Anda di halaman 1dari 9

Lex Crimen Vol. IV/No.

3/Mei/2015

TINDAK PIDANA PEMBERONTAKAN mengalami banyak cobaan, baik berupa upaya


BERDASARKAN PASAL 108 KUH PIDANA1 untuk menyampingkan tujuan-tujuan negara
Oleh : Hendrick Winatapradja2 sebagaimana yang ditentukan dalam
Pembukaan UUD 1945 maupun berupa upaya
ABSTRAK untuk merubah dasar falsafah negara,
Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk sedangkan caranya adalah baik dengan jalan
mengetahui bagaimana tindak pidana politik maupun sampai pada melakukan
pemberontakan dalam Pasal 108 Kitab Undang- perlawanan bersenjata. Cobaan yang menjadi
undang Hukum Pidana dan bagaimana perhatian penulis dalam pembahasan skripsi ini
sebaiknya pengaturan tindak pidana adalah upaya-upaya yang berupa melakukan
pemberontakan dalam KUHP Nasional yang perlawanan dengan senjata atau perlawanan
akan dating. Dengan menggunakan metode bersenjata, yang disebut juga dengan istilah :
penelitian yuridis normatif, maka dapat pemberontakan, baik dalam percakapan sehari-
disimpulkan sebagai berikut: 1. Perbuatan hari maupun dalam Kitab Undang-undang
makar mempunyai tujuan tertentu yang jelas, Hukum Pidana.
sedangkan untuk pemberontakan hanya Contoh yang dapat dikemukakan mengenai
disyaratkan tujuan bersifat sangat umum. Yang perlawanan bersenjata ini antara lain adalah
penting dalam tindak pidana pemberontakan pada tanggal 18 September 1948 di bawah
adalah cara melakukannya atau alat yang pimpinan Suprapto alias Muso secara resmi
digunakan, yaitu perlawanan itu dilakukan menyatakan pemberontakan di Madiun.
dengan menggunakan senjata. Untuk tindak Contoh-contoh lainnya adalah ketika
pidana makar tidak disyaratkan penggunaan Kartosuwirjomemproklamasikan berdirinya
senjata. Sudah merupakan tindak pidana suatu negara baru, yaitu “Negara Islam
makar apabila orang melakukan unjuk rasa Indonesia”, dan diproklamasikan berdirinya
(demonstrasi) besar-besaran dengan maksud Republik Maluku Selatan pada tanggal 25 April
misalnya menggulingkan pemerintah (Pasal 107 1950.
KUHPidana). 2. Rumusan tindak pidana Perbuatan-perbuatan tersebut di atas dapat
pemberontakan yang disusun oleh Panitia dicakup oleh ketentuan pidana Pasal 108 Kitab
Penyusun Rancangan Undang-undang KUHP Undang-undang Hukum Pidana yang mengatur
(1991/1992) memiliki beberapa kelemahan tentang tindak pidana pemberontakan, yang
dalam perumusan, yaitu: Dalam rumusan menurut terjemahan yang dikerjakan oleh Tim
tersebut digunakannya kata-kata “melawan.. Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional
dengan mengangkat senjata”, di mana kata- Departemen Kehakiman berbunyi selengkapnya
kata “mengangkat senjata” ini kata-kata yang sebagai berikut,
tidak tegas artinya sehingga dapat (1) Barang siapa bersalah karena
mengaburkan maksud yang sebenarnya. Dalam pemberontakan, diancam dengan pidana
rumusan digunakan kata-kata “pemerintah penjara paling lama lima belas tahun :
yang sah”, di mana pencantuman kata “yang 1. Orang yang melawan Pemerintah
sah” ini akan dapat menimbulkan persoalan Indonesia dengan senjata.
pembuktian tentang keabsahan dari 2. Orang yang dengan maksud melawan
pemerintah yang ada. Pemerintah Indonesia menyerbu
Kata kunci: Tindak pidana, pemberontakan, bersama-sama atau menggabungkan
Pasal 108 KUHP. diri pada gerombolan yang melawan
Pemerintah dengan senjata.
PENDAHULUAN (2) Para pemimpin dan para pengatur
A. Latar Belakang Penulisan pemberontakan diancam dengan pidana
Sejak proklamasi kemerdekaan pada tanggal penjara seumur hidup atau pidana penjara
17 Agustus 1945, bangsa Indonesia telah paling lama dua puluh tahun.3Secara
1
Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Refly Singal, SH,
3
MH; Fonny Tawas, SH, MH; Yumy Simbala, SH, MH. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional,
2
Mahasiswa pada Fakultas Hukum Universitas Sam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Sinar Harapan,
Ratulangi. NIM. 080711435 Jakarta, 1983, hal. 52.

150
Lex Crimen Vol. IV/No. 3/Mei/2015

yuridis dapat dipertanyakan seberapa diperoleh, diinventarisasi dan diidentifikasi


luaskah cakupan dari rumusan Pasal 108 kemudian dianalisis secara kualitatif.
KUHP ini atau perbuatan-perbuatan
apakah yang dapat didakwa berdasarkan PEMBAHASAN
ketentuan pasal ini. Dengan perkataan A. Rumusan Pasal 108 KUHP
lain, di manakah batas perbedaan antara Butir ke-1 dan ke-2 dari Pasal 108 ayat (1)
pasal 108 KUHP ini dengan tindak-tindak KUHP sebenarnya lebih merupakan pemberian
pidana lain, terutama tindak-tindak pidana arti tentang apa yang dimaksudkan dengan
makar (aanslag) dalam Buku II Bab I KUHP, pemberontakan; sedangkan dalam Pasal 108
yaitu pasal 104, 106 dan 107. ayat (2) diatur ancaman hukum bagi para
pemimpin dan pengatur pemberontakan.
Hal lainnya yang menarik perhatian adalah Berikut ini ketiga tindak pidana tersebut
kaitan Pasal 108 KUHP dengan persoalan hak- akan dibahas satu persatu.
hak asasi manusia (human rights). 1. Tindak pidana pemberontakan dalam Pasal
Sebagaimana diketahui, upaya-upaya untuk 108 ayat (1) ke-1 KUHP
mendorong pengakuan terhadap hak-hak asasi Dengan memperhatikan keempat
manusia merupakan gerakan yang dewasa ini terjemahan tersebut maka sebagai unsur-unsur
sangat kuat baik di dunia internasional maupun dari Pasal 108 ayat (1) ke-1 KUHP adalah :
di dalam negara Indonesia sendiri. Dengan 1. Barangsiapa/orang;
demikian dapat dipertanyakan, apakah 2. Melawan dengan senjata/melakukan
dilakukannya pemberontakan merupakan perlawanan bersenjata;
perwujudan dari hak-hak asasi manusia atau 3. Terhadap “Pemerintah Indonesia” (Tim
apakah pemberontakan dapat dibenarkan dari Penerjemah Badan Pembinaan Hukum
sudut hak-hak asasi manusia. Nasional), “pemerintah yang sah di
Berdasarkan latar belakang sebagaimana Indonesia” (S.R. Sianturi), atau
diuraikan di atas maka dalam rangka penulisan “kekuasaan yang telah ada di
skripsi penulis berkehendak membahasnya di Indonesia” (Lamintang dan Samosir)
bawah judul “Tindak pidana pemberontakan atau “kekuasaan yang telah berdiri di
dalam pasal 108 Kitab Undang-undang Hukum Negara Indonesia” (R. Soesilo).
Pidana”. Kata “barangsiapa” atau “orang” menunjuk
pada subyek tindak pidana. Oleh karena sistem
B. Perumusan Masalah KUHP hanya mengenal manusia sebagai subyek
1. Bagaimana tindak pidana tindak pidana, dan belum menerima badan
pemberontakan dalam Pasal 108 Kitab hukum (rechtspersoon) sebagai subyek tindak
Undang-undang Hukum Pidana? pidana, maka yang dimaksudkan dengan
2. Bagaimana sebaiknya pengaturan tindak “barangsiapa” atau “orang” dalam Pasal 108
pidana pemberontakan dalam KUHP KUHP adalah manusia.
Nasional yang akan datang? Dapatkah pemberontakan dilakukan oleh
hanya 1 (satu) orang saja. S.R. Sianturi menulis,
C. Metode yang Digunakan Oleh karena itu pelaku dari delik ini hanya
Penelitian ini merupakan penelitian hukum dapat dibayangkan jika dilakukan oleh
normatif yang dipergunakan dalam usaha banyak orang.Berapa orang tepatnya tiada
menganalisis bahan hukum dengan mengacu suatu ketentuan, namun mereka itu
kepada norma-norma hukum yang dituangkan tergabung dalam suatu organisasi
dalam peraturan perundang-undangan. betapapun kecilnya.Sudah tentu bahwa
Prosedur identifikasi dan inventarisasi bahan organisasi ini tidak harus merupakan suatu
hukum yang mencakup bahan hukum primer, organisasi yang resmi.Ini tidak berarti bahwa
yaitu peraturan perundang-undangan, bahan jika dua atau tiga orang telah meningkatkan
hukum sekunder, yaitu literatur dan karya keresahannya dengan perlawanan
ilmiah hukum. Bahan hukum tersier, terdiri bersenjata, seluruh anggota organisasi itu
dari; kamus hukum. Bahan hukum yang

151
Lex Crimen Vol. IV/No. 3/Mei/2015

dapat dipandang sebagai pelaku perlawanan padahal orang dapat berbeda dalam
bersenjata.4 menafsirkan sesuatu.
Terjemahan kata demi kata adalah lebih
Unsur berikutnya adalah “melawan dengan baik, terbukti dari contoh yang diberikan oleh
senjata” atau “perlawanan bersenjata”.Hal ini Satochid Kartanegara. Menurut beliau, cakupan
pertama-tama berarti bahwa untuk dapat Pasal 108 KUHP tidaklah hanya bagi mereka
disebut sebagai pelaku tindak pidana yang jelas-jelas telah melakukan perlawanan
pemberontakan ini maka yang bersangkutan bersenjata terhadap kekuasaan pusat seperti
harus melakukan perlawanan dengan yang dahulu pernah dilakukan dalam beberapa
mempergunakan senjata. pemberontakan, seperti pemberontakan
Oleh S.R. Sianturi dikatakan bahwa “yang Republik Maluku Selatan, melainkan juga bagi
dimaksudkan dengan senjata tidak terbatas orang-orang yang misalnya datang berduyun-
pada senjata-senjata mutakhir saja, tetapi duyun ke suatu pos polisi, kantor telepon,
dapat dilakukan dengan senjata tajam atau gedung pemancar radio dan lain sebagainya
runcing.” 5 dengan maksud untuk merampas dan
Jadi, istilah “senjata” tidaklah harus menduduki bagunan-bangunan tersebut,
diartikan sebagai senjata api. Semua jenis apabila untuk mencapai maksud mereka,
senjata yang menurut sifatnya dapat digunakan mereka telah dianggap melakukan
untuk melakukan perlawanan terhadap pemberontakan dengan senjata.
kekuasaan yang ada Indonesia, misalnya pisau, Demikian pula pendapat Lamintang dan
tombak, panah, bambu runcing, dan lain Samosir yang mengatakan bahwa kata-kata
sebagainya, adalah “senjata” yang dalam arti “kekuasaan yang ada di Indonesia” haruslah
pasal ini. ditafsirkan sebagai kekuasaan yang ada di
Perbedaan dalam menerjemahkan adalah pusat, maupun yang ada di daerah.6
terhadap unsur yang ketiga, yang teks resminya Berbeda halnya apabila digunakan
berbunyi “in Indonesia gevestigde gezag”. terjemahan “Pemerintah Indonesia”.Kata-kata
Lamintang dan Samosir telah ini memberikan kesan bahwa perlawanan
menerjemahkannya, secara kata bersenjata yang dilakukan harus ditujukan pada
perkatasebagai ”kekuasaan yang telah ada di Pemerintah Indonesia sebagai keseluruhan.
Indonesia”. Terjemahan yang mirip adalah Menurut pendapat ahli-ahli hukum yang
terjemahan dari R. Soesilo, yaitu “kekuasaan disebutkan di atas, perlawanan bersenjata yang
yang telah berdiri di Negara Indonesia”. dilarang dalam Pasal 108 KUHP bukanlah hanya
Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum perlawanan bersenjata terhadap Pemerintah
Nasional membuat terjemahan yang berbeda, Indonesia secara keseluruhan semata-mata,
yaitu hanya mengatakannya sebagai melainkan juga mencakup perbuatan
“Pemerintah Indonesia”, sedangkan S.R. melakukan perlawanan bersenjata terhadap
Sianturi menerjemahkannya “pemerintah yang suatu kekuasaan umum, baik di pusat maupun
sah di Indonesia”.Dalam kedua terjemahan di daerah, seperti kepolisian setempat,
terakhir ini telah terkandung penafsiran kejaksaan setempat, dan sebagainya.
terhadap kata-kata “in Indonesia gevestigde Terjemahan S.R. Sianturi, “pemerintah yang
gezag”. sah di Indonesia”, akan menimbulkan
Terjemahan menurut kata demi kata, pertanyaan : apakah pemerintah terhadap
misalnya menerjemahkan “gezag” sebagai siapa orang melakukan perlawanan bersenjata
“kekuasaan”, sebagaimana yang dilakukan oleh itu merupakan pemerintah yang sah atau
Lamintang & Samosir dan R. Soesilo, tidak? Jaksa Penuntut Umum mau tidak mau
sebenarnya lebih selayaknya dilakukan. harus memberikan pembuktian tentang
Menerjemahkan “gezag” sebagai keabsahan pemerintah yang ada.
“pemerintah”, telah mengandung penafsiran, Dikaitkan dengan keadaan pada tahun 1998,
di mana ada sejumlah ahli hukum yang
menolak keabsahan Presiden B.J. Habibie
4
Ibid.
5 6
Ibid. Lamintang. Samosir, Loc.cit.

152
Lex Crimen Vol. IV/No. 3/Mei/2015

sebagai Presiden, maka diikutinya terjemahan -sengaja dengan kesadaran tentang


S.R. Sianturi akan menimbulkan perbantahan keharusan; dan,
yang panjang di pengadilan. Hal ini tidak akan - sengaja dengan kesadaran tentang
perlu terjadi jika diikuti terjemahan kata demi kemungkinan atau dolus eventualis.
kata, yaitu “kekuasaan yang telah ada di Bentuk kesengajaan “dengan maksud”
Indonesia”. berarti pelaku sepenuhnya “menghendaki dan
mengetahui” apa yang dilakukannya.
2. Tindak pidana pemberontakan dalam Pasal Karena unsur “dengan maksud” ini
108 ayat (1) ke-2 KUHP diletakkan di depan unsur-unsur yang lain,
Dengan memperhatikan keempat berarti unsur-unsur yang lain tersebut diliputi
terjemahan tersebut maka sebagai unsur-unsur oleh unsur “dengan maksud”.
dari Pasal 108 ayat (1) ke-2 KUHP adalah : Dengan demikian harus dibuktikan bahwa
1. Barangsiapa; pelaku memang bermaksud untuk melawan
2. Dengan maksud; kekuasaan yang telah ada di Indonesia; untuk
3. “melawan Pemerintah Indonesia” (Tim itu si pelaku :
Penerjemah Badan Pembinaan Hukum - menyerbu bersama-sama dengan/ikut
Nasional), atau “menentang Pemerintah serta dengan gerombolan orang
Indonesia” (S.R. Sianturi), atau “melawan bersenjata yang melawan kekuasaan
kekuasaan yang telah ada di Indonesia” yang ada itu; atau,
Lamintang & Samosir), atau “menentang - menggabungkan diri pada gerombolan
kepada kekuasaan yang telah berdiri di orang bersenjata yang melawan
Negara Indonesia” (R. Soesilo); kekuasaan yang ada itu.
4. “Menyerbu bersama-sama” (Tim Seperti diketahui suatu organisasi yang
Penerjemah Badan Pembinaan Hukum melakukan perlawanan bersenjata di dalamnya
Nasional), atau “melakukan gerakan dapat tergabung pasukan tempur, staf,
bersama-sama” (S.R., Sianturi), atau “ikut cadangan dan lain sebagainya. Ordonans yang
serta bersama” (Lamintang & Samosir), menerima dan membawa berita dari suatu
atau “melawan” (R. Soesilo); atau, bagian ke bagian lainnya, kendati ia tak
5. “Menggabungkan diri”; bersenjata, termasuk juga pelaku dari
6. “Pada gerombolan yang melawan pemberontakan. Lebih tegas lagi hal ini
Pemerintah dengan senjata” (Tim ditentukan di sub ayat kedua yang
Penerjemah Badan Pembinaan Hukum mengkualifikasikan sebagai pelaku
Nasional), “dengan suatu satuan pemberontakan, mereka yang bergerak
pemberontak yang melakukan bersama-sama suatu satuan pemberontakan,
perlawanan bersenjata terhadap kendati mereka itu tidak bersenjata.Demikian
pemerintah tersebut” (S.R. Sianturi), pula mereka yang menggabungkan diri pada
“pada suatu gerombolan yang melawan satuan pemberontak itu dikualifikasikan
dengan senjata terhadap kekuasaan sebagai pelaku pemberontakan.7
tersebut” (Lamintang & Samosir), “pada
gerombolan orang bersenjata yang 3. Tindak pidana dalam Pasal 108 ayat (2)
melawan kekuasaan itu” (R. Soesilo). KUHP
Unsur “barangsiapa” telah dijelaskan di atas Dalam ayat (1) ditentukan ancaman pidana
dan berlaku juga untuk tindak pidana ini. terhadap para pemimpin dan para pengatur
Unsur “dengan maksud” yang pemberontak. Jika pelaku pemberontak dalam
diterjemahkan dari kata “oogmerk” merupakan pasal 108 ayat (1) KUHP diancam dengan
unsur subyektif, yaitu berkenaan dengan sikap pidana penjara selama-lamanya 15 (lima belas)
batin pelaku. tahun, maka para pemimpin dan para pengatur
Unsur “dengan maksud” merupakan unsur pemberontak diancam dengan pidana
kesengajaan. Dalam doktrin dan yurisprudensi maksimum yang lebih tinggi, yaitu diancam
dikenal adanya tiga bentuk kesengajaan, yaitu : dengan pidana penjara seumur hidup atau
- sengaja sebagai maksud;
7
S.R. Sianturi, Op.cit., hal. 22.

153
Lex Crimen Vol. IV/No. 3/Mei/2015

pidana penjara sementara selama-lamanya 20 dibenarkan dari sudut pertimbangan hak asasi
(dua puluh) tahun. manusia?
Tindak pidana pemberontakan (opstand) Pasal 108 Kitab Undang-undang Hukum
mempunyai perbedaan yang khas dengan Pidana adalah hukum normatif; sedangkan hak
tindak-tindak pidana makar (aanslag) yang asasi manusia, pada umumnya, kecuali apabila
diatur dalam Pasal 104, 106 dan 107 KUHP. telah dituangkan dalam bentuk peraturan
Pasal 104 KUHP mengancamkan pidana perundang-undangan, lebih merupakan hukum
terhadap makar yang dilakukan dengan yang dicita-citakan atau bentuk yang ideal dari
maksud akan menghilangkan nyawa atau hukum.
kemerdekaan Presiden atau Wakil Presiden Sebagai hukum normatif, Pasal 108 KUHP,
atau dengan maksud akan menjadikan mereka tetap dapat digunakan oleh pengadilan sebagai
itu tidak cakap memerintah; Pasal 106 KUHP dasar yuridis untuk menyatakan pelaku
mengancamkan pidana terhadap makar dengan pemberontakan bersalah.Pembelaan dari sudut
maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah hak asasi manusia, yaitu keinginan untuk
negara jatuh ketangan musuh atau merdeka dari pemerintah yang ada, pada
memisahkan sebagian wilayah negara dari yang umumnya bukanlah alasan pembenar atau
lain; Pasal 107 mengancamkan pidana terhadap alasan pemaaf yang bersifat yuridis untuk
makar yang dilakukan untuk menggulingkan pemberontakan.Ini karena pemerintah suatu
pemerintah. negara berkewajiban menjaga keutuhan negara
Perbedaan antara tindak pidana dan kewibawaan pemerintah.
pemberontakan dengan tindak-tindak pidana Rumusan hak-hak asasi yang dikenal juga
makar adalah : tidak ada yang menegaskan adanya hak
1. Perbuatan makar mempunyai tujuan memberontak dari pemerintah yang ada.
tertentu yang jelas, yaitu : menghilangkan Pengecualiannya hanyalah apabila
nyawa atau kemerdekaan Presiden atau pemberontakan itu merupakan pemberontakan
Wakil Presiden atau akan menjadikan dari suatu bangsa untuk bebas dari penjajahan
mereka itu tidak cakap memerintah (Pasal bangsa lain. Dalam alinea pertama Pembukaan
104), supaya seluruh atau sebagian wilayah Undang-undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa
negara jatuh ke tangan musuh atau “kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan
memisahkan sebagian wilayah negara dari oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia
yang lain (Pasal 106), atau untuk harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
menggulingkan pemerintah (Pasal 107 peri kemanusiaan dan peri keadilan”.
KUHP). Di lain pihak, untuk pemberontakan Pembenaran lainnya adalah apabila pihak
hanya disyaratkan tujuan bersifat sangat yang memberontak itu menggerakkan suatu
umum, yaitu melawan kekuasaan yang telah revolusi yang pada akhirnya menang dan
ada di Indonesia. Yang penting dalam tindak kemudian kemenangan itu diterima umum. L.J.
pidana pemberontakan adalah cara van Apeldoorn, dalam Bab V :”Hukum dan
melakukannya atau alat yang digunakan, Kekuasaan” dari bukunya tentang pengantar
yaitu perlawanan itu dilakukan dengan ilmu hukum, menulis,
menggunakan senjata. … acapkali terbentuk tata tertib hukum yang
2. Sebagaimana telah disebutkan di atas, untuk baru oleh revolusi, karena di sinipun
tindak pidana makar tidak disyaratkan kekuasaan menciptakan hukum dan
penggunaan senjata. Sudah merupakan menciptakan hukum yang baru. Revolusi
tindak pidana makar apabila orang dapat disertai atau tidak oleh pemakaian
melakukan unjuk rasa (demonstrasi besar- alat-alat kekuasaan materiil, kekerasan.
besaran) dengan maksud untuk misalnya Akan tetapi kekuasaan revolusi hanya
menggulingkan pemerintah yang ada (Pasal menciptakan hukum, jika ia bersandar pada
107 KUHP). pertimbangan susila dari sesuatu bangsa,
Apakah pemberontakan dapat dikatakan dan bila hukum yang ada itu telah
merupakan perwujudan dari hak asasi manusia kehilangan sandaran itu maka hukum itu
(human rights), yaitu kemerdekaan? Dengan kehilangan sifat hukumnya dan diturunkan
kata lain apakah pemberontakan dapat hingga derajat kekuasaan belaka. Karena

154
Lex Crimen Vol. IV/No. 3/Mei/2015

itulah revolusi berarti kemenangan Asasi Manusia? Pasal 108 Kitab Undang-
kekuasaan susila atau kekuasaan fisik; maka undang Hukum Pidana adalah hukum normatif;
barulah kemenangannya mungkin menjadi sedangkan Hak Asasi Manusia, pada umumnya
kekal. Karena itu dapatlah dikatakan bahwa lebih merupakan hukum yang dicita-citakan
revolusi dapat dibenarkan jika ia sungguh- atau bentuk yang ideal dari
sungguh berhasil, dan bahwa kekuasaan hukum.Pengecualiannya hanyalah apabila telah
yang dapat bertahan itu akhirnya menjadi dituangkan dalam bentuk peraturan
hukum. 8 perundang-undangan.Apabila telah dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan, barulah
Pembenaran yang dikemukakan di atas rumusan Hak Asasi Manusia tersebut menjadi
adalah pembenaran terhadap pemberontakan hukum normatif.
yang merupakan suatu revolusi yang Sebagai hukum normatif, Pasal 108
berlandaskan nilai-nilai kesusilaan tertentu KUHPidana, tetap dapat digunakan oleh
untuk menggulingkan suatu pemerintah yang pengadilan sebagai dasar yuridis untuk
telah kehilangan nilai-nilai susila dari bangsa menyatakan pelaku pemberontakan
tersebut. Pembenaranpun dari aspek yuridis bersalah.Pembelaan dari sudut hak asasi
hanya dapat dicapai jika revolusi itu pada manusia, yaitu keinginan untuk merdeka dari
akhirnya menang dan kemudian diterima pemerintah yang ada, pada umumnya bukanlah
secara umum. Kemungkinan pembenaran alasan pembenar atau alasan pemaaf yang
lainnya adalah sebagaimana dikemukakan oleh bersifat yuridis untuk pemberontakan.Ini
Thomas Aquinas yang mengajarkan bahwa, karena pemerintah suatu negara berkewajiban
“pemberontakan terhadap pemerintah tiranik menjaga keutuhan negara dan kewibawaan
hanya dapat dibenarkan, jika ia memuat pemerintah.
harapan akan berhasil …”.9 Rumusan Hak Asasi Manusia yang dikenal
Dalam pandangan Thomas Aquinas juga tidak ada yang menegaskan adanya hak
pembenaran suatu pemberontakan hanya memberontak dari pemerintah yang ada.
dapat dibenarkan jika dilakukan terhadap Pengecualiannya hanyalah apabila
pemerintah tiranik dan mempunyai harapan pemberontakan itu merupakan pemberontakan
untuk menang. Baik dalam pandangan L.J. van dari suatu bangsa untuk bebas dari penjajahan
Apeldoorn maupun Thomas Aquinas untuk bangsa lain. Dalam alinea pertama Pembukaan
kemenangan mempunyai peran penting. Undang-undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa
Dengan kemenangan barulah terbuka “kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan
kemungkinan untuk pembenaran yuridis. Dari oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia
pendapat-pendapat di atas, tidak ada yang harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
sampai pada membenarkan pemberontakan peri kemanusiaan dan peri keadilan”.
yang dilakukan oleh suatu kelompok orang Pembenaran lainnya adalah apabila pihak
terhadap pemerintah dari bangsanya sendiri yang melakukan pemberontakan itu
(bukan penjajah) semata-mata dengan hanya menggerakkan suatu revolusi yang pada
dilatar belakangi oleh keinginan untuk merdeka akhirnya berhasil menang dan kemudian
saja. kemenangan itu diterima umum.
L.J. van Apeldoorn, dalam Bab V :”Hukum
B. Tindak Pidana Pemberontakan Di Masa dan Kekuasaan” dari bukunya tentang
Mendatang Pengantar Ilmu Hukum, menulis sebagai
Apakah pemberontakan dapat dikatakan berikut,
merupakan perwujudan dari Hak Asasi Manusia … acapkali terbentuk tata tertib hukum yang
(human rights), yaitu hak atas kemerdekaan? baru oleh revolusi, karena di sinipun
Dengan kata lain, apakah pemberontakan kekuasaan menciptakan hukum dan
dapat dibenarkan dari sudut pertimbangan Hak menciptakan hukum yang baru. Revolusi
dapat disertai atau tidak oleh pemakaian
8
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan : alat-alat kekuasaan materiil, kekerasan.
Oetaid Sadino, Pradnya Paramita, Jakarta, cet.ke-22, 1985,
Akan tetapi kekuasaan revolusi hanya
hal. 76.
9
Ibid. menciptakan hukum, jika ia bersandar pada

155
Lex Crimen Vol. IV/No. 3/Mei/2015

pertimbangan susila dari sesuatu bangsa, kelompok orang terhadap pemerintah dari
dan bila hukum yang ada itu telah bangsanya sendiri (bukan penjajah) semata-
kehilangan sandaran itu maka hukum itu mata dengan hanya dilatar belakangi oleh
kehilangan sifat hukumnya dan diturunkan keinginan untuk merdeka saja.
hingga derajat kekuasaan belaka. Karena Uraian di atas jelas bahwa keberadaan
itulah revolusi berarti kemenangan ancaman pidana terhadap pemberontakan
kekuasaan susila atau kekuasaan fisik; maka masih tetap diperlukan.
barulah kemenangannya mungkin menjadi Dalam naskah Kitab Undang-undang Hukum
kekal. Karena itu dapatlah dikatakan bahwa Pidana (Baru) Buku Kesatu, Buku Kedua yang
revolusi dapat dibenarkan jika ia sungguh- disusun oleh Panitia Penyusun Rancangan
sungguh berhasil, dan bahwa kekuasaan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum
yang dapat bertahan itu akhirnya menjadi Pidana (1991/1992), dan telah disempurnakan
hukum. 10 oleh Tim Kecil sampai dengan 13 Maret 1993,
tindak pidana pemberontakan diatur sebagai
Pembenaran yang dikemukakan di atas berikut (pasal 107 (01.07) :
adalah pembenaran terhadap pemberontakan (1) Dipidana dengan pidana penjara paling
yang merupakan suatu revolusi yang lama lima belas tahun dan paling rendah
berlandaskan nilai-nilai kesusilaan tertentu tiga belas tahun karena pemberontakan :
untuk menggulingkan suatu pemerintah yang Ke-1 barangsiapa melawan pemerintah
telah kehilangan nilai-nilai susila dari bangsa yang sah. Dengan mengangkat
tersebut. senjata;
Pembenaranpun dari aspek yuridis hanya Ke-2 barangsiapa dengan maksud untuk
dapat dicapai jika revolusi itu pada akhirnya melawanPemerintah yang sah
menang dan kemudian diterima umum. bergerak bersama-atau
Kemungkinan pembenaran lainnya adalah menyatukan diri pada
sebagaimana dikemukakan oleh Thomas gerombolanyang melawan
Aquinas yang mengajarkan bahwa, pemerintah yang sah dengan
“pemberontakan terhadap pemerintah tiranik mengangkat senjata.
hanya dapat dibenarkan, jika ia memuat (2) Para pemimpin dan pengatur
harapan akan berhasil …”.11 Dalam pandangan pemberontakan dipidana penjara seumur
Thomas Aquinas, suatu pemberontakan hanya hidup atau pidana penjara paling lama dua
dapat dibenarkan jika dilakukan terhadap puluh tahun dan paling rendah lima tahun.
12
pemerintah tiranik dan mempunyai harapan
untuk menang. Dengan demikian ada dua
unsur yang harus dipenuhi, yaitu: (1) Beberapa perbedaan yang terdapat antara
pemberontakan itu dilakukan terhadap rumusan pasal 108 KUHP dengan naskah
pemerintah yang tiranik atau sewenang- rancangan KUHP (Baru) adalah :
wenang; dan (2) pemberontakan itu 1. Kata “bersalah” atau “salah” di awal kalimat
mempunyai harapan untuk menang. Baik Pasal 108 ayat (1) KUHP telah dihilangkan.
dalam pandangan L.J. van Apeldoorn maupun Ini karena dalam sistem KUHP (Baru) unsur-
Thomas Aquinas, segi kemenangan mempunyai unsur subyektif telah ditempatkan dalam
peran penting dalam pembenaran dari suatu Buku I (Ketentuan Umum) sehingga tidak
pemberontakan. Dengan kemenangan barulah lagi perlu diulang dalam rumusan tindak
terbuka kemungkinan untuk pembenaran pidana.
yuridis. 2. Dalam Naskah digunakan kata-kata
Dari pendapat-pendapat di atas, tidak ada “melawan … dengan mengangkat senjata”.
yang sampai pada membenarkan Kata-kata “mengangkat senjata” ini adalah
pemberontakan yang dilakukan oleh suatu suatu kata bersifat kiasan yang dapat
10
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum,terjemahan :
12
Oetaid Sadino, Pradnya Paramita, Jakarta, cet.ke-22, 1985, Departemen Kehakiman RI, Naskah Kitab Undang-
hal. 76. undang Hukum Pidana (Baru), Buku Kesatu, Buku Kedua,
11
Ibid. fotokopi.

156
Lex Crimen Vol. IV/No. 3/Mei/2015

mengaburkan maksudnya. Adalah lebih baik 1991/1992 memiliki beberapa


jika digunakan kata-kata yang sudah lazim kelemahan dalam perumusan, yaitu:
dalam terjemahan-terjemahan KUHP 2.1. Dalam rumusan tersebut
sekarang, yaitu “melawan dengan senjata” digunakannya kata-kata “melawan …
atau perlawanan bersenjata”. dengan mengangkat senjata”, di
3. Dalam Naskah rancangan digunakan kata- mana kata-kata “mengangkat
kata “pemerintah yang sah”. Sebagaimana senjata” ini kata-kata yang tidak
telah dikemukakan di atas, pencantuman tegas artinya sehingga dapat
kata “sah” akan menimbulkan persoalan mengaburkan maksud yang
pembuktian tentang keabsahan pemerintah sebenarnya.
yang ada. 2.2. Dalam rumusan digunakan kata-kata
“pemerintah yang sah”, di mana
PENUTUP pencantuman kata “yang sah” ini
A. Kesimpulan akan dapat menimbulkan persoalan
1. Perbedaan antara tindak pidana pembuktian tentang keabsahan dari
pemberontakan dengan tindak-tindak pemerintah yang ada.
pidana makar dalam Pasal 104, 106 dan
107 KUHPidana adalah : B. Saran
1.1. Perbuatan makar mempunyai tujuan 1. Karena rumusan-rumusan Hak Asasi
tertentu yang jelas, yaitu: Manusia, baik nasional maupun
menghilangkan nyawa atau internasional, tidak ada yang
kemerdekaan Presiden atau Wakil membenarkan dilakukannya
Presiden atau akan menjadikan pemberontakan oleh suatu kelompok
mereka itu tidak cakap memerintah orang melawan pemerintahan oleh
(Pasal 104 KUHPidana), supaya bangsanya sendiri, semata-mata karena
seluruh atau sebagian wilayah keinginan untuk merdeka saja, maka
negara jatuh ke tangan musuh atau tindak pidana pemberontakan dapat dan
memisahkan sebagian wilayah harus dipertahankan keberadaannya
negara dari yang lain (Pasal 106 dalam KUHPidana Nasional yang akan
KUHPidana), atau untuk datang.
menggulingkan pemerintah (Pasal 2. Kata “melawan… dengan mengangkat
107 KUHPidana). Di lain pihak, untuk senjata”, sebaiknya dirubah dengan
pemberontakan hanya disyaratkan mengikuti terjemahan-terjemahan yang
tujuan bersifat sangat umum, yaitu sudah lazim terhadap KUHPidana
melawan kekuasaan yang telah ada sekarang. Dalam KUHPidana sekarang
di Indonesia. Yang penting dalam digunakan kata-kata “melawan dengan
tindak pidana pemberontakan senjata” atau “perlawanan bersenjata”.
adalah cara melakukannya atau alat Juga penggunaan kata “yang sah” dari
yang digunakan, yaitu perlawanan rumusan “pemerintah yang sah”
itu dilakukan dengan menggunakan sebaiknya ditiadakan untuk menghindari
senjata. kesulitan dalam soal pembuktian.
1.2. Untuk tindak pidana makar tidak
disyaratkan penggunaan senjata. DAFTAR PUSTAKA
Sudah merupakan tindak pidana Apeldoorn, L.J. van, Pengantar Ilmu Hukum,
makar apabila orang melakukan Pradnya Paramita, Jakarta, cet.ke-22, 1985.
unjuk rasa (demonstrasi) besar-
besaran dengan maksud misalnya Departemen Kehakiman, Naskah Rancangan
menggulingkan pemerintah (Pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana
107 KUHPidana). (Baru), Buku Kesatu, Buku Kedua, fotokopi.
2. Rumusan tindak pidana pemberontakan Lamintang, P.A.F., Samosir, C.D., Hukum Pidana
yang disusun oleh Panitia Penyusun Indonesia, Sinar Baru, Bandung, cet.ke-2,
Rancangan Undang-undang KUHP (Baru) 1985.

157
Lex Crimen Vol. IV/No. 3/Mei/2015

Prakoso, Djoko, Tindak Pidana Makar menurut


KUHP, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986.
Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum
Pidana di Indonesia, PT Eresco, Jakarta-
Bandung, 1986.
----------, Tindak-tindak Pidana Tertentu di
Indonesia, PT Eresco, Jakarta-Bandung,
1967.
Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI). Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI), Sekretariat Negara
Republik Indonesia, Jakarta, 1995
Sianturi, S.R., Tindak Pidana di KUHP, Alumni
AHM-PTHM, Jakarta, 1983.
Soesilo, R., KUHP Serta Komentar-
komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal,
Politeia, Bogor, 1981.
Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, Sinar Harapan, Jakarta, 1983.
Tim Pengasuh Mata Kuliah, Pengantar Ilmu
Hukum, Bahan Ajar, Fakultas Hukum Unsrat,
Manado, 2012.

158

Anda mungkin juga menyukai