Anda di halaman 1dari 17

TEORI BELAJAR THORNDIKE DAN TEORI BELAJAR SKINNER

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Stategi Pembelajaran Matematika


Dosen Pengampu: Dr. Heni Pujiasturi, M.Pd.

Disusun oleh :
Septian Dika Maulana 2225180044
Nurul I. Shafara 2225180074
Khoirin Nisya 2225180078
Nida Triana L 2225180085
Putri Ayu Vita S. 2225180104

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2019
BAB I
PEMBAHASAN

1. Teori Thorndike
Edward Lee Thorndike ialah seorang fungsionalis. Thorndike (1874-1949)
mendapat gelar sarjananya dari Wesleyan University di Connecticut pada tahun 1895,
dan master dari Hardvard pada tahun 1897. Ketika di sana, Thorndike mengikuti
kelasnya Williyams James dan mereka pun menjadi akrab. Thorndike menerima
beasiswa di Colombia, dan dapat menyelesaikan gelar PhD-nya tahun 1898.
Kemudian dia tinggal dan mengajar di Colombiaa sampai pensiun tahun 1940.
Thorndike berhasil menerbitkan suatu buku yang berjudul “Animal intelligence, An
experimental study of associationprocess in Animal”. Buku tersebut merupakan hasil
penelitian Thorndike terhadap tingkah beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing,
dan burung yang mencerminkan prinsip dasar dari proses belajar yang dianut oleh
Thorndike yaitu bahwa dasar dari belajar (learning) tidak lain sebenarnya adalah
asosiasi.
Teori yang dikemukakan Thorndike dikenal dengan teori stimulus-respon (S-
R). Dalam teori S-R dikatakan bahwa dalam proses belajar, pertama kali organisme
(hewan, orang) belajar dengan cara coba salah (trial end error). Apabila suatu
organisme berada dalam suatu situasi yang mengandung masalah, maka organisme
itu akan mengeluarkan tingkah laku yang serentak dari kumpulan tingkah laku yang
ada padanya untuk memecahkan masalah itu. Berdasarkan pengalaman itulah, maka
pada saat menghadapi masalah yang serupa, organisme sudah tahu tingkah laku mana
yang harus dikeluarkannya untuk memecahkan masalah. Ia mengasosiasikan suatu
masalah tertentu dengan suatu tingkah laku tertentu. Sebagai contoh seekor kucing
yang dimasukkan dalam kandang yang terkunci akan bergerak, berjalan, meloncat,
mencakar, dan sebagainya sampai suatu ketika secara kebetulan ia menginjak suatu
pedal dalam kandang itu sehingga kandang itu terbuka dan kucing pun bisa keluar.
Sejak saat itulah, kucing akan langsung menginjak pedal kalau ia dimasukkan dalam
kandang yang sama.
Teori Belajar yang di Kemukakan Edward Leer Thorndike
Menurut Thorndike (Budiningsih, 2005: 21) belajar adalah proses interaksi antara
stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya
kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat ditangkap
melalui alat indera. Pada mulanya, pendidikan dan pengajaran di amerika serikat di
dominasi oleh pengaruh dari Thorndike (1874-1949) teori belajar Thorndike di sebut
“ Connectionism” karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi
antara stimulus dan respon. Teori ini sering juga disebut “Trial and error” dalam
rangka menilai respon yang terdapat bagi stimulus tertentu. Thorndike mendasarkan
teorinya atas hasil-hasil penelitiannya terhadap tingkah laku beberapa binatang antara
lain kucing, dan tingkah laku anak-anak dan orang dewasa.
Dalam membuktikan teorinya Thorndike melakukan percobaan terhadap seekor
kucing yang lapar dan kucing itu ditaruh di kandang, Seekor kucing yang lapar
ditempatkan dalam sangkar berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi dengan
peralatan, seperti pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang menghubungkan
pengungkit dengan gerendel tersebut. Peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga
memungkinkan kucing tersebut memperoleh makanan yang tersedia di depan sangkar
tadi. Keadaan bagian dalam sangkar yang disebut puzzle box (teka-teki) itu
merupakan situasi stimulus yang merangsang kecil untuk bereaksi melepaskan diri
dan memperoleh makanan yang ada di muka pintu. Mula-mula kucing tersebut
mengeong, mencakardan berlari-larian, namun gagal membuka pintu untuk
memperoleh makanan yang ada di depannya. Akhirnya, entah bagaimana, secara
kebetulan kucing itu berhasil menekan pengungkit dan terbukalah pintu sangkar
tersebut. Eksperimen puzzle box ini kemudian terkenal dengan nama instrumental
conditioning. Artinya, tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai instrumental
(penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki.
Berdasarkan eksperimen di atas, Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah
hubungan antara stimulus dan respon. Itulah sebabnya teori koneksionisme juga
disebut “S-R Bond Theory” dan “S-R Psycology of learning” selain itu, teori ini juga
terkenal dengan “Trial and Error Learning”. Istilah ini menunjuk pada panjangnya
waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan. Apabila kita
perhatikan secara seksama dalam eksperimen Thorndike tadi akan kita dapati 2 hal
pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar.
Pertama, keadaan kucing yang lapar. Seandainya kucing itu kenyang, sudah tentu
tidak akan berusaha keras untuk keluar. Bahkan, barangkali ia akan tidur saja dalam
puzzle box yang mengurungnya. Dengan kata lain, kucing itu tidak akan
menampakkan gejala belajar untuk keluar. Sehubung dengan hal ini, hampir dapat
dipastikan bahwa motivasi (seperti rasa lapar) merupakan hal yang sangat vital dalam
belajar.
Kedua, tersedianya makanan di muka pintu puzzle box, merupakan efek positif
atau memuaskan yang dicapai oleh respon dan kemudian menjadi dasar timbulnya
hukum belajar yang disebutlaw of effect. Artinya, jika sebuah respon menghasilkan
efek yang memuaskan, hubungan antara stimulus dan respon akan semakin kuat.
Sebaliknya, semakin tidak memuaskan (mengganggu) efek yang dicapai respon,
semakin lemah pula hubungan stimulus dan respon tersebut.
Ciri-ciri Belajar Menurut Thorndike
a) Ada motif pendorong aktivitas
b) Ada berbagai respond terhadap sesuatu
c) Ada eliminasi respond-respond yang gagal atau salah
d) Ada kemajuan reksi-reaksi mencapai tujuan dari penelitiannya itu
Hukum-hukum yang Digunakan Edward Lee Thorndike
1. Hukum Kesiapan (Law of Readiness)
Dalam belajar seseorang harus dalam keadaan siap dalam artian seseorang
yang belajar harus dalam keadaan yang baik dan siap, jadi seseorang yang
hendak belajar agar dalam belajarnya menuai keberhasilan maka seseorang
dituntut untuk memiliki kesiapan, baik fisik maupun psikis. Siap fisik seperti
seseorang tidak dalam keadaan sakit, yang mana bisa mengganggu kualitas
konsentrasi. Adapun contoh dari siap psikis adalah seperti seseorang yang
jiwanya tidak lagi terganggu, seperti sakit jiwa dan lain-lain. Disamping
seseorang harus siap fisik dan psikis seseorang juga harus siap dalam
kematangan dalam penguasaan pengetahuan serta kecalapan-kecakapan yang
mendasarinya.
Menurut Thorndike (Ayuni, 2011: 9) ada tiga keadaan yang menunjukkan
berlakunya hukum ini, yaitu :
a) Bila pada organisme adanya kesiapan untuk bertindak atau berprilaku,
dan bila organisme itu dapat melakukan kesiapan tersebut, maka
organisme akan mengalami kepuasan.
b) Bila pada organisme ada kesiapan organisme untuk bertindak atau
berperilaku, dan organisme tersebut tidak dapat melaksanakan
kesiapan tersebut, maka organisme akan mengalami kekecewaan.
c) Bila pada organisme tidak ada persiapan untuk bertindak dan
organisme itu dipaksa untuk melakukannya maka hal tersebut akan
menimbulkan keadaan yang tidak memuaskan.

2. Hukum Latihan (Law oF Exercise)


Hukum ini mengandung 2 hal yaitu :
a) The Law Of Use, yaitu hukum yang menyatakan bahwa hubungan atau
koneksi antara stimulus dan respon akan menjadi kuat bila sering
digunakan. Dengan kata lain bahwa hubungan antara stimulus dan
respon itu akan menjadi kuat semata-mata karena adanya latihan.
b) The Law of Disuse, yaitu suatu hukum yang menyatakan bahwa
hubungan atau koneksi antara stimulus dan respon akan menjadi lemah
bila tidak ada latihan.
Prinsip ini menunjukkan bahwa ulangan merupakan hak yang pertama
dalam belajar. Makin sering suatu pelajaran yang diulang makin mantaplah
bahan pelajaran tersebut dalam diri siswa. Pada prakteknya tentu diperlukan
berbagai variasi, bukan ulangan sembarang ulangan. Dan pengaturan waktu
distribusi frekuensi ulangan dapat menentukan hasil belajar.
3. Hukum Akibat (Law of Effect)
Hukum ini juga berisikan 2 hal, yaitu :
a) suatu tindakan/perbuatan yang menghasilkan rasa puas
(menyenangkan) akan cenderung diulang, sebaliknya suatu tindakan
(perbuatan) menghasilkan rasa tidak puas (tidak menyenangkan)
akancenderungtidakdiulanglagi. Hal inimenunjukkan bagaimana
pengaruh hasil perbuatan bagi perbuatan itu sendiri.
b) Dalam pendidikan, hukum ini diaplikasikan dalam bentuk hadiah dan
hukuman. Hadiah menyebabkan orang cenderung ingin melakukan
lagi perbuatan yang menghasilkan hadiah tadi, sebaliknya hukuman
cenderung menyebabkan seseorang menghentikan perbuatan, atau
tidak mengulangi perbuatan.
Di samping hukum-hukum belajar seperti yang telah dikemukakan di atas,
konsep penting dari teori belajar koneksionisme Thorndike adalah yang
dinamakan Transfer of Training. Konsep ini menjelaskan bahwa apa yang
pernah dipelajari oleh anak sekarang harus dapat digunakan untuk hal lain di
masa yang akan datang. Dalam konteks pembelajaran konsep transfer of
training merupakan hal yang sangat penting, sebab seandainya konsep ini
tidak ada, maka apa yang akan dipelajarai tidak akan bermakna.
Oleh karena itu, apa yang dipelajari oleh siswa di sekolah harus berguna
dan dapat dipergunakan di luar sekolah. Misalnya, anak belajar membaca,
maka keterampilan membaca dapat digunakan untuk membaca apapun di luar
sekolah, walaupun di sekolah tidak diajarkan bagaimana membaca koran, tapi
karena huruf-huruf yang diajarkan di sekolah sama dengan huruf yang ada
dalam koran, maka keterampilan membaca di sekolah dapat ditransfer untuk
membaca koran, untuk membaca majalah, atau membaca apapun.
Selain ketiga hukum pokok di atas, Thorndike mengemukakan adanya 5
hukum tambahan, yaitu :
1) Law of Multiple response, yaitu individu mencoba berbagai respon
sebelum mendapat respon yang tepat.
2) Law of attitude, yaitu proses belajar dapat berlangsung bila ada
kesiapan mental yang positif pada siswa.
3) Law of partial activity, yaitu individu dapat bereaksi secara selektif
terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam situasi tertentu.
Individu dapat memilih hal-hal yang pokok dan mendasarkan tingkah
lakunya kepada hal-hal yang pokok, dan meninggalkan hal-hal yang
kecil.
4) Law of response by analogy, yaitu individu cenderung mempunyai
reaksi yang sama terhadap situasi baru, atau dengan kata lain individu
bereaksi terhadap situasi yang mirip dengan situasi yang dihadapinya
waktu yang lalu.
5) Law of assciative shifting, yaitu sikap respon yang telah dimiliki
individu dapat melekat stimulus baru.

Prinsip-prinsip Belajar yang Dikemukakan oleh Thorndike


1) Pada saat seseorang berhadapan dengan situasi yang bagi dia
termasukbaru, berbagai ragam respon maka akan ia lakukan. Respon
tersebut ada kalanya berbeda-beda sampai yang bersangkutan
memperoleh respon yang benar.
2) Apa yang ada pada diri seseorang, baik itu berupa pengalaman,
kepercayaan, sikap dan hal-hal lain yang telah ada pada dirinya turut
menentukan tercapainya tujuan yang ingin dicapai.
3) Pada diri seseorang sebenarnya terdapat potensi untuk mengadakan
seleksi terhadap unsur-unsur penting dari yang kurang atau tidak penting
hingga akhirnya dapat menentukan respon yang tepat.
4) Orang cenderung memberi respon yang sama terhadap situasi yang sama.
Seperti apabila seseorang dalam keadaan stress karena diputus oleh
pacarnya dan ia mengalami ini bukan hanya kali ini melainkan ia pernah
mengalami kejadian yang sama karena hal yang sama maka tentu ia akan
merespon situasi tersebut seperti yang ia lakuan seperti dahulu ia lakukan.
5) Orang cenderung menghubungkan respon yang ia kuasai dengan situasi
tertentu tatkala menyadari bahwa respon yang ia kuasai dengan situasi
tersebut mempunyai hubungan.

Keunggulan-keunggulan Teori Belajar Koneksionisme Thorndike


a) teori ini sering juga disebut dengan teori trial dan error dalam teori ini
orang bisa menguasai hubungan stimulus dan respon sebanyak-banyaknya
sehingga orang akan terbiasa berpikir dan terbiasa mengembangkan
pikirannya.
b) Dengan sering melakukan pengulangan dalam memecahkan suatu
permasalahan, anak didik akan memiliki sebuah pengalaman yang
berharga. Selain itu dengan adanya sistem pemberian hadiah, akan
membuat anak didik menjadi lebih memiliki kemauan dalam memecahkan
permasalahan yang dihadapinya.

Kelemahan-kelemahan Teori Belajar Koneksionisme Thorndike


a) Terlalu memandang manusia sebagai mekanismus dan otomatisme belaka
disamakan dengan hewan. Meskipun banyak tingkah laku manusia yang
otomatis, tetapi tidak selalu bahwa tingkah laku manusia itu dapat
dipengaruhi secara trial and error. Trial and error tidak berlaku mutlak bagi
manusia.
b) Memandang belajar hanya merupakan asosiasi belaka antara stimulus dan
respon. Sehingga yang dipentingkan dalam belajar ialah memperkuat
asosiasi tersebut dengan latihan-latihan, atau ulangan-ulangan yang terus-
menerus.
c) Karena belajar berlangsung secara mekanistis, maka pengertian tidak
dipandangnya sebagai suatu yang pokok dalam belajar. Mereka
mengabaikan pengertian sebagai unsur yang pokok dalam belajar.
Contoh penerapan:
1. seorang siswa sudah benar-benar siap untuk menempuh ujian, maka dia sangat
puas bila ujian itu benar-benar dilakukan. Dia akan mantap dan tenang salama
mengarjakan ujian dan tidak akan berusaha untuk mencontek.
2. seorang siswa yang sudah belajar dengan tekun sehingga benar-benar siap untuk
ujian, tetapi jadwal ujian tiba-tiba diundur, maka dia sangat kecewa. Dan untuk
mengurangi kerkecewaanya dia membuat gaduh dan protes.
3. para pelajar yang tiba-tiba diberi tes atau ulangan tanpa diberitahu terlebih dahulu,
maka mereka protes supaya tes dibatalkan, karena mereka belum siap.
4. para pelajar akan sangat senang dan puas ketika ternyata ada pengumuman
ulangan diundur satu minggu lagi karena mereka merasa belum belajar dan belum
siap untuk menempuh ulangan.
5. bila peserta didik dalam belajar bahasa Inggris selalu menghafal perbendaharaan
kosakata, maka bila ada stimulus berupa pertanyaan “apa bahasa inggrisnya
makan?” peserta didik langsung dapat memberi jawaban (respons) dengan benar.
Tetapi apabila peserta didik tidak pernah menggunakan kata itu, maka peserta
didik tidak dapat memberi respons yang benar.
6. siswa yang menyontek tetapi didiamkan saja dan di beri nilai A, maka pada
kesempatan lain ia akan menyontek lagi. Tapi bila siswa itu di tegur sehingga
teman-temannya tahu kalau menyontek maka dia malu dan tidak akan menyontek
lagi.

2. Teori Skinner
Skinner merupakan salah satu ahli pendidikan yang mengembangkan teori
behaviorisme. Behaviorisme merupakan aliran psikologi yang memandang individu lebih
kepada sisi fenomena jasmaniah dan mengabaikan aspek-aspek mental seperti,
kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam kegiatan belajar. Para ahli
behaviorisme berpendapat bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari
pengalan. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus (S) dengan respon
(R). Menurut teori ini, dalam belajar yang paling penting adalah adanya adanya input
berupa stimulus dan output yang berupa respon.
Menurut pandangan B. F. Skinner (1958), belajar merupakan suatu proses atau
penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progressif. Pengertian belajar ialah
suatu perubahan dalam kemungkinan atau peluang terjadinya respons. Skinner
berpendapat bahwa ganjaran merupakan salah satu unsur yang penting dalam proses
belajar, tetapi istilahnya perlu diganti dengan penguatan. Ganjaran adalah sesuatu yang
menggembirakan, sedangkan penguatan adalah sesuatu yang mengakibatkan
meningkatkatnya suatu respon tertentu. Penguatan tidak selalu berupa hal yang
menggembirakan, tetapi dapat terjadi sebaliknya.
Eksperimen Skinner
Dalam eksperimen Skinner (Muhibbin Syah, 2003: 99), Skinner
menggunakan seekor tikus yang ditempatkan dalam sebuah peti yang kemudian
terkenal dengan “Skinner Box”. Peti sangkar ini terdiri atas dua komponen yaitu:
manipulandum dan alat pemberi reinforcement yang antara lain berupa wadah
makanan. Manipulandum adalah komponen yang dapat dimanipulasi dan
gerakannya berhubungan dengan reinforcement. Komponen ini terdiri dari
tombol, batang jeruji, dan pengungkit. (Rober, 1988).
Dalam eksperimen ini, mula-mula tikus mengeksplorasi pati sangkar
dengan berlari-lari atau mencakari dinding. Aksi ini disebut “”emitted behavior”
(tingkah laku yang terpancar tanpa mempedulikan stimulus tertentu). Sampai pada
suatu ketika secara kebetulan salah satu “emitted behavior” tersebut dapat
menekan pengungkit yang menyebabkan munculnya butir-butir makanan ke
dalam wadahnya sehingga tikus dapat mendapatkan makanan.
Butir-butir makanan ini merupakan reinforce bagi penekanan pengungkit.
Penekanan pengungkit inilah yang disebut tingakah laku operant yang akan terus
meningkat apabial diiringi dengan reinforcement, yakni pengauatan berupa butir-
butir makanan yang muncul

Teori Operant Conditioning


Teori ini dikembangkan oleh B.F Skinner. Menurut Skinner dalam
(Dimyati Mahmud, 1989: 123) tingkah laku bukanlah sekedar respon terhadap
stimulus, tetapi suatu tindakan yang disengaja atau operant. Operant ini
dipengaruhi oleh apa yang terjadi sesudahnya. Jadi operant conditioning atau
operant learning itu melibatkan pengendalian konsekuensi
Tingkah laku ialah perbuatan yang dilakukan seseorang pada situasi tertentu.
Tingkah laku ini terletak di antara dua pengaruh yaitu pengaruh yang
mendahuluinya (antecedent) dan pengaruh yang mengikutinya (konsekuensi). Hal
ini dapat dilukiskan sebagai berikut:

Antecedent –> tingkah laku –> konsekuensi

Dengan demikian, tingkah laku dapat diubah dengan cara mengubah


antecedent, konsekuensi, atau kedua-duanya. Menurut Skinner, konsekuensi itu
sangat menentukan apakah seseorang akan mengulangi suatu tingkah laku pada
saat lain di waktu yang akan datang.

Kajian Teori Kondisioning Operan Menurut B.F.Skine


Kondisian operan adalah sebentuk pembelajaran dimana konsekuensi-
konsekuensi dari prilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas prilaku itu
akan diulangi. Inti dari teori behaviorisme Skinner adalah Pengkondisian operan
(kondisioning operan). Ada 6 asumsi yang membentuk landasan untuk
kondisioning operan (Margaret E. Bell Gredler, hlm 122).
Asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut
1. Belajar itu adalah tingkah laku.
2. Perubahan tingkah-laku (belajar) secara fungsional berkaitan dengan
adanya perubahan dalam kejadian-kejadian di lingkungan kondisi-kondisi
lingkungan.
3. Hubungan yang berhukum antara tingkah-laku dan lingkungan hanya
dapat di tentukan kalau sifat-sifat tingkah-laku dan kondisi eksperimennya
di devinisikan menurut fisiknya dan di observasi di bawah kondisi-kondisi
yang di control secara seksama.
4. Data dari studi eksperimental tingkah-laku merupakan satu-satunya
sumber informasi yang dapat di terima tentang penyebab terjadinya
tingkah laku.
Menurut Skinner (J.W. Santrock, 272) unsur yang terpenting dalam
belajar adalah adanya penguatan (reinforcement) dan hukuman (punishment).
Penguatan dan Hukuman. Penguatan (reinforcement) adalah konsekuensi yang
meningkatkan probabilitas bahwa suatu perilaku akan terjadi. Sebaliknya,
hukuman (punishment) adalah konsekuensi yang menurunkan probabilitas
terjadinya suatu perilaku.

Menurut Skinner penguatan berarti memperkuat, penguatan dibagi menjadi dua


bagian yaitu :
a) Penguatan positif adalah penguatan berdasarkan prinsip bahwa frekuensi
respons meningkat karena diikuti dengan stimulus yang mendukung
(rewarding). Bentuk-bentuk penguatan positif adalah berupa hadiah
(permen, kado, makanan, dll), perilaku (senyum, menganggukkan kepala
untuk menyetujui, bertepuk tangan, mengacungkan jempol), atau
penghargaan (nilai A, Juara 1 dsb).
b) Penguatan negatif, adalah penguatan berdasarkan prinsif bahwa frekuensi
respons meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang
merugikan (tidak menyenangkan). Bentuk-bentuk penguatan negatif
antara lain: menunda/tidak memberi penghargaan, memberikan tugas
tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang (menggeleng, kening
berkerut, muka kecewa dll).
Satu cara untuk mengingat perbedaan antara penguatan positif dan penguatan
negatif adalah dalam penguatan positif ada sesuatu yang ditambahkan atau
diperoleh. Dalam penguatan negatif, ada sesuatu yang dikurangi atau di
hilangkan. Adalah mudah mengacaukan penguatan negatif dengan hukuman.
Agar istilah ini tidak rancu, ingat bahwa penguatan negatif meningkatkan
probabilitas terjadinya suatu prilaku, sedangkan hukuman menurunkan
probabilitas terjadinya perilaku.
Contoh dari konsep penguatan positif, negatif, dan hukuman (J.W Santrock,
274):
1. Penguatan Positif
Perilaku : Murid mengajukan pertanyaan yang bagus
Konsekuensi : Guru menguji murid
Perilaku kedepan : Murid mengajukan lebih banyak pertanyaan
2. Penguatan Negative
Perilaku : Murid menyerahkan PR tepat waktu
Konsekuensi : Guru berhenti menegur murid
Perilaku Kedepan : Murid makin sering menyerahkan PR tepat
waktu
3. Hukuman
Perilaku : Murid menyela guru
Konsekuensi : Guru mengajar murid langsung
Perilaku Kedepan : Murid berhenti menyela guru

Prinsip belajar yang dikembangkan oleh Skinner antara lain:


 Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah
dibetulkan, jika benar diberi penguat.
 Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
 Materi pelajaran, digunakan sistem modul.
 Dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktivitas sendiri.
 Dalam proses pembelajaran, tidak digunakan hukuman. Namun ini
lingkungan perlu diubah, untuk menghindari adanya hukuman
 Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebagainya.
Hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable rasio reinforce.
 Dalam pembelajaran, digunakan shaping.

Disamping itu pula dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus
dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar,
diantaranya :
 Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan
stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
 Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah
diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat,
maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.

Analisa Perilaku terapan dalam Pendidikan


Analisis Perilaku terapan adalah penerapan prinsip pengkondisian operan untuk
mengubah perilaku manusia. Ada tiga penggunaan analisis perilaku yang penting
dalam bidang pendidikan yaitu :
1) Meningkatkan perilaku yang diharapkan
Ada lima strategi pengkondisian operan dapat dipakai untuk
meningkatkan perilaku anak yang diharapkan yaitu:
a) Memilih Penguatan yang efektif
Tidak semua penguatan akan sama efeknya bagi anak. Analisis
perilaku terapan menganjurkan agar guru mencari tahu penguat
apa yang paling baik untuk anak, yakni mengindividualisasikan
penggunaan penguat tertentu. Untuk mencari penguatan yang
efektif bagi seorang anak, disarankan untuk meneliti apa yang
memotivasi anak dimasa lalu, apa yang dilakukan murid tapi tidak
mudah diperolehnya, dan persepsi anak terhadap manfaat dan nilai
penguatan. Penguatan alamiah seperti pujian lebih dianjurkan
ketimbang penguat imbalan materi, seperti permen, mainan dan
uang.
b) Menjadikan penguat kontingen dan tepat waktu
Agar penguatan dapat efektif, guru harus memberikan hanya
setelah murid melakukan perilaku tertentu. Analisis perilaku
terapan seringkali menganjurkan agar guru membuat pernyataan
“jika…maka”. penguatan akan lebih efektif jika diberikan tepat
pada waktunya, sesegera mungkin setelah murid menjalankan
tindakan yang diharapkan. Ini akan membantu anak melihat
hubungan kontingensi antar-imbalan dan perilaku mereka. Jika
anak menyelesaikan perilaku sasaran (seperti mengerjakan
sepuluh soal matematika) tapi guru tidak memberikan waktu
bermain pada anak, maka anak itu mungkin akan kesulitan
membuat hubungan kontingensi
c) Memilih jadwal penguatan terbaik
Menyusun jadwal penguatan menentukan kapan suatu respons
akan diperkuat. Empat jadwal penguatan utama adalah :
 Jadwal rasio tetap: suatu perilaku diperkuat setelah
sejumlah respon.
 Jadwal rasio variabel : suatu perilaku diperkuat setelah
terjadi sejumlah respon, akan tetapi tidak berdasarkan basis
yang dapat diperidiksi.
 Jadwal interval – tetap : respons tepat pertama setelah
beberapa waktu akan diperkuat.
 Jadwal interval – variabel : suatu respons diperkuat setelah
sejumlah variabel waktu berlalu.
d) Menggunakan Perjanjian (contracting)
Adalah menempatkan kontigensi penguatan dalam tulisan. Jika
muncul problem dan anak tidak bertindak sesuai harapan, guru
dapat merujuk anak pada perjanjian yang mereka sepakati.
Analisis perilaku terapan menyatakan bahwa perjanjian kelas
harus berisi masukan dari guru dan murid. Kontrak kelas
mengandung pernyataan “jika… maka” dan di tanda tangani oleh
guru dan murid, dan kemudian diberi tanggal.
e) Menggunakan penguatan negatif secara efektif
Dalam penguatan negatif, frekuensi respons meningkat karena
respon tersebut menghilangkan stimulus yang dihindari. seorang
guru mengatakan ”Pepeng, kamu harus menyelesaikan PR mu dulu
diluar kelas sebelum kamu boleh masuk kelas ikut pembelajaran”
ini berarti seorang guru menggunakan penguatan negatif.
2) Menggunakan dorongan (prompt) dan pembentukkan (shaping).
Prompt (dorongan) adalah stimulus tambahan atau isyarat tambahan yang
diberikan sebelum respons dan meningkatkan kemungkinan respon
tersebut akan terjadi. Shapping (pembentukan) adalah mengajari perilaku
baru dengan memperkuat perilaku sasaran.
3) Mengurangi perilaku yang tidak diharapkan
Ketika guru ingin mengurangi perilaku yang tidak diharapkan (seperti
mengejek, mengganggu diskusi kelas, atau sok pintar) yang harus
dilakukan berdasarkan analisis perilaku terapan adalah :
 Menggunakan Penguatan Diferensial.
 Menghentikan penguatan (pelenyapan).
 Menghilangkan stimuli yang diinginkan.
 Memberikan stimuli yang tidak disukai (hukuman).

Aplikasi Teori Skinner Terhadap Pembelajaran.


Dari penjelasan terperinci diatas tentang operant conditioning dapat diambil
kesimpulan bahwa operant conditioning merupakan teori belajar yang
menjelaskan bahwa sesuatu yang diikuti oleh konsekuensi yang menyenangkan
akan cenderung diulang-ulang. Beberapa aplikasi teori belajar Skinner dalam
pembelajaran adalah sebagai berikut:
 Bahan yang dipelajari dianalisis sampai pada unit-unit secara organis.
 Hasil berlajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah
dibetulkan dan jika benar diperkuat.
 Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
 Materi pelajaran digunakan sistem modul.
 Tes lebih ditekankan untuk kepentingan diagnostic.
 Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri.
 Dalam proses pembelajaran tidak dikenakan hukuman.
 Dalam pendidikan mengutamakan mengubah lingkungan untuk
mengindari pelanggaran agar tidak menghukum.
 Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah.
 Hadiah diberikan kadang-kadang (jika perlu)
 Tingkah laku yang diinginkan, dianalisis kecil-kecil, semakin meningkat
mencapai tujuan
 Dalam pembelajaran sebaiknya digunakan shaping.
 Mementingkan kebutuhan yang akan menimbulkan tingkah laku operan.
 Dalam belajar mengajar menggunakan teaching machine
 elaksanakan mastery learning yaitu mempelajari bahan secara tuntas
menurut waktunya masing-masing karena tiap anak berbeda-beda
iramanya. Sehingga naik atau tamat sekolah dalam waktu yang berbeda-
beda. Tugas guru berat,administrasi kompleks.

Kelebihan dan kekurangan Menurut B.F. Skinner


A. Kelebihan
Pada teori ini, pendidik diarahkan untuk menghargai setiap anak
didiknya. hal ini ditunjukkan dengan dihilangkannya sistem hukuman. Hal
itu didukung dengan adanya pembentukan lingkungan yang baik sehingga
dimungkinkan akan meminimalkan terjadinya kesalahan.
B. Kekurangan
Beberapa kelemahan dari teori ini berdasarkan analisa teknologi
(Margaret E. B. G. 1994) adalah bahwa: (i) teknologi untuk situasi yang
kompleks tidak bisa lengkap; analisa yang berhasil bergantung pada
keterampilan teknologis, (ii) keseringan respon sukar diterapkan pada
tingkah laku kompleks sebagai ukuran peluang kejadian. Disamping itu
pula, tanpa adanya sistem hukuman akan dimungkinkan akan dapat
membuat anak didik menjadi kurang mengerti tentang sebuah
kedisiplinan. hal tersebuat akan menyulitkan lancarnya kegiatan belajar-
mengajar. Dengan melaksanakan mastery learning, tugas guru akan
menjadi semakin berat. Beberapa Kekeliruan dalam penerapan teori
Skinner adalah penggunaan hukuman sebagai salah satu cara untuk
mendisiplinkan siswa. Menurut Skinner hukuman yang baik adalah anak
merasakan sendiri konsekuensi dari perbuatannya. Misalnya anak perlu
mengalami sendiri kesalahan dan merasakan akibat dari kesalahan.
Penggunaan hukuman verbal maupun fisik seperti: kata-kata kasar,
ejekan, cubitan, jeweran justru berakibat buruk pada siswa.

Contoh penerapan :
1. seorang Guru yang memberikan suatu hadiah kepada anak didiknya yang
menjadi suatu paling berharga sehingga anak didik tersebut lebih rajin dalam
belajar.
2. Murid mengajukan pertanyaan bagus lalu guru memujinya. Sehingga kedepannya
murid mengajukan lebih banyak pertanyaan.
3. Murid menyela guru, lalu guru menegurnya. Murid jadi berhenti menyela guru.
4. Murid menyerahkan PR tepat waktu, guru berhenti menegur murid. Murid makin
sering menyerahkan pr tepat waktu
DAFTAR PUSTAKA

Ali Imran. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Pustaka Jaya. 1996. Hal : 8-9
Bell Gredler, E. Margaret. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali.
B.F. Skinner and radical behaviorism, Ali, Muh. 1978. Guru Dalam Proses Belajar
Mengajar. Bandung: Sinar Baru.
Djiwandono, Sri Esti Muryani. 2001. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Grasindo
Feist, Jest, Feist, Gregory J. 2008. Teories of Personality. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Gredler, Margaret E. Bell. 1994. Belajar dan pembelajaran. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.
George Boeree, Sejarah Psikologi, (Cet. I; Jakatra: Prima Shopie, 2005), h. 390
Hamalik, Oemar. 2002. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan PendekatanSistem.
Jakarta: Bumi Aksara.
John W. Satrock, 2007. Psikologi Pendidikan. edisi kedua. PT Kencana Media Group:
Jakarta.
Mahmud, Drs. M. Dimyati. 1989. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud
Muhibinsyah, Psikologi Belajar. Jakarta : Logos. 1999. Hal : 83-85
Nunzairina, Diktat Psikologi Pendidikan. Medan. 2009. Hal : 78-79
Nefi Damayanti, Psikologi Belajar, Hal : 54-55
Purwanto, Ngalim. 1990. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya
Sanjaya Wina. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta :
Kencana Prenada Media Group. 2006. Hal : 117
Suryabrata, Sumadi. 2004. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Syah M.Ed., Muhibbin. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Sartito Wirawan, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi, (Jakarta:
Bulan Bintang, 2006), hal 124.
Wuryani Djiwandono, Sri Esti. 1989. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud.
Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), h. 124
Winansih, Varia, Psikolgi Pendidikan, Medan:Latansa Press, 2009. Hal 25
Wuryani Djiwandono, Sri Esti. 1989. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud.
Notulen Diskusi Teori Belajar Thorndike dan Skinner

Notulis : Anggini Dinda Nursafitri


Hari/tanggal : Kamis, 12 September 2019
Waktu pelaksanaan : 08.00 – s/d selesai
Pertanyaan untuk Kelompok 1
1. Penanya : Wida Ismayanti (2225180073)
Penjawab : Khoirin Nisya (2225180078)
Pertanyaan : Hukuman ditiadakan tetapi diganti dengan mengubah lingkungannya.
Bagaimana cara mengubah lingkungan tersebut?
Jawaban : caranya dengan membentuk suasana kelas atau sekolah yang lebih
nyaman. Seperti menyediakan tempat sampah yang cukup sehingga siswa tidak
lagi membuang sampanh sembarangan dan jadinya tidak ada hukuman bagi
siswa yang membuang sampah sembarangan. Dengan begitu sekaligus kita
membentuk suatu lingkungan yang bersih dan juga nyaman. Begitu juga dengan
cara mengajar guru, guru harus bisa mengajar siswanya dengan cara yang
menyenangkan sehingga siswa dapat belajar dengan nyaman dan mudah
mengerti jika guru mengajarnya mengasyikan. Sehingga tidak ada lagi siswa
yang melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan yang dapat membuat guru
memberi suatu hukuman.
2. Penanya : Sellina Ayu Kusumaningrum (2225180084)
Penjawab : Putri Ayu Vita S (2225180104)
Pertanyaan : Dalam Prinsip Irama dan musik bagaimana penerapannya? Dan untuk
anak yang diberikan hadiah saat bisa menjawab sesuatu, apakah tidak membuat
anak yang lain minder?
Jawaban : Jadi guru yang mengikuti anak muridnya mau seperti apa model
pembelajarannya . jadi si anak bisa menentukan apakah lebih senang berdiskusi
atau yang lainnya. Jadi guru mengikuti kemauan si murid, bisa saja model
pembelajaran kelas a dan b berbeda karena kemampuan anak dalam menerima
pembelajaran berbeda beda. Kalau yang mendapat hadiah, pasti setiap ada aja
anak yang merasa iri atau cemburu kalau temennya dapat hadiah. Tapi itu
tergantung pribadnya masing masing. Dengan perasaan iri itulah anak dapat
memacu keinginannya untuk mendapatkan hadiah itu juga. Jadi pemberian
hadiah tersebut bisa memacu semangat belajarnya untuk siswa yang belum
mendapatkan hadiah.
3. Penanya : Rahmawati Dian Pratiwi (2225180089)
Penjawab : Nida Triana L (2225180085)
Pertanyaan : Mengapa teori tersebut menggunakan bahan percobaan hewan?
Jawaban : karena kalau hewan tidak punya akal tetapi mempunyai stimulus yang
sama seperti manusia, jadi hewan memberi respon yang alami tidak seperti
manusia yang sudah berfikir dan tau apa yang harus dilakukan. Dan juga
didalam teori tersebut dilakukan beberapa penelitian terhadap hewan, anak kecil,
dan dewasa, ternyata responnya sama sehingga terbentuklah suatu teori. Ketiga,
pengulangan terhadap penyampaian materi dan latihan, dapat membantu siswa
mengingat materi terkait lebih lama. Hal ini sesuai dengan Teorema konektivitas
yang menyatakan bahwa konsep tertentu harus dikaitkan dengan konsep-konsep
lain yang relevan. Keempat, siswa yang telah belajar dengan baik harus segera
diberi hadiah, dan yang belum baik harus segera diperbaiki, dalam belajar. Hal
ini senada dengan Wibowo (2015) bentuk penguatan yang diberikan oleh guru
terhadap tingkah laku positif yang ditunjukkan oleh siswa dapat berupa
pemberian reward dalam bentuk benda (hadiah), verbal (seperti pujian), dan juga
dalam bentuk tingkah laku yang hangat, permisif, dan penuh penerimaan
sehingga penguatan positif tersebut dapat merubah tingkah laku siswa. Selain
itu, menurut pandangan Skinner dalam Hanafy (2014) kesempatan terjadinya
peristiwa yang menimbulkan respons belajar,baik konsekuensinya sebagai
hadiah maupun teguran atau hukuman. Dengan demikian, pemilihan stimulus
yang deskriminatif dan penggunaan penguatan dapat merangsang individu lebih
giat belajar, sehingga belajar merupakan hubungan antara stimulus dengan
respons (S–R). Kalau untuk pemberian hadiah itu tidak diwajibkan untuk semua
sekolah, tetapi tergantung kebijakan sekolah dan juga gurunya. Jadi dalam
kurikulum 13 tidak diwabibkan memberikan hadian kepada muridnya.
4. Penanya : Kholifah Nur L (2225180107)
Penjawab : Septian Dika Maulana (2225180044) dan Nurul Izah S (2225180074)
Pertanyaan : Bagaimana implementasi teori skinner dan thorndike dalam kurikulum
2013? Dan apakah pemberian hadiah juga berlaku pada kurikulum 2013?
Jawaban : Pertama, sebelum memulai proses belajar mengajar, pendidik harus
memastikan siswanya siap mengikuti pembelajaran tersebut, setidaknya ada
aktivitas yang dapat menarik perhatian siswa untuk mengikuti kegiatan belajar
mengajar. Kedua, pembelajaran yang diberikan sebaiknya berupa pembelajaran
yang kontinu, hal ini dimaksudkan agar materi lampau dapat tetap diingat oleh
siswa. Dengan kata lain, materi yang diberikan memiliki hubungan dengan
materi sebelumnya
5. Penanya : Melvania Mita (2225180099)
Penjawab : Nida Triana L (2225180085)
Pertanyaan : Pada kekurangan teori skinner ditiadakan hukuman, apabila dikenakan
hukuman, hukuman seperti apa dan karena kesalahan apa?
Jawaban : Dalam pemberian hukuman siswa harus tau konsekuensinya terlebih
dahulu. Jadi harus ada peraturan yang diketahui dan disetujui diawal oleh guru
dan muridnya. Dan apabila melanggar ketahuan melanggar peraturan tersebut
maka siswa tersebut baru boleh dikenakan hukuman, contohnya jika terlambat
datang ke sekolah maka hukuman siswa harus mengelilingi lapangan 3 putaran.

Anda mungkin juga menyukai