Laporan Fito Fix
Laporan Fito Fix
FITOKIMIA I
“EKSTRAKSI DAN SKRINING FITOKIMIA AKAR ALANG-ALANG
(Imperata cylindrica. L)”
OLEH:
TRANSFER A 2018
KELOMPOK V
II.1.1 Klasifikasi
Kedudukan taksonomi :
Kingdom : Plantae
Filum : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Cyperales Famili : Poaceae
Genus : Imperata
Species :Imperata cylindrica (L.)
II.1.2 Deskripsi Tanaman
II.3 Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses penyarian zat-zat berkhasiat atau zat-zat
aktif dan bagian tumbuhan obat, hewan dan beberapa jenis ikan termasuk
biota laut. Zat-zat aktif tersebut terdapat di dalam sel, namun sel
tumbuhan dan hewan memiliki perbedaan begitu pula ketebalannya
sehingga diperlukan metode ekstraksi dan pelarut tertentu untuk
mengekstraksinya (Tobo, 2001).
Ekstraksi adalah pemurnian suatu senyawa. Ekstraksi cairan-cairan
merupakan suatu teknik dalam suatu larutan (biasanya dalam air) dibuat
bersentuhan dengan suatu pelarut kedua (biasanya organik), yang pada
dasarnya tidak saling bercampur dan menimbulkan perpindahan satu atau
lebih zat terlarut (solut) ke dalam pelarut kedua itu. Pemisahan itu dapat
dilakukan dengan mengocok-ngocok larutan dalam sebuah corong
pemisah selama beberapa menit (Shevla, 1985).
Ada beberapa metode sederhana yang dapat dilakukan untuk
mengambil komponen berkhasiat ini; diantaranya dengan melakukan
perendaman, mengaliri simplisia dengan pelarut tertentu ataupun yang
lebih umum dengan melakukan perebusan dengan tidak melakukan
proses pendidihan (Makhmud, 2001).
Umumnya zat aktif yang terkandung dalam tumbuhan maupun
hewan lebih mudah tarut dalam petarut organik. Proses terekstraksinya
zat aktif dimulai ketika pelarut organik menembus dinding sel dan masuk
ke dalam rongga set yang mengandung zat aktif, zat aktif akan terlarut
sehingga terjadi perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam
sel dan pelarut organik di luar sel, maka larutan terpekat akan berdifusi ke
luar sel, dan proses ini akan berulang terus sampai terjadi keseimbangan
antara konsentrasi zat aktif di dalam dan di luar sel (Tobo, 2001).
II.3.1 Proses Ekstrak bahan alam
1. Pemilihan pelarut (Dirjen POM, 1992)
Dalam memilih pelarut yang akan dipakai harus diperhatikan sifat
kandungan kimia (metabolit sekunder) yang akan diekstraksi. Sifat yang
penting adalah sifat kepolaran, dapat dilihat dari gugus polar senyawa
tersebut yaitu gugus OH, COOH. Senyawa polar lebih mudah larut dalam
pelarut polar, dan senyawa non polar akan lebih mudah larut dalam
pelarut non polar. Derajat kepolaran tergantung kepada ketetapan
dielektrik, makin besar tetapan dielektrik makin polar pelarut tersebut
Syarat-syarat pelarut adalah sebagai berikut (Ditjen POM, 1992):
a) Kapasitas besar
b) Selektif
c) Volabilitas cukup rendah (kemudahan menguap/titik didihnya cukup
rendah) Cara memperoleh penguapannya adalah dengan cara
penguapan diatas penangas air dengan wadah lebar pada
temperature 60oC, destilasi, dan penyulingan vakum.
d) Harus dapat diregenerasi
e) Relative tidak mahal
f) Non toksik, non korosif, tidak memberikan kontaminasi serius dalam
keadaan uap
g) Viskositas cukup rendah
2. Pemilihan metode ekstraksi
Pemilihan metode ekstraksi tergantung bahan yang digunakan, bahan
yang mengandung mucilago dan bersifat mengembang kuat hanya boleh
dengancara maserasi. sedangkan kulit dan akar sebaiknya di perkolasi.
untuk bahan yang tahan panas sebaiknya diekstrasi dengan
cara refluks sedangkan simplisia yang mudah rusak karna pemanasan
dapat diekstrasi dengan metode soxhlet (Agoes, 2007).
Hal-hal yang dipertimbangkan dalam pemilihan metode ekstraksi (Agoes,
2007):
a) Bentuk/tekstur bahan yang digunakan
b) Kandungan air dari bahan yang diekstrasi
c) Jenis senyawa yang akan diekstraksi
d) Sifat senyawa yang akan diekstraksi
3. Pembagian Jenis Ekstraksi
a) Ekstraksi Secara Dingin
Proses ektraksi secara dingin pada prinsipnya tidak memerlukan
pemanasan. Hal ini diperuntukkan untuk bahan alam yang
mengandung komponen kimia yang tidak tahan pemanasan dan bahan
alam yang mempunyai tekstur yang lunak. Yang termasuk ekstraksi
secara dingin adalah (Ditjen POM, 1986):
Metode Maserasi
Metode maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana yang
dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan
penyari selama beberapa hari pada temperatur kamar dan terlindung
dari cahaya (Ditjen POM, 1986).Metode ini digunakan untuk menyari
simplisia yang mengandung komponen kimia yang mudah larut dalam
cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang
seperti benzoin, stiraks dan lilin. Penggunaan metode ini misalnya
pada sampel yang berupa daun, contohnya pada penggunaan pelarut
eter atau aseton untuk melarutkan lemak/lipid (Ditjen POM, 1986).
Maserasi umumnya dilakukan dengan cara: memasukkan simplisia
yang sudah diserbukkan dengan derajat halus tertentu sebanyak 10
bagian dalam bejana maserasi yang dilengkapi pengaduk mekanik,
kemudian ditambahkan 75 bagian cairan penyari ditutup dan dibiarkan
selama 5 hari pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya
sambil berulang-ulang diaduk. Setelah 5 hari, cairan penyari disaring
ke dalam wadah penampung, kemudian ampasnya diperas dan
ditambah cairan penyari lagi secukupnya dan diaduk kemudian
disaring lagi sehingga diperoleh sari 100 bagian. Sari yang diperoleh
ditutup dan disimpan pada tempat yang terlindung dari cahaya selama
2 hari, endapan yang terbentuk dipisahkan dan filtratnya dipekatkan
(Ditjen POM, 1986).
Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara
pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah
diusahakan. Selain itu, kerusakan pada komponen kimia sangat
minimal. Adapun kerugian cara maserasi ini adalah pengerjaannya
lama dan penyariannya kurang sempurna (Ditjen POM, 1986).
Maserasi dapat dilakukan dengan modifikasi, misalnya:
a. Digesti Digesti adalah cara maserasi yang mengandung
pemanasan lemah, yaitu pada suhu 40 – 50◦C. Cara maserasi ini
hanya digunakan untuk simplisia yang zat aktifnya tahan terhadap
pemanasan.
b. Maserasi dengan menggunakan mesin pengaduk Penggunaan
mesin pengaduk yang berputar terus menerus, waktu proses
maserasi dapat dipersingkat menjadi 6 sampai 24 jam.
c. Remaserasi Cairan penyari dibagi 2 Seluruh serbuk simplisia
dimaserasi dengan cairan penyari pertama, sesudah dienap
tuangkan dan diperas, ampas dimaserasi lagi dengan cairan
penyari yang kedua.
d. Maserasi melingkar Penyarian yang dilakukan dengan cairan
penyari yang selalu bergerak dan menyebar sehingga kejenuhan
cairan penyari dapat merata.
Metode Perkolasi
Perkolasi adalah cara penyarian dengan mengalirkanpenyari
melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Prinsip ekstraksi dengan
perkolasi adalah serbuk simplisia ditempatkan dalam suatu bejana
silinder, yang bagian bawahnya diberi sekat berpori, cairan penyari
dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, cairan penyari
akan melarutkan zat aktif dalam sel-sel simplisia yang dilalui sampel
dalam keadaan jenuh. Gerakan ke bawah disebabkan oleh kekuatan
gaya beratnya sendiri dan tekanan penyari dari cairan di atasnya,
dikurangi dengan daya kapiler yang cenderung untuk menahan
gerakan ke bawah (Ditjen POM, 1986).
Cara perkolasi lebih baik dibandingkan dengan cara maserasi
karena (Ditjen POM, 1986) :
1. Aliran cairan penyari menyebabkan adanya pergantian larutan
yang terjadi dengan larutan yang konsentrasinya lebih rendah
sehingga meningkatkan derajat perbedaan konsentrasi.
2. Ruangan diantara butir – butir serbuk simplisia membentuk
saluran tempat mengalir cairan penyari. Karena kecilnya
saluran kapiler tersebut, maka kecepatan pelarut cukup untuk
mengurangi lapisan batas, sehingga dapat meningkatkan
perbedaan konsentrasi.
Adapun kerugian dari cara perkolasi ini adalah serbuk kina
yang mengadung sejumlah besar zat aktif yang larut, tidak baik bila
diperkolasi dengan alat perkolasi yang sempit, sebab perkolat akan
segera menjadi pekat dan berhenti mengalir (Ditjen POM, 1986).
Kekuatan yang berperan pada perkolasi antara lain: gaya berat,
kekentalan, daya larut, tegangan permukaan, difusi, osmosa, adesi,
daya kapiler dan daya geseran (friksi) (Ditjen POM, 1986).
Alat yang digunakan untuk perkolasi disebut perkolator, cairan
yang digunakan untuk menyari disebut cairan penyari atau
menstrum, larutan zat aktif yang keluar dari perkolator disebut sari
atau perkolat, sedangkan sisa setelah dilakukannya penyarian
disebut ampas atau sisa perkolasi (Ditjen POM, 1986).
b) Ekstraksi Secara Panas
Ekstraksi secara panas dilakukan untuk
mengekstraksi komponen kimia yang tahan terhadap pemanasan
seperti glikosida, saponin dan minyak-minyak menguap yang
mempunyai titik didih yang tinggi, selain itu pemanasan juga
diperuntukkan untuk membuka pori-pori sel simplisia sehingga pelarut
organik mudah masuk ke dalam sel untuk melarutkan komponen kimia.
Metode ekstraksi yang termasuk cara panas yaitu (Tobo, 2001).
Metode Soxhletasi
Soxhletasi merupakan penyarian simplisia secara
berkesinambungan, cairan penyari dipanaskan sehingga menguap,
uap cairan penyari terkondensasi menjadi molekul-molekul air oleh
pendingin balik dan turun menyari simplisia dalam klongsong dan
selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah melewati
pipa sifon. Proses ini berlangsung hingga penyarian zat aktif sempurna
yang ditandai dengan beningnya cairan penyari yang melalui pipa sifon
atau jika diidentifikasi dengan kromatografi lapis tipis tidak memberikan
noda lagi. (Ditjen POM, 1986).
Metode soxhletasi bila dilihat secara keseluruhan termasuk cara
panas, karena pelarut atau cairan penyarinya dipanaskan agar dapat
menguap melalui pipa samping dan masuk ke dalam kondensor,
walaupun pemanasan yang dilakukan tidak langsung tapi hanya
menggunakan suatu alat yang bersifat konduktor sebagai penghantar
panas. Namun, proses ekstraksinya secara dingin karena pelarut yang
masuk ke dalam kondensor didinginkan terlebih dahulu sebelum turun
ke dalam tabung yang berisi simplisia yang akan dibasahi atau di sari.
Hal tersebutlah yang mendasari sehingga metode soxhlet digolongkan
dalam cara dingin. Pendinginan pelarut atau cairan penyari sebelum
turun ke dalam tabung yang berisi simplisia dilakukan karena simplisia
yang disari tidak tahan terhadap pemanasan. (Ditjen POM, 1986).
Sampel atau bahan yang akan diekstraksi terlebih dahulu
diserbukkan dan ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam klongsong
yang telah dilapisi dengan kertas saring sedemikian rupa (tinggi
sampel dalam klongsong tidak boleh melebihi pipa sifon), karena dapat
mempengaruhi kesetimbangan pergerakan eluen yang telah terelusi
keluar dari pipa sifon, dimana jika tinggi sampel melebihi kertas saring
(pipa sifon), maka eluen hasil elusi akan keluar melalui pipa aliran uap
yang berada diatas sampel, bukan keluar melalui pipa sifon .
Selanjutnya labu alas bulat diisi dengan cairan penyari yang sesuai
kemudian ditempatkan di atas waterbath atau heating mantel dan
diklem dengan kuat kemudian klongsong yang telah diisi sampel
dipasang pada labu alas bulat yang dikuatkan dengan klem dan cairan
penyari ditambahkan untuk membasahkan sampel yang ada dalam
klongsong. Setelah itu kondensor dipasang tegak lurus dan diklem
pada statif dengan kuat. Aliran air dan pemanas dijalankan hingga
terjadi proses ekstraksi dimana pada saat pelarut telah mendidih,
maka uapnya akan melalui pipa samping lalu naik ke kondensor. Di
sini uap akan didinginkan sehingga uap mengembun dan menjadi
tetesan- tetesan cairan yang akan menetes turun ke klongsong dan
membasahi simplisia. Tetesan – tetesan uap air cairan penyari inIIi
akan ditampung di dalam klongsong hingga suatu ketika ekstrak
mencapai ketinggian ujung sifon sehingga pelarut ini akan turun
kembali ke dalam wadah pelarut secara cepat. Proses ini berulang
hingga penyarian yang dilakukan sempurna dalam hal ini, cairan
penyari yang pada awalnya berwarna, di dalam pipa sifon sudah tidak
berwarna lagi atau jika cairan penyari pada awalnya memang tidak
berwarna maka biasanya dilakukan 20-25 kali sirkulasi. Ekstrak yang
diperoleh dikumpulkan dan dipekatkan dengan rotavapor (Ditjen POM,
1986).
Adapun keuntungan dari proses soxhletasi ini adalah cara ini lebih
menguntungkan karena uap panas tidak melalui serbuk simplisia,
tetapi melalui pipa samping. Kerugiannya adalah jumlah ekstrak yang
diperoleh lebih sedikit dibandingkan dengan metode maserasi (Ditjen
POM, 1986).
Metode Refluks
Metode refluks adalah termasuk metode berkesinambungan
dimana cairan penyari secara kontinyu menyari komponen kimia dalam
simplisia cairan penyari dipanaskan sehingga menguap dan uap
tersebut dikondensasikan oleh pendingin balik, sehingga mengalami
kondensasi menjadi molekul-molekul cairan dan jatuh kembali ke labu
alas bulat sambil menyari simplisia. Proses ini berlangsung secara
berkesinambungan dan biasanya dilakukan 3 kali dalam waktu 4 jam
(Ditjen POM, 1986).
Simplisia yang biasa diekstraksi adalah simplisia yang mempunyai
komponen kimia yang tahan terhadap pemanasan dan mempunyai
tekstur yang keras seperti akar, batang, buah, biji dan herba (Ditjen
POM, 1986).Serbuk simplisia atau bahan yang akan diekstraksi secara
refluks ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam labu alas bulat dan
ditambahkan pelarut organik misalnya methanol sampai serbuk
simplisia terendam kurang lebih 2 cm di atas permukaaan simplisia
atau 2/3 dari volume labu, kemudian labu alas bulat dipasang kuat
pada statif pada waterbath atau heating mantel, lalu kondendor
dipasang pada labu alas bulat yang dikuatkan dengan klem dan statif.
Aliran air dan pemanas (water bath) dijalankan sesuai dengan suhu
pelarut yang digunakan. Setelah 4 jam dilakukan penyarian. Filtratnya
ditampung pada wadah penampung dan ampasnya ditambah lagi
pelarut dan dikerjakan seperti semula, ekstraksi dilakukan selama 3-4
jam. Filtrat yang diperoleh dikumpulkan dan dipekatkan dengan
rotavapor, kemudian dilakukan pengujian selanjutnya (Ditjen POM,
1986).
Keuntungan dari metode ini adalah (Ditjen POM, 1986):
a) Dapat mencegah kehilangan pelarut oleh penguapan selama
proses pemanasan jika digunakan pelarut yang mudah menguap
atau dilakukan ekstraksi jangka panjang.
b) Dapat digunakan untuk ekstraksi sampel yang tidak mudah rusak
dengan adanya pemanasan.
Adapun kerugian dari metode ini adalah prosesnya sangat lama
dan diperlukan alat – alat yang tahan terhadap pemanasan (Ditjen
POM, 1986).
Metode Destilasi Uap Air
Metode destilasi uap air diperuntukkan untuk menyari simplisia
yang mengandung minyak menguap atau mengandung komponen
kimia yang mempunyai titik didih tinggi pada tekanan udara normal,
misalnya pada penyarian minyak atsiri yang terkandung dalam
tanaman Sereh (Cymbopogon nardus). Pada metode ini uap air
digunakan untuk menyari simplisia dengan adanya pemanasan kecil
uap air tersebut menguap kembali bersama minyak menguap dan
dikondensasikan oleh kondensor sehingga terbentuk molekul-molekul
air yang menetes ke dalam corong pisah penampung yang telah diisi
air. Penyulingan dilakukan hingga sempurna (Ditjen POM, 1986).
Sampel yang akan diekstraksi direndam dalam gelas kimia selama
2 jam setelah itu dimasukkan ke dalam bejana B, bejana A diisi air dan
pipa-pipa penyambung serta kondensor dan penampung corong pisah
dipasang dengan kuat. Api Bunsen bejana A dinyalakan sehingga
airnya mendidih dan diperoleh uap air yang selanjutnya masuk ke
dalam bejana B melalui pipa penghubung untuk menyari sampel
dengan adanya bantuan api kecil pada bejana B, minyak menguap
yang telah tersari selanjutnya menguap menuju kondensor, karena
adanya pendinginan balik uap dari minyak menguap ini, maka uap air
yang terbentuk menetes ke dalam corong pisah penampung yang telah
berisi air (Ditjen POM, 1986).
Prinsip fisik destilasi uap yaitu jika dua cairan tidak bercampur
digabungkan, tiap cairan bertindak seolah – olah pelarut itu hanya
sendiri, dan menggunakan tekanan uap. Tekanan uap total dari
campuran yang mendidih sama dengan jumlah tekanan uap parsial,
yaitu tekanan yang digunakan oleh komponen tunggal, karena
pendidihan yang dimaksud yaitu tekanan uap total sama dengan
tekanan atmosfer, titik didih dicapai pada temperatur yang lebih rendah
daripada jika tiap – tiap cairan berada dalam keadaan murni (Ditjen
POM, 1986).
Keuntungan dari destilasi uap ini adalah titik didih dicapai pada
temperatur yang lebih rendah daripada jika tiap– tiap cairan berada
dalam keadaan murni. Selain itu, kerusakan zat aktif pada destilasi
langsung dapat diatasi pada destilasi uap ini. Kerugiannya adalah
diperlukannya alat yang lebih kompleks dan pengetahuan yang lebih
banyak sebelum melakukan destilasi uap ini (Ditjen POM : 1986).
Metode Infudasi
Infudasi adalah proses penyarian yang umumnya digunakan untuk
menyari zat aktif yang larut dalam air dari bahan nabati, yang dilakukan
dengan cara membasahi dengan air. Biasanya dua kali bobot bahan,
kemudian ditambah dengan air secukupnya dan dipanaskan dalam
tangas air selama 15 menit dengan suhu 90 – 980 C, sambil sekali-kali
diaduk. Untuk mencukupi kekurangan air, ditambahkan melalui
ampasnya. Umumnya 100 bagian sari diperlukan 10 bagian bahan
( Depkes, 1986).
II.4 Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia merupakan tahap pendahuluan dalam satu
penelitihan fitokimia yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang
golongan senyawa yang terkadang dalam tanaman yang sedang diteliti.
Metode skirining fitokimia dilakukan dengan melihat reaksi pengujian
warna degan menggunakan suatu pereaksi warna. Hal penting yang
berperan penting dalam skring fitokimia adalah pemilihan pelarut dan
metode ekstraksi (Kristianti dkk, 2008).
Pendekatan fitokimia meliputi analisis kualitatif kandungan kimia
dalam tumbuhan atau bagian tumbuhan (akar, batang, daun, bunga, buah
dll). Dengan tujuan pendekatan skring fitokimia dalam untuk mensurvei
tumbuhan untuk mendapatkan kandungan bioaktif atau kandungan yang
berguna untuk pengobatan (Robinso,1995).
Adapun metode yang digunakan atau dipilih untuk melakukan
skrining fitokimia harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain
(Robinson,1995).
1) Sederhana
2) Cepat
3) Dapat dilakukan dengan peralatan minimal
4) Selektif terhadap golongan senyawa yang dipelajari
5) Bersifat semikuantitatif yaitu memiliki batas kepekaan untuk senyawa
yang dipelajari
6) Dapat memberikan keterangan tambahan ada/tidaknya senyawa dari
golongan yang dipelajari
II.6 KLT
Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah metode kromatografi cair yang
paling sederhana. KLT merupakan teknik kromatografi yang berdasar
pada prinsip adsorbsi, bedanya dengan kromatografi kolom yaitu
konfigurasi KLT yang berbentuk planar (Plate). Fase diam berupa padatan
yang diaplikasikan berbentuk datar pada permukaan kaca atau alumunium
sebagai penyangganya sedangkan fase gerak berupa zat cair seperti
yang digunakan dalam kromatografi kolom dan kromatografi kertas
(Rubiyanto, 2017).
a. Fase Diam
Fase diam merupakan lapisan tipis penyerapan yang seragam atau
media terpilih digunakan sebagai media pembawa. Penjerap dilekatkan
pada penyangga sebagai pelapis untuk mendapatkan lapisan yang stabil
dengan ukuran yang sesuai. Penyangga yang sering digunakan terbuat
dari bahan gelas, plastic dan alumunium, sedangkan penjerap yang paling
sering digunakan anatara lain silica gel, alumina, dan selulosa
(Touchstone dan Dobbins, 1983).
Lapisan tipis (Plat silica Gel F254) yang sering digunakan
mengandung indikator flourosensi yang ditambahkan untuk membantu
penampakkan bercak tak warna pada plat yang telah dikembangkan.
Indikator fluorosensi adalah senyawa yang memancarkan sinar (lampu
UV). Jika senyawa pada bercak yang akan ditampakkan mengandung
ikatan rangkap terkonjugasu atau cincin aromatik berbagai jenis, sinar UV
aka tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi
kemdian kemabali ke keadaan semula sambal melepaskan energi (Gritter
et al., 1991)
b. Fase Gerak
Baik fase diam dan fase gerak hanya digunakan bersama-sama
dalam KLT ketika proses kromatografi berlangsung melalui kesetimbangan
yang melibatkan lapisan tipis adsorben, fase pelarut dan fase uap pelarut.
Dengan demikian, pelarut tidak selalu ekuivalen denagn fase gerak
karena sering komposisi keduanya berbeda sepanjang jalur plat meskipun
digunaan fase gerak yang sama dengan pelarut (Rubiyanto, 2017).
Sifat-sifat ideal pelarut yang digunakan dalam KLT antara lain
(Rubiyanto, 2017) :
1. Tersedian dalam bentuk yang sangat murni dengan harga yang
memadai
2. Tidak bereaksi dengan komponen dalam sampel maupun material
fase diam
3. Memiliki viskositas dan tegangan permukaan yang sesuai
4. Memiliki titik didih yang rendah untuk memudahkan pengeringan
setelah pengembangan
5. Mempunyai kelarutan yang ideal pada berbagai campuran solvent
6. Tidak toksik dan mudah pembuangan limbahnya.
c. Penotolan Sampel
Larutan sampel yang akan diaplikasikan hendaknya berisi antara
0,1– hinggan 1 % sebanyak 1 hingga 20 uL. Pelarut yang sangat polar
atau tidak menguap sebaiknya tidak digunakan pada KLT untuk
melarutkan sampel (Stahl, 1985).
d. Pengembangan
Pengembangan ialah proses pemisahan campuran cuplikat akibat
pelarut pengembang merambat naik dalam lapisan. Setelah sampel
ditotolkan pada salah satu ujung lempeng, ujung tersebut dibenamkan
dalam fase gerak dengan sampel di atas cairan. Gaya kapiler akan
menyebabkan fase gerak bergerak melewati media dalam proses yang
disebut pengembangan. Setelah fase gerak telah hampir mencapai ujung
lainnya dari lempeng, maka lempeng dipindahkan dan dikeringkan
sebelum prosedur pendeteksian. Pengembangan lapis tipis biasanya
dilakukan dengan membiarkan fase gerak bermigrasi pada lempeng yang
mana berat berada pada bejana dengan ukuran sesuai yang telah
dijenuhkan (Touchsone dan Dobbins, 1983).
e. Metode Deteksi
Tidak setiap proses pengembangan dengan serta merta
menghasilkan noda-noda yang langsung terlihat. Adalalanya bantuan
pereaksi kimia atau cara-cara tambahan yang diperlukan untuk dapat
mengamati profil pemisahan yang dihasilkan melalui KLT (Rubiyanto,
2017).
air mendidih
d. Larutan yang jadi disaring dengan kertas saring. Bila larutan yang
dihasilkan berwarna kuning sampai merah menunjukkan adanya
senyawa yang mengandung kromofor. Bila larutan ditambah dengan
KOH warna menjadi lebih intensif
2. Uji alkaloid
a. Ekstrak kental ditimbang 5 mg dimasukkan ke dalam tabung reaksi
b. Ditambahkan dengan etanol 70%, kemudian ditambah 2 mL HCl 2N
dan dipanaskan selama 2-3 menit, dinginkan
c. Dibagi menjadi 3 bagian dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi
Larutan I kemudian ditambahkan dengan 3 tetes pereaksi Mayer,
reaksi positif ditandai dengan terbentuknya endapan putih (putih
kekuningan).
Larutan II kemudian ditambahkan dengan 3 tetes pereaksi
dragendorf, reaksi positif ditandai dengan terbentuknya endapan
jingga (merah jingga).
Larutan III kemudian ditambahkan dengan 3 tetes pereaksi wagner,
reaksi positif ditandai dengan terbentuknya endapan coklat.
3. Uji saponin
a. Diambil ekstrak 5 mg kemudian dimasukkan ke dalam tabung
BAB IV
PEMBAHASAN
IV.1 Penyiapan Sampel Dan Ekstraksi
Alang-alang (Imperata cylindrica L.) Sudah sejak lama dikenal
sebagai tanaman uang banyak sekali memiliki manfaat. Beberapa daerah
mengenal alang-alang sebagai ilalang atau padang. Selain ilalang
ternyata akar alang-alang juga memiliki manfaat untuk kesehatan seperti
penurun panas, peluruh kencing (diuretik), menghentikan pendarahan,
menghilangkan haus, untuk meridiam paru-paru, lambung dan usus
( Arief, 2013)
Pada praktikum ini terdapat beberapa percobaan yang dilakukan
pada sampel akar alang-alang diantaranya pembuatan simplisia,
pembuatan ekstrak, pengujian skrining fitokimia, partisi ekstrak dan
pengujian kromatografi lapis tipis (KLT).
Pada percobaan pembuatan simplisia akar alang-alang terdapat
beberapa metode pembuatan yaitu :
1. Pengumpulan sampel alang-alang, pada proses pengumpulan sampel
waktu panen menjadi salah satu faktor paling berperan dalam tahap ini,
pengambilan dilakukan pada pagi hari pada saat tumbuhan melakukan
proses fotosintesis, tumbuhan diambil secara manual, diambil bagian
akar dari tanaman yang berada dibawah permukaan tanah yang diambil
di daerah Makassar.
2. Sortasi Basa, dilakukan untuk memisahkan kotoranatau bahan-bahan
asing lainnya dari tanaman alang-alang dengan cara membuang
bagian-bagian yang tidak perlu sebelum dilakukan pengeringan
sehinnga didapatkan herba yang layak untuk digunakan.
3. Pencucian
Dilakukan untuk menghilangkan tanaman dari pengotor-pengotor.
Pencucian akar alang-alang dilakukan dibawa air yang mengalir untuk
menghilangkan pengotor-pengotor pengganggudari sampel seperti
tanah atau kotoran yang menempel pada sampel.
4. Perajangan
Dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan. Bagian akar
alang-alang dipotong kecil-kecil sekitar 2 atau 3 cm dengan
menggunakan pisau atau gunting dengan ukuran yang seragam.
5. Pengeringan
Dilakukan dilakukan dibawah sinar matahari langsung dengan bagian
atas sampel ditutup dengan kain hitam atau dengan menggunakan
oven selama kurang lebih 2 sampai 3 hari, agar di dapatkan simplisia
yang tidak mudah rusak dan tahan selama penyimpanan.
6. Sortasi kering
Dilakukan untuk memisahkan bagian-bagian tanaman yang masih
tertinggal namun tidak digunakan seperti akar-akar kecil dan serabut
kecil pengbungkus akar.
7. Penyimpanan
Dilakukan untuk melindungi simplisia agar tidak mudah rusak dan
merubah mutunya karena adanya faktor cahaya, oksigen, dan reaksi
kimia.
Pada percobaan pembuatan ekstrak akar alang-alang, metode
ekstraksi yang digunakan adalah ekstrasi secara dingin yaitu dengan
metode maserasi. Metode ini dilakukan dengan merendam serbuk bahan
dalam larutan penyari. Metode ini memiliki keuntungan karena
peralatannya mudah ditemukan dan pengerjaannya sederhana.
Simpliasia akar dari tanaman alang-alang (Imperata cylindrica L.)
tang sudah dipotong-potong, ditimbang dan diekstraksi secara maserasi
dengan menggunakan pelarut etanol 95%. Etanol digunakan sebagai
pelarut karena bersifat polar, universal dan mudah di dapat. Senyawa
metabolit sekunder yang yang akan diambil pada akar alang-alang bersifat
polar sehingga proses ekstraksi menggunakan pelarut polar. Prinsip
maserasi adalah ekstraksi zat aktif yang dilakukan dengan merendam
serbuk dalam pelarut yang sesuai selama 6 hari pada temperatur kamar
dan terlindung dari cahaya, pelarut akan masuk kedalam sel tanaman
melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan
konsentrasi antara larutan di dalam sel dan di luar sel. Larutan yang
konsentrasinya tinggi akan terdesak dan digantikan oleh pelarut dengan
konsentrasi rendah. Peristiwa tersebut akan berulang sampai terjadi
keseimbangan di dalam dan di luar sel (Ansel, 2012).
IV.2 Skrining Fitokimia
Tanaman mengandung metabolit primer dan metabolit sekunder.
Metabolit primer adalah senyawa pembangunan yang diperlukan untuk
pertumbuhan dan perkembangan tanaman seperti asam amino,
karbohidrat, dan asam lemak ( Hasnani, 2015 ). Sedangkan metabolit
sekunder adalah senyawa fungsi langsung pada fotosintesis,
pertumbuhan, atau respirasi, transport solu, translokasi, sintesis protein,
asimilasi nutrien, diferensiasi, pembentukan karbohidrat, protein dan lipid.
Metabolit sekunder seringkali hanya dijumpai pada satu spesies atau
sekelompok spesies, metabolit sekunder juga merupakan hasil samping
atau intermediet metabolisme primer ( Mastuti, 2016 ). Untuk memastikan
metabolit yang terdapat pada tumbuhan, dilakukan skrining fitokimia.
Skrining fitokimia adalah tahap awal untuk mengidentifikasi kandungan
kimia yang terkandung dalam tumbuhan (krisniati, dkk, 2008). Skrining
fitokimia yang dilakukan uji pendahuluan, alkaloid, tanin, saponin,
flavonoid dan steroid.
Uji pendahuluan
Dilakukan untuk menentukan ada tidaknya gugus kromofor dalam
sampel . gugus kromofor adalah gugus senyawa yang terdiri dari ikatan
ganda terkonjugasi yang mengandung elektron terdelokalisasi. Gugus
kromofor ini merupakan gugus penyusun dalam golongan senyawa
yang akan dianalisis, sehingga sebelumnya dilakukan analisis
pendahuluan ( Krisniati, dkk, 2008 ).
Alkaloid
Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar.
Alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau
lebih atom nitrogen, biasanya dalam golongan, sebagai bagian dan
sistem siklik. Alkaloid memiliki kemampuan sebagai antibakteri.
Mekanisme yang diduga adalah dengan cara mengganggu komponen
penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel
tidak tebentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut
(Rivai, 2012).
Tanin
Tanin merupakan golongan senyawa aktif tumbuhan yang bersifat fenol,
mempunyai rasa sepat dan mempunyai kemampuan menyamak kulit,
tanin memiliki aktivitas antibakteri dengan cara mengkerutkan dinding
sel atau membran sel sehingga mengganggu permeabilitas sel tidak
dapat melakukan aktivitas hidup sehingga pertumbuhan terhambat
bahkan mati (Rivai, 2012).
Saponin
Saponin adalah senyawa glikosida triterpenoida ataupun glikosida
steroida yang merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat sabun
(Rivai, 2012)
Flavanoid
Flavanoid adalah senyawa polar yang umumnya mudah larut pelarut
polar seperti etanol, merupakan golongan terbesar dan senyawa fenol
yang mempunyai sifat efektif yang menghambat pertumbuhan virus,
bakteri, jamur, flavanoid juga bersifat antioksidan (Pratiwi, 2016).
Steroid
Steroid adalah senyawa organik lemak sterol tidak terhidrolisis yang
dapat dihasilkan dari reaksi penurunan dan terpena atau sketalena
(Pratiwi, 2016).
% rendamen fraksi =
( Rizkia. 2015 )
Dari hasil partisi sampel akar alang-alang ( Imperata cylindrica L.)
diperoleh bahwa % rendamen fraksi n-heksan adalah 129,6 % dan %
rendamen fraksi etil asetat adalah 156,8 %.
% rendamen fraksi n-heksan
% rendamen fraksi =
= 129,6 %
% rendamen fraksi etil asetat
% rendamen fraksi =
= 156,8 %
IV. 4 KLT
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adalah salah satu metode
pemisahaan komponen menggunakan fasa diam berupa plat dengan
lapisan bahan adsorben inert. KLT merupakan salah satu jenis
kromatografi analitik. KLT sering digunakan untuk identifikasi awal, karena
banyak keuntungan menggunakan KLT diantaranya adalah sederhana
dan murah. KLT termasuk kromatografi planar, selain kromatografi kertas.
Kromatografi juga merupakan analisis cepat yang memerlukan bahan
sangat sedikit, baik penyerap maupun cuplikannya, Bahan lapis tipis
seperti silika gel adalah senyawa yang tidak bereaksi dengan pereaksi
pereaksi yang lebih reaktif seperti asam sulfat (Fessenden, 200).
Prinsip KLT adalah adsorpsi dan partisi dimana adsorpsi aadaalh
penyerapan pada permukaan, sedangkan partisi adalah penyebaran atau
kemampuan suatu zat yang bada dalam larutan untuk berpisah keedalam
pelarut yang digunakan, Kecepatan gerak senyawa-senyawa keatas pada
lempengan tergantung bagaimana kelarutan senyawa dalam pelarut, hal
ini bergantung pada bagaimana besar atraksin antar moloekul-molekul
senyawa dengan pelarut (Soebagio. 2002).
Adsorben tersebut berperan sebagai fasa diam. Fasa gerak yang
digunakan dalam KLT sering disebut dengan eluen. Pemilihan eluen
didasarkan pada polaritas senyawa dan biasanya merupakan campuran
beberapa cairan yang berbeda polaritas, sehingga didapkan perbandingan
tertentu. Eluen KLT dipilih dengan cara trial and error. Kepolaran eluen
sangat berpengaruh terhadap Rf (faktor retensi) yang diperoleh (Gandjar,
Ibnu Gholib dan Abdul Rohman. 2007).
Nilai Rf sangat karakteristik untuk senyawa tertentu pada eluen
tertentu. Hal tersebut dapat diguanakan untuk mengidentifikasi adanya
perbedaan senyawa dalam sampel. Senyawa yang mempunyai Rf lebih
besar berarti mempunyai kepolaran yang rendah, begitu juga sebaliknya.
Hal tersebut dikarenakan fasa diam bersifat polar. Senayawa yang lebih
polar akan tertahan kuat pada fasa diam, sehingga mengahsilkan nilai Rf
yang rendah. Rf KLT yang bagus berkisar antara 0,2-0,8. Jika Rf terlalu
tinggi, yang harus dilakukan adalah mengurangi kepolaran eluen, dan
sebaliknya diperoleh (Gandjar, Ibnu Gholib dan Abdul Rohman. 2007).
Pada praktikum ini pada sampel hasil fraksi akar alang-alang
(Imperta Cylindrica L) yaitu hasil fraksi etil asetat, n-heksan dan air.
Peratama-tama diaktifkan terlebih dahulu agar proses elusi lempeng dapat
menyerap dan beriaktan dengan sampel yang dilakukan pada suhu 110 oC
selama 30 menit (Rohman Abdul. 2007. Kimia Farmasi Analisis”. Pustaka
pelajar; Yogyakarta). Eluen yang digunakan yaitu metanol : n-heksan
(3:7)sebanyak 10 mL. Setelah itu eluen yang digunakan dijenuhkan.
Alasan penjenuhan chamber sebelum digunakan yaitu untuk
menghilangkan uap air diadalam chamber agar nantinya tidak
mempengaruhi perambatan noda pada lempeng yang mengisi fasa
penjerap yang akan menghalangi laju eluen (Rohman Abdul. 2007).
Tahap selanjutnya adalah penotolan sampel fraksi akarv alang-alang
etil asetat dan n-heksan dimana pada penotolan sampel jangan terlalu
pekat agar proses pemisahan tidak akan sulit kemudian lempeng yang
telah ditotolkan dimasukkan dalam eluen yang telah jenuh dan diamati
pergerakan nodanya. Setelah itu lempeng diamati pada lampu UV 254 nm
dan 366 nm dan ditentukan nilai Rf nya. Alasan digunakan lampu UV 254
nm ialah untuk pengamaatan pada lempeng atau diaktakan untuk melihat
fluoresensi pada lempeng. Mekanisme kerjanya ialah terjadinya
fluoresensi pada lempeng ini dikarenakan cahaya yang tampak
merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut.
Sehingga ketika elektron tereksitasi yakni perubahan suatu energi rendah
ketingkat energi tinggi ini menyebabkan energi yang dihasilkan akan
terlepas. Alasan dgnakan UV 366 nm ialah untuk menampakkan nodanya
atau dikatakan untuk melihat fluoresensi pada noda. Mekanisme kerjanya
ialah terjadinya fluoresensi pada noda atau penampakan pada noda, ini
disebabkan karena daya interaksi antara lampu UV 366 nm dengan gugus
kromofor yang terdapat pada sampel merupakan emisi cahaya yang
dipancarkan oleh komponen tersebut. Sehingga ketika elektron tereksitasi
yakni perubahan suatu energi rendah ketingkat energi tinggi ini dapat
menyebabkan energi yang dihasilkan akan terlepas.
Berdasarkan hasil praktikum didapatkan bahwa nilai Rf Fraksi n-
heksan yaitu 0,54 dan nilai Rf etil asetat yaitu 0,54. Diamana nilai Rf yang
baik adalah 0,2 -0,8. Adapun faktor-faktor kesalahan yang mungkin terjadi
yakni, rusaknya lempeng KLT, tidak jenuhnya larutan eluen, tidak
bersihnya alat yang digunakan.
BAB V
PENUTUP
V.1 kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan akar alang-alang (Imperata Cylindica.
L) di ekstraksi dengan metode maserasi dengan pelarut 1000ml dengan
berat simplisia 600g. hasil rendemen 149,21 g, pada uji skrining fitokimia
di dapat kan hasil bahwa sampel akar alang-alang (Imperata Cylindica. L)
mengandung senyawa metabolit sekunder yaitu gugus kromofor dan
Alkaloid, pada proses partisi menggunakan metode cair-cair dengan dua
pelarut yaitu N-Heksan dan etil asetat, dari hasil partisi tersebut di peroleh
% rendeman fraksi N-Heksan adalah 129,6% dan fraksi Etil asetat
156,8%, dan dianalisis dengan KLT menggunakan eluen N-heksan dan
methanol (7:3) dengan nilai Rf N-heksan yaitu 0,54 dan Rf etil asetat 0,54.
DAFTAR PUSTAKA
Alimin, M. Muh Yunus dan Irfan. 2007. “Kimia Analitik”. UIN Makassar :
Makassar.
Ansel C. Howard. 2012. “Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi ke 6”.
Penertbit Universitas Indonesi. Jakarta