Oleh :
Apoteker Angkatan XXXVII
Ari Saputra, S.Farm 18344149
i
LEMBAR PENGESAHAN
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Apoteker Pada Program Studi Profesi
Apoteker Fakultas Farmasi Institut Sains dan
Teknologi Nasional Jakarta
Disusun Oleh:
Ari Saputra, S.Farm 18344149
Disetujui Oleh:
i
KATA PENGANTAR
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
iv
3.1.2. DATA SUBJEKTIF ............................................................................................................ 27
3.1.3. DATA OBJEKTIF .............................................................................................................. 28
3.1.4. TERAPI DI IGD ................................................................................................................ 29
3.1.4. REKONSILIASI OBAT ..................................................................................................... 29
3.1. 5. PEMANTAUAN PEMBERIAN OBAT ............................................................................ 29
3.1.6. KESESUAIAN DOSIS ....................................................................................................... 30
3.1.7. PERHITUNGAN DOSIS .................................................................................................... 31
3.1.8. PROFIL FARMAKOKINETIKA OBAT ........................................................................... 34
3.1.9. INTERAKSI OBAT ............................................................................................................ 34
3.1.10. TELAAH RESEP.............................................................................................................. 35
3.1.11. IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEM ............................................................. 36
3.1.12. SOAP FARMASI Pasien I ................................................................................................ 36
3.1.13. RINGKASAN PASIEN PULANG ................................................................................... 37
B. ANAMNESIS ........................................................................................................................... 38
3.2. IDENTIFIKASI PASIEN II ................................................................................................... 38
3.2.1. PEMERIKSAAN ................................................................................................................ 39
3.2.2. DATA SUBJEKTIF ............................................................................................................ 39
3.2.3. DATA OBJEKTIF .............................................................................................................. 40
3.2.4. REKONSILIASI OBAT ..................................................................................................... 41
3.2.5. PEMANTAUAN PEMBERIAN OBAT ............................................................................. 42
3.2.6. KESESUAIAN DOSIS ....................................................................................................... 42
3.2.7. PROFIL FARMAKOKINETIKA OBAT ........................................................................... 43
3.2.8. INTERAKSI OBAT ............................................................................................................ 43
3.2.9. TELAAH RESEP................................................................................................................ 43
3.2.10. IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEM ............................................................. 44
3.2.11. SOAP FARMASI.............................................................................................................. 45
3.2.12. RINGKASAN PASIEN PULANG ................................................................................... 45
BAB IV ................................................................................................................................................. 46
PEMBAHASAN ................................................................................................................................... 46
4.1 Pembahasan Pasien I ................................................................................................................... 46
4.1. PEMBAHASAN Pasien II ......................................................................................................... 47
BAB V .................................................................................................................................................. 49
KESIMPULAN ..................................................................................................................................... 49
5.1. Kesimpulan PTO Pasien I .......................................................................................................... 49
5.2. Kesimpulan PTO Pasien II ......................................................................................................... 49
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 50
v
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1
Dalam pedoman pemantauan terapi obat, pasien yang masuk rumah sakit
dengan multi penyakit, polifarmasi, dan pasien geriatri adalah salah satu
kriteria pasien yang perlu mendapatkan pemantauan terapi obat. Apoteker
memiliki posisi strategis untuk meminimalkan medication errors, baik dilihat
dari keterkaitan dengan tenaga kesehatan lain maupun dalam proses
pengobatan. Kontribusi yang dimungkinkan dilakukan antara lain dengan
meningkatkan pelaporan, pemberian informasi obat kepada pasien dan
tenaga kesehatan lain, meningkatkan keberlangsungan rejimen pengobatan
pasien, peningkatan kualitas dan keselamatan pengobatan pasien di rumah.
Di tengah proses terapi, apoteker atau farmasis memeriksa kembali semua
informasi dan memilih solusi terbaik bagi DRPs pasien. Diakhir proses
terapi, mereka menilai hasil intervensi farmasis sehingga didapatkan hasil
optimal dan kualitas hidup meningkat serta hasilnya memuaskan.
Keberadaan farmasis memiliki peran yang penting dalam mencegah
munculnya masalah terkait obat. Farmasis sebagai bagian dari tim pelayanan
kesehatan memiliki peran penting dalam PTO. Pengetahuan penunjang
dalam melakukan PTO adalah patofisiologi penyakit; farmakoterapi; serta
interpretasi hasil pemeriksaan fisik, laboratorium dan diagnostik. Selain itu,
diperlukan keterampilan berkomunikasi, kemampuan membina hubungan
interpersonal, dan menganalisis masalah. Proses PTO merupakan proses
yang komprehensif mulai dari seleksi pasien, pengumpulan data pasien,
identifikasi masalah terkait obat, rekomendasi terapi, rencana pemantauan
sampai dengan tindak lanjut. Proses tersebut harus dilakukan secara
berkesinambungan sampai tujuan terapi tercapai. Oleh sebab itu, dibutuhkan
kontribusi farmasis dalam memantau mengidentifikasi, mencegah, dan
menyelesaikan masalah yang timbul dari suatu pengobatan khususnya terkait
penggunaan obat. (KEMENKES RI, no 23 THN. 2008)
Saya tidak melihat latar belakang kenapa kamu melakukan PTO ?
Baca laporan PKPA teman-teman sebelumnya !
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah :
Untuk menambah pemahaman klinis asma dan Tifoid khususnya dari segi
Pemantauan Terapi Obat, pengenalan etiologi, faktor risiko, patofisiologi,
dan penatalaksanaan terkait kasus.
Kenapa tiba-tiba ada tujuan ? Mana rumusan masalahnya ?
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Gambar 1.
Skema patofisiologi asma bronkial
Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara
sebagai berikut: seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk
membentuk sejumlah antibodiIg E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi
ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen spesifikasinya. Pada
asma, antibodi ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial
paru yang berhubungan erat dengan brokiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang
menghirup alergen maka antibodi Ig E orang tersebut meningkat, alergen
bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel
ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat
anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), faktor
kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor-faktor
ini akan menghasilkan adema lokal pada dinding bronkhioulus kecil maupun
sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot polos
bronkhiolus, sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat
meningkat. Pada asma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi
daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama
eksirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus. Kalau bronkiolus sudah
tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan
eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada
penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat,
tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas
residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama
serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini
bisa menyebabkan barrel chest. (Iso farmakoterapi : prof. dr. Elin Yulina S, Apt)
4
2.2.2 Patofisiologi Tifoid
Semua infeksi Salmonella dimulai dengan masuknya bakteri tersebut
melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi. Dosis yang dapat
menginfeksi yakni 103-106colony-forming units. Sebagian bakteri dimusnahkan
dalam lambung dan sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya
berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang
baik, maka Salmonella akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan
selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria, mikroorganisme ini akan
berkembang biak dan difagosit oleh
sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.
Salmonella dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag
dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri
ileum distal. Salmonella memiliki
fimbrae yang terspesialisasi yang
menempel ke epitelium jaringan
Gambar 1. Patofisiologi Demam Tifoid
limfoid di ileum (plak Peyeri), tempat utama dimana makrofag lewat dari usus
ke sistem limfatik. Bakteri ini kemudian dibawa ke kelenjar getah bening
mesenterika.
Selanjutnya melalui duktus torasikus,bakteri yang terdapat didalam
makrofag ini masuk ke sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh
terutama hati dan limpa. Pasien biasanya relatif tidak memiliki atau hanya
sedikit gejala pada masa inkubasi awal ini. Di organ-organ retikuloendotelial,
Salmonella meninggalkan sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel
atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi
mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya disertai dengan tanda-tanda dan
gejala penyakit infeksi sistemik.
5
Didalam hati, bakteri masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,
dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen
usus. Sebagian bakteri dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke
dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya
akan menimbulkan gejala inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental dan koagulasi.
Di dalam plak Peyeri, makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan (S. Typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe
lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna
dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah disekitar plak Peyeri yang sedang
mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di
dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke
lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neruopsikiatrik, kardiovaskular,
pernapasan dan gangguan organ lainnya. (Price A, Wilson L. 2009.
Patofisiologi. Edisi 6. Jakarta: EGC)
2.3 Klasifikasi
2.3.1 Klasifikasi Asma
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3
tipe, yaitu:
1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor
pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-
obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering
6
dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi.
Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang
disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.
2. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap
pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin
atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan
emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan
berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan
emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari
bentuk alergik dan non-alergik. (Panduan pelayanan medik, Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, cetakan ke-3, 2009)
7
Keadaan karier tifoid terjadi pada 1-5% pasien, tergantung umur pasien.
Karier tifoid bersifat kronis dalam hal sekresi Salmenella typhi di feses.
(WHO. 2011. Guidelines for the Management of Typhoid Fever.
Zimbabwe: The Ministry of Health and Child Welfare)
8
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan
faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang kadang serangan
berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau,
musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga
dan debu.
c. Stress
Stress atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma,
selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada.
Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita
asma yang mengalami stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat
untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya
belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
d. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan
asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang
yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes,
polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
e. Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan
aktifitas jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah
menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi
segera setelah selesai aktifitas tersebut. (Iso farmakoterapi : prof. dr. Elin Yulina
S, Apt)
9
dari demam tifoid, yang dinamakan karier, masih tetap membawa bakteri
tersebut. Baik orang yang sakit dan karier memiliki S. typhi di feses (tinja)
mereka. Sekali S. typhi dimakan atau diminum, bakteri ini akan berkembang
biak dan menyebar hingga ke darah.
1. Penularan S. typhi terjadi paling sering yakni melalui makanan dan minuman
yang terkontaminasi oleh tinja pasien atau karier demam tifoid yang
asimptomatik. Makanan dan minuman ini juga dapat terkontaminasi urin
pasien meskipun lebih jarang terjadi. Transmisi dari tangan ke mulut akan
terjadi jika seseorang menggunakan toilet yang terkontaminasi dan
mengabaikan higiene tangan setelahnya. (Sudoyo, Aru W. 2009. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Balai Penerbit FKUI)
10
(COPD). Tanda lain yang menyertai sesak napas adalah pernapasan cuping
hidung yang sesuai dengan irama pernapasan. Frekuensi pernapasan terlihat
meningkat (takipneu), otot Bantu pernapasan ikut aktif, dan penderita tampak
gelisah. Pada fase permulaan, sesak napas akan diikuti dengan penurunan PaO2
dan PaCO2, tetapi pH normal atau sedikit naik. Hipoventilasi yang terjadi
kemudian akan memperberat sesak napas, karena menyebabkan penurunan
PaO2 dan pH serta meningkatkan PaCO2 darah. Selain itu, terjadi kenaikan
tekanan darah dan denyut nadi sampai 110-130/menit, karena peningkatan
konsentrasi katekolamin dalam darah akibat respons hipoksemia.
11
- Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig
E pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari
serangan.
2. Pemeriksaan Radiologi
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang
dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma. Pemeriksaan
menggunakan tes tempel.
3. EKG
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi
menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada
empisema paru yaitu :
12
berat obstruksi dan efek pengobatan. Banyak penderita tanpa keluhan
tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.
13
Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus
diketahui oleh pasien. Penatalaksanaan asma sebaiknya dilakukan oleh pasien di
rumah (lihat bagan 1), dan apabila tidak ada perbaikan segera ke fasilitas
pelayanan kesehatan. Penanganan harus cepat dan disesuaikan dengan derajat
serangan. Penilaian beratnya serangan berdasarkan iwayat serangan termasuk
gejala, pemeriksaan fisik dan sebaiknya pemeriksaan faal paru, untuk
selanjutnya diberikan pengobatan yang tepat dan cepat.
Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah:
bronkodilator (B2 agonis kerja cepat dan ipratropium bromida)
kortikosteroid sistemik
Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya 82 agonis kerja cepat
yang sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi Bila tidak memungkinkan
dapat diberikan secara sistomik Pada dewasa dapat diberikan kombinasi dengan
Teofilin/Aminofilin oral.
Pada keadaan tertentu (seperti ada nwayal serangan berat sebelumnya)
kortikosteroid oral (metiprednisolon) dapat diberikan dalam waktu singkat 3-5
hari Pada serangan sedang diberikan 12 agonis kerja cepat dan kortikosteroid
oral Pada dewasa dapat ditambahkan ipratropium bromida inhalasi, amnafiin IV
(bolus atau drip). Pada anak belum diberikan ipratropium bromida inhalasi
maupun aminofilin IV. Bila diperlukan dapat diberikan oksigen dan pemberian
cairan IV.
Pada serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan IV, B2
agonis kerja cepat ipratropium bromida inhalasi, kortikosteroid IV, dan
aminofilin IV (bolus atau drip). Apabila B2 agonis kerja cepat tidak tersedia
dapat digantikan dengan adrenalin subkutan.
Pada serangan asma yang mengancam jiwa langsung dirujuk ke ICU.
Pemberian obat-obat bronkodilator diutamakan dalam bentuk inhalasi
menggunakan nebuliser. Bila tidak ada dapat menggunakan IDT (MDI) dengan
alat bantu (spacer). (KEMENKES RI NO 28 THN 2008)
14
Tabel 1. Tatalaksanaan Asma sumber nya dari mana ?
Obat asma
Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega diberikan
pada saal serangan asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan untuk
pencegahan serangan asma dan diberikan dalam jangka panjang dan torus
menerus. Untuk mengontrol asma digunakan anti inflamasi (kortikosteroid
15
inhalasi). Pada anak, kontrol lingkungan mutlak dilakukan sebelum diberikan
kortikosteroid dan apabila dua sampai tiga bulan kondisi telah terkontrol.
Obat asma yang digunakan sebagai pengontrol antara lain :
Inhalasi kortikosteroid
β agonis kerja panjang
antileukotrien
teofilin lepas lambat
Tabel 2. Jenis obat
16
demam dan konstipasi lebih sering mendominasi dibandingkan diare dan
muntah. Gejala yang paling terlihat yakni demam terus-menerus (38,8°C -
40,5°C) yang bisa berlanjut hingga empat minggu jika tidak diobati. Diare
mungkin muncul pada awal onset tetapi biasanya hilang ketika demam dan
bakteremia muncul.
Kumpulan gejala-gejala klinis tifoid disebut juga dengan sindrom demam
tifoid. Di bawah ini merupakan gejala klinis yang sering pada demam tifoid,
diantaranya adalah:
1. Demam
Pada awal onset, demam kebanyakan samar-samar, selanjutnya suhu
tubuh sering turun naik. Pagi lebih rendah atau normal, sore dan malam lebih
tinggi. Intensitas demam makin tinggi dari hari ke hari yang disertai gejala
lain seperti sakit kepala yang sering dirasakan di area frontal, nyeri otot,
pegal-pegal, insomnia, anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu berikutnya,
intensitas demam semakin tinggi bahkan terkadang terus-menerus. Bila
pasien membaik maka pada minggu ketiga suhu badan berangsur turun dan
dapat normal kembali pada akhir minggu. Akan tetapi, demam khas tifoid
seperti ini tidak selalu ada.
2. Gangguan Saluran Pencernaan
Pada penderita sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena
demam yang lama. Bibir kering dan terkadang pecah-pecah. Lidah kelihatan
kotor dan ditutupi oleh selaput putih. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan
tremor tetapi pada penderita anak jarang ditemukan. Penderita umumnya
sering mengeluh nyeri perut, terutama di regio epigastrik, disertai mual dan
muntah. Pada awal sakit sering terjadi meteorismus dan konstipasi. Pada
minggu selanjutnya kadang-kadang juga timbul diare. Beberapa pasien
mengalami diare encer yang buruk berwarna hijau kekuningan (pea soup
diarrhea). Pasien seperti ini bisa masuk kedalam keadaan tifoid yang
dikarakteristikkan dengan gangguan kesadaran.
17
3. Gangguan Kesadaran
Pada umumnya terdapat gangguan kesadaran yang berupa penurunan
kesadaran ringan. Sering didapatkan kesadaran apatis dengan kesadaran
seperti berkabut. Bila klinis berat, tidak jarang penderita sampai pada kondisi
somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala psikosis (Organic Brain
Syndrome). Pada penderita dengan tifoid toksik, gejala delirium lebih
menonjol.
4. Hepatosplenomegali
Hati dan atau limpa sering ditemukan membesar. Hati terasa kenyal dan
nyeri tekan.
5. Bradikardia Relatif dan Gejala Lain
Bradikardia relatif tidak sering ditemukan. Gejala-gejala lain yang dapat
ditemukan pada demam tifoid adalah rose spot (makula yang berwarna rose)
yang biasanya ditemukan di regio abdomen atas, batuk kering, serta gejala-
gejala klinis yang berhubungan dengan komplikasi yang terjadi. Rose spot ini
biasanya muncul pada 30% pasien diakhir minggu pertama dan menghilang
tanpajejak setelah 2-5 hari.
Relaps terjadi pada 5-10% pasien, biasanya dua sampai tiga minggu
setelah demam sembuh. Biasanya relaps ini lebih ringan dibandingkan gejala
awalnya dan S. typhi yang diisolasi dari pasien merupakan S. typhi dengan
strain dan kerentanan antibiotik yang sama. Sepuluh persen pasien demam
tifoid yang tidak diobati akan mengeksresikan S. typhi ditinja hingga 3 bulan
mendatang dan 1-4% akan menjadi pembawa kronis yang asimptomatik,
yakni orang yang mengeksresikan S. typhi baik di urin dan di tinja selama
lebih dari 1 tahun.
18
• Kelainan makulopapular berupa roseola (rose spot) berdiameter 2-5 mm
terdapat pada kulit perut bagian atas dan dada bagian bawah. Rose spot
tersebut agak meninggi dan dapat menghilang jika ditekan. Kelainan yang
berjumlah kurang lebih 20 buah ini hanya tampak selama dua sampai empat
hari pada minggu pertama. Bintik merah muda juga dapat berubah menjadi
perdarahan kecil yang tidak mudah menghilang yang sulit dilihat pada pasien
berkulit gelap (jarang ditemukan pada orang Indonesia).
• Perut distensi disertai dengan nyeri tekan perut.
• Bradikardia relatif.
• Hepatosplenomegali.
• Jantung membesar dan lunak.
• Bila sudah terjadi perforasi maka akan didapatkan tekanan sistolik yang
menurun, kesadaran menurun, suhu badan naik, nyeri perut dan defens
muskuler akibat rangsangan peritoneum.
• Perdarahan usus sering muncul sebagai anemia. Pada perdarahan hebat
mungkin terjadi syok hipovolemik. Kadang ada pengeluaran melena atau
darah segar.
• Bila telah ada peritonitis difusa akibat perforasi usus, perut tampak distensi,
bising usus hilang, pekak hati hilang dan perkusi daerah hati menjadi timpani.
Selain itu, pada colok dubur terasa sfingter yang lemah dan ampulanya
kosong. Penderita biasanya mengeluh nyeri perut, muntah.
• Pemeriksaan radiologi menunjukkan adanya udara bebas di bawah diafragma,
sering disertai gambaran ileus paralitik.
2.2.2. Laboratorium
19
normal, walaupun jumlah tersebut rendah jika dikaitkan dengan tingkat demam.
Leukopenia (<2000 sel per mikroliter) dapat terjadi tetapi jarang sekali. Pada
kejadian perforasi usus atau penyulit piogenik, leukositosis sekunder dapat
terjadi. Albuminuria terjadi pada fase demam. Uji benzidin pada tinja biasanya
positif pada minggu ketiga dan keempat. Kultur Salmonella typhi dari darah
pada minggu pertama positif pada 90% penderita, sedangkan pada akhir minggu
ketiga positif pada 50% penderita. Terkadang pembiakan tetap positif sehingga
ia menjadi pembawa kuman. Pembawa kuman lebih banyak pada orang dewasa
daripada anak dan pria lebih banyak daripada wanita.
Pada akhir minggu kedua dan ketiga pembiakan darah menjadi positif untuk
basil usus. Ini menunjukkan adanya ulserasi di ileum. Jika terjadi perforasi yang
diikuti peritonitis terdapat toksemia basil aerob (E. coli) dan basil anaerob (B.
fragilis). Titer aglutinin O dan H (reaksi Widal) biasanya sejajar dengan grafik
demam dan memuncak pada minggu ketiga. Interpretasinya kadang sulit karena
ada imunitas silang dengan kuman salmonela lain atau karena titer yang tetap
meninggi setelah diimunisasi. Antibodi H dapat ditemukan bahkan pada titer
yang lebih tinggi, tetapi karena reaksi silangnya yang luas maka sulit untuk
ditafsirkan. Peninggian antibodi empat kali lipat pada sediaan berpasangan
adalah kriteria yang baik tetapi sedikit kegunaannya pada pasien yang sakit akut
dan dapat menjadi tidak bermanfaat akibat pengobatan antimikroba yang dini.
Semakin dini sediaan awal diambil, maka semakin mungkin ditemukan
peningkatan yang nyata. Antibodi Vi secara khas meningkat kemudian, setelah
3 sampai 4 minggu sakit, dan kurang berguna pada diagnosis dini infeksi.
1. Leukosit.
Pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk demam tifoid karena
kebanyakan pada demam tifoid ditemukan jumlah leukosit dalam batas-batas
normal. Pada demam tifoid tidak ditemukan adanya leukopenia, tetapi
kadang-kadang dapat ditemukan leukositosis.
20
2. SGOT dan SGPT.
SGOT dan SGPT dapat meningkat, tetapi dapat kembali normal setelah
demam tifoid sembuh, sehingga tidak memerlukan pengobatan.
3. Biakan darah.
Biakan darah (+) dapat memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah ( )
tidak menyingkirkan demam tifoid. Hal ini disebabkan karena hasil biakan
darah tergantung pada beberapa faktor, yaitu :
a. Teknik pemeriksaan laboratorium.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.
c. Vaksinasi di masa lampau.
d. Pengobatan dengan obat antimikroba.
4. Uji Widal.
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antibodi (aglutinin) dan
antigen yang bertujuan untuk menentukan adanya antibodi, yaitu aglutinin
dalam serum pasien yang disangka menderita demam tifoid. Antigen yang
digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan
dan diolah di laboratorium.
Akibat infeksi oleh Salmonella typhi, maka di dalam tubuh pasien
membuat antibodi (aglutinin), yaitu :
a. Aglutinin O.
Aglutinin O adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen
O yang berasal dari tubuh kuman.
b. Aglutinin H.
Aglutinin H adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen
H yang berasal dari flagela kuman.
c. Aglutinin Vi.
Aglutinin Vi adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen
Vi yang berasal dari simpai kuman.
21
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan
titernya untuk diagnosis. Makin tinggi titernya, makin besar kemungkinan
pasien menderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer Uji Widal akan
meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang paling sedikit 5
hari. Pembentukan aglutinin terjadi pada akhir mingu pertama demam,
kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu
keempat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula
timbul aglutinin O, kemudian diikuti oleh agglutinin H, pada orang yang
sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan
agglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal
bukan untuk menetukan kesembuhan penyakit.
22
2.2.3. PENATALAKSANAAN TIFOID
Penatalaksanaannya yaitu :
1. Tirah baring
Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam
atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk
mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus.
Mobilisasi pasien dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya
kekuatan pasien.
2. Cairan
Penderita harus mendapatkan cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada
komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Dosis airan
parenteral adalah sesuai dengan kebutuhan harian (tetesan rumatan). Bila ada
komplikasi, dosis cairan disesuaikan dengan kebutuhan. Cairan harus
mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.
3. Diet
Pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar, dan
akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Diet harus
mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah selulose
(rendah serat) untuk mencegah komplikasi, perdarahan dan perforasi. Diet
cair, bubur lunak (tim) dan nasi biasa bila keadaan penderita baik. Tapi bila
penderita dengan klinis berat sebaiknya dimulai dengan bubur atau diet cair
selanjutnya dirubah secara bertahap sampai padat sesuai dengan tingkat
kesembuhan penderita. Penderita dengan kesadaran menurun diberi diet
secara enteral melalui pipa lambung. Diet parenteral di pertimbangkan bila
ada tanda- tanda komplikasi perdarahan dan atau perforasi.
23
Tabel 19. Terapi
Kloramfenikol Dosis adalah 4 x 500 mg / hari, diberikan
secara per oral atau i.v; sampai dengan 7 hari
bebas panas
Tiamfenikol Dosis 4 x 500 mg,
Kotrimoksazol Dosis dewasa 2 x 2 tablet (1 tablet
mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80
mg trimetoprim) diberikan selama 2 minggu.
Ampisilin Dosis 50-150 mg/kgBB dan selama 2
&amoksisilin minggu.
Sefalosporin Cefixime : dosis 15-20mg/kg/hari PO dibagi
generasi 3 setiap 12 jam selama 7-14 hari
24
kultur darah selain kuman Salmonella.
2.2.4. KOMPLIKASI
Tabel 21 Komplikasi
Intestinal • Perdarahan usus, perforasi, ileus paralitik, pankreatitis
Ekstra- • Kardiovaskular: gagal sirkulasi perifer, miokarditis,
intestinal tromboflebitis.
• Darah: anemia hemolitik, trombositopenia, KID,
thrombosis.
• Paru: pneumonia, empiema, pleuritis.
• Hepatobilier: hepatitis, kolesistitis.
• Ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis.
• Tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, artritis.
• Neuropsikiatrik/tifoid toksik.
2.2.5. PROGNOSIS
Gejala biasanya membaik dalam waktu 2 sampai 4 minggu pengobatan.
Hasilnya mungkin akan baik dengan pengobatan lebih awal, tetapi akan menjadi
lebih buruk apabila timbulnya komplikasi. Gejala dapat kembali jika
pengobatan ini tidak sepenuhnya sembuh dari infeksi.
25
BAB III
Laporan Kasus
A. ANAMNESIS
3.1. IDENTIFIKASI PASIEN 1
Nama : AN. K. P
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 6 tahun
Alamat : Lr. Nangka I No.067B RT/RW 16/03 Kel.
Muntang Tapus Kec. Prabumulih Barat
Tanggal kunjungan : 2 September 2019
DPJP : dr. P
Berat Badan : 19 kg
Diagnosa : Asma
Ruang Perawatan : Badar
Jaminan : BPJS Kesehatan
KELUHAN UTAMA
Sesak nafas dengan sesekali batuk
26
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
- Riwayat asma (+).
- Riwayat alergi debu/asap (+)
- Riwayat Alergi Seafood (+)
3.1.1. PEMERIKSAAN
Keadaan Umum : Tampak sakit
Keadaan Sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 108 kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 32 kali/menit, cepat, dan dangkal
Temperatur : 37,3 ºC
KET:
+ = TERJADI
- = TIDAK TERJADI
27
3.1.3. DATA OBJEKTIF
28
Pemeriksaan Thorax
Jenis pemeriksaan thorax
Tor normal
Tampak infitrat di parihiler & paracardial kanan dan kiri
Kesan : Pneumonia bilateral
2MG
DEXAMETASON
29
Nama Obat Frekuensi 03-09-2019 04-09-2019 05-09-2019
Oral P S so m p s So m p s so m
Parasetamol 3x1 ½ cth 06 12 - 18 06
syr
P. Batuk 3x1 bks 06
30
kurang
Dexametason AISD ½ tab 0,08- Dosis Medscape
(0,25) 0,3mg/kg/day kurang
Untuk yg 15 mg
1x = 15 mg x 19 kg = 285 mg
1h = 285 mgx 3 = 855 mg
31
Dosis paracetamol syr dalam resep
1 ½ cth = 7.5ml
Untuk dosis 1x = 7,5ml/5ml x 120 mg = 180 mg
1h = 180mg x 3 = 540 mg
Keterangan : dosis kurang
Dexamethasone
Dosis lazim = 0,08mg -0,3 mg/kg/day
1h = 0,08mg(x 19)= 1,52 mg
1x = 1,52 mg/3 = 0,506 mg
DOSIS RESEP = DEXAMETHASON (0,5 mg)
1x = ½ TAB = 0,25 mg
1h = 0,25 mg X 3 = 0,75 mg
Keterangan : dosis kurang
NP : Jumlah Dosis resep dexamethasone inj + Dosis Dexametason oral dihari
ketiga ( tgl 5-9-2019)
1x = 2mg + 0,25 = 2,25 mg
1h = 3x2mg = 6 mg + 0,75 = 6,75 mg
32
Keterangan : Dosis Berlebih dihari ketiga (tgl 5-9-2019)
Salbutamol
Dosis lazim = 2mg 6-8 jam
= 2mg x 3 = 6mg
Dosis dalam resep = salbutamol 1 mg
1x = 1 mg
1h = 1mg x 3 = 3 mg
Keterangan : dosis kurang
Bromhexin
Dosis lazim bromhexin = 4 mg 3 x sehari
1x = 4 mg
1h= 4 mg x 3 = 12 mg
Dosis resep bromhexsin (8mg) ½ tab = 4 mg
1x=4mg
1h=4mg x3 =12 mg
Keterangan : sesuai
Aminophylline inj
Dosis lazim : 5 – 7 mg/kg x (19 kg)
= 95 – 133 mg
Dosis resep (80 mg)/hari
33
Keterangan : dosis kurang
Ceftriaxone inj
ceftriaxone dosis lazim : 50- 75 mg x (19kg)
= 950 mg -1.425mg
Dosis resep 1,5 gram
Keterangan : dosis berlebih
34
N OBAT 1 OBAT 2 LEVEL INTERA REKOMEN REFERE
O KSI DASI NSI
1 THEOPH DEXAMET MONIT Dexameta Gunakan MEDSC
YLIN ASON OR son akan hati – APE
menurunk hati/monitor
an level ing kondisi
atau efek sesak
dari pasien.
theophylin
dengan
mempeng
aruhi
metabolis
m enzim
hati/usus
CYP3A4
35
Interaksi Obat - Dexametason dan
Teofilin/Aminofil
in
Kontra Indikasi -
36
Nyeri : skala 2
A Pasien belum mendapatkan obat penurun panas, obat batuk dan
disarankan obat penurun panas syrup. Obat dexamethasone inj dan
ceftriaxone inj dosisnya berlebih. Kemudian obat Aminophyllin
dosisnya kurang
P = Disarankan Pasien Diberikan paracetamol syrup 3x 2 sendok obat
= Disarankan Pasien Diberikan Ambroxol Syrup 3x1 sendok obat
= Disarankan mengurangi dosis Dexamethasone inj menjadi 1,5 mg
= Disarankan mengurangi dosis Ceftriaxone inj menjadi 1,4 gram
= Disarankan menaikan dosis Aminophyllin inj 100 mg
37
B. ANAMNESIS
3.2. IDENTIFIKASI PASIEN II
Nama : TN. B S
Jenis Kelamin : LAKI- LAKI
Usia : 67 tahun
Alamat : Depok RT 005/ RW 003, Kel sibalak pasar, Kec
Cimanggis
Tanggal kunjungan : 15 September 2019
DPJP : dr. A
Berat Badan : 19 kg
Diagnosa : Tyfoid
Ruang Perawatan : Melati
Jaminan : BPJS Kesehatan
KELUHAN UTAMA
Febris Thypoid, Pusing, sendi-sendi ngilu
38
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
- Tidak Ada
3.2.1. PEMERIKSAAN
Keadaan Umum : Tampak lemas
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 120/76 mmHg
Nadi : 80 kali/menit
Pernapasan : 22 kali/menit
Temperatur : 37 ºC
KET:
+ = TERJADI
- = TIDAK TERJADI
39
3.2.3. DATA OBJEKTIF
Pemeriksaan Thorax
Jenis pemeriksaan thorax
Tor normal
Tampak infitrat di paracardial kanan
Kesan : Pneumonia Kanan
41
3.2.5. PEMANTAUAN PEMBERIAN OBAT
Pemantauan Pemberian Obat Oral
- Tidak Ada
42
day
43
Tepat Pemberian -
Duplikasi -
Interaksi Obat -
Kontra Indikasi -
Penggunaan Obat -
tanpa Indikasi
Reaksi obat yg -
tidak diketahui
Gagal menerima -
obat
Terdapat interaksi -
obat
Tidak tepat -
frekuensi
Terdapat -
duplikasi obat
44
3.2.11. SOAP FARMASI
Table.35. SOAP Farmasi tgl 15/9/19
S Batuk, nyeri, pusing
O Suhu :37 ͦ C
Leukosit : 14.18 (103/µl)
HB : 13.8
HT : 38
Nyeri : skala 2
A Pasien belum mendapatkan obat batuk, pusing dan nyeri. Disarankan
obat paracetamol + cafein (Panadol warna merah), Dosis
Ondansentron Terlalu Besar, Dosis Ranitidin Rendah, Hb dan Ht
rendah disarankan Cek lab lagi
P - Disarankan Panadol 3x1 bila nyeri/pusing
45
BAB IV
PEMBAHASAN
46
Bahas apakah terapi yang didapat sudah sesuai atau tidak dengan
tatalaksana terapi ?
47
48
BAB V
KESIMPULAN
49
DAFTAR PUSTAKA
50
51