Anda di halaman 1dari 18

PEMIKIRAN HADIS DAUD RASYID

Oleh :
Marni
Program Magister, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Program Studi Aqidah dan
Filsafat Islam, Konsentrasi Studi Al-Qur‟an dan Hadits, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Jl.Laksda Adisucipto, Papringan, Caturtunggal, Depok, Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta, 55281.

Abstrak

Fenomena Sunnah di Indonesia sangatlah beragam, banyak pemahaman terhadap sunnah


yang tidak sesuai dengan konsep sunnah itu sendiri. Hal ini banyak dipengaruhi oleh berbagai
macam pemahaman dan pemikiran yang beredar dalam lingkungan akademisi ataupun ranah
masyarakat. Salah satu yang berusaha mengembalikan sunnah itu kembali adalah Daud
Rasyid. Seorang pakar hadis yang lahir di sumatera utara Indonesia. Pemikiran Daud Rasyid
terhadap kajian tentang Sunnah dalam konteks budaya Indonesia yang mengungkap tentang
fenomena ingkar sunnah di tanah air telah memetakan beberapa kelompok ingkar sunnah di
Indonesia. Kebebasan berpikir menjadikan sebagian intelektual menjadi kemajon dalam
berpikir. Meskipun kerancuan berpikir tentang Sunnah yang terjadi di lingkup akademisi
belum sepenuhnya dikatakan sebagai ingkar secara hakiki. Namun, sebagian kalangan
menganggap bahwa fenomena ini ternyata juga cukup meresahkan masyarakat Islam di
Indonesia. Maka Daud Rasyid hadir memberikan kontribusi terhadap pemetaan kelompok
ingkar sunnah dan kontekstualisasi hadis.
Kata Kunci: Daud Rasyid, Pemikiran Hadis, Ingkar Sunnah.

PENDAHULUAN

Orientalisme tidak luput kajiannya terhadap Islam. Mereka tidak hanya menyerang
kajian tentang al-Qur‟an tetapi juga tentang hadis-hadis Nabi Saw. Kajiannya yang tidak
terbatas terhadap ini, mencoba untuk menghadirkan keraguan terhadap Islam, terutama
mereka mengkaji al-Qur‟an. Akan tetapi, serangan mereka terhadap al-Qur‟an seringkali
menuai ketidakberhasilan, karena selain kemukjizatan al-Qur‟an itu sendiri juga tak bisa
dicari sisi kelemahannya. Oleh karena itu, para Orientalis mencoba menyerang lewat kajian
hadis-hadis Nabi saw. Dalam hal ini kajian hadis juga memiliki sisi pentingnya yang terletak
pada kedudukan hadis sebagai salah satu sumber otoritatif ajaran Islam selain al-Qur‟an.1
sehingga mereka berupaya untuk melakukan kajian terhadap hadis Nabi. Yang mana kajian ini
dapat membuat sebagian orang untuk meragukan atau bahkan tidak mengakui

1
Dzikri Nirwana, “Diskursus Studi Hadis dalam Wacana Islam Kontemporer”, Al-Banjary, Vol. 13,
No. 2, Juli-Desember 2016, hlm. 179.
1
keotentikannya. Hal ini sungguh sangat meresahkan seorang pemikir-pemikir Islam, terutama
pemikir bidang hadis. Sebab banyak di dalam hadis –hadis Nabi Saw yang menerangkan
syariat-syariat Islam seperti tata cara sholat, haji dan lain sebagainya. 2

Ada banyak aspek dalam Islam yang menjadi sasaran kajian para orientalis. Mulai dari al-
Qur‟an sebagai kita suci Islam, hadis Nabi, kehidupan Nabi sendiri, hukum-hukum Islam, dan
sebagainya.3 Dari sekian banyak bidang kajian yang menjadi garapan para orientalis, salah
satunya adalah hadis Nabi ini. Kelompok mayoritas orientalis kebanyakan memandang hadis
secara negatif dan ini berakibat pada labilitas fondasi otentisitas dan kebenaran hadis di mata
meraka, sehingga mereka tidak akan mengakui kebenaran hadis sebagai sesuatu yang berasal
dari Nabi, termasuk sebagai sumber dan dasar (hujjah) ajaran Islam yang dapat dipercaya
kebenarannya. 4
. Oleh sebab itu, Pemahaman tentang hadis mulai kian bervariasi, hal ini terlihat dari
permasalahan yang selalu hangat ditengah masyarakat dari dahulu hingga dewasa ini yaitu
permasalahan yang muncul dari pemahaman terhadap suatu hadits yang sesuai dengan
maksud yang dikehendaki Rasulullah saw. Upaya memahami hadispun sangatlah berbeda-
beda. Sehingga melahirkan para ilmuan hadis yang berupaya memahami suatu hadis dengan
perbedaan pemahaman. Ditambah lagi dengan pemikiran orientalis terhadap suatu hadis yang
pemahamannya sangat jauh berbeda dengan pemahaman ilmuan hadits muslim yang
notebenenya menimba ilmu keagamaan di negeri timur.
Pemikiran orientalis bersumber dari pemikiran Barat dalam memahami suatu hadis
yang pemikirannya telah menjamur ditengah-tengah masyarakat. Sehingga di masyarakat
selalu terjadi kesenjangan yang berakhir permusuhan antara sesama muslim. Dan hal ini juga
telah dialami oleh Daud Rasyid. Yang mana ia dimusuhi oleh sesama muslim sendiri yang
pemahaman keagamaan mereka telah dipengaruhi oleh pemikiran liberal Barat. Berbagai cara
diusahakan mereka untuk menghalangi langkah keilmuan keagamaan yang telah ia dapatkan
dari negeri Timur Tengah. Oleh sebab itu penulis mencoba menulis tentang pemikiran hadis
Daud Rasyid Sitorus yang dianggap salah dimata para intelektual barat dan intelektual
muslim yang berkiblat kebarat.

2
Daud Rasyid, Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan (Bandung: Syaamil, 2006), hlm.
145.
3
Arina Hakan, “Oreintalisme dan Islam dalam Pergulatan Sejarah”. Jurnal mutawatir. Vol. I, No. 2,
Juli-Desember 2011, hlm. 161.
4
Idri, “Perspektif Orientalis tentang Hadis Nabi: Telaah Kritis dan Implikasinya terhadap Eksisrensi
Kehujjahannya”. Al-Tahrir. Vol 11, No. 1, Mei 2011, hlm. 205.
2
PEMBAHASAN

A. BIOGRAFI DAUD RASYID


Nama lengkapnya adalah DR. Daud Rasyid Sitorus, Lc., MA. Ia lahir di
Tanjung Balai, sebuah kota kecil di pesisir pantai Sumatera Utara pada hari Senin
tanggal 3 Desember 1962 Masehi bertepatan dengan tanggal 5 Rajab 1382 Hijriyah. 5
Daud Rasyid adalah putera tunggal alm. Bapak Harun al-Rasyid dan alm. Ibunda
Hajjah Nurul Huda, seorang pendidik dan ustadzah di kota itu.
Selama masa kecilnya dihabiskan untuk belajar pagi-sore di sekolah formal.
Pagi belajar di sekolah umum dan sore belajar di Madrasah. Malam hari dan hari libur
diisi dengan belajar non-formal kepada para syaikh dan Ustadz di daerahnya. Tahun
1980, setelah tamat SMA dan Aliyah, ia meninggalkan kota kelahirannya itu, pergi
merantau ke Medan untuk belajar di pendidikan tinggi di IAIN Medan dan di USU.
Namun itu hanya tiga tahun dilaluinya. Baru saja menyelesaikan B.A dari IAIN,
dibukalah kesempatan untuk belajar ke Al-Azhar melalui beasiswa Al-Azhar yang
disalurkan melalui IAIN.
Semasa mahasiswanya, Daud Rasyid aktif di Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) ini, pada awalnya tidak terlalu serius mengikuti tes beasiswa itu, karena
studinya yang rangkap di USU dan di IAIN harus ia selesaikan. Namun, ketika
diumumkan, beliau lulus ranking satu dalam seleksi tersebut.
Daud Rasyid selama di Mesir hari-harinya ia habiskan belajar tidak saja di
lembaga-lembaga formal, seperti di Fak. Syari`ah wa al-Qanun, Al-Azhar, tetapi juga
kepada para `Ulama Mesir. Majma` al-Buhuts al-Islamiyah (Institut Riset Islam) di
Al-Azhar adalah salah satu tempat Daud Rasyid menimba ilmu kepada ulama-ulama
terkemuka di Azhar, seperti Syaikh Abdul Muhaimin, Ustazd Sa`ad Abdul Fattah dan
lain-lainnya.6
Riwayat pendidikan
 Belajar di Fakultas Syari‟ah IAIN Sumatera Utara, Medan, selesai Sarjana
Muda (B.A) dengan yudisium : “Memuaskan” pada tahun 1980-1983.
 Belajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan
pada tahun 1981-1983.

5
Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm. 324.
6
Khoridatul Mudhiiah, “Pemikiran Daud Rasyid terhadap Upaya Ingkar Sunnah kelompok
Orientatalis di Indonesi”Addin, Vol. 7, No. 2, Agustus 2013, hlm. 433-435.
3
 Belajar di FakultasSyari‟ah wal-Qanun (Syari‟ah dan Hukum) Universitas
Al-Azhar, Kairo, Mesir pada tahun 1984-1987.
 Belajar di program Pascasarjana (S2) Fakultas Darul „Ulum (Studi Islam
dan Arab) Universitas Kairo, jurusan Syari‟ah dan lulus Master (M.A.)
dalam bidang “syari`ah” dengan yudisium : “CumLaude” (mumtaz). Judul
tesis : “Marwiyyat al-Hakam ibn ‘Utaibah wa fiqhuhu” (Hadits-hadits
riwayat Imam Al-Hakam ibn „Utaibah dan Metodologi Fiqhnya) pada
tahun 1987-1990.
 Kemudian menempuh program Doktor (S3) di Fak. Darul „Ulum,
Universitas Kairo dan meraih gelar Doktor (PhD) dalam bidang Syari`ah
dengan yudisium “Summa Cumlaude” (mumtaz bi martabat syaraf `ula)
dengan judul disertasi : “Juhud „Ulama` Indonesia fi as-Sunnah” (Jasa-
jasa Ulama Indonesia di bidang Sunnah”) pada tahun 1994-1996.
Pada Tahun 1993 sebelum berangkat ke Mesir untuk kedua kalinya, Daud
sempat meninggalkan karyanya Pembaruan Islam dan Orientalisme Dalam
Sorotan, sebagai buah dari polemiknya dengan Nurcholish Madjid. Karya aslinya
yang kedua adalah Islam Dalam Berbagai Dimensi yang diterbitkan oleh GIP
tahun 1998. Tahun 1999, pada era reformasi, ia juga menulis sebuah buku tipis
dengan judul Islam dan Reformasi, yang diterbitkan oleh Pondok Pesantren Al-
Makmuriyah. Kitab terjemahan sejarah ini adalah karya beliau terbesar. 7
Karya-karya terjemahan lainnya adalah Fawa’id Al-Bunuk Hiya al-Riba
al-Haram dan Awlawiyyat al-Harakah al-Islamiyyah, keduanya karya Yusuf al-
Qaradhawi. Juga menerjemahkan kitab kecil tentang Metode Riset Islami karya
Dr. Ali Abdulhalim Mahmud, dan Syari`at Islam karya `Abdullah Nashih
`Ulwan, Ghozwul-Fikri Dalam Sorotan karya Dr. Ahmad Abdurrahim dari Mesir.
Daud Rasyid menguasai berbagai ilmu dan yang dapat diajar oleh beliau
adalah al-Fiqh al-Muqaran, Hadits al-Ahkam, Fiqh al-Jinayat, Mushtolah al-
Hadits, Ushul al-Fiqh, Fiqh al-Mu`amalat dan lain sebagainya.
Memori menimba ilmu di Timur Tengah ialah Studi informalnya ditempuh
di masjid-masjid dan di rumah syuyukh Mesir. Ia berguru kepada almarhum
Syeikh Hasanain Makhluf, mantan Grand Mufti Mesir. Juga Dr. Abdussattar

7
Khoridatul Mudhiiah, “Pemikiran Daud Rasyid terhadap Upaya Ingkar Sunnah kelompok Orientatalis
di Indonesi”Addin, Vol. 7, No. 2, Agustus 2013, hlm. 434-436
4
Fatahallah Sa`id, ahli Tafsir di Azhar dan Syaikhnya di bidang Hadits adalah Dr.
Rif`at Fauzi, guru besar di Dar al-`Ulum, Universitas Kairo. Syaikh Rif`at tidak
saja gurunya di kampus, tetapi lebih mendalam lagi di luar kampus.
Beliau membaca kutub al-Sittah, Muwatto’ Malik, Muqaddimah Ibnu al-
Shalah dan karya-karya hadits lainnya secara talaqqi. Sampai-sampai Dr. Rif`at
mempercayakan perpustakaannya untuk dipegang oleh penerjemah (Daud
Rasyid), selama ia bertugas ke luar negeri. Ia juga banyak belajar dari
Dr.`Abdushshobur Syahin, pemikir kondang Mesir dan senantiasa aktif mengikuti
ceramah dan khutbah Syahin di Mesir.
Yang banyak membentuk pola pikir Daud adalah gurunya Prof.
Muhammad Boultagi Hasan, pakar Ushul Fiqh di Dar al-`Ulum, Kairo. Begitu
juga Syekh Yusuf al-Qardhawi yang kitab-kitabnya senantiasa diikuti oleh
penerjemah. Tahun 1993 ia kembali ke Mesir untuk melanjutkan studinya
(program doktor) di Fakultasnya semula. 8
B. Pemikiran hadis Daud Rasyid
1. Pengertian hadis
Dalam bukunya Apa dan Bagaimana Hadis Nabi, Daud Rasyid memberikan
pengertian hadis yaitu hadis ialah semua ucapan Nabi, perbuatan, pengakuan dan
sifat-sifat Nabi. 9 hadis-hadis tersebut terdiri dari empat komponen yaitu: pertama,
hadis-hadis Nabi berupa ucapan-ucapan yang disebut dengan istilah hadis qawly.
Kedua, hadis-hadis yang tentang perbuatan-perbuatan Nabi yang disebut hadis Fi’ly.
Ketiga, hadis-hadis berupa pengakuan-pengakuan Nabi atau dikenal dengan sebutan
hadis taqriry, dan terakhir adalah sifat-sifat Nabi. 10
2. Pentingnya hadis Nabi
Menurut Daud Rasyid, hadis adalah sumber ajaran Islam selain dari al-
Qur‟an. Sumber ajaran Islam ini yaitu hadis sebagai rujukan juga bagi yang ingin
mengetahui Islam. Al-Qur‟an sebagaimana dirujuk, begitu juga dengan hadis. Tak
seorangpun dapat mengatasnamakan Islam tanpa merujuk dua sumber tersebut.
Dalam artian, bahwasanya jika suatua masalah atau kasus terjadi di masyarakat, tidak
ditemukan dasar hukumnya dalam al-Qur‟an, maka hakim ataupun mujtahid harus

8
Khoridatul Mudhiiah, “Pemikiran Daud Rasyid terhadap Upaya Ingkar Sunnah kelompok
Orientatalis di Indonesi”Addin, Vol. 7, No. 2, Agustus 2013, hlm. 435.
9
Daud Rasyid, Apa dan Bagaimana Hadits Nabi ( Bekasi, Usamah Press, 2015), hlm. 16.
10
Daud Rasyid, Apa dan Bagaimana Hadits Nabi (Bekasi: Usama Press, 2016), hlm. 16.
5
kembali kepada hadis Nabi. 11 Daud Rasyid mengemukakan mengapa hadis menjadi
sangat penting terhadap rujukan umat Islam. Ia mempunyai empat jawaban yaitu:
Pertama, Allah memerintahkan langsung kepada umat Islam untuk taat kepada
Rasul-Nya. Oleh karena perintah inilah maka hadis sangat penting sebagai salah satu
cara untuk mentaati Rasul-Nya. Mengenai hal ini terdapat dalam sejumlah ayat al-
Qur‟an yaitu pada surah an-Nisa: 59, Ali Imran: 32, 132, al-maidah: 92, al-Anfal: 1,
20, 46, dll).

ْ ‫سى َل َوأُو ِلي‬


‫األم ِر ِم ْن ُك ْم فَئِ ْن تَنَازَ ْعت ُ ْم ِفي‬ ُ ‫الر‬َّ ‫َّللا َوأ َ ِطيعُىا‬ َ َّ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُىا أَ ِطيعُىا‬
َ ‫اآلخ ِر ذَلِكَ َخي ٌْر َوأَ ْح‬
‫س ُن‬ ِ ‫اَّلل َو ْاليَ ْى ِم‬
ِ َّ ‫سى ِل ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم تُؤْ ِمنُىنَ ِب‬ ُ ‫الر‬ ِ َّ ‫َيءٍ فَ ُردُّوهُ ِإلَى‬
َّ ‫َّللا َو‬ ْ ‫ش‬
‫تَأْ ِويال‬
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa:59).
Hal ini berarti, patuh kepada Rasul adalah sebuah keharusan sebagaimana juga
seperti kepatuhan kepada Allah.
Seperti dikatakannya di atas, menurut Daud Rasyid patuh disini yakni
menerima apa saja datang dari Rasul saw. Perintah-perintah dalam hadis maka harus
dilakukan, begitu juga halnya larangan-larangan dari suatu hadi maka harus
ditinggalkan juga, jika berupa informasi maka harus diakui kebenarannya, tanpa
syarat, tanpa diuji dengan al-Qur‟an. yang mana jika sesuai baru diterima, namun jika
tidak maka bisa ditolak. Menurut pendapatnya, menguji hadis dengan al-Qur‟an
adalah logika yang tidak dapat diterima. Mengapa demikian, karena hadis dan al-
Qur‟an sama-sama datang dari Allah. Kedua sumber ajaran Islam tersebut tidaklah
mungkin secara diametral. Hadis sebenarnya adalah bagian dari wahyu sebagaimana
al-Qur‟an. Dua produk tersebut yang mana berasal dari satu sumber, maka tidak
mungkin kontradiktif. Karena kalau demikian, akan dapat melemahkan posisi sumber
itu sendiri, dan itu mustahil pada hak Allah Swt.12
Mengenai perihal anggapan seseorang terhadap adanya pertentangan antara
hadis dengan al-Qur‟an, bagi Daud Rasyid dalam hal ini sebenarnya dikarenakan oleh
keterbatasan pengetahuan ataupun wawasan semata. Mengklaim bahwasanya hal itu
adalah sebuah pertentangan merupakan lemahnya kemampuan pihak yang

11
Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm. 35.
12
Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi, hlm. 35-36.
6
bersangkutan, bukan pada teks-teks itu sendiri. Karena memerlukan kemampuan dan
keahlian dalam meneliti hadis. Atau setidaknya tidak merujuk pada hanya sebuah
kesimpulannya penelitian ahli hadis tentang kualitas sebuah hadis. Karena Hadis
Shahid tidak mungkin bertentang dengan al-Qur‟an. Namun jika terbukti hadis tidak
shahih (lemah), maka jelas tidak pernah ada pertentangan, sebab otomatis hadis dha‟if
dengan sendirinya dianggap gugur.13
Menurut Daud Rasyid, apabila teks hadis terbukti keshahihannya, namun
masih terasa ada pertentangan, maka peneliti harus merujuk komentar ahli Fiqh dan
Ushul. Sebab dalam dua ilmu tersebut itu telah ada metodologi dalam memahami
secara tepat teks-teks yang tampaknya berbeda. Ini biasa disebut al-jam’u
(kompromi). Nash itu ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Nash
yang khusus adalah pengecualian atas umum. Bidang ini dikenal dengan ilmu
mukhtalaf al-hadis (ilmu yang membahas hadis-hadis yang sepintas saling
bertentangan). Apabila kompromi tak bisa lagi dilakukan maka metode berikutnya
adalah tarjih, yaitu menentukan mana yang lebih kuat.14
Kedua, hadis Nabi merupakan penjelasan atas al-Qur‟an. menurut Daud
Rasyid, tak semua ayat al-Qur‟an bisa langsung dilaksanakan. Ada ayat-ayat yang
pelaksanaannya sangat tergantung pada hadis. Jika tidak, maka ia tak dapat
dilaksanakan secara benar. Al-Qur‟an hanya mengatur pokok-pokok persoalan, tidak
merinci secara keseluruhan. Ini wajar. Contohnya, menurut Daud Rasyid, adalah
shalat. Dalam al-Qur‟an, perintah shalat hanya bersifat general. Nabi lalu datang dan
mencontohkan teknis pelaksanaannya. Beliau mengatakan:
Contoh lainnya, menurut Daud Rasyid yaitu masalah haji. Kalau dilihat,
informasi tentang haji dalam al-Qur‟an sangatlah terbatas, kendati pun di dalam al-
Qur‟an ada satu surat al-Hajj. Penjelasan detail tentang ibadah ini didapatkan melalui
sunnah Nabi saw. Beliau bersabda, “Ambillah dari ku manasik haji kalian” (muttafaq
„alaih).
Jadi, Allah Swt hanya menerangkan kewajiban-kewajiban pokok di dalam
kitab suci-Nya, dan penjelasan selanjutnya harus merujuk kepada Hadis/Sunnah yang
merupakan rekaman kehidupan Nabi Saw. Al-Qur‟an sendiri menyebutkan dalam
surah an-Nahl ayat 44.
13
Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi, hlm. 35-36.
14
Saifuddin Zuhri Quday dan Ali Imron, Model-Model Penelitian Hadis Kontemporer (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 51-56.
7
َ‫بض َهب ًُ ِ ّص َل ِإلَ ْي ِه ْن َولَ َعلَّ ُه ْن يَخَفَ ََّّك ُسوى‬
ِ ٌَّ‫الصبُ ِس َوأَ ًْصَ ْلٌَب ِإلَيْكَ ال ِرّ ْك َس ِلخُبَ ِيّيَ ِلل‬ ِ ‫ِب ْبلبَ ِّيٌَب‬
ُّ ‫ث َو‬
keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al
Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (QS. An-Nahl: 44).

Jadi dalam ayat itu ada tiga unsur yang terkait satu sama lain yaitu:
a. Yang dijelaskan (al-mubayyan), yang dalam hal ini adalah al-Qur‟an
b. Yang menjelaskan (al-mubayyin) yaitu Rasul
c. Penjelasan (al-bayan).
Ketiga, menurut Daud Rasyid, orang yang concern terhadap Hadis memiliki
keutamaan khusus. Mereka di hari Kiamat akan bangkit dengan muka bercahaya.15
Dalam Hadis, Nabi bersabda, “Allah membuat bercahaya wajah orang yang
mendengarkan hadisku, kemudian menghafal, memahami dan menyampaikan kepada
orang lain seperti didengarnya”
Namun Daud Rasyid tidak menyebutkan takhrij Hadis ini secara jelas. Namun
demikian, terdapat redaksi yang lain kurang lebih senada, yakni: Imam Tirmidzi
meriwayatkan dari Anas bin malik, “Rasulullah bersabda kepadaku, “Wahai anakku
itulah sebagian dari sunnahku, dan barang siapa menghidupkan sunnahku, berari ia
mencintaiku, dan barangsiapa mencintaiku, ai akan berada di surga bersamaku.”
Keempat, menurut Daud Rasyid, berpegang kepada Hadis merupakan jalan
selamat. Dalam sebuah Hadis Nabi Saw bersabda:
“Telah kutinggalkan untuk kalian dua hal; jika kalian berpegang kepada
keduanya, niscaya kalian tak akan tersesat selamanya, kitabulLah dan sunnah Nabi-
Nya.” (HR Malik).
3. Pemikiran Daud Rasyid terhadap upaya ingkar sunnah di Indonesia
Daud Rasyid merupakan sosok yang concern dalam memerangi kelompok
ingkar sunnah. Bagi Daud Rasyid ingkar Sunnah adalah sebuah sikap penolakan
terhadap sunnah Rasul, baik sebagaian maupun keseluruhan. Mereka yang berpaham
ini membuat metodologi tertentu yang tidak popular di kalangan umat Islam dalam
sunnah. Inilah yang mengakibatkan tertolaknya sunnah, baik sebagian maupun
keseluruhan. Hal ini berarti, gerakan Ingkar Sunnah adalah golongan yang tidak
mengakui sunnah atau hadis Nabi saw. sebagai dasar hukum syariat Islam. Kelompok

15
Saifuddin Zuhri Quday dan Ali Imron, Model-Model Penelitian Hadis Kontemporer (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 51-56.
8
ini mengatakan bahwa untuk menentukan hukum dan ajaran Islam tidak perlu
menggunakan sunnah atau hadis, melainkan cukup dengan al-Qur‟an.16
Dalam bukunya yang berjudul al-Sunnah Bayan Anshariha wa Khusumiha,
Daud Rasyid membagi kelompok ini menjadi tiga yaitu kelompok yang ingkar sunnah
secara mutlak, kelompok yang mengingkari sebagian sunnah, dan kelompok yang
mengingkari sunnah yang terputus sanadnya.
Kelompok pertama adalah yang mengklaim diri sebagai al-Qur’aniyyun.
Mereka yang berkeyakinan bahwa pondasi Islam hanyalah al-Qur‟an saja. Mereka
menolak al-Sunnah secara keseluruhan. Di Tasikmalaya, kelompok ini dipimpin oleh
Muhammad Irham Sutarto, sedang di Jakarta dipimpin oleh Teguh esa. Kemudian
untuk di Jawa Barat yaitu dipimpin oleh Abdurrahman. 17 Mereka beranggapan bahwa
al-Qur‟an sudah lengkap, tidak membutuhkan hal lain, jika umat Islam memakai
sumber selain al-Qur‟an, seolah-olah mengganggap al-Qur‟an tidak lengkap dan
masih memerlukan pelengkap.
Bagi Daud Rasyid, kekeliruan kelompok ini terletak pada kesalahan mereka
dalam memahami arti kelengkapan al-Qur‟an. kelengkapan al-Qur‟an sesungguhnya
terletak pada kesempurnaannya dalam membahas persoalan-persoalan pokok hidup
manusia (ushul al-hayat), bukan pada persoalan-persoalan cabang (furu’iyyah). Kitab
yang benar-benar lengkap memuat segala yang ada di dunia adalah al-Kitab yang
tersimpan di Lauh al-mahfudz. Al-Qur‟an yang ada di dunia tidak memuat semua
yang ada di sana.18
Memang ada beberapa masalah yang dibahas rinci dalam al-Qur‟an, tetapi
persentasinya sangat kecil. Sejatinya al-Qur‟an diturunkan untuk mengatur masalah-
masalah prinsip, bukan masalah cabang. Jadi, menurut Daud Rasyid, kelompok ini
terpaku pada pemahaman mereka tentang kesempurnaan al-Qur‟an. mereka
memahami bahwasannya apa saja yang berasal dari luar al-Qur‟an harus ditolak
karena tidak sesuai dengan pemahaman mereka tadi, termasuk di dalamnya hadis
Nabi, sekalipun berasal dari Nabi Saw.

16
Furqon Syarief Hidayatulloh, “Strategi Pencegahan Dan Penanganan Penyebaran Aliran Sesat Di
Indonesia”. Analisis, Volume XIII, Nomor 2, Desemberi 2013, hlm. 508.
17
Agung Danarta, “Perkembangan Pemikiran Hadis di Indonesia sebuah Upaya Pemetaan”, Jurnal
Tarjih Edisi 7, Januari 2004, hlm 81.
18
Khoridatul Mudhiiah, “Pemikiran Daud Rasyid terhadap Upaya Ingkar Sunnah kelompok
Orientatalis di Indonesi”Addin, Vol. 7, No. 2, Agustus 2013, hlm. 445-449.
9
Kelompok kedua ini mereka merasa tidak termasuk dalam sebutan ingkar
sunnah. Mereka beralasan bahwa mereka tidak menolak sunnah sebagai sumber
hukum Islam, tetapi mereka hanya menolak sebagian dari hadis atau sunnah saja.
Menurut Daud Rasyid, ia memandang kelompok ini padahal yang dimaksud sebagian
disini adalah sebagiannya itu dalam jumlahnya sangat besar. Dengan demikian, jika
ditelusuri lebih jauh, maka akan terlihat bahwa mereka hakikatnya sudah masuk
dalam kategori ingkar sunnah, karena begitu banyaknya hadis-hadis yang mereka
tolak.
Daud Rasyid mengatakan bahwasanya penolakan kelompok yang kedua ini
terhadap hadis adalah dikarenakan kerangka berpikir mereka yang aneh. Kelompok
kedua ini mengolah kerangka berpikir sendiri, yang mana tidak berdasarkan pada
pemahaman mayoritas umat Islam. Mereka membuat metodologi sendiri, yang
didasarkan pada kaidah-kaidah yang tidak popular dan tidak diakui umat Islam.
Dalam hal ini, seandainya setiap kelompok atau golongan membuat kaidahnya
sendiri-sendiri dalam menyikapi sunnah. Apa yang akan terjadi? Sunnah akan runtuh
dan hilang sebab keberadaannya tidak diakui lagi oleh kelompok-kelompok tertentu
dalam tubuh umat Islam.
Contoh kelompok kedua ini, Daud Rasyid mengambil contohnya seperti
kelompok Syiah. Kelompok ini menolak hadis-hadis yang bukan berasal dari
kalangan Ahli Bait dan imam-imam mereka. Sementara yang mereka akui sebagai
Ahli Bait hanyalah Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Bayangkan jika kaidah ini
dipakai, maka sejumlah besar hadis akan hilang atau ditolak. Secara akal pun, teori ini
tidak dapat diterima. bagaimana mungkin hadis yang diterima hanya melalui empat
orang sahabat tersebut?, apakah mungkin keluarga Ali sanggup meng-cover semua
aktivitas keseharian Nabi Saw selama belasan tahun?, apakah mereka dapat mengikuti
segala kegiatan Nabi yang begitu komplek?. Di samping itu, teori inipun tidak
didukung oleh sebuah alasan dan dalil dari al-Qur‟an dan sunnah.19
Contoh lain juga disebutkan oleh Daud Rasyid yaitu kelompok Mu‟tazilah.
Kelompok ini juga membuat paradigma sendiri dalam menyikapi hadis. Mereka
mencela seluruh sahabat yang terlibat dalam konflik (al-fitnah). Para sahabat itu
dengan serta merta dianggap hilang kredibiltasnya. Selain itu, kelompok ini

19
Khoridatul Mudhiiah, “Pemikiran Daud Rasyid terhadap Upaya Ingkar Sunnah kelompok
Orientatalis di Indonesi”Addin, Vol. 7, No. 2, Agustus 2013, hlm. 445-449.
10
mensyaratkan hadis-hadis yang dapat diterima hanyalah yang mencapai tingkat
mutawatir.
Menurut Daud Rasyid, syarat demikian tidak beralasan, seperti halnya
kelompok sebelumnya. Bagi Daud Rasyid, fitnah adalah masalah awalnya disebabkan
oleh perbedaan ijtihad dan perbedaan pendapat dalam masalah keduniawian, yang
tidak ada sangkut pautnya dengan periwayatan hadis. Dalam periwayatan, hal yang
penting adalah soal kejujuran dan ketelitian. Bagaimana mungkin persoalan sosial
bisa berdampak fatal pada periwayat hadis. Menurut Daud Rasyid, kriteria tersebut
hanyalah mengada-ada.
Demikian juga sama halnya dengan apa yang telah disyaratkan oleh kelompok
Mu‟tazilah tentang haruslah hadis yang mutawatir dalam penerimaan hadis. Menurut
Daud Rasyid, sebenarnya kriteria ini pun hanya mengada-ada. Pihak-pihak yang
menggagasnya pun sebenarnya tahu persis bahwa jumlah hadis mutawatir sangatlah
kecil dibandingkan dengan hadis ahad. Bila kriteria itu diterima, maka akan ada
banyak persoalan hidup yang tidak memiliki keterangan yang jelas, karena apabila
hadis yang menerangkan masalah tersebut adalah hadis ahad maka haruslah ditolak
berdasarkan persyaratan tersebut. Akhirnya, banyak persoalan hidup umat Islam yang
tidak diketahui aturan hukumnya, karena aturan-aturan tersebut banyak tersimpan
dalam hadis-hadis yang tidak mencapai tingkat mutawatir.
Kelompok ketiga, menurut Daud Rasyid, yaitu sekelompok orang yang sekilas
tampak seperti kebanyakan umat Islam pada umumnya. Namun, mereka
mensyaratkan hadis-hadis yang dapat diterima yaitu haruslah hadis yang bersambung
sanadnya dari pemimpin mereka hingga kepada Rasulullah. Inilah yang disebut istilah
“sanad manqul” (sanad bersambung). Kelompok ini tidak mengakui hadis-hadis yang
terdapat dalam kitab-kitab sunnah, sebab tidak bersambung dari syeikh yang diberi
wewenang. Mereka dikenal dengan nama Islam Jamaah atau Darul Hadis.
Pemimpinnya bernama Haji Nur Hasa „Ubaydah yang mengklaim sebagai satu-
satunya ulama Indonesia yang memiliki sanad bersambung hingga Rasulullah.
Akibatnya, ulama saat ini dianggap tidak memiliki sanad. Konsekuensinya, ilmu
mereka dianggap tidak sah. 20

20
Khoridatul Mudhiiah, “Pemikiran Daud Rasyid terhadap Upaya Ingkar Sunnah kelompok
Orientatalis di Indonesi”Addin, Vol. 7, No. 2, Agustus 2013, hlm. 445-449.
11
Daud Rasyid menyatakan bahwa klaim kelompok ini sungguh keterlaluan.
Menurut Daud Rasyid, proses kodifikasi hadis telah selesai dan semua hadis telah
tercantum dalam kitab-kitab hadis. Dengan demikian, proses periwayatan hadis pun
sudah final hingga mukharrij dalam kitab-kitab hadis tersebut. Sungguh keterlaluan
bila belakangan ada orang yang mengklaim diri sebagai yang memiliki otoritas
dibidang periwayatan hadis.
Sedangkan selain dari pada orang yang mencermati sanad-sanad hadis tidak
akan mendapatkan nama Haji Nur Hasan „Ubaydah tertulis dalam sanad satu pun
hadis. Ia sama sekali bukan termasuk jajaran periwayatan hadis. Dengan demikian,
Haji Nur Hasan tidak lebih hanyalah seorang pembaca hadis atau orang yang belajar
hadis. 21
4. Tentang kontekstualisasi hadis
Dalam pembacaan Daud Rasyid, kehidupan seorang zaman ini seringkali
berbenturan dengan komitmen terhadap ajaran Islam. Aturan-aturan yang tercantum
dalam hadis sering berbenturan dengan realitas hidup masyarakat di suatu tempat. Jika
seseorang memilih memegangi Islam, ia terpaksa harus berhadapan dengan masalah
kehidupannya. Namun, pada sisi yang lain jika mengikuti tuntunan yang ada, ia
merasa sudah lari dari apa yang telah dituntunkan Rasulullah. Di sinilah Daud Rasyid
memandang perlunya kontekstualisasi hadis. Menurut Daud Rasyid, kontekstualisasi
hadis memang bisa dibenarkan dalam batas-batas tertentu, asal tidak lepas dari
kerangka dasar yang telah disepekati para ulama.22 Secara implisit bahwa dapat
disimpulkan kontekstualisasinya harus memerhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Jika berhadapan dengan benturan-benturan kehidupan, seorang muslim
harus bertanya kepada orang yang ahli di bidangnya, bukan mencukupkan
kecenderungan dirinya sendiri, sementara ia tidak memiliki alat yang
cukup untuk melakukan ijtihad dalam persoalan tersebut
b. Kontekstualisasi hadis bisa saja dilakukan, tetap hanya oleh mereka yang
memiliki keahlian di bidang ini, agar kaum muslimin tidak terjatuh dalam
kekeliruan yang dapat merusak kehidupan beragama mereka.

21
Khoridatul Mudhiiah, “Pemikiran Daud Rasyid terhadap Upaya Ingkar Sunnah kelompok
Orientatalis di Indonesi”Addin, Vol. 7, No. 2, Agustus 2013, hlm. 445-449.
22
Saifuddin Zuhri Quday dan Ali Imron, Model-Model Penelitian Hadis Kontemporer (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 61-63.
12
c. Standar dalam memahami hadis yang pertama-tama harus berdasarkan
pengertian zhahir. Namun demikian dalam hal-hal tertentu, ada
pengecualian atas kaidah ini. Seorang ahli berhak untuk mencari makna
lain di luar makna zhahir, jika teks hadis yang berkaitan masing-masing
memungkinkan untuk menerima penafsiran yang berbeda dengan
pengertian tekstualnya. Lebih-lebih bila pemaksaan atas penggunaan
makna tekstual itu hanya akan menimbulkan kesulitan yang berat sehingga
menganggu pola hidup dan menimbulkan kerugian besar.
d. Kontekstualisasi boleh dan bisa dilakukan selama ia tidak melanggar
kaidah-kaidah pokok agama.23
Itulah hal-hal yang menurut Daud Rasyid harus diperhatikan ketika seseorang
bermaksud melakukan kontekstualisasi hadis dengan realitas kekinian. Pengkaji hadis
pada Abad XXI yang merupakan jebolan Timur Tengah ini berusaha untuk
merekonstruksi metode pemahaman hadis sehingga hadis Nabi Muhammad Saw
dapat diterima pada masa sekarang khususnya oleh masyarakat Indonesia.24
Contoh pengonteksualisasian hadis yang dilakukan oleh Daud Rasyid
sebagaimana dikutip dari Saifuddin Zuhri Qudsy dan Ali Imron untuk menjaga
orisinalitasnya dengan kutipan langsung tulisan Daud Rasyid tentang, “Membaca
Krisis dengan Visi Hadis” dalam Majalah Panji Masyarakat, pada bulan Februari
1998. Yang mana membahas mengenai awal masa krisis bangsa Indonesia yang
dipaparkan sebagai berikut:
Cukup menarik ketika sebuah hadis Nabi berbicara tentang berbagai krisis
yang melanda akhir zaman. Jika dicermati isinya, maka hadis yang
diriwayatkan oleh Al-Hakam dalam kitabnya “al-Mustadrak” dan Ibnu majah
dalam “Sunan”nya itu sangat relevan dengan kondisi masyarakat kita di zaman
sekarang.

Bersabda Nabi Saw: “Wahai kaum muhajirin! Lima perkara akan kalian diuji
dengannya dan kau berharap agar kalian tidak mengalaminya. Tidaklah
perbuatan zina muncul pada suatu masyarakat hingga mereka menyatakannya
secara terang-terangan kecuali pasti tersebar di tengah-tengah mereka penyakit
menular dan penyakit-penyakit yang belum pernah ada di masa lalu. Mereka
tidak berlaku curang dalam timbangan melainkan mereka akan ditimpa oleh
musim peceklik, sulit pangan dan penguasa berlaku zalim pada mereka.
Mereka tidak memakan zakat harta mereka kecuali pasti tidak akan diberi huja

23
Saifuddin Zuhri Quday dan Ali Imron, Model-Model Penelitian Hadis Kontemporer, hlm, 61-63.
24
Hasep Saputra, “Perkembangan Studi Hadis di Indonesia”, Al-Quds: Jurnal Studi al-Qur‟an dan
Hadis, Volume 1, Nomor 1, 2017, hlm, 44.
13
dan kalau bukan karena binatang ternak niscaya mereka tidak akan diberi
hujan sama sekali. Tidaklah mereka melanggar janji Allah dan janji RasulNya
kecuali pasti Allah akan menundukkan mereka di depan musuhnya lalu
mengambil sebagian apa yang ada di tangan mereka. Dan jika para pemimpin
mereka tidak menerapkan kitab Allah dan memilih-milih di antara apa yang
diturunkan Allah niscaya Allah akan menimpakan keganasan sebagian mereka
atas sebagian yang lain.”25

Dalam hadis itu Nabi memprediksi bakal terjadinya krisis besar, hingga beliau
berharap agar para sahabatnya yang mulia, tidak memasuki era itu. Zaman itu
ditandai dengan krisis yang beranekaragam, di antaranya, krisis moral (dalam
arti luas mencakup mental kepribadian), krisis pangan, moneter dan ekonomi
secara umum, krisis politik dan gejala sosia.

Yang menarik, nabi merinci satu persatu faktor-faktor penyebabnya dan akibat
buruknya, yaitu: (1) Prostitusi yang transparan mengakibatkan mewabahnya
penyakit “Tho’un” (AIDS) dan penyakit-penyakit baru yang belum dijumpai
sebelumnya, (2) Sikap curang dan praktik penipuan dalam dunia bisnis akan
mengakibatkan sejumlah hukum Allah tidak bisa ditolak, diantaranya kesulitan
bahan makanan (krisis pangan) dan kesewenangan-wenangan penguasa. (3)
enggan membayar zakat menyebabkan tidak turunnya air hujan dan musim
kemarau yang berkepanjangan. Dan kalau bukan karena binatang, Allah tidak
akan menurunkan airnya dari langit, (4) mengingkari janji kepada Allah dan
RasulNya, mengakibatkan mereka dikuasai oleh musuhnya dan merampas
sebagian kekayaan mereka, (5) menolak hukum Allah yang berakibat
terjadinya gejolak, tindakan kekerasan, kebiadaban antar sesama penduduk.
Jika diperhatikan lebih serius,, kita dapat mengidentifikasi faktor-faktor
penggagas timbulnya krisis kehidupan manusia, antara lain:

Pertama, runtuhnya moral. Krisis moral adalah penyebab penting keruntuhan


suatu bangsa sejak zaman dahulu. Kehancuran umat Nabi Luth berawal dari
penyimpangan seks homoseksual. Krisis moral di zaman modern tercermin
dalam pergaulan bebas, kejahatan seks (perkosaan), perzinahan, pelacuran
yang dilokalisasi ataupun liar, dan kelainan seks. Terbongkarnya praktik aborsi
secara mengejutkan akhir-akhir ini merupakan bukti kuat atas mewabahnya
kebebasan seks dan pelacuran di negeri ini. Begitu juga merebaknya tempat-
tempat pelacuran di kota besar dan kecil. Mall dan supermarket besar menjadi
tempat mejengnya anak-anak ABG menunggu siapa saja yang memanggilnya.
Dalam suatu kesempatan, Nabi pernah mengingatkan, jika perzinahan dan
praktik riba meluas di suatu kaum, pertanda mereka sudah “siap” menerima
azab Allah.
25
Redaksi hadisnya yaitu:

‫ط َحخَّى‬ ُّ َ‫شتُ فِي قَ ْى ٍم ق‬ َ ‫بح‬ِ َ‫َظ َه ْس ْالف‬ْ ‫بج ِسييَ خ َْوط ِإذَا ا ْبخ ُ ِليخ ُ ْن ِب ِه َّي َوأَعُىذ ُ ِببللَّ ِهأ َ ْى حُد ِْزكُىه َُّي لَ ْن ح‬ ِ ‫يَب َه ْعش ََس ْال ُو َه‬
َ‫صىا ْال ِو َّْكيَبل‬ ُ ُ‫ض ْىا َولَ ْن يَ ٌْق‬َ ‫ج فِي أَظ ََْلفِ ِه ْوبلَّرِييَ َه‬ ْ ‫ض‬ َ ‫الطبعُىىُ َو ْاْل َ ْو َجبعُ الَّخِي لَ ْن حََّكُ ْي َه‬ َّ ‫يُ ْع ِلٌُىا ِب َهب ِإ ََّّل فَشَب فِي ِه ْن‬
‫ط َس‬ ْ َ‫علَ ْي ِه ْن َولَ ْن يَ ْوٌَعُىا شَ َكبة َ أ َ ْه َىا ِل ِه ْن ِإ ََّّل ُهٌِعُىا ْالق‬ َ ‫بى‬ِ ‫ط‬ َ ‫ع ْل‬ُّ ‫عٌِييَ َو ِشدَّةِ ْال َوئُىًَ ِت َو َج ْى ِز ال‬ ّ ِ ‫َو ْال ِويصَ اىَ ِإ ََّّل أ ُ ِخرُوا ِببل‬
‫غي ِْس ِه ْن‬ َ ‫اه ْي‬ َ ‫علَ ْي ِه ْن‬
ِ ‫عد ًُّو‬ َّ ‫ط‬
َ ُ‫َّللا‬ َ َّ‫ظل‬َ ‫ع ْهدَ َزظُى ِل ِه ِإ ََّّل‬ ِ َّ َ‫ع ْهد‬
َ ‫َّللا َو‬ َ ‫ضىا‬ ُ ُ‫ط ُسوا َولَ ْن يَ ٌْق‬ َ ‫بء َولَ ْى ََّل ْالبَ َهبئِ ُن لَ ْن ي ُْو‬ َّ ‫ِه ْي ال‬
ِ ‫ع َو‬
‫ظ ُه ْن بَ ْيٌَ ُه ْن‬ ْ َّ ‫َّللاُ ِإ ََّّل َج َع َل‬
َ ‫َّللاُ بَأ‬ َ
َّ ‫َّللا َويَخ َ َخي َُّسوا ِه َّوب أ ًْصَ َل‬
ِ َّ ‫ة‬ َ َ
ِ ‫ض َهب فِي أ ْيدِي ِه ْن َو َهب لَ ْن حَحْ َّكُ ْن أئِ َّوخ ُ ُه ْن ِب َِّكخ َب‬ َ ‫فَأ َ َخرُوا بَ ْع‬
14
Apa yang terjadi di Thailand dan beberapa negara barat yang menyimpan
penderita AIDS dapat menjadi pelajaran, di mana virus HIV tidak hanya
mengancam pelakunya, tetapi juga mengancam anak-anak.

Kedua, daya hidup materalistik. Bakhil adalah salah satu sifat yang lahir dari
gaya hidup materealistik. Kecintaan kepada dunia secara berlebihan dan
menagung-agungkan benda memang dapat merenggangkan hubungan
kemanusiaan dan mempertipis rasa solidaritas (ukhuwah). Orang yang cinta
pada harta akan merasa berat mengeluarkan hartanya untuk sesuatu yang tidak
mendatangkan profit secara real, seperti membayar zakat, infaq dan sedekah.
Tetapi di lain sisi pemborosan dan hidup foya-foya begitu mencolok untuk
kesenangan dunaiwi mereka. Kebakhilan dan keserakahan akan
mengakibatkan krisis ekonomi dan krisis pangan secara khususnya.

Logikanya, sifat tersebut akan cenderung menimbun kekayaan, monopoli dan


tertumpunya peredaran uang dan kekayaan untuk lapisan masyarakat tertentu.
Situasi ini jelas akan menimbulkan krisis ekonomi. Sangat menarik, ketika
Nabi mengatakan: “Tidak melakukan monopoli, melainkan orang-orang yang
berdosa.”

Ketiga, praktik curang dalam dunia bisnis kita bukan rahasia lagi. Sampai
kepada iklan dagangpun tidak lepas dari penipuan dan kebohongan. Yang ada
di benak pedagang, ialah bagaimana barang dagangannya laku, entah dengan
cara menipu, berbohong atau cara-cara licik lainnya. Antar satu dengan
lainnya saling memangsa. Kehadiran penguasa yang zalim disini merupakan
suatu yang logis. Dalam masyarakat yang menghalalkan semua cara dalam
praktik bisnisnya pada gilirannya akan memberi iklim yang kondusif bagi
munculnya kesewenang-wenangan penguasa dan para pengambil kebijakan.

Keempat, krisis ideologi. Krisis ini dapat dilihat dari sikap merendahkan
agama dan pemuka-pemukanya. Segala sesuatu bernuansa agama, sering
dinomor duakan. Sikap ini biasanya muncul dari suatu anggapan bahwa agama
penghambat kemajuan, seperti keyakinan orang-orang atheis. Bagi kehidupan
duniawi adalah segala-galanya. Sebenarnya Islam, tidak menghambat
kemajuan, asal kemajuan itu relevan dengan naluri kemanusiaan. Tapi, jika
kemajuan akan menjerumuskan manusia dalam kancah kehancuran, Islam
akan membendungnya, demi kemanusiaan.

Kelima, tidak menerapkan sistem Allah. Orang yang membaca al-Qur‟an dan
Hadis dengan jernih, akan memahami, bahwa Islam bukan agama yang
mengatur tentang cara ibadah ritual saja, sebagaimana agama-agama lainnya.
Bahkan dalam kitab-kitab fiqh, “ibadah” hanya menempati satu bab saja dari
kandungan fiqh Islam. Selebihnya adalah persoalan sistem kehidupan. Disana
ada konsep tentang politik, ekonomi, bisnis, akuntansi, kemasyarakatan,
hukum, peradilan, hubungan antar bangsa dsb. Kenapa yang kita ambil dari
Islam dalam kehidupan kita hanya sebatas ibada ritual saja. Contoh yang
paling konkrit, antara “puasa‟ dalam aspek ibadah dan :qishash” dalam hukum
pidana, dua tema yang diatur hanya berjarak lima ayat dalam surah al-Baqarah.
15
Keduanya diungkapkan dengan redaksi yang sama, “kutba’alaikum‟ dan sama-
sama diawali oleh kata “Ya Ayyuhallazina Amanu”. Tetapi dalam praktik, kita
terima perintah “puasa” dan kita tolak perintah “qishas”. Dalam pandangan
Allah, sikap ambivalensi ini sangat tidak sederhana, bahkan membawa pada
konsekuensi serius. Itu terlihat dari suatu teguran “Apakah kamu percaya pada
sebagian isi ktab dan ingkar pada bagian lainnya?”. Padahal sikap ini
sebenarnya merupakan sikap Yahudi.

Sejarah Islam mencatat bahwa penegakan sistem Ilahy itu bukan hanya
membawa manfaat kepada umat muslim saja, tetapi kepada seluruh umat
manusia, khususnya yang bernaung di bawah sistem itu. Dalam hadis di atas,
Nabi mengingatkan akan munculnya gejolak sosial dan politik sebagai
hukuman dari Allah. Logikanya, hukum atau sistem yang dirancang manusia
tidak akan memuaskan rasa keadilan semua orang. Ada saja pihak yang
merasa dirugikan dan ada pula pihak yang menikmati keuntungan sepihak.
Situasi ini pada titik kulminasinya akan menimbulkan kecemburuaan dan
gejolak sosial, mungkin berupa kerusuhan massal.

Keenam, menyalahgunakan nikmat Allah. Nikmat yang keluar dari bumi dan
laut adalah amanah Tuhan. Dia senantiasa memantau penggunaan nikmat itu,
apakah kemaslahatan manusia, atau kepuasaan individu kendatipun
memudharatkan orang lain. Nikmat itu bisa berbentuk harta, keturunan dan
jabatan. Dalam mensikapi nikmat, manusia hanya terbagi atas dua klasifikasi;
manusia yang syukur nikmat dan kufur nikmat. Hidup berfoya-foya, glamour,
sementara ada orang yang menjerit kelaparan, merupakan indikasi kufur
nikmat.

Ketujuh, menghalalkan semua cara. Pola ini berlaku dalam berbagai lapangan.
Pedagang yang ingin cepat kaya, menghalalkan semua cara untuk meraih
keuntungan, walaupun dengan berbohong, menipu, memeras, ekspoitasi dsb.
Begitu juga pejabat yang ingin mempertahankan kedudukannya cenderun
menghalakan semua cara dengan kolusi, korupsi, nepotisme.

Kedelapan, mengingkari janji kepada Allah. Pada dasarnya setiap insan telah
mengikat janji dengan Allah akan menghambakan diri semata-mata
kepadaNya dan berjuang menegakkan agamaNya. Tetapii dunia dan
kemilaunya membuat mereka menjadi lupa kaan janji itu. Setiap orang yang
salat, berikrar dalam doa iftitahnya akan menyerahkan semua urusan hidup dan
matinya kepada Allah. Tetapi diluar salat, janji itu menjadi buyar sama sekali
dan seakan-akan tidak pernah ada. Sikap ini mengundang murka Allah, yaitu
ketidakberdayaan menghadapi tantangan musuh yang akhirnya menimbulkan
krisis moneter dan ekonomi secara umum.

Solusi
Jika kita menggunakan pendekatan al-Qur‟an, kita temukan bahwa krisis dan
gejolak itu bertujuan sebagai “peringatan” bagi umat manusia, agar kembali ke
jalan yang benar. Hal ini diterangkan Allah dalam surat ar-Rum: 41, ketika
menerangkan kerusakan yang terjadi di darat dan di laut, akibat ulah tangan
manusia. Ujung ayat itu, mencantumkan tujuan peringatan tersebut dengan
16
ungkapan “la’allahum Yarji’un” (semoga mereka kembali ke jalan yang
benar).

Dalam konteks krisis yang kita alami dewasa ini, solusinya yang paling
mendasar, ialah menyatakan kesiapan rujuk ke jalan Allah. Tentu saja harus
diikuti oleh langkah-langkah konkrit yaitu berupaya dengan sungguh
menerapkan sistem-sistem yang diturunkan Allah untuk hambaNya. Semoga
berjaya. 26

KESIMPULAN

Dari pemaparan diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwasanya Daud Rasyid
Sitorus adalah seorang yang anti dengan pemikiran liberal dan sekuler. Ia mengedepankan
pemikiran keagamaan yang telah beliau dapat selama menimba ilmu di Timur Tengah.
Karena menurutnya pemikiran keagamaan yang liberal dan sekuler adalah pemikiran
keagamaan yang sesat ditambah lagi berkiblat ke negeri Barat yang notebenenya sangat anti
dengan Islam.

Pemikiran hadits Daud Rasyid Sitorus terbentuk oleh pola pikir gurunya Prof.
Muhammad Boultagi Hasan seorang pakar Ushul Fiqh di Dar al-`Ulum di Kairo dan Syekh
Yusuf al-Qaradhawi. Sebab ia telah menterjemahkan karya Yusuf al-Qardhawi seperti
Fawa’id Al-Bunuk Hiya al-Riba al-Haram dan Awlawiyyat al-Harakah al-Islamiyyah.
Sehingga pemikiran dan pemahaman hadits ia seperti pemikiran hadits Yusuf al-Qardhawi
yang mengarah pada upaya pengembangan pemikiran hadis sebagai sesuatu yang positif
untuk ditumbuh kembangkan.

Namun sososk ahli hadis Indonesia kontemporer yang cukup mumpuni ini secara
garis besarnya, sebenarnya tidak ada yang baru dalam pemikiran hadis Daud Rasyid.
Pemikiran-pemikirannya tentang kontekstualisasi hadis dengan realitas kekinian
menunjukkan bahwa kemampuan Daud Rasyid di bidangg hadis adalah cukup mendalam.
Kontribusinya yang paling besar adalah pemetaan terhadap fenomena ingkar sunnah di
Indonesia. ide-ide pemikiran hadis Daud rasyid sedikit banyaknya telah memberikan warna
tersendiri dalam peta pemikiran hadis kontemporer di Indonesia. di tengah langkanya pemikir
ahli di bidang hadis, kemunculan sosok Daud Rasyid adalah sesuatu yang patut dihargai dn
direspon dengan positif.

26
Saifuddin Zuhri Quday dan Ali Imron, Model-Model Penelitian Hadis Kontemporer, hlm, 63-70.
17
DAFTAR PUSTAKA

Danarta, Agung. “Perkembangan Pemikiran Hadis di Indonesia sebuah Upaya Pemetaan”,


Jurnal Tarjih Edisi 7, Januari 2004.

Hakan, Arina. “Oreintalisme dan Islam dalam Pergulatan Sejarah”. Jurnal mutawatir. Vol. I,
No. 2, Juli-Desember 2011.

Hidayatulloh, Furqon Syarief. “Strategi Pencegahan Dan Penanganan Penyebaran Aliran


Sesat Di Indonesia”. Analisis, Volume XIII, Nomor 2, Desemberi 2013.

Idri, “Perspektif Orientalis tentang Hadis Nabi: Telaah Kritis dan Implikasinya terhadap
Eksisrensi Kehujjahannya”. Al-Tahrir. Vol 11, No. 1, Mei 2011.

Mudhiiah, Khoridatul. “Pemikiran Daud Rasyid terhadap Upaya Ingkar Sunnah kelompok
Orientatalis di Indonesi”Addin, Vol. 7, No. 2, Agustus 2013.

Nirwana, Dzikri. “Diskursus Studi Hadis dalam Wacana Islam Kontemporer”, Al-Banjary,
Vol. 13, No. 2, Juli-Desember 2016.

Quday, Saifuddin Zuhri dan Ali Imron, Model-Model Penelitian Hadis Kontemporer.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.

Rasyid, Daud. Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan. Bandung: Syaamil, 2006.

___________. Apa dan Bagaimana Hadits Nabi. Bekasi, Usamah Press, 2015.

___________. Islam dalam Berbagai Dimensi. Jakarta: Gema Insani Press, 1998.

Saputra, Hasep. “Perkembangan Studi Hadis di Indonesia”, Al-Quds: Jurnal Studi al-Qur‟an
dan Hadis, Volume 1, Nomor 1, 2017.

18

Anda mungkin juga menyukai