Anda di halaman 1dari 4

Nama : Hasnya Yuqa Rasmida

NIM : 1703121887
Kelas :A
Mata Kuliah : Bahasa Indonesia

Paragraf Narasi
Beberapa bulan terakhir, nampaknya langit biru semakin jarang hadir. Hanya ditemani
langit temaram sepanjang hari, yang semakin gelap menyelimuti. Aku sekarang berada di
koridor rumah sakit, duduk menunggu giliran untuk dipanggil. Sejak pagi, nafasku terasa sesak,
butuh beberapa saat untuk menenangkan diri hingga teman-temanku membawa pergi ke rumah
sakit. Korban terpapar asap, salah satunya aku. Tidah hanya satu, namun berpuluh pasien
tampak memadati rumah sakit. Semua tampak sama, mengeluh sesak saat bernafas, batuk
berkepanjangan, pusing, bahkan mata perih dan memerah sehingga mengganggu penglihatan.
Semua karena dampak asap yang kembali menyelimuti. Tahun 2015 yang merupakan
kenangan terburuk bencana asap, tampaknya kini kembali terulang. Kebarakan hutan dan lahan
kembali terjadi, titik api menyebar pesat, diiringi angin yang berhembus kencang menyebabkan
kobaran api yang membesar, membakar rerumputan kering dan pohon yang kini hangus di
sambar api. Langit kini menguning, abu kebakaran tampak beterbangan tersapu angin, hinggap
di atap, berjatuhan di teras rumah, atau malah singgah menghuni paru-paru kita. Dampaknya
semakin parah, terutama ketika sesak mulai melanda, menyebabkan masyarakat hidup sengsara
di kepulan asap.

Paragraf Deskripsi
Masih terasa menyesakkan, kondisi Riau yang semakin melarat. Sepanjang mata
memandang, hanya kabut yang melintang. Awan kembali tak pernah tampak, kini malah
menghitam di seluruh angkasa. Mengepung dan memenjarakan, oleh asap dari kebakaran
hutan. Miris bukan? Keadaan kota yang dulunya gemerlap, kini tak bergeming dengan kepulan
asap. Padamnya aktivitas masyarakat, oleh asap yang kian mendekap.
Rupanya kota ku bernasib malang, mendapat kiriman asap dari tetangga. Arah angin
yang tidak berpihak, semakin membuat parah. Kondisi semakin kacau, dengan berbagai sudut
masyarakat mulai tumbang terpapar asap. Mengeluh sesak dan sulit bernafas, seolah nyawa di
ambang batas. Riau, rakyatnya kini melarat, tapi pejabatnya malah sibuk bermain pangkat.
Paragraf Eksposisi
Kondisi kabut asap di Riau semakin parah. Bahkan jarak pandang yang sebelumnya
tembus sejauh 1 km semakin menyempit menjadi hanya 300 meter. Kabut asap yang semakin
tebal pun membuat langit menguning akibat partikel debu Karhutla yang semakin pekat.
Berdasarkan data BMKG Stasiun Pekanbaru, terpantau ada 1.319 titik panas (hotspot) yang
menjadi indikasi Karhutla di Pulau Sumatera. Titik panas paling banyak di Provinsi Sumatera
Selatan (Sumsel) yakni 537 titik, kemudian Jambi 440 titik, dan Riau sendiri ada 239 titik
panas.
Banyak aktivitas yang terganggu bahkan lumpuh dengan adanya kejadian ini, salah
satunya adalah kegiatan belajar mengajar. Sejumlah sekolah dari tingkat TK hingga SMA
bahkan perkuliahanpun diliburkan. Kabarnya instruksi untuk meliburkan sekolah ini diberikan
karena kondisi udara di Riau sudah semakin berbahaya, dan untuk menimalisir korban, maka
seluruh aktivitas di luar hendaknya dikurangi, sehingga banyak sekolah diliburkan.
Adanya polusi asap Karhutla juga menyebabkan penderitaan bagi warga. Sekitar
39.227 warga Riau menderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Mengacu pada data dari
Dinas Kesehatan Provinsi Riau, jumlah penderita ISPA tersebut meningkat jika dibandingkan
pada bulan Juli sebanyak 27.563 orang dan pada bulan Agustus menjadi 29.346 orang hingga
pada bulan September jumlahnya sudah mencapai 9.931 orang. Penderita ISPA selama bulan
Agustus dikabarkan paling banyak di Kota Pekanbaru yakni lebih dari 7.377 orang. Kemudian
di Kabupaten Kampar ada sekitar 4.152 orang, Siak 4.616 orang dan Kota Dumai ada 3.932
pasien.

Paragraf Argumentasi
Kasus kebakaran hutan di Indonesia merupakan kasus yang berulangkali terjadi. Pada
tahun 2019 bencana asap kembali terjadi dan kian meluas. Berdasarkan data dari Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sepanjang Januari-15 September 2019 telah terjadi
kebakaran seluas 328 ribu ha di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut mencapai 64% dari luas
karhutla sepanjang tahun lalu. Adapun karhutla pada tahun ini terjadi di Nusa Tenggara Timur
(NTT) mencapai 108 ribu ha, kemudian Riau seluas 49 ribu ha, dan Kalimantan Tengah 45
ribu ha.
Kerugian yang terjadi akibat bencana asap pastinya tidak hanya materi, yang tak
terhitung nilainya, tetapi juga kerusakan lingkungan dan menurunnya kualitas kesehatan
masyarakat. Belum lagi puluhan ribu orang di berbagai wilayah menderita infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA) akibat terpapar asap. Pemerintah dinilai para ahli dan pemerhati
lingkungan dan masyarakat telah abai dalam penanganan bencana asap yang terjadi hampir
rutin setiap tahun ini.
Seperti berkaitan dengan bencana asap yang terjadi di Sumatera. Pemerintah dinilai
telah melakukan pembiaran terhadap perusakan ekosistem lahan gambut secara masif.
Kebakaran di Sumatera menurut para ahli dan aktivis lingkungan disebabkan oleh keringnya
lahan gambut setelah alih fungsi lahan. Dalam proses alih fungsi lahan gambut selalu disertai
pengeringan lewat pembuatan kanal-kanal. Ahli hidrologi dari Universitas Sriwijaya, Momon
Sodik Imanuddin, mengatakan, akar dari kebakaran lahan gambut di Sumatera adalah adanya
pengeringan berlebih dan tidak terkendali.

Paragraf Persuasi
Kabut asap yang melanda Riau merupakan bencana akibat terjadinya kebakaran hutan
dan lahan. Bahkan di beberapa wilayah di Indonesia juga mengalami kebakaran hutan dan
lahan. Mengapa hal ini kembali terjadi? Dengan kondisi kemarau yang melanda juga
memperparah kondisi tersebut hingga menyebabkan kabut asap kini bahkan sampai ke negara
tetangga. Prakiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan,
musim kemarau tahun ini pada umumnya mulai berlangsung pada April 2019. Sedangkan
puncak musim kemarau akan terjadi pada Agustus 2019. Dari 342 zona musim di Indonesia,
68 persen akan mengalami puncak musim kemarau pada Agustus 2019. Kemarau yang terus
bergulir menuju puncaknya menyebabkan kondisi tanah semakin mengering. Ditambah udara
yang lebih panas memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
Lahan gambut di daerah Sumatera, Kalimantan, dan Papua adalah daerah yang selalu
rawan kebakaran dari kemarau ke kemarau selanjutnya. Lahan gambut sangat rentan terbakar
sebab material tanahnya terdiri dari bahan-bahan organik, seperti daun, ranting dan batang
pohon, hingga hewan-hewan yang mati serta terdekomposisi Tidak hanya itu, sifat pembakaran
gambut adalah pembakaran dalam. Artinya, titik api muncul dari lapisan bawah tumpukan
material organik, sehingga sangat sulit dipadamkan. Kasus kebakaran paling banyak terjadi
pada tahun 2018, mencapai 527 kejadian. Seluruh kasus terkonsentrasi di pulau Sumatera,
Kalimantan, dan Papua. Kebakaran hutan dan lahan turut memicu permasalahan nasional
hingga internasional, seperti kabut asap. Ribuan kasus kebakaran tersebut telah merusak lebih
dari 44 juta hektar kawasan hutan di Indonesia. Sementara luas kawasan perkebunan dan
pertanian yang terdampak mencapai lebih dari 70.000 hektar.
Ada dua faktor pemicu kebakaran, alam dan manusia. Tapi, faktor manusialah yang
lebih kuat menjadi penyebab kebakaran. Pakar gambut dari UGM, Satyawan Pudyatmoko
mengatakan, kebakaran lahan gambut sering kali disebabkan oleh kesalah fundamental oknum
tertentu yang mencoba membuka lahan baru dengan cara membakar. Tanpa memerhatikan
ekosistem hutan, oknum pembakar lahan gambut hanya berpikir tentang nilai ekonomis
optimalisasi lahan. Faktor yang disebabkan manusia bisa karena faktor kesengajaan atau bisa
juga kelalaian. Musibah ini juga kita ketahui bukan sepenuhnya kesalahan manusia.
Seraya terus menyelidiki penyebab utama kebakaran hutan yang terus terulang.
Pengetahuan mitigasi juga sangat perlu disosialisasikan kepada daerah korban terdampak.
Selain itu, yang paling utama adalah bagaimana cara kita menumbuhkan "rasa kepemilikan"
atas hutan dan lahan. Artinya, dengan rasa kepemilikan yang tinggi, kebakaran hutan dan lahan
yang disebabkan oleh faktor manusia bisa berkurang dan menghilang. Rasa kesadaran
akan kepedulian ekosistem lingkungan bisa menjadi tameng utama berkurangnya kelalaian dan
kesengajaan kebakaran hutan.

Anda mungkin juga menyukai