Anda di halaman 1dari 40

QS. Ali Imran (Keluarga ‘Imran) – surah 3 ayat 192 [QS.

3:192]
‫ظ‬
‫نرببَنناا اانبَ ن‬
‫ک نمنن تتنداخال البَنانر فنقنند اننخنزنیتنہہ ؕ نو نما اللظظلاامنینن امنن اننن ن‬
‫صارر‬

Rabbanaa innaka man tudkhilinnaara faqad akhzaitahu wamaa li-zhzhaalimiina min anshaarin;

Ya Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah
Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun.

―QS. 3:192

Tafsir surah Ali Imran (3) ayat 192

Tafsir Kementrian Agama RI

Tafsir QS. Ali Imran (3) : 192. Oleh Kementrian Agama RI

Ya Allah Ya Tuhan kami, kami mohon dengan penuh khusyuk dan rendah diri, agar kami ini benar-benar
dijauhkan dari api neraka, api yang akan membakar hangus orang-orang yang angkuh dan sombang di
dunia ini, yang tidak mau menerima yang hak dan benar yang datangnya dan Khalik pencipta seru
sekalian alam.

Kami tahu dengan pasti, bahwa orang-orang yang Engkau masukkan ke dalam neraka, adalah orang-
orang yang sungguh-sungguh telah Engkau hinakan karena kelaliman dan kekafiran yang telah mereka
lakukan di dunia ini.

Mereka terus-menerus merasakan siksa neraka itu, karena tidaklah ada bagi orang-rang yang zalim dan
kafir itu seorang penolongpun, yang dapat mengeluarkan mereka dari kepedihan siksa yang dialaminya.

Tafsir al-Misbah

Oleh Muhammad Quraish Shihab:

Wahai Zat yang menciptakan, mengendalikan segala urusan dan memelihara kami.

Sesungguhnya orang yang berhak atas api neraka dan telah Engkau masukkan ke dalamnya, sungguh ia
telah Engkau hinakan.

Tafsir al-Jalalain

Oleh Jalaluddin al-Mahalli & Jalaluddin as-Suyuthi:

(Wahai Tuhan kami! Sesungguhnya barang siapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka) untuk hidup
kekal di sana (maka berarti Engkau telah menghinakannya dan tiadalah bagi orang-orang yang aniaya)
maksudnya orang-orang yang kafir, di sini ditempatkan zhahir pada tempat mudhmar untuk
mengingatkan dikhususkannya kehinaan itu bagi mereka (dari) merupakan tambahan (seorang penolong
pun) yang akan melindungi mereka dari siksa Allah subhanahu wa ta’ala

Tafsir al-Muyassar

Oleh tim Mujamma’ Raja Fahd arahan Syaikh al-Allamah Dr. Shalih bin Muhammad Alu asy-Syaikh:

Wahai Tuhan kami, selamatkanlah kami dari api neraka, karena siapa yang Engkau ya Allah masukkan ke
dalam api neraka karena dosa-dosanya, maka Engkau mempermalukannya dan menghinakannya.

Dan orang-orang yang berbuat dosa lagi zhalim terhadap diri mereka sendiri tidak memiliki seorang
penolong yang bisa menolak siksa Allah darinya pada Hari Kiamat.

Tafsir Ibnu Katsir

Oleh Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir Al-Bashri Ad-Dimasyqi:

Mereka mengatakan:

Ya Tuhan kami, sesungguhnya barang siapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah
Engkau hinakan ia.

Telah Engkau hinakan dan Engkau tampakkan kehinaannya di mata semua makhluk yang hadir di hari
perhimpunan (hari kiamat).

…dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolong pun.

Kelak di hari kiamat, tiada seorang pun yang dapat melindungi mereka dari azab-Mu dan mereka tidak
dapat menyelamatkan dirinya dari apa yang Engkau kehendaki terhadap mereka.

QS. Ar Rum (Bangsa Romawi) – surah 30 ayat 30 [QS. 30:30]

‫س نل یننعلنتمنونن‬ ‫ک الددنیتن انلقنیدتم ٭‬


‫٭ نو ظلاکبَن اننکثننر البَنا ا‬ ‫ق ظظ‬
‫اا ؕ ظذلا ن‬ ‫ن‬
‫س نعلننینہا ؕ نل تننبادنینل لانخل ا‬ ‫ت ظظ‬
‫اا البَتانی فن ن‬
‫طنر البَنا ن‬ ‫ک اللددنیان نحنانیففا ؕ فانطنر ن‬
‫فنا نقا نم نونجہن ن‬
Fa-aqim wajhaka li-ddiini haniifan fithratal-lahillatii fatharannaasa ‘alaihaa laa tabdiila likhalqillahi
dzalikaddiinul qai-yimu walakinna aktsarannaasi laa ya’lamuun(a);

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu.

Tidak ada peubahan pada fitrah Allah.

(Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,

―QS. 30:30

Topik ▪ Iman ▪ Keutamaan Iman ▪ Keingkaran dan kedurhakaan orang kafir

30:30, 30 30, 30-30, Ar Rum 30, ArRum 30, Ar-Rum 30

Tafsir surah Ar Rum (30) ayat 30

Tafsir Kementrian Agama RI

Tafsir QS. Ar Rum (30) : 30. Oleh Kementrian Agama RI

Ayat ini menyuruh Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬meneruskan tugasnya dalam memberikan dakwah, dengan
membiarkan kaum musyrikin yang keras kepala itu dalam kesesatannya.

Dalam kalimat ini, maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; fitrah Allah.

Tuhan menyuruh agar Nabi ‫ ﷺ‬mengikuti agama yang lurus yaitu agama Islam, dan mengikuti fitrah Allah.

Ada yang berpendapat bahwa kalimat itu berarti bahwa Allah memerintahkan agar kaum Muslimin
mengikuti agama Allah yang telah di jadikan-Nya bagi manusia.

Di sini “fitrah” dinamakan “agama” karena manusia dijadikan untuk melaksanakan agama itu.

Hal ini dikuatkan oleh firman Allah dalam surat yang lain:

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah Ku.

(Q.S. Adz-Dzariyat [51]: 56)

Menghadapkan muka artinya meluruskan tujuan dengan segala kesungguhan tanpa menoleh kepada
yang lain.
Dan “muka” dikhususkan menyebutkan di sini, karena muka itu tempat berkumpulnya semua
pancaindera kecuali alat perasa.

Dan muka itu adalah bagian tubuh yang paling terhormat.

Sehubungan dengan kata fitrah yang tersebut dalam ayat ini ada sebuah hadis sahih dari Abu Hurairah
yang berbunyi:

Tidak ada seorang anakpun kecuali ia dilahirkan menurut fitrah.

Kedua orang ibu bapaknyalah yang akan meyahudikan, menasranikan dan memajusikannya,
sebagaimana binatang melahirkan binatang dalam keadaan sempurna.

Adakah kamu merasa kekurangan padanya”.

Kemudian Abu Hurairah berkata: “Bacalah ayat ini yang artinya: “Fitrah Allah di mana manusia telah
diciptakan atasnya.

Tak ada perubahan pada fitrah Allah itu”.

Dalam riwayat lain, “sehingga kamu merusakkannya (binatang itu)”.

Para sahabat bertanya: “Hai Rasulullah, apakah engkau tahu keadaan orang yang meninggal di waktu
kecil?

Rasul menjawab: “Allah lebih tahu dengan apa yang mereka perbuat”.

(H.R. Bukhari dan Muslim)

Para ulama berbeda pendapat mengenai arti fitrah yang tersebut dalam kitab suci Alquran dan hadis
Nabi ‫ﷺ‬.

Mereka ada yang berpendapat bahwa fitrah itu artinya “Islam”.

Hal ini dikatakan oleh Abu Hurairah dan Ibnu Syihab dan lain-lain.

Mereka mengatakan bahwa pendapat itu terkenal di kalangan ulama salaf yang berpegang kepada
takwil.

Alasan mereka adalah ayat 30 tersebut di atas dan hadis Abu Hurairah yang baru saja disalinkan di atas.

Mereka juga berhujah dengan hadis Iyad bin Himar Al Mujassyi’i bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda kepada
manusia pada suatu hari:
Apakah kamu suka aku menceritakan kepadamu apa yang telah diceritakan Allah kepadaku dalam Kitab-
Nya.

Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam dan anak cucunya cenderung kepada kebenaran dan patuh
kepada Allah.

Allah memberi mereka harta yang halal tidak yang haram.

Lalu mereka menjadikan harta yang diberikan kepada mereka itu menjadi halal dan haram.

(H.R. Iyad bin Himar)

Sebagian ulama menafsirkan hadis ini bahwa anak kecil itu diciptakan tidak berdosa dan selamat dan
kekafiran sesuai dengan janji yang telah ditetapkan Allah bagi anak cucu Adam di kala mereka
dikeluarkan dari tulang sulbinya.

Mereka apabila meninggal dunia masuk surga baik anak-anak kaum Muslimin maupun anak-anak kaum
kafir.

Sebagian ahli fikih dan ulama yang berpandangan luas mengartikan “fitrah” dengan “kejadian” yang
dengannya Allah menjadikan anak mengetahui Tuhannya.

Seakan-akan dia berkata: “Tiap-tiap anak dilahirkan atas kejadiannya”.

Dengan kejadian itu Si anak akan mengetahui Tuhannya apabila dia telah berakal dan berpengetahuan.

Kejadian di sini berbeda dengan kejadian binatang yang tak sampai dengan kejadian itu kepada
pengetahuan tentang Tuhannya.

Mereka berhujah bahwa “fitrah” itu berarti kejadian dan “fatir” berarti “yang menjadikan” dengan
firman Allah:

Katakanlah: “Ya Allah, Pencipta langit dan bumi”.

(Q.S. Az-Zumar [39]: 46)

Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah menciptakanku.


(Q.S. Yasin [36]: 22)

Dan firman Allah lagi:

Ibrahim berkata: “Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya.

(Q.S. Al-Anbiyaa [21]: 56)

Dari ayat-ayat tersebut di atas mereka mengambil kesimpulan bahwa “fitrah” berarti kejadian dan “fatir”
berarti yang menjadikan.

Mereka tak setuju bahwa anak itu dijadikan (difitrahkan) atas kekafiran atau iman atau berpengetahuan
atau durhaka.

Mereka berpendapat bahwa anak itu umumnya selamat, baik dari segi kehidupan dan kejadiannya,
tabiatnya, maupun bentuk tubuhnya.

Baginya tidak ada iman, tak ada kafir, tak ada durhaka dan tak ada juga pengetahuan.

Mereka berkeyakinan bahwa kafir dan iman itu datang setelah anak itu berakal.

Mereka juga berhujah dengan hadis Nabi dari Abu Hurairah tersebut di atas.

Binatang itu melahirkan binatang dalam keadaan utuh, apakah mereka merasa pada kejadian itu
kekurangan?.

Dalam hadis ini hati Bani Adam diumpamakan dengan binatang, sebab dia dilahirkan dalam kejadian
yang sempurna, tak ada kekurangan, sesudah itu telinganya terputus, begitu pula hidungnya.

Lalu dikatakan ini adalah unta yang dirusak hidungnya dan ini adalah unta yang digunakan untuk nazar
dan sebagainya.

Begitu pula keadaan hati anak-anak waktu dilahirkan.

Mereka tidak kafir, tidak juga iman, tidak berpengetahuan dan tidak durhaka, tak ubahnya seperti
binatang ternak.
Tatkala mereka sampai umur setan memperdayakan mereka, maka kebanyakan mereka mengafirkan
Tuhan, dan sedikit yang tidak berdosa.

Mereka berpendapat, andaikata anak-anak itu difitrahkan sebagai kafir dan beriman pada permulaannya,
tentu mereka tak akan berpindah selama-lamanya dari hal itu.

Anak-anak itu adakalanya beriman, kemudian menjadi kafir.

Selanjutnya para ahli itu berpendapat bahwa adalah mustahil dan masuk akal seseorang anak di waktu
dilahirkan telah tahu iman dan kafir, sebab Allah telah mengeluarkan dari perut ibunya dalam keadaan
tak mengetahui sedikitpun.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun.

(Q.S. An-Nahl [16]: 78)

Siapa yang tak mengetahui sesuatu mustahillah dia akan menjadi kafir.

beriman, berpengetahuan atau durhaka.

Abu Umar bin Abdil Barr berkata bahwa pendapat ini adalah arti fitrah yang lebih tepat di mana manusia
dilahirkan atasnya.

Hujah mereka yang lain ialah firman Allah:

Kami diberi balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan.

(Q.S. At Tur: 16)

Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala:


Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.

(Q.S. Al-Muddatsir [74]: 38)

Orang yang belum sampai masanya untuk bekerja tidak akan dihisab.

Dari hal tersebut di atas mustahillah fitrah itu berarti Islam.

Seperti yang dikatakan Ibnu Syihab.

Sebab Islam dan iman itu ialah perkataan dengan lisan, iktikad dengan hati dan perbuatan dengan
anggota tubuh.

Hal ini tak ada pada anak kecil.

Dan orang yang berakal mengetahui keadaan ini.

Kebanyakan para penyelidik di antaranya Ibnu Atiyah dalam buku tafsirnya di waktu mengartikan fitrah,
dan begitu Syekh Abdul Abbas berpendapat sesuai dengan pendapat Umar di atas, lbnu Atiyah dalam
tafsirnya berkata bahwa yang dapat dipegangi pada kata “fitrah” ini ialah berarti “kejadian” dan
kesediaan untuk menerima sesuatu yang ada dalam jiwa anak itu.

Dengan keadaan itu seseorang dapat dibedakan dengan ciptaan-ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala yang
lain.

Dengan fitrah itu seorang anak akan mendapat petunjuk dan percaya kepada Tuhannya.

Seakan-akan Tuhan berfirman:

“Hadapkanlah mukamu kepada agama yang lurus yaitu fitrah Allah yang disediakan bagi kejadian
manusia, tetapi karena banyak hal yang menghalangi mereka, maka mereka tidak mencapai fitrah itu.

Dalam sabda Nabi yang artinya: “Tiap anak dilahirkan menurut fitrah.

Bapaknya yang akan menjadikan ia seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi”.

Disebutkan dua orang ibu bapak sebagai contoh dari halangan-halangan yang banyak itu.
Dalam ibadat lain Syekh Abdul Abbas berkata: “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan
hati anak Adam bersedia menerima kebenaran, sebagaimana mata dan telinga mereka bersedia
menerima penglihatan dan pendengaran.

Selama menerima itu tetap ada pada hati mereka, tentu mereka akan memperoleh kebenaran dan
agama Islam yakni agama yang benar.

Kebanyakan pendapat ini dikuatkan dengan sabda Nabi yang artinya: “Sebagaimana menghasilkan
binatang yang utuh.

Adakah mereka menghasilkan yang lain?

Adakah mereka merasakan kekurangan pendapat padanya?”.

Maksudnya ialah, binatang itu melahirkan anaknya sempurna kejadiannya tak ada kekurangan.

Andaikata dia dibiarkan menurut dasar kejadiannya itu tentu dia akan tetap sempurna, tak ada aibnya.

Tetapi dia di atur menurut kehendak manusia, maka rusaklah telinga dan hidungnya dilubangi tempat
mengikatkan tali sehingga timbullah padanya keburukan dan kekurangan, lalu tidak sesuai lagi dengan
keasliannya.

Demikian pulalah keadaannya dengan manusia.

Hal itu adalah perumpamaan dari fakta kehidupan.

Pendapat tersebut di atas dianut oleh kebanyakan ahli tafsir.

Adapun maksud sabda Nabi ‫ ﷺ‬tatkala beliau ditanya tentang keadaan anak-anak kaum musyrik.

beliau menjawab: “Allah lebih tahu dengan apa yang mereka ketahui”.

yaitu apabila mereka berakal.

Takwil ini dikuatkan oleh hadis Bukhari dan Samurah bin Jundab dari Nabi ‫ﷺ‬.

yaitu hadis yang panjang.

Sebagian dari hadis itu berbunyi sebagai berikut:

Adapun orang yang tinggi itu yang ada di surga adalah Ibrahim as.

Adapun anak-anak yang ada di sekitarnya semuanya adalah anak yang dilahirkan menurut fitrah.

Samurah berkata.

“Maka Rasulullah ditanya: Ya Rasulullah, tentang anak-anak musyrik?


“Rasulullah menjawab: “Dan anak-anak musyrik”.

Diriwayatkan dari Anas, katanya: “Ditanya Rasulullah ‫ ﷺ‬tentang anak-anak musyrik, beliau bersabda:

Mereka tak mempunyai kebaikan, untuk diberikan ganjaran, lalu akan menjadi raja-raja surga.

Mereka tak mempunyai kejelekan untuk dihisab (disiksa) lalu mereka akan berada di antara penduduk
neraka.

Mereka adalah pelayan-pelayan bagi ahli surga.

Demikianlah beberapa pendapat mengenai kata fitrah dan hubungannya dengan anak kecil yang belum
sampai umur.

Diduga bahwa pendapat yang agak kuat ialah pendapat terakhir ini, yaitu pendapat Ibnu Atiyah yang
disokong oleh Syekh Abdul Abbas.

Kemudian kalimat dalam ayat (30) ini dilanjutkan dengan ungkapan bahwa pada fitrah Allah itu tak ada
perubahannya.

Allah tak akan merubah fitrah-Nya itu.

Tak ada sesuatupun yang menyalahi peraturan itu, maksudnya ialah tidak akan merana orang yang
dijadikan Allah berbahagia, dan sebaliknya tidak akan berbahagia orang-orang yang dijadikan-Nya
sengsara.

Menurut mujahid artinya ialah: “tak ada perubahan bagi agama Allah”.

Pendapat ini disokong Qatadah, Ibnu Jubair, Dahhak, Ibnu Zaid dan Nakha’i.

Mereka berpendapat bahwa ungkapan tersebut di atas berkenaan dengan keyakinan.

Ikrimah berkata; diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Umar bin Khatab berkata yang artinya ialah tak ada
perubahan bagi makhluk Allah dari binatang yang dimandulkan.

Perkataan ini maksudnya ialah larangan memandulkan binatang.

Itulah agama yang lurus, maksudnya Ibnu Abbas: “Itulah keputusan yang lurus”.

Muqatil mengatakan itulah perhitungan yang nyata.

Ada yang mengatakan bahwa “agama yang lurus” itu ialah agama Islam.

Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Mereka tak mau memikirkan bahwa agama Islam itu adalah agama yang benar.

Karena itu mereka tak mau menghambakan diri kepada Pencipta mereka, dan Tuhan yang lebih
terdahulu (qadim) memutuskan sesuatu dan melaksanakan keputusannya.
Tafsir al-Misbah

Oleh Muhammad Quraish Shihab:

Dari itu, luruskanlah wajahmu dan menghadaplah kepada agama, jauh dari kesesatan mereka.

Tetaplah pada fitrah yang Allah telah ciptakan manusia atas fitrah itu.

Yaitu fitrah bahwa mereka dapat menerima tauhid dan tidak mengingkarinya.

Fitrah itu tidak akan berubah.

Fitrah untuk menerima ajaran tauhid itu adalah agama yang lurus.

Tetapi orang-orang musyrik tidak mengetahui hakikat hal itu.

Tafsir al-Jalalain

Oleh Jalaluddin al-Mahalli & Jalaluddin as-Suyuthi:

(Maka hadapkanlah) hai Muhammad (wajahmu dengan lurus kepada agama Allah) maksudnya
cenderungkanlah dirimu kepada agama Allah, yaitu dengan cara mengikhlaskan dirimu dan orang-orang
yang mengikutimu di dalam menjalankan agama-Nya (fitrah Allah) ciptaan-Nya (yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu) yakni agama-Nya.

Makna yang dimaksud ialah, tetaplah atas fitrah atau agama Allah.

(Tidak ada perubahan pada fitrah Allah) pada agama-Nya.

Maksudnya janganlah kalian menggantinya, misalnya menyekutukan-Nya.

(Itulah agama yang lurus) agama tauhid itulah agama yang lurus (tetapi kebanyakan manusia) yakni
orang-orang kafir Mekah (tidak mengetahui) ketauhidan atau keesaan Allah.

Tafsir al-Muyassar

Oleh tim Mujamma’ Raja Fahd arahan Syaikh al-Allamah Dr. Shalih bin Muhammad Alu asy-Syaikh:

Tegakkanlah wajahmu (wahai Rasul, engkau dan orang-orang yang mengikutimu), dan berjalanlah terus
di atas agama yang Allah syariatkan untukmu, yaitu Islam di mana Allah telah memfitrahkan manusia di
atasnya.

Keberadaan kalian diatasnya dan berpegangnya kalian kepadanya adalah berpegang kepada fitrah Allah
dalam bentuk iman hanya kepada-Nya semata.

Tiada pergantian bagi ciptaan dan agama Allah.


Inilah jalan lurus yang menyampaikan kepada ridha Allah Rabb semesta alam dan surga-Nya.

Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui bahwa apa yang di perintahkan kepadamu (Wahai
Rasul), adalah agama yang haq bukan selainnya.

Tafsir Ibnu Katsir

Oleh Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir Al-Bashri Ad-Dimasyqi:

Ibnu Abbas mengatakan bahwa ia menemui langsung lelaki yang menceritakan hadis ini, lalu lelaki itu
memberitahukan kepadanya hadis ini.

Maka sejak saat itu ia tidak lagi memakai pendapatnya.

Di antara mereka adalah Iyad ibnu Himar Al-Mujasyi’i.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa’id, telah menceritakan kepada
kami Hisyam, dari Qatadah, dari Mutarrif, dari Iyad ibnu Himar, bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬di suatu hari
berkhotbah.

Isi khotbahnya antara lain: Sesungguhnya Tuhanku telah memerintahkan kepadaku untuk
memberitahukan kepada kalian apa yang tidak kalian ketahui dari apa yang telah diberitahukan oleh-Nya
kepadaku hari ini.

(Dia telah berfirman), “Semua yang telah Kuberikan kepada hamba-hamba-Ku halal, dan sesungguhnya
Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (cenderung kepada perkara yang hak dan
benci kepada perkara yang batil) semuanya.

Dan sesungguhnya mereka didatangi oleh setan, lalu setan menyesatkan mereka dari agamanya, dan
setan mengharamkan atas mereka apa yang telah Kuhalalkan bagi mereka, dan setan memerintahkan
kepada mereka untuk mempersekutukan Aku (dengan sesuatu) yang Aku tidak pernah menurunkan
keterangan tentangnya.

Nabi ‫ ﷺ‬melanjutkan sabdanya, bahwa sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala memandang kepada
penduduk bumi, maka Dia murka terhadap mereka semua —yang Arab maupun non Arab— kecuali sisa-
sisa dari kaum Ahli Kitab.

Dan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Aku mengutusmu hanya untuk mengujimu
dan menjadikanmu sebagai batu ujian (bagi yang lain), dan Aku turunkan kepadamu sebuah Al-Kitab
yang tidak terhapuskan oleh air (karena kandungannya dihafal di dalam dada, bukan berupa tulisan),
kamu dapat membacanya sambil tiduran dan sambil bangun.” Kemudian sesungguhnya Allah subhanahu
wa ta’ala telah memerintahkan kepadaku untuk membakar orang-orang Quraisy, maka aku berkata,
“Wahai Tuhanku, kalau begitu tentu mereka akan menguliti kepalaku dan membiarkannya menjadi
seperti roti.” Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Usirlah mereka sebagaimana mereka mengusirmu,
dan perangilah mereka, Kami akan membantumu, dan berinfaklah, maka Kami akan menggantimu, dan
kirimkanlah pasukan, maka Kami akan membantumu dengan pasukan yang jumlahnya lima kali lipat dari
pasukanmu, dan berperanglah bersama orang yang taat kepadamu untuk menghadapi orang-orang yang
durhaka kepadamu.” Ahli surga itu ada tiga macam orang, yaitu: Penguasa yang berlaku adil, pemberi
sedekah yang sukses dan seorang lelaki yang penyayang dan berhati lembut terhadap kaum kerabatnya
dan setiap orang muslim, dan seorang lelaki yang memelihara kehormatan dirinya lagi tidak mau
meminta-minta lagi banyak mempunyai anak.

Ahli neraka itu ada lima macam orang, yaitu: Orang lemah yang tidak punya prinsip, yakni mereka yang
menjadi pengikut di kalangan kalian, mereka tidak pernah menginginkan punya keluarga dan tidak pula
harta, pengkhianat yang tiada suatu keinginan sekecil apa pun melainkan dia pasti berkhianat
kepadanya, dan seorang lelaki yang tidak pernah melewati waktu pagi dan tidak pula waktu sore
melainkan dia selalu menipumu terhadap keluarga dan harta bendamu.

Nabi ‫ ﷺ‬menyebutkan pula pendusta, buruk perangai, dan orang yang bermulut kotor.

Imam Muslim mengetengahkan hadis ini secara tunggal, dan dia meriwayatkannya melalui berbagai jalur
dari Qatadah dengan sanad yang sama.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

(Itulah) agama yang lurus.

(Q.S. Ar-Rum [30]: 30)

Yakni berpegang kepada syariat dan fitrah yang utuh merupakan agama yang tegak dan lurus.

tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

(Q.S. Ar-Rum [30]: 30)

Karena itulah maka kebanyakan orang tidak mengetahuinya, dan mereka berpaling darinya, sebagaimana
yang disebutkan oleh firman-Nya:

Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya.

(Q.S. Yusuf [12]: 103)

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Allah.

(Q.S. Al-An’am [6]: 116), hingga akhir ayat.

Informasi Surah Ar Rum (‫)الروم‬

Statistik Q.S. 30:30

Ayat ini terdapat dalam surah Ar Rum.


Surah Ar-Rum (bahasa Arab: ‫ )الظروم‬adalah surah ke-30 dalam al-Qur'an.

Surah ini terdiri atas 60 ayat dan termasuk golongan surah-surah Makkiyah.

Surah ini diturunkan sesudah surah Al-Insyiqaq.

Dinamakan Ar-Rum yang berarti Bangsa Romawi (Bizantium), karena pada permulaan surat ini, yakni ayat
2, 3 dan 4 (30:2-30:4) terdapat ramalan Al-Qur'an tentang kekalahan yang berlanjut dengan kebangkitan
bangsa

QS. Ar Rum (Bangsa Romawi) – surah 30 ayat 30 [QS. 30:30]

‫س نل یننعلنتمنونن‬ ‫ک الددنیتن انلقنیدتم ٭‬


‫٭ نو ظلاکبَن اننکثننر البَنا ا‬ ‫ق ظظ‬
‫اا ؕ ظذلا ن‬ ‫ن‬
‫س نعلننینہا ؕ نل تننبادنینل لانخل ا‬ ‫ت ظظ‬
‫اا البَتانی فن ن‬
‫طنر البَنا ن‬ ‫ک اللددنیان نحنانیففا ؕ فانطنر ن‬
‫فنا نقا نم نونجہن ن‬

Fa-aqim wajhaka li-ddiini haniifan fithratal-lahillatii fatharannaasa ‘alaihaa laa tabdiila likhalqillahi
dzalikaddiinul qai-yimu walakinna aktsarannaasi laa ya’lamuun(a);

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu.

Tidak ada peubahan pada fitrah Allah.

(Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,

―QS. 30:30

Tafsir surah Ar Rum (30) ayat 30

Tafsir Kementrian Agama RI

Tafsir QS. Ar Rum (30) : 30. Oleh Kementrian Agama RI


Ayat ini menyuruh Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬meneruskan tugasnya dalam memberikan dakwah, dengan
membiarkan kaum musyrikin yang keras kepala itu dalam kesesatannya.

Dalam kalimat ini, maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; fitrah Allah.

Tuhan menyuruh agar Nabi ‫ ﷺ‬mengikuti agama yang lurus yaitu agama Islam, dan mengikuti fitrah Allah.

Ada yang berpendapat bahwa kalimat itu berarti bahwa Allah memerintahkan agar kaum Muslimin
mengikuti agama Allah yang telah di jadikan-Nya bagi manusia.

Di sini “fitrah” dinamakan “agama” karena manusia dijadikan untuk melaksanakan agama itu.

Hal ini dikuatkan oleh firman Allah dalam surat yang lain:

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah Ku.

(Q.S. Adz-Dzariyat [51]: 56)

Menghadapkan muka artinya meluruskan tujuan dengan segala kesungguhan tanpa menoleh kepada
yang lain.

Dan “muka” dikhususkan menyebutkan di sini, karena muka itu tempat berkumpulnya semua
pancaindera kecuali alat perasa.

Dan muka itu adalah bagian tubuh yang paling terhormat.

Sehubungan dengan kata fitrah yang tersebut dalam ayat ini ada sebuah hadis sahih dari Abu Hurairah
yang berbunyi:

Tidak ada seorang anakpun kecuali ia dilahirkan menurut fitrah.

Kedua orang ibu bapaknyalah yang akan meyahudikan, menasranikan dan memajusikannya,
sebagaimana binatang melahirkan binatang dalam keadaan sempurna.

Adakah kamu merasa kekurangan padanya”.

Kemudian Abu Hurairah berkata: “Bacalah ayat ini yang artinya: “Fitrah Allah di mana manusia telah
diciptakan atasnya.

Tak ada perubahan pada fitrah Allah itu”.

Dalam riwayat lain, “sehingga kamu merusakkannya (binatang itu)”.

Para sahabat bertanya: “Hai Rasulullah, apakah engkau tahu keadaan orang yang meninggal di waktu
kecil?

Rasul menjawab: “Allah lebih tahu dengan apa yang mereka perbuat”.

(H.R. Bukhari dan Muslim)


Para ulama berbeda pendapat mengenai arti fitrah yang tersebut dalam kitab suci Alquran dan hadis
Nabi ‫ﷺ‬.

Mereka ada yang berpendapat bahwa fitrah itu artinya “Islam”.

Hal ini dikatakan oleh Abu Hurairah dan Ibnu Syihab dan lain-lain.

Mereka mengatakan bahwa pendapat itu terkenal di kalangan ulama salaf yang berpegang kepada
takwil.

Alasan mereka adalah ayat 30 tersebut di atas dan hadis Abu Hurairah yang baru saja disalinkan di atas.

Mereka juga berhujah dengan hadis Iyad bin Himar Al Mujassyi’i bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda kepada
manusia pada suatu hari:

Apakah kamu suka aku menceritakan kepadamu apa yang telah diceritakan Allah kepadaku dalam Kitab-
Nya.

Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam dan anak cucunya cenderung kepada kebenaran dan patuh
kepada Allah.

Allah memberi mereka harta yang halal tidak yang haram.

Lalu mereka menjadikan harta yang diberikan kepada mereka itu menjadi halal dan haram.

(H.R. Iyad bin Himar)

Sebagian ulama menafsirkan hadis ini bahwa anak kecil itu diciptakan tidak berdosa dan selamat dan
kekafiran sesuai dengan janji yang telah ditetapkan Allah bagi anak cucu Adam di kala mereka
dikeluarkan dari tulang sulbinya.

Mereka apabila meninggal dunia masuk surga baik anak-anak kaum Muslimin maupun anak-anak kaum
kafir.

Sebagian ahli fikih dan ulama yang berpandangan luas mengartikan “fitrah” dengan “kejadian” yang
dengannya Allah menjadikan anak mengetahui Tuhannya.

Seakan-akan dia berkata: “Tiap-tiap anak dilahirkan atas kejadiannya”.

Dengan kejadian itu Si anak akan mengetahui Tuhannya apabila dia telah berakal dan berpengetahuan.

Kejadian di sini berbeda dengan kejadian binatang yang tak sampai dengan kejadian itu kepada
pengetahuan tentang Tuhannya.

Mereka berhujah bahwa “fitrah” itu berarti kejadian dan “fatir” berarti “yang menjadikan” dengan
firman Allah:
Katakanlah: “Ya Allah, Pencipta langit dan bumi”.

(Q.S. Az-Zumar [39]: 46)

Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah menciptakanku.

(Q.S. Yasin [36]: 22)

Dan firman Allah lagi:

Ibrahim berkata: “Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya.

(Q.S. Al-Anbiyaa [21]: 56)

Dari ayat-ayat tersebut di atas mereka mengambil kesimpulan bahwa “fitrah” berarti kejadian dan “fatir”
berarti yang menjadikan.

Mereka tak setuju bahwa anak itu dijadikan (difitrahkan) atas kekafiran atau iman atau berpengetahuan
atau durhaka.

Mereka berpendapat bahwa anak itu umumnya selamat, baik dari segi kehidupan dan kejadiannya,
tabiatnya, maupun bentuk tubuhnya.

Baginya tidak ada iman, tak ada kafir, tak ada durhaka dan tak ada juga pengetahuan.

Mereka berkeyakinan bahwa kafir dan iman itu datang setelah anak itu berakal.

Mereka juga berhujah dengan hadis Nabi dari Abu Hurairah tersebut di atas.

Binatang itu melahirkan binatang dalam keadaan utuh, apakah mereka merasa pada kejadian itu
kekurangan?.

Dalam hadis ini hati Bani Adam diumpamakan dengan binatang, sebab dia dilahirkan dalam kejadian
yang sempurna, tak ada kekurangan, sesudah itu telinganya terputus, begitu pula hidungnya.

Lalu dikatakan ini adalah unta yang dirusak hidungnya dan ini adalah unta yang digunakan untuk nazar
dan sebagainya.

Begitu pula keadaan hati anak-anak waktu dilahirkan.

Mereka tidak kafir, tidak juga iman, tidak berpengetahuan dan tidak durhaka, tak ubahnya seperti
binatang ternak.

Tatkala mereka sampai umur setan memperdayakan mereka, maka kebanyakan mereka mengafirkan
Tuhan, dan sedikit yang tidak berdosa.
Mereka berpendapat, andaikata anak-anak itu difitrahkan sebagai kafir dan beriman pada permulaannya,
tentu mereka tak akan berpindah selama-lamanya dari hal itu.

Anak-anak itu adakalanya beriman, kemudian menjadi kafir.

Selanjutnya para ahli itu berpendapat bahwa adalah mustahil dan masuk akal seseorang anak di waktu
dilahirkan telah tahu iman dan kafir, sebab Allah telah mengeluarkan dari perut ibunya dalam keadaan
tak mengetahui sedikitpun.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun.

(Q.S. An-Nahl [16]: 78)

Siapa yang tak mengetahui sesuatu mustahillah dia akan menjadi kafir.

beriman, berpengetahuan atau durhaka.

Abu Umar bin Abdil Barr berkata bahwa pendapat ini adalah arti fitrah yang lebih tepat di mana manusia
dilahirkan atasnya.

Hujah mereka yang lain ialah firman Allah:

Kami diberi balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan.

(Q.S. At Tur: 16)

Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.

(Q.S. Al-Muddatsir [74]: 38)

Orang yang belum sampai masanya untuk bekerja tidak akan dihisab.

Dari hal tersebut di atas mustahillah fitrah itu berarti Islam.

Seperti yang dikatakan Ibnu Syihab.

Sebab Islam dan iman itu ialah perkataan dengan lisan, iktikad dengan hati dan perbuatan dengan
anggota tubuh.

Hal ini tak ada pada anak kecil.

Dan orang yang berakal mengetahui keadaan ini.


Kebanyakan para penyelidik di antaranya Ibnu Atiyah dalam buku tafsirnya di waktu mengartikan fitrah,
dan begitu Syekh Abdul Abbas berpendapat sesuai dengan pendapat Umar di atas, lbnu Atiyah dalam
tafsirnya berkata bahwa yang dapat dipegangi pada kata “fitrah” ini ialah berarti “kejadian” dan
kesediaan untuk menerima sesuatu yang ada dalam jiwa anak itu.

Dengan keadaan itu seseorang dapat dibedakan dengan ciptaan-ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala yang
lain.

Dengan fitrah itu seorang anak akan mendapat petunjuk dan percaya kepada Tuhannya.

Seakan-akan Tuhan berfirman:

“Hadapkanlah mukamu kepada agama yang lurus yaitu fitrah Allah yang disediakan bagi kejadian
manusia, tetapi karena banyak hal yang menghalangi mereka, maka mereka tidak mencapai fitrah itu.

Dalam sabda Nabi yang artinya: “Tiap anak dilahirkan menurut fitrah.

Bapaknya yang akan menjadikan ia seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi”.

Disebutkan dua orang ibu bapak sebagai contoh dari halangan-halangan yang banyak itu.

Dalam ibadat lain Syekh Abdul Abbas berkata: “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan
hati anak Adam bersedia menerima kebenaran, sebagaimana mata dan telinga mereka bersedia
menerima penglihatan dan pendengaran.

Selama menerima itu tetap ada pada hati mereka, tentu mereka akan memperoleh kebenaran dan
agama Islam yakni agama yang benar.

Kebanyakan pendapat ini dikuatkan dengan sabda Nabi yang artinya: “Sebagaimana menghasilkan
binatang yang utuh.

Adakah mereka menghasilkan yang lain?

Adakah mereka merasakan kekurangan pendapat padanya?”.

Maksudnya ialah, binatang itu melahirkan anaknya sempurna kejadiannya tak ada kekurangan.

Andaikata dia dibiarkan menurut dasar kejadiannya itu tentu dia akan tetap sempurna, tak ada aibnya.

Tetapi dia di atur menurut kehendak manusia, maka rusaklah telinga dan hidungnya dilubangi tempat
mengikatkan tali sehingga timbullah padanya keburukan dan kekurangan, lalu tidak sesuai lagi dengan
keasliannya.

Demikian pulalah keadaannya dengan manusia.

Hal itu adalah perumpamaan dari fakta kehidupan.

Pendapat tersebut di atas dianut oleh kebanyakan ahli tafsir.


Adapun maksud sabda Nabi ‫ ﷺ‬tatkala beliau ditanya tentang keadaan anak-anak kaum musyrik.

beliau menjawab: “Allah lebih tahu dengan apa yang mereka ketahui”.

yaitu apabila mereka berakal.

Takwil ini dikuatkan oleh hadis Bukhari dan Samurah bin Jundab dari Nabi ‫ﷺ‬.

yaitu hadis yang panjang.

Sebagian dari hadis itu berbunyi sebagai berikut:

Adapun orang yang tinggi itu yang ada di surga adalah Ibrahim as.

Adapun anak-anak yang ada di sekitarnya semuanya adalah anak yang dilahirkan menurut fitrah.

Samurah berkata.

“Maka Rasulullah ditanya: Ya Rasulullah, tentang anak-anak musyrik?

“Rasulullah menjawab: “Dan anak-anak musyrik”.

Diriwayatkan dari Anas, katanya: “Ditanya Rasulullah ‫ ﷺ‬tentang anak-anak musyrik, beliau bersabda:

Mereka tak mempunyai kebaikan, untuk diberikan ganjaran, lalu akan menjadi raja-raja surga.

Mereka tak mempunyai kejelekan untuk dihisab (disiksa) lalu mereka akan berada di antara penduduk
neraka.

Mereka adalah pelayan-pelayan bagi ahli surga.

Demikianlah beberapa pendapat mengenai kata fitrah dan hubungannya dengan anak kecil yang belum
sampai umur.

Diduga bahwa pendapat yang agak kuat ialah pendapat terakhir ini, yaitu pendapat Ibnu Atiyah yang
disokong oleh Syekh Abdul Abbas.

Kemudian kalimat dalam ayat (30) ini dilanjutkan dengan ungkapan bahwa pada fitrah Allah itu tak ada
perubahannya.

Allah tak akan merubah fitrah-Nya itu.

Tak ada sesuatupun yang menyalahi peraturan itu, maksudnya ialah tidak akan merana orang yang
dijadikan Allah berbahagia, dan sebaliknya tidak akan berbahagia orang-orang yang dijadikan-Nya
sengsara.

Menurut mujahid artinya ialah: “tak ada perubahan bagi agama Allah”.

Pendapat ini disokong Qatadah, Ibnu Jubair, Dahhak, Ibnu Zaid dan Nakha’i.
Mereka berpendapat bahwa ungkapan tersebut di atas berkenaan dengan keyakinan.

Ikrimah berkata; diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Umar bin Khatab berkata yang artinya ialah tak ada
perubahan bagi makhluk Allah dari binatang yang dimandulkan.

Perkataan ini maksudnya ialah larangan memandulkan binatang.

Itulah agama yang lurus, maksudnya Ibnu Abbas: “Itulah keputusan yang lurus”.

Muqatil mengatakan itulah perhitungan yang nyata.

Ada yang mengatakan bahwa “agama yang lurus” itu ialah agama Islam.

Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Mereka tak mau memikirkan bahwa agama Islam itu adalah agama yang benar.

Karena itu mereka tak mau menghambakan diri kepada Pencipta mereka, dan Tuhan yang lebih
terdahulu (qadim) memutuskan sesuatu dan melaksanakan keputusannya.

Tafsir al-Misbah

Oleh Muhammad Quraish Shihab:

Dari itu, luruskanlah wajahmu dan menghadaplah kepada agama, jauh dari kesesatan mereka.

Tetaplah pada fitrah yang Allah telah ciptakan manusia atas fitrah itu.

Yaitu fitrah bahwa mereka dapat menerima tauhid dan tidak mengingkarinya.

Fitrah itu tidak akan berubah.

Fitrah untuk menerima ajaran tauhid itu adalah agama yang lurus.

Tetapi orang-orang musyrik tidak mengetahui hakikat hal itu.

Tafsir al-Jalalain

Oleh Jalaluddin al-Mahalli & Jalaluddin as-Suyuthi:

(Maka hadapkanlah) hai Muhammad (wajahmu dengan lurus kepada agama Allah) maksudnya
cenderungkanlah dirimu kepada agama Allah, yaitu dengan cara mengikhlaskan dirimu dan orang-orang
yang mengikutimu di dalam menjalankan agama-Nya (fitrah Allah) ciptaan-Nya (yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu) yakni agama-Nya.

Makna yang dimaksud ialah, tetaplah atas fitrah atau agama Allah.
(Tidak ada perubahan pada fitrah Allah) pada agama-Nya.

Maksudnya janganlah kalian menggantinya, misalnya menyekutukan-Nya.

(Itulah agama yang lurus) agama tauhid itulah agama yang lurus (tetapi kebanyakan manusia) yakni
orang-orang kafir Mekah (tidak mengetahui) ketauhidan atau keesaan Allah.

Tafsir al-Muyassar

Oleh tim Mujamma’ Raja Fahd arahan Syaikh al-Allamah Dr. Shalih bin Muhammad Alu asy-Syaikh:

Tegakkanlah wajahmu (wahai Rasul, engkau dan orang-orang yang mengikutimu), dan berjalanlah terus
di atas agama yang Allah syariatkan untukmu, yaitu Islam di mana Allah telah memfitrahkan manusia di
atasnya.

Keberadaan kalian diatasnya dan berpegangnya kalian kepadanya adalah berpegang kepada fitrah Allah
dalam bentuk iman hanya kepada-Nya semata.

Tiada pergantian bagi ciptaan dan agama Allah.

Inilah jalan lurus yang menyampaikan kepada ridha Allah Rabb semesta alam dan surga-Nya.

Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui bahwa apa yang di perintahkan kepadamu (Wahai
Rasul), adalah agama yang haq bukan selainnya.

Tafsir Ibnu Katsir

Oleh Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir Al-Bashri Ad-Dimasyqi:

Ibnu Abbas mengatakan bahwa ia menemui langsung lelaki yang menceritakan hadis ini, lalu lelaki itu
memberitahukan kepadanya hadis ini.

Maka sejak saat itu ia tidak lagi memakai pendapatnya.

Di antara mereka adalah Iyad ibnu Himar Al-Mujasyi’i.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa’id, telah menceritakan kepada
kami Hisyam, dari Qatadah, dari Mutarrif, dari Iyad ibnu Himar, bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬di suatu hari
berkhotbah.

Isi khotbahnya antara lain: Sesungguhnya Tuhanku telah memerintahkan kepadaku untuk
memberitahukan kepada kalian apa yang tidak kalian ketahui dari apa yang telah diberitahukan oleh-Nya
kepadaku hari ini.

(Dia telah berfirman), “Semua yang telah Kuberikan kepada hamba-hamba-Ku halal, dan sesungguhnya
Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (cenderung kepada perkara yang hak dan
benci kepada perkara yang batil) semuanya.
Dan sesungguhnya mereka didatangi oleh setan, lalu setan menyesatkan mereka dari agamanya, dan
setan mengharamkan atas mereka apa yang telah Kuhalalkan bagi mereka, dan setan memerintahkan
kepada mereka untuk mempersekutukan Aku (dengan sesuatu) yang Aku tidak pernah menurunkan
keterangan tentangnya.

Nabi ‫ ﷺ‬melanjutkan sabdanya, bahwa sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala memandang kepada
penduduk bumi, maka Dia murka terhadap mereka semua —yang Arab maupun non Arab— kecuali sisa-
sisa dari kaum Ahli Kitab.

Dan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Aku mengutusmu hanya untuk mengujimu
dan menjadikanmu sebagai batu ujian (bagi yang lain), dan Aku turunkan kepadamu sebuah Al-Kitab
yang tidak terhapuskan oleh air (karena kandungannya dihafal di dalam dada, bukan berupa tulisan),
kamu dapat membacanya sambil tiduran dan sambil bangun.” Kemudian sesungguhnya Allah subhanahu
wa ta’ala telah memerintahkan kepadaku untuk membakar orang-orang Quraisy, maka aku berkata,
“Wahai Tuhanku, kalau begitu tentu mereka akan menguliti kepalaku dan membiarkannya menjadi
seperti roti.” Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Usirlah mereka sebagaimana mereka mengusirmu,
dan perangilah mereka, Kami akan membantumu, dan berinfaklah, maka Kami akan menggantimu, dan
kirimkanlah pasukan, maka Kami akan membantumu dengan pasukan yang jumlahnya lima kali lipat dari
pasukanmu, dan berperanglah bersama orang yang taat kepadamu untuk menghadapi orang-orang yang
durhaka kepadamu.” Ahli surga itu ada tiga macam orang, yaitu: Penguasa yang berlaku adil, pemberi
sedekah yang sukses dan seorang lelaki yang penyayang dan berhati lembut terhadap kaum kerabatnya
dan setiap orang muslim, dan seorang lelaki yang memelihara kehormatan dirinya lagi tidak mau
meminta-minta lagi banyak mempunyai anak.

Ahli neraka itu ada lima macam orang, yaitu: Orang lemah yang tidak punya prinsip, yakni mereka yang
menjadi pengikut di kalangan kalian, mereka tidak pernah menginginkan punya keluarga dan tidak pula
harta, pengkhianat yang tiada suatu keinginan sekecil apa pun melainkan dia pasti berkhianat
kepadanya, dan seorang lelaki yang tidak pernah melewati waktu pagi dan tidak pula waktu sore
melainkan dia selalu menipumu terhadap keluarga dan harta bendamu.

Nabi ‫ ﷺ‬menyebutkan pula pendusta, buruk perangai, dan orang yang bermulut kotor.

Imam Muslim mengetengahkan hadis ini secara tunggal, dan dia meriwayatkannya melalui berbagai jalur
dari Qatadah dengan sanad yang sama.
QS. At Taubah (Pengampunan) – surah 9 ayat 34 [QS. 9:34]

َ‫ب نو انلفا ب‬ ‫صیَدنونن نعنن نسبانیال ظ ظ‬


‫س ابانلنبااطال نو ین ت‬ ‫ن‬ ‫ا‬
‫ضۃن نو نل‬ ‫اا ؕ نو البَاذنینن یننکناتزنونن البَذہن ن‬ ‫ظیا نیَینہا البَاذنینن ظانمنت ناوا اابَن نکثانیفرا دمنن انلننحنباار نو الیَرنہنباان لنیناتکلتنونن اننمنوانل البَنا ا‬
‫ب انلانیرم‬
‫اا ٭ فنبندشنرہت نم بانعنذا ر‬‫ظ‬
‫یتننفاقتنونننہا فانی نسبانیال ظ‬

Yaa ai-yuhaal-ladziina aamanuu inna katsiiran minal ahbaari warruhbaani laya’kuluuna amwaalannaasi
bil baathili wayashudduuna ‘an sabiilillahi waal-ladziina yaknizuunadz-dzahaba wal fidh-dhata walaa
yunfiquunahaa fii sabiilillahi fabasy-syirhum bi’adzaabin aliimin;

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-
rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi
(manusia) dari jalan Allah.

Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka
beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,

―QS. 9:34

Topik ▪ Azab orang kafir

9:34, 9 34, 9-34, At Taubah 34, AtTaubah 34, At-Taubah 34

Tafsir surah At Taubah (9) ayat 34

Tafsir Kementrian Agama RI

Tafsir QS. At Taubah (9) : 34. Oleh Kementrian Agama RI

Pada ayat ini diterangkan bahwa kebanyakan pemimpin dan pendeta orang Yahudi dan Nasrani telah
dipengaruhi oleh cinta harta dan pangkat.
Karena itu mereka tidak segan-segan menguasai harta orang lain dengan jalan yang tidak benar dan
dengan terang-terangan menghalang-halangi manusia beriman kepada agama yang dibawa oleh Nabi
Muhammad ‫ﷺ‬.

Sebab kalau mereka membiarkan pengikut mereka membenarkan dan menerima dakwah Islam tentulah
mereka tidak dapat lagi bersikap sewenang-wenang terhadap mereka dan akan hilanglah pengaruh dan
kedudukan yang mereka nikmati selama ini.

Pemimpin-pemimpin dan pendeta-pendeta Yahudi dan Nasrani itu telah melakukan berbagai cara untuk
mengambil harta orang lain, di antaranya:

1.

Membangun makam nabi-nabi dan pendeta-pendeta dan mendirikan gereja-gereja yang dinamai dengan
nama-Nya itu.

Dengan demikian mereka dapat hadiah, nazar dan wakaf-wakaf yang dihadiahkan kepada makam dan
gereja itu.

Kadang-kadang mereka meletakkan gambar orang-orang suci mereka atau patung-patungnya, lalu
gambar-gambar, patung-patung itu disembah dan dimintai bermacam-macam permintaan dan keinginan
sebagai imbalannya.

Supaya permintaan mereka dikabulkan, mereka hendaklah memberikan hadiah uang dan sebagainya.

Dengan demikian terkumpullah uang yang banyak dan uang itu dikuasai sepenuhnya oleh pendeta itu.

Ini adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan agama yang dibawa oleh para rasul karena
membawa kepada kemusyrikan dan mengambil harta orang dengan memakai nama nabi dan orang-
orang suci.

2.

Yang khusus dilakukan oleh pendeta-pendeta Nasrani yaitu menerima uang dari seseorang sebagai
imbalan atas pengampunan dosa yang diperbuatnya.

Seseorang yang berdosa dapat diampuni dosanya bila ia datang ke gereja menemui bapak pendeta dan
mengakui di hadapannya semua dosa dan maksiat yang dilakukannya, mereka percaya dengan penuh
keyakinan bahwa bila bapak pendeta itu telah mengampuni dosanya, ini berarti Tuhan telah
mengampuninya karena bapak pendeta itu adalah wakil Tuhan di atas bumi.
Kepada mereka yang telah memberikan uang tebusan dosa itu diberikan kartu pengampunan seakan-
akan kartu ini nanti yang akan diperlihatkannya kepada Tuhan di akhirat nanti di hari pembalasan yang
menunjukkan bahwa mereka sudah bersih dari segala dosa.

3.

Imbalan memberikan fatwa-fatwa baik menghalalkan yang haram maupun mengharamkan yang halal
sesuai dengan keinginan raja-raja, penguasa-penguasa dan orang-orang kaya.

Bila pembesar dan orang kaya itu ingin melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan kebenaran
seperti membalas dendam dan bertindak kejam terhadap suatu golongan yang mereka anggap sebagai
penghalang bagi terlaksananya keinginan mereka atau mereka anggap sebagai musuh, mereka minta
kepada pendeta supaya dikeluarkan suatu fatwa yang membolehkan mereka bertindak sewenang-
wenang terhadap orang-orang itu, meskipun fatwa itu bertentangan dengan ajaran agama mereka
seakan-akan ajaran agama itu dianggap sepi dan seakan-akan kitab Taurat itu hanya lemberan kertas
yang boleh diubah-ubah semau mereka.

Hal ini sangat dicela oleh Allah dalam firman-Nya:

Katakanlah: “Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Nabi Musa sebagai cahaya dan
petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu
perlihatkan (sebagiannya) dan kamu sembunyikan sebagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu
apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahuinya.

(Q.S. Al-An’am [6]: 91)

4.

Mengambil harta orang lain yang bukan sebangsa atau seagama dengan mereka dengan melaksanakan
kecurangan, pengkhianatan pencurian dan sebagainya dengan alasan bahwa Allah mengharamkan
penipuan dan pengkhianatan hanya terhadap orang-orang Yahudi saja.

Adapun terhadap orang-orang yang tidak sebangsa dan seagama dengan mereka maka hal ini
dibolehkan.

Hal ini dijelaskan Allah dengan firman-Nya:


Di antara ahli kitab ada orang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya
kepadamu dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak
dikembalikan kepadamu kecuali jika kamu selalu menagihnya.

Yang demikian itu lantaran mereka mengatakan: “Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang
ummi.” Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahuinya.

(Q.S. Ali ‘Imran [3]: 75)

5.

Mengambil rente (riba).

Orang-orang Yahudi sangat terkenal dalam hal ini, karena ada di antara pendeta-pendeta mereka yang
menghalalkannya meskipun dalam kitab mereka riba itu diharamkan.

Ada pula di antara pendeta-pendeta itu yang menfatwakan bahwa mengambil riba dari orang-orang
Yahudi adalah halal.

Demikian pula pendeta-pendeta Nasrani ada yang menghalalkan sebagian riba meskipun mengharamkan
sebagian yang lain.

Demikian cara-cara yang mereka praktekkan dalam mengambil dan menguasai harta orang lain untuk
kepentingan diri mereka sendiri dan untuk memuaskan nafsu dan keinginan mereka.

Adapun cara-cara mereka menghalangi manusia dari jalan Allah ialah dengan merusak akidah tauhid dan
merusak ajaran agama yang murni.

Orang-orang Yahudi telah pernah menyembah patung anak sapi, pernah mengatakan bahwa Uzair
adalah anak Allah, dan banyak sekali mereka memutarbalikkan ayat-ayat Allah dan mengubah-ubahnya
sesuai dengan keinginan dan hawa nafsu mereka sebagaimana telah dijelaskan pada ayat-ayat yang lalu
yang tersebut dalam surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa’ dan Al-Maidah.

Mereka secara terang-terangan mengingkari Nabi Musa ‘alaihis salam sebagai nabi padahal dialah
pembawa akidah yang murni yang kemudian dirusak oleh pendeta-pendeta Yahudi.

Demikian pula orang-orang Nasrani telah menyelewengkan akidah tauhid yang dibawa oleh Nabi Isa
‘alaihis salam sehingga mereka menganggapnya sebagai Tuhan.

Oleh karena itu mereka baik kaum Yahudi maupun Nasrani selalu menentang ajaran yang dibawa oleh
Nabi Muhammad ‫ﷺ‬.
bahkan selalu menghina beliau dengan berbagai cara dan selalu menentang dan mendustakan Alquranul
Karim.

Mereka berusaha dengan sekuat tenaga untuk memadamkan cahaya Allah tetapi Allah sudah
menetapkan bahwa Dia akan menyempurnakan cahaya itu.

Tentulah segala usaha dan daya upaya mereka akan menemui kegagalan tetapi pastilah hanya kehendak
Allahlah yang berlaku dan terlaksana.

Allah berfirman:

Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan
Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang kafir tidak
menyukainya.

(Q.S. At-Taubah [9]: 32)

Demikianlah tindak-tanduk kebanyakan dari pimpinan dan pendeta kaum Yahudi dan Nasrani.

Mereka karena sifat serakah, loba dan tamak akan harta benda, mengumpulkan sebanyak-banyaknya
dan mempergunakan sebagian dari harta itu untuk menghalangi manusia mengikuti jalan Allah.

Oleh sebab itu Allah akan melemparkan mereka kelak di akhirat ke dalam neraka dan akan menyiksa
mereka dengan azab yang sangat pedih.

Mengenai pengumpulan harta ini dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, walaupun ditujukan kepada
kaum Yahudi dan Nasrani, tetapi para mufassirin berpendapat bahwa ayat ini mencakup juga kaum
muslimin.

Maka siapa saja yang karena tamak dan serakahnya berusaha mengumpulkan harta kemudian
menyimpannya dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka ia diancam Allah akan dimasukkan ke
dalam neraka baik dia beragama Yahudi, Nasrani maupun beragama Islam.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa setelah turun ayat ini, maka kaum Muslimin merasa berkeberatan
dan berkata: “Kami tidak sampai hati bila kami tidak meninggalkan untuk anak-anak kami barang sedikit
dari harta kami.” Umar berkata: “Saya akan melapangkan hartamu.” Lalu beliau pergi bersama Saban
kepada Nabi dan mengatakan kepadanya: “Hai Nabi Allah, ayat ini amat terasa berat bagi sahabat
engkau.” Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya Allah tidak mewajibkan zakat melainkan agar harta yang
tinggal di tanganmu menjadi bersih.” Allah hanya menetapkan hukum warisan terhadap harta yang
masih ada sesudah matimu.” Umar mengucapkan takbir atas penjelasan Rasulullah itu, kemudian Nabi
berkata kepada Umar: “Aku akan memberitahukan kepadamu sesuatu yang paling baik untuk dipelihara,
yaitu perempuan saleh yang apabila seorang suami memandangnya dia merasa senang, dan apabila
disuruh dia mematuhinya dan apabila dia berada di tempat lain perempuan itu menjaga
kehormatannya.”

Tafsir al-Misbah

Oleh Muhammad Quraish Shihab:

Wahai orang-orang Mukmin, ketahuilah bahwa banyak di antara orang alim dari kalangan Yahudi dan
rahib-rahib Nasrani yang menghalalkan harta orang secara tidak benar, menyalahgunakan kepercayaan
dan ketundukan orang lain kepada mereka dalam setiap perkataan mereka, dan menghalang-halangi
orang untuk masuk Islam.

Wahai Nabi, orang-orang yang mengusai dan menyimpan harta benda berupa emas maupun perak, dan
tidak menunaikan zakatnya, ingatkanlah mereka akan siksa yang sangat pedih.

Tafsir al-Jalalain

Oleh Jalaluddin al-Mahalli & Jalaluddin as-Suyuthi:

(Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-
rahib Nasrani benar-benar memakan) yakni mengambil (harta benda orang lain dengan cara yang batil)
seperti menerima suap dalam memutuskan hukum (dan mereka menghalang-halangi) manusia (dari
jalan Allah) dari agama-Nya.

(Dan orang-orang) lafal ini menjadi mubtada/permulaan kata (yang menyimpan emas dan perak dan
tidak menafkahkannya) dimaksud ialah menimbunnya (pada jalan Allah) artinya mereka tidak
menunaikan hak zakatnya dan tidak membelanjakannya ke jalan kebaikan (maka beritahukanlah kepada
mereka) beritakanlah kepada mereka (akan siksa yang pedih) yang amat menyakitkan.

Tafsir al-Muyassar

Oleh tim Mujamma’ Raja Fahd arahan Syaikh al-Allamah Dr. Shalih bin Muhammad Alu asy-Syaikh:

Hai orang-orang yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya, dan mengikuti syariat-Nya.

Sesungguhnya banyak dari orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani mengambil harta orang-orang
dengan jalan yang batil, seperti menerima suap dan sebagainya, juga melarang mereka untuk masuk ke
dalam agama Islam dan menghalang-halangi mereka dari jalan Allah.
Dan orang-orang yang memiliki harta, tetapi mereka enggan menunaikan zakat dan tidak mengeluarkan
dari harta itu hak-hak dan kewajibannya.

Maka berilah kabar gembira kepada mereka (bahwa mereka akan mendapatkan) siksa yang sangat pedih.

Tafsir Ibnu Katsir

Oleh Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir Al-Bashri Ad-Dimasyqi:

As-Saddi mengatakan bahwa al-ahbar adalah menurut istilah orang Yahudi, sedang ar-ruhban adalah
menurut istilah di kalangan orang-orang Nasrani.

Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:

Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendata mereka tidak melarang mereka mengucapkan
perkataan bohong dan memakan yang haram?

(Q.S. Al-Ma’idah [5]: 63)

Ar-Ruhban adalah ahli ibadah di kalangan orang-orang Nasrani, sedangkan ulama mereka disebut pastur,
seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:

Yang demikian itu disebabkan di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan
rahib-rahib.

(Q.S. Al-Ma’idah [5]: 82)

Makna yang dimaksud ialah perintah untuk waspada terhadap ulama su’ (ulama yang jahat) dan ahli
ibadah yang sesat, seperti apa yang dikatakan oleh Sufyan ibnu Uyaynah, “Orang yang rusak dari
kalangan ulama kami, maka dia lebih mirip dengan orang Yahudi, dan orang yang rusak dari kalangan ahli
ibadah kami, maka dia lebih mirip dengan orang Nasrani.'”

Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan:


Sesungguhnya kalian benar-benar akan meniru perbuatan orang-orang sebelum kalian, satu langkah
demi satu langkah.

Para sahabat bertanya, “Apakah yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani?”

Nabi ‫ ﷺ‬menjawab, “Lalu siapa lagi?”

Menurut riwayat lain, mereka mengatakan Persia dan Romawi, maka Nabi ‫ ﷺ‬menjawab, “Lalu siapa lagi
kalau bukan mereka?”

Makna yang dimaksud ialah peringatan agar kita jangan meniru mereka dalam ucapan dan keadaan kita.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala.:

…benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia)
dari jalan Allah.

Demikian itu karena mereka (para rahib dan orang-orang alim Yahudi) menukar agama mereka dengan
duniawiah, dan mereka memakan harta para pengikutnya melalui kedudukan dan kepemimpinan
mereka, seperti yang terjadi di kalangan orang-orang alim Yahudi di masa Jahiliah, mereka mempunyai
kehormatan tersendiri, dan mereka membebankan kepada para pengikutnya untuk membayar upeti,
hadiah, serta pajak untuk kepentingan diri mereka sendiri.

Setelah Allah mengutus Rasul-Nya, mereka tetap menjalankan kesesatan, kekufuran, dan keingkaran
mereka karena ketamakan mereka untuk mempertahankan kedudukan tersebut.

Tetapi Allah memadamkannya dengan nur (cahaya) kenabian, mencabutnya dari mereka, memberi ganti
mereka dengan kehinaan dan dipandang remeh, serta mereka kembali dengan membawa murka dari
Allah subhanahu wa ta’ala.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala.:

…dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.


Yakni di samping mereka memakan barang yang haram, mereka juga menghalang-halangi manusia
supaya jangan mengikuti jalan yang benar, dan mencampuradukkan perkara yang hak dengan perkara
yang batil, lalu menampakkan di kalangan orang-orang bodohnya bahwa mereka menyeru kepada
kebaikan, padahal kenyataannya tidaklah seperti apa yang mereka duga.

Bahkan mereka adalah para penyeru kepada neraka, dan kelak di hari kiamat mereka tidak akan
mendapat pertolongan.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala.:

Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah., hingga
akhir ayat.

Mereka yang disebutkan oleh ayat ini merupakan golongan yang ketiga dari pemimpin manusia, karena
sesungguhnya manusia itu merupakan beban bagi para ulama, semua hamba Allah, dan orang-orang
yang memiliki harta.

Apabila keadaan mereka rusak, maka keadaan manusia pun rusak pula, seperti apa yang dikatakan oleh
Ibnul Mubarak dalam bait syairnya:

Tiada yang merusak agama kecuali para raja, orang-orang alim.

dan rahib-rahib yang su’ (jahat).

Pengertian al-kanzu menurut riwayat Malik, dari Abdullah ibnu Dinar, dari Ibnu Umar ialah harta yang
tidak ditunaikan zakatnya.

As-Sauri dan lain-lainnya telah meriwayatkan dari Ubaidillah Dari Nafi’, dari Ibnu Umar yang mengatakan
bahwa harta yang zakatnya dibayar bukanlah al-kanzu (harta simpanan), sekalipun harta tersebut
disimpan di bawah bumi lapis ketujuh.

Dan harta benda yang tampak, tetapi tidak dibayarkan zakatnya, maka harta itulah yang disebut al-
kanzu.
Hal ini telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Jabir, dan Abu Hurairah secara mauquf dan marfu’.

Umar ibnul Khattab dan lain-lainnya mengatakan bahwa suatu harta yang zakatnya ditunaikan bukan
dinamakan harta simpanan, sekalipun ditanam di dalam tanah.

Sedangkan suatu harta yang tidak ditunaikan zakatnya, maka harta itu adalah harta simpanan, kelak
pemiliknya akan disetrika dengannya (di hari kiamat), sekalipun harta itu ada di permukaan bumi.

Imam Bukhari telah meriwayatkan melalui hadis Az-Zuhri, dari Khalid ibnu Aslam yang mengatakan
bahwa kami keluar bersama Abdullah ibnu Umar, lalu Abdullah ibnu Umar berkata, “Ini sebelum
diturunkan ayat zakat.

Setelah ayat zakat diturunkan, maka Allah menjadikan zakat sebagai pencuci harta benda.”

Hal yang sama telah dikatakan oleh Umar ibnu Abdul Aziz dan Irak ibnu Malik, bahwa ayat ini di-mansukh
oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala.

yang mengatakan:

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.

(Q.S. At-Taubah [9]: 103), hingga akhir ayat.

Sa’id ibnu Muhammad ibnu Ziyad telah meriwayatkan dari Abu Umamah yang mengatakan, “Perhiasan
pedang termasuk barang simpanan, dan aku tidak sekali-kali berbicara kepada kalian melainkan apa yang
aku dengar dari Rasulullah ‫”ﷺ‬

Cukup banyak hadis yang menyebutkan tentang pujian kepada mempersedikit emas dan perak, dan
celaan terhadap memperbanyak memiliki keduanya.

Berikut ini kami ketengahkan sebagian dariny apa yang cukup untuk membuktikan keseluruhannya.

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami As-Sauri, telah menceritakan kepadaku Abu
Husain, dari Abud Duha, dari Ja’dah ibnu Hubairah, dari Ali r.a.
sehubungan dengan makna firman-Nya:

Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak., hingga, akhir ayat.

Bahwa Nabi ‫ ﷺ‬pernah bersabda: Celakalah bagi emas.

celakalah bagi perak.

Nabi ‫ ﷺ‬mengucapkannya sebanyak tiga kali.

Ali r.a.

melanjutkan kisahnya, bahwa hal tersebut terasa berat oleh para sahabat, dan mereka mengatakan,
“Harta apakah yang boleh kami miliki?”

Maka Umar r.a.

berkata, “Aku akan mempertanyakan hal ini buat kalian.” Umar r.a.

bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya sahabat-sahabatmu merasa keberatan.

Mereka menanyakan harta apakah yang boleh mereka miliki?”

Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: Lisan yang selalu berzikir kepada Allah, hati yang selalu bersyukur, dan istri yang
membantu seorang di antara kalian untuk agamanya.

hadis lain:

Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Amr ibnu Murrah, dari
Abu Muhammad ibnu Ja’far.

telah menceritakan kepada kami Syu’bah, telah menceritakan kepadaku Salim ibnu Abdullah, telah
menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Abul Huzail, telah menceritakan kepada kami seorang
temanku, bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬telah bersabda: Celakalah bagi emas dan perak.

Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa temannya itu berangkat bersama Umar ibnul Khattab menghadap
Rasulullah ‫ﷺ‬, lalu Umar bertanya, “Wahai Rasulullah, sabdamu mengatakan, ‘Celakalah bagi emas dan
perak.’ lalu harta apa yang boleh kami simpan0′” Rasulullah ‫ ﷺ‬menjawab: Lisan yang berzikir, hati yang
bersyukur, dan istri yang membantu urusan akhirat.

Dalam hadis lainnya Imam Ahmad mengatakan:


telah menceritakan kepada kami Waki’, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Amr ibnu
Murrah, dari ayahnya, dari Salim ibnu Abul Ja’d, dari Sauban yang mengatakan bahwa setelah diturunkan
ayat mengenai emas dan perak pada permulaannya, mereka bertanya, “Harta apakah yang boleh kami
ambil?”

Umar melanjutkan kisahnya, bahwa dialah yang akan menanyakan masalah itu kepada Rasulullah ‫ﷺ‬
Kemudian ia memacu untanya hingga berada di belakang unta Nabi ‫ﷺ‬, lalu bertanya, “Wahai Rasulullah,
harta apakah yang boleh kami ambil?

Maksudnya yang boleh mereka miliki.

Maka Rasulullah ‫ ﷺ‬menjawab melalui sabdanya: Hati yang bersyukur, lisan yang berzikir, dan istri yang
membantu seseorang di antara kalian untuk urusan akhiratnya.

Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah telah meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Salim ibnu Abul
Ja’d.

Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan.

Telah diriwayatkan pula dari Imam Bukhari.

bahwa Salim mendengar hadis ini dari Sauban.

Menurut kami, karena itulah sebagian dari mereka meriwayatkannya secara mursal (yakni hanya sampai
kepada tabi’in saja).

Dalam hadis lainnya lagi Ibnu Abu Hatim mengatakan:

telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Humaid ibnu Malik, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ya’la Al-Muharibi, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Gailan ibnu Jami’ Al-Muharibi.

dari Usman ibnu Abul Yaqzan, dari Ja’far ibnu Iyas, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan
bahwa ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman Allah subhanahu wa ta’ala.: Dan orang-orang yang
menyimpan emas dan perak.

(At-Taubah:34) hingga akhir ayat Maka hal itu terasa berat oleh kaum muslim, dan mereka mengatakan,
“Tiada seorang pun di antara kita yang bakal meninggalkan harta simpanan sepeninggalnya buat anak-
anaknya.” Maka Umar berkata, “Aku akan memberi jalan kepada kalian.” Maka Umar pergi menghadap
Nabi ‫ﷺ‬, dan kepergiannya itu diikuti oleh Sauban, lalu Umar bertanya, “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya
sahabat-sahabatmu merasa keberatan dengan ayat ini.” Maka Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: Sesungguhnya
Allah tidak memfardukan zakat kecuali hanya untuk membersihkan harta kalian yang masih tersisa
(tersimpan), dan sesungguhnya Allah telah memfardukan mawaris (pembagian waris) hanyalah terhadap
harta kalian yang masih tersisa sepeninggal kalian.

Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa setelah mendengar jawaban itu Umar r.a.

bertakbir.

Kemudian Nabi ‫ ﷺ‬bersabda pula kepadanya: Maukah aku ceritakan kepadamu tentang simpanan yang
paling baik buat seseorang?’ Yaitu wanita (istri) yang saleh, apabila suami memandangnya, maka ia
membuat suaminya gembira, dan apabila suami memerintahinya.

maka ia menaati suaminya, dan apabila suami tidak ada di tempat, maka ia memelihara kehormatan
suaminya.

Imam Abu Daud dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya serta Ibnu Murdawaih telan
meriwayatkan pula hadis ini melalui Yahya ibnu Ya’la dengan sanad yang sama.

Imam Hakim mengatakan, hadis ini sahih dengan syarat Bukhari dan Muslim, tetapi keduanya tidak
mengetengahkannya.

Dalam hadis lain Imam Ahmad mengatakan bahwa:

telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Al-Auza’i, dari Hissan ibnu
Atiyyah yang mengatakan bahwa Syaddad ibnu Aus r.a.

pernah melakukan suatu perjalanan, lalu ia turun istirahat di suatu tempat, kemudian berkata kepada
pelayannya, “Ambilkanlah bekal makanan kita untuk kita main-mainkan.” Maka aku (perawi) memprotes
kata-katanya itu.

Lalu ia berkata, “Tidak sekali-kali aku berbicara suatu kalimat sejak aku masuk Islam melainkan aku
mengungkapkannya dengan kata-kata kiasan, selain dari kalimatku berikut.

Maka janganlah kamu menghafal kata-kataku tadi, tetapi hafalkanlah apa yang akan aku kemukakan
kepada kalian sekarang ini.
Aku pernah mendengar Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: Apabila seseorang ingin menyimpan emas dan perak,
maka simpanlah (hafalkanlah) kalimat-kalimat berikut, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-
Mu kesabaran dalam mengerjakan perkara (agama) ini dan keteguhan hati dalam hidayah.

Dan aku memohon kepada Engkau (jadikanlah diriku orang yang) bersyukur atas nikmat-Mu.

Aku memohon kepada Engkau (jadikanlah diriku orang yang) beribadah kepada-Mu dengan baik.

Aku memohon kepada Engkau ( anugerahilah diriku) hati yang selamat.

Aku memohon kepada Engkau (anugerahilah diriku) lisan yang benar.

Aku memohon kepada Engkau (anugerahilah diriku) dari kebaikan segala sesuatu yang Engkau ketahui,
dan aku berlindung kepada Engkau dari kejahatan semua yang Engkau ketahui.

Dan aku memohon ampun kepada Engkau dari segala dosa yang Engkau ketahui, sesungguhnya Engkau
Maha Mengetahui semua yang gaib’.”

Hadits S

Anda mungkin juga menyukai