Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya
kami bisa menyelesaikan laporan Teknologi Sediaan Padat Pembuatan
Suppositoria. Laporan ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Teknologi
Sediaan Padat.
Bogor, 01 Desember
2019
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang..................................................................................... 1
1.2 Tujuan.................................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 2
2.1 Definisi Suppositoria........................................................................... 2
2.2 Macam-Macam Suppositoria............................................................... 2
2.3 Keuntungan dan Kerugian Suppositoria.............................................. 3
2.4 Basis Suppositoria............................................................................... 3
2.5 Pelepasan Obat dari Basis.................................................................... 5
2.6 Metode Pembuatan Suppositoria......................................................... 8
BAB III DATA PREFORMULASI.................................................................. 9
3.1 Zat Aktif............................................................................................... 9
3.2 Zat Tambahan...................................................................................... 9
BAB IV METODE KERJA.............................................................................. 10
4.1 Alat dan Bahan..................................................................................... 10
4.2 Formulasi............................................................................................. 10
4.3 Prosedur Pembuatan............................................................................ 11
4.4 Evaluasi Suppositoria.......................................................................... 11
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................ 12
5.1 Data Pengamatan................................................................................. 12
5.2 Penimbangan Bahan............................................................................ 12
5.3 Evaluasi Suppositoria.......................................................................... 12
5.4 Pembahasan......................................................................................... 13
BAB VI PENUTUP........................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 17
LAMPIRAN....................................................................................................... 18
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dalam bentuk,
yang diberikan melalui rectal,vaginal atau uretra. Bentuk dan ukurannya harus
sedemikian rupa sehingga dengan mudah dapat dimasukkan ke dalam lubang
atau celah yang diingankan tanpa menimbulkan kejanggalan dalam
penggelembungan begitu masuk dan harus bertahan untuk suatu waktu dan
suhu tertentu (Depkes RI, 1995).
Supositoria untuk rektum umumnya dimasukkan dengan jari tangan,
tetapi untuk vagina khususnya tablet vagina yang dibuat dengan cara kompresi
dapat dimasukkan lebih jauh ke dalam saluran vagina dengan bantuan alat
khusus (Ansel, 1989).
2
Kerugian penggunaan obat dalam bentuk suppositoria dibanfing per
oral menurut Lachman (2008), yaitu:
1. Meleleh pada udara yang panas jika menggunakan basis oleum cacao.
2. Dapat menjadi tengik pada penyimpanan lama.
3. Dianggap tidak aman.
4. Harus dalam kondisi penyimpanan yang tepat (kering, dingin).
3
mempunyai berat molekul rata-rata lebih dari 1000 berupa lilin putih,
padat, dan kepadatannya bertambah dengan bertambahnya berat
molekul (Ansel, 1989). Polietilenglikol luas penggunaannya dalam
berbagai formulasi farmasetika termasuk parenteral, topikal,
ophthalmic oral dan rektal. Polietilenglikol ini stabil dalam air dan
tidak mengiritasi kulit (Raymond, 2006).
2. Masa elastis larut air (Gliserol-Gelatin)
Gliserol adalah zat cair kental yang rasanya manis. Gliserol
memberikan kelenturan gel dan memperkuat perajutan perancah gel
gelatin. Konsentrasi gliserol dalam masa supositoria pada basis gelatin
harus serendah mungkin, oleh karena gliserol dalam konsentrasi tinggi
aktif sebagai pencahar (Voigt, 1971).
c. Basis-Basis Lainnya
Basis yang termasuk dalam kelompok ini adalah campuran bahan
bersifat seperti lemak dan larut dalam air atau bercampur dengan air atau
kombinasi dari bahan-bahan lipofilik dan hidrofilik. Beberapa diantaranya
berbentuk emulsi, umumnya dari tipe air dalam minyak atau mungkin
dapat menyebar dalam cairan berair. Polioksi 40 stearat suatu zat aktif
pada permukaan yang digunakan pada sejumlah basis supositoria dalam
perdagangan dan distearat dari polioksietilen dan glikol bebas. Panjang
polimer rata-rata sebanding dengan 40 unit oksietilen. Umumnya
mempunyai titik leleh antara 390C dan 450C (Ansel, 1989).
4
b. Laju pencairan dan peleburan pada supositoria dengan bahan pembawa
berlemak.
c. Laju pelarutan pada supositoria dengan bahan pembawa larut air.
d. Kemampuan penampakan leburan pembawa (Aiache, 1993).
Untuk mengetahui pelepasan zat aktif dari basis supositoria dapat
diteliti secara in vivo dan in vitro. Untuk mendapatkan hasil percobaan in vivo
yang terkendali dengan baik, maka cara pemberian per rektum tidak boleh
dianggap sebagai cara pengganti rutin untuk pemberian suatu obat. Bila zat
aktif diserap dengan baik pada pemberian per oral, maka tidak dapat
dipastikan bahwa obat akan diserap denga n cara yang sama setelah pemberian
per rektum (Wagner, 1971).
Beberapa cara penetapan in vivo misalnya (Murrukmihadi, 1986) :
a. Determinasi yang biasanya dilakukan pada kelinci dengan mengamati
respon biologik, misalnya saja karena pemberian obat dengan
bermacammacam basis-basis supositoria (metede Charnat) atau waktu
latent sebelum terlihat adanya efek fisiologis (metode Neuwald).
b. Determinasi pada manusia, yaitu sejumlah obat atau zat aktif dalam
plasma setelah pemberian obat dengan supositoria dengan bermacam-
macam.
Basis supositoria atau determinasi obat dalam organ-organ tertentu
dengan menggunakan obat yang ditandai senyawa radioaktif. Cara penetapan
in vitro dengan menggunakan metode difusi pada gelose, metode disolusi
dalam air 37ºC serta dengan cara dianalisa menggunakan membran cellophane
semi permeabel. Dalam metode difusi pada pada gelose menggunakan piring
petri yang diberi media untuk pembiakan bakteri tertentu sebagai standar.
Supositoria yang berisi obat anti bakteri yang bermacam-macam basis
dipotong-potong, dengan metode ini dapat diketahui absorpsi obat tersebut
(Murrukmihadi, 1986).
Cara pelepasan zat aktif secara in vitro menggunakan cara disolusi
dengan medium disolusi tertentu yang disesuaikan dengan pH cairan tubuh
dimana tempat zat aktif tersebut diberikan. Zat aktif yang terlarut pada
medium disolusi diperiksa absorpsinya menggunakan spektrofotometer uv,
selanjutnya dihitung persen dari zat obat yang terlarut.
5
Pada laju pelarutan obat secara in vitro ditentukan oleh beberapa
faktor antara lain sifat fisika kimia obat, faktor formulasi, faktor uji pelarutan
in vitro.
a. Sifat fisika kimia obat.
Sifat fisika dan kimia partikel obat umumnya mempunyai pengaruh
yang besar pada kinetika pelarutan. Luas permukaan efektif obat dapat
diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Karena pelarutan terjadi
pada permukaan solute, makin besar luas permukaan makin cepat laju
pelarutan. Bentuk geometrik partikel juga dapat mempengaruhi luas
permukaan dan lama pelarutan permukaan berubah secara konstan
(Shargel dan Yu, 1988)
b. Faktor formulasi,
Berbagai bahan tambahan dalam bentuk obat. juga mempengaruhi
kinetika pelarutan obat dengan mengubah media tempat obat melarut atau
bereaksi dengan obat itu sendiri (Shargel dan Yu, 1988). Beberapa jenis
bahan tambahan seperti natrium bikarbonat dapat mengubah pH media.
Untuk obat yang bersifat asam dalam bentuk padat seperti aspirin, atau
suatu media alkali yang berdekatan dengan obat asam akan menyebabkan
obat melarut secara cepat dengan membentuk suatu asam garam yang larut
dalam air. Proses ini disebut pelarutan dalam suatu media reaktif. Obat
dalam bentuk padat dapat melarut secara cepat dalam suatu pelarut yang
rektif yang mengelilingi partikel padat. Namun selama molekul obat
terlarut terdifusi keluar kebagian besar pelarut, maka obat dapat
mengendap kembali dari larutan dengan ukuran partikel sangat kecil
(Shargel dan Yu, 1988).
c. Faktor Uji Pelarutan in vitro.
Uji pelarutan in vitro mengukur laju dan jumlah pelarutan obat
dalam suatu media air dengan adanya satu atau lebih bahan tambahan yang
terkandung dalam produk obat.
Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan bila melakukan uji
pelarutan, yaitu:
6
1. Suhu Umumnya semakin tinggi suhu media akan semakin banyak zat
aktif yang terlarut. Kenaikan kelarutan akan memberikan kenaikan
gradien konsentrasi sehingga menghasilkan kecepatan disolusi.
2. Media pelarutan. Sifat dari media pelarutan akan mempengaruhi uji
pelarutan, kelarutan dan jumlah obat dalam bentuk sediaan harus
dipertimbangkan media pelarutan hendaknya tidak jenuh oleh obat. Uji
disolusi biasanya digunakan suatu volume media yang besar dari
jumlah pelarut yang perlukan untuk melarutkan obat secara sempurna
(Shargel dan Yu, 1988).
3. Peralatan disolusi yang digunakan. Macam dan tipe alat yang
digunakan baik ukuran maupun bentuk wadah dapat mempengaruhi
laju dan peningkatan pelarutan (Shargel dan Yu, 1988).
4. Pengadukan. Tujuan dari pengadukan agar diperoleh homogenitas pada
cairan dalam medium disolusi. Pada uji pelarutan obat akan kecepatan
pengadukan akan menurunkan tebal stagnan layer sehingga
mengakibatkan pelarutan obat akan semakin cepat (Shargel dan Yu,
1988).
7
BAB III
DATA PREFORMULASI
BAB IV
8
METODE KERJA
4.2 Formulasi
9
a. Dimasukkan aquadest kedalam gelas kimia kemudian dipanaskan
hingga suhu mencapai 37℃. Dengan terus dijaga suhunya dan terus
diukur menggunakan thermometer.
b. Diletakan cawan penguap yang berisi suppositoria diatas gelas kimia
yang sedang dilakukan pemanasan.
c. Dilakukan secara duplo (2x)
d. Dicatat waktu yang diperlukan untuk menghancurkan suppositoria
tersebut.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Organoleptik Hasil
10
Warna Putih cream
Bentuk Peluru
Bau Harum coklat
Massa suppositoria
5.4 Pembahasan
11
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan mengenai cara
pembuatan suppositoria. Tujuan dari praktikum ini yaitu agar dapat melakukan
cara pembuatan suppositoria dan dapat melakukan evaluasi terhadap sediaan
suppositoria tersebut . Suppositoria ini merupakan bentuk sediaan padat yang
biasa digunakan melalui dubur, umumnya berbentuk torpedo, dapat melarut,
melunak, atau meleleh pada suhu tubuh (FI III, 32).
Prinsip dari pembuatan suppositoria adalah dengan peleburan,
pencampuran, pencetakan dan pendinginan. Peleburan dilakukan dengan
meleburkan bahan yang memiliki titik lebur tinggi ke titik lebur rendah
ataupun sebaliknya. Kemudian dicampurkan dengan zat aktif, dan dicetak
ketika masih dalam keadan panas. Suppositria yang telah dicetak, didinginkan
untuk mendapatkan massa suppositoria yang padat. Suppositoria memiliki
beberapa keuntungan yaitu dapat menghindari terjadinya iritasi pada lambung,
dapat menghindari kerusakan obat oleh enzim pencernaan dan asam lambung,
dan baik bagi pasien yang mudah muntah.
Pada percobaan kali ini menggunakan basis oleum cacao sebagai basis
dan paracetamol sebagai zat aktif. Paracetamol dibuat dalam bentuk
suppositria memungkinkan supaya absorpsi lebih cepat daripada pemberian
oral karena suppositoria akan langsung diabsorpsi oleh membran mukosa
rektal menuju sistemik tanpa mengalami metabolisme oleh sistem hepatic
sehingga akan memberikan efek terapeutik yang cepat. Paracetamol juga
memiliki rasa yang pahit sehingga akan sulit menutupi rasa yang tidak enak
pada pemberian oral.
Pada praktikum kali ini, dibuat suppositoria paracetamol dengan
metode pencetakan tuang. Metode ini dipilih karena lebih efektif dan efisien
digunakan dalam pembuatan suppositoria skala lab. Sedangkan basis yang
digunakan yaitu oleum cacao. Oleum cacao merupakan trigliserida berwarna
kekuningan, memiliki bau yang khas dan bersifat polimorf (mempunyai
banyak bentuk kristal). Jika dipanaskan pada suhu sektiras 30°C akan mulai
mencair dan biasanya meleleh sekitar 34°-35°C, sedangkan dibawah 30°C
berupa massa semi padat. Jika suhu pemanasannya tinggi, lemak coklat akan
12
mencair sempurna seperti minyak dan akan kehilangan semua inti kristal
menstabil. Keuntungan oleum cacao adalah dapat melebur pada suhu tubuh
dan dapat memadat pada suhu kamar. Sedangkan kerugian oleum cacao adalah
tidak dapat bercampur dengan cairan sekresi (cairan pengeluaran), titik
leburnya tidak menentu, kadang naik dan kadang turun apabila ditambahkan
dengan bahan tertentu. Serta meleleh pada udara yang panas.
Berdasarkan hasil pembuatan sediaan suppositoria yang telah di buat
di lakukan evaluasi bentuk dan uji waktu hancur. Evaluasi bentuk dari sediaan
yang kami buat berwarna putih cream, memiliki bau aroma coklat dan
berbentuk peluru. Pada uji keseragaman bobot memiliki bobot rata-rata yaitu
2,076 dan dari literatur yaitu tidak lebih dari 2 gram sehingga sediaan yang
kami buat belum memenuhi syarat, hal ini dapat terjadi karena pada saat
pencetakan terbentuk lubang tikus sehingga kami menambahkan bahan lagi
supaya lubang akan tertutupi sehingga dapat memberikan bobot yang berlebih.
Pada uji waktu hancur untuk mengetahui berapa lama sediaan tersebut dapat
hancur dalam tubuh. Pada uji ini 3 sediaan suppositoria di larutkan ke dalam
air panas dengan suhu 377 C ( suhu tubuh ) media yang digunakan adalah air
karena sebagian tubuh kita berisi air. Pengujian dilakukan duplo dengan hasil
yang didapat rata rata waktu hancur sediaan suppositoria yaitu 60 menit 22
detik. Hasil yang didapat tidak memenuhi syarat karena untuk sediaan
suppositoria dengan basis oleum cacao tidak dapat bercampur dengan cairan
sekresi (cairan pengeluaran), titik leburnya tidak menentu karena kualitas
bahan sudah teroksidasi.
13
BAB VI
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
14
Aiache, 1993. Farmasetika Biofarmasi. Jakarta. Airlangga Press
Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk sediaan Farmasi Edisi 4. Jakarta: UI Press.
Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Depkes RI.
Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi Ke-IV. Jakarta: Depkes RI.
Lachman, L., et al. 2008. Teori dan Praktek Farmasi Industri. Jakarta: UI Press.
LAMPIRAN
15
Penimbangan Bahan Pelelehan Basis
16
Jumlah per suppositoria Jumlah per batch
Indikasi :
Menurunkan demam dan meredakan rasa nyeri
Kontra Indikasi :
Gangguan fungsi hatidan ginjal
Efek Samping :
Kerusakan fungsi hati pada dosis tinggi, reaksi
hipersensitif
Aturan Pakai :
Anak 4-8 tahun 4 kali sehari 250mg
Anak 2-4 tahun 4 kali sehari 125mg
Dimasukan melalui anus
Kemasan:
Dus, 1 blister @6 suppositoria
Diproduksi Oleh :
17