Seseorang akan merasakan manisnya iman bermula manakala di dalam hatinya terdapat rasa cinta yang
mendalam kepada Allah dan Rasul-Nya, manisnya akan semakin dirasakan bila seseorang berusaha untuk
senantiasa menyempurnakan cintanya kepada Allah, memperbanyak cabang-cabangnya (amalan yang
dicintai Allah Ta’ala) dan menangkis hal-hal yang bertentangan dengan kecintaan Allah Ta’ala.
Buktinya, ia akan selalu mengutamakan kecintaanya kepada Allah daripada mementingkan kesenangan
dan kemegahan dunia, seperti bersenang-senang dengan keluarga, lebih senang tinggal di rumah
ketimbang merespon seruan dakwah dan asyik dengan bisnisnya tanpa ada kontribusi sedikitpun
terhadap kegiatan jihad di jalan Allah Ta’ala. Sebagaimana firman Allah dalam surat At-Taubah : 24
Bila seseorang senantiasa mengutamakan kecintaan kepada Allah, Rasul dan jihad di jalan-Nya, daripada
kepentingan dirinya sendiri, maka akan lahirlah sikap ridha terhadap Allah sebagai Rabbnya, Islam
sebagai din-nya dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasulnya. Keridhaannya itu dibuktikan dengan selalu
menghadiri halaqahnya, terlibat dengan kegiatan dakwah di lingkungannya dan menginfakkan sebagian
harta dan waktunya untuk kemaslahatan tegaknya agama Allah Ta’ala.
Apa yang dirasakan oleh seseorang bila ia telah ridha terhadap Allah, agama dan Rasulnya?
Pertama, Ia akan merasakan “Istildzadz at-Thaa’ah”, lezatnya ketaatan kepada Allah Ta’ala, baik dalam
shalatnya, tilawah Qur’annya, pakaian dan pergaulan islaminya, perkumpulannya dengan orang-orang
shaleh dan keterlibatannya dalam barisan dakwah
Kedua, Ia juga akan merasakan “Istildzadz al-masyaqat”, lezatnya menghadapi berbagai kesulitan dan
kesusahan dalam berdakwah. Kelelahan, keletihan, dan hal-hal yang menyakiti perasaannya akibat
celaan orang karena menjalankan syariat Islam, atau bahkan mencederai fisiknya, semua itu semakin
membuatnya nikmat dalam berdakwah. Semua inilah yang akan senantiasa melahirkan manisnya Iman.
“Istildzaadz at-thaa’ah”, lezatnya ketaatan kepada Allah ditunjukan oleh wanita Anshar dan Muhajirin,
tatkala turun wahyu yang memerintahkan mereka untuk berhijab dan menutrup auratnya, mereka
langsung meresponnya dengan senang hati dan lapang dada, tanpa merasa berat sedikitpun. Aisyah ra.
yang menjadi saksi mata atas hal ini berkata,
“Semoga Allah merahmati wanita Anshar dan Muhajirin, tatkala turun kepada mereka ayat ‘hendaknya
mereka mengenakan kain panjang (jilbab) sampai ke atas dada mereka,’ mereka memotong kain-kain
mereka, lalu mereka menjadikan kain-kain itu sebagai penutup kepalanya.”
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan
harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.” (A-
Taubah: 41)
Abu Ayub berseru kepada anak-anaknya, “Jahhizuuny! Jahhizuuny!” siapkan peralatan perangku!. Anak-
anaknya membujuk agar bapaknya tidak perlu berangkat untuk berjihad, karena usianya sudah udzur,
cukup di wakilkan saja oleh anak-anaknya. Abu Ayyub menolak bujukan anak-anaknya seraya berkata :
“ketahuilah wahai anak-anakku, yang dimaksud ayat tersebut adalah ِ إخنفاَففاَلنقكلم نوثإنقاَلف دلي, ringan bagi kalian
berat bagiku, beliaupun tetap berangkat dan menemukan syahidnya dalam perjalanan jihad tersebut.
(lihat Tafsir Ibnu Katsir)
Sedangkan Lezatnya kesulitan (Istildzadz al-masyaqqah) dalam dakwah dirasakan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menghadapi ketidaksukaan orang-orang kafir terhadap ajaran
Islam, sebagaimana yang ditunjukan oleh masyarakat Thaif ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
hijrah ke sana, yaitu pada saat Nabi menyampaikan dakwahnya, mengajak mereka untuk menerima
ajaran Islam, tetapi tidak ada sedikitpun sambutan baik dari para tokoh mereka, bahkan dengan nada
yang sangat melecehkan dan menyakitkan, mereka menanggapi dakwah Nabi seraya berkata, “Coba kau
robek kiswah ka’bah jika engkau memang benar-benar utusan Allah.”
Yang lainnyapun turut berkomentar, “Apa tidak ada lagi orang yang lebih pantas diutus oleh Allah selain
engkau?”
Dengan penuh kesabaran dan ketabahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima kenyataan
pahit tersebut, beliau tetap berlapang dada dan tidak mempermasalahkan tentang penolakan dan
penentangan mereka. Oleh karena itu ketika malaikat penjaga gunung menawarkan kepada Nabi, bila
beliau setuju ia akan mengangkat dua buah bukit yang ada di Thaif lalu ditimpakan kepada mereka,
dengan penuh kelembutan dan kasih sayang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapinya
seraya berkata,
اق إملن أن ل
َصنلبإإهلم نملن ينلعبققد ب
ان نولحندهق نل يقلشإر ق
َك بإإه نشليِفئا َبنلل أنلرقجو أنلن يقلخإرنج ب
“Tetapi aku berharap semoga Allah mengeluarkan dari tulang rusuk mereka kelak orang-orang (generasi)
yang beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun.”
Syaikh Abu Muhammad bin Abi Jamroh mengibaratkan manisnya iman dengan sebuah pohon,
sebagaimana firman Allah :
Yang dimaksud kalimat dalam ayat tersebut adalah kalimatul ikhlas ل اَله اَل ا, batang pohonnya adalah
pangkal iman, cabang dan rantingnya adalah menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya,
dedaunannya adalah kepedulian terhadap kebajikan, buahnya adalah amal ketaatan, rasa manisnya
adalah ketika memetiknya, dan puncak manisnya adalah ketika matangnya sempurna saat dipetik,
disitulah sangat terasa manisnya.
Dari Anas ra, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tiga perkara jika kalian memilikinya, maka
akan didapati manisnya iman. (Pertama) orang yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari
selainnya. (Kedua) agar mencintai seseorang semata-mata karena Allah swt. (Ketiga), tidak senang
kembali kapada kekufuran setelah diselamatkan oleh Allah swt, sebagaimana ketidak-senangannya
dilempar ke dalam api neraka.” (HR Bukhari Muslim dengan redaksi Muslim)
ضنيِ إباَبَلإ نر بفباَ نوإباَإللسلنإم إديفناَ نوبإقمنحبَمدد َ ))نذاَ ن:اق نعلنليِإه نونسلبَنم ينققوقل
ق طنلعنم اَإللينماَإن نملن نر إ َصبَلىَّ ب َب أننبَهق نسإمنع نرقسونل ب
اإ ن س لبإن نعلبإد اَللقمطبَلإ إ
نعلن اَللنعبَباَ إ
(ل(( )رواَه مسلم نرقسو ف.
Dari Al-Abbas bin Abdil Muttalib, bahwasanya ia mendengar Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Telah merasakan lezatnya iman seseorang yang ridha Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai
dinnya dan Muhammad sebagai Rasulnya.” (HR. Muslim)
Amar bin Yasir berkata, “Ada tiga hal yang barangsiapa berada di dalamnya ia merasakan manisnya
keimanan, berinfak dari kekikiran, bersikap adil terhadap manusia dari dirinya, dan mengupayakan
keselamatan (salam) bagi alam.” (Diriwayatkan Abdurazzaq, Bukhari mencantumkannya di kitab Al-
Iman).
Hadits yang dibawakan oleh Amar bin Yasir ra. tersebut di atas, juga menjelaskan tentang tiga hal yang
dapat mendatangkan manisnya iman
Pertama: berinfak secukupnya, tidak berlebihan sehingga menzalimi hak-hak yang lainnya, tapi juga tidak
kikir dengan hartanya
Kedua: bersikap objektif, tidak menghalanginya untuk berbuat baik dan adil kepada manusia, walaupun
ada kaitannya dengan kepentingan diri sendiri, misalnya walaupun disakiti dan dizalimi oleh seseorang,
tetapi tidaka menghalanginya untuk memaafkannya dan tetap berbuat baik kepadanya
Ketiga: Menebarkan kesejahteraan kepada seluruh alam semesta, memperjuangkan sesuatu demi
kebaikan manusia dan seluruh makhluk lainnya, seperti dengan melakukan kegiatan amal siasi maupun
amal khidam ijtima’i (kegiatan sosial)
Ibnu Mas’ud juga berkata, “Ada tiga hal yang bila ada dalam diri seseorang maka dia akan merasakan
manisnya iman, menghindari perdebatan dalam hal kebenaran, tidak berdusta (meskipun) sedang
bercanda, dan menyadari bahwa apa yang telah menimpanya (berdasarkan qadar Allah) tidak akan
meleset darinya dan apa yg tdk menimpanya (berdasarkan qadar Allah), maka tidak akan mengenainya.”
(Diriwayatkan Abdurrazzaq).
Ibnu Rajab berkata dalam kitab Fathul Bari 1/27: “Maka apabila sebilah hati telah mendapatkan
manisnya iman, maka ia akan sensitif merasakan pahitnya kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan, karena
itulah Nabi Yusuf AS berkata : “Ya Rabb! Penjara lebih aku sukai daripada apa yang mereka serukan
kepadaku” (QS. Yusuf : 33)