Anda di halaman 1dari 162

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena

atas karunia-Nya penulis dapat menerbitkan diktat Psikologi Sosial II ini

sebagai bahan acuan bagi mahasiswa Psikologi dalam proses belajar-mengajar di

kelas.

Buku Diktat ini disusun untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa dalam

perkuliahan Mata Kuliah Soaial II. Bahan-bahan yang dikemukakan dalam Diktat

ini dipilih sesuai dengan materi pokok yang harus dipelajari mahasiswa dan

mengacu pada ketentuan silabus yang telah ditetapkan. Bahan-bahan materi

pokok ini merupakan hasil rangkuman yang dipetik dan didasarkan dari berbagai

buku referensi sosial dan kemudian diperbanyak untuk dipakai sebatas dikalangan

mahasiswa guna mempelancar proses study agar mahasiswa mengetahui secara

luas dan mendalam masalah sosial yang merupakan dasar pemahaman terhadap

diri sendiri.

Penulis mempersembahkan Diktat ini sebagai bagian dari usaha

mempelancar wawasan dan mencerdaskan bangsa demi turut membangun manusia

seutuhnya yang nantinya menjadi tema sentral pembangunan Negara kita. Mudah-

mudahan Diktat ini bermanfaat dan kami merasa Diktat ini masih sangat banyak

kekurangannya dan bila ada kejanggalan dalam uraiannya untuk itu kami menunggu

saran dan kritiknya. Atas partisipasi semua pihak penulis mengucapkan terima

kasih banyak.

Medan, 2013

Penulis

Istiana S.Psi, M.Pd

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................... 1

DAFTAR ISI.......................................................................... 2

BAB I. PENDAHULUAN........................................................... 4

A. Kedudukan Psikologi Sosial diantara Ilmu-ilmu Sosial Lainnya..................................... 4

B. Macam-macam Teori............................................................................................................... 4

C. Problem-problem Yang dihadapi dalam Pembentukan Teori Psikologi Sosial............. 6

BAB II. ORIENTASI FAKTOR PENGUAT.......................................... 10

A. Istilah dan Pengertian............................................................................................................ 13

B. Teori Rangsang Balas untuk Menerangkan Sikap ............................................................. 17

C. Teori-teori Belajar Sosial dan Tiruan.................................................................................. 22

BAB III. ORIENTASI TEORI LAPANGAN.......................................... 28

A. Konsep-konsep Dasar Teori Lapangan ................................................................................ 32

B. Penerapan Teori Lewin............................................................................................................ 42

C. Kelebihan dan Kelemahan Teori Lapangan.......................................................................... 46

D. Teori-teori Lapangan dalam Psikologi Sosial..................................................................... 47

BAB IV. ORIENTASI KOGNITIF................................................... 50

A. Konsep Dasar Orientasi Kognitif.......................................................................................... 50

B. Istilah-istilah Dasar dalam Teori Kognitif......................................................................... 52

2
C. Teori Kognitif dari Kreech & Crutchfield........................................................................... 65

D. Teori-teori konsitensi Kognitif............................................................................................. 69

E. Teori Disonansi Kognitif.......................................................................................................... 79

F. Dampak Teori............................................................................................................................. 84

BAB V. ORIENTASI PSIKOANALISA............................................ 87

A. Orientasi Psikoanalisa............................................................................................................. 87

B. Pertahanan Ego.......................................................................................................................... 94

C. Perkembangan Psikoseksual.................................................................................................... 98

D. Psikologi Kelompok menurut Sigmund Freud...................................................................... 107

E. Teori-teori yang berdasarkan Psikoanalisa dalam Psikologi Sosial................................ 109

BAB VI. PENDEKATAN-PENDEKATAN TRANSOREINTRASIONAL.............. 143

A. Teori-teori Penilaian Sosial & Teori-teori Atribusi......................................................... 143

B. Teori Perbandingan Sosial....................................................................................................... 144

C. Teori Inferensi Korespondensi ( correspondent inference ) ........................................ 158

DAFTAR PUSTAKA..................................................................... 174

3
BAB I

PENDAHULUAN

A.KEDUDUKAN PSIKOLOGI SOSIAL DI ANTARA ILMU-ILMU SOSIAL

LAINNYA

Manusia , di mana pun berada , tidak dapat di pisahkan dari lingkungan

masyarakatnya. Oleh karena itu, sejak dahulu orang sudah menaruh minat yang

besar terhadap tingkah laku manusia dalam lingkungan sosialnya. Minat yang

besar ini tidak hanya timbul pada pengamat-pengamat awam, akan tetapi juga

banyak terdapat di kalangan para sarjana dan cerdik pandai .

Sekalipun demikian, psikologi sosial, sebagai ilmu khusus yang

mempelajari tingkah laku manusia dalam lingkungan sosialnya, baru timbul kurang

dari 100 tahun lalu. Sebelum itu gejala perilaku manusia dalam masyarakatnya

dipelajari oleh antropologi dan sosiologi.

B. MACAM-MACAM TEORI

Bermacam-macam teori dapat di golongkan menurut bentuk atau menurut

isinya. Menurut bentuknya , ada 2 macam teori yaitu;

1. Teori konstruktif atau merangkaikan , yaitu teori yang mencoba

membangun kaitan-kaitan antara berbagai fenomena sederhana .

4
2. Teori principle atau teori reduktif atau teori berjenjang adalah teori

yang mencoba menganalisa suatu fenomena ke dalam bagian-bagian yang

lebih kecil.

Menurut isinya , juga ada 2 macam teori yaitu ;

1. Teori Molar , yaitu teori tentang individu sebagai keseluruhan ,

misalnya teori tentang tingkah laku individu dalam proses kelompok.

2. Teori Molekular, yaitu teori tentang fungsi-fungsi syaraf dalam

tubuh suatu organisme.

Selain penggolongan teori ke dalam beberapa tipe menurut bentuk dan

isinya , kita perlu pula mengetahui teori mana yang baik dan teori mana yang

tidak baik.

Baik tidaknya suatu teori tidak di tentukan oleh bentuk atau isinya, melainkan

ditentukan oleh beberapa norma di bawah ini:

1. Norma Korespondensi yaitu seberapa jauh teori itu cocok dengan

fakta-fakta yang ada.

Semakin cocok teori dengan fakta semakin baik.

2. Norma Koherensi yang meliputi dua ukuran :

a. Seberapa jauh teori itu cocok dengan teori-teori sebelumnya. Ini

tidak berarti bahwa suatu teori tidak boleh bertentangan dengan

satu atau dua teori sebelumnya, akan tetapi walaupun ia

5
bertentangan dengan teori-teori tertentu , suatu teori yang baik

masih cocok dengan sejumlah teori lainnya.

b. Kesederhanaan , yaitu teori tersebut sederhana , dalam arti tidak

rumit , tidak berbelit-belit , mudah dimengerti .

Kesederhanaan ini meliputi 2 hal :

1. Kesederhanaan Deskriptif ; yaitu kesederhanaan dalam uraian

tentang teori itu sendiri.

2. Kesederhanaan Induktif ; yaitu kesederhanaan dalam prosedur

penarikan kesimpulan dari data-data yang ada .

3. Norma Pragmatik, yaitu seberapa jauh suatu teori mempunyai

kegunaan praktis. Makin besar kegunaan praktisnya , makin baik

teori yang bersangkutan .

C. PROBLEM-PROBLEM YANG DIHADAPI DALAM PEMBENTUKAN TEORI-

TEORI PSIKOLOGI SOSIAL

Sebagai ilmu yang tidak eksak penyusunan teori dalam psikologi

sosial agar memenuhi kriteria teori yang baik yang tersebut di atas bukanlah

pekerjaan yang mudah. Setiap teori yang disajikan selalu mempunyai kelemahan-

kelemahan tertentu.

Kesulitan-kesulitan dalam pembentukan teori psikologi sosial di sebabkan

oleh hal-hal sebagai berikut:

6
1. Kesulitan dalam Definisi

Setiap teori memerlukan konsep-konsep. Setiap konsep perlu

diberi istilah dan istilah itu harus didefinisikan untuk menjelaskan

maksud atau artinya. Istilah dapat diperoleh dari istilah sehari-hari

atau istilah yang sudah banyak digunakan. Cara ini menguntungkan

karena mudah dikenal , dan artinya segera dapat ditangkap oleh yang

membacanya . Akan tetapi kelemahan dari cara ini adalah bahwa banyak

istilah yang mempunyai arti ganda atau yang artinya tidak begitu jelas

atau yang artinya jadi tidak tepat untuk situasi-situasi tertentu,

misalnya istilah kebutuhan (need), dorongan (drive) dan motif yang

maknanya sering dicampur adukan.

2. Masalah Reliabilitas Data

Setiap data yang digunakan sebagai dasar untuk menyusun

teori seharusnya reliabel (dapat dipercaya kebenarannya), akan tetapi

data yang reliabel sulit diperoleh dalam psikologi sosial karena :

a. Faktor alat pengukur. Jika dalam ilmu alam ilmu-ilmu kimia sudah

dikenal alat-alat pengukur yang hampir 100% dapat dipercaya, dalam

Psikologi sulit sekali dibuat alat pengukur yang reliabel seperti itu.

Skala sikap, misalnya yaitu suatu alat pengukur sikap yang sudah

dikembangkan selama lebih dari 40 tahun, sampai sekarang hanya

mencapai tingkat reabilitas 0,75.

7
b. Sumber data. Dalam ilmu alam atau kimia, bahan-bahan penelitian

dapat diperoleh di mana saja kapan saja dengan kualitas yang

hampir sama, asalkan sudah memenuhi kriteria tertentu. Dalam

Psikologi Sosial, bahan penelitian adalah manusia, yang walaupun

dipilih berdasarkan kriteria tertentu tetapi tidak bisa diperoleh

bahan penelitian yang baku. Masalahnya manusia disuatu tempat

atau waktu tertentu bisa berbeda sekali dari manusia di tempat

atau waktu yang lain. Ketidakcermatan, atau mungkin juga

ketidakjujuran dari peneliti bisa besar sekali pengaruhnya dan

ketidakcermatan atau ketidakjujuran ini tidak mudah diketahui oleh

peneliti lain, karena Peneliti Sosial pada umumnya tidak mudah

diulang kembali oleh peneliti lain seperti halnya dengan ilmu alam.

c. Pengendalian eksperimental. Seperti telah diuraikan di atas, data

yang memenuhi syarat untuk suatu teori adalah data yang diperoleh

dari pengamatan dalam situasi yang terkontrol. Dengan perkataan

lain, data diperoleh dari suatu eksperimen, dimana faktor-faktor

(variabel-variabel) yang menentukan dikontrol oleh peneliti. Akan

tetapi dalam Psikologi Sosial hal ini sulit dilakukan karena variabel-

variabel yang berpengaruh banyak sekali dan banyak diantaranya

yang tidak diketahui.

3. Ruang Lingkup Teori

8
Kesulitan lain dalam pembentukan teori Psikologi Sosial adalah

menentukan ruang lingkup suatu teori :

a. Jangkauan penerapannya (comprehensiveness) : yaitu untuk

berapa banyak (macam) fenomena atau kepribadian teori ini

harus dapat diterapkan.

b. Keterbatasan, yaitu sampai dimana perlu diberikan prasyarat

pada kondisi di mana fenomena itu timbul agar suatu teori dapat

dinyatakan berlaku.

c. Ke-umum-an (generality): sampai di mana teori bisa diperluas

untuk mencakup situasi-situasi yang tidak tercakup dalam

fenomena awal yang dijadikan dasar untuk penyusunan teori yang

bersangkutan.

4. Penentuan Jenis Teori

Kesulitan selanjutnya adalah menentukan jenis teori mana yang akan

dipilih? Konstruktif atau principle?Molar atau Molekular?

9
BAB II
ORIENTASI FAKTOR PENGUAT

Salah satu aliran yang besar pengaruhnya dalam psikologi adalah aliran

Behaviorisme . Aliran ini didirikan pada tahun 1913 di Amerika Serikat oleh

J.B.Watson (1878-1958). J.B .Watson berpendapat bahwa agar Psikologi dapat

tetap ilmiah, maka ia harus obyektif dan agar ia tetap obyektif ia hanya dapat

mempelajari tingkah laku-tingkah laku yang tampak mata (overt). Konsep-konsep

yang subyektif seperti perasaan, emosi, penghayatan, kehendak dan sebagainya

harus dihindarkan.

Sebagai konsekuensi dari pandangannya itu, maka Watson memusatkan

dirinya untuk mempelajari hubungan rangsang dan tingkah laku balasannya. Ia

mendapatkan bahwa setiap tingkah laku pada hakekatnya merupakan tanggapan

atau balasan (respon) terhadap rangsang(stimulus), karena itu rangsang sangat

mempengaruhi tingkah laku. Bahkan ia sampai pada kesimpulan bahwa setiap

tingkah laku ditentukan atau diatur oleh rangsang. Teori yang mementingkan

hubungan rangsang dan tingkah laku balasan ini disebut teori rangsang balas

(stimulus-respon theory).

Teori rangsang balas sebenarnya tidak dimulai oleh Watson sendiri .

Pada waktu sebelum Watson sudah ada sarjana-sarjana lain seperti I.P. Pavlov

(1849-1936) dan V.M.Becterev (1857-1927) di Rusia dan E.L. Thondike (1874-

10
1949) di Amerika Serikat yang sudah mengajukan teori rangsang balas ini .

Bacteren mengajukan teori tingkah laku instrumental atau teori belajar

menghindar dan menjauh . Pavlov mengembangkan hukum penguat dan Thondike

mengemukakan hukum efek dan hukum latihan. Prinsip dan teori-teori dan

hukum-hukum tersebut adalah :

Kalau rangsang memberikan akibat yang positif atau memberi ganjaran,

maka tingkah laku balas terhadap rangsang tersebut akan diulangi pada

kesempatan lain di mana rangsang yang sama timbul. Sebaliknya , kalau rangsang

memberi akibat negatif , hubungan rangsang balas itu akan dihindari pada

kesempatan lain.

Peranan J.B.Watson dalam perkembangan teori rangsang-balas adalah

mengukuhkannya ke dalam suatu aliran yang diberinya nama aliran Behavirisme .

Pengukuhannya ini di lakukannya dengan mengemukakan suatu kertas kerja

berjudul psikologi as the behaviorist views it (Watson, 1913) Dalam aliran inilah

teori rangsang balas ini berkembang dengan pesat, di antara teori-teori rangsang

balas yang berkembang dalam behaviorisme , terdapat dua pendapat yang

berbeda yang masing-masing kemudian tumbuh menjadi paham sendiri-sendiri ,

masing-masing dengan pengikut-pengikutnya sendiri pula. Pendapat pertama

disebut sebagai pendapat yang berorientasi “mediational” dengan tokohnya

C.L.Hull (1884-1952), sedangkan pendapat kedua berorientasi “operant” , dengan

tokohnya B.H. Skinner(1904) . Perbedaan utama antara kedua pandangan ini

11
adalah bahwa Skinner dan kawan-kawan benar-benar hanya mementingkan

rangsang dan tingkah laku balas yang tampak mata (nyata) , sedangkan kelompok

Hull masih mengakui adanya proses yang tidak tampak mata dalam diri individu

antara diterimanya rangsang dan dilakukannya tingkah laku balas . Proses

tersembunyi yang terjadi dalam diri individu itu disebut proses internal, yang

dibedakan dari proses eksternal yang tampak mata . Secara skematis pendapat

Hull dapat digambarkan sebagai berikut .

R-b-r-B

dimana :

R = Rangsang nyata

b = Tingkah laku balas yang tersembunyi antara lain berupa

pengindraan terhadap R

r = Rangsang tersembunyi antara lain berupa implus-implus

yang datang dari otak ditujukan kepada otot-otot dan

kelenjar-kelenjar .

B = Tingkah laku balas nyata , berupa gerakan otot atau

sekresi dari kelenjar-kelenjar tubuh.

Pada pandangan Skinner yang tidak mementingkan b dan r, maka skema itu

menjadi R – B.

12
A. ISTILAH DAN PENGERTIAN

Pengertian pertama yang harus dijelaskan adalah rangsang (stimulus).

Yang dimaksud dengan rangsang adalah peristiwa baik yang terjadi di luar

maupun di dalam tubuh kita (misalnya perut yang kosong atau otot yang ngilu)

yang memungkinkan tingkah laku . Perubahan tingkah laku sebagai akibat dari

adanya rangsang itu disebut tingkah laku balas (respon).

Hubungan rangsang balas yang sudah sangat kuat akan menimbulkan

“refleks”, yaitu tingkah laku balas yang dengan sendirinya timbul bila terjadi

suatu rangsang tertentu. Refleks ini dalam teori-teori rangsang balas merupakan

dasar dari proses belajar.

Dari pengertian-pengertian dasar tersebut .Skinner mengemukakan 3

fungsi dari rangsang yang diberinya istilah pembangkitan (elicitation),

diskriminasi (discrimination) , dan penguat (reinforcement) .Dengan

pembangkitan dimaksudkannya rangsang yang langsung menimbulkan tingkah laku

balas , misalnya makanan langsung menimbulkan air liur pada orang atau hewan

yang melihatnya . Pada rangsang diskriminasi , tingkah laku balas tidak segera

timbul , karena rangsang itu hanya merupakan pertanda akan datangnya rangsang

pembangkit. Misalnya seseorang mendengar suara penjaja makanan. Suara itu

merupakan tanda bahwa ada makanan pada penjaja tersebut , orang yang

mendengar suara itu tidak langsung mengeluarkan air liurnya , baru setelah ia

melihat makanan tersebut , keluarlah air liurnya . Pada rangsang penguat fungsi

13
rangsang adalah untuk memperkuat atau memperlemah tingkah laku balas yang

timbul. Misalnya seorang anak belajar, ternyata ia mendapat pujian dari orang

tuanya dan gurunya sehingga ia makin giat belajar. Pujian itu merupakan rangsang

penguat . Sebaliknya kalau anak itu mencuri , ia mendapat hukuman sehingga ia

tidak mau mencuri lagi.hukuman disini juga merupakan rangsang rangsang penguat

(dalam hal ini disebut penguat negatif) karena memperkuat hambatan untuk

timbulnya tingkah laku mencuri.

Istilah yang juga sering digunakan dalam teori-teori rangsang-balas

adalah dorongan (drive). Kaum mediationist (Hull dan kawan-kawan) sangat

mementingkan konsep ini. Menurut mereka dorongan adalah semacam

energi(daya) yang mengarahkan individu kepada pilihan tingkah laku tertentu.

Pilihan-pilihan tingkah laku ini ditimbulkan oleh kebutuhan (need).

Dengan demikian kebutuhan dan dorongan merupakan variabel-variabel

(faktor-faktor) yang ada antara rangsang dan tingkah laku-balasnya. Seringkali

kebutuhan dan dorongan berjalan searah, misalnya seseorang melihat pakaian di

toko, kebetulan ia membutuhkan pakaian, maka timbullah dorongan untuk membeli

pakaian , sehingga akhirnya ia membeli pakaian tersebut . Tetapi adakalanya

dorongan tidak sejalan dengan kebutuhan. Hull memberi contoh seekor binatang

yang kehausan di tengah padang pasir . Beberapa langkah di depannya terdapat

mata air . Binatang itu sangat membutuhkan air, tetapi ia tidak mempunyai

dorongan lagi untuk minum air tersebut.

14
Selanjutnya tentang dorongan ini,Dollard dan Miller (1950) yang sepaham

dengan Hull mengemukakan bahwa ada 2 jenis dorongan yaitu dorongan primer

dan dorongan sekunder sekunder. Dorongan primer adalah dorongan bawaan

seperti lapar,haus,sakit dan seks.Dorongan sekunder adalah dorongan-dorongan

yang bersifat sosial yang dipelajari,seperti misalnya dorongan untuk mendapat

upah,pujian atau sejenis makanan tertentu.

Dalam pada itu Skinner tidak menganggap penting konsep tentang

“dorongan” ini.Konsep ini menurut Skinner hanya merupakan istilah yang

menggambarkan kuat-lemahnya suatu tingkah laku tertentu.Makin kuat tingkah

laku itu,berarti makin kuat pula dorongan tingkah laku itu. Dengan demikian

dorongan itu sendiri tidak mempunyai peran penting dalam proses hubungan

rangsang-balas.Tetapi kekuatan tingkah laku juga lebih dapat diukur oleh Skinner

dengan menggunakan patokan-patokan yang nyata seperti sering-jarangnya suatu

tingkah laku dilakukan (makin sering, makin kuat), cepat-lambatnya suatu

gerakan, tinggi-rendahnya nada suara dan sebagainya. Jadi konsep “dorongan”

memang kurang berarti buat Skinner.

Konsep-konsep lain yang sering dikemukakan teori-teori rangsang balas

adalah penyamaratan (generalization) dan diskriminasi (discrimination). Dengan

penyamaratan dimaksudkan suatu proses di mana sebuah rangsang menimbulkan

balas yang pernah dipelajari dari rangsang lain yang serupa atau hampir sama.

Misalnya: seorang anak kecil melihat ibunya, ia mengatakan,”Perempuan”,ternyata

15
ia mendapat pujian.Kemudian ia melihat kakak permpuannya, dan ia menyatakan

lagi”perempuan”. ia mendapat pujian lagi.Selanjutnya,waktu ia melihat bibinya, ia

menyatakan juga: “perempuan”. Lama-kelamaan ia tahu bahwa semua orang yang

mempunyai ciri-ciri seperti ibunya disebut perempuan. Sebaliknnya,diskriminasi

berarti timbulnya tingkah laku balas yang berbeda terhadap rangsang yang

berbeda-beda pula. Misalnya: seorang anak kecil memanggil “mama” kepada

ibunya.Ia mendapat pujian. Kemudian.... dan seterusnya ia memanggil “mama” juga

kepada kakak perempuannya,bibi dan suster yang merawatnya.Ternyata setiap

kali ia memanggil “mama” kepada orang yang bukan ibunya ia dimarahi atau dicela.

Akhirnya ia tahu bahwa ia hanya bisa melakukan tingkah laku-balas “mama” kalau

ia melihat ibunya.

Proses penyamarataan dan diskriminasi diakui sebagai bagian yang

penting sekali dalam proses belajar, khususnya dalam mempelajari bahasa pada

anak-anak kecil. Dengan penyamarataan dan diskriminasi ini pula orang

beradaptasi pada lingkungannya. Baik Hull maupun Skinner sama pendapatnya

dalam hal ini , dan mereka pun sama berpendapat bahwa faktor yang paling

menentukan dalam proses penyamarataan dan diskriminasi adalah faktor penguat

(reinforcement) . Pada proses penyamarataan , suatu tingkah laku tertentu yang

dilakukan terhadap beberapa rangsang yang hampir serupa, mendapat penguat

positif yang sama, sedangkan pada proses diskriminasi penguat positif itu hanya

16
terjadi kalau suatu tingkah laku balas tertentu ditujukan pada suatu rangsang

tertentu saja.

B. TEORI RANGSANG BALAS UNTUK MENERANGKAN SIKAP

Teori rangsang balas (stimulus response theory) yang sering juga

disebut sebagai teori penguat (reinforcement theory) dapat digunakan untuk

menerangkan berbagai gejala tingkah laku sosial. Dalam bab ini akan dijelaskan

bagaimana teori penguat menerangkan sikap (attitude) . Yang dimaksud dengan

sikap disini adalah kecendrungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku

tertentu kalau ia menghadapi suatu rangsang tertentu. Misalnya seseorang yang

mempunyai sikap positif terhadap makanan yang pedas, akan selalu mengambil

atau membeli dan makan setiap kali ia menemui makanan pedas. Sebaliknya orang

bersikap negatif terhadap makanan pedas selalu akan menghindar kalau ia

menjumpai makanan pedas . Sikap ini bisa terjadi terhadap benda , situasi, orang,

kelompok, nilai-nilai dan semua hal yang terdapat disekitar manusia .

Salah satu teori untuk menerangkan terbentuknya sikap ini dikemukakan

oleh Daryl Beum (1964) yang pengikut Skinner (berpandangan operant) . Ia

mendasarkan diri pada pernyataan Skinner bahwa tingkah laku manusia

berkembang dan dipertahaankan oleh anggota-anggota masyarakat yanag

17
memberi penguat pada individu untuk bertingkaah laku secara tertentu ( yang

dikehendaki oleh masyarakat ). Atas dasar penndapat Skinner ini Beum

mengemukakan 4 asumsi dasar yaitu :

1. Setiap tingkah laku , baik yang verbal maupun sosial adalah suatu hal

yang bebas dan berdiri sendiri, bukan merupakan refleksi

(menggambarkan) sikap , sistem kepercayaan , dorongan kehendak

atau pun keadaan-keadaan tersembunyi lainnya dalam diri individu .

2. Rangsang dan tingkah laku balas adalah konsep-konsep dasar untuk

menerangkan suatu gejala tingkah laku. Konsep-konsep ini hanya

dapat didefinisikan dan diukur secara fisik dan nyata (nampak mata)

3. Prinsip-prinsip hubungan rangsang balas sebetulnya hanya sedikit . Ia

nampak sangat bervariasi karena bervariasinya lingkungan dimana

hubungan rangsang balas itu berlaku.

4. Dalam analisa tentang tingkah laku perlu dihindari diikutsertakannya

keadaan-keadaan internal yang terjadi pada waktu tingkah laku itu

timbul, baik yang bersifat fisiologik(kelelahan, lapar, dan lain-lain)

maupun yang bersifat konseptual (dorongan, kehendak dan lain-lain).

Berdasarkan asumsi-asumsi dasar tersebut , Beum mengemukakan teori

tentang Hubungan Fungsional (Functional Relationship) dalam interaksi sosial.

Dalam teori tersebut Beum menyatakan bahwa dalam interaksi sosial terjadi 2

18
macam hubungan fungsional yang pertama adalah hubungan fungsional di mana

terdapat kontrol penguat (reinforcement control) yaitu jika tingkah laku-balas

(response) ternyata menimbulkan penguat (reinforcement) yang bersifat

ganjaran (reward) . Dalam hal ini ada tidaknya atau banyak sedikitnya rangsang

penguat akan mengontrol tingkah laku balas . Misalnya seorang anak berkata

kepada ibunya; “Bu , saya minta kue “, ternyata ibunya benar-benar memberi kue

(ganjaran), maka pada kesempatan lain anak akan mengucapkan kalimat yang sama

untuk mendapat kue. Tingkah laku untuk mendapat ganjaran tersebut, disebut

tingkah laku operant ( operant response) . Dalam tingkah laku operant itu ,

ganjaran yang diminta selalu dinyatakan dengan jelas (dalam contoh diatas ; kue).

Tingkah laku operant yang bersifat verbal seperti contoh di atas disebut mand(

singkatan dari “comand “ atau “ demand” yang berarti perintah atau permintaan).

Hubungan fungsional yang kedua terjadi jika tingkah laku-balas hanya

mendapat ganjaran pada keadaan-keadaan tertentu. Misalnya, ibu hanya memberi

kue pada anak hanya jika anak sudah menghabiskan nasinya. Dalam hal ini “nasi”

merupakan rangsang diskriminatif dan anak hanya akan berkata bu , minta Kue,

kalau ia sudah makan nasi . Hubungan fungsional seperti ini disebut hubungan

fungsional di mana terdapat kontrol diskriminatif (discriminatif control) dan

tingkah laku balas yang terjadi hanya jika ada rangsang diskriminatif disebut

tact.

19
Menurut Beum , tact lama-lama bisa menjadi kepercayaan (belief) Contoh

: anak melihat bahwa jika ayah mau pergi (tact) ia selalu memakai sepatunya

(rangsang diskriminatif) . Kalau ayah tidak memakai sepatu , maka ia tidak akan

pergi. Lama-kelamaan anak percaya bahwa kalau ayah memakai sepatu, maka ayah

akan pergi, walaupun kenyataannya mungkin ayah hanya mau menerima tamu di

rumah . Beum selanjutnya menyimpulkan bahwa sistem kepercayaan selalu

dipengaruhi oleh faktor-faktor internalnya.

Selanjutnya kumpulan kepercayaan terhadap suatu hal akan

menyebabkan timbulnya sikap (attitude) tertentu terhadap hal tersebut.

Misalnya seorang anak percaya (belief) bahwa ibu selalu marah kalau ia minta

permen, bahwa anak-anak yang suka makan permen giginya rusak , bahwa anak-

anak yang terlalu banyak makan permen sering sakit perut dan sebagainya.

Kumpulan kepercayaan ini menyebabkan anak tidak suka pada permen, walaupun ia

tahu bahwa permen itu enak. Rasa enak permen itu sebagai ganjaran tidak cukup

kuat untuk mengalahkan pengaruh rangsang-rangsang penguat dalam hubungan

dengan kontrol diskriminatif yang terjadi.

Dalam kontak sosial, menurut Beum yang penting adalah kesanggupan

seseorang untuk membedakan tingkah-tingkah laku mana yang merupakan mand

dan tingkah-tingkah laku mana yang merupakan tact. Seseorang yang terlalu

sering melakukan mand biasanya tidak dapat dipercaya, sedangkan seseorang

20
yang melakukan tact (hanya melakukan hal-hal tertentu pada kondisi-sondisi

tertentu) lebih mudah mendapat kepercayaan orang lain (credible) .

Makin besar kepercayaan orang lain pada orang tersebut makin kuat

pengaruhnya untuk mengubah tingkah laku atau sikap orang lain. Misalnya : Si A

sering mengatakan : “Nanti sore akan hujan”, atau “Besok akan hujan”(mand)

tetapi nyatanya hujan tidak datang (tidak ada penguat), maka orang tidk akan

percaya pada si A . Sebaliknya , B hanya mau mengatakan ”Nanti sore hujan “,

jika ia tahu bahwa hujan akan benar-benar turun (tact) , maka B akan mendapat

kepercayaan dari orang lain. Dengan perkataan lain , orang-orang yang lebih

sering melakukan “tact” daripada “mand” akan lebih baik dalam kontak sosialnya

Selanjutnya , Beum juga berpendapat bahwa pengetahuan seseorang

tentang “mand” dan “tact” pada dirinya sendiri dapat menimbulkan rasa percaya

pada diri sendiri. Kalau ia menyadari bahwa ucapan-ucapannya seringkali menjadi

kenyataan dan perbuatanperbuatannya dapat mempengaruhi orang lain (lebih

banyak tact daripada mand) , maka ia akan percaya pada dirinya sendiri.

Teori lain untuk menerangkan sikap di ajukan oleh Doob . Ia penganut

paham mediationist dan menyatakan bahwa sikap pada hakikatnya adalah tingkah

laku balas yang tersembunyi (implicite response) yang terjadi langsung setelah

ada rangsang, baik secara disadari atau tidak disadari. Tingkah laku balas yang

tersembunyi ini ditambah dengan faktor-faktor lain dari dalam diri individu

21
(Internal factors) seperti dorongan , kehendak, kebiasaan dan lain-lain akan

menimbulkan tingkah laku nyata (overt behavior) . Dengan demikian maka sikap

selalu mendahului suatu tingkah laku nyata tertentu dan selalu merujuk ke

tingkah laku nyata tersebut . Misalnya seorang makan buah apel, timbul rasa

tidak enak (hukuman). Tingkah laku balasnya adalah membuang buah apel itu.

Lama kelamaan timbul suatu tingkah laku balas yang tersembunyi untuk

menghindari buah apel dan melalui generalisasi orang itu juga akan menghindari

kue apel , sirup apel dan makanan-makanan lain dari apel.

C. TEORI – TEORI BELAJAR SOSIAL DAN TIRUAN

Dalam kehidupan manusia ada 2 macam belajar yaitu belajar secara fisik

(belajar menari, belajar naik sepeda dan lain-lain) dan belajar psikhis. Termasuk

dalam belajar psikhis ini ; belajar sosial (social learning) , dimana seseorang

mempelajari perannya dan peran orang-orang lain dalam kontak sosial .

Selanjutnya orang tersebut akan menyesuaikan tingkah lakunya sesuai dengan

peran sosial yang telah dipelajarinya itu. Cara yang sangat penting dalam belajar

sosial , menurut aliran rangsang-balas , adalah tingkah laku tiruan (imitation) .

1. Teori Belajar Sosial dari Miller dan Dollar

Miller dan Dollard bertitik tolak dari teori Hull (mediationist) yang

dikembangkan menjadi teori sendiri. Pandangan dasar mereka adalah tingkah laku

22
manusia adalah dipelajari. Karena itu untuk memahami tingkahlaku sosial dan

proses belajar sosial, kita harus mengetahui prinsip-prinsip psikologi belajar.

Menurut Miller dan Dollard ada 4 prinsip dalam belajar yaitu dorongan

(drive), isyarat (cue), tingkah laku-balas ( response) dan , ganjaran (reward) .

Keempat prinsip ini sangat kait-mengkait dan dapat saling dipertukarkan , yaitu

dorongan menjadi isyarat , isyarat menjadi ganjaran dan seterusnya .

Dorongan adalah rangsang yang sangat kuat yang mendorong organisme

(manusia, hewan) untuk bertingkah laku . Stimulus-stimulus yang cukup kuat

biasanya bersifat biologis seperti ; lapar , haus, seks, kejenuhan dan sebagainya.

Ini disebut dorongan primer (primary drive) dan menjadi da sar utama untuk

motivasi . Pada manusia yang berbudaya tinggi, dorongan primer jarang menjadi

kepentingan pokok kecuali dalam keadaan perang , bencana , kemiskinan dan

keadaan-keadaan darurat lainnya. Pada manusia yang berbudaya tinggi , dorongan

dorongan primer disosialisasikan menjadi dorongan sekunder (secondary drive) ,

misalnya lapar disosialisasikan menjadi dorongan untuk makan makanan tertentu

(nasi , atau roti ) ,seks disosialisasikan menjadi hubungan suami-istri dalam

perkawinan , dorongan-dorongan primer lain disosialisasikan menjadi dorongan

untuk memperoleh uang , pujian, dan sebagainya. Miller dan Dollard , semua

tingkah laku didasari oleh dorongan , termasuk tingkah laku tiruan.

23
Isyarat adalah rangsang yang menentukan bila dan dimana suatuTingkah

laku balas akan timbul dan tingkah laku balas apa yang akan terjadi. Isyarat

disini dapat disamakan dengan rangsang diskriminatif. Dalam belajar social,

isyarat yang terpenting adalah tingkah laku orang lain, baik yang langsung

ditujukan kepada seseorang tertentu maupun tidak. Contoh: uluran tangan

merupakan isyarat untuk berjabat tangan .

Mengenai tingkah laku-balas Miller dan Dollard , berpendapat bahwa

organisme mempunyai hierarki bawaan dari tingkah laku . Pada waktu organisme

dihadapkan untuk pertama kalinya kepada suatu rangsang tertentu , maka

tingkah laku-balas yang timbul didasarkan pada hierarki bawaan tersebut. Baru

setelah beberapa kali terjadi ganjaran dan hukuman , maka akan timbul tingkah

laku-balas yang sesuai dengan faktor-faktor penguat tersebut. Tingkah laku-

balas yang sudah disesuaikan dengan faktor-faktor penguat tersebut, disusun

menjadi hierarki resultan (resultant hierarchy of responses ) . Disinilah

pentingnya belajar dengan cara coba dan ralat ( trial and error learning ) .Dalam

tingkah laku sosial , belajar coba dan ralat dikurangi dengan belajar tiruan

(imitation learning ) , dimana seorang anak tinggal meniru tingkah laku orang

dewasa untuk dapat memberikan tingkah laku balas yang tepat , sehingga ia tidak

perlu membuang waktu untuk belajar dengan cara coba dan ralat . Disinilah peran

guru , orang tua dan orang dewasa dalam mendidik anak-anak dan generasi muda.

24
Ganjaran menurut Miller dan Dollard adalah rangsang yang menetapkan

apakah suatu tingkah laku-balas akan diulang atau tidak dalam kesempatan lain.

Ada 2 macam ganjaran , yaitu ganjaran primer(yang memenuhi dorongan-

dorongan primer) dan ganjaran sekunder (yang memenuhi dorongan-dorongan

sekunder)

Selanjutnya Miller dan Dollard menyatakan bahwa ada 3 mekanisme

tiruan yaitu ;

a. Tingkah laku sama (same behavior)

b. Tingkah laku tergantung (matched dependent behavior)

c. Tingkah laku salinan (copying)

ad. a . Tingkah laku sama

Tingkah laku sama terjadi bila dua orang bertingkah laku balas sama

terhadap rangsang atau isyarat yang sama . Misalnya ; dua orang anak naik bis

yang sama karena mereka sejurusan . Tingkah laku sama ini tidak selalu

merupakan hasil tiruan , oleh karena itu tidak dibicarakan lebih lanjut oleh Miller

dan Dollard .

ad.b. Tingkah laku tergantung

Tingkah laku tergantung timbul dalam hubungan antara 2 pihak dimana

salah satu pihak adalah lebih pintar, lebih tua atau lebih mampu dari pada pihak

25
yang lain. Dalam hal ini pihak yang lain itu akan menyesuaikan tingkah lakunya

(match) dan akan tergantung (dependent) pada pihak pertama . Misalnya kakak-

adik sedang bermain menunggu ayah pulang . Biasanya ayah membawa permen.

Terdengar suara langkah kaki ayah. Kakak segera berlari kepintu . Adik ikut-

ikutan lari. Ternyata ayah membawa permen dan diberikan kepada adiknya . Adik

yang semula hanya meniru tingkah laku kakaknya mendapat ganjaran . Di lain

waktu kalau adik mendengar langkah kaki ayahnya , ia langsung berlari ke pintu

walaupun kakak tidak ada .

Tingkah laku tergantung dapat terjadi dalam 4 situasi yang berbeda :

1. Tujuan (goal) sama tetapi tingkah laku-balas berbeda. Dalam keadaan ini

kalau orang pertama mendapat ganjaran , sedangkan orang kedua tidak ,

maka orang kedua akan meniru tingkah-laku orang pertama .

2. Si peniru mendapat ganjaran (berupa ganjaran sekunder) dengan

melihat tingkah laku orang lain. Misalnya : anak kecil merasa senang

melihat ibunya mengajak bermain ciluk-ba. Karena senang maka ia

menirukan perbuatan ibunya dan ternyata ibunya lebih senang lagi dan

tertawa atau memuji anak tersebut (ganjaran yang lebih kuat lagi) .

3. Si peniru membiarkan orang yang ditiru untuk melakukan tingkah laku-

balas terlebih dahulu . Kalau berhasil barulah ditiru .

26
4. Dalam hal ganjaran terbatas (hanya untuk peniru atau yang ditiru) maka

akan terjadi persaingan antara model dan peniru. Peniru akan menirukan

tingkah laku model untuk mendapat ganjaran .

ad .c. Tingkah laku salinan

Seperti halnya dengan tingkah laku tergantung , pada tingkah laku salinan

, si peniru bertingkah laku atas dasar isyarat (berupa tingkah laku juga ) yang

diberikan oleh model . Demikian juga dalam tingkah laku salinan ini pengaruh

ganjaran dan hukuman sangat besar terhadap kuat atau lemahnya tingkah laku

tiruan .

Tetapi berbeda dengan tingkah laku tergantung si peniru hanya

bertingkah laku terhadap isyarat yang diberikan model pada saat itu saja , pada

tingkah laku salinan si peniru memperhatikan juga tingkah laku model di masa lalu

maupun yang akan dilakukannya di masa datang. Perkiraan tentang tingkah laku

model dalam kurun waktu yang relatif panjang ini akan dijadikan patokan oleh si

peniru untuk memperbaiki tingkah lakunya sendiri di masa yang akan datang

sehingga lebih sesuai dengan tingkah laku model . Dalam hubungan ini peranan

kritik penting sekali untuk lebih mempercepat proses penyalinan tingkah laku .

Miller dan Dollard berpendapat bahwa konformitas sosial yang terdapat dalam

setiap masyarakat disebabkan oleh tingkah laku salinan yang dasarnya adalah

dorongan untuk menyalin (drive to copy) . Dorongan ini mengandung rasa

27
kecemasan (anxiety) akan kehilangan pengakuan dari masyarakat dan ganjaran

untuk mendapat pengakuan atau pujian dari orang lain.

28
BAB III
Teori lapangan (Field Theory) atau dinamakan
ORIENTASI TEORI
LAPANGAN juga Teori Psikodinamika , sering dikira orang hanya

dikemukakan oleh Kurt Lewin saja. Hal ini tidak benar ,

karena selain Lewin ada tokoh-tokoh lain yang juga

mengemukakan Teori Lapangan seperti Tolman (1932) , Wheeler(1940) , Lashley

(1929), dan Brunswik(1949). Kelebihan Kurt Lewin atas tokoh-tokoh lainnya

adalah bahwa Lewin lah yang paling jauh mengembangkan teori Lapangan ini

sehingga ia dikenal sebagai tokoh yang paling terkemuka.

Teori Lapangan Kurt Lewin sangat dipengaruhi oleh aliran Psikologi

Gestalt, yaitu suatu aliran yang tumbuh di Jerman sejak 1912 yang dipelopori

oleh Max Wertheimer. Pandangan Psikologi Gestalt yang terpenting adalah

sebagai berikut :

“ Bagian atau elemen kejiwaan tidak berdiri sendiri-sendiri , melainkan

terorganisir menjadi suatu keseluruhan (Gestalt)”

Oleh karena itu tidak mengherankan jika teori Lapangan dari Kurt Lewin

juga sangat mengutamakan keseluruhan dari pada elemen atau bagian dalam

studinya tentang jiwa manusia .

Walaupun demikian sejarah telah membuktikan bahwa Kurt Lewin tidak

untuk seterusnya menjadi pengikut aliran Psikologi Gestalt. Ada saatnya (1935)

di mana Lewin menganggap bahwa psikologi Gestalt terlalu bersibuk diri dengan

29
penelitian-penelitian tentang pengindraan saja, padahal Lewin jauh lebih

berminat terhadap Psikologi Kepribadian dan psikologi Sosiologi. Oleh karena itu

Lewin memisahkan diri dari aliran induknya dan mengembangkan teori sendiri

yang dinamakannya Teori Lapangan.

Salah satu ciri yang terpenting dari teori Lapangan adalah bahwa teori ini

menggunakan metode “konstruktif”. Metode Konstruktif , atau disebut juga

metode “genetik” adalah metode yang digunakan Lewin sebagai pengganti metode

“klasifikasi” yang pada waktu itu lebih lazim dipakai. Metode klasifikasi menurut

Lewin mempunyai kelemahan karena hanya menggelompokkan obyek studi

berdasarkan persamaan –persamaannya saja. Pengelompokkan seperti ini bersifat

statis . Padahal Lewin menghendaki metode yang dinamis oleh karena obyek

studinya adalah tingkah laku yang dinamis pula . Sifat dinamis ini ada pada

metode Konstruktif yang mengklasifikasikan obyek-obyek studinya berdasarkan

hubungan antara satu obyek dengan obyek lainnya. Sebagai contoh dikemukakan

bahwa jika misalnya seorang bernama X sedang kebingunggan memilih makanan di

restoran , maka orang itu dengan metode klasifikasi disebut sedang mengalami

konflik makanan. Selanjutnya , orang ke dua 2 bernama Y yang sedang ragu-ragu

mau menonton film di mana, diklasifikasikan sebagai sedang mengalami konflik

hiburan. Akan tetapi dengan menggunakan metode konstruktif , X dalam kasus

yang pertama maupun Y pada kasus yang ke dua sama-sama dinamakan sedang

mengalami konflik mendekat-mendekat (approach-approach conflict) , karena

30
konflik yang timbul dalam diri orang tersebut disebabkan oleh adanya beberapa

rangsang (stimulus) yang sama-sama bernilai positif dan sama –sama ingin

didekati, dipilih oleh kedua orang yang terlibat dalam konflik dalam contoh di

atas . Dengan metode konstruktif yang sifatnya dinamis ini , maka teori

lapanganpun bersifat dinamis. Ini adalah konsekuensi pertama dri penggunaan

metode konstruktif dalam teori lapangan . Dengan “dinamis” , dimaksudkan bahwa

teori lapangan harus dapat mengungkapkan force (daya, kekuatan ) yang

mendorong suatu tingkah laku . Force ini kira-kira analog dengan instink yang

mendorong tingkah laku menurut teori Psikoanalis . Akan tetapi Lewin tidak mau

dipersamakan dengan Psikoanalisis karena teori-teori Psikoanalisis menurut Lewin

kadang-kadang tidak di dukung oleh bukti-bukti yang nyata (empiris)

Konsekwensi kedua dari metode kontruktif yang menjadi ciri teori

Lapangan adalah bahwa cara pendekatan yang digunakan dalam teori Lapangan

selalu harus psikologis . Semua konsep harus didefinisikan secara operasional .

Akan tetapi , berbeda dari Behaviorisme , definisi operasional dlam teori

Lapangn tidak obyektif melainkan subyektif. Situasi di mana terjadi tingkah laku

harus dideskripsikan dari sudut pandang si pelaku , bukan dari sudut pandang

peneliti.

Konsekwensi ketiga, analisis dalam teori Lapangan harus berawal dari

situasi sebagai keseluruhan (totalitas), tidak dimulai dari elemen-elemen yang

31
berdiri sendiri-sendiri. Dari awal yang menyeluruh itu barulah dapat dilakukan

analisis terhadap masing-masing elemen atau bagian dari situasi secara khusus .

Cara pendekatan semacam ini analog dengan yang digunakan dalam ilmu alam .

Konsekwensi keempat, tingkah lakuharus dianalisis dalam rangka

“lapangan” di saat di mana tingkah laku terjadi.Cara pendekatannya tidak perlu

historis, jadi tidak perlu menghubungkan dengan masa lalu seperti pada

psikoanalisis, tetapi harus tetap sistematis.Selain ciri totalitas tersebut di

atas,cara pendekatan yang “ahistoris” ini merupakan indikasi pengaruh psikologi

Gestalt terhadap teori Lapangan.Sebagaimana psikologi Gestalt, teori lapangan

tidak mempermasalahkan bagaimana sampai terjadinya situasi tertentu, yang

penting adalah situasi yang bagaimana yang terjadi pada suatu saat

tertentu.Masa lalu sudah hilang,karenanya tidak ada pengaruhnya pada masa kini.

Walaupun demikian masa lalu masih berpengaruh secara tak langsung kepada

tingkah laku masa kini melalui bekas-bekasnya yang masih tertinggal dalam

lapangan kejiwaan (atau disebut juga:lapangan kehidupan) orang yang

bersangkutan.

Konsekwensi kelima adalah bahwa bahasa yang digunakan dalam teori

lapangan harus eksak dan logis , jadi harus berupa bahasa matematik. Tetapi

bahasa matematik tidak hanya kuantitatif. Bahasa matematik menurut Lewin bisa

juga kualitatif . Dalam hubungan ini ia meminjam istilah-istilah dari geometri ,

32
khususnya tipologi (cabang geometri yang menganalisis posisi) untuk menerangkan

peristiwa-peristiwa psikologik.

A. Konsep-konsep Dasar Teori Lapangan

Metode konstruktif memerlukan konstruk-konstruk yaitu pengertian

yang mencakup serangkaian konsep-konsep . Dengan perkataan lain konstruk

adalah elemen dari teori lapangan , sedangkan konsep adalah elemen dari

konstruk . Konstruk yang terpenting dari teori lapangan tentunya adalah lapangan

itu sendiri, yang dalam psikologinya diartikan sebagai lapangan kehidupan (life

space) .

a. Lapangan Kehidupan

Lapangan kehidupan dari seorang individu terdiri dari orang itu sendiri

dan lingkungan kejiwaan (psikologis) yang ada padanya . Demikian pula lapangan

kehidupan suatu kelompok adalah kelompok itu sendiri ditambah dengan

lingkungan di mana kelompok itu berada pada suatu saat tertentu .

Jelaslah bahwa dalam konstruk yang paling dasar tentang lapangan

kehidupan ini Lewin hanya memperhitungkan hal – hal yang ada bagi individu atau

kelompok yang bersangkutan . Apa yang ada bagi individu atau kelompok (subyek)

belum tentu ada secara obyektif, sedangkan apa yang ada secara obyektif belum

33
tentu ada secara subyektif. Di sinilah nampak bahwa Kurt Lewin lebih

mementingkan deskripsi yang subyektif .

Ada atau tidak adanya sesuatu bagi subyek harus dibuktikan dengan atau

tidak adanya pengaruh dari sesuatu itu terhadap subyek yang bersangkutan. Ibu,

teman dan kebutuhan adalah contoh dari hal-hal yang berpengaruh pada subyek,

oleh karena itu hal-hal tersebut ada dalam Lapangan Kehidupan subyek yang

bersangkutan.Sebaliknya, bencana alam di negara lain atau perubahan posisi dari

bintang-bintang tertentu di langit tidak berpengaruh pada subyek, sehingga

tidak terdapat pada Lapangan Kehidupan subyek ( kecuali jika ia kebetulan

seorang pejabat WHO atau seorang ahli perbintangan ). Dalam hal ini perlu

dijelaskan bahwa hal-hal yang tidak langsung berhubungan dengan penginderaan

subyek, tetapi masih berpengaruh pada subyek, tetap dinyatakan terdapat dalam

Lapangan Kehidupan subyek yang bersangkutan. Misalnya peristiwa-peristiwa

ekonomi atau politik yang jauh dari subyek tetapi ada pengaruhnya pada subyek.

Lapangan kehidupan terbagi-bagi dalam wilayah-wilayah (region) atau

disebut juga lingkungan kehidupan (life-sphere). Lingkungan kehidupan ini ada

yang sifatnya nyata ( reality ) seperti ibu,teman,pekerjaan dan sebagainya, dan

ada pula yang sifatnya maya ( irreality ) seperti harapan, cita-cita dan

sebagainya. Jadi, Lapangan Kehidupan mempunyai dimensi nyata-maya ( dimensi

R-I ).

34
Dimensi kedua dari lapangan kehidupan adalah kecairan (fluidity) dari

lingkungan-lingkungan kehidupan tersebut di atas. Kecairan berarti dapat terjadi

gerak, perpindahan dari suatu wilayah ke wilayah lain, hal mana tergantung pada

keras atau lunaknya dinding-dinding pembatas dari masing-masing wilayah dalam

lapangan kehidupan itu.

Sampai disini perlu dijelaskan bahwa banyak terjadi kesalah-pahaman bahwa

seolah-olah teori Lapangan tidak mengakui adanya proses belajar. Anggapan ini

tidak benar. Proses belajar menurut teori Lapangan tetap ada, yaitu berupa

pengaruh tidak langsung masa lalu terhadap suatu wilayah tertentu dalam

lapangan kehidupan seseorang. Misalnya, jika seseorang sudah tiga hari tidak

minum, maka akan ada wilayah tertentu dalam lapangan kehidupan orang itu yang

terpengaruh yang menyebabkan orang itu minum. Kalau lain kali orang itu habis

bekerja keras satu jam sampai berkeingat , maka wilayah yang sama akan

terpengaruh lagi dan orang itu juga akan minum lagi . Dalam cara pendekatan

yang ahistoris dari Lewin, tidak dipermasalahkan apakah ia haus karena 3 hari

tidak minum atau karena sejam bekerja keras, yang penting adalah pengaruhnya

pada lingkungan kehidupan tertentu dari lapangan kehidupan seseorang dan

pengaruh itu menyebabkan orang yang bersangkutan bertindak sesuatu yaitu ;

minum.

35
Pada anak kecil , diferensiasi lapangan kehidupan belum terlalu rumit.

Lapangan kehidupan seorang anak kecil mungkin baru terdiri beberapa lingkungan

kehidupan saja, seperti ibu, susu, air hangat, pakaian dan sebagainya. Tetapi

dengan bertambahnya usia , bertambah pula jumlah wilayah dalam lapangan

kehidupan . Jadi, diferensiasi lapangan kehidupan dipengaruhi oleh pengalaman

sehari-hari dari orang yang bersangkutan. Tetapi pengalaman bukan satu-satunya

hal yang mempengaruhi diferensiasi lapangan kehidupan . Hal lain yang juga

berpengaruh adalah tingkat kecerdasan (intelegensi) dan pertambahan usia.

Dimensi lain dari lapangan kehidupan adalah “waktu psikologik”. Walaupun

cara pendekatan yang digunakan kurtlewin adalah ahistoris, perkembangan

lapangan kehidupan itu sendiri menyebabkan adanya masa lalu, masa kini dan

masa depan psikologik. Dalam kombinasinya dengan dimensi nyata-maya ,dimensi

waktu ini memberikan sifat yang dinamis pada lapangan kehidupan . contoh dari

wilayah (lapangan kehidupan) yang maya dan bermasa depan psikologis adalah

harapan atau cita-cita. Sedangkan contoh dari wilayah yang nyata dan bermasa

depan psikologik adalah kemungkinan-kemungkinan tentang apa yang

terjadi.secara teoritis , tingkat kecairan pada taraf maya lebih tinggi daripada

kecairan pada taraf nyata.

Akhirnya , perlu dicatat beberapa hal yang dapat menyebabkan

perubahan lapangan kehidupan yaitu;

36
1. Meningkatkan diferensiasi dalam satu wilayah

2. Dua atau beberapa wilayah menggabung menjadi satu

3. Diferensiasi berkurang

4. Satu wilayah pecah , membebaskan diri dan membentuk wilayah sendiri

5. Restrukrisasi , yaitu ada perubahan pola pada wilayah-wilayah dalam

lapangan kehidupan, tetapi tidak terjadi diferensiasi

b. Tingkah Laku dan Lokomosi

Tingkah laku menurut Lewin adalah Lokomosi (locomotion) yang brarti

perubahan atau gerakan pada lapangan kehidupan. Misalnya, seorang pegawai

pergi dari kantornya (wilayah kerja) ke rumah sakit (wilayah kesehatan) untuk

memeriksakan diri ke dokter, maka pegawai itu melakukan suatu lokomosi. Tetapi

kalau perpindahan itu terjadi pada waktu pegawai tersebut sedang pingsan

dikantor dan digotong ke rumah sakit,maka itu bukanlah lokomosi atau tingkah

laku.

Lokomosi dapat terjadi oleh karena ada “komunikasi” antara 2 wilayah

dalam lapangan kehidupan seseorang. Komunikasi antara 2 wilayah itu

menimbulkan ketegangan (tension) pada salah satu wilayah dan ketegangan

menimbulkan kebutuhan (need) dan kebutuhan inilah yang menyebabkan tingkah

laku. Tetapi sebelum kebutuhan bisa menimbulkan lokomosi, masih ada satu

faktor lagi yaitu batas-batas (barrier) wilayah-wilayah yang bersangkutan. Kalau

37
batas itu kaku dan kenyal, maka batas itu akan sukar ditembus oleh daya (forces)

yang ada dalam lapangan kehidupan seseorang sehingga sulit terjadi lokomosi.

Sebaliknya kalau batas wilayah-wilayah itu lunak maka akan terjadi pertukaran

daya antar wilayah sehingga wilayah-wilayah yang berkomunikasi itu berada

dalam tingkat ketegangan yang seimbang kembali.

Sebagai ilustrasi marilah kita ambil contoh pegawai yang ke rumah sakit

tersebut di atas. Antara wilayah kerja dan wilayah kehidupan dalam lapangan

kehidupan pegawai itu terjadi komunikasi. Pegawai tersebut merasa kurang

sehat, terjadi perubahan dalam wilayah kesehatan. Perubahan itu berpengaruh

kepada wilayah kerja, di mana pegawai tersebut tidak dapat bekerja dengan

nyaman lagi. Maka timbullah kebutuhan untuk ke rumah sakit yang

membangkitkan dorongan pegawai tersebut untuk ke rumah sakit. Terjadilah

lokomosi (pegawai pergi ke rumah sakit) dan lokomosi itu akan terjadi terus

sampai pegawai itu sembuh kembali dan bisa bekerja dengan nyaman lagi. Dengan

perkataan lain, terjadilah keseimbangan kembali antara wilayah kerja dan wilayah

kesehatan dalam lapangan kehidupan pegawai yang bersangkutan.

Tetapi seandainya di kantor tempat pegawai tersebut ada peraturan yang

ketat yang melarang pegawai keluar selama jam kantor dengan alasan apapun,

maka ini berarti bahwa batas wilayah kerja di lapangan kehidupan pegawai itu

terlalu keras. Daya yang bangkit akibat perubahan di wilayah kesehatan tidak

dapat menembus wilayah kerja dan daya dari wilayah kerja tidak dapat tembus

38
ke wilayah kesehatan. Perpindahan daya tidak dapat terjadi, sehingga tidak

terjadi lokomosi. Pegawai itu akan tetap tinggal di kantornya sampai habis jam

kerja.

c. Daya (Force)

Daya ini didefinisikan sebagai suatu hal yang menyebabkan perubahan.

Perubahan dapat terjadi jika pada suatu wilayah ada valensi (valence)

tertentu. Valensi dapat bersifat negatif atau positif tergantung pada daya tarik

atau daya tolak yang ada pada wilayah tersebut. Kalau suatu wilayah mempunyai

valensi positif, maka ia akan menarik daya-daya dari wilayah-wilayah lain untuk

bergerak menuju ke arahnya. Sebaliknya, jika valensi yang ada pada suatu

wilayah yang negatif, maka daya-daya yang ada akan menghindar atau menjauhi

wilayah tersebut.

Kita ambil contoh misalnya , sebuah rumah makan yang menyajikan

makan-makanan enak. Rumah makan “G” tersebut dilihat oleh seseorang bernama

“O”. Dengan melihat G, maka dalam lapangan kehidupan O terbentuk wilayah G

yang bervalensi positif. Selanjutnya wilayah G ini akan menarik daya-daya dari

wilayah-wilayah yang lain untuk bergerak ke arahnya. Jika jumlah daya (resultant

force) yang terkumpul sudah melewati titik nol, maka terjadilah lokomosi, yaitu

O pergi ke rumah makan G tersebut. Tetapi kalau wilayah G mempunyai batas

yang keras dan sulit ditebus ( misalnya rumah makan G terletak di seberang jalan

39
yang ramai yang tidak dapat diseberangi ), maka tidak akan terjadi lokomosi,

melainkan hanya terjadi perubahan kognitif (kesadaran) yang senilai dengan

lokomosi, yaitu misalnya : O mengkhayal sedang makan di rumah makan G.

Dari contoh di atas jelaslah bahwa valensi dipengaruhi oleh faktor-faktor

yang menghambat. Salah satu faktor yang bisa menghambat kekuatan valensi

adalah “jarak psikologik”. Jarak psikologik tidak identik dengan jarak fisik

walaupun keduanya sering saling berkolaborasi. Tetapi yang jelas, buat Lewin

yang penting adalah jarak psikologik, bukan jarak fisik. Sebagai contoh misalnya

dapat dikemukakan seorang pemuda (X) yang naksir seorang gadis (Y). Wilayah

Sebagai contoh misalnya dapat dikemukakan seorang pemuda (X) yang naksir

seorang gadis (Y). Wilayah Y dalam lapangan kehidupan C bervalensi positif.

Tetapi walaupun X dan Y bertetangga (dekat secara fisik), valensi positif padaY

tidak cukup kuat untuk menggerakkan lokomosi, karena X dan Y terdapat jarak

psikologik yang jauh (misalnya : X belum kenal pada Y). Jelasnya, daya-daya dari

wilayah-wilayah dalam lapangan kehidupan X tidak bergerak menuju Y.

Berbicara tentang daya, Kurt Lewin membagi-bagi daya dalam beberapa

jenis :

1. Daya yang mendorong, misalnya daya yang mendorong orang pergi ke rumah

makan G tersebut di atas.

2. Daya yang menghambat, misalnya jalan ramai yang menghambat O

menyeberang menuju ke rumah makan G. Atau, hambatan sosial yang

40
menyebabkan seorang pegawai ragu-ragu dan tidak jadi masuk ke kamar

atasannya untuk menuntut kenaikan gaji.

3. Daya yang berasal dari kebutuhan sendiri, misalnya daya yang mendorong o

pergi ke rumah makan G.

4. Daya yang berasal dari orang lain, misalnya suruhan dari seseorang majikan

kepada sekretarisnya atau larangan yang datang dari seorang ibu kepada

anaknya.

5. Daya yang impersonal (tidak berasal dari kehendak sendiri maupun dari orang

lain), yaitu daya yang berasal dari situasi, misalnya norma sosial yang

menghambat orang sehingga ia tidak bicara keras-keras di tengah malam buta.

d. Ketegangan (Tension)

Tentang “ketegangan” digambarkan dengan baik sekali oleh Zeigarnik

(1927) dalam suatu eksperimennya. dalam eksperimen tersebut Zeigarnik

meminta sejumlah orang percobaan (o.p) untuk melakukan suatu tugas tertentu,

misalnya menyelesaikan suatu persoalan berhitung. Begitu o.p menerima tugas,

maka dalam diri o.p terjadi “ketegangan” tertentu. Ketegangan ini akan mereda

kalau tugas telah diselesaikan. Tetapi kalau o.p diinterupsi di tengah-tengah

tugasnya dan disuruh berhenti bekerja walaupun tugasnya belum selesai, maka

ketegangan o.p masih tinggi dan o.p masih membutuhkan sesuatu untuk

meredakannya.

41
Meredakan ketegangan tidak berarti bahwa ketegangan itu harus hilang

sama sekali (dalam keadaan nol), melainkan ketegangan itu disebarkan secara

merata dari satu wilayah ke wilayah-wilayah lain dalam lapangan kehidupan.

Dengan perkataan lain, peredaan ketegangan berarti tercapainya equilibrium

(keseimbangan) di antara wilayah-wilayah. Dengan demikian ketegangan di suatu

wilayah tertentu bisa mereda, tetapi secara umum ketegangan di seluruh

lapangan kehidupan belum tentu mereda.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor penting

yang dapat menurunkan ketegangan adalah ketembusan (permiability), yaitu

sampai berapa jauh batas-batas suatu wilayah dapat ditembus oleh daya dari

wilayah-wilayah lain di sekitarnya. Jika batas suatu wilayah demikian kerasnya

sehingga tidak tertembus, maka peredaan ketegangan tergantung kepada

subsitusi, yaitu adanya wilayah lain yang kira-kira senilai dengan wilayah yang

pertama yang dapat ditembus oleh daya. Misalnya, dalam eksperimen Zeigarnik,

o.p yang disuruh berhenti sebelum tugasnya selesai bisa agak meredakan

ketegangannya jika ia diberi persoalan-persoalan berhitung lainnya untuk

diselesaikan.

Substitusi lebih dimungkinkan jika antara dua wilayah yang bersangkutan

terdapat banyak persamaan. Selain itu substitusi lebih mudah terjadi pada

orang-orang dengan lapangan kehidupan yang cukup berdiferensiasi, berkembang

atau bercabang-cabang, asalkan batas-batas wilayah yang ada dalam lapangan

42
kehidupan yang bersangkutan masih cukup tertembus oleh daya-daya yang akan

masuk. Orang dewasa biasanya punya jiwa yang cukup berdiferensiasi dan

ketembusan batas-batas wilayah cukup besar. Sebaliknya anak-anak atau orang

primitif jiwanya belum berdiferensiasi sedangkan batas-batas wilayah dalam

lapangan kehidupannya kaku dan kenyal (ketembusan rendah). Karena itu

substitusi pada anak-anak dan orang primitif lebih sulit dari pada orang dewasa.

Faktor lain yang juga berpengaruh pada peredaan ketegangan adalah

kejenuhan. Kalau kebutuhan-kebutuhan yang mendasari daya itu sudah dipuaskan

sampai jenuh, maka ketegangan itu akan berkurang dengan sendirinya.

Sampai di sini perlu dicatat bahwa Lewin sendiri tidak pernah secara

gamblang dan tuntas menjelaskan perbedaan antara ketegangan dan daya. Kedua

istilah itu kadang-kadang dicampuradukkan. Tetapi secara teoritis kedua konsep

itu perlu dipertahankan dan perlu dibedakan agar di kemudian hari kita tidak

makin lama makin jauh bergeser dari ide asli yang tercakup dalam konsep-konsep

tersebut.

B. Penerapan Teori Lewin

Kalau di atas telah diuraikan konsep-konsep dalam teori Lewin, sekarang

tiba saatnya kita meninjau bagaimana penerapan teori-teori pada gejala kejiwaan

43
yang kongkret. 2 contoh gejala kejiwaan akan dikemukakan di bawah ini yaitu

“konflik” dan “tingkah laku agresif”.

a. Konflik

Konflik adalah suatu keadaan di mana ada daya-daya yang saling

bertentangan arah, tetapi dalam kadar kekuatan yang kira-kira sama. Ada tiga

macam konflik yaitu :

1) Konflik mendekat-mendekat (approach-approach conflict), yaitu orang (P)

berada di antara 2 valensi positif yang sama kuat.

2) Konflik menjauh-menjauh (avoidance-avoidance conflict), yaitu P berada di

antar 2 valensi negatif yang sama kuat .

3) Konflik mendekat-menjauh (approach-avoidance conflict), yaitu P menghadapi

valensi positif dan negatif pada jurusan yang sama .

Perlu dicatat di sini bahwa konflik menjauh-menjauh dan mendekat-

menjauh hanya dapat terjadi kalau batas-batas yang kokoh pada lapangan

kehidupan orang yang bersangkutan sehingga tidak ada daya yang bisa keluar

dari wilayah-wilayah tertentu yang menyebabkan konflik tersebut. Jika batas

tidak kuat dan ada wilayah lain yang bervalensi lebih positif, maka daya akan

berpindah ke wilayah yang terakhir ini. Terjadilah subsitusi dan konflik pun

berakhir.

b. Tingkah Laku Agresif

44
Dalam eksperimennya, Kurt Lewin dan kawan-kawan (Lewin, Lippit, White,

1993) menemukan bahwa dalam kelompok anak laki-laki yang diberi tugas-tugas

tertentu di bawah pimpinan seorang pemimpin yang demokratis, maka nampak

bahwa tingkah-tingkah laku yang agresif yang timbul adlah dalam taraf yang

sedang (medium). Tetapi kalau pemimpin kelompok itu adalah seorang yang

otoriter, maka perilaku agresif mereka menjadi tinggi dan justru sangat rendah.

C. Kelebihan dan Kelemahan Teori Lapangan

Sumbangan terbesar dari Teori Lapangan adalah adanya bukti bahwa

penelitian psikologi sosial dapat juga dilakukan dengan metode eksperimental dan

dapat dilakukan di laboraturium.

Tetapi teori ini juga mengandung beberapa kelemahan yaitu :

- Kurt Lewin tidak menyajikan teorinya secara sistematis.

- Banyak konsep dan konstruk yang tidak didefinisikan secara jelas sehingga

memberi arti yang kabur.

- Teori ini terlalu bersibuk diri dengan aspek-aspek yang mendalam dari

kepribadian sehingga agak mengabaikan tingkah laku motoris yang “overt”

(nampak dari luar).

- Penggunaan konsep-konsep topologi telah menyimpang dari arti sebenarnya

(penyalahgunaan topologi).

45
BAB IV

ORIENTASI KOGNITIF

A. KONSEP DASAR ORIENTASI KOGNITIF

Teori – teori yang berorientasi Kognitif adalah teori – teori yang

menitikberatkan proses-proses sentral (misalnya: sikap, ide, harapan) dalam

menerangkan tingkah laku. Orientasi ini dibedakan dari Orientasi psikoanalitik

yang mempelajari proses yang paling dalam (misalnya: ketidaksadaran, id) dan

teori-teori behavioristik yang menekankan studinya tentang tingkah laku pada

proses – proses luar ( misalnya: rangsang dan balas).

Akan tetapi teori – teori kognitif tidak selalu dapat dibedakan dengan

jelas dari teori – teori behaviorisik, khususnya yang tergolong neo-behaviorisme.

Karena itu sebelum kita mendalami teori – teori yang berorientasi kognitif ini,

kita perlu mencatat beberapa perbedaan antara teori kognitif , dan neo-

behaviorisme:

1. Behaviorisme terutama berkaitan dengan pembiasaan (conditioning), baik yang

klasik maupun yang operan dan banyak mempelajari proses belajar. Teori –

teori kognitif di lain pihak lebih banyak mempelajari pembentukan konsep,

berpikir dan membangun pengetahuan.

46
2. Behaviorisme mempelajari perilaku – perilaku yang kasat mata, sedangkan

teori – teori kognitif membicarakan konsep-konsep mentalistik.

3. Behaviorisme menganggap bahwa pada setiap perilaku atau peristiwa psikologik

ada proses organismik (fisiologik) yang mendasarinya, sedangkan aliran

kognitif menerangkannya sebagai pembedaan dari keadaan kesadaran

(Ausubel, 1965.)

4. Analisis dari Behaviorisme bersifat molekular (tingkah laku diuraikan ke dalam

refleks-refleks), sedangkan analisis kognitif bersifat molar (secara

keseluruhan).

5. Behaviorisme mementingkan faktor genetik, sedangkan aliran kognitif tidak.

6. Menurut behaviorisme setiap tingkah laku dirangsang oleh kebutuhan primer

tertentu, dan kalau kebutuhan ini tidak dipenuhi, maka tidak akan terjadi

proses belajar. Di pihak lain, teori kognitif berpendapat bahwa proses belajar

dapat terjadi tanpa dipenuhinya kebutuhan tertentu (Allport, 1937)

Disamping itu, karena teori-teori yang berorientasi Kognitif sangat erat

hubungannya dengan Psikologi Gestalt dan Teori Lapangan dari Kurt Lewin, maka

perlu juga dicatat perbedaan-perbedaan antara Orientasi Kognitif dengan teori-

teori Gestalt dan Lapangan. Menurut Ausubel (1965.) perbedaan itu terletak

pada kenyataan bahwa tidak semua tokoh aliran Kognitif menggunakan doktrin-

doktrin Gestal tentang nativisme persepsi, isomorpbi, insight (wawasan) dalam

setiap pemecahan persoalan dan teori jejak ingatan yang menyebabkan lupa.

47
Demikian juga tidak semua ahli teori kognitif memakai konsep lapangan

kehidupan, ketegangan (tension), diagram topologik dan tujuan dari tiap perilaku.

Perlu juga dicatat bahwa teori kognitif itu sendiri sukar dikelompokkan

dalam suatu kelompok orientasi, karena teori-teori itu tidak mempunyai prinsip

yang berlaku umum. Prinsip yang berlaku pada suatu teori belum tentu buat teori

yang lain, walaupun sama-sama berorientasi kognitif. Karena itulah tokoh-tokoh

seperti Tolman (1932) yang oleh Hilgard (1948) dianggap sebagai behavioris, oleh

Scheerer (1954) malah dimasukan golongan kognitif.

B. ISTILAH-ISTILAH DASAR DALAM TEORI KOGNITIF

a. Kognisi dan Struktur Kognitif

Kebanyakan penulis tidak merasa perlu mendefinisikan istilah Kognisi

secara khusus dan terperinci. Mungkin karena istilah ini dianggap sering dipakai

dan semua orang mengerti. Beberapa penulis yang memberikan deskripsi tentang

istilah ini antara lain adalah:

Scheerer (1954):

Kognisi adalah proses sentral yang menghubungkan peristiwa-peristiwa di luar

(external) dan di dalam (internal) diri sendiri.

Festinger (1957):

48
Kognisi adalah elemen-elemen kognitif, yaitu hal-hal yang diketahui oleh

seseorang tentang dirinya sendiri, tentang tingkah lakunya dan tentang

keadaan di sekitarnya.

Neisser (1967):

Kognisi adalah proses yang mengubah, mereduksi, memperinci, menyimpan,

mengungkapkan dan memakai setiap masukan (input) yang datang dari alat

indera.

Di pihak lain, tentang “Struktur kognitif” cukup banyak penulis yang secara

khusus mengemukakan definisi masing-masing:

Zajonc (1960):

Struktur kognitif adalah serangkaian sifat-sifat (attributes) yang

terorganisir dan digunakan oleh individu untuk mengidentifikasi dan

mendiskriminasi suatu obyek atau peristiwa tertentu.

Scott (1963):

Struktur kognisi adalah struktur yang terdiri dari elemen-elemen berupa ide-

ide yang secara sadar dipertahankan oleh seseorang atau satu set ide yang

dipertahankan oleh orang yang bersangkutan dan setiap waktu tersedia bagi

kesadaran.

Selanjutnya Zajonc memperinci hal-hal yang terdapat dalam struktur kognitif,

yaitu diferensiasi, kompleksitas, kesatuan (unity) dan organisasi. Demikian pula

49
Scott mengidentifikasi hal-hal yang terdapat dalam struktur kognisi menurut

definisinya: diferensiasi, keterkaitan (relatedness) dan integrasi.

b. Rangsang

Rangsang (stimulus) adalah suatu hal yang rumit. Untuk mendefinisikannya

perlu dipertimbangkan seluruh proses persepsi. Memang, yang pertama-tama

berperan adalah rangsang proksimal (misalnya serangkaian gelombang cahaya

yang dipantulkan oleh sebuah benda yang bernama meja, dan menyentuh retina

kita), tetapi yang kita inderakan bukanlah rangsang proksimal itu melainkan

kesannya yang tertangkap oleh alat-alat indera kita. Jadi, menurut Scheerer,

ada 3 macam rangsang, sesuai dengan adanya 3 elemen dari proses penginderaan,

yaitu:

1) Rangsang yang merupakan obyek dalam bentuk fisiknya (rangsang distal).

2) Rangsang sebagai keseluruhan yang tersebar dalam lapang proksimal (belum

menyangkut proses sistem syaraf).

3) Rangsang sebagai representasi fenomenal (gejala yang dikesankan) dari obyek-

obyek yang ada di luar.

Ketiga definisi tersebut di atas digunakan dalam teori-teori kognitif.

Walaupun demikian, yang banyak dipakai adalah definisi yang pertama. Rangsang-

rangsang ini, dalam teori kognitif selalu diorganisasikan dalam tata susunan yang

rumit (complex). Kalau kita melihat sebuah meja, misalnya, maka bukan meja itu

50
saja yang kita lihat, tetapi juga unsur-unsur lain dari situasi keseluruhan dan

hubungan-hubungannya antara unsur-unsur tersebut.

c. Respons

Menurut Scheerer, respons (balas) adalah proses pengorganisasian

rangsang. Rangsang proksimal diorganisasikan sedemikian rupa sehingga terjadi

representasi fenomenal dari rangsang proksimal itu . Proses inilah yang disebut

respons.

Orang dewasa, menurut Hunt (1962), mempunyai sejumlah besar unit

untuk memproses informasi. Unit-unit ini dibuat khusus untuk manangani

representasi fenomenal dari keadaan di luar yang ada dalam diri seorang individu

(internal environment). Lingkungan internal ini dapat digunakan untuk

memperkirakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar. Proses yang berlangsung

secara rutin inilah yang oleh Hunt dinamakan respons.

d. Arti

Arti (meaning) adalah konsep utama dalam teori kognitif dan memainkan

peran dalam menerangkan tentang segala proses psikologik yang rumit. Ausubel

51
(1965) menyatakan bahwa arti adalah hasil dari proses belajar yang berwujud

gejala idiosinkratik. Dalam proses belajar, arti yang terpendam (inberent) dalam

simbol dikonversikan dalam isi kognitif yang berbeda-beda. Perubahan dari

struktur kognitif yang disebabkan oleh masuknya isi baru ini menimbulkan arti

yang baru. Ausubel memang tidak menolak adanya proses fisiologik (syaraf)

dalam peristiwa tersebut di atas, tetapi dengan tegas ia menyatakan bahwa

antara proses fisiologik dengan timbulnya arti yang baru tidak ada hubungan

sebab-akibat.

1. Beberapa Proses Psikologik Diterangkan oleh Teori Kognitif

a. Persepsi

Teori kognitif umumnya menerima pandangan Psikologi Gestalt tentang

persepsi. Scheerer (1954) menyatakan bahwa persepsi adalah reprensentasi

fenomenal tentang obyek distal sebagai hasil pengorganisasian obyek distal itu

sendiri, medium dan rangsang proksimal.

Empat aspek dari persepsi yang menurut Berlyne (1957) dapat

membedakan persepsi dari pikiran adalah:

1) Hal-hal yang diamati dari sebuah rangsang bervariasi tergantung pola dari

keseluruhan di mana rangsang tersebut menjadi bagaiannya.

2) Persepsi bervariasi dari orang ke orang dan dari waktu ke waktu.

3) Persepsi bervariasi tergantung dari arah (fokus) alat-alat indera.

52
4) Persepsi cenderung berkembang ke arah tertentu dan sekali terbentuk

kecenderungan itu biasanya akan menetap.

Contoh: kalau kita sudah melihat sesuatu yang tadinya “tersembunyi” dalam

test mencari bentuk (seperti yang ada dalam majalah anak-anak) maka sesuatu

yang sudah kita lihat itu tidak akan hilang lagi dan terus akan berpengaruh

pada bentuk yang kita persepsikan tersebut.

Tentang faktor-faktor yang berpengaruh pada persepsi, Krech & Crutchfield

(1948) menyatakan bahwa ada 2 golongan variabel yang mempengaruhi

persepsi, yaitu:

 Variabel struktural: yaitu faktor-faktor yang terkandung dalam rangsang fisik

dan proses neurofisiologik.

 Variabel fungsional: yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam diri sipengamat

seperti kebutuhan (needs), suasana hati (moods), pengalaman masa lampau dan

sifat-sifat individual lainnya.

Selanjutnya, masalah persepsi ini diuraikan secara lebih rinci oleh Bruner

(1957). Ia mengatakan bahwa persepsi adalah proses kategorisasi. Organisme

dirangsang oleh suatu masukan tertentu (obyek-obyek di luar, peristiwa dan lain-

lain) dan organisme itu berespons dengan menghubungkan masukan itu dengan

salah satu kategori (golongan) obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa. Proses

menghubungkan ini adalah proses yang aktif di mana individu yang bersangkutan

53
dengan sengaja mencari kategori yang tepat sehingga ia dapat mengenali atau

memberi arti kepada masukan tersebut. Dengan demikian persepsi juga bersifat

inferensial (menarik kesimpulan).

Selain bersifat kategori-inferensial, Bruner mengatakan juga bahwa

persepsi bervariasi dapat dipercaya, maksudnya kalau kita melihat sesuatu di

langit yang mendung, persepsi kita mungkin adalah sebuah kapal terbang, padahal

benda itu sesungguhnya seekor burung. Di sini letak pentingnya pengambilan

keputusan dalam persepsi. Menurut Bruner, persepsi yang paling sederhana

sekalipun menuntut suatu pengambilan keputusan. Keputusan menentukan

kategori dan kategori menentukan arti. Selanjutnya, keputusan yang satu

menyebabkan harus dibuatnya keputusan yang berikutnya dan yang berikutnya

lagi dan seterusnya. Sehingga kita akan menjumpai serangkaian keputusan dalam

suatu persepsi. Misalnya, kalau kita sudah mempersepsikan sebuah kapal terbang,

makan selanjutnya kita harus memutuskan apakah kapal terbang itu pesawat

komersial atau pesawat Angkatan Udara, apakah pesawat itu hendak mendarat

atau hanya lewat saja dan sebagainya. Rangkaian keputusan ini disebut proses

pengurungan(bracketing process) di mana terjadi penyempitan kategori secara

bertahap sampai pada akhirnya obyek yang dipersepsikan itu mendapatkan

tempatnya yang tepat dalam sistem kategori seseorang.

Masih dalam proses pengambilan keputusan dalam persepsi, Bruner

menyatakan bahwa ada 4 tahap pengambilan keputusan.

54
1) Kategorisasi primitif, di mana obyek atau peristiwa yang diamati, diisolasi, dan

ditandai berdasarkan ciri-ciri khusus. Pada tingkat ini pemberian arti kepada

obyek persepsi masih sangat minimal .

2) Mencari tanda (cue search), di mana si pengamat secara cepat memeriksa

(scanning) lingkungan untuk mencari informasi-informasi tambahan untuk

memungkinkannya melakukan kategorisasi yang tepat.

3) Komfirmasi, terjadi setelah obyek mendapatkan penggolongan sementaranya.

Pada tahap ini isi pengamatan tidak lagi terbuka untuk sembarangan masukan,

melainkan ia hanya menerima tambahan informasi yang akan memperkuat

(mengkorfirmasi) keputusannya. Masukan-masukan yang tidak relevan

dihindari. Tahap ini oleh Bruner dinamakan juga: proses seleksi melalui pintu

gerbang (selective gating process).

4) Konfirmasi tuntas, di mana pencarian tanda-tanda diakhiri. Tanda-tanda baru

diabaikan saja dan tanda-tanda yang tidak konsisten dengan kesimpulan yang

sudah dibuat juga diabaikan saja atau diubah sedemikian rupa sehingga cocok

dengan kategori yang sudah dipilih.

Selanjutnya Bruner merangkum kan pendapatnya tentang persepsi ke

dalam 7 propinsi sebagai berikut:

1) Persepsi tergantung pada proses pengambilan keputusan.

55
2) Proses pengambilan keputusan memanfaatkan tanda-tanda diskriminatif

(discriminatory cues) sehingga dimungkinkan untuk menempatkan masukan ke

dalam kategori-kategori.

3) Proses pemanfaatan tanda-tanda melibatkan proses penyimpulan (inference)

yang menuju kepada penempatan suatu obyek ke dalam suatu kategori

tertentu.

4) Suatu kategori adalah serangkaian sifat-sifat atau ketentuan khusus tentang

jenis-jenis peristiwa yang secara bersama-sama bisa dimasukkan ke dalam

satu kelompok.

5) Kategori-kategori berbeda-beda dalam hal kesiapannya untuk dikaitkan

dengan suatu rangsang tertentu.

6) Persepsi adalah dapat dipercaya dalam arti bahwa rangsang-rangsang yang

masuk dirujuk ke kategori yang sesuai.

7) Jika kondisi kurang optimal, persepsi akan menjadi dapat dipercaya dalam arti

bahwa kaitannya dengan kategori-kategori sesuai dengan berbagai

kemungkinan yang ada dilingkungan.

a. Belajar

 Menurut Ausubel (1961) ada 4 macam tipe belajar:

 Belajar dengan menerima saja (Reception learning)

 Belajar dengan menemukan sesuatu (Discovery learning)

 Belajar dengan menghafal (Rote learning)

56
 Belajar dengan mengartikan (Meaningful learning)

Keempat tipe belajar tersebut saling berkaitan satu sama lain dalam dua dimensi.

Dimensi pertama merupakan suatu spektrum yang berawal dari Reception

learning (Rec.) dan berakhir pada Discovery learning (Disc). Sedangkan dimensi

yang kedua adalah atara Rote learning (Rot) dan Meaningful learning (Mean).

Kedua dimensi tersebut berpotongan pada sumbu masing-masing sehingga dapat

digambarkan sebagai berikut.

Rec

Rot Mea
n

Disc

Gambar 1 Tipe belajar

1) Reception learning (menerima) : si pelajar hanya menyerap bahan-bahan

yang tersedia baginya sehingga di masa yang akan datang ia bisa mereproduksi

kembali.

2) Discovery learning (menemukan): si pelajar menemukan sendiri materi yang

harus dipelajarinya. Ia tidak hanya menyerap saja, tetapi mengorganisir dan

mengintegrasikan materi-materi yang diperlajarinya ke dalam struktur

kognitifnya. Pengulangan dari discovery learning meningkatkan kemampuan

penemuan dari individu yang bersangkutan.

57
3) Rote learning (menghafal): si pelajar mengingat-ingat bahan yang dipelajari

secara verbatim, yaitu sebagai rangkaian kata-kata.

4) Meaningful learning (mengartikan): si pelajar berada dalam situasi yang

mengandung setidak-tidaknya 2 sifat:

a) Bahan yang akan dipelajari secara potensial mempunyai arti.

b) Si pelajar sudah mempunyai kecenderungan (kecenderungan berpikir)

untuk menghubungkan informasi-informasi atau konsep-konsep baru

dengan struktur kognitif yang sudah ada dan relevan.

Dari uraian di atas jelas bahwa belajar dengan menerima saja biasanya

adalah juga belajar dengan menghafal. Sebaliknya, belajar dengan menemukan

adalah belajar dengan mengartikan. Kalau ada belajar dengan menemukan yang

tergolong menghafal, maka itu adalah belajar dengan coba-salah (trial and error

learning). Sebaiknya jika belajar dengan menemukan itu tergolong mengartikan,

maka itu adalah belajar yang menggunakan wawasan (insightful problem solving).

Selanjutnya, Ausubel (1963) menyatakan bahwa struktur kognitif terdiri

jejak-jejak konsep (conceptual traces) yang terorganisir dan tersusun secara

hierarkis (berjenjang). Yang dimaksud dengan “jejak” adalah representasi

pengalaman masa lalu pada struktur kognitif. Pada waktu pertama kalinya sebuah

informasi yang baru dipersepsikan oleh seseorang, maka informasi itu segera

dikaitkan dengan material yang sudah ada dalam struktur kognitif.

58
Informasi baru ini sewaktu-waktu dapat dipanggil kembali sebagai suatu

kesatuan yang berdiri sendiri. Tetapi lama-kelamaan terjadilah proses peleburan

di mana demi penghematan informasi-informasi yang bermacam-macam itu

digabungkan ke dalam satu konsep saja. Dengan demikian informasi-informasi itu

makin sulit untuk dipanggil kembali sebagai kesatuan-kesatuan tersendiri. Dengan

perkataan lain, informasi-informasi itu sudah dilupakan.

c. Motivasi dan Penguat (reinforcement)

Pada umumnya teori-teori yang berorientasi kognitif tidak menggangap

penting arti motivasi dan penguat dalam tingkah laku dan belajar. Walaupun

demikian, secara implisit (tersirat) mereka mengakui adanya unsur kebutuhan

terhadap kognisi atau struktur kognitif. Antara lain hal ini dikemukakan oleh

cohen dkk (1955).yang mendefinisikan kebutuhan akan kognisi sebagai kebutuhan

untuk menstrukturkan situasi-situasi yang berarti dengan cara terintegrasi dan

dapat dimengerti.

Kebutuhan akan kognisi ini menurut Cohen et.al. dapat diukur dalam 2

ukuran, yaitu:

1) Tinggi atau rendahnya kebutuhan akan kognisi itu sendiri, dan

2) Kebutuhan itu muncul dalam situasi yang sama-sama/membingungkan

(ambigious situation) atau situasi yang jelas/gamblang (structured situation).

59
Situasi yang meragukan lebih banyak menimbulkan frustrasi dari-pada

situasi yang jelas dan frustasi ini lebih besar lagi dalam keadaan kebutuhan yang

tinggi akan kognisi.

Dengan demikian maka kepuasan (satisfaction) dalam teori kognitif tidak

dihubungkan dengan ketegangan (tension) yang dapat dikurangi dengan

tercapainya tujuan (goal) dan terjadinya penguat (reinforcement), melainkan

dikaitkan dengan perubahan, penambahan atau penyempurnaan struktur kognitif

pada suatu organisme tertentu.

Teori-teori berorientasi kognitif yang dengan agak nyata mengemukakan

perihal penguat di dalamnya adalah teori-teori keseimbangan kognitif (cognitive

balance) dari Heider (1946), Newcomb (1953), Osgood & Tannenbaum (1955) dan

Festinger (1957). Dalam teori-teori tersebut dikatakan bahwa individu mendapat

penguat (reinforcement) pada perilakunya kalau dengan perilakunya itu ia dapat

mencapai keseimbangan kognitif dari keadaan ketidakseimbangan. Hal ini

dinyatakan oleh Shaw & Costanzo sebagai tidak terlalu berbeda dari prinsip

reduksi ketegangan (tension reduction) yang dikemukakan oleh aliran

behaviorisme.

60
C. TEORI KOGNITIF DARI KRECH & CRUCHFIELD

Teori dari Krech & Crutchfield (1948) adalah yang paling ambisius dan

paling eksplisit dalam kelompok orientasi kognitif. Mula-mula mereka

mengemukakan beberapa prinsip dasar dan kemudian menerapkannya dalam

perilaku sosial.

a. Dinamika Tingkah Laku

Krech & Crutchfield dalam teorinya tersebut di atas mengajukan

beberapa proposisi (pernyataan). Proposisi yang pertama menyangkut istilah

“motivasi” yang diberinya arti luas, termasuk emosi, kebutuhan dan nilai-nilai.

Proposisi 1: Unit yang paling tepat untuk menganalisis motivasi adalah tingkah

laku molar (keseluruhan) yang mencakup kebutuhan-kebutuhan

(needs) dan tujuan-tujuan (goals).

Proposisi 2:dinamika perilaku molar adalah hasil dari hal-hal yang terdapat dalam

lapangan psikologik pada saat itu (immediate psychological field).

Dari kedua proposisi tersebut di atas ada dua pertanyaan yang muncul,

yaitu pertanyaan tentang kebutuhan dan tujuan apa yang muncul pada suatu saat

tertentu (persoalan dinamika) dan bagaimana kebutuhan dan tujuan itu sampai

bisa muncul dan berkembang (persoalan genetika). Krech & Crutchfield

menyatakan bahwa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu tidak perlu dicari ke

masa lampau, karena semua motif adalah bermasa-kini (kontemporer).

61
Proposisi 3:ketidakstabilan dalam lapangan psikologik menghasilkan ketegangan

(tension) yang mempengaruhi persepsi, kognisi dan tindakan (action)

sedemikian rupa sehingga lapangan psikologik tersebut mengarah

kembali ke struktur yang lebih stabil.

Proposisi 4:frustrasi terhadap pencapaian tujuan dan kegagalan untuk

mengurangi ketegangan bisa membawa individu kepada perilaku-

perilaku adaptif (penyesuaian diri dengan lingkungan) atau unadaptif

(tidak bisa menyesuaikan diri).

Frustrasi dapat berasal dari faktor lingkungan (fisik maupun sosial) atau

faktor pribadi(biologil maupun psikologik). Respons yang adaptif misalnya:

mengintensifkan upaya untuk mencapai tujuan, mereorganisasi lapangan persepsi

atau mensubstitusi tujuan dengan yang lebih bisa dicapai. Sedangkan respon yang

maladaptif misalnya: agresi, regresi, penarikan diri, rasionalisasi, autisme dan

lain-lain.

Proposisi 5 :Cara-cara khusus untuk mencapai tujuan dan mengurangi ketegangan

dapat dipelajari dan dianut secara tetap oleh seseorang.

Dalam kaitanya ini Krech & Crutchfield menyatakan bahwa proses tingkah laku

manusia adalah aktif, tidak pasif/mekanistik.

62
a. Struktur Persepsi dan Kognitif

Tingkah laku molar dipertajam oleh konsepsi seseorang tentang dunia.

Karena itu dunia sosial harus digambarkan sebagai lingkungan yang dipersepsikan

oleh orang yang bersangkutan dan dengan demikian bukannya tidak mungkin kita

mengungkapkan prinsip-prinsip dari persepsi dan kognisi. Karena itu proposisi-

proposisi berikutnya ini adalah tentang hukuman-hukuman persepsi dan kognisi.

Proposisi 1: lapangan persepsi dan kognisi dalam keadaanya yang alamiah sudah

terorganisir dan berarti.

Proposisi 2:persepsi secara fungsional adalah selektif (bersifat memilih).

Proposisi 3: hal-hal yang bersifat persepsi dan kognisi dari suatu substruktur

sebagian terbesar dipengaruhi oleh hal-hal dari struktur yang lebih

besar di mana subsruktur yang bersangkutan menjadi anggota.

Proposisi 4:obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa yang saling berdekatan dalam

waktu atau tempat atau mirip satu sama lain cenderung diartikan

sebagai bagian dari suatu struktur yang sama. (Proposisi ini jelas

didasarkan pada prinsip Gestalt tentang kesamaan dan kedekatan

sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi)

a. Re-organisasi Kognitif

Proposisi-proposisi yang berikut menyangkut re-organisasi kognitif dan

meliputi belajar, berpikir, pemecahan masalah, lupa dan perubahan psikologik.

63
Proposisi 1: Selama ada sesuatu yang memblokir pencapaian tujuan, akan terjadi

re-organisasi kognitif; sifat re-organisasi ini sedemikian rupa

sehingga menurunkan ketegangan (tension) yang ditimbulkan oleh

situasi yang menimbulkan frustrasi.

Proposisi 2:Proses Re-organisasi kognitif secara khas terdiri dari serangkaian

organisasi-organisasi yang saling berkaitan dan tersusun secara

hierarkis.

Proposisi 2 ini berrarti bahwa suatu situasi yang berulang-ulang

memungkinkan re-organisasi kognitif yang terus-menerus yang tidak pernah

mencapai akhir, pengalaman-pengalaman yang dipersepsikan oleh individu-lah

yang akan mempengaruhi re-organisasi kognitif dari individu tersebut dan

karenanya pendidikan yang sengaja (dengan sadar) diarahkan sangat penting

artinya untuk mempertajam re-organisasi kognitif tersebut.

Proposisi 3:Struktur kognitif, setelah beberapa saat mengalami perubahan-

perubahan yang progresif sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi.

Proposisi 3 ini menegaskan bahwa tidak semua re-organisasi kognitif

disebabkan oleh adanya hambatan terhadap tujuan atau oleh adanya usaha untuk

menurunkan ketegangan.

Proposisi 4:Mudah dan cepatnya proses re-organisasi kognitif merupakan fungsi

dari diferensiasi, isolasi dan kekakuan (rigidity) dari struktur

kognitif yang asli.

64
Jadi, struktur-struktur kognitif yang sederhana dan terisolasi lebih muda dire-

organisasi daripada yang terdiferensiasi dan saling berkaitan. Kemudahan

berubahnya struktur kognitif ini disebut “Multipleksitas” (Multiplexity).

Multipleksitas dipengaruhi oleh:

 Kapasitas biologik dari individu yang bersangkutan

 Prinsip-prinsip organisasi

 Kondisi yang menghasilkan struktur yang asli

 Kebutuhan dan emosi

D. TEORI-TEORI KONSISTENSI KOGNITIF

Teori-teori kognitif berpangkal pada sebuah proposisi umum yaitu bahwa

kognisi (pengetahuan, kesadaran) yang tidak konsisten dengan kognisi-kognisi lain

menimbulkan keadaan psikologik yang tidak menyenagkan dan kedaan ini

mendorong orang untuk bertingkah laku agar tercapai konsistensi antar kognisi-

kognisi tersebut, hal mana akan menimbulkan rasa senang. Keadaan inkonsisten

misalnya terjadi bila kita melihat seorang Mentri sedang nongkrong di warung di

tepi jalan. Menteri dan warung adalah dua kognisi yang tidak bisa saling

berkaitan, bahkan mungkin saling berlawanan, sehingga kalau kedua kognisi ini

muncul sekaligus, timbul perasaan inkonsisten dalam diri kita, yang menyebabkan

kita perlu melakukan sesuatu agar timbul konsistensi yang menyenangkan,

misalnya: melihat orang itu sekali lagi untuk menyakinkan bahwa dia sesungguhnya

bukan menteri (orang lain yang mirip menteri), atau mengubah struktur kognitif

65
dengan menyatakan kepada diri sendiri menteri adalah manusia juga sekali-kali

ingin santai makan di warung.

Hubungan inkonsisten antara kognisi-kognisi diberi nama berbeda-beda oleh

beberapa ahli:

 Heider (1946) menamakannya ketidakseimbangan kognitif (cogbitive

imbalance).

 Newcomb (1953) menamakannya asimetri (asymetry).

 Osgood & Tannembaum (1955) menamakannya ketidakselarasan

(incongruence), sedangkan

 Festinger (1957) manamakannya disonansi (dissonance).

Dari keempat tokoh yang dikemukakan diatas, yang paling terbatas

kegunaan teorinya (hanya dapat digunakan dalam situasi-situasi tertentu), adalah

Teori Osgood & Tannenbaum, sedangkan yang paling luas pemakaiannya adalah

Teori Fesringer.

1. Teori P-O-X

Teori Heider adalah teori yang partama dalam bidang ini sehingga banyak

dijadikan dasar oleh teori-teori lainnya. Teori ini berpangkal pada perasaan-

perasaan yang ada pada seseorang (P) terhadap orang lain (O) dan hal yang lain

(X) yang ada kaitannya dengan O,X dalam hal ini tidak hanya berupa benda mati,

tetapi bisa berupa orang lain. Ketiga hal tersebut (p, o dan x) membentuk suatu

kesatuan. Jika unit itu mempunyai sifat yang sama disemua seginya, maka

66
timbullah keadaan yang seimbang dan tidak ada dorongan untuk berubah. Tetapi

jika unit itu mempunyai segi-segi yang tidak bisa berjalan bersama-sama, maka

terjadilah ketegangan (tension) dan timbullah tekanan yang mendorong untuk

mengubah organisasi kognitif sedemikian rupa sehingga tercapai keadaan

seimbang.

Hubungan antar P, O, dan X

Menurut Heider ada 2 jenis hubungan dalam sistem p-o-x:

a. Hubungan unit yang terdiri dari:

a.1. Tipe U

a.2. Tipe bukan U

b. Hubungan sentimen, yang bisa bersifat

b.1. positif (L)

b.2. negatif (DL)

Hubungan unit tipe U adalah jika 2 unsur dipandang sebagai saling

memiliki, sedangkan tipe bukan U (not U) adalah jika unsur-unsur itu tidak saling

memiliki. Contoh: kalau p menyukai o dan tidak menyukai x, maka persoalan

keseimbangan tidak akan timbul selama o dan x di padangan sebagai hal-hal yang

terpisah satu sama lain. Tetapi kalau hubungan o dan x saling memiliki (hubungan

positif) timbullah perasaan seimbang dalam diri p. Sebaliknya kalau o dan x saling

berhubungan tetapi tidak saling memiliki (hubungan negatif), terdafatlah

keadaan tidak seimbang dalam struktur kognitif p.

67
Pembentukan hubungan unit menurut Heider sebagaian besar dipengaruhi

oleh prinsip-prinsip persepsi dari psikologi Gestalt seperti: kesamaan, kedekatan,

kelangsungan, set dan pengalaman masa lalu. Misalnya: dua anjing berjalan

bersama akan lebih cenderung dipersepsikan sebagai satu unit (saling memiliki)

daripada jika yang seekor gaja berjalan ke arah yang berlawanan. Dengan

demikian, dalam hal hubungan antar manusia, seorang akan cenderung dipandang

sebagai satu unit dengan orang lain yang sekebangsaan, seagama, sekeluarga dan

sebagainya.

Hubungan sentimen di pihak lain adalah penilaian seseorang terhadap

sesuatu. Jadi termasuk di dalamnya antara lain adalah menyukai, memuja,

menyetujui, menolak, tidak mencela, mengejek dan sebagainya. Kalau penilaian itu

positif diberikan simbol-simbol: L, sedangkan kalau penilaian itu negatif diberi

simbol: DL.

Keadaan Seimbang dan Tidak Sembang

Keadaan seimbang menurut Heider (1958) adalah suatu keadaan di mana

unsur-unsur saling berhubungan satu sama lain secara harmonis dan tidak ada

tekanan untuk berubah. Dalam hubungan dua pihak (dyads) keadaan seimbang

terjadi jika hubungan-hubungan antar kedua unsur itu semua positif atau semua

negatif. Dalam hubungan tiga pihak (triads) keadaan seimbang terjadi jika ketiga

hubungan yang ada semuanya positif atau dua negatif dan satu positif. Kalau

ketiga hubungan negatif, maka situasinya meragukan (perhatikan: semua situasi

68
dilihat dari sudut p; keadaan seimbang atau tidak seimbang adalah pada sistem

kognisi p).

Contoh:

Hubungan dua pihak:

 p memiliki x dan p menyukai x, terjadi keadaan seimbang (kedua hubungan

positif).

 P memiliki x (hubungan positif), tetapi p tidak menyukai x (hubungan negatif),

terjadi keadaan tidak seimbang.

Hubungan 3 pihak:

 P menyukai o (hubungan L) dan p menyukai x (hubungan L), sedangkan o

menghasilkan x (hubungan U), maka terjadi keadaan seimbang, karena ketiga

hubungan positif.

 p tidak menyukai o maupun x (hubungan DL/negatif), sedangkan o

menghasilkan x (hubungan U/positif), maka keadaan juga seimbang, karena ada

2 hubungan negatif dan satu positif.

 Kalau p menyukai o (hubungan L) padahal ia tidak menyukai x (hubungan DL),

dan x adalah hasil dari o (hubungan U), maka keadaan tidak seimbang.

Konsekuensi-konsekuensi dari Kecenderungan Menuju Keseimbangan.

a. Keadaan seimbang (balanced) pada umumnya lebih disukai daripada keadaan

tidak seimbang (inbalanced), walaupun kadang-kadang keadaan tidak

69
seimbang bisa juga menyenangkan(misalnya: menonton sulap; lawak atau

memecahkan teka-teki).

b. Keadaan seimbang menyebabkan p menginduksikan hubungan-hubungan lain.

Misalnya:

 p cenderung tidak menyukai orang-orang yang berbeda dari dirinya

sendiri; p tidak menyukai o, ini berarti (induksi): o tidak sama dengan p.

 p berhubungan dengan o, induksinya: p menyukai o.

 p menyukai o, induksinya: p akan berhubungan dengan o.

 p memiliki x, artinya; p menyukai x.

 Dan sebagainya.

c. Keadaan tidak seimbang menimbulkan desakan untuk mengubah hubungan-

hubungan kognitif, baik hubungan unit atau hubungan sentimen. Ambil

contoh sebuah hubungan segitiga (triad) yang terdiri dari sebuah

hubungan DL, sebuah hubungan L dan sebuah hubungan U. Keadaan

seimbang dapat dicapai dengan mengubah hubungan DL ke L atau L ke DL

atau U ke bukan U. Misalnya: Amir melihat sebuah lukisan yang disukainya

(hubungan L), tetapi kemudian mengetahui bahwa pelukisnya (hubungan U)

adalah Parman yang dibencinya (hubungan DL). Keputusan Amin selanjutnya

adalah salah satu dari kemungkinan-kemungkinan berikut:

 Amir menganggap bahwa lukisan itu sebetulnya tidak bagus sama sekali

(DL ke L).

70
 Amir menganggap bahwa Parman sebenarnya orang yang baik juga (DL

ke L).

 Amir menganggap bahwa mungkin Parman hanya mengakungaku pelukis.

Pelukis yang sebenarnya bukan Parman (U ke bukan U).

Disamping ketiga cara menuju keadaan seimbang tersebut di atas, masih

ada satu cara lain yang bisa ditempuh Amir dalam contoh di atas, yaitu

mendiferensiasikan (memecah-mecah) Parman (o) ke dalam beberapa bagian.

Sebagian menyenangkan (Parman sebagai pelukis) dan sebagian tidak

menyenagkan (Parman sebagai teman).

2. Sistem A-B-X

Hipotesa umum yang diajukan Newcomb (1937, 1957) adalah bahwa ada

hukum-hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara kepercayaan-

kepercayaan dan sikap-sikap yang ada pada seseorang. Beberapa kombinasi

kepercayaan dan sikap itu ada yang tidak stabil yang mendorong orang yang

bersangkutan untuk menuju ke situasi yang lebih stabil. Sampai disini Newcomb

tidak berbeda dari teori p-o-x dari heider. Akan tetapi newcomb menambahkan

faktor komunikasi antara individu dan hubungan-hubungan dalam kelompok.

Komunikasilah yang memungkinkan orang untuk saling berorientasi atau bersama-

sama berorientasi kepada suatu obyek tertentu.

71
Sistem Orientasi

Menurut Newcomb ada 2 macam sistem orintasi yaitu:

 Sistem individual (dalam diri sendiri)

 Sistem kelompok (menyangkut hubungan antara individu-individu)

Dalam kedua sisten tersebut di atas minimal diperlukan kompone-komponen

berikut:

1. Sikap A terhadap X

2. Atraksi A terhadap B

3. Sikap B terhadap X

4. Atraksi B terhadap A.

Untuk mudahnya, Newcomb membedakan 2 macam sikap yaitu menyukai

(fevourable) dan tidak menyukai (unfavourable), sedangkan atraksi dibedakannya

ke dalam 2 bagian yaitu positif dan negatif.

 Yang sama terhadap X (keduannya menyukai atau keduanya tidak menyukai)

 Yang berbeda terhadap X (yang satu menyukai, yang lain tidak menyukai).

Hal yang sama berlaku buat atraksi. Jika sikap dan atraksi dari A dan B sama,

terjadilah keadaan simetris. Jika tidak, terjadilah keadaan asimetris.

Dalam sistem individual hubungan-hubungan tersebut di atas adalah yang

dipersepsikan oleh A sendiri. Misalnya: sikap A terhadap X adalah menyukai dan

A tertarik kepada B (atraksi : positif) dan A mempersepsikan bahwa sikap B

72
terhadap X adalah tidak menyukai maka hubungan itu asimetris. Terjadilah

desakan menuju simetris (arus simetri).

Sistem kelompok dibuat untuk menerangkan hubungan dua orang dengan

beberapa batasan:

1. Tindakan komunikasi adalah tindakan verbal (bicara) dalam situasi

berhadapan-hadapan (face-to-face)

2. Komunikasi dicetuskan dengan sengaja

3. Tindakan komunikatif dihadiri oleh penerima

4. A dan B adalah anggota-anggota kelompok yang terus-menerus saling

berhubungan.

Dalam sistem kelompok ini, koorientasi sangat mendasar peranannya, oleh

karena tidak ada orientasi A kepada B yang terjadi dalam kehampaan sosial dan

tidak ada orientasi A kepada X yang terjadi dalam kehampaan lingkungan. Karena

orientasi A terhadap X dipengaruhi oleh orientasi B terhadap X, maka A akan

termotivasi untuk menemukan bagaimana orientasi B yang sebenarnya terhadap

X dan ia akan berusaha mempengaruhi orientasi B terhadap X tersebut. Misalnya

kalau A menyukai X, sedangkan menurut A, B tidak menyukai X, maka A akan

berusaha untuk mempengaruhi B agar B mengubah orientasinya ke arah uang

lebih menyukai X. Dengan demikian maka terdapat desakan atau arus (strain)

yang menuju simetri dalam sistem A-B-X.

73
E. TEORI DISONANSI KOGNITIF

Teori disonansi kognitif dari Festinger (1957) tidak jauh berbeda dari

teori-teori konsistensi kognitif lainnya, tetapi ada 2 perbedaan yang perlu

dicatat:

1. Teori ini adalah tentang tingkah laku umum, jadi tidak khusus tentang tingkah

laku sosial.

2. Walaupun demikian, pengaruhnya terhadap penelitian-penelitian psikologi

sosial jauh lebih menyolok dari pada teori-teori konsistensi yang lain.

Inti dari teori disonansi kognitif ini sebenarnya sederhana saja: antara

elemen-elemen kognitif mungkin terjadi hubungan yang tidak pas (nonfitting

relations) yang menimbulkan disonansi (kejanggalan) kognitif; disonansi kognitif

menimbulkan desakkan untuk mengurangi disonansi tersebut dan menghindari

peningkatannya; hasil dari desakan itu terwujud dalam perubahan pada kognisi,

perubahan tingkah laku dan menghadapkan diri pada beberapa informasi dan

pendapat-pandapat baru yang sudah diseleksi terlebih dahulu. Walaupun

demikian penguraian dari teori ini sangat jauh dari sederhana sebagaimana akan

kita lihat berikut ini.

Definisi disonansi

Karena disonansi selalu terjadi dalam kaitan elemen-elemen kognitif yang

saling berhubungan, maka terlebih dahulu perlu didefinisikan istilah elemen dan

hubungan (relations). Elemen adalah kognisi, yaitu hal-hal yang diketahui

74
seseorang tetang dirinya sendiri ,tingkah lakunya dan lingkungannya. Istilah

kognisi sendiri digunakan untuk menunjuk kepada setiap pengetahuan, pendapat,

kenyakinan atau perasaan seseorang tentang dirinya sendiri atau lingkungannya.

Faktor yang paling menentukan elemen kognitif adalah kenyataan (realitas).

Sedangkan elemen kognitif sendiri berhubungan dengan hal-hal nyata yang ada di

lingkungan dan hal-hal yang terdapat dalam dunia kejiwaan seseorang. Hubungan

tersebut dibedakan dalam 3 jenis: tidak relevan, disonan dan konsonan. Hubungan

yang tidak relevan misalnya: orang tahu bahwa setiap musim hujan Jakarta

kebanjiran dan ia pun tahu bahwa di Indocina tentang Vietnam masuk ke wilayah

Kamboja. Kedua pengetahuan tersebut tidak saling berkaitan dan tidak saling

mempengaruhi karenanya disebut tidak relevan. Hubungan dua elemen kognitif

yang saling terkait dan saling mempengaruhi disebut hubungan relevan. Ada dua

macam hubungan relevan yaitu: hubungan yang disonan dan hubungan yang

konsonan. Disonansi didefinisikan sebagai berikut: Dua elemen dikatakan ada

dalam hubungan yang disonan jika (dengan hanya memperhatikan kedua elemen

itu saja) terjadi suatu penyangkalan darisatu elemen yang diikuti oleh atau

mengikuti suatu elemen yang lain. Contoh: Jika seseorang berdiri di bawah hujan,

seharusnya ia kebasahan. Tetapi kalau orang yang berdiri di hujan (satu elemen)

tidak basah (pengangkatan elemen yang ke dua), maka terjadilah hubungan

disonan. Konotasi adalah keadaan di mana terjadi hubungan yang relevan antara

dua elemen dan hubungan itu tidak disonan. Jadi, jika satu elemen kognisi

75
diikutin oleh elemen yang lain. Misalnya: orang berdiri di hujan (elemen pertama)

dan basah (elemen kedua).

Tetapi adanya penyangkalan elemen tidak selalu jelas. Dalam keadaan ini

maka antara konsonan dan disonan juga tidak dapat dibedakan dengan tajam.

Faktor-faktor motivasi dan keinginan juga berpengaruh disini, sehingga

menambah rumitnya persoalan. Misalnya: seseorang berjudi terus walaupun terus

kalah melawan penjudi profesional. Perbuatan orang itu disonan dengan

pengetahuannya tentang lawannya yang profesional. Tetapi kalau memang ingin

berjudi sampai habis seluruh uangnya, maka bagi orang tersebut hubungan antara

elemen-elemen di atas adalah konsonan.

Menurut Festinger disonansi dapat terjadi dari beberapa sumber:

1. Inkonsisten logis. Contoh: keyakinan bahwa air membeku pada O0C, secara

logis tidak konsisten dengan keyakinan bahwa es balok tidak akan mencair

pada 400C.

2. Nilai-nilai budaya (cultural mores), kebudayaan seringankali menentukan apa

yang disonan dan konsonan.

Contoh: makan dengan tangan di pesta resmi di Eropa menimbulkan disonansi,

tetapi makan dengan tangan di warung di Jakarta dirasakan sebagai konsonan.

3. Pendapat umum. Disonansi dapat terjadi karena suatu pendapat yang dianut

orang banyak dipaksakan kepada pendapat individu. Misalnya: seorang remaja

yang senag menyanyi lagu keroncong. Hal ini menimbukkan disonansi karena

76
pendapat umum percaya bahwa keroncong hanya merupakan kegemaran orang-

orang tua.

4. Pengalaman masa lalu. Contoh: berdiri di bahwa hujan, tetapi tidak basah.

Keadaan ini disonan karena tidak sesuai dengan pengalaman masa lalu.

Ukuran Disonansi

Tidak semua hubungan disonan sama kadarnya. Karena itu Festinger

mengemukakan perlu di ketahuinya faktor-faktor yang menentukan kadar

disonansi itu. Faktor yang pertama adalah tingkat kepentingan elemen-elemen

yang saling berhubungan itu bagi orang yang bersangkutan. Jika kedua elemen itu

kurang penting artinya, maka tidak banyak disonansi yang akan timbul. Sebaliknya

jika kedua elemen itu sangat penting artinya, maka disonansi juga akan tinggi.

Tetapi dalam kenyataannya tidak pernah ada hubungan yang melibatkan

hanya dua elemen. Masing-masing elemen dari yang dua itu dihubungkan juga

dengan elemen-elemen lain yang relevan. Sebagian hubungan-hubungan yang lain

ini konsonan, sedangkan sebagian lainnya disonan. Menurut Festinger, hampir-

hampir tidak pernah terjadi tidak ada disonansi sama sekali dalam hubungan yang

terjadi antar kelompok elemen. Karena itu kadar disonansi dalam hubungan 2

elemen, dipengaruhi juga oleh jumlah disonansi yang ditimbulkan oleh

keseluruhan hubungan kedua elemen itu dengan elemen-elemen lain yang relevan.

Sayang sekali Festinger sendiri tidak menunjukkan bagaimana caranya untuk

menetapkan kadar kepentingan dan relevansinya.

77
Konsekuensi-konsekuensi Disonansi

1. Pengurangan disonansi melalui 3 kemungkinan:

a. Mengubah elemen tingkah laku. Misalnya: seorang gadis membeli baju baru

mahal, ketika baju ini dipakai ke sekolah, seorang teman mengatakan baju

itu “norak” (kampungan). Untuk menghilangkan disonansi, gadis itu bisa

menjual lagi baju tersebut atau menghadiahkannya kepada orang lain

(mengubah elemen tingkah laku).

b. Mengubah elemen kognitif lingkungan: misalnya, gadis itu menyakinkan

temannya bahwa baju tersebut tidak norak dan justru sedang mode top

masa kini.

c. Menambah elemen kognitif baru : misalnya, mancari pendapat teman lain

yang mendukung pendapat bahwa baju tersebut bagus dan tidak norak.

Sayang sekali teori ini tidak memberikan cara untuk memperkirakan

kemungkinan mana yang akan ditempuh untuk mengurangi disonansi dalam

keadaan-keadaan tertentu.

2. Penghindaran disonansi

Adanya disonansi selalu menimbukkan dorongan untuk menghindari

disonansi tersebut. Dalam hubungan ini caranya adalah dengan menambah

informasi baru yang diharapkan dapat menambah dukungan terhadap pendapat

orang yang bersangkutan atau menambah perbendaharaan elemen kognitif dalam

78
diri orang yang bersangkutan. Penambahan elemen baru ini harus sangat selektif,

yaitu hanya mencarinya pada orang-orang yang diperkirakan dapat memberikan

dukungan dan menghindari orang-orang yang pandangannya berbeda. Demikianlah

cara menghindari disonansi.

F. DAMPAK TEORI

Teori Festinger ini mempunyai pengaruh terhadap berbagai situasi dalam

kehidupan sehari-hari. Dampak teori tersebut antara lain terlihat dalam:

1. Pembuatan keputusan: keputusan dibuat berdasarkan suatu situasi konflik.

Alternatif-alternatif dalam situasi konflik itu bisa semua positif bisa negatif

semua atau bisa mempunyai unsur positif dan negatif. Dalam ketiga situasi

konflik tersebut, keputusan apa pun yang akan dibuat akan menimbulkan

disonansi, yaitu: terjadi gangguan terhadap hubungan dengan elemen

(alternatif) yang tidak terpilih. Kadar disonansi setelah pembuatan suatu

keputusan tergantung pada pentingnya keputusan itu dan daya tarik alternatif

yang tidak terpilih. Mengenai suatu keputusan, biasanya terjadi hal-hal

sebagai berikut:

a. Akan terjadi peningkatan pencarian informasi baru yang menghasilkan

elemen kognisi yang mendukung (konsonan dengan) keputusan yang sudah di

buat.

79
b. Akan timbul kepercayaan yang makin mantap tentang keputusan yang sudah

dibuat atau timbul pandangan yang makin tegas membedakan kemenarik

alternatif yang telah diputuskan daripada alternatif-alternatif lainnya.

Atau bisa juga dua kemungkinan itu terjadi bersama-sama

c. Makin sukar untuk mengubah arah keputusan yang sudah dibuat, terutama

pada keputusan yang sudah mengurangi banyak disonansi.

2. Paksaan untuk mengalah: dalam situasi-situasi publik (di tengah banyak orang),

seseorang dapat dipaksa untuk melakukan sesuatu (dengan ancaman hukuman

ataupun menjanjikan hadiah). Kalau perbuatan itu tidak sesuai dengan

kehendak (sebagai pribadi), maka timbul disonansi. Kadar disonansi ini

tergantung pada besarnya ancaman hukuman atau ganjaran yang akan diterima.

3. Ekspose pada informasi-informasi. Disonansi akan mendorong pencarian

informasi-informasi baru. Kalau disonansi hanya sedikit, atau tidak ada sama

sekali, maka usaha mencari informasi baru juga tidak ada. Kalau kadar

disonansi pada taraf menengah (tidak rendah dan tidak tinggi) , maka usaha

pencarian informasi baru akan mencapai taraf maksimal. Dalam hal ini orang

yang bersangkutan akan dihadapkan pada sejumlah besar informasi-informasi

baru. Tetapi kalau kadar disonansi maksimal , justru usaha mencari informasi

baru akan sangat berkurang, karena pada tahap ini akan terjadi perubahan

elemen kognitif.

80
4. Dukungan social. Jika seseorang (missal A) tahu bahwa pendapatnya berbeda

dari orang-orang lain , maka timbullah apa yang disebut kekurangan dukungan

social . kekurangan dukungan social ini menimbulkan disonansi pada A yang

kadarnya ditetapkan berdasarkan factor-faktor sebagai berikut.

a. Ada -tidaknya obyek (elemen kognitif nonsosial) yang menjadi sasaran

pendapat orang lain itu, di sekitar A.

b. Banyaknya orang yang dikenal A yang berpendapat sama dengan A.

c. Pentingnya elemen yang bersangkutan bagi A.

d. Relevansi orang-orang lain tersebut bagi A.

e. Menarik tidaknya orang yang tidak setuju tersebut bagi A.

f. Tingkat perbedaan pendapat.

Cara-cara untuk mengurangi disonansi seperti ini adlah sebagai berikut :

-mengubah pendapat sendiri

-mempengaruhi orang-orang yang tidak setuju agar mengubah pendapat

mereka.

-membuat mereka yang tidak setuju tidak sebanding dengan dirinya

sendiri.

81


BAB V

ORIENTASI
PSIKOANALISA



A.ORIENTASI PSIKOANALISA

Bab ini tidak bermaksud mengadakan uraian yang terperinci tentang

teori-teori yang berorientasi psikoanalisis. Psikoanalisis yang dikemukakan

pertama kali oleh Sigmun freud,memang merupakan teori yang kontroversial.

Selain itu orientasinya juga sangat individual. Oleh sebab itu tidak semua

82
konsepnya relevan dengan tema buku ini yang berbicara tentang teori-teori

psikologi sosial.

Walaupun demikian tidak dapat disangkal bahwa ada bagian-bagian dari

teori Freud yang erat kaitannya dengan psikologi sosial,bisa menerangkan

beberapa gejala psikologi sosial,bahkan disana sini ada beberapa pandangan

Freud yang didasari pada hal-hal yang bersifat sosial-budaya. Hal-hal inilah yang

akan dibahas dalam bab ini. Maka bahasan dalam babini akan terbatas pada

konsep-konsep, konstruk-konstruk dan prinsip-prinsip yang ada relevansinya

dengan psikologi sosial.

Teori Freud memang sulit dipahami. Sebab yang pertama adalah karena

konsepnya berubah-ubah( berkembang) terus. Sebab kedua adalah karena

psikoanalisis bukan hanya berfungsi sebagai teori, tetapi sekaligus juga teknik

terapi dan teknik analisis kepribadian manusia.sebab ketiga, khususnya dalam hal

psikologi sosial, Freud sendiri tidak banyak menulis tentang psikologi

kelompok.untuk memahami teori Freud tentang psikologi kelompok, penilis

terpaksa menggantungkan dari kepada sumber-sumber sekunder yaitu karya-

karyanya yang ditulis sarjana-sarjana lain tentang psikolanalisis, misalnya yang

ditulis oleh Rappaport (1959),Hall& Lindzey (1957) dan Blum (1964).

83
Sebelum kita sampai pada pembicaraan tentang penerapan psikoanalisis

dalam psikologi kelompok terlebih dahulu akan dibahas konsep-konsep Freud

sendiri.

1. Variabel - Variabel Interpersonal dan Aparat-aparat Psikis

Aparat – aparat psikis menurut Freud dapat digolongkan ke dalam 3

golongan yaitu : Libido,Struktur kejiwaan dan struktur kepribadian.

a. Libido

Libido adalah energi vital. Energi vital ini sepenuhnya bersifat kejiwaan

dan tidak boleh dicampurkan dengan energi fisik yang bersumber pada

kebutuhan-kebutuhan biologis seperti lapar dan haus. Freud mengatakan bahwa

energi vital yang disebutnya Libido ini bersumber pada seks.tetapi seks di sini ia

artikan sangat berbeda dari artinya yang biasanya dikenal sehari-hari.

Freud mengemukakan bahwa manusia terlahir dengan sejumlah instink

(naluri). Instink-instink itu dapat dogolongkan dalam 2 jenis, yaitu instink hidup

(Life instinct) dan instink mati (death instinct).instink hidup adalah naluri yang

mempertahankan hidup dan keturunan, sedangakn instink mati adalah naluri yang

menyatakan bahwa pada suatu saat seseorang itu akan mati. Ia tidak memberi

nama khusus kepada energi-energi yang bersumber pada instink mati ini, hanya

dikatakannya bahwa instink ini menyebabkan perilaku-perilaku agresif. Karena itu

instink mati disebut juga instink agresif. Tetapi tentang instink hidup jelas

84
dinyatakannya sebagai instink seksual dan energi-energi yang berasal dari instink

seksual inilah yang disebut Libido.

Instink-instink seksual mula-mula memang berkaitan erat dengan bagian-

bagian tubuh tertentu, yaitu bagian-bagian tubuh yang dapat menimbulkan

kepuasan seksual. Bagian-bagian tubuh ini disebutnya daerah-daerah erogen

(erogenous zones), yaitu : mulut, anus( pelepasan) dan alat kelamin. Tetapi

dengan berkembangnya sistem kejiwaan manusia,rasa puas atau ketegangan-

ketegangan (tension) yang berasal dari daerah-daerah erogen ini lama-kelamaan

terlepas dari kaitannya dengan tubuh dan menjadi dorongan-dorongan yang

berdiri sendiri. Sifat, kekuatan dan cara penyaluran dari libido pada masa kanak-

kanak sangat menentukan kehidupan kejiwaan dan kepribadian orang yang

bersangkutan. Oleh karena itu masa kanak-kanak dipandang oleh Freud sebagai

masa kritis yang penting sekali artinya.

b. Struktur Kejiwaan

Jiwa oleh Freud dibagi dalam tiga bagian, yaitu : kecerdasan(conscious

ness), prakesadaran (preconcious ness) dan ketidaksadaran (unconsciousness)

85
Kesadaran adalah bagian kejiwaan yang berisi hal-hal yang

disadarinya,diketahuinya. Fungsi kesadaran diatur oleh hukum-hukum tertentu

yang dinamakan ”proses sekunder”, yaitu antara lain : logika. Kesadaran terdiri

dari hal-hal yang terjadi di luar maupun didalam tubuh seseorang.

Prakesadaran adalah bagian kejiwaan yang berisikan hal-hal yang

sewaktu-waktu dapat di panggil ke kesadaran melalui asosiasi-asosiasi. Freud

tidak memperinci proses yang terjadi pada prakesadaran dan bagian ini memang

kecil peranannya dalam sistem kejiwaan yang diajukannya.

Ketidaksadaran adalah bagian yang terpenting dan yang paling banyak

diuraikan dalam sisitem kejiwaan Freud. Bagian ini berisi proses-proses yang

tidak disadari, akan tetapi tetap berpengaruh pada tingkah laku orang yang

bersangkutan.proses yang tidak disadari itu dinamakan ”proses primer” dan

ditandai emosi. Keinginan-keinginan (desire) dan instink. Realitas tidak

mendapatkan tempat dalam ketidaksadaran.

Implus-implus yang antagonistik ( saling bertentangan) dapat berlangsung

bersamaan dalam ketidaksadaran tanpa menimbulkan konflik oleh karena proses

primer ketidaksadaran bersifat non logika. Selain itu proses primer bersifat

simbolik dan berisi komponenen-komponen fantasi dari pikiran.contoh yang utama

daro proses primer ini adalah simbolis dalam mimpi.

86
Selanjutnya Freud mengatakan bahwa pengertian tentang tingakh laku

manusia yang overt ( tampak mata) hanya dapat dicapai memalui penyimpulan

yang benar tentang isi ketidaksadaran.

c. Struktur Kepribadian

Ada 3 sistem yang terdapat dalam struktur kepribadiaan yaitu: Id, Ego

dan Super Ego.

1) Id : adalah sumber segala energi psikis. Jiwa seorang bayi yang baru lahir

hanya terdiri dari id. Isinya adalah implus-implus yang berasal dari

kebutuhan-kebutuhan biologis dan implus-implus inilah yang mengatur

seluruh tingkah laku bayi. Karena id adalah sistem yang tidak disadari,

maka semua ciri ketidaksadaran berlaku buat id : amoral, tidak

terpengaruh oleh waktu, tidak mempedulikan realitas, tidak menyensor

diri sendiri dan bekerja atas dasar prinsip kesenangan (pleasure

principle).

Tetapi karena sifatnya yang tidak memperdulika relitas, pada hal obyek-

obyek yang diperlukan untuk memenuhi implus-implus dari id terletak dalam

realitas, maka id memerlukan suatu sistem yang dapat menghubungkannya dengan

realitas ( dunia nyata). Oleh karena itulah tumbuh sistem baru dalam jiwa bayi

yaitu ego. Pertumbuhan ego sudah dimulai sejak awal pertumbuhan bayi, yaitu

87
sejak bayi itu dikonfrontasikan dengan kenyatan bahwa realitas adalah sumber

suatu hal yang tidak bisa diperlakukan seenaknya saja.

Sumber energi ego berasal dari id. Dalam perkembangan selanjutnya ego

akan berdiri sendiri, terpisah dari id, akan tetapi sumber energinya tetap

berasal dari id. Fungsi utama ego adalah menghadapi realitas dan

menterjemahkan untuk id. Karena itu dikatakan bahwa ego berfungsi atas dasar

prinsip relitas (reality principle).

2) Ego. Disamping bekerja atas dasar prinsip relitas, ego juga beroperasikan

atas dasar proses berfikir sekunder. Jadi, dalam menginterpretasikan

realitas ego menggunakan logika. Selain itu persepsi dan kognisi

merupakan bagian yang tak terpisahkan dari psoses sekunder tersebut.

3) Superego : adalah sistem moral dari kepribadian. System ini berisi

norma-norma budaya, nilai-nilai social, dan tata cara yang sudah diserap

ke dalam jiwa. Superego merupakan perkembangan dari ego, yang pada

suatu saat melepaskan diri dari ego. Sifat superego sama dengan id,

dalam arti tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat, tidak mempunyai

sensor diri, serta mempunyai energi sendiri. Ia pun mengabaikan relitas,

tetapi superego mempunyai fungsi yang bertentangan dengan id. Jika id

berprinsip mencari kesenangan, seperego mencari kesempurnaan

88
(perfection). Demi kesempurnaan itu, superego berusaha menghambat

implus-implus dari id sehinggan tidak muncul dalam bentuk tingkah laku.

Superego terbentuk sebagai reaksi terhadap tata aturan masyarakat

yang dihadapkan kepada anak oleh orang tua ( atau tokoh orang tua) melalui

mekanisme hukuman dan ganjaran. Menurut Freud, terbentuknya superego paling

dipengaruhi oleh kompleks oedipoes. Dalam perasaan yang ambiven yang terdapat

pada anak laki-laki terhadap ayahnya ( atau anak perempuan terhadap

ibunya),yaitu pertentangan cinta dan benci, kagum dan takut, ingin meniru dan

ingin mengingkari, terjadilah introjeksi (penerapan) nilai-nilai orang tua ke jiwa

anak. Anak tidak lagi mengendalikan perilakunya karena takut atau dilarang oleh

orang lain, melainkan ia dihambat oleh perasaan malu dan rasa bersalah yang ada

dalam dirinya.

Dengan demikian, tujuan utama proses sosialisasi menurut Freud adalah

pembentukan superego yang sehat. Orang yang tersosialisai adalah orang yang

menerima tata aturan masyarakat sebagai aturan-aturannya sendiri.

Superego mempunyai fungsi yang bertentangan dengan id, tetapi

kehendak keduanya diketahui oleh ego. Tugas ego adalah menyusun strategi

tingakh laku sedelikian rupa sehingga keinginan kedua pihak terpenuhi dan

sekaligus sesuai dengan realitas. Kemampuan ego untuk menyeimbangkan energi-

energi dari id dan dari superego sangat penting artinya buat kepribadian. Kalau

89
energi dari superego terlalu besar maka orang yang bersangkutan akan jadi

selalu ragu-ragu, takut-takut, terkekang. Tetapi jika energi id terlalu besar,

maka akan kita dapati orang yang impulsif, seenaknya sendiri, mengabaikan tata

aturan sosial.

B. PERTAHANAN EGO

Sebagai sistem yang bertugas mengelola energi-energi yang datang dari

kedua sistem yang lain, ego seringakali berada dalam keadaan yang tidak

menyenangkan, seperti ketegangan dan kecemasan. Untuk melindungi dirinya dari

keadaan yang tidak menyenangkan itu ego melakukan manuver ( gerakan) yang

disebut pertahanan ego (ego defense). Pertahanan ego ini memepunyai 2 ciri

yaitu :

1. Mengabaikan atau mengacaukan realitas.

2. bekerja pada taraf ketidaksadaran.

Pertahanan ego dapat mengacaukan, realitas diluar maupun di dalam diri,

misalnya : menganggap tidak ada keinginan atau instink tertentu, atau tidak

mengakui suatu obyek tertentu, padahal semuanya itu sungguh-sunggu ada.

90
a. Represi

Represi adalah memasukan hal-hal yang tidak menyenangkan dari dalam

kesadaran, ke dalam ketidaksadaran. Hal-hal yang tidak menyenangkan ego

tersebut misalnya : cinta anak pada ibu sendiri, rasa benci pada ayah, ketakutan

akan dikebiri oleh ayah dan sebagainya. Jika hal-hal tersebut sudah dimasukan

kedalam ketidaksadaran, mereka akan tinggal disitu dan menjadi bagian dari

sistem ketidaksadaran. Energi-energi yang timbul sebagai akibat hal-hal yang

direpres itu kemudian dapat disalurkan kepada obyek-obyek atau tingkahlaku

tingkah laku yang kurang berbahaya buat ego. Oleh karena itulah represi dapat

menimbulkan pertahanan ego yang lain seperti pengalihan (displacement).

Menghilangkan hal-hal yang sudah direpres tidak cukup dengan

menghilangkan obyek-obyek yang tidak menyenangkan. Kalupun obyek itu sudah

tidak ada, ego harus mentestnya dulu ( reality testing). Tetapi untuk berani,

menguji,ketakutan itu harus dihilangkan dulu. Jadi terdapat suatu lingkaran-

setan yang tidak memungkinkan terhapusnya hal-hal yang sudah direpres. Untuk

mengatasi hal inilah Freud memperkenalkan psikoanalisis sebagai teknik terapi,

yaitu secara sistematis mengurangi ketakutan-ketakutan pasien agar pasien

tersebut bisa kembali dan membuktikan bahwa apa yang dulu ditakutinya

sekarang sudah tidak ada lagi.

91
b. Proyeksi

Dalam proyeksi seseorang melontarkan implus-implus, keinginan-keinginan,

ide-ide dari dirinya yang tidak dapat diterimanya sendiri, kepada obyek atau

orang lain diluar dirinya. Dengan proyeksi, seseorang mengamankan egonya

dengan tetap mengakui bahwa implus-implus, keinginan-keinginan atau ide-ide itu

ada, tetapi ia tidak menganggapnya sebagai miliknya melainkan milik obyek lain

(biasanya : orang lain). Misalnya : Konflik, Oedipoes. Dalam konflik Oedipoes

seorang anak dalam ketidaksadarannya membenci ayahnya. Tetapi ia juga tidak

mau kehilangan cinta dan perlindungan dari ayahnya. Dengan proyeksi ia

mengatakan ”ayah benci saya”. Walaupun kebencian ayah tetap merupakan

pengalaman yang kurang menyenangkan, akan tetapi masih lebih ringan dari pada

jika anak yang membenci ayah. Dengan ” ayah membenci anak”, anak masih”

mangakui” bahwa ia tidak benci ayahnya dan karenanya ia berhak mendapatkan

cinta ayhnya. Perilaku anak memusuhi ayahnya dianggap oleh anak sebagai

pembelaan diri, jadi beralasan.

c. Pembentukan Reaksi ( Reaction Formation)

Mekanisme pembentukan reaksi adalah menekan implus-implus yang tidak

disukai kedalam ketidaksadaran dan memunculkan hal yang justru berlawanan

dalam kesadaran. Misalnya: perasaan benci ditukar dengan cinta, depresi ditukar

dengan kegembiraan, sikap jorok ditukar dengan sikap serba bersih. Pembalikan

92
implus-implus ini biasanya dilakukan dengan cara yang berlebihan, misalnya :

benci yang ditekan,ditukar dengan cinta yang luar biasa. Maksudnya untuk

menutupi (kamuflase) implus-implus yang tidak dikehendaki tersebut.

d. Penolakan (Denial)

Penolakan adalah mekanisme pertahanan ego yang paling primitif. Caranya

ialah dengan menganggap tidak ada hal-hal yang sesungguhnya ada. Contoh yang

ekstrem adalah : penolakan orang-orang Yahudi Jerman terhadap malapetaka

yang mengancam dengan adanya rezim Nazi. Penolakan seperti ini pada orang-

orang yang ”normal” sulit terjadi ( kecuali dalam situasi ancaman yang sangat

ekstrem), karena kemampuan persepsi mereka yang baik. Karena itu penolkan

lebih sering terjadi pada anak-anak dan penderita psikosis.

e. Sublimasi

Sublimasi adalah deseksualisasi implus-implus seksual dari id. Libido

disalurkan kedalam tingkah laku artistic, keterampilan-keterampilan teknis dan

sebagainya. Dorongan agresi juga disublimasikan, misalnya kepada keahlian

dokter bedah. Dengan demikian menurut Freud, sublimasi merupakan dasar yang

penting buat perkembangan kebudayaan. Buat pribadi yang bersangkutan,

93
sublimasi menyelamatkan ego dari dorongan-dorongan yang tidak menyenangkan

dengan menyalurkan kepada perilaku-perilaku yang dapat diterima oleh

masyarakat.

C. PERKEMBANGAN PSIKOSEKSUAL

Freud berpendapat bahwa kepribadian berkembang melalui beberapa

fase. Fase fase atau tingkat-tingkat perkembangan itu sejalan dengan perubahan

daerah-daerah erogen. Jadi mengikuti perkembangan seksual, disamping itu juga

bersifat dinamis. Sejalan dengan perkembangan psikoseksual, berkembang pula

struktur kepribadian id,ego dan superego.

Tingkat perkembangan terpenting menurut Freud adalah yang terjadi

sampai dengan usia 5 tahun, karena perkembangan pada masa ini menentukan

kepribadian pada usia dewasa. Tingkat-tingkat perkembangan sampai usia 5

tahun ini disebut tingkat-tingkat pragenital yang terdiri dari tingkatan oral, anal

dan falik (phalic). Tingkat-tingkat selanjutnya yang tidak begitu penting

dibandingkan dengan 3 tingkat yang pertama, adalah tingkat laten dan genital.

a. Tingkat Oral

Bayi yang baru lahir, sampai usia 1-1 ½ tahun terutama adalah mahluk

biologis. Pengalamannya hanyalah kenikmatan, kesakitan dan perubahan-

94
perubahan ketegangan. Jiwanya hanya dikendalikan oleh id, karena ego dan

superego belum ada.

Dalam tahapan yang pertama ini, pusat kenikmatan bayi adalah mulut.

Sumber kenikmatan adalah menghisap makanan dan benda-benda lain. Pada

tahap ini bayi masih tergantung sekali pada lingkungannya. Demikian

tergantungnya sehingga ia belum bisa membedakan dirinya sendiri dari realitas di

luar dirinya. Baru setelah sering terbentur pada realitas, bayi itu membentuk

egonya.

Bagian pertama dari tingakt Oral ini disebut sepenuhnya peresapan oral (

complete oral incorporation). Periode ini berlangsung sampai bayi berumur 4

sampai 8 bulan, dimana mulai tumbuh benih-benih kepercayaan dan cinta pada

obyek yang dikenalnya pertama kali, yaitu ibunya atau tokoh ibu. Bagian kedua

disebut “ sadisme oral” dimana bayi mulai bisa memamah dan menggigit. Pada

bayi, timbul ambivelensi antara menghisap dan menggigit, antara cinta dan agresi.

Pada bagian kedua dari tingkat oral inilah mulai tumbuh agresivitas untuk

selanjutnya perkembangan emosi cinta dan benci.

95
b. Tingkat Anal

Tingkat ini berlangsung kira-kira antara usia 1 atau 1 ½ sampai 4 tahun.

Daerah erogen ada di anus ( pelepasan). Pada periode ini anak maupun orang tua

sama-sama disibukkan dengan fungsi membuang air besar dan menahan diri untuk

tidak membuang air besar. Perkembangan ego pada tingkat ini ditandai oleh :

 Kemampuan untuk menguasai obyek.

 Sadar dan toleran terhadap kecemasan (anxiety).

 Perkembangan kemampuan bicara dan berfikir.

 Tumbuhnya pertahanan terhadap impulsivitas

Pada tingkat ini ada dua (2) kemampuan menguasai yang terpenting pada

anak yaitu :

 Kemampuan menguasai tubuh sendiri seperti berjalan, bicara dan

menahan buang air besar.

 Kemampuan menilai dan berfikir yang sangat dipengaruhi oleh

tumbuhnya kemampuan berbahasa.

Kemampuan menguasai tubuh merupakan dasar kemandirian anak,

sedangkan tumbuhnya fungsi bicara mendasari kemampuan anak untuk menguji

realitas.

96
Kemampuan bicara selanjutnya memungkinkan anak untuk mengantisipasi

(memperkirakan) masa depan melalui imajinasi (mereka-reka dengan fikiran).

Dengan kemampuan antisipasi ini anak juga mampu melihat kemungkinan

datangnya bahaya sehingga timbul kecemasan (anxiety).

Sumber-sumber kecemasan yang penting pada tingkat ini adalah

kehilangan cinta orang tua jika aturan orang tua dilanggar dan kehilangan harga

diri(self esteem) jika anak gagal menguasai suatu obyek.

Dalam perkembangan selanjutnya dalam tingkat anal ini, ego mulai dapat

menunda untuk sementara, atau membelokkan arah untuk selamanya, dorongan-

dorongan id. Kemampuan ini diperlukan agar ego dapat menyesuaikan diri dengan

realitas, khususnya menghindari ancaman bahaya yang datang dari luar ( misalnya

hukuman dari orang tua). Dengan demikian, maka mulai nampaklah benih-benih

seperego.

Perkembangan psikoseksual di tingkat anal ini terbagi menjadi dua tahap :

1) Tahap anal-ekspulsif, dimana anak mendapatkan kepuasan seksual

dari proses buang air besar.

2) Tahap anal-retentif, dimana anak mendapatkan kepuasan seksual

dengan menahan tinjanya dalam perut.

Dalam tahap anal-retentif anak dapat menunjukkan kebenciannya pada

orang tua dengan cara buang air besar kalau disuruh jangan buang air dulu atau

97
justru bertahan untuk tidak buang air besar kalau sedang disuruh buang air

besar.

c. Tingkat Falik

Tingkat falik mulai terjadi pada usia 3 atau 4 tahun. Daerah erogen yang

utama adalah alat kelamin. Di sini ada 3 perkembangan penting.

1) Meningkatnya minat pada seks :

a) Dalam keluarga berupa kompleks Oedipoes.

b) Dalam diri sendiri sendiri berupa fantasi-fantasi tertentu

2) Proses pertumbuhan superego.

3) Makin banyak digunakan mekanisme pertahanan ego.

Tanda-tanda dari periode ini antara lain adalah :

 Meningkatnya kegiatan masturbasi.

 Meningkatnya keinginan untuk bersentuhan tubuh dengan anggota

keluarga yang berlawanan jenis.

 Meningkatnya kecendrungan ekshibionis ( menujukkan alat kelamin

kepada orang lain).

Inti dari perkembangan jiwa pada tingkat falik ini adalah kompleks

Oedipoes. Kompleks Oedipoes berarti cinta dari seorang anak laki-laki kepada

ibunya atau cinta dari seorang anak perempuan kepada ayahnya. Disamping cinta,

juga ada perasaan benci, iri dan bermusuhan. Anak laki-laki membenci ayahnya,

98
sedangkan abnak perempuan tidak menyukai ibunya. Sumber dari permusuhan itu

adalah ” hasrat untuk mempunyai penis” (penis envy). Seorang anak laki-laki sejak

tingkat oral mencintai ibunya karena ibu adalah obyek seksualnya pertama.

Dengan perkembangan psikoseksual tingkat falik ini, maka hasrat seksual anak

laki-laki kepada ibunya terancam persaingan dari ayah . anak laki-laki takut

bahwa ayahnya akan memotong penisnya (castration), sehingga anak jadi benci

pada ayah. Di pihak anak perempuan, cinta awal kepada ibu, berubah menjadi

kebencian pada tingkat falik ini, karena anak tahu bahwa ia tidak punya penis.

Anak ingin berpenis seperti ayahnya, sehingga ia cinta pada ayahnya, tetapi ia

mengira bahwa penisnya sudah dipotong oleh ibunya, sehingga ia benci pada

ibunya.

Kompleks Oedipoes ini menurut Freud merupakan dasar seksualitas

dewasa. Anak laki-laki yang menganggap ayahnya sebagai saingan, justru

mengidentifikasi dirinya pada ayahnya untuk bisa memdapat cinta ibu. Demikian

pula anak perempuan mengidentifikasikan diri kepada ibunya agar memperoleh

cinta ayahnya. Dalam identifikasi ini tumbuh penilaian positif terhadap orang tua

yang sejenis kelamin yang tadinya dianggap rival (saingan), sehingga akhirnya

kompleks Oedipoes ini hilang bersamaan dengan hilangnya hasrat seksual anak

terhadap orang tua lawan jenisnya pada tingkat laten. Sebagian besar proses ini

berkembang diluar kesadaran anak yang bersangkutan.

99
Suatu akibat dari proses identifikasi tersebut diats adalah makin

mantapnya superego. Juga mekanisme represi, pembentukan reaksi dan

pengalihan makin terbentuk pada tingkat perkembangan falik ini.

d. Tingkat Laten

Tingkat laten adalah masa konsolidasi dalam perkembangan psikoseksual.

Tidak ada perkembangan atau pertumbuhan baru.

Mekanisme-mekanisme pertahanan yang sudah ada dimanfaatkan untuk

penyesuaian diri kepada lingkungan, tetapi tidak ada mekanisme-mekanisme baru

yang dibentuk. Mekanisme pertahanan diperlukan, karena pada periode ini ego

lebih banyak berhubungan dengan obyek-obyek di dunia luar khususnya diluar

keluarga. Hasrat-hasrat seksual di sublimasikan, termasuk cinta seksual

terhadap orang tua disublimasikan menjadi rasa hormat dan mengahargai.

e. Tingkat Genital

Tingkat genital adalah penghubung antara masa kanak-kanak dan masa

dewasa. Ada 3 tahapan pada tingkat ini.

1) Tahap prapuber : ditandai dengan meningkatnya kembali dorongan

libido.

100
2) Tahap puber : ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan fisik,

khususnya tanda-tanda seksual sekunder (misalnya: haid) dan kemampuan

organik (misalnya ereksi). Pada tahap ini masturbasi paling sering terjadi.

Remaja yang bersangkutan cendrung mencintai diri sendiri dan

mengagumi dirinya sendiri (narsistik). Ciri-ciri psikologi lain :

- Hasrat untuk mandiri

- Lebih menghargai aturan-aturan dari teman sebaya

- Pemberontak melawan orang tua

- Pikiran-pikiran bingung dan lain-lain

3) Tahap adaptasi : dimana remaja bersangkutan menyesuaikan diri

terhadap dorongan-dorongan seksual dan perubahan-perubahan fisik yang

tiba-tiba. Sikap yang narsistik diganti dengan cinta kepada orang lain

(altruistik), mula-mula kepada sejenis kelamin, kemudian kepada lawan

jenis. Biasanya tahap ini diakhiri jika remaja yang bersangkutan telah

menjadi orang dewasa yang tersosialisasi.

D. PSIKOLOGI KELOMPOK MENURUT SIGMUND FREUD

Teori Freud sebetulnya lebih dekat kepada antropologi sosial budaya dari

pada psikologi sosial. Lain halnya dengan teori-teori psikoanalisis baru

(Sullivan,Adler,Horney dan Fromm), yang lebih banyak bicara tentang aspek-

aspek sosial psikologik dari tingkah laku individual dan perkembangan

101
kepribadian. Walaupun demikian agar kita bisa lebih memahami diskusi lebih

lanjut dalam sub-bab berikut, perlu kita bicarakan sebentar beberapa prinsip

yang berlaku dalam fungsi kelompok menurut Sigmund Freud.

a. Fungsi masyarakat adalah untuk menghambat dan me-repres implus-

implus naluriah perorangan. Ketertiban masyarakat ditentukan oleh

kemampuan ego-ego anggota masyarakat yang bersangkutan untuk

menyesuaikan diri terhadap tuntutan masyarakat. Kalau orang

perorangan diizinkan untuk sepenuhnya menyalurkan instink-instink

masing-masing, maka tata tertib masyarakat akan hancur atau

setidaknya kacau.

b. Keluarga adalah aparat dasar dari masyarakat. Perkembangan anak,

proses sosialisasi, introyeksi nilai-nilai masyarakat dan pembentukan

superego dilakukan didalam keluarga.

c. Ego bertugas sebagai perantara antara batas-batas sosial dan instink-

instink. Untuk itu digunakan berbagai teknik pertahanan ego dan

kontrol agar kedua pihak terpuaskan. Sistem ego yang berfungsi baik

merupakan persyaratan agar seseorang dapat bertahan dalam suatu

lingkungan sosial.

d. Manusia dan lingkungan sosialnya selalu berada dalam konflik yang

tiada henti. Masyarakat berada dalam posisi diatas dalam konflik ini,

karena individu takut pada ancaman destruktif masyarakat.

102
e. Kelompok-kelompok dan masyarakat terbentuk sebagai kelanjutan

keterikatan libido anak pada orang tuanya. Kelurga menjadi prototipe

hubungan individu dengan masyrakat. Orang tua melindungi, memberi

makan dan menghukum. Mereka akan menjadi prototipe pemimpin-

pemimpin dalam masyarakat. Perlindungan perawatan mereka

mendasari ketergantungan individu pada pemimpinnya, sedangkan

hambatan dan hukuman terhadap instink-instink menimbulkan rasa

bermusuhan dan takut.

f. Keadilan sosial timbul dari perasaan saling membutuhkan dan saling

memenuhi antar anggota masyarakat. Dasarnya adalah persaingan

untuk merebutkan perhatian pemimpin. Bentuk asalnya dalam keluarga

adalah persaingan antar saudara (Sibbling rivalry). Menurut Freud,

keadilan sosial adalah bentuk reaksi dari hasrat ingin memiliki (anvy).

g. Pranata-pranata sosial seperti hukuman dan agama dibentuk untuk

melindungi manusia dan masyarakat dari instink-instink agresif,

bermusuhan dan seksual.

h. Freud beranggapan bahwa pembentukan masyarakat tidak disebabkan

oleh adanya satu atau dua obyek (orang) yang punya kekuasaan luar

biasa, tetapi disebabkan oleh sublimasi dan kedeseksualisasi libido

kedorongan persahabatan.

103
E. TEORI-TEORI YANG BERDASARKAN PSIKOANALISIS DALAM

PSIKOLOGI SOSIAL

Percobaan-percobaan untuk mengamalkan prinsip-prinsip psikoanalisis

dalam berbagai persoalan perilaku sosial telah menimbulkan berbagai

kontroversi. Masalahnya, psikoanalisis sendiri merupakan aliran yang menyimpang

dari garis logika yang umumnya berlaku di Amerika.

Walaupun demikian, Freud bukanlah satu-satunya orang yang mengajukan

pandangan psikoanalisis. Ada tokoh-tokoh lain seperti Sullivan,Adler,Fromm dan

Horney yang mengemukakan teori-teori yang dikenal sebagai neo-analisis. Aliran

neo-analisis ini, meskipun masih bersumber pada teori Freud, mengandung aspek-

aspek yang lebih dapat diterapkan dalam psikologi sosial.

Teori-teori yang akan dikemukakan dalam sub-bab berikut ini

semuanya berawal dari teori neo-analisis dan secara berurutan teori-

teori tersebut adalah dari :

1. Bion (1948-1951): Teori psikodinamika dari fungsi kelompok.

2. Bennis & Sheppard (1956) : Teori perkembangan kelompok.

3. Schutz (1955-1958): Teori tiga dimensi dari tingkah laku antar

pribadi.

4. Sarnoff (1960): teori tiga psikoanalisis dari sikap sosial.

104
1. Teori Psikodinamika dari Fungsi Kelompok

Bion mendasarkan teorinya pada hasil pengamatan dan partisipasinya

dalam kelompok-kelompok terapi.sekalipun demikian teorinya tersebut

dapat juga diterapkan pada setiap kelompok lain

Ia sedikit sekali menggunakn konsep-konsep psikoanalisis secara

terbuka. Walaupun demikian, secara tersirat dalil-dalilnya tentang fungsi

kelompok didasari oleh anggapan-anggapan psikoanalisis.

Menurut Bion, kelompok bukanlah sekedar kumpulan individu,

melainkan merupakan suatu satuan dengan ciri dinamika dan emosi

tersendiri. Ciri-ciri kelompok ini berfungsi pada taraf tidak sadar dan

didasarkan pada kecemasan-kecemasan dan motivasi-motivasi dasar yang

ada pada manusia. Ia menganggap kelompok sebagai versi makrokosmos

dari individu. Dengan demikian pada kelompok terdapat :

 Kebutuhan-kebutuhan dan motif-motif (fungsi id),

 Tujuan dan mekanisme (fungsi ego)

 Keterbatasan-keterbatasan (fungsi superego)

Kelompok juga dikatakan mempunyai konflik-konflik yang senilai

dengan konflik Oedipoes.

105
a. Kelompok Kerja

Kelompok kerja adalah kelompok yang bertujuan melaksanakan suatu tugas.

Ia mempunyai sejumlah peraturan dan prosedur. Ia memiliki mekanisme

administrasi untuk mencapai kerja sama mekanisme anggota kelompok. Oleh

karena itu Bion cendrung menamakan kelompok kerja ini sebagai kelompok

yang bertaraf tinggi (sophisticated). Kelompok ini relatif tidak beremosi dan

berorientasi kepada kenyataan.

Ciri-ciri emosional kelompok muncul pada saat dipertanyakan tentang

alasan-alasan keberadaanya. Tetapi emosi-emosi ini harus ditekan

(repressed) demi keutuhan kelompok. Sistem yang ada akan mengatur

sedemikian rupa sehingga emosi-emosi yang timbul tidak saling konflik.

Fungsi kelompok kerja ini mirip dengan fungsi ego. Seperti ego, kelompok

kerja ini :

 Dikuasi oleh prinsip realitas

 Diaktifkan oleh kebutuhan untuk mempertahankan diri.

 Menyalurkan emosi-emosi untuk mencegah konflik sambil memberi

kesempatan untuk meredakan ketegangan.

106
 Berespon terhadap peraturan dan keterbatasan dari kelompok

(superego) maupun terhadap tuntutan-tuntutan peraturan

emosionalnya (id).

b. Asumsi-asumsi Dasar Tentang Kelompok

Bion mengemukakan bahwa ada tiga asumsi dasar tentang mekanisme kerja

kelompok yang masing-masing berkaitan dengan keadaan emosi tertentu

dari kelompok. Ketiga dasar itu adalah :

 Asumsi ketergantungan

 Asumsi pasangan

 Asumsi melawan

 Asumsi melawan – lari

1) Asumsi ketergantungan

Dalam asumsi ini kelompok dianggap terbentuk karena adanya

perasaan-perasaan ketidakberdayaan, dan frustasi di kalangan

anggotanya. Dalam keadaan mereka tidak berdaya dan frustasi ini,

individu-individu anggota kelompok itu mencari dan mengharapkan

perlindungan serta perawatan dari pemimpinnya. Pemimpin dianggap

mempunyai kemampuan dan kemampuan itu diharapkan dapat

mengarahkan perilaku kelompok dan interaksi antara anggota

kelompok.

107
Ciri dari kelompok semacam ini adalah inefisiensi dalam komunitas

antar anggota, karena komunitas langsung yang ada hanyalah

komunikasi antara anggota dan pemimpin.

2) Asumsi pasangan

Dalam asumsi ini kelompok dianggap terbentuk karena adanya

dorongan pada anggota untuk saling berpasangan. Komunikasi mantap

yang terjadi antara dua orang dari jenis kelamin yang berbeda

dianggap mempunyai tujuan-tujuan seksual. Timbul harapan bahwa

akan terjadi keturunan-keturunan yang akan mempertahankan

eksistensi(kekekalan) kelompok. Jadi, selain perasaan tidak mau

terasing satu sama lain,kelompok ini terbentuk juga atas dasar

emosi. Fungsi pemimpin adalah sebagai juru selamat yang bertugas

menjaga kelestarian pasangan dan mempertahankan keutuhan

kelompok serta memperkecil kemungkinan pecahnya kelompok.

3) Asumsi melawan – lari

Emosi yang mendasari asumsi ini adalah kemarahan,katakutan,

kebencian, dan agresivitas. Cara satu-satunya yang diketahui oleh

kelompok untuk mempertahankan eksistensi (kekekalan) mereka

adalah berkelahi melawan sesuatu atau lari menghindari sesuatu.

108
Tugas pemimpin adalah memungkinkan anggota-anggota kelompoknya

untuk bisa melawan atau melarikan diri.

Bion tidak menutup kemungkinan adanya asumsi-asumsi lain, tetapi

ia menyatakan bahwa dalam observasinya, ketiga asumsi inilah yang

sering terjadi. Suatu kelompok bisa saja berubah mekanisme

kerjanya dari satu asumsi ke asumsi yang lain, tetapi ketiga asumsi

itu masing-masing berdiri sendiri. Pada saat tertentu hanya satu

asumsi yang berlaku, tidak bisa dua atau tiga sekaligus.

c. Mentalitas Kelompok

Mentalitas kelompok merupakan fungsi superego dari kelompok. Ia

merupakan kesepakatan atau kemauan bersama dari anggota-anggotanya.

Bagaimana anggota-anggota itu menyalurkan pendapatnya masing-masing

sampai membentuk kesepakatan kelompok, individu itu sendiri tidak

menyadarinya. Yang ia tahu hanyalah bahwa bila ada seseorang yang

bertingkah laku menyimpang dari kesepakatan bersama,ia tidak senang, tidak

setuju.

Jadi, jika ada anggota kelompok yang bertingkah laku menentang asumsi

dasar yang sedang berlaku dalam kelompok, maka akan ada suatu mekanisme

yang mengembalikan perilaku orang itu ke jalan yang benar.

109
d. Kebudayaan Kelompok

Kebudayaan kelompok adalah struktur kelompok pada suatu waktu

tertentu, pekerjaan yang dilakukan dan organisai yang dianutnya.

Kebudayaan kelompok itu merupakan hasil konflik antara kemauan-

kemauan individual dan mentalitas kelompok.

Contoh : kelompok agresif, kelompok pembuat keputusan dan sebagainya.

Setiap kelompok bisa mempunyai beberapa struktur sekaligus. Salah satu

struktur yang dominan pada saat tertentu adalah yang menentukan asumsi

dasar yang berlaku pada saat itu.

e. Sistem Protomental

Suatu protomental adalah kesatuan yang bersifat abstrak dari ketiga

asumsi dasar. Sistem itu merupakan sebuah matriks yang terdiri dari

semua elemen kejiwaan dan fisik yang ada pada kelompok. Pada saat salah

satu asumsi dasar sedang bekerja pada sebuah kelompok, asumsi dasar

yang lain seakan-akan bersembunyi dalam sistem protomental,sampai tiba

saatnya terjadi perubahan dimana terjadi perubahan pada serangkaian

emosi yang meyebabkan berfungsinya asumsi dasar yang lain. Jadi, sistem

110
ini merupakan tempat penyimpanan asumsi-asumsi dasar yang sekaligus

berfungsi sebagai pencegah terjadinya konflik antar asumsi dasar

tersebut.

2. Teori Perkembangan Kelompok

Teori yang berorientasi psikoanalisis ini dikemukakan oleh Bennis dan

Shepard (1956). Selain dipengaruhi oleh S. Freud, teori ini mendapat

pengaruh pula dari Sullivan (1953), Lewin (1947) dan Schutz (1955).

Perhatian pokok dari teori ini adalah proses perkembangan kelompok

yang terjadi dalam interaksi antara orang-orang yang berada dalam suatu

situasi latihan (training). Karena situasi latihan merupakan situasi

kelompok yang khas, maka kiranya perlu kita bicarakan terlebih dahulu

ciri-ciri utama dari kelompok seperti itu.

a. Ciri-ciri Hubungan antar Manusia dalam Kelompok Latihan

Bennis & Shepard mendasarkan teorinya pada pengamatan terhadap

kelompok-kelompok latihan di National Training Laborratory for

Group Development di Bethel, Maine, A.S. Peserta kelompok dipilih

dari berbagai latar belakang dan kepribadian, antara lain guru,

111
pendeta, pekerja sosial, ahli sosiologi, ahli psikologi, administrator

dan supervisor. Setiap kelompok terdiri dari 6-8 orang dan pada

awal pertemuan Anggota-anggota kelompok itu belum saling

mengenal.pada setiap kelompok ditugaskan seorang pelatih yang

harus melakukan tugasnya berdasarkan suatu prosedur yang sudah

dibatasi dgn ketat. Pertemuan kelompok dilakukan beberapa kali

seminggu selama jangka waktu beberapa minggu.

Tujuan utama kelompok ini adalah :

1) Pada tingkat individual

a. Primer : membantu peserta untuk mengembangkan

pengertian terutama motivasinya dalam bereaksi terhadap

orang lain dan membantu mereka untuk meramalkan secara

lebih tepat konsekuensi dari tindakannya.

b. Skunder :

o Peningkatan pemahaman tentang situasi kelompok dan

berbagai daya yang bekerja dalam kelompok selama

berlangsungnya tingkah laku hubungan antar manusia.

o Peningkatan kendali terhadap komunikasi antar manusia.

o Menambah keragaman perilaku sosial pada setiap peserta

latihan.

112
2) Pada tingkat kelompok membentuk komunikasi yang valid.

Komunikasi yang valid berarti setiap anggota kelompok dimungkinkan

untuk mengkomunikasikan perasaan motivasi, keinginan dan

sebagainya secara tepat dan bebas.

Ciri-ciri komunikasi yang valid :

o Persepsi masing-masing anggota kelompok tentang posisinya

sendiri dalam kelompok cocok dengan persepsi anggota

kelompok yang lain.

o Tujuan kelompok yang disepakati bersama, sejalan dengan

kainginan masing-masing anggota.

o Antar anggota terbuka kemungkinan untuk berkomunikasi

dalam berbagai tingkatan.

Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut pelatih mendorong

kelompok untuk mengekspresikan diri masing-masing secara bebas,

tetapi ia menghindari peran sebagai pemimpin. Kelompok harus

menentukan sendiri apa keinginan mereka dan bagaimana mereka

sebagai kelompok mau berfungsi. Pada suatu saat dalam proses itu

mungkin pelatih tidak diingini dan diminta keluar dari kelompok dan

113
pelatih akan menurut, sebab hal ini merupakan suatu tanda bahwa

proses dalam kelompok sedang mengalami kemajuan. Beberapa saat

kemudian mungkin ia diminta bergabung kembali dengan kelompok,

tetapi pada saat ini posisinya sebagai bukan pemimpin sudah

diterima oleh kelompok. Pelatih sekarang berada dalam posisi yang

sama dengan anggota lainnya dan dalam posisi ini ia bisa lebih

efektif membantu kelompok untuk mencapai tujuan, yaitu

komunikasi yang valid.

Teori ini selanjutnya adalah mengenai proses perubahan

dalam kelompok menuju tujuannya, yaitu komunikasi yang valid.

b. Hambatan-hambatan Terhadap Komunikasi yang Valid

Pada waktu orang-orang yang tidak saling mengenal membentuk

kelompok, ada keragu-raguan (uncertainty) tertentu yang

menghambat proses kemunikasi karena biasanya tidak ada orang

yang mau menyatakan perasaan dengan bebas kalau ia tidak tahu

betul bagaimana nanti reaksi orang terhadap pernyataan itu.

Keraguan pada awal komunikasi itu dapat dibagi dalam 2

wilayah utama yaitu wilayah ketergantungan (dependence) dan

wilayah saling ketergantungan (interdependence). Dalam wilayah

114
ketergantungan keraguan menyangkut masalah otoritas. Pertanyaan

adalah siapa yang berkuada atas siapa, atau siapa yang akan jadi

pemimpin dan siapa yang harus jadi pengikut? Dalam wilayah saling

ketergantungan, keraguan menyangkut masalah hubungan antar

anggota kelompok. Pertanyaannya adalah seberapa jauh salah satu

orang akan mendapat atau memberi afeksi dari atau kepada orang

lainnya? Seberapa jauh kedekatan emosional akan terjadi?

Untuk mencapai tujuan kelompok, yaitu komunikasi yang valid,

kelompok harus mencairkan keraguan ini. Dalam proses pencairan

keraguan itu, keraguan tentang masalah otoritas diselesaikan dulu,

baru menyusul penyelesaian keraguan tentang afeksi. Dengan

perkataan lain, keraguan ketergantungan diselesaikan lebih dahulu

dan merupakan persyaratan bagi penyelesaian keraguan saling-

ketergantungan.

c. Tahap-Tahap Perkembangan Kelompok

Sesuai dengan adanya hambatan keraguan tersebut diatas, maka

proses perkembangan kelompok dapat dibagi dalam 2 tahap utama,

yang masing-masing terbagi lagi dalam 3 sub-tahap :

115
1. Tahap Otoritas : yaitu tahap dimana keraguan ketergantungan

dicairkan. Tahap ini terbagi 3 sub- tahap :

a) Tahap ketergantungan ( sub-tahap I ):anggota-anggota kelompok

masih mengharapkan pelatih tampil sebagai pemimpinyang akan

mengatur mereka dengan serangkaian ketentuan. Tetapi

ternyata yang diharapkan tidak terjadi. Kelompok pun minta

pengarahan tentang apa tujuan kelompok dan bagaimana

kelompok harus bekerjatapi pengarahan ini pun tidak diberikan

oleh pelatih. Lambat laun anggota-anggota kelompok tidak puas

pada situasi seperti ini dan perasaan-perasaan berontak pun

mulai timbul.

b) Tahap pemberontakan (sub-tahap II ) : Tahap ini ditandai

dengan perasaan-perasaan negatif terhadap pelatih. Tidak

jarang pelatih diminta meninggalkan kelompok. Selanjutnya,

biasanya kelompok terpecah jadi 2 sub kelompok. Sub kelompok

pertama menginginkan dipilihnya seorang pemimpin atau ketua

yang akan mengatur kelompoknya lebih lanjut, sedangkan sub

kelompok kedua lebih suka suasana yang lebih tidak formal, yang

tidak terikat pada satu pemimpin tertentu. Dalam sub-tahap ini

ada ketengangan dan perasaan bermusuhan antara anggota-

anggota kelompok.

116
c) Tahap pencairan (sub-tahap III ). Dalam tahap ini ada 2

kemungkinan. Pertama, kelompok dalam tempo relatif singkat

mencapai kesepakatan tentang masalah kepemimpinan kelompok

dan segera meningkat ke tahap pribadi (personal).kedua,

kelompok tidak bisa mencapai kata sepakat dalam waktu yang

lama, bahkan mungkin dalam waktu yang tak ada batasnya. Dalam

kemungkinan kedua ini maka kelompok makin lama makin rapuh

dan terpecah menjadi sub-sub kelompok yang saling

bertentangan.

2. Tahap pribadi : yaitu tahap dimana dicairkan keraguan saling

ketergantungan. Tahap ini dibagi menjadi 3 sub-tahap :

a. Tahap harmoni (sub tahap IV ). Dalam sub tahap ini semua

anggota kelompok merasa senang, bahagia, santai. Kerukunan

antar anggota sangat tinggi. Mereka merencanakan berbagai

kegiatan yang melibatkan dan menyenangkan semua anggota.

Pendek kata, mereka adalah keluarga besar yang bahagia.

Walaupun begitu suasana rukun ini tidak berlangsung selamanya.

Satu persatu anggota kelompok mulai merasa bahwa mereka

ditelan oleh kelompok. Mereka khawatir identitas dan

kemerdekaan pribadi mereka makin lama makin hilang.

117
b. Tahap identitas pribadi (sub-yahap V ) : Disini kelompok terbagi

lagi menjadi dua sub kelompok. Sebagian tetap menginginkan

suasana menjadi rukun dan bahagia dalam kelompok, sebagian lain

menghendaki kembalinya identitas pribadi masing-masing. Sub-

kelompok yang terakhir menginginkan lebih banyak kegiatan

individual dalam kelompok dan mengurangi kegiatan bersama

yang melibatkan seluruh anggota kelompok. Biasanya antara

kedua sub-kelompok ini terjadi banyak konflik.

c. Tahap pencairan masalah antar pribadi (sub-tahap VI ) : Pada

tahap ini setiap anggota kelompok sudah dapat menytakan

konsepnya masing-masing tentang perilaku manusia. Termasuk

perilakunya sendiri dan orang lain. Masing-masing sudah

mencapai pengertian atau pemahaman yang baik tentang perilaku

sehingga mereka lebih dapat menerima perilaku orang lain dan

komunikasi yang valid pun tercapai. Pada tahap ini perkembangan

kelompok dinyatakan mencapai titik akhir.

d. Pembahasan Teori

Bennis dan Shepard menyataka bahwa tidak semua kelompok bisa

mencapai titik akhir perkembangannya. Ada kelompok-kelompok yang

terfiksasi (terpaku) pada sub-tahap tertentu pada awal perkembangan

118
kelompok untuk jangka waktu panjang sebelum akhirnya sub-tahap yang

beku ini mencair untuk meningkat ke sub-tahap yang berikut. Akan

tetapi ada juga kelompok yang terpaku selama pada sub-tahap awal

tertentu sampai kelompok itu bubar sendiri.

Bennis dan Shepard menyatakan pula bahwa teori ini hanya berlaku

bagi kelompok-kelompok khusus, yaitu yang mempunyai ciri-ciri yang

sama dengan yang diamatinya di laboraturium. Akan tetapi teori mereka

ternyata cukup sesuai dengan kenyataan yang terdapat pada berbagai

kelompok. Karena itu ada beberapa pihak yang menyatakan bahwa teori

ini dapat juga diterapkan pada kelompok-kelompok pada umumnya,

antara lain Schutz (1958) yang memasukan teori perkembangan

kelompok dari Bennis dan Shepard ini ke dalam teorinya saendiri yang

akan dikemukakan dalam sub-bab berikut.

3. FIRO : Teori Tiga Dimensi Tentang Tingkah Laku Antar Pribadi

Firo adalah singkatan dari Fundamental Interpersonal Relations

Orientation (Orientasi Dasar dari Hubungan-hubungan Antarpribadi).

Teori ini dikemukakan oleh Schutz (1955,1958) dan pada dasarnya

mencoba menerangkan perilaku-perilaku antar pribadi dalam kaitannya

119
dengan orientasi ( pandangan) masing-masing individu kepada individu-

individu yang lainnya.

Ide pokoknya adalah bahwa setiap orang mengorientasikan dirinya

kepada orang lain dengan cara tertentu (khas) dan cara ini merupakan

faktor utama yang mempengaruhi perilakunya dalam hubungan antar

pribadi.

Awal dari teori ini bermula dari minat Schutz terhadap

pembentukan kelompok-kelompok kerja yang efektif. Pengamatan

terhadap proses Pembentukan kelompok ini kemudian sangat

dipengaruhi oleh karya-karya Bion (1949) dan Redl (1942), sehingga

tidak mengherankan jika teori Schutz sangat berbau psikoanalisis.

Secara singkat teori FIRO adalah sebagai berikut : Pola hubungan

antar individu pada umumya dapat dijelaskan dalam kaitan dengan tiga

kebutuhan antar pribadi yaitu : inklusi (keikutsertaan), control dan afeksi

(kasih). Kebutuhan ini terbentuk pada masa kanak-kanak dalam interaksi

dengan orang dewasa, khususnya orang tua. Pada masa dewasa, kebutuhan

akan inklusi tergantung pada sampai dimana anak diintegrasikan dalam

kelompok keluarga. Kalau anak tidak cukup di ikutsertakan dalam keluarga,

maka pada saat ia dewasa akan timbul perasaan tak berarti, tak berharga

(insignificant).

120
Kebutuhan akan control tergantung pada pola hubungan orang tua

anak, apakah menekankan pada kebebasan, pengarahan atau pengendalian.

Kegagalan pemenuhan kebutuhan akan control pada masa kanak-

kanak akan menimbulkan perasaan ketidakmampuan (incompetent) pada

masa dewasa.

Kebutuhan akan afeksi berangkat dari kondisi pada masa kanak-

kanak, apakah anak diterima atau ditolak oleh orang tua. Kekurangan dalam

hal ini akan menimbulkan perasaan tak dicintai (unlovable).

Dalam usahanya untuk mengatasi perasaan-perasaan yang kurang

menyenangkan, orang yang kurang terpenuhi kebutuhan-kebutuhan

dasarnya tersebut akan mengembangkan mekanisme pertahanan (defence

mechanism) yang pada gilirannya akan mewarnai prilaku dalam hubungan

antar pribadi. Jika dua orang memulai suatu hubungan antar pribadi, maka

ada 2 pola perilaku yang mungkin terjadi, yaitu kompatibel atau non-

kompatibel. Dalam hubungan yang kompatibel kedua orang dapat bekerja

sama dengan baik, sedangkan dalam hubungan non-kompatibel keduanya

tidak dapat bekerja sama. Hubungna antara 2 orang dapat bervariasi

derajat kompatibilitasnya antara kedua ekstrem tersebut dan di dalam

kelompok derajat kompatibilitas antara berbagai pasangan (dyad) akan

mempengaruhi iklim dan efektivitas kelompok.

121
4. Teori Psikoanalisis tentang Sikap Sosial

Teori ini diajukan oleh Sarnoff (1960). Materi teori ini menyangkut

sikap (attitude) yang diterangkan berdasarkan mekanisme pertahanan ego.

Menurut Sarnoff, diantara berbagai sikap yang ditunjukkan oleh manusia,

ada yang fungsinya mempertahankan ego dari ancaman bahaya, bak yang

dating dari luar maupun dari dalam diri sendiri.

a. Konsep-konsep Dasar

1) Motif: adalah suatu rangsang yang menimbulkan ketegangan (tension),

dan ketegangan itu mendorong orang yang bersangkutan untuk

meredakannya. Dalam batasan tersebut ada 3 unsur yang perlu

diperhatikan :

- walaupun motif berasal dari rangsang luar, tetapi proses kerja

motif itu sendiri adalah di dalam diri individu. Fungsinya adalah

membangkitkan daya (energi) untuk mengurangi ketegangan

- untuk mengurangi rasa kurang senang karena adanya ketegangan itu,

individu akan melakukan sesuatu (bertindak)

- motif bisa didasari oleh orang yang bersangkutan dan bisa juga

tidak. Individu bisa mengurangi ketegangannya melalui respons yang

122
terbuka (overt response) ataupun respons yang tertutup (covert

response).

2) Konflik: jika ada 2 motif yang bekerja pada satu saat yang sama maka

akan timbullah konflik. Batasan ini didasarkan pada praanggapan yang

dikemukakan Sarnoff bahwa setiap individu hanya dapat melayani

(meredakan) satu motif pada satu saat. Jika konflik ini tidak

terpecahkan maka konflik tersebut bisa berlarut-larut dan individu

yang bersangkutan bisa jadi korban dari motifnya sendiri yang saling

berhubungan. Untuk menghindari itu, maka individu harus melakukan 2

hal :

- membuat prioritas di antara motif-motif yang ada, mana yang mau

dilayani dulu.

- Menunda semua respons terhadap motif-motif lain pada waktu

sedang meredakan ketegangan yang diakibatkan oleh motif yang

mendapat prioritas dalam hierarki motif-motif tersebut.

Untuk menunda respons terhadap motif-motif lain yang lebih rendah

ada 3 cara :

- Memanfaatkan pertahanan ego dalam situasi di mana ada ketakutan

yang tidak bisa ditolerir. Antara lain dengan tidak mengakui adanya

motif, merepres pentingnya dan intensitas motif tersebut atau

memproyeksikan kepada orang lain

123
- Dengan sengaja menghambat respons-respons yang sedianya akan

mengurangi ketegangan yang ditimbulkan oleh motif-motif yang

lebih rendah posisinya dalam hierarki tersebut

- Untuk sementara men-supress persepsi tentang motif-motif

tersebut

3) Pertahanan ego (ego defense)

Jika individu menghadapi rangsang atau situasi yang berbahaya, maka ego

akan terancam. Ancaman bahaya ini akan menimbulkan motif takut pada

individu yang bersangkutan. Kalau motif takut ini sudah tidak dapat

ditolerir lebih lanjut dan orang yang bersangkutan tidak dapat melepaskan

diri dari obyek yang ditakuti itu maka ia akan mempertahankan ego-nya,

Respons mempertahankan atau melindungi ego in idisebut “pertahanan ego”

Pertahanan ego ada beberapa jenis. Masing-masing jenis itu bisa

lebih menonjol pada individu-individu tertentu. Jenis-jenis itu adalah

sebagai berikut :

a. Pertahanan ego terhadap bahaya dari luar

1. Penolakan (denial) : mengacaukan persepsi ego tentang bahaya

dengan menganggap tidak ada

124
2. Indentifikasi (identification) dengan aggressor: mengacaukan

persepsi ego tentang bahaya dengan menganggap rangsang yang

berbahaya itu sebagai tidak berbahaya, malahan ego

mengidentifikasi dirinya (menganggap dirinya sama) dengan

rangsang berbahaya tersebut.

Kedua pertahanna ego ini terjadi dalam proses ketidaksadaran yang

menurut Sarnoff perlu dibedakan dari supresi (suppression), yaitu

pengingkaran terhadap adanya bahaya yang dilakukan dengan sengaja

dan sadar oleh individu yang bersangkutan

b. Pertahanan ego terhadap rangsang-berbahaya yang datang dari dalam

diri sendiri :

1. Represi (repressions) : motif-motif yang berbahaya dan mengancam

ego ditekan ke dalam ketidaksadaran sehingga tidak terlihat oleh

ego

2. proyeksi (projection) : Motif-motif yang berbahaya dan mengancam

ego dibiarkan muncul ke kesadaran, tetapi diakui sebagai motif dari

orang lain, bukan dari diri sendiri.

125
Agar pertahanan ego dapat berfungsi sepenuhnya, ia harus muncul

dalam bentuk respons yang nyata (overt response). Respons nyata ini

oleh Sarnoff dinamakan symptom (symptom).

Jadi simpton adalah prilaku nyata yang berfungsi untuk meredakan

keterangan ketegangan yang hubungannya dengan motif. motif yang

tidak disadari tidak diketahui oleh individu yang bersangkutan. Sikap

(attitude), sebagai salah satu bentuk respons nyata, bisa simptomatik

dan juga bisa berupa perilaku biasa (bukan symptom). Dalam hal ini

sikap itu simptomatik, maka ada hubungan yang tidak disadari dengan

motif-motif yang tidak dapat diterima oleh individu yang bersangkutan.

Pandangan tentang sikap yang simptomatik inilah yang menjadi inti

teori Sarnoff.

4) Sikap (attitude)

Seperti halnya ahli psikologi lain, Sarnoff mengidentifikasi sikap

sebagai kesediaan untuk bereaksi (disposition to react) secara positif

(favorably) atau secara negative (unfavorably) terhadap obyek-obyek

tertentu. Sebagaimana respons nyata lainnya, sikap berfungsi untuk

mengurangi ketegangan yang dihasilkan oleh motif-motif tertentu.

Fungsi ini dapat dilakukan dalam kesadaran yang penuh dan bisa pula

berupa bagian dari suatu proses yang tidak disadari. Dengan demikian,

126
tidak semua sikap merupakan tolok ukur untuk melihat motif tidak

disadari yang mendasarinya. Untuk itu Sarnoff menyarankan agar

orang-orang yang mau meneliti motif-motif yang mendasari sikap,

membuat perkiraan-perkiraan (yang dapat dikembangkan melalui

pendidikan dan latihan) yang mengkaitkan unsur-unsur sikap tertentu,

motif tertentu dan perilaku tertentu. Ada 4 langkah yang perlu diikuti

dalam membuat perkiraan ini :

- Peneliti harus memeriksa dengan cermat tingkah laku yang menjadi

sumber suatu sikap

- Peneliti harus membuat postulat-postulat tentang semua motif yang

bisa dikurangi ketegangannya dengan tingkah laku tersebut di atas.

- Peneliti harus menilai secara terpisah pola pengurangan ketengangan

yang biasa dilakukan oleh individu yang bersangkutan dalam

hubungannya dengan beberapa obyek sikap.

- Bila penilai tersebut membuktikan bahwa individu sepenuhnya sadar

akan motifnya maka sikap itu merupakan respons biasa.

Tetapi bila individu tidak pernah tahu motif apa yang mendasari

sikapnya maka sikap itu merupakan dianggap sebagai suatu symptom

yang berfungsi sebagai pertahanan ego.

127
Jadi : Sikap yang timbul dari motif yang dapat diterima dan disadari

sepenuhnya,

secara konseptual berbeda dari sikap yang timbul dari motif yang

tidak dapat diterima dan tidak disadari.

b. Keselarasan Sikap-Motif

Sarnoff menyatakan bahwa sikap dan motif bisa selaras dan bisa juga

tidak. Dalam hal sikap dan motif selaras (congruent) maka sikap

merupakan respons yang disadari terhadap motif yang dapat diterima oleh

individu.

Dalam hal ini sikap dan motif tidak selaras (incongruent), maka individu

tidak menyadari motifnya maupun tujuan dari respons-respons nyatanya.

Sikap disini mencerminkan pertahanan ego, yang pada umumnya tidak bisa

sepenuhnya menghilangkan ketengangan (tension) yang ditimbulkan oleh

motif.

1) Sikap dan motif yang dapat diterima oleh kesadaran. Ada 5 faktor

yang muncul bila motif dapat diterima oleh kesadaran.

- Respons nyata terhadap motif akan mengurangi ketegangan secara

maksimal

- Respons nyata langsung mencerminkan motif yang mendasarinya

128
- Respons-respons itu akan bertahan beberapa lama, sebanding

dengan intensitas motif.

- Individu sadar akan motif-motifnya maupun akan hubungan antara

motif dan respons-respons nyatanya

- Kesadaran individu akan motifnya tidak menimbulkan kecemasan

maupun respons pertahanan ego.

Jika kelima factor itu terlihat, maka sikap akan ditentukan oleh

kemampuan obyek untuk mengurangi ketengangan yang ditimbulkan oleh

motif tertentu. Misalnya, seseorang yang mempunyai motif berprestasi

akan bersikap positif terhadap kerja keras, gaji tinggi, medali-medali,

tanda-tanda penghargaan dan sebagainya karena obyek-obyek tersebut

dapat mengurangi ketenngagannya.

Sebaliknya ia akan bersikap negatif terhadap gaji rendah, sifat

malas dan sebagainya. Oleh karena hal-hal tersebut menghambat

berkurangnya ketengangan yang timbul karena motif-motif berprestasi

tersebut.

Adakalanya motif-motif yang dapat diterima kesadaran ini saling

bertentangan (konflik). Ini dapat diatasi oleh individu dengan

melakukan supresi, yaitu secara sadar menekan atau menunda salah

satu motif yang kurang penting. Misalnya Tuan Eko harus mengundang

129
makan malam rekan dagangnya Tuan Umar, walaupun sebetulnya Eko

membenci Umar. Demi motif usahanya, maka untuk sementara Eko

mensupres motif agresifnya terhadap Umar.

2) Sikap dan motif tak diterima oleh kesadaran. Motif yang tidak dapat

diterima oleh kesadaran menimbulkan sikap yang memungkinkan

pertahanan ego yang terselubung (covert) dan respons simptomatik

yang nyata (overt), Motif disini tidak dapat dilihat langsung dari sikap,

melainkan harus disimpulkan dari pemeriksaan yang cermat terhdap

perilaku, sikap itu sendiri, kemungkinan pertahanan ego dan

kemungkinan motif-motif yang ada.

Seperti telah diuraikan di atas, pertahanan ego ada 5 jenisnya. Dua

jenis merupakan pertahanan terhadap rangsang dari luar dan tiga jenis

merupakan pertahanan terhadap rangsang dari dalam diri sendiri.

Sehubungan itu juga ada 5 sikap yang berkaitan dengan pertahanan ego

yaitu :

a. Sikap yang memungkinkan pengingkaran (denial)

Di sini muncul sikap nyata (overt attitude) yang menyukai atau

setidaknya netral terhadap suatu obyek yang secara logis

seharusnya membahayakan orang yang bersangkutan. Motif yang

mendasari adalah motif ketakutan yang selanjutnya membawa orang

130
yang bersangkutan kepada pengingkaran adanya bahaya. Misalnya :

orang-orang Yahudi di Jerman yang bersikap netral terhadap Nazi:

“Mereka tidak akan mengganggu aku”

b. Sikap yang memungkinkan identifikasi dengan aggressor (rangsang

yang berbahaya).

Ciri dari sikap ini adalah bahwa individu tidak lagi melihat orang lain

atau kelompok lain sebagai bahaya, tetapi justru melihatnya sebagai

hal yang mirip dengan dirinya sendiri. Contoh : orang-orang Yahudi

yang menggabung dengan Nazi di Jerman. Sikap ini kurang lebih

serupa dengan mekanisme konflik Oedipoes dimana anak laki-laki

mengidentifikasikan dirinya dengan ayah (aggressor) dengan cara

meniru perilaku, sikap dan norma ayah, karena ia takut dikebiri oleh

ayahnya.

c. Sikap yang memungkinkan Represi

Ciri dari sikap ini adalah individu tidak mampu lagi mengingat

kembali (recall) motif-motif yang pernah disadari, karena sifatnya

yang sangat dalam terpendam dalam jiwa seseorang maka motif

yang direpres sulit sekali diketahui. Salah satu cara untuk

mengetahuinya adalah melalui hypnosis. Sikap yang timbul adalah

sikap positif kepada segala hal yang memudahkan pertahanan ego.

131
d. Sikap yang memungkinkan proyeksi

Jika represi tidak cukup berhasil mengurangi ketegangan maka

individu akan melaksanakan pertahanan ego lapis kedua dan ketiga,

yaitu proyeksi dan pembentukan reaksi (reaction formation).

Sikap yang didasari oleh proyeksi selalu bersifat prasangka dan anti

minoritas. Misalnya jika seseorang mempunyai motif seksual yang

sangat kuat yang direpres, ia bias menggantikan represi ini dengan

proyeksi, yaitu seakan-akan kelompok lain yang minoritaslah yang

mempunyai dorongan-dorongan seks tersebut. Hal ini dimungkinkan

oleh sudah adanya sikap-sikap negative (prasangka) terhadap

golongan minoritas. Sikap jenis ini yang paling sukar diubah.

e. Sikap yang memungkinkan pembentukan reaksi (reaction formation).

Cirinya adalah respons nyata yang sama sekali berlawanan dengan

motif yang mendasarinya. Misalnya : pria yang takut pada seks

berlaku seperti play-boy, atau orang yang punya motif agresif

sangat kuat menunjukkan tingkah laku atau sikap toleran, sabar dan

pemalu. Dalam hubungan ini kita harus berhati-hati dalam

membedakan antara sikap yang mencerminkan motif dan sikap yang

mencerminkan motif-lawan (counter-motive). Perbedaan ini sulit,

tetapi dapat dilakukan dengan mengamati reaksi individu terhadap

132
rangsang yang menimbulkan motif, misalnya, seorang yang sikapnya

memang agresif (motif agresinya diterima oleh kesadaran) tidak

akan cemas jika dihadapkan dengan rangsang yang membangkitkan

motif agresinya. Sedangkan orang yang sikap agresinya adalah

akibat dari pembentukan reaksi, akan sangat cemas jika dihadapkan

pada situasi-situasi yang merangsang motif agresinya.

c. Sikap yang Memungkinkan Respons Simptomatik yang Nyata selain

berfungsi sebagai sarana pertahanan ego, sikap (menurut Sarnoff)

dapat juga berfungsi untuk memungkinkan respons simptomatik.

Dalam hal respons simptomatik, ada dua tujuan:

- Ketegangan yang diakibatkan motif tertentu dikurangi.

- Tetapi sekaligus motif itu sendiri harus tetap dijauhkan dari

pengamatan ego.

Untuk mencapai sasaran ganda ini, individu dapat melakukan

rasionalisasi. Rasionalisasi memungkinkan individu mensalah-

interpretasikan tujuan dari perilaku yang dapat meredakan ketegangan.

Misalnya : motif agresi yang mendasari perang dirasionalisasi dengan

ungkapan membela perdamaian, demi demokrasi, perang Sabil dan lain-

lain. Itu adalah contoh-contoh dari rasionalisasi terhadap respons

simptomatik yang dapat sepenuhnya meredakan ketegangan. Disamping

itu ada pula respons simptomatik yang hanya bisa meredakan sebagian

133
saja dari ketegangan. Misalnya : motif bersalah akibat sering

melakukan masturbasi diredakan dengan perilaku kompulsif selalu

mencuci tangan. Sikap yang timbul oleh rasionalisasi adalah sikap yang

sangat positif terhadap kebersihan yang negative terhadap kuman dan

debu.

134
● ● ●

BAB VI
Dalam bab-bab terdahulu kita telah
PENDEKATAN-PENDEKATAN
TRANSORIENTASIONAL bicara teori-teori Psikologi Sosial yang

● ● ● berpangkal atau berorientasi pada teori-

teori pokok tertentu. Di luar teori-teori yang sudah dibicarakan tersebut diatas,

masih ada teori-teori lain yang tidak dapat digolongkan ke dalam salah satu teori

pokok tertentu karena teori-teori tersebut dikembangkan di luar sistem teori-

teori pokok yang ada, atau merupakan penggabungan dari beberapa teori pokok.

Teori-teori jenis akhir ini digolongkan ke dalam satu kelompok teori dan diberi

nama: “Pendekatan Transorientasional”.

Teori-teori Pendekatan Transorientasional mencakup proses penilaian

sosial (social judgement) dan proses pemberian sifat (attribution) yang akan

dibicarakan dalam sub-bab berikut, proses kelompok (group process) yang akan

dibicarakan dalam sub-bab yang berikutnya lagi serta teori peran yang akan

dibicarakan dalam sub-bab terakhir.

A . TEORI-TEORI PENILAIAN SOSIAL DAN TEORI-TEORI ATRIBUSI

Teori-teori yang akan dibicarakan dalam sub-bab ini adalah:

1. Teori perbandingan sosial (social comparison)

135
2. Teori inferensi korespondensi (correspondent inferences)

3. Teori atribusi eksternal (external attribution)

4. Teori penilaian sosial (social judgement)

B . TEORI PERBANDINGAN SOSIAL

Teori ini dirumuskan oleh Festinger (1950, 1954). Pada dasarnya teori ini

berpendapat bahwa proses saling mempengaruhi dan prilaku saling bersaing

dalam interaksi social ditimbulkan oleh adanya kebutuhan untuk menilai diri

sendiri (self-evaluation) dan kebutuhan ini dapat dipenuhi dengan

membandingkan diri dengan orang lain. Ada dua hal yang diperbandingkan dalam

hubungan ini, yaitu:

a. Pendapat (opinion)

b. Kemampuan (ability)

Walaupun proses perbandingan untuk kedua hal tersebut sama, namun ada

juga perbedaan penting yang perlu diperhatikan. Pertama, dalam perbandingan

kemampuan terdapat dorongan searah menuju kepada keadaan yang lebih baik

atau kemampuan yang lebih tinggi. Misalnya: A hanya mampu mengangkat barbel

seberat 70 kg, sedangkan B mampu mengangkat 100 kg. dalam

136
memperbandingkan dirinya B, A merasa harus meningkatkan kemampuannya

(misalnya; latihan lebih keras lagi) agar ia bisa mendekati kemampuan B. Baik A

maupun B tidak memikirkan kemungkinan B menurunkan kemampuannya agar

mendekati A. Hal ini terdapat dalam perbandingan antar pendapat, karena jika

pendapat A berbeda dari B, bisa saja A yang mengubah pendapatnya mendekati

pendapat B, atau B yang mendekati A, atau keduanya saling mendekati.

Sehubungan dengan itu, perbedaan kedua yang perlu diperhatikan adalah bahwa

perubahan pendapat relatif lebih mudah terjadi daripada perubahan kemampuan.

a. Dorongan untuk Menilai Pendapat dan Kemampuan

Festinger mempunyai hipotesa (hipotesa 1) bahwa setiap orang mempunyai

dorongan (drive) untuk menilai pendapat dan kemampuannya sendiri dengan cara

membandingkannya dengan pendapat atau kemampuan orang lain. Dengan cara

itulah orang bisa mengetahui bahwa pendapatnya benar atau tidak dan seberapa

jauh kemampuan yang dimilikinya. (Festinger,1954).

Akan tetapi Festinger memperingatkan bahwa dalam menilai kemampuan

ada dua macam situasi. Situasi pertama adalah di mana kemampuan orang dinilai

berdasarkan ukuran yang objektif, misalnya kemampuan mengangkat barbel

seperti dalam contoh diatas; situasi kedua adalah situasi di mana kemampuan

dinilai berdasarkan pendapat. Misalnya: X dan Y adalah sama-sama artis pelukis.

Mana di antara mereka yang lebih bagus lukisannya dinilai berdasarkan pendapat

137
orang lain tentang lukisan mereka. Jadi yang dinilai bukan kemampuan melukis,

melainkan pendapat tentang kemampuan melukis.

b. Sumber-Sumber Penilaian

Orang akan menggunakan ukuran-ukuran yang obyektif (realitas obyektif)

sebagai dasar penilaian selama ada kemungkinan untuk melakukan hal itu. Tetapi

kalau kemungkinan untuk melakukan hal itu. Tetapi kalau kemungkinan itu tidak

ada maka orang akan menggunakan pendapat atau kemampuan orang lain sebagai

ukuran. Dari kenyataan ini Festinger sampai kepada hipotesa kedua yaitu jika

tidak ada cara-cara nonsosial, maka orang akan menggunakan ukuran-ukuran yang

melibatkan orang lain. Misalnya: untuk mengetahui apakah demokrasi merupakan

sistem yang terbaik untuk suatu negara tidak ada ukuran yang obyektif

(nonsosial), karena itu orang haru mengandalkan penilaian tentang demokrasi

pada pendapat orang lain.

Sebagai konsekuensi dari hipotesa 2, Festinger mengajukan hipotesa

ikutan (corollary) 2A sebagai berikut: penilaian seseorang tentang suatu

pendapat atau kemampuan tidak mantap (tidak stabil) jika tidak ada

perbandingan, baik yang bersifat sosial maupun nonsosial. Selanjutnya, hipotesa

ikutan 2B adalah sebagai berikut: penilaian pendapat tidak akan didasarkan pada

perbandingan dengan pendapat orang lain, jika ada kemungkinan untuk melakukan

penilaian yang obyektif.

138
c. Memilih Orang untuk Perbandingan

Dalam membuat perbandingan dengan orang lain, setiap orang mempunyai

banyak pilihan. Tetapi setiap orang cenderung memilih orang sebaya atau rekan

sendiri untuk dijadikan perbandingan.

Hipotesa 3: Kecendrungan untuk membandingkan diri dengan orang lain

menurun jika perbedaan pendapat atau kemampuan dengan orang lain itu

meningkat.

Corollary 3A: Kalau ia boleh memilih, seseorang akan memilih orang yang

pendapat atau kemampuannya mendekati pendapat atau kemampuannya sendiri

untuk dijadikan pembanding.

Corollary 3B: Jika tidak ada kemungkinan lain kecuali membandingkan diri

dengan pendapat atau kemampuan orang lain yang jauh berbeda. Maka seseorang

tidak akan mampu membuat penilaian yang tepat tentang pendapat atau

kemajuannya sendiri.

Dengan menggunakan hipotesa-hipotesa 1, 2, dan 3 selanjutnya Festinger

menarik beberapa kesimpulan (derivasi) untuk tujuan peramalan tingkah laku.

139
Derivasi A: Penilaian seseorang tentang dirinya akan mantap (stabil) jika

ada orang lain yang pendapat atau kemampuannya mirip dengan dirinya untuk

dijadikan pembanding.

Derivasi B: Penilaian cenderung akan berubah jika kelompok pembanding

yang ada mempunyai pendapat atau kemampuan yang jauh berbeda daripada

kemampuan atau pendapat sendiri.

Derivasi C: Orang akan kurang tertarik pada situasi-situasi di mana orang

lain mempunyai pendapat atau kemampuan yang berbeda dari dirinya sendiri dan

akan lebih tertarik pada situasi di mana orang lain mempunyai pendapat atau

kemampuan yang hampir sama dengan dirinya sendiri. Dengan perkataan lain,

orang akan lebih tertarik kepada kelompok yang memberi peluang lebih banyak

untuk melakukan perbandingan.

Derivasi D: Perbedaan besar dalam suatu kelompok dalam hal pendapat

atau kemampuan akan menimbulkan tindakan untuk mengurangi perbedan itu.

d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan

Seperti yang telah dikatakan di atas, ada perbedaan antara kemampuan

dan pendapat: pada kemapuan ada desakan untuk perubahan ke satu arah yaitu

kearah kemampuan yang lebih tinggi / baik saja sedangkan dalam hal pendapat

terdapat keleluasan untuk terjadinya perubahan ke segala arah.

140
Atas dasar itu, Festinger mengajukan hipotesis 4 sebagai berikut: Dalam

hal perbedaan kemampuan, terdapat desakan untuk perubahan searah, yaitu

perubahan ke atas, yang tidak dapat dalam hal perbedaan pendapat. Hipotesa 4

ini menurut Festinger setidaknya berlaku untuk masyarakat seperti di Amerika

Serikat di mana prestasi yang tinggi sangat dihargai. Dengan perkataan lain, di

lingkungan masyarakat lain di mana prestasi yang tinggi tidak mendapat

penghargaan yang tinggi, hipotesa 4 ini belum tentu berlaku.

Hipotesa tersebut yang dikemukakakn Festinger atas dasar perbedaan

antara kemampuan dan pendapat tersebut di atas adalah hipotesa 5, yaitu: ada

faktor-faktor nonsosial yang menyulitkan atau tidak memungkinkan perubahan

kemampuan pada seseorang, yang hampir-hampir tidak ada perubahan pendapat.

Jadi, orang yang badannya lemah, bia saja berpandapat bahwa ia dapat

mengangkat barbell 100 kg, tetapi kenyataanya ia tetap saja tidak dapat

mengangkat barbell tersebut. Lain halnya jika seseorang merasa pendapatnya

salah, maka dengan mudah ia mengubah pendapatnya tersebut.

Jika kita kembali ke derivasi D, jelaslah bahwa dengan satu desakan saja,

anggota dari suatu kelompok akan mengubah pendapatnya masing-masing untuk

mencapai suatu keseragaman pendapat dalam kelompok itu. Tetapi hal ini tidak

bisa terjadi begitu saja dalam hal pendapat karena adanya keharusan perubahan

141
ke satu arah saja, yaitu ke atas. Setiap anggota kelompok harus berusaha

meningkatkan kemampuannya, sehingga tercapai suatu keadaan di mana

perbedaan kemampuan antara satu anggota dengan anggota kelompok yang lain

hanya sedikit. Dalam keadaan ini tidak terjadi lagi dorongan untuk berubah.

Derivasi D1: Jika ada perbedaan dalam pendapat atau kemampuan dalam

kelompok akan terjadi kecendrungan pada seseorang untuk mengubah pendapat

atau kemampuannya itu mendekati kemampuan atau pendapat orang lain.

Derivasi D2: ….. dan mengubah pendapat atau kemampuan orang lain untuk

mendekati pendapat atau kemampuannya sendiri.

e. Berhentinya Perbandingan

Derivasi D3: Jika perbedaan pendapat atau kemampuan dengan orang lain

dalam kelompok terlalu besar, maka akan terdapat kecendrungan untuk

menghentikan perbandingan-perbandingan.

Konsekuensi penghentian perbandingan ini berbeda antara pendapat dan

kemampuan, karena perbedaan pendapat seseorang dari kelompok berarti

pendapat orang itu tidak benar, sedangkan konotasi yang negatif seperti itu

tidak selalu terdapat pada perbedaan kemampuan.

142
Hipotesis 6: Sejauh perbandingan yang berkepanjangan dengan orang lain

menimbulkan konsekuensi yang tidak menyenangkan, penghentian perbandingan

akan diikuti oleh perasaan bermusuhan dan kebencian.

Corollary 6A: penghentian perbandingan akan diikuti oleh perasaan

bermusuhan atau kebencian hanya dalam hal perbedaan pendapat, tidak dalam hal

perbedaan kemampuan.

f. Desakan ke Arah Keseragaman

Dari hipotesa-hipotesa 1, 2, dan 3 dapat ditarik derivasi E sebagai

berikut: setiap faktor yang meningkatkan dorongan untuk membandingkan

pendapat atau kemampuan dengan sendirinya juga akan merupakan faktor yang

mendesak ke arah tercapainya keseragaman pendapat atau kemampuan yang

bersangkutan.

Hipotesis 7: Hampir sama dengan derivasi E tersebut di atas: setiap

faktor yang meningkatkan pentingnya suatu kelompok sebagai kelompok

pembanding untuk suatu pendapat atau kemampuan akan merupakan faktor yang

meningkatkan desakan kearah keseragaman dalam hal pendapat atau kemampuan

tersebut di atas.

143
Corollary 7A: Desakan ke arah keseragaman pendapat atau kemampuan

tergantung dari daya tarik kelompok itu. Makin menarik kelompok itu bagi

seseorang, maka makin penting arti kelompok itu sebagai pembanding dan makin

kuat pula desakan pada orang itu untuk mengurangi perbedaan antara dirinya

sendiri dengan kelompok. Hal tersebut terlihat dalam perilaku-perilaku sebagai

berikut:

 Kecendrungan untuk mengubah pendapat sendiri.

 Usaha yang makin meningkat untuk mengubah pendapat orang lain.

 Kecendrungan yang meningkat untuk membuat orang lain kurang senang.

Corollary 7B: Desakan ke arah keseragaman bervariasi, tergantung pada

relevansi pendapat atau kemampuan bagi kelompok.

Hipotesis 8: Kecendrungan untuk memperkecil kemungkinan perbandingan

makin besar jika orang-orang yang pandangan atau kemampuannya berbeda dari

diri tersebut, dianggap juga berbeda dalam sifat-sifat lain. Dengan perkataan

lain, dalam kelompok yang heterogen, orang lebih cenderung tidak jauh dari

modus pendapat daripada dalam kelompok yang homogen.

Hipotesis 9: Jika ada berbagai pendapat atau kemampuan dalam kelompok,

manifestasi dari kekuatan desakan ke arah keseragaman berbeda-beda antara

orang yang ada di dekat pendapat umum kelompok (modus pendapat kelompok)

dengan orang yang jauh dari modus pendapat. Khususnya orang yang dekat

144
dengan modus pendapat kelompok, mempunyai kekuatan yang lebih besar untuk

mengubah posisi pendapat atau kemampuan orang lain, relatif lebih lemah

kecendrungannya untuk mengubah posisinya sendiri, jika dibandingkan dengan

orang yang jauh dari modus pendapat kelompok.

g. Pengaruhnya Terhadap Pembentukan Kelompok

Dorongan untuk menilai diri sendiri mempunyai pengaruh yang penting

terhadap pembentukan kelompok dan perubahan keanggotaan kelompok:

1) Karena perbandingan hanya bisa terjadi dalam kelompok, maka untuk

menilai diri sendiri orang terdorong untuk berkelompok dan

menghubungkan dirinya sendiri dengan orang lain.

2) Kelompok yang paling memuaskan adalah yang pendapatnya paling dekat

dengan pendapat sendiri. Karena itu orang lebih tertarik pada kelompok

yang pendapatnya sama dengan pendapat sendiri dan cenderung

menjauhi kelompok-kelompok yang pendapat-pendapatnya berbeda dari

pendapat sendiri.

h. Konsekunsi-konsekuensi dari Perbandingan yang Dipaksakan

Jika perbedaan-perbedaan pendapat atau kemampuan dalam kelompok

terlalu besar, maka kelompok akan menagatur dirinya sedemikian rupa sehingga

perbedaan itu dapat didekatkan dan perbandingan dapat dilakukan.

145
Tetapi Festinger mengatakan bahwa ada dua situasi di mana hal tersebut

tidak terjadi, yaitu di mana perbedaan tetap besar, tetapi perbandingan tetap

harus dilakukan. Kedua situasi tersebut adalah:

1) Situasi di mana kelompok itu sangat menarik bagi seseorang, sehingga

orang itu tetap saja ikut dalam kelompok walaupun pendapat atau

kemampuannya cukup jauh berbeda dari pendapat atau kemampuan

kelompok. Dalam situasi ini kekuasaan kelompok atas individu sangat

kuat dan perbedaan pendapat akan segera diperkecil. Akan tetapi

dalam hal kemampuan, individu tidak begitu saja bisa meningkatkan

kemampuannya, padahal kelompok menuntutnya untuk meningkatkan

kemampuan kelompok sesuai dengan rata-rata (modus) kemampuan

kelompok. Dalam hal ini individu bisa merasa tidak mampu dan merasa

gagal.

2) Situasi dimana individu terpaksa harus ikut terus dengan kelompok

karena tidak ada kemungkinan lain, misalnya orang yang dipenjara, atau

harus bekerja demi mencari nafkah walaupun ia tidak suka pada

perusahaan tempatnya bekerja. Dalam hal ini pengaruh kelompok

terhadap individu lemah dan keseragaman pendapat hanya dapat

dicapai melalui paksaan atau kekerasan. Sebagian kelompok mungkin

ada kesepakatan umum, tetapi sebagai pribadi, ada individu yang

menentang kelompok.

146
C. TEORI INFERENSI KORESPONDENSI ( CORRESPONDENT

INFERENCE)

Teori ini dikembangkan oleh Jones & Davis (1965) dariteori Heider (teori

lapangan) dan teori kognitif. Karena itu maka teori ini di golongkan dalam Teori

Transorientasional.

Teori ini pada dasarnya mencoba untuk menerangkan kesimpulan yang

ditarik oleh seorang pengamat (perceiver) dari pengamatannya atas perilaku

tertentu dari orang lain. Dengan perkataan lain pengamat mengadakan peramalan

(inferences) terhadap niat (intention) orang lain dari perilaku orang lain

tersebut.

Pengamat melalui proses ini dengan mengamati tindak nyata (overt action)

dari orang lain. Ia kemudian membuat beberapa keputusan tentang pengetahuan

dan kemampuan orang itu (si pelaku) yang pada gilirannya memungkinkan untuk

membuat inferensi (inference) tentang intensi (niat) pelaku tersebut. Jadi

pengetahuan dan kemampuan dari si pelaku merupakan prasyarat untuk

menetapkan intensi. Jika pengetahuan dan kemampuan itu terbukti ada, maka

dapat ditarik inferensi tentang intensi pelaku dan inferensi ini dapat digunakan

147
untuk memperkirakan ciri-ciri pribadi yang mantap pada diri pelaku. Ciri-ciri

pribadi ini dinamakan disposisi (disposition) oleh Jones & Davis.

Tesis utama dari teori ini adalah sebagai berikut: perkiraan tentang

intensi dari suatu perbuatan tertentu bisa ditarik dengan mempertimbangkan

kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat dilakukan si pelaku.

Misalnya: A dan B bekerja sama. Ternyata kita amati bahwa A selalu

mengatur, mengkontrol dan mengkritik pekerjaan B. kalau A berada dalam

keadaan di mana ia bisa menentukan sendiri perbuatan-buatan yang akan

dilakukannya, maka perbuatanA atas B akan kita perkirakan (inferensikan)

didasari oleh intensi (niat) untuk dominan. Kepada A bisa kita berikan diposisi:

dominan.

Akan tetapi kalau A melakukan perbuatannya pada B atas perintah orang

lain, jadi dia sendiri tidak mempunyai pilihan lain, maka kita tidak akan

memeperkirakan A sebagai dominan. Dalam terminologi Jones & Davis: perkiraan

tentang dominasi dari perbuatan A kurang koresponden (correspondent).

a. Konsep Korespondensi

Istilah korespondensi digunakan oleh Jones & Davis jika suatu perilaku

dan intensi yang mendasari tingkah laku itu diperkirakan sama. Dalam contoh

diatas (dominasi A atas B) jelas bahwa korespondensi dari suatu perkiraan

(infrensi) sangat di pengaruhioleh situasi dimana perbuatan termaksud terjadi.

148
Definisi korespondensi secara lengkapnya menurut Jones & Davis adalah

sebagai berikut:

Given an attribute-effect linckage which is offered to explain why an act

occurred, correspondence increases as judged value of the attribute departs

from the judge’s conception of the average person’s standing on the attribute.

Dengan perkataan lain, korespondensi dari hubungan antara satu

perbuatan dan niat mendasari perbuatan itu akan meningkat jika si pengamat

menilai bahwa ciri-ciri perilaku tersebut berbeda atau menyimpang dari ciri-ciri

perilaku orang lain pada umumnya yang berada pada posisi yang sama. Jadi, jika

perilaku dinilai menyimpang dari harapan yang normal (dari ukuran pengamat)

maka korespondensi (kekuatan hubungan) antara perilaku dan niat yang

mendasari akan meningkat.

Dalam contoh diatas kita (pengamat) menilai A dominan (korespondensi

kuat) karena kita menganggap bahwa orang-orang lain yang berada pada posisi A

pada umumnya tidak akan berbuat seperti A.

b. Tindakan dan Efek

Tindakan (act) oleh Jones & Davis diberi definisi yang luas, yaitu

keseluruhan respons (reaksi) yang mencerminkan pilihan si pelaku dan yang

mempunyai akibat (efek) yang mencerminkan pilihan si pelaku dan yang

mempunyai akibat (efek) terhadap lingkungannya. Efek (effect) itu bisa satu

149
macam, bisa juga beberapa macam sekaligus, sedangkan pilihan bisa antara

bertindak atau tidak bertindak dan bisa juga antara beberapa macam tindakan.

“Efek” diartikan oleh Jones & Davis sebagai perubahan-perubahan yang

nyata yang dihasilkan oleh tindakan.

Dalam memberi arti dari suatu tindakan, yang penting adalah tujuan akhir

dari tindakan itu. Misalnya: seseorang berdiri, berjalan, dan menutup pintu maka

tindakan itu adalah “menutup pintu”.

Efek dari suatu tindakan bisa satu bisa bermacam-macam. Kalau suatu

tindakan mempunyai efek ganda, maka inferensi akan jadi lebih sulit. Walaupun

demikian, Jones & Davis berpendapat bahwa inferensi dari efek ganda masih

dapat dilakukan dengan mengamati efek ganda yang tidak biasa (uncommon

mulitiple effect) yang ditimbulkan oleh tindakan si pelaku. Kalau tindakan itu

menimbulkan efek-efek yang biasa yang akan timbul juga jika dilakukan oleh

pelaku-pelaku lain, maka memang sulit kita menarik inferensi , akan tetapi kalau

nyata efek gandanya tidak biasa (ada efek-efek khusus yang mau ditimbulkan

pelaku) maka kita akan mudah memperkirakan intensi pelaku.

Infrensi tentang intensi ini akan lebih tajam lagi kalau tindakan si pelaku

juga membawa efek negatif, karena jika efeknya hanya positif saja, maka pelaku

kurang dapat menunjukkan maksud yang sebenarnya. Jadi dalam kasus A dan B

tersebut di atas, A tidak dapat menunjukkan intensinya akan dominasi jika B

150
selalu senang, selalu puas dan sebagainya. Untuk dapat menunjukkan intensinya

bahwa ia menginginkan dominasi, A perlu berbuat mengatur, mengontrol dan

mengkritik, sehingga B tidak hanya menerima akibat positifnya (mungkin

kerjanya jadi lebih efektif dan sebagainya) akan tetapi juga akibat negatifnya,

misalnya B marah, kecewa, jengkel dan sebagainya.

c. Faktor-faktor yang Menentukan Korespondensi

Menurut Jones & Davis ada 2 aspek dalam proses inferensi yang

menentukan derajat korespondensi:

1) Bila suatau tindakan mengakibatkan efek ganda, maka si pengamat

pertama-tama memperkirakan bahwa ada beberapa efek tertentu yang

lebih merupakan tujuan dari pelaku. Jika dari berbagai efek itu

ternyata hanya satu yang dianggap merupakan tujuan oleh pengamat,

maka dikatakan bahwa probabilitas (kemungkinan) yang dipersepsikan

oleh pengamat adalah 1,00. Di lain pihak, kemungkinan dari masing-

masing efek untuk dijadikan tujuan oleh pelaku dipengaruhi oleh faktor

assumed desirability dan seringnya terjadi efek yang tidak biasa.

Assumed desirability adalah perkiraan pengamat tentang bisa

diterimanya atau tidak bisa diterimanya suatu tindakan oleh orang-

orang pada umumnya. Walaupun perilaku itu tidak biasa, tetapi kalau

diperkirakan akibatnya masih dapat di terima oleh kebanyakan orang,

151
maka nilai ekstrimitas dari tindakan itu akan berkurang. Padahal,

seperti sudah dikatakan diatas, keekstreman suatu tindakan diperlukan

untuk membuat inferensi.

Keekstreman itu juga akan berkurang kalau efek yang tidak biasa

yang diharapkan dari suatu tindakan ternyata sudah sering terjadi.

Dengan demikian jelaslah bahwa intensi dari suatu tindakan

merupakan cerminan dari hasil kombinasi antara assumed desirability

dan seringnya terjadi efek yang tidak biasa.

2) Aspek lain dari proses inferensi adalah signifikansi dari efek tindakan

yang menjadi tujuan aktor bagi pengamat. Yang penting disini adalah

keekstreman dan assumed desirability serta seringnya terjadi efek

yang tidak biasa, akan menyebabkan timbulnya pengaruh positif

terhadap penilaian pengamat tentang tindakan termaksud. Penialian

positif pada gilirannya akan mengurangi keekstreman tindakan dan akan

mengurangi signifikansi efek itu pada diri pengamat.

Dengan demikian, situasi yang paling memungkinkan korespondensi

yang tinggi adalah situasi di mana assumed desirability maupun seringya

efek yang tidak biasa sama-sama rendah.

d. Faktor-faktor yang Menentukan Assumed Desirability

152
Seperti telah dikatakan diatas, assumed desirability adalah perkiraan

pengamat bahwa perilaku tertentu akan dilakukan oleh orang-orang lain pada

posisi perilaku dan bahwa pelaku mengharapkan efek yang tidak berbeda dari

orang-orang lain pada posisinya.

Yang mempengaruhi assumed desirability menurut Jones & Davis adalah

hal-hal seperti penampilan pelaku, streotip pengamat dan lain-lain. Jadi misalnya,

jika ada seorang berpakaian rapi, berdasi dan bertindak dan berbicara seperti

seorang terpelajar, maka assumed desirability dari perilaku orang itu tinggi,

sehingga pengamat tidak bisa menarik inferensi tentang intensi (niat) dan sifat-

sifat pelaku tersebut. Sayang sekali Jones & Davis tidak memperinci lebih lanjut

tentang faktor-faktor ini.

e. Memperhitungkan Kebiasaan Efek

Diatas telah disebutkan bahwa pengamat harus memperhitungkan apakah

suatu efek bisa terjadi. Ada 2 masalah yang menyagkut proses memperhitungkan

kebiasaan efek-efek ini:

1) Masalah yang menyangkut identifikasi dan penentuan biasa atau

tidaknya efek-efek.

2) Memilih efek-efek yang tidak biasa dan memisahkannya dari efek-efek

lain dari suatu tindakan tertentu.

153
Masalah yang pertama menurut Jones & Davis perlu diteliti lebih lanjut

(tetapi mereka sendiri tidak melakukannya), sedangkan masalah kedua diatasi

oleh pengamat melalui 3 tahap:

1) Mengidentifikasi berbagai kemungkinan tindakan yang diperkirakan

oleh pengamat akan terjadi dalam situasi tertentu.

2) Mengelompokkan efek-efek yang diperkirakan akan timbul dari

tindakan-tindakan yang tidak dipilih (tidak dilaksanakan) dan

membandingkannya dengan efek-efek yang ditimbulkan oleh tindakan

yang sungguh-sungguh dilakukan.

3) Pada tahap terakhir diidentifikasi efek-efek tidak biasa yang akan

timbul dari tindakan yang tidak dilaksanakan. Ini dianggap sebagai

efek-efek yang mau dihindari oleh pelaku. Efek-efek yang mau

dihindari ini disatukan dengan efek-efek positif dari tindakan yang

diambil dan dijadikan dasar (norma) untuk mengukur korespondensi

dari inferensi. Makin jauh penyimpangan efek-efek dari norma itu,

makin kuat korepondensi antara tindakan dan intensi.

f. Korespondensi dan Keterlibatan Pribadi

Disamping faktor-faktor yang telah diuraikan di atas Jones & Davis

menunjukkan satu faktor lagi yang mempengaruhi inferensi, yaitu keterlibatan

pribadi si pengamat.

154
Keterlibatan ini ada 2 macam, yaitu relevansi hedonik (hedonic relevance)

dan personalisme. Suatu tindakan mempunyai relevansi hedonik buat pengamat

jika tindakan itu mendorong atau menghambat tercapainya tujuan-tujuan

pengamat sendiri, jadi jika tindakan itu menyenangkan atau mengecewakan dilain

pihak suatu tindakan adalah personalistik jika pengamat merasa yakin bahwa

dirinya sendirilah yang dijadikan sasaran dari tindakan termaksud. jadi pengamat

merasa bahwa tindakan itu ditujukan untuk langsung mengecewakannya atau

menyenangkan nya.

Dengan demikian maka suatu tindakan dapat relevan atau tidak relevan

buat pengamat dan jika relevan dapat bersifat pribadi (personalitik) atau tidak

pribadi (hedonistik).

Korespondensi biasanya makin kuat dengan meningkatnya relevansi dan

penilaian pengamat terhadap pelaku akan ditetapkan oleh kombinasi relevansi dan

korespondensi ini. Jika efek dari tindakan pelaku adalah positif buat pengamat,

maka kesan positif pengamat terhadap pelaku akan meningkat bersamaan dengan

meningkatnya korepondensi sebaliknya, jika efek tindakan itu adalah negatif,

maka kesan negatif akan meningkat bersamaan dengan meningkatnya

korespondensi.

Dalam hal relevansi yang bersifat pribadi (personalisme), jika disertai

dengan efek positif maka akan terjadi penilaian yang positif terhadap pelaku,

155
tetapi personalisme yang disertai dengan efek yang negatif akan memperkuat

penilaian negatif pengamat terhadap pelaku.

2. Teori atribusi eksternal (external attribution)

Teori ini dikembangkan oleh Kelley (1967) dan seperti halnya teori jones &

davis, teori ini didasarkan pada karya Heider. Tetapi persamaan antara teori

Kelley dan Jones & Davis sangat kecil. Jones & Davis menitikberatkan pelaku

dalam situasi tertentu sebagai faktor penyebab dari suatu efek. Kelley di lain

pihak lebih menekankan pada unsur lingkungan. Ia malahan berusaha untuk tidak

memperhitungkan faktor-faktor personal dalam analisanya dan mencoba untuk

mempergunakan sebanyak mungkin faktor lingkungan atau faktor eksternal.

a. Proses Atribusi

Atribusi didefinisikan oleh Kelley sebagai proses mempersepsi sifat-sifat

dispotisional (yang sudah ada) pada satuan-satuan (entities) di dalam suatu

lingkungan (environment).

Kelley membenarkan teori Heider bahwa proses atribusi adalah proses

persepsi dan bahwa atribusi bisa ditujukan kepada orang atau lingkungan. Contoh:

X senang menonton acara TV tertentu (misal: Srimulat), maka ada dua

kemungkinan: ia bisa menyatakan bahwa acara itulah yang memang menyenangkan

(atribusi eksternal) atau bisa menyatakan bahwa dirinyalah yang sedang dalam

keadaan senang, sehingga ia menyukai program TV tersebut (atribusi internal).

156
Faktor-faktor yang menyebabkan orang lebih cenderung ke atribusi ekternal

atau atribusi internal inilah yang menjadi pusat perhatian teori Kelley.

Menurut Kelley, ada 4 kriteria yang menyebabkan orang lebih cenderung

kepada atribusi eksternal daripada atribusi internal. Keempat kriteria itu adalah:

1) Distingsi atau diferensiasi; Dalam contoh di atas, X menyukai acara

Srimulat yang sedang ditontonnya itu, tetapi kurang menyukai acara-acara

TV yang lain.

2) Konsistensi dalam waktu; X akan tetapi menyukai acara itu lagi kalau ia

menontonnya kembali di lain waktu.

3) Konsitensi dalam cara; X akan tetap menyukai acara itu, tidak hanya kalau ia

menonton di rumah, tetapi juga kalau ia sedang menontonnya di rumah

teman, atau menontonnya melalui pesawat TV hitam-putih, padahal ia

biasanya menonton dengan TV berwarna.

4) Konsensus: Ternyata bukan X saja yang menyukai acara itu, tetapi orang-

orang lainpun menyukai acara Srimulat.

Kalau keempat syarat ini dipenuhi, maka akan terjadi atribusi eksternal.

Tapi kalau tidak, maka kesenangan menonton acara TV tersebut akan dinyatakan

sebagai akibat dari keadaan diri X sendiri (atribusi internal).

b. Ketergantungan Informasi

157
Jika suatu atribusi memenuhi keempat kriteria tersebut (atribusi

eksternal) maka orang akan merasa yakin pada diri, cepat membuat keputusan

dan mampu bertindak dengan mantap. Tetapi kalau salah satu atau beberapa

kriteria tidak terpenuhi, maka ia jadi tidak yakin dan ragu-ragu dalam bertindak.

Hal ini menyebabkan Kelley sampai pada teorinya tentang tingkat informasi

(information level).

Tingkat informasi menyangkut pengetahuan seseorang tentang kenyataan-

kenyataan yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Jika tingkat informasi

seseorang tinggi, maka orang akan mampu membuat atribusi yang distingtif (lain

dari yang lain), tetapi mantap (tidak sering berubah-ubah).

Selanjutnya, Kelley menyatakan bahwa tingkat informasi seseorang

merupakan dasar untuk menganalisa ketergantungan informasi dari orang

tersebut. Kelley beranggapan bahwa setiap orang (misalnya A) selalu

membutuhkan orang lain (misalnya B) untuk memperoleh informasi-informasi yang

berlaku. Jika B bisa meningkatkan informasi yang dimiliki A ke tingkat yang lebih

tinggi daripada yang bisa diperoleh A dari orang-orang lain, maka A akan

mempunyai ketergantungan informasi pada B.

Ketergantungan informasi bisa berkaitan dengan hal-hal yang sudah nyata

(aktual) atau baru merupakan kemungkinan (potensial) dan bisa menyangkut

pengalaman atau harapan. Harapan dan kemungkinan menyangkut masa depan,

158
sedangkan pengalaman dan kenyataan menyangkut masa kini dan masa lalu. Jika

ketergantungan informasi itu menyangkut masa yang akan datang, maka A akan

mencari B untuk bertanya, untuk meningkatkan tingkat informasinya.

Umumnya setiap orang akan mencari informasi jika tingkat informasinya

menurun sampai di bawah ambang yang dapat dipertahankannya. Kecendrungan

untuk mencari informasi mendorong orang untuk berinteraksi dengan orang lain

yang diharapkan dapat memberi informasi.

c. Atribusi dan Persuasi

Konsep-konsep tersebut diatas digunakan oleh Kelley untuk menjelaskan

mudahnya orang dipengaruhi pendapatnya (persuasi), penolakan terhadap

persuasi dan akibat dari persuasi. Ia mempunyai hipotesa bahwa makin sering

terjadi perubahan atribusi pada seseorang di waktu yang lampau, makin mudah

orang tersebut dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Atribusi akan tidak mantap

(tidak stabil) jika orang yang bersangkutan kurang mendapat dukungan sosial,

kurang mempunyai informasi di waktu yang lalu, pandangan-pandangannya sering

tidak dibenarkan dan atau sering mendapatkan pengalaman yang menurunkan

kepercayaan dirinya.

Dalam hubungan ini orang lain (B) bisa membantu meningkatkan

pengetahuan orang tersebut (A) melalui dua cara yaitu: meningkatkan konsistensi

atau meningkatkan consensus dalam kaitan dengan atribusi dari A. Cara yang

159
pertama disebut pendidikan dan terutama menggunakan pendekatan rasional,

sedangkan cara yang kedua disebut persuasi yang hasilnya lebih banyak

tergantung pada penilaian A terhadap B.

3. Teori penilaian sosial (social judgement)

Sherif & Hovland (1961) mencoba menggabungkan sudut pandangan

psikologi, sosiologi dan antropologi dalam teorinya ini. Dalilnya yang dasar dari

teorinya adalah bahwa orang membentuk situasi yang penting buat dirinya.jadi

dia tidak ditentukan oleh situasi.

Pembentukan situasi ini mencakup faktor-faktor intern (sikap, emosi,

motif, pengaruh pengalaman masa lampau dan sebagainya), maupun eksternal

(obyek, orang-orang dan lingkungan fisik). Interaksi dari faktor-faktor intern

dan ekstern inilah yang menjadi kerangka acuan (frame of reference) dari setiap

perilaku.

Kerangka acuan yang dimaksud oleh Sherif bukanlah dalam arti yang

abstrak (seperti norma-norma, idealisme, dan lain-lain) akan tetapi dalam arti

yang kongkret, yang khusus menyangkut suatu perilaku tertentu pada waktu dan

tempat tertentu.

Perilaku disini tidak disebabkan atau dipengaruhi oleh faktor-faktor

internal dan eksternal tersebut, melainkan perilaku itu akan mengikuti pola-pola

tertentu yang diciptakan oleh faktor-faktor terebut.

160
Interaksi antara faktor-faktor internal dan eksternal sejalan dengan

teori kognitif dan teori lapangan. Jika kondisi stimulus meragukan atau tidak

jelas padahal motivasi cukup kuat, maka faktor-faktor internal akan lebih

berpengaruh. Sebaliknya, jika faktor motif kurang kuat, padahal stimulusnya

jelas, maka faktor luar akan lebih berpengaruh.

Dalam kerangka rujukan ini, menurut Sherif ada patokan-patokan tertentu

(anchors) yang menjadi pedoman perilaku. Patokan-patokan inilah yang dianalisis

oleh sheriff dalam teorinya dan dicari sejauh mana pengaruhnya terhadap

penilaian sosial yang dilakukan oleh individu.

Teori penilaian sosial ini khususnya mempelajari proses psikologik yang

mendasari pernyataan sikap dan perubahan sikap melalui komunikasi. Anggapan

dasarnya adalah bahwa dalam menilai, manusia membuat diskriminasi dan

kategorisasi stimulus-stimulus. Dalam diskriminasi dan kategorisasi manusia

melakukan perbandingan-perbandingan antara berbagai alternatif dan salah satu

alternatif adalah referensi internal atau standar yang disusun oleh individu

untuk menilai stimulus-stimulus yang datang dari luar. Pembentukan standar

penilaian internal ini dipengaruhi oleh pengalaman individu yang bersangkutan

dengan stimulus-stimulus di dunia sekitarnya, pengaruh dari patokan-patokan,

tingkat keterlibatan ego dan sebagainya.

161
DAFTAR PUSTAKA

Sarwono, S. Wirawan. 2002. Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta : PT.


RajaGrafindo Persada.

Sarwono, S. Wirawan. 2005. Psikologi Sosial. Jakarta : Balai Pustaka.

Santosa Slamet. 2004. Dinamika Kelompok. Jakarta : Bumi Aksara.

Baron, A. Robert dan Byrne Donn. 2005. Psikologi sosial. Jakarta : Erlangga.

162

Anda mungkin juga menyukai