu mungkin lebih baik dengan midazolam i.v., i.m. atau
oral. Narkotik harus dihindari karena meningkatkan risiko muntah dan

17
hipoventilasi, yang keduanya dapat meningkatkan ICP (Tatang,
Wargahadibrata, dan Eri, 1997).

2. Monitoring
Monitoring rutin untuk operasi supratentorial adalah EKG, tekanan darah non-
invasif, arteri line, stetoskop oesophageal, FiO2, pulse oximetri, temperatur, nerve
stimulator, kateter urin. Idealnya EKG monitor di lead II, V5 dan modifikasi V5
ditempelkan pada semua pasien dengan penyakit jantung iskemik. Arteri line
digunakan bukan saja untuk memonitor tekanan darah dari denyut ke denyut
jantung, tetapi juga untuk analisa gas darah serta dapat juga menolong melihat
status volume pasien : (Tekanan Nadi = Tekanan Sistolik - Tekanan Diastolik).
Untuk melihat CPP, tranduser arteri line ditempelkan di level sirkulasi Willisi
setinggi meatus acusticus externa. Indikasi monitor arteri line terlihat pada tabel di
bawah ini. Indikasi pemasangan monitoring tekanan arteri invasif:
a. Operasi yang menyebabkan perubahan tekanan darah yang cepat.
b. Risiko kehilangan darah yang cepat.
c. Hipotensi kendali.
d. Diperlukan ventilasi pasca bedah.
e. Disertai dengan penyakit sertaan lain.

Monitor EtCO2 sangat penting, dapat melihat secara kasar nilai PaCO2 adanya
diskoneksi dan obstruksi jalan nafas. Untuk pasien dengan kemungkinan
kehilangan darah yang banyak atau keadaan kardiopulmonal yang terbatas
dipasang monitor CVP dan dapat dipertimbangkan dipasang PA kateter.
Pergeseran cairan akut akibat diuretik atau mannitol memerlukan monitoring
CVP, sebab urine output tidak dapat dipercaya untuk menditeksi hipovolemia.
Indikasi pemasangan monitor CVP terlihat pada tabel di bawah ini. Indikasi
pemasangan CVP
a. Risiko kehilangan darah yang banyak.
b. Penaksiran status volume.
c. Posisi duduk.
d. Untuk pemberian obat vasoaktif.

18
Monitoring ICP untuk operasi supra tentorial masih kontroversial. Walaupun
beberapa praktisi menasihatkan untuk digunakan secara .rutin, tetapi praktisi yang
lain menunjukkan tidak adanya penelitian yang menyebutkan keuntungan
penggunaan monitor ICP. Tetapi pada pasien dengan risiko peningkatan ICP yang
hebat (ukuran tumor > 3 cm dengan mid-line shift atau edema yang nyata) akan
menguntungkan bila dipasang monitor ICP (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri,
1997).

3. Pengelolaan Anestesi
Sasaran utama selama induksi anestesi adalah mempertahankan level normal dari
ICP sambil mempertahankan CPP yang adekuat. Sasaran ini kebanyakan
dilakukan dengan menurunkan volume otak. Penurunan jumlah volume CSF
sebagai kompensasi pada kenaikan ICP kronis. Drain lumbal dapat dipakai untuk
menurunkan volume CSF, tetapi di kamar operasi penurunan volume darah otak
umumnya dilakukan dengan terapi farmakologi atau ventilasi.

Kejadian emboli udara pada pasien dengan posisi supine, kepala naik, adalah
kurang-lebih 14,6%, karena itu diperlukan monitoring end tidal CO2 (Tatang,
Wargahadibrata, dan Eri, 1997).

a. Induksi
Walaupun induksi anestesi untuk kraniotomi dapat dilakukan dengan berbagai
macam obat, tetapi yang paling baik adalah dengan barbiturat. Pentotal akan
menurunkan CMRO2, CBF dan ICP. Propofol juga menurunkan CMRO2, CBF
dan ICP. Narkotik juga menurunkan CMRO2, tetapi lebih kecil daripada
penurunan CBF, sehingga dalam teori disebutkan dapat membawa ke arah
iskemia, walaupun demikian efek ini tidak relevan secara klinis. Narkotik
memberikan pengendalian tekanan darah dan denyut jantung yang baik, sehingga
selalu dipakai dalam anestesi.
Ketamin menyebabkan peningkatan denyut jantung,tekanan darah dan ICP serta
menimbulkan gambaran kejang pada EEG, maka ketamin tidak dipakai pada

19
neuroanestesi. Pengaruh obat-obat anestesi terhadap CBF dan ICP terlihat pada
tabel di bawah ini.
ICP-CBF
Decreasing No Change Increasing

Induction *Thiopental *Midazolam *Ketamine


Agents *Etomidate *Droperidol
Muscle *Vecuronium
Relaxants *Atracurium
*Pancuronium
*Metocurium
*D-Tubocurarine
*Succinylcholine
Inhalation *N2O
Agents *Isoflurance
*Enflurance
*Halothane
Intravenous *Lidocaine
Agents *Benzodiazepines
*Narcotics
Combination *N2O/Narcotic / Diazepam *Thiopental/Ketamine
Therapy *Thiopental/Halothane
*Halothane/N2O
Anti- *Labetolol *Nitroglicerine
Hypertension *Nitropruside
*β Blockers
*Hydralazine
*Trimethaphan
Channel (Initial Data) *Nicardipine
blockers *Verapamil
*Nifedipine
Gambar 2. the effects of various drugs and drug combinations on ICP and CBF

Induksi yang lancar lebih penting dari kombinasi obat yang digunakan. Pasien di
preoksigenasi dan hiperventilasi olehnya sendiri. Pemberian Pentotal 3-4 mg/kg,
propofol (2 mg/kg) atau etomidate 0,3 mg/kg i.v. harus diikuti dengan ventilasi
melalui sungkup muka untuk menjamin patensi jalan nafas dan hiperventilasi.
Neuromuskular blockade dapat dilakukan dengan vecuronium (0,1-0,15 mg/kg)
atau rocuronium (06-0,8mg/kg) i.v. lalu dihiperventilasi melalui sungkup muka
dengan N2O/O2 atau O2-Isofluran konsentrasi terendah (0,5%). Lidokain i.v.
(1,5mg/kg) dan ½ dosis obat anestesi i.v. untuk induksi diberikan sebelum
dilakukan intubasi.

20
Dosis obat induksi diatur untuk pasien dengan ketidakstabilan kardiovaskuler.
Kombinasi narkotik (fentanyl 5 µg/kg atau sufentanil 0,5-1 µg/kg) dan dosis kecil
pentotal dapat mengendalikan ICP serta kardiovaskuler tetap stabil. Ventilasi
adekuat harus dilakukan untuk menghindari hipoventilasi dan hiperkarbia akibat
narkotik yang akan menyebabkan kenaikan CBF (Tatang, Wargahadibrata, dan
Eri, 1997).

b. Pemeliharaan Anestesi
Pemeliharaan anestesi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Teknik-teknik ini
umumnya termasuk dalam 3 katagori : obat anestesi inhalasi, teknik anestesi
intravena dan teknik balans. Gambaran paling penting dalam pemberian anestesi
adalah bukan teknik mana yang digunakan, tetapi bagaimana tepatnya teknik
tersebut dilakukan.

Banyak penulis yang memikirkan bahwa anestesi dengan dasar narkotik dengan
N2O atau dosis rendah Isofluran (< 1%) dalam oksigen, cukup optimal. Tetapi
baru-baru ini teknik tersebut dihubungkan dengan meningkatnya kejadian mual-
muntah paska bedah bila dibandingkan dengan teknik anestesi inhalasi atau
anestesi berbasiskan propofol. Bila anestesi berbasiskan narkotik, maka dapat
digunakan fentanyl, alfentanil atau sufentanil. Sufentanil mungkin mempengaruhi
ICP dan CPP (tak menguntungkan/tak baik). Fentanyl 5µg/kg dikombinasikan
dengan Isofluran < 1% dalam oksigen mungkin cukup baik. Alternatif lain,
sufentanil 0,5-lug/kg bolus, diikuti intermitent dengan dosis tidak lebih dari
0,5µg/kg/jam, atau infus 0,25-0,5 µg/kg/jam kombinasi dengan Isofluran <1%
dalam O2. Sufentanil kontinyu dihentikan ±l jam sebelum akhir operasi.

Obat anestesi inhalasi lebih disukai Isofluran dengan sedikit atau tanpa suplement
narkotik. Hiperventilasi dengan kombinasi Isofluran < 1% umumnya
menghasilkan intracranial dinamic yang lebih stabil. Disebabkan karena operasi
intrakranial berlangsung lama, bila pada akhir operasi ada kenaikan tekanan darah
dan frekuensi nadi, lebih baik diatasi dengan labetolol atau esmolol, bukan dengan

21
menaikkan dengan menaikkan konsenrrasi obat anestesi inhalasi, supaya pasien
lebih cepat bangun.

N2O bisa digunakan kecuali pada pasien dengan pneumocephalus (trauma post
craniotomy) atau emboli udara. Penggunaan N2O akan mengurangi dosis narkotik
dan Isofluran serta bangun dari anestesi dengan tenang.

TIVA dapat dilakukan dengan propofol dan fentanil. Setelah induksi, propofol
dimulai dengan 200µg/kg/menit dan kemudian diturunkan disertai dengan infus,
fentanyl 2µg/kg/jam. Teknik ini akan memberikan anestesi yang stabil dan pasien
cepat bangun, serta kejadian mual-muntahnya rendah. Setiap teknik anestesi ini
menyebabkan keadaan anestesi yang baik, tetapi seni memberikan anestesi,
pengalaman-pengalaman dan pengetahuan anestetist akan menolong supaya tidak
terjadi pemberian obat yang berlebihan atau kurang. Bila pasien sulit bangun
paska bedah, salah satu kemungkinannya adalah ekses obat anestesi.
Kemungkinan yang lain adalah kerusakan jaringan otak (operasi, perdarahan,
iskemia), gangguan elektrolit, hipotermi (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).

Hiperventilasi merupakan tambahan tindakan yang penting. Hipokapni akan


menurunkan ICP sebelum dura dibuka, melawan vasodilatasi akibat obat anestesi
inhalasi dan menyebabkan otak menjadi rileks selama operasi. Optimal
hiperventilasi adalah untuk mencapai PaCO2 25-30mmHg. Jika peningkatan ICP
masih merupakan masalah, mungkin menguntungkan untuk menurunkan PaCO2
menjadi 20-25mmHg. PaCO2 harus dikorelasikan dengan EtCO2. Normalnya
PaCO2 4-8mmHg lebih tinggi dari EtCO2. Penurunan lebih besar dari PaCO2 tidak
menunjukkan adanya perubahan yang nyata pada ICP dan hipokapni yang ekstrim
dapat memberi pengaruh yang buruk pada metabolisme seluler, menyebabkan
pergeseran ke kiri kurve disosiasi oxy-Hb, atau terjadi vasokonstriksi maksimal
(Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).

Pelemas otot mencegah pasien bergerak pada saat-saat yang kritis. Juga bisa
menurunkan ICP dengan rileksnya dinding dada, yang akan menurunkan tekanan

22
intratorakal dan terjadi drainage vena serebral yang baik. Pemilihan obat harus
berdasar pada lamanya operasi dan pengaruh obat pada haemodinamik serta ICP.
Untuk kebanyakan operasi supra tentorial dipilih norcuron / pavulon.

Cairan yang diberikan lebih disukai NaCl 0,9%. Pemberian cairan dibatasi selama
induksi anestesi dan dipertahankan tetap sedikit selama hemodinamik stabil dan
produksi urine baik. Bila dibutuhkan resusitasi volume dan nilai Ht tidak
menunjukkan perlunya darah, maka dapat diberikan koloid sebanyak 500-1000cc
(Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).

Meningioma, karakteristik dengan adanya vaskularisasi yang banyak. Sering ada


hubungan yang berlebihan antara sirkulasi karotis eksternal dan internal, maka
tulang tengkorak sangat vaskuler. Bisa terjadi masalah pembekuan akibat dari tipe
tumornya, atau akibat transfusi darah masif dan beberapa kasus DIC telah
dilaporkan terjadi pada pasien dengan tumor serebral primer, juga sering terjadi
edema serebri paska bedah. Cara-cara mengurangi kehilangan darah adalah :
a. Teknik hipotensi kendali
b. Embolisasi selektif pra bedah.

Saat terjadinya kehilangan darah adalah pada saat meagangkat tulang dan
mengangkat tumor. Bila ada hubungan antara pembuluh darah tumor dengan
pembuluh darah ekstrakranial, perdarahan dari tulang tengkorak biasanya terjadi
pada saat membor tulang kepala, tetapi umumnya dapat diatasi dengan bone wax.
Perdarahan selanjutnya terjadi pada saat tulang diangkat dengan kraniotom dan
tidak dapat dikendalikan sampai seluruh tulang tersebut selesai diangkat, sehingga
bila terjadi kesulitan pengangkatan tulang kepala, dapat terjadi perdarahan yang
banyak (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).

Teknik hipotensi dilakukan sebelum mulai mengangkat tulang lebih baik dengan
trimetaphan daripada dengan nitroprusside. Pada awalnya tekanan sistolik
dipertahankan antara 70-80 mmHg pada pasien yang normotensi dan pada level
yang lebih tinggi pada pasien yang hipertensi. Bila tulang telah diangkat, tekanan

23
darah bisa diturunkan lagi (tetapi harus diingat dalam menurunkan tekanan darah
ini, harus diperhatikan CPP adekuat).

Darah dan cairan harus diberikan untuk mempertahankan kestabilan sirkulasi


tanpa ada edema serebral paska bedah. Disebabkan bahaya dari gangguan
pembekuan, maka FFP dan thrombocyt harus diberikan setelah jumlah perdarahan
mencapai 2 liter bila perdarahan terns berlangsung. Pemberian ini lebih dini
daripada yang biasanya karena untuk mencegah terjadinya DIC, sebab hal ini
secara nyata tidak mungkin untuk mengobati keadaan ini pada pasien bedah
syaraf karena kebutuhan heparin dan penggantian cairan secara masif.

c. Akhir Anestesi
Bangun dari anestesi setelah operasi supra tentorial harus lancar dan gentle.
Keputusan apakah pasien harus bangun dan di ekstubasi tergantung dari derajat
kesadaran pra bedah, lokasi operasi, luasnya edema serebri, jumlah obat yang
diberikan.

Pasien yang pra bedahnya dalam keadaan koma atau tumor besar di sentral, tidak
usah segera diekstubasi. Kebanyakan pasien tetap diintubasi dan bangun pelan-
pelan di ICU setelah terus dimonitor dan diventilasi. Ada dua situasi klinis dimana
pasien yang sebelumnya koma dicoba untuk bangun sesegera mungkin paska
bedah :
a. Drainage dari epidural hematom atau subdural hematom.
b. V-P shunt dari hidrocephalus akut

Kebanyakan pasien operasi supra tentorial diekstubasi di kamar operasi. Labetolol


atau esmolol dan lidokain 1,5mg/kg i.v. dapat digunakan untuk terapi hipertensi,
takikardia dan stimulasi simpatis yang dihubungkan pada periode sesaat sebelum
ekstubasi. Adanya hipertensi pada periode ini harus diterapi karena bisa terjadi
perdarahan otak pada daerah luka operasi (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri,
1997).

24
BAB III
LAPORAN KASUS
SPACE OCCUPYING LESION

Nama : Tn. Junaidi Manan


Umur : 32 tahun
Berat Badan : 55 kg
Register / RM : 1107313/346373
Diagnosis : SOL + Pancoast Tumor
MRS : 27-12-2013

Anamnesa
 Keluhan Utama : Sakit kepala
 Keluhan Tambahan : Batuk berdarah
 Riwayat Perjalanan Penyakit :
Pasien datang dengan keluhan nyeri kepala hilang timbul yang dirasakan di
seluruh bagian kepala sejak 2 bulan SMRS. Nyeri dapat muncul tiba-tiba, saat
istirahat ataupun saat beraktivitas, nyeri tidak didahului faktor pencetus.
Keluhan ini terasa seperti ditimpa beban berat, dan leher juga terasa berat,
dan dirasakan sekitar 1-2 jam. Pasien datang berobat ke RSUD Kota Bumi
dan di diagnosis dengan radang selaput otak, setelah di rawat selama 6 hari
pasien pulang karena tidak merasa ada perbaikan sehingga pasien datang ke
RSAM. Sebelum keluhan ini dirasakan, pasien juga mengeluh batuk yang
disertai darah sejak 4 bulan yang lalu, keluhan ini disertai nyeri pada dada
sebelah kanan. Nyeri dirasakan menjalar sampai ke perut sebelah kiri atas.
Pasien juga merasa nyeri setiap kali pasien menarik napas. pasien berobat ke
dokter dan diberi obat yang harus di tuntaskan selama 6 bulan. Saat konsul
persiapan operasi di RSAM, bagian Penyakit Paru menemukan Tumor Paru
Kanan (Pancoast Tumor) namun masih bertoleransi baik dari bagian Penyakit
Dalam.
 Riwayat Penyakit Dahulu:
Batuk disertai darah sejak 4 bulan yang lalu.

25
 Riwayat sosial :
Memiliki kebiasaan merokok 1 bungkus perhari
Tidak memiliki kebiasaan mengkonsumsi alcohol

 Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada keluarga yang mengeluhkan hal yang sama

 Status generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis, GCS 15
Vital sign : TD : 120/80

Suhu : 36,5° C

Nadi : 84 Nafas : 22 x/menit


Berat badan : 68 kg

Tanggal 13 Januari 2014


Airway : Bebas
Breathing : Spontan ; Respiratory rate : 28 x/menit
Circulation : TD : 120/80 mm Hg ; N : 88 x/menit, reguler, isi cukup
Disability : No Alert
Diagnosis : SOL + Pancoast Tumor
Planning : Pasang infus RL gtt XX/menit
Lab lengkap
Rencana pemasangan VP Shunt dengan General Anestesi
Konsul anestesi

Pre Op anestesi
B1 : Airway bebas, Nafas spontan 28-30 x/menit, retraksi-/-, Terdapat
ketinggalan gerak, vocal fremitus kiri lebih teraba daripada yang kanan,
SN ves↓/ves +, Ronkhi kasar +/+, Wheezing -/-.
B2 : TD : 120/80 mmHg , MAP : 93, Nadi : 88 x/menit
B3 : GCS : E4 V5 M6

26
B4 : Terpasang kateter 16 fr, BAK spontan (+), urin warna kuning (+)
B5 : Bising Usus +
B6 : Edema kaki -/-

Laboratorium
Tanggal 27 Desember 2013
 Hb : 17,2 g/dl
 Leukosit : 10.600 /ul
 Trombosit : 395.000 /ul
 BT : 3’
 CT : 11’

 GDS : 114 mg/dL


 SGOT : 22 U/l
 SGPT : 36 U/l
 Ureum : 32 mg/dL
 Kreatinin : 0,8 mg/dL

 Natrium : 134 mmol/L ( N: 135-150)


 Kalium : 4,1 mmol/L (N: 3,5-5,5)
 Calsium : 9,3 mg/dl/ml (N: 8,8-10,5)
 Clorida : 97 mmol/L (N: 98-110)

Tanggal 10 Januari 2014


 Hb : 15,9 g/dl
 Leukosit : 9.500 /ul
 Hematocrit : 46 %
 Trombosit : 294.000 /ul
 BT : 3’
 CT : 12’

27
 GDS : 106 mg/dL
 SGOT : 31 U/l
 SGPT : 61 U/l
 Ureum : 17 mg/dL
 Kreatinin : oH

 Natrium : 140 mg/dL


 Kalium : 3,9 mg/dL
 Kalsium : 10 mg/dL
 Klorida : 102 mg/dl

CT-Scan

28
Konsul Penyakit Dalam :
Mengenai pasien saat ini, asma (-), alergi (-), DM (-), dengan riwayat minum obat
paru sudah 4 bulan, dari rontgen thorax ditemukan massa pada paru kanan atas.
Kesan : Toleransi di bagian Penyakit Dalam baik
Saran : Konsul Penyakit Paru

Konsul Penyakit Paru :


Kesan : Kanker paru kanan (Pancoast Tumor)
Terapi : Tramadol 2x1, Simtomatis.

Perjalanan Anestesi :
Dilakukan operasi VP-Shunt dengan menggunakan general anestetion semi closed
intubation.

Keadaaan Pre-operasi
Pasien puasa selama 6 jam sebelum operasi. Keadaan umum dan vital sign baik,
pasien kooperatif. Sebelumnya pasien telah dijelaskan rencana tindakan yang akan
dilakukan dan telah menandatangani inform consent.

Jenis Anestesi:
General Anestesi dengan teknik intubation, respirasi terkontrol dengan
endotrakeal tube no. 7.

Premedikasi yang diberikan


Premedikasi yang diberikan berupa Midazolam 5 mg diberikan secara intravena
sebelum induksi anestesi.

Anestesi yang diberikan


Induksi anestesi
Bolus Fentanyl 50 mcg dilanjutkan dengan bolus propofol 100 mg, selanjutnya
cek respon reflek bulu mata pasien hingga dapat hasil respon (-),diikuti dengan
pelumpuh otot tracrium 15 mg. Pasien diberi O2 murni selama 3 menit sebelum

29
dilakukan intubasi. Setelah terjadi relaksasi, dilakukan pemasangan pipa
endotrakeal (No. 7)
Maintenance
Status anestesi dipertahankan dengan pemberian kombinasi O2 3 liter / menit, N2O
3 liter / menit, dan Sevofluran 3 vol%. Selama tindakan anestesi berlangsung,
tekanan darah dan denyut nadi diukur setiap menit menggunakan monitor.
Tekanan darah sistole berkisar antara 120-140 mmHg, sedangkan tekanan darah
diastole berkisar antara 70-90 mmHg, dan denyut nadi berkisar antara 80-100 kali
/ menit. Saat operasi berlangsung diberikan infus RL III kolf, infus NaCl setengah
kolf dan transfusi darah I kolf.
Reverse
Pancing pasien bernafas spontan dengan mengembalikan pola pernapasan dari IPPV
ke manual spontan, lalu menutup aliran sevoflurane dan N2O dan meninggikan O2
sampai 8 L/menit.
Ekstubasi
- Pastikan pasien bernafas spontan dan teratur.

- Melakukan suction slem pada airway pasien

- Pastikan tanda vital stabil

- Mengempiskan balon, cabut selang ETT. Segara pasang face mask dan pastikan
airway lancar dengan triple maneuver. Pasien dipndahkan ke ruang RR.

Recovery
Bolus ketorolac 30 mg
Instruksi ruang pemulihan (Recovery Room)
 Oksigenasi dengan O2 3 L/menit
 Awasi nadi, tekanan darah, frekuensi nafas, dan saturasi oksigen.
 Pasien di pindahkan dari ruang RR ke ruang rawat inap setelah memiliki nilai
aldrette > 8

30
PEMBAHASAN

Apakah diagnosis pada kasus ini sudah tepat?

Tumor otak dalam pengertian umum berarti benjolan, dalam istilah radiologisnya
disebut lesi desak ruang/ Space Occupying Lesion (SOL). Ada dua macam bentuk
mola yaitu mola parsial dan komplit. Proses neoplasma di susunan saraf
mencakup dua tipe, yaitu yang pertama adalah tumor primer, yaitu tumor yang
berasal dari jaringan otak sendiri yang cenderung berkembang ditempat-tempat
tertentu. Seperti ependimoma yang berlokasi di dekat dinding ventrikel atau
kanalis sentralis medulla spinalis, glioblastoma multiforme kebanyakan
ditemukan dilobus parietal, oligodendroma di lobus frontalis dan spongioblastoma
di korpus kalosum atau pons. Kedua adalah tumor sekunder, yaitu tumor yang
berasal dari metastasis karsinoma yang berasal dari bagian tubuh lain. Yang
paling sering ditemukan adalah metastasis karsinoma bronkus dan prostat pada
pria serta karsinoma mammae pada wanita. Berdasarkan hasil anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien ini menunjukkan gejala dan
tanda dari Occupying Lesion (SOL). Pancoast tumor juga didapatkan dari
pemeriksaan Rontgen yang menandakan massa pada paru dextra pada bagian
apex.

Diagnosis pada pasien ini sudah tepat.

Apakah tatalaksana anestesi pada kasus ini sudah tepat?

Anastesi pada pasien ini menggunakan general anastesi dengan posisi supine.
General anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan nyeri secara
sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Anestesi dapat
dinilai dengan tiga komponen dasar, disebut trias anestesi yang meliputi
komponen hipnotik, analgesia, dan relaksasi otot. Tindakan hipnotik tidak dipilih
obat diazepam dan lorazepam dikarenakan mempunyai waktu paruh yang cukup
panjang dan bisa memperlambat bangun paska bedah sehingga mungkin lebih

31
baik dengan midazolam i.v., i.m. atau oral. Narkotik harus dihindari karena
meningkatkan risiko muntah dan hipoventilasi, yang keduanya dapat
meningkatkan ICP. Tindakan analgesia untuk induksi anestesia digunakan
propofol dikarenakan propofol dapat menurunkan CMRO2, CBF dan ICP.
Narkotik juga menurunkan CMRO2, tetapi lebih kecil daripada penurunan CBF,
sehingga dalam teori disebutkan dapat membawa ke arah iskemia, walaupun
demikian efek ini tidak relevan secara klinis. Narkotik memberikan pengendalian
tekanan darah dan denyut jantung yang baik, sehingga selalu dipakai dalam
anestesi. Ketamin menyebabkan peningkatan denyut jantung,tekanan darah dan
ICP serta menimbulkan gambaran kejang pada EEG, maka ketamin tidak dipakai
pada neuroanestesi.

Sehingga terapi tatalaksana anestesi untuk operasi pada pasien ini sudah tepat.

Post operasi, penderita dilanjutkan perawatannya diruangan dengan pemberian


analgesik dan antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi. Diruangan penderita
juga dilakukan pemasangan kateter menetap selama 24 jam.

32
DAFTAR PUSTAKA

Wagshul ME, Eide PK, Madsen JR. The pulsating brain: A review of
experimental and clinical studies of intracranial pulsatility. Fluids and
Barriers of the CNS. 2011;8(5):1-23.
Iordache1 A, Munteanu R, Cosman M, Turliuc DM. Intracranial pressure
monitoring in neurosurgery department in Iasi – latest developments.
Romanian Neurosurgery; 2012.

Raboel PH, Bartek J Jr., Andresen M, Bellander BM, Romner B. Review;


Intracranial pressure monitoring: Invasive versus non-invasive methods.
Denmark: Department of Neurosurgery Copenhagen University Hospital
Rigshospitalet; 2011

Raboel PH, Bartek J Jr., Andresen M, Bellander BM, Romner B. Review;


Intracranial pressure monitoring: Invasive versus non-invasive methods.
Denmark: Department of Neurosurgery Copenhagen University Hospital
Rigshospitalet; 2011.

Hergenroeder GW, Moore AN, McCoy JP Jr., Samsel L, Ward NH, Clifton GL,
Dash PK. Serum IL-6: A candidate biomarker for intracranial pressure
elevation following isolated traumatic brain injury. Journal of
Neuroinflammation. 2010;7:19.

Czarnik, T, Gawda R, Kolodziej W, Latka D, Weron KS, Weron R. Associations


between intracranial pressure, intraocular pressure and mean arterial
pressure in patients with traumatic and non-traumatic brain injuries.
Injury, Int. J. Care Injured. 2009;40: 33–39.

33
Fan JY, Kirkness C, Vicini P, Burr R, Mitchell P. An approach to determining
intracranial pressure variability capable of predicting decreased
intracranial adaptive capacity in patient with traumatic brain injury. Biol
Res Nurs. 2010 April;11(4):317–324.

Servadei F. Clinical value of decompressive craniectomy. N Engl J Med. 2011


April 21;364(16):1558-1559. Patro A, Mohanty S. Pathophysiology and
treatment of traumatic brain edema.Indian Journal of Neurotrauma.
2009;6(1):11-16.
Ropper AH, Brown RH. Intracranial Neoplasms and Paraneoplastic Disorders in
Adams and Victor’s Principles of Neurology. 8th edition. USA: Mc Graw
Hill, 2005. 546-91.
Kleinberg LR.Brain Metastasis A multidisiplinary Approach. New York: Demos
Medical.
Wilkinson I, Lennox G. Brain tumor in Essential neurology. 4th edition. USA:
Blackwell Publishing, 2005. 40-54.

34

Anda mungkin juga menyukai