DEFENISI
Autisme adalah ganguan perkembangan yang terjadi pada anak yang mengalami
kondisi menutup diri. Dimana gangguan ini mengakibatkan anak mengalami
keterbatasan dari segi komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku.(kartono 2004)
Soetjiningsih. (2005). Tumbuh Kembang anak. Jakarta: EGC.
2. ETIOLOGI
Penyebab autisme menurut banyak pakar telah disepakat bahwa pada otak anak
autisme dijumpai suatukelainan pada otaknya. Apa sebabnya sampai timbul kelainan
tersebut memang belum dapat dipastikan. Banyak teori yang diajukan oleh para pakar,
kekurangan nutrisi dan oksigenasi, serta akibat polusi udara, air dan makanan. Diyakini
bahwa ganguan tersebut terjadi pada fase pempentukan organ (organogenesis) yaitu pada
usia kehamilan antara 0 ± 4 bulan. Organ otak sendiri baru terbentuk pada usia kehamilan
setelah 15 minggu.
Dari penelitian yang dilakukan oleh para pakar dari banyak negara diketemukan beberapa
fakta yaitu 43% penyandang autisme mempunyai kelainan pada lobus parietalis otaknya,
yang menyebabkan anak cuek terhadap lingkungannya. Kelainan juga ditemukan pada
otak kecil (cerebellum), terutama pada lobus ke VI dan VII. Otak kecil bertanggung jawab
atas proses sensoris, daya ingat, berfikir, belajar berbahasa dan proses atensi (perhatian).
Juga didapatkan jumlah sel Purkinye di otak kecil yang sangat sedikit, sehingga terjadi
gangguan keseimbangan serotonin dan dopamine, akibatnya terjadi gangguan atau
kekacauan impuls di otak.
Ditemukan pula kelainan yang khas didaerah sistem limbik yang disebut hippocampus.
Akibatnya terjadi gangguan fungsi control terahadap agresi dan emosi yang disebabkan
oleh keracunan logam berat seperti mercury yang banyak terdapat dalam makanan yang
dikonsumsi ibu yang sedang hamil, misalnya ikan dengan kandungan logam berat yang
tinggi. Pada penelitian diketahui dalam tubuh anak-anak penderita autis terkandung timah
hitam dan merkuri dalam kadar yang relatif tinggi.
Anak kurang dapat mengendalikan emosinya, seringkali terlalu agresif atau sangat pasif.
Hippocampus bertanggung jawab terhadap fungsi belajar dan daya ingat. Terjadilah
kesulitan penyimpanan informasi baru. Perilaku yang diulang-ulang yang aneh dan
hiperaktif juga disebabkan gangguan hippocampus. Faktor genetika dapat menyebabkan
1
abnormalitas pertumbuhan sel – sel saraf dan sel otak, namun diperkirakan menjadi
penyebab utama dari kelainan autisme,walaupun bukti-bukti yang konkrit masih sulit
ditemukan.
Diperkirakan masih banyak faktor pemicu yang berperan dalam timbulnya gejala
autisme.Pada proses kelahiran yang lama (partus lama) dimana terjadi gangguan nutrisi
dan oksigenasi pada janin dapat memicu terjadinya austisme. Bahkan sesudah lahir (post
partum) juga dapat terjadi pengaruh dari berbagai pemicu, misalnya : infeksi ringan
sampai berat pada bayi. Pemakaianantibiotika yang berlebihan dapat menimbulkan
tumbuhnya jamur yang berlebihan dan menyebabkan terjadinya kebocoran usus (leaky get
syndrome) dan tidak sempurnanya pencernaan protein kasein dan gluten.Kedua protein ini
hanya terpecah sampai polipeptida. Polipeptida yang timbul dari kedua protein tersebut
terserap kedalam aliran darah dan menimbulkan efek morfin pada otak anak. Dan terjadi
kegagalan pertumbuhan otak karena nutrisi yang diperlukan dalam pertumbuhan otak
tidak dapat diserap oleh tubuh, ini terjadi karena adanya jamur dalam lambungnya, atau
nutrisi tidak terpenuhi karena faktor ekonomi.
3. PATOFIOLOGI
Sel saraf otak (neuron) terdiri atas badan sel dan serabut untuk mengalirkan impuls
listrik (akson) serta serabut untuk menerima impuls listrik (dendrit). Sel saraf terdapat di
lapisan luar otak yang berwarna kelabu (korteks). Akson dibungkus selaput bernama
mielin, terletak di bagian otak berwarna putih. Sel saraf berhubungan satu sama lain lewat
sinaps.
Sel saraf terbentuk saat usia kandungan tiga sampai tujuh bulan. Pada trimester
ketiga, pembentukan sel saraf berhenti dan dimulai pembentukan akson, dendrit, dan
sinaps yang berlanjut sampai anak berusia sekitar dua tahun.
Setelah anak lahir, terjadi proses pengaturan pertumbuhan otak berupa bertambah
dan berkurangnya struktur akson, dendrit, dan sinaps. Proses ini dipengaruhi secara
2
genetik melalui sejumlah zat kimia yang dikenal sebagai brain growth factors dan proses
belajar anak.
Makin banyak sinaps terbentuk, anak makin cerdas. Pembentukan akson, dendrit,
dan sinaps sangat tergantung pada stimulasi dari lingkungan. Bagian otak yang digunakan
dalam belajar menunjukkan pertambahan akson, dendrit, dan sinaps. Sedangkan bagian
otak yang tak digunakan menunjukkan kematian sel, berkurangnya akson, dendrit, dan
sinaps.
kelainan genetis, keracunan logam berat, dan nutrisi yang tidak adekuat dapat
menyebabkan terjadinya gangguan pada proses – proses tersebut. Sehingga akan
menyebabkan abnormalitas pertumbuhan sel saraf.
Pertumbuhan abnormal bagian otak tertentu menekan pertumbuhan sel saraf lain.
Hampir semua peneliti melaporkan berkurangnya sel Purkinye (sel saraf tempat keluar
hasil pemrosesan indera dan impuls saraf) di otak kecil pada autisme. Berkurangnya sel
Purkinye diduga merangsang pertumbuhan akson, glia (jaringan penunjang pada sistem
saraf pusat), dan mielin sehingga terjadi pertumbuhan otak secara abnormal atau
sebaliknya, pertumbuhan akson secara abnormal mematikan sel Purkinye. Yang jelas,
peningkatan brain derived neurotrophic factor dan neurotrophin-4 menyebabkan kematian
sel Purkinye.
Gangguan pada sel Purkinye dapat terjadi secara primer atau sekunder. Bila
autisme disebabkan faktor genetik, gangguan sel Purkinye merupakan gangguan primer
3
yang terjadi sejak awal masa kehamilan karena ibu mengkomsumsi makanan yang
mengandung logam berat.
Degenerasi sekunder terjadi bila sel Purkinye sudah berkembang, kemudian terjadi
gangguan yang menyebabkan kerusakan sel Purkinye. Kerusakan terjadi jika dalam masa
kehamilan ibu minum alkohol berlebihan atau obat seperti thalidomide.
Penelitian dengan MRI menunjukkan, otak kecil anak normal mengalami aktivasi
selama melakukan gerakan motorik, belajar sensori-motorik, atensi, proses mengingat,
serta kegiatan bahasa. Gangguan pada otak kecil menyebabkan reaksi atensi lebih lambat,
kesulitan memproses persepsi atau membedakan target, overselektivitas, dan kegagalan
mengeksplorasi lingkungan.
Pembesaran otak secara abnormal juga terjadi pada otak besar bagian depan yang
dikenal sebagai lobus frontalis. Menurut kemper dan Bauman menemukan berkurangnya
ukuran sel neuron di hipokampus (bagian depan otak besar yang berperan dalam fungsi
luhur dan proses memori) dan amigdala (bagian samping depan otak besar yang berperan
dalam proses memori).
Adapun hal yang merusak atau mengganggu perkembangan otak antara lain
alkohol, keracunan timah hitam, aluminium serta metilmerkuri, infeksi yang diderita ibu
pada masa kehamilan.
Adriana, D. (2011). Tumbuh kembang anak dan Terapi bermain pada anak. Jakarta:
Salemba Medika.
4
4. MANIFESTASI KLINIS
5
terbang). Ia juga sering menyakiti dirinya sendiri seperti memukul kepala di
dinding. Dapat menjadi sangat hiperaktif atau sangat pasif (pendiam), duduk diam
bengong denagn tatap mata kosong. Marah tanpa alasan yang masuk akal. Amat
sangat menaruh perhatian pada satu benda, ide, aktifitas ataupun orang. Tidak dapat
menunjukkan akal sehatnya. Dapat sangat agresif ke orang lain atau dirinya sendiri.
Gangguan kognitif tidur, gangguan makan dan gangguan perilaku lainnya.
Adriana, D. (2011). Tumbuh kembang anak dan Terapi bermain pada anak. Jakarta:
Salemba Medika.
6
5. PATHWAY
Gangguan
nutrisi dan
oksigenisasi
Gg pada otak
Abnormalitas
pertumbuhan sel
saraf
Peningkatan
neurokimia secara
abnormal
AUTIS
Keterlambatan hiperaktif
dalam berbahasa Mengabaikan
dan menghindari
orang lain Sangat agresif
terhadap orang lain
Bicara monoton dan tidak dirinya sendiri
dimengerti orang lain
Acuh tak acuh
terhadap lingkungan
MK: Resiko kekerasan
dan orang lain
MK: Gg komunikasi terhadap diri sendiri
verbal dan non verbal
Perilaku yang aneh
MK : Hambatan
interaksi sosial
7
6. PENALAKSANAAN
a. PENATALAKSANAAN MEDIS
Umunya terapi yang diberikan ialah terhadap gejala, edukasi dan penerangan kepada
keluarga, serta penanganan perilaku dan edukasi bagi anak. Manajemen yang efektif
dapat mempengaruhi outcome. Intervensi farmakologi, yang saat ini dievaluasi,
mencakup obat fenfluramine, lithium, haloperidol dan naltrexone. Terhadap gejala yang
menyertai. Terapi anak dengan autisme membutuhkan identifikasi diri. Intervensi
edukasi yang intensif, lingkungan yang terstruktur, atensi individual, staf yang terlatih
baik, peran serta orang tua dapat meningkat prognosis.
Terapi perilaku sangat penting untuk membantu para anak autis untuk lebih bisa
menyesuaikan diri dalam masyarakat. Bukan saja guru yang harus menerapkan terapi
perilaku pada saat belajar, namun setiap anggota keluarga di rumah harus bersikap
sama dan konsisten dalam menghadapi anak autis. Terapi peilaku terdiri dari tetapi
wicara, terapi okupasi, dan menghilangkan perilaku yang asosial. Dalam terapi
farmakologi dinyatakan belum ada obat atau terapi khusus yang menyembuhkan
kelainan ini. Medikasi (terapi obat) berguna terhadap gejala yang menyertai, misalnya
haloperidol, risperidone dan obat anti-psikotik teradap perilaku agresif, ledakan-
ledakan perilaku, instabilitas mood (suasana hati). Obat antidepresi jenis SSRI dapat
digunakan terhadap ansietas, kecemasan, mengurangi stereotip dan perilaku
perseveratif dan mengurangi ansietas dan fluktuasi mood. Perilaku mencederai diri
sendiri dan mengamuk kadang dapat diatasi dengan obat naltrexone.
b. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
Penatalaksanaan pada autisme bertujuan untuk:
1. Mengurangi masalah perilaku.
2. Terapi perilaku dengan memanfaatkan keadaan yang terjadi dapat meningkatkan
kemahiran berbicara. menagement perilaku dapat mengubah perilaku destruktif dan
agresif.
3. Meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangan terutama bahasa.
8
Latihan dan pendidikan dengan menggunakan pendidikan (operant conditioning yaitu
dukungan positif (hadiah) dan dukungan negatif (hukuman).
4. Anak bisa mandiri dan bersosialisasi.
Mengembangkan ketrampilan sosial dan ketrampilan praktis.
Nursalam. (2005). Asuhan keperawatan bayi dan anak. Jakarta: Selemba Medika.
Andayani.M, Sulandjari.S Pola konsumsi makanan, status gizi dan perilaku anak
autis , e-journal Boga, Volume 5, No. 3, Edisi Yudisium Periode September 2016, Hal
48-53
Pemilihan bahan makanan yang baik dapat mengurangi gejala autis. Jenis bahan
makanan yang di anjurkan adalah bahan makanan yang tidak mengandung gluten,
casein, gula, soda, garam, kedelai, khamir/ candida, dan pangan organik misalnya:
beras,umbi-umbian, kacang-kacangan jagung, daging ayam, daging sapi, ikan, telur,
buah-buahan dan sayur yang rendah karbohidrat misalnya: wortel, brokoli, kol, bayam
dan sebagainya (Soenardi, 2009). Salah satu alternatif bahan makanan yang boleh
dikonsumsi adalah jenis tepung GFCF (Gluten Free dan Casein Free). Tepung GFCF
sudah banyak dijual dipasaran dan dapat langsung digunakan sebagai bahan baku
makanan, dibuat biskuit atau makanan lainnya. Selain itu berbagai produk bebas
gluten dan kasein telah banyak dijual baik berupa produk yang sudah jadi, antara lain
berupa roti atau tepung yang beraneka ragam jenisnya.
(Soenardi dan Soetardjo. (2009).
9
Andayani.M, Sulandjari.S Pola konsumsi makanan, status gizi dan perilaku anak
autis ,e-journal Boga, Volume 5, No. 3, Edisi Yudisium Periode September 2016, Hal
48-53
DAFTAR PUSTAKA
Adriana, D. (2011). Tumbuh kembang anak dan Terapi bermain pada anak. Jakarta:
Salemba Medika.
Soetjiningsih. (2005). Tumbuh Kembang anak. Jakarta: EGC.
Nursalam. (2005). Asuhan keperawatan bayi dan anak. Jakarta: Selemba Medika.
Andayani.M, Sulandjari.S Pola konsumsi makanan, status gizi dan perilaku anak
autis ,e-journal Boga, Volume 5, No. 3, Edisi Yudisium Periode September 2016, Hal
48-53
10