Anda di halaman 1dari 5

Akhlak Terhadap Para Ulama

Dari Muhammad bin Amru, dari Salamah diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas pernah berdiri di sisi Zaid
bin Tsabit dan langsung memegang tali kekang tunggangannya. Beliau (Zaid) berkata: “Wahai anak
paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, menjauhlah kamu.” Ia menjawab: “Beginilah yang
kami lakukan untuk menghormati para ulama dan senior-senior kami.” (“Siyaru A’laamin Nubalaa'”
II:437)

Dari Umar bin Mudrik diriwayatkan bahwa ia berkata: “Al-Qasim bin Abdurrahman telah
menceritakan kepada kami: Asy’ats bin Syu’bah Al-Mashishi telah menceritakan kepada kami, ia
berkata: “Rasyid pernah datang ke Raqqah. Maka orang-orang pun pada berdesak-desakkan di
belakang Ibnul Mubarak, sehingga tali-tali sendal saling berputusan dan debu-debu
beterbangan. Ummu Walad (budak wanita yang melahirkan anak dari tuannya -ed) dari Amirul
Mukminin melongok dari istana kayunya sambil bertanya: “Ada apa rupanya?” Mereka menjawab:
“Ada ulama dari negeri Khurasan datang kemari.” Ia berkomentar: “Demi Allah, inilah raja. Raja
Harun tidak bisa mengumpulkan orang-orang kecuali disertai penjagaa keamanan dan
polisi.” (“Siyaru A’laamin Nubalaa'” VIII:384)

Ibrahim bin Ishaq Al-Harbi pernah berkata: “Atha’ bin Abu Rabbah dahulu adalah seorang budak
berkulit hitam milik seorang wanita dari kalangan penduduk Makkah. Konon hidungnya menyerupai
sebutir kacang. “Perawi menuturkan: “Suatu hari Amirul Mukminin Sulaiman bin Abdul Malik
bersama kedua anaknya datang menemui Atha’. Mereka duduk di sisinya, sementara beliau masih
menjalankan shalat. Ketika beliau usai shalat, beliau menyisihkan waktu untuk mereka. Mereka terus
saja bertanya kepada beliau tentang manasik haji, padahal beliau telah membelakangi mereka.
Sulaiman berkata kepada kedua anaknya; “Wahai anak-anakku, janganlah kalian lalai dalam
menuntut ilmu. Sungguh saya tidak akan melupakan rendahnya kita di hadapan budak hitam satu
ini.” (“Shifatush Shafwah” II:212)

Rustah berkata; “Aku pernah mendengar Abdurrahman bin Mahdi berkata: “Ada kebiasaan kami
yang menyatakan: “Apabila seseorang bersua dengan orang yang lebih alim dari dirinya, itulah hari ia
bisa mengambil sejuta faedah (yakni ilmu yang datang tiba-tiba); apabila ia berjumpa dengan orang
yang sejajar dengannya dalam ilmu, ia bisa saling belajar dan menimba ilmu; dan apabila ia bertemu
dengan orang yang kurang berilmu dari dirinya, hendaknya ia berendah hati dan sudi mengajarnya.
Tidak layak seseorang orang menjadi seorang ahli ilmu, kalau ia berbicara dengan segala yang
didengarnya. Demikian juga seseorang tidak akan menjadi seorang imam ahli ilmu, kalau ia
menyampaikan hadits dari siapa saja, juga orang yang suka menyampaikan hadits yang ganjil.
Sesungguhnya hafalan itu adalah demi melekatnya ilmu.” (“Siyaru A’laamin Nubalaa'” IX : 203)

Ibnu Basykuawaal berkata menceritakan pengalaman Ibrahim Al-Harbi: “Aku pernah menukil dari
buku Ibnu ‘Attab: “Ibrahim Al-Harbi adalah sosok seorang lelaki shalih dari kalangan ulama. Beliau
pernah mendengar ada kaum yang suka duduk di majelisnya dan lebih mengutamakan dirinya dari
Ahmad bin Hambal. Beliau mengkonfirmasikan hal itu kepada mereka, dan merekapun
mengakuinya. Maka beliau berkata; “Sungguh kalian telah menzhalimi saya dengan mengutamakan
saya dari orang yang saya tidak bisa menyerupainya, saya juga tidak bisa mengikuti jejak beliau
dalam banyak hal. Maka saya bersumpah atas nama Allah, saya tidak akan menyampaikan ilmu
apapun kepada kalian lagi. Maka mulai hari ini, jangan kalian datang lagi menemuiku.” (“Siyaru
A’laamin Nubalaa'” XIII:364)

Kalau melihat umat Islam di negara kita sekarang ini, maka kita dapat mengelompokkannya kepada
dua kelompok. Pertama, ada yang sangat dan terlalu fanatik kepada kiyai atau ustadznya sehingga ia
hanya taqlid buta (mengikuti saja apa kata kiyai atau ustadznya tanpa ada lagi sikap kritis dan
melihat kuat atau tidak dalilnya) dan tidak mau lagi mendengarkan dan menerima pendapat kiyai
atau ustadz lain yang bertentangan dengan pendapat kiyainya. Sehingga apapun kata kiyai atau
ustadznya, baik itu benar berdasarkan al-Qur`an dan Sunnah Nabi SAW ataupun salah bahkan bisa
jadi itu suatu kesesatan maka mereka tetap mengikutinya karena itu kata kiyai atau ustadznya.

Kedua, sebagian yang lain, sebagaimana yang saudara sebutkan, mereka sama sekali tidak
menganggap pengajaran atau fatwa kiyai dan para ulama sehingga menganggap fatwa itu sama
dengan ucapan dan omongan politisi, pengamat atau artis. Bahkan jika ada fatwa ulama tentang
suatu masalah maka yang dimintai pendapat tentang fatwa itu bukannya ulama lagi tapi pengamat
atau artis yang tidak ada dasar ilmu agamanya dan tidak mengetahui dasar dan dalil dikeluarkannya
fatwa tersebut.

Tentunya kedua sikap yang saling bertentangan itu adalah sikap tercela yang tidak diajarkan oleh
Islam kepada umatnya karena Islam adalah agama yang sesuai fitrah manusia yang sangat membenci
sikap berlebih-lebihan dalam beragama. Dan tentu saja Islam melarang umatnya untuk lalai dalam
melaksanakan kewajibannya dalam beribadah kepada Allah SWT dan tidak mengamalkan Islam
dalam kehidupannya sehari-hari. Allah SWT. berfirman:
ُ َ َ ْ َ ُ َ ُ َ ْ َ َّ َ َ َ َ ُّ َ َ ُّ َ َ َ ُّ َ
‫يل َس َو ِاء َعن َوضلوا اك ِث ري َوأضلوا قب ُل ِمن ضلوا قد قوم أه َو َاء تت ِب ُعوا َول ال َحق غ َي ِد ِينكم ِ ِف تغلوا ل ال ِكتا ِب أه َل َيا قل‬ َّ
ِ ‫الس ِب‬
Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak
benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat
dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan
(manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus”. (QS. Al-Maidah [5]: 77).

Dan Rasulullah SAW. juga menegaskan dalam haditsnya:

،‫ت‬ ٍ ‫ص َيا‬ َ ‫س ْب َع َح‬ َ ُ‫طتُ لَه‬ْ ‫ َفلَ َق‬، ‫صى‬ً ‫ط لِي َح‬ ْ ُ‫ ْالق‬: ‫ع َلى نَا َقتِ ِه‬َ ‫غدَاة َ ْال َع َقبَ ِة َوه َُو‬
َ ‫سله َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫صلهى ه‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ ‫سو ُل ه‬ ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫ قَا َل‬، ‫هاس‬ ٍ ‫َع ْن اب ِْن َعب‬
َ‫ فَإِنههُ أ َ ْهلَك‬، ‫ِين‬ ْ ُ ‫ يَا أَيُّ َها النه‬: ‫ ث ُ هم قَا َل‬، ” ‫ار ُموا‬
ِ ‫اس ِإيها ُك ْم َوالغُلُ هو فِي الد‬ ُ ُ‫ فَ َج َع َل يَ ْنف‬، ِ‫صى ْال َخذْف‬
ْ َ‫ أ َ ْمثَا َل َهؤ ََُلءِ ف‬: ‫ َويَقُو ُل‬، ‫ض ُه هن فِي ك َِف ِه‬ َ ‫ه هُن َح‬
ُ ْ ُ َ َ
ِ ‫َم ْن َكانَ ق ْبلك ُم الغُل ُّو فِي الد‬
‫ِين‬

Rasulullah bersabda kepadaku sempena melontar jumrah Aqabah, sedangkan beliau berada di atas
untanya: “Ambilkanlah batu kerikil untukku”, maka aku mengambilkan tujuh batu kerikil yang kecil
baginya untuk melempar. Apabila beliau meletakkan batu kerikil itu di tanganya, beliau bersabda:
“Benar, lemparlah dengan batu seperti ini. Kemudian, beliau bersabda: Jauhilah sikap berlebih-
lebihan dalam beragama kerana sesungguhnya umat-umat terdahulu binasa kerana sikap berlebih-
lebihan dalam beragama. (HR. Ibnu Majah).

Allah SWT. dan Rasul-Nya telah mengajarkan kepada umatnya bagaimana seharusnya sikap mereka
kepada para ulama. Allah SWT. menegaskan bahwa Dia akan meninggikan derajat orang beriman
dan yang diberikan-Nya ilmu, yaitu para ulama.
َ ُ َّ َ َّ ُ َ ُ َ َّ َ ُ ُ َ ْ ْ َ َ ُ َّ َ ُ َ َ
‫ين اللـه فع َير‬ ‫خ ِب ري تع َملون ِب َما َواللـه ۚ َجاتدر ال ِعلم أوتوا وال ِذين ِمنكم آمنوا ال ِذ‬

niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-
Mujadalah [58]: 11).
ُ َ َ َ ُ َ َ َ َّ َ َ َ ُ َ َ َ َّ ُ َّ َ َ َ ُ ُ َ ْ َ
َ ‫ون َّالذ‬
‫ين َيستوي هل قل‬ ِ ‫اب أولو يتذكر ِإنما ۗ يعلمون ل وال ِذين يعلم‬
ِ ‫اْللب‬

Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (QS. Al-Zumar
[39]: 9).

Dan Rasulullah SAW. menegaskan bahwa ulama itu adalah pewaris para nabi dalam menyampaikan
ilmu dan ajaran agama kepada generasi-generasi yang akan datang karena telah berakhirnya
pengutusan para nabi dan rasul.

ُ‫ َوإِ هن ْالعَال َِم لَيَ ْست َ ْغف ُِر لَه‬،‫ب ْالع ِْل ِم‬ ِ ‫طا ِل‬ َ َ ‫ َوإِ هن ْال َمالَئِ َكةَ لَت‬،ِ‫ق ْال َجنهة‬
َ ‫ض ُع أَجْ نِ َحت َ َها ِل‬ ِ ‫ط ُر‬ ُ ‫ط ِر ْيقًا مِ ْن‬ َ ‫سلَكَ هللاُ بِ ِه‬ َ ،‫طلُبُ فِ ْي ِه ع ِْل ًما‬ ْ َ‫ط ِر ْيقًا ي‬
َ َ‫سلَك‬
َ ‫َم ْن‬
،‫ب‬ ْ
ِ ‫سائ ِِر الك ََوا ِك‬ َ ‫على‬ َ ْ َ َ َ َ ْ
َ ‫ض ِل الق َم ِر ل ْيلة البَد ِْر‬ َ َ ْ
ْ ‫على العَابِ ِد كف‬ َ ْ
َ ‫ض َل العَال ِِم‬ َ ‫ه‬ ْ
ْ ‫ َوإِن ف‬، ِ‫ َوالحِ ْيت فِي َج ْوفِ ال َماء‬،‫ض‬ ُ‫َان‬ ْ َ ْ
ِ ‫ت َو َمن فِي األ ْر‬ ‫َم ْن فِي ال ه‬
ِ ‫س َم َوا‬
‫ فَ َم ْن أ َ َخذَهُ أ َ َخذَ ِب َح ٍظ َواف ٍِر‬،‫ ِإنه َما َو هرثُوا ْالع ِْل َم‬،‫َارا َوَلَ د ِْر َه ًما‬ ً ‫ َو ِإ هن األ َ ْن ِب َيا َء لَ ْم ي َُو ِرث ُ ْوا ِد ْين‬، ِ‫َو ِإ هن ْالعُلَ َما َء َو َرثَةُ األ َ ْن ِب َياء‬

“Barangsiapa menempuh suatu jalan yang padanya dia mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan dia
menempuh jalan dari jalan-jalan (menuju) jannah, dan sesungguhnya para malaikat benar-benar
akan meletakkan sayap-sayapnya untuk penuntut ilmu, dan sesungguhnya seorang penuntut ilmu
akan dimintakan ampun untuknya oleh makhluk-makhluk Allah yang di langit dan yang di bumi,
sampai ikan yang ada di tengah lautan pun memintakan ampun untuknya. Dan sesungguhnya
keutamaan seorang yang berilmu atas seorang yang ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan
pada malam purnama atas seluruh bintang, dan sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi, dan
para Nabi tidaklah mewariskan dinar ataupun dirham, akan tetapi mereka hanyalah mewariskan
ilmu, maka barangsiapa yang mengambilnya maka sungguh dia telah mengambil bagian yang sangat
banyak.”(HR. Tirmizi, Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi).

Karena itu sebagai umat yang diajarkan untuk selalu memperhatikan adab dan perilaku dalam
berinteraksi dengan siapapun, maka seharusnya umat Islam harus menghormati dan memuliakan
para ulamanya yang telah mengajarkan dan membimbing mereka untuk tetap berada di jalan Allah
dan tidak tergelincir mengikuti anjuran dan godaan setan serta menjadi tempat bertanya tentang
hukum Allah SWT., sebagaimana Allah SWT. Rasul-nya memuliakan para ulama. Dan tidak menjelek-
jelekan, menghina, mencaci-maki atau merendahkan mereka. Rasulullah SAW. menegaskan dalam
sabdanya:

‫ف‬
ْ ‫ َو َي ْع ِر‬، ‫ِيرنَا‬
َ ‫صغ‬ َ ‫ْس مِ ْن أ ُ همتِي َم ْن لَ ْم ي ُِج هل َك ِب‬
َ ‫ َو َي ْر َح ْم‬، ‫يرنَا‬ َ ‫ لَي‬: ‫ قَا َل‬، ‫سله َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫صلهى ه‬
َ ُ‫َّللا‬ ُ ‫ أَن َر‬، ‫ت‬
‫سو َل ه‬
َ ِ‫َّللا‬ ِ ‫ام‬
ِ ‫ص‬‫ع َبادَة َ ب ِْن ال ه‬
ُ ‫َع ْن‬
‫ رواه أحمد والطبرانى‬.ُ‫ِلعَالِمِ نَا َحقهه‬

Diriwayatkan dari ‘Ubadah bin al-Shamit bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda: “Bukanlah dari
golongan umatku orang yang tidak menghormati orang yang lebih besar di antara kami, tidak
menyayangi anak kecil kami, dan tidak mengetahui hak ulama kami.” (HR. Ahmad dan Thabrani).

Bahkan Allah SWT. menjelaskan bahwa menjelek-jelekkan, mengolok-olok dan merendahkan orang
beriman itu salah satu perbuatan dan kebiasaan orang kafir dan munafik. Allah SWT. berfirman:
ُ َ َّ ُ َ َ ُ َ َ ْ َ ُّ ُ َ َ َ َ َ َ َّ ُ َ َ َّ َ َ َّ ُ َ َ َ َ َ َ ْ ُ َّ َ َ ُ ُ َ ُ َ َ َ
‫ين زي َن‬ ‫ِبغي يشاء من زقير واللـه ۗ ال ِقيام ِة يوم فوقهم اتقوا وال ِذين ۘ آمنوا ال ِذين ِمن ونويسخر الدنيا الحياة واكفر ِلل ِذ‬
‫ِحساب‬ َ

Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina
orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di
hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas. (QS.
Al-Baqarah [2]: 212).
ُ َ َّ ُ َ َ ُ َ َ ْ َ ُّ ُ َ َ َ َ َ َ َّ ُ َ َ َّ َ َ َّ ُ َ َ َ َ َ َ ْ ُ َّ َ َ ُ ُ َ ُ َ َ َ
‫ين زي َن‬ ‫ِبغي يشاء من زقير واللـه ۗ ال ِقيام ِة يوم فوقهم اتقوا وال ِذين ۘ آمنوا ال ِذين ِمن ونويسخر الدنيا الحياة واكفر ِلل ِذ‬
‫ِحساب‬ َ

َ ُ َ َ َّ ُ َ ُ َ َّ َ َ َ َ َ ‫َ ى‬ َ َ ُ َ َّ ُ َ َ َ َّ ُ َ َ ُ َ ُ
‫ين لقوا َوِإذا‬ ‫اط ِين ِهم ِإل خلوا وِإذا آمنا قالوا آمنوا ال ِذ‬
ِ ‫مستهزئون نحن ِإنما معكم ِإنا قالوا شي‬

Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: “Kami telah
beriman”. Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan:
“Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok”. (QS. Al-Baqarah [2]:
14).

Bahkan dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari, Rasulullah SAW. bersabda:


َّ َ َّ َ َ َ ََ ُ ُ َ ْ
‫اَلل ِإن‬ ‫ قال‬: ‫ِبال َحر ِب آذنته فقد َو ِل ًّيا ِ ِل َعادى َمن‬

Sesungguhnya Allah berfirman: “Barangsiapa memusuhi wali-Ku maka aku umumkan perang ke
atasnya.”

Yang dimaksud dengan wali Allah disini adalah seorang alim yang selalu taat dan ikhlas dalam
beribadah kepada Allah SWT. Imam Syafi’i menjelaskan jika para ulama itu bukanlah wali-wali Allah
maka tidak ada wali Allah di muka bumi ini.

‘Ikrimah seorang tabi’in mengatakan, “janganlah kamu menyakiti seorang ulama karena barangsiapa
menyakiti seorang ulama berarti dia telah menyakiti Rasulullah SAW.” Hal itu tentu karena
kedudukan ulama sebagai pewaris ilmu para nabi untuk disampaikan kepada umat hingga hari
kiamat nanti.

Bahkan ada suatu ungkapan yang masyhur dari seorang ulama terkenal Ibnu ‘Asakir, “Ketahuilah,
bahwa daging–daging ulama itu beracun, dan sudah diketahui akan kebiasaan Allah dalam
membongkar tirai orang-orang yang meremehkan atau merendahkan mereka, dan sesungguhnya
barang siapa yang melepaskan lidahnya untuk mencela ulama maka Allah akan mengujinya dengan
kematian hati sebelum ia mati.

Ulama lain, yaitu al-Hasan bin dzakwan juga mengatakan, “janganlah kamu menyebutkan kejelekan
ulama karena Allah akan mematikan hatimu”.

Maksudnya jangan sampai kita umat Islam ini menghina, merendahkan atau bahkan mencaci maki
ulama baik yang sekarang mahupun ulama-ulama besar terdahulu yang telah mengajarkan dan
menyampaikan ilmu tentang al-Qur`an dan Sunnah Nabi SAW. kepada kita.

Tetapi sebagai umat yang mottonya adalah:


ُ ُ َ ُ َ َ ُ ُ َ
‫ي كنتم ِإن هانكم ُبر هاتوا قل‬ ‫َص ِاد ِق‬
Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”. (QS. Al-Baqarah
[2]: 111).

Tentu kita harus melihat dulu sifat, akhlak dan keilmuan ulama yang menjadi ikutan kita karena
sebagaimana yang Allah SWT. ajarkan, ulama itu adalah hamba yang paling takut kepada Allah SWT.,
tidak mengajak atau membiarkan orang banyak mengkultuskannya, mengamalkan ilmunya dan tidak
mengharapkan kesenangan duniawi dari ilmunya.
َّ َ َ َّ َ ْ َّ َ َّ ‫َغ ُف ر‬
‫ور َعز ريز اللـه ِإن ۗ ال ُعل َم ُاء ِع َب ِاد ِه ِمن اللـه َيخش ِإن َما‬

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Fathir [35]: 28).
َ َ َ َ َ ُ َ ُ ُ َّ َ َ ْ َ ْ ُ ْ َ َ َّ ُ ُّ َ َّ ُ َ ُ َ َّ ُ ُ ‫ر‬ ِ ُ َّ ‫ُ ُ َ َّ َ َ ُ ُ َ َ ى‬
‫ش كان َما‬ ‫ر‬ ‫ون ِمن ِل ِع َبادا كونوا ِللناس يقول ثم والنبوة والحكم ال ِكتاب اللـه يؤ ِتيه أن ِلب‬
ِ ‫كنتم ِبما ب ِانيير كونوا ولـ ِكن الل ِـه د‬
َ ِ ُ َ َ ْ َ َ ُ ُ ُ ََ ُ
‫اب ت َعل ُمون‬ ‫سونتدر كنتم و ِبما ال ِكت‬

Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian,
lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan
penyembah Allah”. Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani,
karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (QS. Ali
‘Imran [3]: 79).
َ َ َّ ُ َ َ َ ُ ُ َ َ َ َ ُ َ َ َ ‫َ ر‬ َّ َ ُ ُ َ َ َ ُ َ
‫ين أ ُّي َها َيا‬‫﴿ تفعلون ل ما تقولون ِلم آمنوا ال ِذ‬٢﴾ ‫تف َعلون ل َما تقولوا أن الل ِـه ِعند َمقتا ك ُ َي‬

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?
Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS.
Al-Shaf [61]: 3).
َّ َّ ُ ُ َ َ ُ َ َُ
‫ُّمهتدون َوهم اأج رر َيسألكم ل َمن ات ِب ُعوا‬

Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk. (QS. Yasin [36]: 21).

Oleh karena itu kita tidak boleh terlalu fanatik terhadap seorang kiyai atau ustadz sehingga tidak
mau mendengar pengajaran atau fatwa dari ustadz lainnya, tapi kita harus mengikuti pendapat dan
fatwa ulama dengan melihat kedalaman ilmunya, tidak menyalahi al-Qur`an dan Sunnah Nabi SAW.,
sifat dan akhlaknya sesuai dengan kedalaman ilmunya serta tidak mengejar harta dan kesenangan
duniawi dengan ilmunya tersebut. Rasulullah SAW. menjelaskan dalam haditsnya:
َّ َ ْ ََ ُ َّ َ ُ َّ َ َ َّ َ ‫َ َ ر‬ ُّ َ َ َ َ َّ َ ْ َ َ َ ْ
‫اَلل َوجه ِب ِه ُيبتغ ِم َّما ِعل رما ت َعل َم َمن‬
ِ ‫ال ِق َيام ِة يوم الجن ِة عرف ي ِجد لم الدن َيا ِمن ع َرضا ِب ِه ِل ُي ِصيب ِإل يت َعل ُمه ل وجل عز‬

“Barangsiapa yang mempelajari ilmu dari ilmu-ilmu yang (semestinya) dipelajari hanya karena wajah
Allah, namun ia mempelajarinya untuk mendapatkan tujuan keduniaan, maka ia tidak akan mencium
bau surga pada hari kiamat (kelak)”. (HR. Ibnu Majah dan Abu Daud).

Anda mungkin juga menyukai