Petunjuk:
1. Baca dan pahami soal dengan baik.
2. Softfile dikumpulkan ke ketua kelas untuk dikompilasi dan dikirim ke email
nisa.kurnia.i@gmail.com dengan format subject UTSTerkomAdvance – NIM – Nama
max. 17 Oktober 2019 pukul 24.00 dengan format pdf.
Soal:
Susunlah TINJAUAN PUSTAKA menggunakan teori-teori komunikasi yang memiliki
kesamaan paradigma dengan pilihan tema berikut ini:
1. Komunikasi Antar Persona;
2. Komunikasi Organisasi;
3. Studi Media
Kemudian
Kami Akan sangat menghargai logika dan kreatifitas pikiran orisinal Anda. Tidak ada
tempat bagi plagiaris di hati kami..
Esai Anda diharapkan berjumlah lebih dari 2027 kata dan kurang dari 2638 kata. Tulis
jumlah kata di halaman sampul.
Buatlah JUDUL yang sesuai dengan isi tulisan Anda, bukan TEMA yang Anda pilih!
Referensi yang Anda gunakan minimal 3 buku dan 3 jurnal berbahasa Inggris dengan
perspektif TEORI KOMUNIKASI yang bisa ditelusuri keberadaannya.
Buatlah Sampul Depan yang bisa membuat manusia lain menoleh dan ingin ikut membaca
esai Anda.
-Semesta Memberkati-
Asumsi dasar dari teori agenda setting adalah bahwa jika media memberi tekanan pada suatu
peristiwa maka media itu akan mempengaruhi khalayak yang menganggap penting. Jadi, apa
yang dianggap penting bagi media maka penting juga bagi masyarakat. Apabila media massa
memberi perhatian pada isu tertentu dan mengabaikan yang lainnya, akan memiliki pengaruh
terhadap pendapat umum. Asumsi ini berasal dari asumsi lain bahwa media massa memiliki
efek yang sangat kuat, terutama karena asumsi ini berkaitan dengan proses belajar dan bukan
dengan perubahan sikap dan pendapat. Mc-combs dan Donald Shaw mengatakan pula bahwa
audience tidak hanya mempelajari berita-berita dan hal-hal lainnya melalui media massa,
tetapi juga mempelajari seberapa besar arti penting yang diberikan pada suatu isu atau topik
dari cara media massa memberikan penekanan terhadap topik tersebut. Studi kasus yang di
jabarkan di atas dapat disimpulkan bahwa semua isu-isu yang disebarkan kepada masyarakat
harus merupakan isu isu menarik dan kepentingan relative sehingga tujuan daripada teori
agenda setting dapat tercapai. Dan Dearing dan Rogers mendefinisikan agenda setiing
merupakan persaingan terus menerus di antara berbagai isu penting untuk mendapat perhatian
dari para pekerja media publik dan penguasa.
Asumsi agenda setting model ini mempunyai kelebihan karena mudah untuk diuji.
Dasar pemikirannya adalah diantara berbagai topik yang dimuat media massa, topik yang
lebih banyak mendapat perhatian dari media massa akan menjadi lebih akrab bagi
pembacanya dan akan dianggap penting dalam suatu periode waktu tertentu, dan akan terjadi
sebaliknya bagi topik yang kurang mendapat perhatian media massa, oleh karena itu model
agenda setting menekankan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan media
pada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak pada persoalan tersebut.
Dengan kata lain, apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting pula oleh
masyarakat. Apa yang dilupakan media, akan luput juga dari perhatian masyarakat (Elvinaro,
2007: 76-77) Efek dari model agenda setting terdiri atas efek langsung dan efek lanjutan
(subsequent effects). Efek langsung berkaitan dengan isu adalah apakah isu itu ada atau tidak
ada dalam agenda khalayak dari semua isu, mana yang dianggap paling penting menurut
khalayak sedangkan efek lanjutan berupa persepsi (pengetahuan tentang persitiwa tertentu)
atau tindakan seperti memilih kontestan pemilu atau aksi protes (Elvinaro, 2007: 77).
Namun penelitian Iyengar dan kawan-kawan sedikit lebih maju karena berhasil
menemukan bagaimana media melakukan priming. Adapun priming sendiri menurut Severin
dan Tankard Jr, Priming adalah proses dimana media berfokus pada sebagian isu dan tidak
pada isu lainnya dan dengan demikian mengubah standar yang digunakan orang untuk
mengevaluasi para calon pemilihan. (Severin dan Tankard Jr, 2010: 271) Priming dalam
Agenda-setting dilihat dalam perspektif situasional dan kontekstual. Situasional maksudnya,
teori agenda setting dapat berlaku dalam situasisituasi tertentu yang membutuhkan perhatian
publik secara besar sedangkan secara kontekstual berlaku pada isu-isu atau konteks masalah
tertentu saja. Untuk itu Iyengar dan Kinder menemukan metode priming (penonjolan isu
tertentu). Rangkaian eksperiman mereka membahas seputar agenda setting, kekuatan
pemberitaan, penempatan berita, dan priming. Priming merupakan bagian penting dari
agenda setting yang memuat pernyataan bahwa media menarik perhatian kepada aspek politik
tertentu dari aspek lainnya.
Dua asumsi dasar yang paling mendasari penelitian tentang penentuan agenda setting adalah :
1) masyarakat pers dan mass media tidak mencerminkan kenyataan, mereka menyaring dan
membentuk isu, 2) konsentrasi media massa hanya pada beberapa masalah masyarakat untuk
ditayangkan sebagai isu-isu yang lebih penting daripada isu-isu lain (Littlejohn & Foss, 2007:
416). Adapun agenda yang dapat ditentukan oleh media massa adalah: a) Apa yang harus
dipikirkan oleh masyarakat; b) Menentukan fakta yang harus dipercayai oleh masyarakat; c)
Menentukan penyelesaian terhadap suatu masalah ; d) Menentukan tumpuan perhatian
terhadap suatu masalah; e) Menentukan apa yang perlu diketahui dan dilakukan masyarakat
(Kholil, 2007: 36)
kultivasi
Teori kultivasi adalah salah satu teori efek media massa yang memiliki pandangan hubungan
antara terpaan media massa dimana yang dimaksud adalah televisi terhadap kepercayaan
serta sikap khalayak tentang dunia yang ada di sekitarnya. Singkatnya, teori kultivasi
memiliki hipotesis bahwa pemirsa televisi kelas berat akan mempertahankan kepercayaan dan
konsepsi tentang dunia di sekitarnya yang selaras dengan apa yang mereka lihat melalui layar
kaca.
Teori kultivasi memberikan tekanan pada sistem makro pengaruh televisi terhadap
masyarakat secara menyeluruh. Karenanya untuk menggambarkan pandangan bahwa
televisi adalah media yang berpengaruh secara budaya, para peneliti kultivasi bersandar
pada 4 (empat) tahapan proses, yaitu analisis sistem pesan, membentuk berbagai
pertanyaan tentang realitas sosial pemirsa televisi, jajak pendapat khalayak, dan
membandingkan realitas sosial dari pemirsa dengan frekuensi terpaan rendah (kelas ringan)
dengan pemirsa dengan frekuensi terpaan tinggi (kelas berat)
Cara kedua kultivasi bekerja adalah melalui resonansi. Resonansi (resonance) terjadi ketika
hal-hal di dalam televisi, dalam kenyataannya, kongruen dengan realitas keseharian para
penonton. Dengan kata lain, realitas eksternal objektif dari penonton beresonansi
dengan realitas televisi. Beberapa orang yang tinggal di pusat kota, misalnya mungkin
melihat dunia yang penuh kekerasan di televisi beresonansi di lingkungan perumahan mereka
yang mulai kacau.
Kultivasi, naik sebagai pengarusutamaan maupun resonansi, menghasilkan dampak pada dua
level yaitu :
Dampak tingkat pertama (first order effect), merujuk pada pembelajaran mengenai fakta-
fakta, misalnya seperti berapa banyak pria bekerja yang terlibat di dalam proses penegakan
hukum atau bagaimana proporsi pernikahan yang berakhir denga perceraian.
Dampak tingkat dua (second order effect), melibatkan hipotesis mengenai isu dan asumsi
yang lebih umum “ yang dibuat oleh orang mengenai lingkungan mereka (Gerbner, Gross,
Morgan, dan Signorielli, 1986).
Hasil dari analisis kultivasi adalah indeks dunia yang kejam - mean world index (Gerbner,
Gross, Morgan, dan Signorielli, 1980) yang terdiri atas tiga pernyataan :
3. Kebanyakan orang akan mengambil keuntungan dari anda jika mereka memiliki
kesempatan.
Gerbner dan koleganya (1980) menunjukkan efektifitas indeks dunia yang kejam mereka
dalam sebuah kajian yang menunjukkan bahwa penonton kelas berat cenderung untuk
melihat dunia sebagai tempat yang kejam dibandingkan penonton kelas ringan. Para penonton
yang memiliki latar belakang pendidikan lebih tinggi dan lebih baik dalam hal finansial
secara umum memandang dunia tidak lebih kejam dibandingkan dengan mereka yang tingkat
pendidikan dan penghasilannya lebih rendah. Tetapi dalam menguji kekuatan televisi, para
peneliti menunjukkan bahwa penonton kelas berat dari kelompok dengan tingkat pendidikan
tinggi dan keadaan finansial yang lebih baik melihat dunia sebagai tempat yang berbahaya
sebagaimana halnya dengan orang-orang berpendidikan dan berpenghasilan rendah. Dengan
kata lain, para penonton kelas berat memegang persepsi mainstream mengenai dunia sebagai
tempat yang kejam, tanpa memedulikan fakktor-faktor seperti pendidikan dan
pendapatan.para peneliti kultivasi melihat hal ini sebagai bukti bahwa isi televisi merupakan
faktor penyusun realitas sosial bagi penonton kelas berat, tanpa memedulikan perbedaan
individual atau sosial.
Menurut teori kultivasi, media, khususnya televisi, merupakan sarana utama proses belajar
anda tentang masyarakat dan kultur anda. Teori kultivasi berpendapat bahwa pecandu berat
televisi membentuk suatu citra realitas yang tidak konsisten dengan kenyataan. Sebagai
contoh, seorang pecandu berat televisi menganggap bahwa kemungkinan seseorang menjadi
korban kejahatan adalah 10 banding 1, Padahal dalam kenyataannya nilainya tidak setinggi
itu. Namun, tidak semua pecandu berat televisi terkultivasi secara sama.
Rata-rata pemirsa menonton televisi empat jam sehari, pemirsa “berat” menonton lebih lama
lagi. Gerbner menyatakan, terhadap pemirsa “berat”, televisi memonopoli dan memasukkan
sumber-sumber informasi, gagasan, dan kesadaran lain. Dampak semua keterbukaan ke
pesan-pesan yang sama menghasilkan apa yang oleh para peneliti disebut kultivasi, atau
pengajaran pandangan bersama tentang dunia sekitar, peran-peran bersama, dan nilai-nilai
bersama. Jika teori kultivasi benar, maka televisi mungkin mempunyai dampak yang penting
tetapi tidak tampak di masyarakat. Misalnya, teori kultivasi menyatakan bahwa karena terlalu
sering menonton membuat orang merasa dunia ini adalah tempat yang tidak aman.
Berdasarkan riset awal yang mendukung teori kultivasi, menanggapi pertanyaan seperti
“dapatkah orang dipercaya?”, pemirsa “berat” televisi mempunyai kemungkinan lebih besar
daripada pemirsa “ringan” untuk memilih jawaban “seharusnya tidak”. Respons terhadap
pertanyaan seperti itu mengisyaratkan pemirsa ”berat” televisi mendapatkan perasaan risiko
dan ketidakamanan yang meningkat dari televisi. Televisi mungkin menyebabkan pemirsa
”berat” mempunyai persepsi “dunia yang kejam”.
Kekejaman di media sangat sulit untuk didefinisikan dan diukur. George Gerbner yang
mengikuti `violence` atau kekejaman yang disiarkan dalam program televisi, mendefinisikan
tindakan kejam atau `violence act` (atau ancaman) dari melukai atau membunuh seseorang,
tergantung dari metode yang digunakan secara sendiri-sendiri atau dari konteks keadaan
sekitar tayangan tersebut. Bertalian ragam penyajiannya, media massa khususnya audio
visual, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pengelolanya agar mencapai sasarannya,
antara lain dengan menjawab pertanyaan: Who (siapa); Says what (mengatakan apa); In
which channel (dengan melalui saluran apa); To whom (ditujukan kepada siapa); With what
effect (menimbulkan efek apa). Tetapi kenyataannya tayangan tentang kekerasan dan
kesadisan baik dalam rumah tangga maupun dalam kehidupan masyarakat menjadi salah satu
primadona tayangan yang sering disiarkan di media televisi tanpa mempertimbangkan kepada
siapa ditujukan dan bagaimana efek yang akan ditimbulkan. Contohnya adalah efek jangka
panjang yang ditimbulkan televisi seperti yang dijelaskan dalam Cultivation Analisist.
.
Teori jarum hipodermik dibuat pada tahun 1920-an, teori ini merupakan teori pertama yang
mencoba menjelaskan bagaimana khalayak massa. Menurut Morissan (2013:504) teori hipodermik
adalah kegiatan menyampaikan pesan yang sama halnya dengan menyuntikkan obat pada pasien
yang kemudian langsung masuk dalam jiwa penerimannya. Teori model jarum hipodermik ini
menganggap komunikan menerima berita atau informasi tanpa dicerna sehingga teori ini memiliki
dampak yang sangat kuat kepada penontonnya. Efek dari teori ini menimbulkan efek langsung yang
kuat dan terarah sehingga penonton menganggap apa yang terjadi di televisi juga akan terjadi pada
dirinya. Dalam teori ini juga menjelaskan bagaimana media mengontrol apa yang penonton lihat dan
apa yang penonton dengar. Media massa memiliki kekuatan yang luar biasa yang sanggup
menginjeksikan secara mendalam ide-ide kedalam pikiran orang yang tak berdaya. Menurut Nurudin
(2003:156) teori jarum hipodermik selain memiliki pengaruh yang besar juga mengasumsikan bahwa
pengelola media dianggap sebagai individu yang lebih pintar dari penontonnya. Akibatnya penonton
disuntikkan kedalam ketidaksadaran penonton.