Anda di halaman 1dari 14

STUDI KASUS

AGENDA SETTING THEORY

Dosen :
DIMAS AKHSIN AZHAR
Disusun oleh :
Muhamad Nirpan Hadiansyah – 45200001

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


MATA KULIAH KOMUNIKASI MASSA
UNIVERSITAS ADHIRAJASA RESWARA SANJAYA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

Teori ini dipelopori oleh Walter Lipmann (wartawan politik asal Amerika)
pada tahun 1992. Ia mengusulkan bahwa “masyarakat menerima fakta bukan
sebagaimana adanya, tapi apa yang mereka anggap sebagai fakta, kenyataan
fatamorgana atau lingkungan palsu. Untuk sebagian besar, kita tidak melihat dulu
dan kemudian merumuskan, tapi kita merumuskan dulu kemudian melihat”. 
Denis McQuail (2000) mengatakan bahwa istilah ‘agenda setting’
diciptakan oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw (1972, 1993), dua peneliti
dari Universitas North Carolina, untuk menjelaskan gejala atau fenomena kegiatan
kamapanye pemilihan umum (pemilu) yang telah lama diamati dan diteliti oleh
kedua sarjana tersebut. 
Penelitian oleh McCombs dan Shaw merupakan tonggak awal
perkembangan teori agenda setting. Studi efek media dengan pendekatan agenda
setting sesungguhnya sudah mulai pada tahun 1960’an, namun popularitas baru
muncul pada hasil penelitian karya McCombs dan Donald Shaw mengenai fungsi
khusus media massa.
Dearing dan Rogers (1996) mendefinisikan agenda setting sebagai: an
ongoing competition among issue protagonist to gain the attention of media
professionals, the public and policy elites (persaingan terus-menerus di antara
berbagai isu penting untuk mendapatkan perhatian dari para pekerja media, public
dan penguasa).
Jennings Bryant dan Susan Thompson (2002) menyatakan agenda setting
adalah: A Strong link between news stories and public issue salience, or the
importance placed upon particular placed upon particular issues (hubungan yang
kuat antara berita yang disampaikan media dengan isu-isu yang dinilai penting
oleh public). Lazarsfeld menyatakan agenda setting sebagai: the power to
structure issues (kekuasaan untuk mengatur berbagai isu).
Maxwell McCombs dan Donald Shaw menyatakan bahwa: mass media
have the ability to transfer the salience of items on their news agendas to the
public agenda We judge as important what the media judge as important (media
massa memiliki kemampuan memindahkan hal-hal penting dari agenda berita
mereka menjadi agenda public. Kita menilai penting apa saja yang dinilai penting
oleh media).
Dengan kata lain, teori agenda setting adalah teori efek komunikasi massa
yang memberi pengaruh terhadap masyarakat dan budaya. Media memberikan
isu-isu terpenting dan mengabaikan isu lainnya. Orang cenderung menerima suatu
isu atau berita melalui media massa dan menerima prioritas susunan isu-isu
terpenting yang berbeda-beda.
BAB II
PEMBAHASAN

Agenda setting menurut McCombs & Shaw adalah “mass media have the


ability to transfer the salience of items on their news agendas to public agenda” .
yang artinya pengertian ini menjelaskan bahwa media massa memang memiliki
kekuatan untuk mempengaruhi bahkan membentuk pola pikir audience yang
terkena terpaan informasinya. McCombs dan Shaw menerangkan lebih lanjut
bahwa media massa mempunyai kemampuan untuk membuat masyarakat menilai
sesuatu yang penting berdasarkan apa yang disampaikan media, dengan kata
lain we judge as important what the media judge as important.
Kedua ilmuwan ini juga menekankan bahwa bukan berarti mereka
menuduh. Bahwa media selalu dengan sengaja mempengaruhi audience dengan
informasi dan berita yang disampaikan melalui media serta memiliki tujuan
tertentu , apa yang disampaikan media massa tentunya berpedoman pada kaidah
jurnalistik yang berlaku, terlebih lagi media memiliki para wartawan yang meliput
dan memberitakan informasi sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalisme mereka.
Namun pada hal ini, McCombs dan Shaw menerangkan bahwa apa yang
disampaikan media dianggap sebagai sesuatu yang penting dan patut untuk
dipikirkan oleh masyarakat luas. Media bukan mempengaruhi pikiran masyarakat
dengan memberitahu apa yang mereka pikirkan dan apa saja ide atau nilai yang
mereka miliki, namun memberi tahu hal dan isu apa yang harus dipikirkan.
Masyarakat luas cenderung menilai bahwa apa-apa yang disampaikan melalui
media massa adalah hal yang memang layak untuk dijadikan isu bersama dan
menjadi cakupan ranah publik.
Dengan begitu, masyarakat pun menilai apa yang dianggap penting oleh
media adalah hal yang penting juga dan memang harus dipikirkan atau minimal
mempengaruhi persepsi mereka terhadap hal tersebut. Meski begitu, McCombs
dan Shaw tidak menutup pandangan yang menghargai dan meyakini
bahwa audience juga memiliki kekuatannya sendiri, yaitu dengan
hipotesis selective exposure. Hipotesis ini menjelaskan bahwa manusia cenderung
hanya akan melihat dan membaca informasi serta berita yang sejalan dan tidak
mengancam atau bertentangan dengan kepercayaan yang selama ini mereka miliki
dan bangun. Hal ini menunjukkan kekuatan dan kebebasan manusia dalam
memilih, menyortir, dan menerima pesan yang disampaikan oleh media massa.
Dengan begitu, dapat dilihat bahwa teori agenda setting memiliki keunikan yang
mendukung dua asumsi dasar yang menarik. Yang pertama, teori ini menyatakan
dengan jelas bahwa media massa memiliki kekuatan dalam mempengaruhi dan
membentuk persepsi masyarakat. Di sisi lain, teori ini juga mendukung hipotesis
bahwa bagaimanapun semuanya kembali lagi kepada individu, dimana mereka
memiliki kebebasan untuk memilih apa yang ingin mereka terima.
Menjelang pemilihan presiden Amerika (1972) Shaw dan McCombs
melakuan penelitan di Chappel Hill, North Carolina. Mereka memepelajari semua
hail penelitan tersebut dam menemukan adannya pertumbuhan atau
perkembangan teori agenda setting yang dapat dibagi ke dalam emapt
tahap. Tahap 1: Studi Awal, di Chappel Hill tahun 1972, Tahap 2: Tahap
replikasi, yaitu tahap pengulangan dan penguatan penelitian mengenai teori
agenda setting, Tahap 3: Kombinasi beberapa faktor yang memengaruhi agenda
setting, Tahap 4: Tahap untuk meneliti bagaimana media menentukan agendanya.

A. Studi Awal
            Pada penelitan mereka di Chappel Hill, Shaw dan McCombs pada tahun
1972 mereka menggabungkan dua metoda sekaligus, yaitu analisa isi (untuk
mengetahui agenda media) dan survey terhadap 100 responden untuk mengetahui
prioritas agenda publiknya. Studi tersebut menemukan bukti bahwa terdapat
korelasi yang sangat kuat antara urutan prioritas pentingnya isu yang dilansir oleh
media di Chapel Hill bersesuaian dengan urutan prioritas pada responden.
Walaupun penelitian tersebut hanya dapat membuktikan pengaruh kongnitif
media atas audience, namun studi agenda setting tersebut sudah dapat dipakai
sebagai upaya untuk mengkaji, mengevaluasi, dan menjelaskan hubungan antara
agenda media dan agenda public.
            Mereka menemukan sejumlah hal kepentingannya berdasarkan presentase
jumlah orang yang memilih suatu maslaah, yaitu kebijakan luar negeri, hukum,
dan ketertiban, serta kesejahteraan public. Kedua peneliti tersebut kemudia
mempelajari seluruh isi media massa selama tingga minggu, yang dilakukan
selama periode kampanye untuk melihat isu-isu yang paling banyak diberitakan,
mereka kemudian membandingkan dengan opini pubik. Hasilnya, mereka
menemukan bahwa apa yang dinilai penting oleh warga dan apa yang dinilai
penting oleh media adalah hampir sama atau identik.

B. Tahap Replikasi
            Pada tahun 1997, lima tahun setelah penelitian pertama, Shaw dan
McComb melakukan penelitan lanjutan untuk mengetahui apakah terdapat
hubungan sebab akibat atau timbale balik, yaitu hubungan yang saling
memengaruhi antara apa yang dinilai penting oleh media (agenda media) dengan
apa yang dinilai penting oleh public (agenda pubik) dan hal-hal apa saja yang
memengaruhi hubungan tersebut. Sebagaimana penelitan pertamanya dilakukan di
Chapel Hill, namun kali ini lokasinya di Charlote North Carolina dengan
melakukan survey terhadap calon pemiih sebelum dan sesudah pemilu.
Dalam hal ini, agenda setting dapat dibagi ke dalam dua tingkatan (level); agenda
setting level pertama adalah menentukan bagian-bagian atau aspek-aspek dari isu
umum tersebut yang dinilai penting. Level kedua adalah membetitahu kita
mengenai bagiamana cara membingkai isu atau melakukan framing terhadap isu,
yang akan menjadi agenda media dan juga agenda pulik. Misalnya, media
mengemukakan bahwa pemilu yang demokratis sebagai hal yang penting (level
pertama), tetapi media juga menyatakan bahwa tingkat kemiskinan ini media
membingkai isu mengenai bagaimana mencapai pemilu yang demokratis (level
kedua).

C. Kombinasi Faktor
            Penelitan agenda setting tahap ke-3 dilakukan pada saat pemilihan
presiden Amerika tahun 1976, dengan melihat berbagai faktor (contigent factors)
yang berpengaruh dalam agenda setting. Para peneliti mecoba mempelajari
hubu8ngan antara agenda para calon dengan agenda para pemilih berdasarkan
latar belakang pemilih. Mereka mencoba mengetahui bagaimana para pemilih
memanang karateristik atau sifat dari setiap kandidat dan membandingkannya
dengan image kandidat sebagaimana yang digambarkan media massa.
            Penelitan dilakukan dengan cara survey terhadap sejumlah pemilih di
berbagai tempat yang dilakukan beberapa kali dalam waktu yang berbeda untuk
menilai faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses agenda setting. Hasil
penelitan menunjukkan bahhwa kombinasi sejumlah faktor, seperti jenis pekerjaan
dan tingkat pendidikan pemilih serta lokasi geografis dimana mereka tinggal
memeberikan pengaruh pada seberapa besar agenda media massa dapat ditransfer
menjadi agenda public (pemilih).
            Pada tahap ini, Karen Siune dan Ole borre (1975) ikut melakuan penelitian
untuk mengetahui kompleksitas agenda setting dalam pemilu di
Denmark.  Mereka merekam acara di Tv dan radio serta mewawancarai 1300
pemilih untuk mengetahui apa yang menurut mereka menjadi agenda public.
Dalam penelitan ini, mereka menemukan tiga jenis pengaruh agenda setting, yaitu
representasi, persistensi, dan persuasi. Kita dapat mengetahui ketiga jenis
pengaruh agenda setting tersebut dalam suatu proses pemilu yang dapat dibagi ke
dalam tiga tahap agenda setting tersebut dalam suatu proses pemilu yang dapat
dibagi ke dalam tiga tahap periode kampanye, yaitu awal (periode 1), tengah
(periode 2), dan akhir (periode 3).
            Representasi, yaitu ukuran atau derajat dalam hal seberapa besar agenda
media atau apa yang dinilai penting oleh media dapat menggambarkan apa yang
dianggap penting oleh masyarakat (agenda publik). Persistensi, yaitu
mempertahankan kesamaan agenda antara apa yang menajdi isu media dan apa
yang menjadi isu publik. Persuasi yaitu, ketika agenda media memengaruhi
agenda public.

D. Agenda Media
            Tahap ke-4 dimulai pada tahun 1980-an dan terus berlangsung hingga saat
ini, dengan focus perhatian pada upaya menjawab pertanyaan mengenai apa yang
menjadi sumber agenda media atau dengan kata lain, faktor-faktor apa yang
menentukan agenda media? Menurut Everet Rogers dan James Dearing (1998),
agenda setting merupakan proses linear yang terdiri atas tiga tahap, yaitu agenda
media, agenda public, dan agenda kebijakan.
·         Penetapan agenda media (media agenda), yaitu penentuan prioritas isu oleh
media massa Media agenda dalam cara tertentu akan memengaruhi atau
berinteraksi dengan apa yang menjadi pikiran public maka interaksi terebut akan
menghasilkan ‘agenda pubik’ (public agenda) Agenda public akan berinteraksi
sedemikian rupa dengan apa yang dinilai penting oleh pengambil kebijakan, yaotu
penerintah, dan interaksi tersebut akan menghasilkan agenda kebijakan (policy
agenda). Agenda media akan memengaruhi agenda public dan pada gilirannya,
agenda public akan memengaruhi agenda kebijakan. Pandangan lain dari Stephen
Reese (1991) menyatakan bahwa agenda media merupakan hasil tekanan
(pressure) yang berasal dari luar dan dari dalam media itu sendiri. Dengan kata
lain, agenda media sebenarnya terbentuk berdasarkan campuran sejumlah faktor
yang memberikan tekanan kepada media, seperti proses penentuan program
internal, keputusan redaksi dan manajemen, serta berbagai pengaruh eksternal
yang berasal dari sumber non-media, seperti pengaruh individu tertentu, pengaruh
pejabat pemerintah, pemasang iklan dan sponsor.

Contoh Kasus :
1. Kasus Prita Mulyasari
Penggunaan UU ITE yang membuatnya gempar pertama kali terjadi
pada kasus yang menimpa Prita Mulyasari pada 2008.
Prita mulanya memeriksakan kesehatannya di RS Omni Internasional,
Tangerang. Namun setelah pemeriksaan ia mengeluhkan pelayanan di RS
Omni Internasional lewat milis. Curhatan Prita soal keluhan pelayanan RS
Omni Internasional pun tersebar.
Pihak RS Omni akhirnya menggugat Prita. Prita didakwa melanggar
Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Majelis hakim PN Tangerang memutuskan Prita
tak bersalah. Namun Jaksa Penuntut Umum (JPU) melakukan kasasi dan
kasasinya dikabulkan oleh Mahkamah Agung (MA) sehingga Prita diputus
bersalah pada 2011.
Prita kemudian mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kemudian MA
pun mengabulkan PK yang diajukan Prita pada 2012. Prita pun resmi bebas
dari jerat pidana akibat UU ITE.
Pada tahun 2016 berawal dari kasus Prita Mulyasari pada 2009.
Sebagai informasi kasus Prita diperkarakan setelah mengirim e-mail berisi
kritikan atas pelayanan buruk di Rumah Sakit Omni International. Ketika
proses hukum bergulir, ibu rumah tangga itu ditahan di Lapas Wanita
Tangerang.
Akibat kasus Prita, pria yang akrab dipanggil Nando ini mengatakan
revisi UU ITE mulai digaungkan oleh beberapa pihak. Belum lagi
mengingat kasus Prita ini terjadi di tahun politik Pilpres 2009. Sementara
UU ITE baru ditetapkan pada 21 April 2018.
"Mulai saat itu komentar pembicaraan muncul lagi untuk dirubahkan
UU ITE, hanya satu tahun setelah peraturan diundangkan atau terbit,
sebagian masyarakat punya pandangan sebaiknya perlu direvisi. Antara lain
untuk ancaman pidana pencemaran nama baik," tutur Nando dalam siaran
langsung YouTube 'Tok Tok Kominfo', Rabu (6/2).
Nando menjelaskan kasus Prita ini sangat diperhatikan masyarakat
karena Prita hanya bermaksud mengkritik RS Omni melalui email yang
dikirimkan kepada teman-temannya. Kemudian pihak oposisi pemerintah
juga menggoreng isu ini untuk melawan pihak petahana. 
"Tahun 2009 itu ada kasus yang sangat terkenal kasus Prita Mulyasari,
biasa kalau kasus yang dihubungkan pilpres dan pesta demokrasi ramai
digoreng soal keluhan dia di RS," kata Nando.
Nando kemudian mengatakan pada 2014, Rudiantara menjabat
sebagai Menkominfo. Salah satu fokus Rudiantara melaukan revisi UU ITE.
Salah satu poin yang direvisi yakni penurunan ancaman pidana pencemaran
nama baik dari enam tahun menjadi empat tahun. Revisi UU ITE kemudian
ditetapkan pada tahun 2016.
"Akhirnya kami timbang dan kemudian tahun 2014 ketika pemerintah
baru naik, akhirnya Rudiantara memerintahkan serius RUU ITE pada
Oktober 2014.
Akhirnya kami rapat rutin  dengan lembaga non pemerintah,
Kemenkumham, Pakar, Kejaksaan Agung, dan Polri," kata Nando.

2. Kasus Babi Ngepet


Terbaru tahun 2021 yang terkuak belakangan ini. Berita tentang babi
ngepet ini berawal dari AI yang disebut jadi salah satu tokoh masyarakat
menyebarkan rumor adanya babi ngepet di Bedahan, Sawangan, Depok.
Rumor dan rekayasa isu babi ngepet ini ia lakukan dengan alasan perlu
mencarikan solusi bagi warga yang mengeluh kehilangan uang Rp 1 juta -
Rp 2 juta.
Serangkaian rekayasa untuk mendukung cerita babi ngepet pun ia
siapkan. Mulai dari babi yang dibeli seharga Rp 900.000 di toko online,
kemudian rekayasa cerita menangkap babi yang harus telanjang, hingga
fakta palsu bahwa ukuran babinya mengecil. Pada akhirnya, rekayasa yang
ia buat terbongkar dan AI terancam kurungan 10 tahun penjara.

3. Kasus Ratna Sarumpaet


Sama seperti Kasus Babi Nyepet , Berawal dari informasi
penganiayaan yang dilamai Ratna Sarumpaet viral di media sosial
khususnya di akun Facebook Swary Utami Dewi tahun 2018 lalu. Kemudian
menyebar ke twitter dan mendapat tanggapan dari tokoh politik yang
membenarkan kejadian penganiayaan tersebut.
Namun, semakin heboh kasus tersebut akhirnya kepolisian yang
menyelidiki dan mendapati bahwa informasi tersebut hoaks belaka. Wajah
bengkak dan memar pada Ratna Sarumpaet ternyata efek dari operasi bukan
karena penganiayaan.
4. Kasus Pembunuhan Angeline
Kasus pembunuhan Angeline, anak usia 8 tahun, di Denpasar Bali
adalah salah satu kasus yang menjadi perhatian netizen, tidak hanya di Bali
namun juga di seluruh Indonesia. Kasus ini dimulai dengan tersebarnya foto
yang menyatakan telah hilang seorang anak di Denpasar bernama Angeline
di media sosial baik facebook hingga path. Penyebaran foto ini pun cukup
massif, tidak hanya di Bali namun juga di seluruh Indonesia.
Berita mengenai hilangnya Angeline mulai menghiasi media cetak,
hingga media sosial. Adapun berita mengenai hilangnya Angeline beragam
sudut pandang, mulai dari Angeline yang merupakan anak angkat, hingga
berita mengenai Angeline yang merupakan korban salah asuh, yang
dipekerjakan oleh Ibu angkatnya Margariet untuk memelihara ayam dan
sebagainya. Ada pula perkembangan berita adalah Angeline yang
diberitakan tidak mendapat perlakuan yang manusiawi pergi kabur dari
rumah hingga dijemput ibu aslinya. Namun diketahui bahwa opini publik
yang terbentuk di sosial media adalah Angeline anak angkat yang
dipekerjakan dan diperlakukan dengan penuh kekerasan oleh ibu angkatnya.
Perkembangan kasus semakin hangat dengan kehadiran pihak-pihak ketiga
dari pemerintah seperti KPAI,
Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi, dan Menteri Pemberdayaan
Perempuan yang dinilai tidak disambut cukup baik oleh pihak keluarga.
Opini publik pun semakin berkembang di mana dinilai keluarga memiliki
andil dari hilangnya Angeline ini. Hal yang cukup membuat netizen
semakin beropini adalah walau keluarga terkesan menolak Kasus ini mulai
menarik perhatian pada saat jasad Angeline ditemukan tertanam di
pekarangan rumahnya sendiri. Pemberitaan maupun informasi berkembang
semakin liar di media sosial. Informasi yang tersebar ada yang berupa
tudingan hingga hujatan kepada pihak keluarga, padahal belum terdapat
informasi resmi dari kepolisian.
Opini publik di media sosial adalah Angeline dibunuh oleh ibu
angkatnya Margariet. Namun opini publik di media sosial ternyata
berbanding terbalik dengan kenyataan yang diungkapkan kepolisian di mana
tersangka adalah Agus Tey asisten rumah tangga di rumah Margariet yang
bertugas membantu Margariet mengurus ayam. Namun walau kepolisian
telah mengungkapkan Agus Tey sebagai tersangka, opini publik di media
sosial tetap tidak berubah, mereka tetap menghakimi Margariet sebagai otak
dari pembunuhan Angeline.
Opini publik mengenai pelaku utama adalah ibu angkatnya Margariet
berjalan terus walau Kepolisian pada awalnya hanya menetapkan Margariet
sebagai tersangka penelantaran anak. Bahkan kepolisian menilai proses
penyelidikan yang mendapat sorotan nasional ini penuh dengan tekanan,
terutama dari media. Media dinilai ingin segera mendapatkan berita bahwa
Margariet adalah tersangka utama dari kasus ini.

5. Kasus Mahasiswa Yang Di Anggap Penerus Pak Habibie


Akhir tahun 2016 silam, seorang mahasiswa bernama Dwi Hartanto
digadang-gadang menjadi penerus  BJ Habibie. Tapi ternyata semua yang
dikatakan Dwi dalam berbagai kesempatan cuma pengkuan yang tidak
terbukti kebenarannya.
Awalnya, Dwi muncul di media massa atas karyanya di dunia
aeronautika karena disebut menciptakan Satellite Launch Vehicle/SLV
(Wahana Peluncur Satelit, red) dengan teknologi termutakhir yang disebut
The Apogee Ranger V7s (TARAV7s).
TRANSTV hanya satu dari sekian cerita prestasi seorang Dwi di dunia
kedirgantaraan. Ia disebut memiliki 5 hak paten di bidang kedirgantaraan. Ia
seakan-akan membuat kisah diaspora jenius Indonesia yang dihempaskan di
negeri sendiri tapi diakui di negeri orang. Sejak saat itulah, namanya
bersliweran dan dianggap penerus Habibie, namun berkahir dengan hoaks
belaka.
DAFTAR PUSAKA
- Ritonga, E.Y., (2018), Teori Agenda Setting dalam Ilmu Komunikasi,
SIMBOLIKA, 4 (1): 32- 41
- Arifin, A., (2006), Ilmu Komunikasi; Sebuah Pengantar. Jakarta: Raja
Grafindo Persada. Bungin, B., (2006), Sosiologi Komunikasi. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
- Stanley J. Baran dan K. Dennis Davis. Teori Komunikasi Massa
- Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss oleh Mohammad Yusuf Hamdan,
Theories of Human Communications, 9 th ed Teori Komunikasi. 
INFOGRAFIS
AGENDA SETTING THEORY

Anda mungkin juga menyukai