Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN PENGENALAN

PRAKTIKUM ENERGI DAN LISTRIK PERTANIAN


BIODIESEL

VIKRAN DE HERMAWAN
J1B117036

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penggunaan bahan bakar alternatif sangat diperlukan sebagai bentuk jaminan
terhadap penggunaan energi, kepedulian terhadap lingkungan, dan untuk alasan
alasan sosio-ekonomi lainnya. Meningkatnya harga minyak dan menipisya
cadangan minyak mengharuskan adanya penggunaan energi alternatif untuk
mengganti bahan bakar fosil, salah satunya adalah biodiesel [1].
Ada berbagai bahan baku yang dapat digunakan untuk
menghasilkanbiodiesel. Bahan-bahan tersebut biasanya dikelompokkan menjadi
bahan baku yang dapat dikonsumsi dan bahan baku yang tidak dapat dikonsumsi.
Dari jenis jenis bahan baku tersebut, yang lebih dipilih untuk digunakan dalam
memproduksi biodiesel adalah kelompok bahan baku yang tidak dapatdikonsumsi,
seperti minyak jarak, karanja, dan putranjiva. Namun, adanyapermintaan yang
tinggi untuk mengurangi biaya dalam menggunakan bahan baku tersebut,
menyebabkan banyak peneliti yang mencari bahan baku baru yang lebih murah dan
berpotensial untuk dijadikan biodiesel seperti minyak lemak sapi dan minyak
jelantah, akan tetapi kedua bahan baku ini memiliki keterbatasan dalam hal
kuantitas [2].
Pada saat ini, aspek ekonomi dari produksi biodiesel telah terbukti menjadi
rintangan utama. Hal ini terutama karena tingginya biaya bahan baku dan harga
yang relatif rendah dari bahan bakar fosil. Akibatnya, evaluasi kelayakan ekonomi
produksi biodiesel adalah hal yang paling penting, karena tingginya harga bahan
bakuminyak nabati yang telah diolah. Biaya yang terhitung untuk memproduksi
bahan bakar biodiesel yaitu 60-75% lebih mengarah kepada biaya bahan baku.
Inilah sebabnya mengapa bahan baku dengan harga rendah sangat penting untuk
membangun proyek-proyek biodiesel komersial [17].
Mengembangkan biodiesel dari minyak kelapa sawit untuk Indonesia akan
sesuai sebagai stok bahan bakar alternatif. Indonesia diproyeksikan menjadi negara
pengekspor Crude Palm Oil (CPO) terbesar dalam sepuluh tahun ke depan sehingga
penggunaan alternatif untuk minyak sawit sebagai pengganti bahan bakar akan
menguntungkan. Oleh karena itu, biodiesel akan memainkan peran penting dalam
sektor energi di Indonesia. Tidak hanya akan berfungsi sebagai instrumen
untuk mengontrol stok CPO Indonesia, tetapi juga akan mengurangi
ketergantungan bahanbakar fosil dan memperkuat ketahanan energi nasional [3].
Produksi CPO di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya hingga pada tahun
2011 dan 2012 produksi CPO mencapai 24,1 dan 26,5 juta ton [4]. Indonesia
memiliki potensi yangsangat besar untuk memproduksi biodiesel karena
perkembangan produksi CPO di indonesia meningkat setiap tahunnya sehingga
negara – negara lain mengimpor CPO dari Indonesia.
Adapun beberapa penelitiyang melakukan penelitian tentang biodiesel
berbahan baku CPO yaitu
1. Franseschi, dkk, tahun 2016 melaporkan proses esterifikasi menggunakan
African crude palm oildengan katalis natrium metoksida mengasilkan yield
biodiesel 90% [18].
2. Gabriel, dkk, tahun 2015 melaporkan proses esterifikasi dan transesterifikasi
menggunakan palm oil dengan katalis potassium hydroxide menghasilkan yield
biodiesel 96,5% [19].
3. Mamilla, dkk, tahun 2012 melaporkan proses transesterifikasi menggunakan
palm oil dengn katalis natrium hidroksida menghasilkan yield 92% [20].
Biodiesel umumnya dihasilkan oleh reaksi transesterifikasi minyak dengan
alkohol dengan adanya katalis, untuk menghasilkan mono-alkyl ester dan gliserol,
yang kemudian dipisahkan dan dimurnikan [5]. Katalis basa yang paling umum
digunakan dalam industri biodiesel adalah kalium hidroksida (KOH) dan natrium
hidroksida (NaOH) serpih, dimana selain harganya yang murah, juga mudah untuk
ditangani dalam transportasi dan penyimpanan sehingga lebih disukai oleh
produsen kecil [6]. Namun, terdapat beberapa masalah dalam penggunaan katalis
basa tersebut, diantaranya energi yang dibutuhkan tinggi, kesulitan dalam
pemulihan dari gliserol, setelah reaksi, terjadinya pembentukan sabun, serta
sulitnya pemisahan dalam pemurnian biodiesel, dapat menyebabkan korosi pada
mesin, dan dapat mencemari lingkungan. Apabila dipisahkan dari produk akan
memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Beberapa usaha telah dilakukan untuk mengurangi dampak negatif katalis
homogen diantaranya menggunakan katalis heterogen dalam pembuatan biodiesel.
Oleh karena itu, perlu dikembangkan katalis heterogen untuk pembuatan biodiesel
sehingga dapat menghasilkan biodiesel yang lebih ramah lingkungan, katalisnya
lebih mudah di pisahkan dari sisa pengolahan biodiesel, dapat digunakan kembali,
laju reaksi yang lebih tinggi, biaya yang lebih rendah, dan membutuhkan energi
yang lebih sedikit dibandingkan dengan katalis asam, sehingga dapat mengurangi
biaya produksi biodiesel [7,8,9].
Penggunaan Silika murni dalam pembuatan biodiesel belum pernah
digunakan. Hal ini dikarenakan sifat dari Silika yang sangat mudah menyerap air
sehingga proses aktivasi katalis susah untuk dilakukan [10]. Untuk meningkatkan
produksi dan konversi biodiesel maka dilakukan proses impregnasi berupa logam-
logam alkali ke dalam SiO2.SiO2 akan bersifat stabil pada suhu yang tinggi dan
mampu memperluas luas kontak. Dengan penambahan logam alkali maka akan
meningkatkan situs aktif dari katalis yang digunakan sehingga akan meningkatkan
konversi dan yield [11].Menurut Leung dan Guo [12] penggunaan katalis dapat
meningkatkan konversi trigliserida menjadi biodiesel. Jika katalis yang digunakan
tidak mencukupi, maka konversi menjadi tidak maksimal.
Namun, belum ada hasil penelitian mengenai pemanfaatan matriks
silikadari daun bambu yang diimpregnasi dengan KOH untuk sintesis
biodiesel.Dalam penelitian ini akan dikaji bagaimana pengaruh berat katalis dan
tipe katalis dalam proses transesterifikasi. Transesterifikasi biasanya
dilangsungkan pada suhu di bawah titik didih alkohol untuk mencegah evaporasi
alkohol, suhu reaksi transesterifikasi berada pada rentang 60 – 80 °C. Pada kajian
yang dilakukan oleh Chen [13] dapat dilihat pada Tabel 1.2, penggunaan katalis
dari abu sekam padi dalam produksi biodiesel sebesar 4% sampai 8% didapatkan
yield sebesar 90,8% pada pemakaian berat katalis 8%. Sedangkan kajian yang
dilakukan oleh Hidrayawati, dkk [16] didapatkan produksi biodiesel dengan
variasi berat katalis antara 5% sampai dengan 10% didapatkan metil ester content
tertinggi 98,5 % menggunakan katalis dari abu sekam padi yang diimpregnasi
logam alkali dengan berat katalisnya 7%.
Menurut kajian yang dilakukan oleh Hidryawati, dkk [16] penggunaan
katalis basa lebih baik dibandingkan katalis asam, hal ini dibuktikan melalui
kandungan metil ester yang dihasilkan dimana pada waktu reaksi yang sama
didapatkan kandungan metil ester yang signifikan berbeda jauh, dengan
penambahan logam alkali maka akan meningkatkan situs aktif dari katalis yang
digunakan sehingga akan meningkatkan konversi dan yield. Sehingga peneliti
ingin mengkaji pembuatan biodiesel dari penggunaan silikasebagai matriks
katalis dari abu daun bambu yang diimpregnasi dengan KOH. Hal ini dilakukan
untuk meningkatkan kebasaan dari katalis heterogen yang akan digunakan
sehingga meningkatkan konversi metil ester untuk sintesis biodiesel berbasis
CPO.
1.2. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mendapatkanpengaruh variabel proses: tipe katalis dan jumlah katalis
terhadap yield biodiesel yang dihasilkan.
2. Untuk mendapatkan pengaruh suhu reaksi untuk masing-masing katalis terhadap
yield biodiesel yang dihasilkan.
3. Untuk mendapatkan karakteristik biodiesel yang dihasilkan seperti kemurnian,
densitas, dan viskositas kinematik
1.3. Manfaat
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Memberikan alternatifkatalis heterogen K-Silika untuk sintesis biodiesel
berbasis CPO melalui reaksi transesterifikasi.
2. Menghasilkan biodiesel berbahan baku CPO dengan kemurnian tinggi.
3.Menghasilkan bahan bakar terbarukan yang ramah lingkungan.
4. Memberikan informasi dasar kelayakan proses untuk sintesis biodiesel yang
dihasilkan.
5. Meningkatkan nilai ekonomis dari CPO yang merupakanproduk dasar dari
perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Crude Palm Oil (Cpo)


CPO merupakan produk sampingan dari proses penggilingan kelapa sawit
dan dianggap sebagai minyak kelas rendah dengan asam lemak bebas (FFA) yang
tinggi [22]. Dengan produksi global tahunan atau setara dengan sekitar 39% dari
produksi minyak nabati dunia, kelapa sawit telah mengalahkan kedelai selama 1
dekade terakhir menjadi tanaman minyak yang paling penting di dunia. Di
Kamerun, kelapa sawit menyumbang sekitar 90% dari kebutuhan minyak goreng.
Minyak sawit secara luas digunakan dalam bentuk minyak mentah (CPO) untuk
keperluan makanan di Kamerun dan juga di seluruh daerah Afrika Tengah dan
Afrika Barat [23]. Kualitas minyak sawit mentah (CPO) sangat penting dalam
menentukan aplikasinya. Aplikasi CPO telah ditemukan dalam makanan dan
industri. Dalam industri makanan, CPO merupakan bahan dalam sup, margarin dan
manisan. Aplikasi utama CPO adalah untuk produksi biodiesel, farmasi, kosmetik,
cat, deterjen, sampo, lipstik dan lain- lain. Dalam pengobatan tradisional, CPO juga
digunakan sebagai bahan untuk menyembuhkan penyakit. Parameter yang
mempengaruhi kualitas CPO termasuk FFA, angka peroksida, kadar air, nilai
yodium, angka penyabunan, tingkat pengotor dan lain-lain. Kualitas mikroba CPO
sangat penting karena mereka memainkan peran yang merugikan makanan dan
pakan produk [21].
Minyak yang diekstrak dari kelapa sawit dikenal sebagai CPO terdiri dari
lebih dari 90% berat trigliserida dan 3-7% berat asam lemak bebas (FFA).
Netralisasi FFA dapat dilakukan dengan penambahan kelebihan alkali, tetapi ini
mengarah ke pembentukan sabun dan menimbulkan masalah saat pemisahan pasca
reaksi. Dengan demikian, proses pretreatment pilihan untuk CPO adalah proses
esterifikasi dengan alkohol, yang mengubah FFA menjadi ester dan umumnya
menggunakan katalis asam cair yang kuat, seperti asam sulfat. Bila kadar FFA lebih
rendah dari 2,0% berat, cocok dilakukan proses transesterifikasi pada bahan baku
untuk menghasilkan biodiesel [25].
2.2 Biodiesel
Biodiesel merupakan bahan bakar yang ramah lingkungan yang saat ini
mendapat perhatian yang cukup tinggi untuk menyelesaikan masalah perubahan
iklim dan mengurangi pemakaian bahan bakar fosil, dimana bahan bakar fosil
sendiri sering mengalami ketidakstabilan harga, kelangkaan, dan merupakan
polutan udara terbesar. Biodiesel menjadi begitu menarik karena mudah terurai,
ramah lingkungan, tidak beracun, menghasilkan sedikit polusi di udara serta
mengandung kadar sulfur yang rendah (0-24 ppm) [27]. Selain itu, biodiesel juga
memiliki kadar oksigen yang tinggi dimana kadar oksigen yang tinggi tersebut
menyebabkan pembakaran yang sempurna dalam mesin diesel sehingga gas
buangan yang dihasilkan mengandung partikulat, karbon dioksida, karbon
monoksida, dan SOx yang rendah [26].
Biodiesel dapat diproduksi secara lokal menggunakan berbagai bahan baku
tergantung pada ketersediaan bahan baku tersebut di alam [26]. Bahan-bahan
tersebut biasanya dikelompokkan menjadi bahan baku yang dapat dikonsumsi dan
bahan baku yang tidak dapat dikonsumsi atau minyak jelantah. Dari jenis-jenis
bahan baku tersebut, yang lebih dipilih untuk digunakan dalam memproduksi
biodiesel adalah kelompok bahan baku yang tidak dapat dikonsumsi, seperti
minyak jarak, karanja, dan putranjiva. Namun, adanya permintaan yang tinggi
untuk mengurangi biaya dalam menggunakan bahan baku tersebut, menyebabkan
banyak peneliti yang mencari bahan baku baru yang lebih murah dan berpotensial
untuk dijadikan biodiesel seperti minyak lemak sapi dan minyak jelantah, akan
tetapi kedua bahan baku ini memiliki keterbatasan dalam hal kuantitas [2].
Untuk menghasilkan biodiesel, terdapat 4 metode yang dapat digunakan,
yaitu penggunaan langsung dengan mencampurkan bahan baku, micro-emulsions,
thermal cracking, dan transesterifikasi [28]. Namun diantara metode-metode
tersebut, transesterifikasi merupakan metode yang paling umum digunakan. Dalam
reaksi transesterifikasi, minyak nabati maupun lemak hewan bereaksi dengan
alkohol berantai pendek seperti metanol atau etanol [1]. Selain itu, pada reaksi
transesterifikasi juga menggunakan bantuan katalis untuk menghasilkan fatty acid
alkyl esters (FAAE) dan gliserol sebagai produk samping [29]. Produksi biodiesel
secara konvensional menggunakan katalis basa yang homogen, seperti kalium
hidroksida (KOH), natrium hidroksida (NaOH) untuk mengurangi suhu reaksi.
Namun dampak dari penggunaan katalis ini adalah menghasilkan produk yang
dapat memicu terjadinya reaksi saponifikasi, terutama dengan adanya minyak atau
lemak yang kandungan FFA nya lebih dari 0,5% (w/w) atau kadar airnya di atas 2%
(v/v). Pretreatment dengan asam sulfat dan alkohol dapat digunakan untuk
mencegah terjadinya reaksi saponifikasi, tetapi proses yang dibutuhkan menjadi
lama dan mempengaruhi biaya ekonomi karena dihasilkannya limbah berupa air
kotor [30].
Berbagai faktor seperti konsentrasi bahan baku dan jenis katalis yang
digunakan, pemurnian reaktan, kadar FFA, suhu, waktu reaksi, perbandingan mol
antara alkohol dengan minyak turut mempengaruhi yield optimum biodiesel yang
dihasilkan [31]. Faktor-faktor tersebut menunjukkan karakteristik fisik dan kimia
dari biodiesel yang dihasilkan serta menunjukkan kualitas dari biodiesel tersebut,
sebab kualitas merupakan salah satu prasyarat yang harus dipenuhi untuk
mengetahui berhasil atau tidaknya suatu teknologi dalam menghasilkan biodiesel.
Kriteria utama dari kualitas biodiesel adalah tercantumnya sifat fisik dan
kimia biodiesel tersebut di dalam persyaratan yang telah ditentukan oleh suatu
badan standar yang berwenang. Standar kualitas biodiesel selalu diperbarui seiring
dengan perkembangan mesin kendaraan, standar emisi, ketersediaan bahan baku
biodiesel, dan lain-lain. Standar yang mengatur kualitas biodiesel saat ini
tergantung pada berbagai faktor sesuai dengan daerahnya masing-masing, termasuk
standar karakteristik mesin diesel yang beredar, keunggulan jenis-jenis mesin diesel
yang umum di suatu daerah tertentu, dan iklim serta cuaca pada negara atau daerah
yang menggunakan biodiesel [32].
Biodiesel dapat dikomersialkan dan dijual secara luas apabila telah memenuhi
standar biodiesel EN 14214:2009 (Inggris) atau ASTM D 6751 (Amerika Serikat).
Ketentuan paling penting dalam penentuan biodiesel adalah kadar ester (minimal
96,5%), bilangan asam (maksimum 0,5 mg KOH/gr). Kadar ester dipengaruhi oleh
kualitas teknologi dan proses yang digunakan, serta komposisi bahan baku yang
digunakan. Selain itu, parameter penting lainnya berupa kandungan sulfur, fosfor,
logam alkali, total kontaminasi, dan asilgliserol yang tidak bereaksi [33].
2.3. Produksi Biodiesel
Minyak juga terdiri dari asam lemak bebas yang dapat dikonversi ke ester
asam lemak dengan esterifikasi. Alkohol yang dapat digunakan dalam proses
transesterifikasi adalah metil, etil, propil, butil dan amil alkohol, dan yang paling
sering digunakan adalah metanol dan etanol. Metanol banyak digunakan karena
biaya rendah di sebagian besar negara dan sifat fisikokimia seperti polaritas dan
ukuran molekul yang lebih kecil. Reaksi transesterifikasi menghasilkan gliserol
sebagai produk sampingan, yang memiliki berbagai aplikasi dalam industri. Oleh
karena itu, kelebihan alkohol umumnya lebih tepat untuk meningkatkan
perpindahan reaksi kesetimbangan ke arah produk. Selain itu, diperlukan untuk
mengoptimalkan faktor lain seperti konsentrasi katalis, suhu dan agitasi dari media
reaksi. Secara spesifik, proses transesterifikasi merupakan rangkaian tiga langkah
berturut-turut. Langkah pertama yaitu mengubah trigliserida menjadi sebuah
digliserida, monogliserida kemudian dihasilkan dari digliserida dan langkah
terakhir gliserol diperoleh dari monogliserida. untuk konversi yang efektif untuk
minyak menjadi biodiesel, kehadiran katalis biasanya dibutuhkan [38].
Ada beberapa literatur yang menjelaskan alkoholisis minyak nabati atau
lemak hewan oleh berbagai teknologi dengan menggunakan beberapa katalis
seperti asam anorganik, basa anorganik dan enzim. Bergantung pada katalis yang
dipilih untuk konversi minyak nabati dan lemak hewan untuk biodiesel, ada
kekhasan tertentu yang berkaitan dengan reaksi ini. Misalnya, katalis asam yang
terutama digunakan ketika minyak memiliki konsentrasi asam lemak bebas yang
tinggi, dengan sulfat dan asam sulfonat sebagai katalis yang paling umum dari
katalis asam ini. Sebagai kerugian, katalisis asam memerlukan penggunaan alkohol
dalam jumlah besar dalam rangka untuk mendapatkan biodiesel dalam hasil yang
memuaskan, dengan menerapkan rasio molar alkohol : minyak sebanyak 30-150 :
1. Selain itu, katalis asam seperti asam sulfat mengkatalisis trigliserida secara
transesterifikasi dengan perlahan bahkan ketika refluks dengan metanol, yang
menyebabkan reaksi yang lama sekali seperti 48-96 jam. Ada juga risiko korosi dari
peralatan yang digunakan karena keasaman yang tinggi katalis tersebut [38].
Katalis basa 4.000 kali lebih cepat dari katalis asam dan tidak memerlukan
sejumlah besar alkohol. Katalis basa yang paling umum digunakan adalah natrium
atau kalium hidroksida. Namun, minyak nabati dan reagen lainnya yang digunakan
tidak dapat memiliki air atau tingkat asam lemak bebas yang tinggi, karena dapat
terjadi saponifikasi. Oleh karena itu, minyak yang digunakan dalam produksi
biodiesel harus dilakukan pretreatment, sehingga memakan waktu dan proses yang
mahal. Selain itu, penghapusan katalis homogen setelah reaksi sangat sulit dan
sejumlah besar sisa air limbah dihasilkan karena pemisahan dan pemurnian produk
dan katalis [38].
Sebuah alternatif untuk katalis asam atau alkali adalah proses enzimatik, yang
mengatasi kelemahan sistem katalitik sebelumnya seperti menyebabkan korosi
pada peralatan dan kebutuhan energi yang tinggi. Namun, tingginya biaya enzim
tetap menjadi penghalang untuk pelaksanaan proses enzimatik dalam industri. Di
antara alternatif yang saat ini sedang dipelajari, penggunaan cairan ionik dalam
sistem katalitik tampaknya cukup menjanjikan dan ramah lingkungan, karena kunci
untuk minimisasi limbah dalam reaksi katalitik ini adalah daur ulang katalis yang
efisien [38].
Cairan ionik sekarang dianggap sebagai pelarut ramah lingkungan yang
memiliki sifat menarik seperti tekanan uap rendah, volatilitas yang dapat diabaikan,
konduktivitas yang tinggi, aktivitas katalitik yang lebih baik, kemampuan
melarutkan yang kuat dan berpotensi untuk dapat digunakan kembali. Namun,
penggunaan cairan ionik asam membutuhkan suhu tinggi yaitu diatas 180 °C untuk
memperoleh aktivitas yang tinggi dan menghasilkan proses yang memakan energi
dan mahal. Berbagai upaya diarahkan dalam mengeksplorasi cairan ionik basa
untuk sintesis biodiesel dan memperlihatkan bahwa proses transesterifikasi dengan
cairan ionik basa dapat menghemat waktu dan lebih berpotensi untuk penggunaan
kembali daripada proses transesterifikasi dengan cairan ionik asam [37].

2.4. Teknologi Pembuatan Biodiesel


Ada empat metode utama untuk menghasilkan biodiesel, yaitu menggunakan
langsung minyak nabati, microemulsi, thermal cracking dan transesterifikasi. Dari
empat cara tersebut, metode yang paling umum digunakan untuk membuat
biodiesel adalah transesterifikasi [41].
2.4.1 Transesterifikasi dengan Katalis Homogen
Katalis homogen dikategorikan menjadi katalis basa dan asam.
Transesterifikasi katalis homogen terutama basa membutuhkan bahan baku dengan
kemurnian tinggi.
1. Transesterifikasi Katalis Basa Homogen
Sekarang, biodiesel diproduksi secara umum dari katalis basa homogen,
seperti alkaline metal alkoxides dan hydroxide. Katalis yang dipakai biasanya
natrium hidroksida atau kalium hidroksida dengan konsentrasi 0,4 % sampai 2%
dari berat minyak. Proses ini banyak dipakai di industri karena kondisi reaksi
sederhana, konversi tinggi dalam waktu singkat, aktivitas katalis tinggi, dan
banyak tersedia. Namun proses ini memiliki keterbatasan yaitu sensitif terhadap
kemurnian dari reaktan, kadar asam lemak bebas (ALB), dan kandungan air
reaktan. Ketika minyak memiliki banyak asam lemak bebas dan air, maka reaksi
biodiesel tidak terbentuk melainkan menjadi sabun [42].
2. Transesterifikasi Katalis Basa Heterogen
Salah satu cara lain memproses trigliserida untuk produksi biodiesel adalah
menggunakan katalis asam. Katalis asam seperti asam sulfat, asam klorida, dan
asam sulfanilat sering dipilih. Penggunaan alkohol berlebih mengurangi waktu
secara signifikan. Keuntungan dari katalis asam adalah tidak sensitif terhadap
ALB bahan baku, namun sensitif terhadap air, dan kerugiannya adalah korosi
yang dapat disebabkan oleh asam, temperatur yang lebih tinggi, dan waktu yang
lebih lama [42]

2.4.2 Transesterifikasi dengan Katalis Heterogen


Dibandingkan katalis homogen yang berfasa sama dengan campuran reaktan,
katalis heterogen berbeda fasa dengan campuran, menyebabkan pemisahan yang
mudah dan digunakan ulang. Penggunaan katalis ini tidak menyebabkan sabun,
sehingga mempermudah pencucian dan meningkatkan efisiensi dan keuntungan.
1. Transesterifikasi Katalis Basa Padat
Banyak dari katalis padat adalah basa yang menyelimuti area permukaan, dan
lebih aktif dibanding katalis asam padat. Salah satu contoh umum katalis padat
basa adalah zeolite, CaO, dan MgO. CaO dan MgO murah dan banyak tersedia,
aktivitas katalis yang tinggi, dan namun CaO becampur dengan campuran reaksi,
meskipun dapat dihilangkan dengan pencucian basah, keuntungan dari katalis
heterogen menjadi hilang. CaO banyak digunakan karena umur katalis panjang,
aktifits katalis tinggi, dan membutuhkan kondisi reaksi sedang.
2. Transesterifikasi Katalis Asam Heterogen
Meskipun aktivitas katalisnya rendah, katalis asam padat banyak digunakan
secara industri dikarenakan variasi dari asam dengan kekuatan asam bronsted
atau lewis yang berbeda – beda, dibandingkan katalis asam homogen.
Penggunaan katalis asam padat memiliki keuntungan seperti tidak sensitif
terhadap FFA, esterifikasi dan transesterifikasi terjadi secara simultan,
pemisahan katalis yang mudah dan mengurangi masalah korosi. Salah contoh
katalis ini adalah Nafion-NR50, sulfated zirconia dan tungstated zirconia,
kerugian transesterifikasi ini adalah harganya mahal, dan aktivitas katalisnya
rendah [42]

2.4.3 Transesterifikasi Biokatalis


Biokatalis adalah lipase yang secara alami mampu melakukan reaksi
transesterifikasi yang penting untuk produksi biodiesel. Lipase ini diisolasi dari
beberapa bakteri seperti Psedomonas fluorescens, pseudomonas cepacia, dll.
Transesterifikasi biokatalis memiliki banyak keuntungan seperti tidak ada produk
samping, tidak ada pemisahan produk, kondisi reaksi yang sedang, dan katalis yang
dapat digunakan kembali. Namun katalis ini mahal, memiliki reaksi yang lambat
dan dapat terjadi deaktivasi enzim [42]

2.4.4 Transesterifikasi Tanpa Katalis


Transesterifikasi dengan katalis melalui beberapa proses seperti pemurnian
dari ester, pemisahan dan pengambilan kembali reaktan yang tidak bereaksi, dan
katalis. Proses produksi dari biodiesel secara konvensional memiliki sistem yang
sulit, sehingga produksi biodiesel tanpa katalis perlu diteliti, salah satu contohnya
adalah Transesterifikasi alkohol superkritik. Superkritikal alkohol adalah metode
tanpa katalis untuk memproduksi biodiesel, daripada menggunakan katalis, tekanan
dan temperatur tinggi digunakan untuk menjalankan reaksi transesterifikasi, reaksi
cepat dengan konversi hingga 50-95 % dalam 10 menit namun membutuhkan
temperatur 250-400 . rasio alkohol yang digunakan untuk hasil terbaik berkisar
1:6-1:40. kerugian dari metode superkritik adalah tingginya tekanan dan
temperatur, tingginya rasio metanol dan minya, sehingga sangat mahal untuk
dilakukan [42].

2.1.5 Transesterifikasi Menggunakan Cosolvent


Minyak tidak larut dalam alkohol, hal ini dapat disebabkan gaya
intermolekulnya sangat kuat, sehingga molekul lain tidak dapat masuk di antara
molekul itu. Gaya intermolekular ini juga menyebabkan tingginya surface tension ,
sehingga transfer massa antar molekul menjadi lambat. Salah satu cara untuk
menyelesaikan masalah ini adalah menggunakan cosolvent. Cosolvent dapat
mempengaruhi transfer massa dengan cara berinteraksi antar molekul (Mengurangi
surface tension menyebabkan peningkatan transfer massa). . Contoh dari cosolvent
untuk produksi biodiesel adalah tetrahydrofuran dan BIOX, , yang mampu
mengubah trigliserida dan asam lemak bebas dalam dua tahap, satu fasa dan proses
kontinu dalam tekanan atmosfer dan temperatur ambient. Namun kerugian
cosolvent ini adalah harganya yang mahal Reaksinya berjalan cepat dan tidak ada
residu katalis yang ada pada fasa ester dan gliserol [42, 43, 44, 45].
Heksana juga merupakan salah satu cosolvent yang terbukti dapat
meningkatkan pembentukan reaksi satu fasa, menunjang transfer massa dalam
transesterifikasi, terlepas dari keuntungannya, cosolvent ini memiliki masalah
lingkungan dan racun, dan tingginya biaya untuk menghilangkan cosolvent. [41]
Ionic liquid (IL) adalah Perkembangan solvent alternatif untuk produksi
biodiesel, Ionic liquid sebagai generasi solvent baru, memiliki sifat yang disukai,
seperti tekanan uap rendah, tidak mudah terbakar, tingginya konduktivitas termal,
stabilitas kimia dan panas yang tinggi, dan lain – lain, oleh karena itu, IL telah
dikenal luas sebagai solvent atau cosolvent dalam berbagai aplikasi seperti katalis
organik, inorganik, biokatalis, polimerisasi dan lain- lain. DESs dapat
diklasifikasikan sebagai IL karena mempunyai beberapa komponen molekul yang
sama, dan mempunyai beberapa sifat yang mirip. Deep Eutectic solvent (DES)
dikategorikan sebagai solvent yang murah dan alternatif dari Ils [46, 47, 48].
2.5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Transesterifikasi
Variabel yang paling penting yang mempengaruhi waktu reaksi
transesterifikasi dan konversi ialah :
1. Suhu Reaksi
Laju reaksi sangat dipengaruhi oleh suhu reaksi. Umumnya, reaksi dilakukan
dekat dengan titik didih metanol (60 °C sampai 70 °C) pada tekanan atmosfir.
Kondisi reaksi ini bagaimanapun juga memerlukan penghilangan asam lemak
bebas dari minyak dengan penyulingan atau praesterifikasi. Pretreatment tidak
diperlukan jika reaksi dilakukan dalam tekanan tinggi (9000 kPa) dan suhu
tinggi (2408 °C). Dengan kondisi tersebut, esterifikasi simultan dan
transesterifikasi berlangsung. Hasil maksimal ester terjadi pada suhu mulai dari
60 °C sampai 80 °C pada suatu molar ratio (alkohol untuk minyak) ialah 6:1.
Peningkatan suhu lebih lanjut memiliki efek negatif pada konversi.
2. Rasio Alkohol Terhadap Minyak
Variabel penting lainnya yang mempengaruhi hasil dari ester adalah rasio
molar alkohol untuk minyak nabati. Stoikiometri reaksi transesterifikasi
memerlukan 3 mol alkohol per mol trigliserida untuk menghasilkan 3 mol ester
lemak dan 1 mol gliserol. Untuk menggeser reaksi transesterifikasi ke kanan,
diperlukan untuk menggunakan alkohol berlebih atau menghapus salah satu
produk dari campuran reaksi. Ketika 100% kelebihan metanol yang digunakan,
laju reaksi berada pada tingkat tertinggi. Sebuah molar rasio 6:1
biasanyadigunakan dalam proses industri untuk memperoleh yield metil ester
yang lebih tinggi dari 98%. Rasio molar alkohol terhadap minyak yang lebih
tinggi dapat mengganggu pemisahan glikol.
3. Jenis katalis dan konsentrasi
Alkoksida logam alkali adalah katalis dalam proses transesterifikasi yang
paling efektif dibandingkan dengan katalis asam. Transmetilasi terjadi sekitar
4000 kali lebih cepat dengan adanya katalis basa dibandingkan dikatalisis dalam
jumlah yang sama oleh katalis asam. Selain itu katalis basa kurang korosif
terhadap peralatan industri dibanding katalis asam sehingga yang paling
komersial transesterifikasi dilakukan dengan katalis basa. Konsentrasi katalis
basa dalam kisaran 0,5 sampai 1% berat menghasilkan konversi 94-99% minyak
nabati menjadi ester. Selanjutnya, peningkatan konsentrasi katalis tidak
meningkatkan konversi dan itu menambah biaya tambahan karena diperlukan
untuk menghilangkannya dari media reaksi di akhir reaksi.
4. Intensitas pencampuran
Pada reaksi transesterifikasi, reaktan awalnya dari sistem dua fasa cair. Efek
pencampuran merupakan yang paling signifikan selama laju reaksi yang rendah.
Dalam fasa tunggal, pencampuran menjadi tidak signifikan. Pemahaman efek
pencampuran pada kinetika proses transesterifikasi merupakan alat berharga
dalam proses skala dan desain.
5. Kemurnian reaktan
Impuritis yang hadir dalam minyak juga mempengaruhi tingkat konversi.
Pada kondisi yang sama, konversi 67-84% menjadi ester dapat diperoleh dengan
menggunakan minyak nabati mentah, dimana konversi 94-97% menjadi ester
diperoleh saat menggunakan minyak hasil penyulingan. Asam lemak bebas
dalam minyak asli mengganggu katalis. Namun, di bawah kondisi suhu dan
tekanan tinggi masalah ini bisa diatasi [20].

2.6. Potensi Ekonomi Biodiesel Dari Cpo


Produksi CPO di Indonesia yang meningkat setiap tahunnya membuat
Indonesia sangat berpotensi untuk memproduksi biodiesel. Indonesia merupakan
salah satu produsen CPO terbesar di dunia dengan kapasitas produksi sebesar 30
juta ton pada tahun 2015. Produksi CPO yang sangat besar di Indonesia membuat
CPO sangat diharapkan untuk dapat menjadi sumber bahan baku utama dalam
pembuatan biodiesel. Sangat disayangkan jika Indonesia mengimpor biodiesel
sementara Indonesia memiliki sumber bahan baku biodiesel yang sangat banyak.
Biodiesel memainkan peran penting dalam sektor energi di Indonesia. Penggunaan
energi di Indonesia terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan
pemanfaatan energi yang kurang baik. Penggunaan biodiesel di Indonesia
diharapkan dapat memenuhi kebutuhan energi dalam negeri yang semakin tinggi.
Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian mengenai potensi ekonomi biodiesel dari
CPO. Dalam hal ini akan dilakukan kajian potensi ekonomi yang sederhana. Perlu
diketahui harga bahan baku yang digunakan dalam pembuatan biodiesel yang juga
mempengaruhi harga jual biodiesel. Berikut harga komersial bahan baku CPO dan
harga jual biodiesel.
Harga CPO = Rp 7000/ liter [44]
Harga Biodiesel = Rp 9200/ liter [45]
Terlihat bahwa harga jual CPO dan harga jual biodiesel tidak berbeda jauh
tanpa mengaitkan biaya produksi. Dengan perbedaan harga jual yang tidak terlalu
jauh, pembuatan biodiesel terlihat tidak ekonomis. Namun, sejak tahun 2013,
pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 25/2013 yang
menghimbau masyarakat untuk menggunakan bahan bakar nabati (biofuel). Dari
peraturan tersebut maka pemanfaatan bahan bakar nabati semakin diperluas dan
ditingkatkan dengan tujuan agar mengurangi Indonesia untuk mengimpor bahan
bakar minyak (BBM). Ini dapat menghemat devisa negara serta berdampak baik
pada ketahanan energi nasional. Pemerintah juga mewajibkan badan usaha untuk
melakukan pencampuran bahan bakar nabati ke dalam bahan bakar minyak
transportasi. Saat ini campuran nabati untuk BBM diwajibkan harus 10%,
meningkat dibandingkan peraturan awal yang mewajibkan 5% saja dan pada tahun
2016 diharapkan menjadi 20%.
Pengembangan BBN menargetkan biodiesel mensubstitusi 15% konsumsi
solar pada tahun 2015. Produksi biodiesel Indonesia dalam lima tahun terakhir
(2009-2014) terus meningkat dengan laju pertumbuhan rata rata 49,8% per tahun,
dari 412,98 ribu ton ditahun 2009 menjadi 2,58 juta ton ditahun 2013. Demikian
pula dengan ekspor selama periode tersebut, pada tahun 2009 ekspor biodiesel
sebesar 309,15 ribu ton dengan nilai US$ 199,6 juta, namun ditahun 2013
ekspornya telah mencapai 1,69 juta ton dengan nilai US$ 1,41 milyar.
Oleh karena itu, perluasan pemakaian biodiesel untuk menstubtitusi
konsumsi solar semakin ditingkatkan. Harga jual biodiesel dapat fleksibel sesuai
dengan biaya produksi dan bahan baku. Produksi biodiesel berpeluang besar
menjadi industri yang berkembang pesat sehingga produksi biodiesel menggunakan
bahan baku CPO tetap menguntungkan dimana dapat mengurangi ketergantungan
bagi Indonesia untuk mengimpor bahan bakar minyak, bahkan Indonesia dapat
menjadi pengekspor biodiesel terbesar di dunia.
III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi Dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Laboratorium Penelitian, Departemen Teknik Kimia,
Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara, Medan. Sedangkan pengujian sampel
di Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Sumatera Utara, Medan.

3.2. Bahan Penelitian


Pada penelitian ini bahan yang digunakan antara lain:
Crude Palm Oil (CPO), metanol (CH3OH), K-Silika sebagai katalis, aquades
(H3O), phenolphtalein (C20H14O4) dan natrium hidroksida (NaOH).

3.3. Peralatan Penelitian


Pada penelitian ini peralatan yang digunakan antara lain:
Hot plate, magnetic stirrer, refluks kondensor, water bath, beaker glass,
corong gelas, corong pemisah, erlenmeyer, gelas ukur, labu leher tiga, piknometer,
selang, termometer dan viskosimeter otswald.

3.4. Tahapan Penelitian


1. Tahap Persiapan Bahan Baku CPO dan Katalis Heterogen K-Slika.
Tahapannya yaitu CPO dipanaskan kemudian dimasukkan sebanyak 25 gram
ke dalam labu leher tiga hingga mencapai suhu 65oC setelah itu katalis K-Silika
disiapkan dengan berat katalis dan tipe katalis tertentu, berupa rasio molar CPO
terhadap metanol 1:9 dengan kecepatan pengadukan 300 rpm selama 2 jam.
Parameter uji yang dilakukan adalah kadar FFA bahan baku CPO dengan
menggunakan AOCS Official Method 5a–40, kadar air bahan baku minyak sawit
dengan metode tes SNI 01-3555-1998, dan komposisi bahan baku menggunakan
Gas Chromatography.
2. Tahap Sintesis Biodiesel dengan Reaksi Transesterifikasi
Reaksi transesterifikasi untuk pembuatan biodiesel dari CPO
dilakukandengan variabel tetap berupa kecepatan pengadukan, waktu reasksi,
dan suhu reaksi, serta variabel bebas berupa jumlah katalis dan tipe katalis,
dengan parameter uji kemurnian dan komposisi biodiesel dengan menggunakan
Gas Chromatography.
Mulai
CPO, metanol, dan katalis K-Silika disiapkan.
CPO sebanyak 25 g dimasukkan ke dalam labu leher tiga dan dipanaskan di
atas hot plate hingga mencapai suhu reaksi 65oC
Pelarut Metanol dengan rasio 1:9 terhadap CPO dan katalis K-Silika
dimasukkan ke dalam labu leher tiga sambil diaduk selama 2 jam
Hot plate dimatikan dan campuran didinginkan hingga mencapai suhu kamar
Campuran reaksi dimasukkan ke dalam corong pemisah dan dibiarkan hingga
terbentuk 2 lapisan selama 90 menit.
Lapisan bawah yang merupakan campuran gliserol dan metanol, dipisahkan
dari lapisan atas
Air panas (60-70oC) ditambahkan ke dalam corong pemisah yang berisi
lapisan atas dan dikocok sehingga terbentuk kembali 2 lapisan
Lapisan bawah dibuang kembali dan perlakuan ini diulang beberapa kali
hingga air cucian berwarna bening.
A
Lapisan atas yang merupakan metil ester dikeringkan
Lapisan atas (metil ester) dihasilkan lalu dipanaskan untuk menghilangkan
kadar air lalu ditimbang dan dilakukan analisis dengan instrumen, meliputi
analisis titik nyala, densitas, viskositas kinematik, dan kemurnian biodiesel.
Prosedur di atas diulangi untuk variabel proses lainnya seperti yang telah
dijelaskan pada rancangan percobaan

3. Tahapan Uji Analisa Kualitas Biodiesel yang Dihasilkan


Parameter uji nya yaitu kemurnian, densitas, dan viskositas kinematik
biodiesel
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pengaruh Variabel Proses Terhadap Yield Biodiesel Pada Reaksi


Transesterifikasi
4.1.1. Hasil Analisis Bahan Baku Crude Palm Oil(Cpo)
Pada penelitian ini, bahan baku yang digunakan berupa minyak sawit mentah
atau CPO sebagai reaktan dalam pembuatan biodieselyang diperoleh daripabrik
kelapa sawit (PKS) PTPN IV, Medan.CPO merupakan minyak kasar yang
diperoleh dengan cara ekstraksi daging buah sawit dan biasanya masih mengandung
kotoran terlarut dan tidak terlarut dalam minyak. Pengotor yang dikenal dengan
sebutan gum atau getah ini terdiri dari fosfatida, protein, hidrokarbon, karbohidrat,
air, logam berat dan resin, asam lemak bebas (FFA), tokoferol, pigmen dan senyawa
lainnya [37]. Berdasarkan hasil analisis komposisi CPO seperti yang terlihat pada
table 4.1 dapat di lihat bahwa komposisi asam lemak tak jenuh sebesar 57,88%yang
terdiri dari asam oleat 43,01%, asam linoleat 14,49%, asam dan linolenat 0,19%,
yang mengakibatkan CPO cenderung berada dalam fase cair pada suhu kamar.
Knothe, (2005) menyarankan minyak dengan kandungan asam oleat (C18:1)
terbesar adalah minyak yang paling cocok untuk memproduksi biodiesel [46].
Asam oleat sangat berpengaruh untuk memproduksi biodiesel. Produksi biodiesel
dari asam oleat memiliki kualitas yang dibutuhkan untuk menjadi pengganti diesel
[47].
Berdasarkan data komposisi asam lemak dari CPO maka dapat ditentukan
bahwa berat molekul CPO (dalam bentuk trigliserida) adalah 853,4571 gr/mol
sedangkan berat molekul FFA CPO adalah 271,8016 gr/mol. Selanjutnya,
berdasarkan hasil analisis GC, komponen asam lemak yang dominan pada sampel
CPO adalah pada puncak 3 yaitu asam lemak jenuh berupa asam palmitat sebesar
36,37% (b/b) dan pada puncak 6 yaitu asam lemak tidak jenuh berupa asam oleat
sebesar 43,01% (b/b), sehingga komposisi asam lemak jenuh sebesar 42,12% dan
asam lemak tak jenuh sebesar 57,88%. Minyak sawit, selain mengandung
komponen utama trigliserida (94%), juga mengandung asam lemak bebas (3-5%)
dan komponen non trigliserida yang jumlahnya sangat kecil (1%), Komponen
trigliserida pada minyak sawit terdiri dari Asam Miristat, Asam Palmitat, Asam
Stearat, Asam Oleat dan Asam Linoleat, dan untuk komponen non trigliserida
terdiri dari monogliserida, digliserida, fosfatida, karbohidrat, protein, bahan
berlendir atau gum serta zat warna alami, adanya senyawa tersebut berpengaruh
terhadap kualitas minyak sawit, misalnya perubahan bau, warna yang ditunjukkan
dalam bentuk kadar kotoran, kadar air, bilangan asam, bilangan peroksida, bilangan
penyabunan, zat warna dan sebagainya [37].
Komposisi asam lemak dalam bahan baku tidak akan berubah selama proses
transesterifikasi berlangsung dan komposisi tersebut sangat penting untuk
mengestimasi beberapa parameter biodiesel, seperti stabilitas oksidasi, bilangan
setana, bilangan iodin, dan cold filter plugging point (CFPP) [48]. Asam lemak
jenuh dan berantai panjang berpengaruh terhadap peningkatan bilangan setana dan
stabilitas oksidasi, sedangkan asam lemak tak jenuh dan berantai pendek dapat
meningkatkan viskositas dan karakteristik aliran pada saat suhu rendah, dimana
kedua karakteristik ini sangat tidak diinginkan. Asam lemak jenuh yang tinggi akan
memiliki freezing point yang lebih tinggi dibandingkan dengan asam lemak tak
jenuh yang tinggi. Sedangkan untuk bilangan setana, dengan asam lemak tak jenuh
yang tinggi akan memiliki bilangan setana yang rendah dan dapat mengurangi
stabilitas oksidasi yang mengakibatkan mesin akan menghasilkan emisi NOx yang
tinggi [49].
CPO layak menjadi pertimbangan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel
dapat dilihat dari segi ketersediaannya di Indonesia, Indonesia memiliki potensi
yang sangat besar untuk memproduksi biodiesel karena perkembangan produksi
CPO di Indonesia meningkat setiap tahunnya sehingga negara-negara lain
mengimpor CPO, karena ketersediaannya CPO yang tersedia sangat besar sehingga
diharapkan mampu mengurangi biaya produksi dalam skala besar.

4.1.2. Analisis Kadar Airdan FFA Pada Crude Palm Oil (CPO)
Kadar air CPO yang digunakan dalam penelitian ini dianalisis dengan
menggunakan metode uji AOCS Ca 2c-25 sedangkan kadar FFA dianalisis dengan
menggunakan metode uji AOCS Ca 5a-40. Tabel 4.2 menunjukkan kadar air dan
FFA dalam CPO.
Kadar air merupakan sebuah komponen kecil yang ditemukan dalam semua
bahan baku yang akan digunakan dalam menghasilkan biodiesel. Kadar air sendiri
penting untuk diperhatikan sebab dapat memberikan dampak buruk terhadap yield
yang dihasilkan. Dari penelitian yang dilakukan oleh Ma (2006), menyatakan
bahwa selama reaksi transesterifikasi berlangsung, kehadiran air menyebabkan
dampak buruk yang lebih besar dibandingkan dengan tingginya kadar FFA. Kadar
air yang melebihi 0,05% dapat mengganggu proses transesterifikasi baik dengan
katalis asam maupun basa, sebab air dapat bereaksi dengan katalis selama proses
transesterifikasi sehingga dapat mengakibatkan terbentuknya sabun dan emulsi [50,
51, 52]. Adanya kandungan air dalam minyak juga dapat menyebabkan hidrolisis
pada trigliserida dalam minyak yang mengakibatkan peningkatan kadar FFA dalam
minyak [53].
Kadar air dan kandungan FFA merupakan dua hal utama yang harus
diperhatikan. Selain kadar air, kandungan FFA yang melebihi 3% dalam bahan
baku juga memicu terbentuknya sabun selama proses transesterifikasi berlangsung,
sehingga dapat disimpulkan bahwa baik kadar air maupun FFA dapat membawa
dampak buruk terhadap hasil reaksi transesterifikasi, sebab kedua hal tersebut dapat
menyebabkan terbentuknya sabun, meningkatkan jumlah katalis yang diperlukan,
menurunkan keefektifan katalis, serta rendahnya konversi dan yield [52,54].
Dalam kajian yang dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu dengan
menggunakan katalis heterogen dengan berbagai macam bahan baku, Hindryawati,
dkk (2014) menggunakan bahan baku minyak jelantah dengan katalis silika, yang
berasal dari abu sekam padi diimpregnasi dengan logam alkali (Li, Na, K) dengan
bahan baku yang digunakan memiliki kadar air rendah yaitu sebesar 0,03% lebih
rendah dari CPO [16], sedangkan kajian yang telah dilakukan oleh Lani,dkk (2016)
menggunakan bahan baku minyak jelantah, katalis CaO yang berasal dari cangkang
telur ayam dan katalis silika yang berasal dari abu sekam padi dan kemudian
diimpregnasi, metanol, bahan baku yang digunakan memiliki kadar air sebesar
0,200 % lebih rendah dari CPO [15], dan kajian yang telah dilakukan oleh Chen,
dkk (2015) pendekatan silifikasi untuk biomimetik dalam mensintesis katalis CaO-
SiO2 untuk transesterifikasi dari minyak sawit olahan yang dibeli di supermarket
yang digunakan untuk menjadi biodiesel, bahan baku yang digunakan memiliki
kadar air 0.87% lebih rendah dari CPO[55].
Telah banyak kajian yang di lakukan untuk menurunkan kadar FFA pada
bahan baku salah satu cara nya melalui proses adsorpsi dengan menggunakan
karbon aktif mampu menurunkan kadar FFA dari 1.3% menjadi 0,6%, dimana
penggunaan karbon aktifnya sebesar 10% [56]. Dalam pembuatan biodiesel baik
kadar air maupun FFA dapat membawa dampak buruk terhadap hasil reaksi
transesterifikasi jika terlalu tinggi, sebab kedua hal tersebut dapat menyebabkan
terbentuknya sabun, meningkatkan jumlah katalis yang diperlukan, menurunkan
keefektifan katalis, serta rendahnya konversi dan yield [52,54]. Peneliti telah
mengunakan bahan baku CPO yang memiliki kadar air 3.90%, sehingga dari segi
bahan baku peneliti menggunakan bahan baku yang under dibawah rata-rata dimana
bahan baku yang digunakan biodiesel berkualitas rendah, kadar air dan kandungan
FFA memiliki nilai yang sangat tinggi.
Kadar air dan kandungan FFA yang melebihi 3% dalam bahan baku juga
memicu terbentuknya sabun selama proses transesterifikasi berlangsung, sehingga
dapat disimpulkan bahwa baik kadar air maupun FFA dapat membawa dampak
buruk terhadap hasil reaksi transesterifikasi, sebab kedua hal tersebut dapat
menyebabkan terbentuknya sabun, meningkatkan jumlah katalis yang diperlukan,
menurunkan keefektifan katalis, serta rendahnya konversi dan yield [37,39].
Penggunaan katalis K-Silika dari abu daun bambu dengan matriks katalis silika
untuk mengkonversi CPO menjadi biodiesel akan memiliki peran dalam
mengkatalisis dan mengadsorb gumyang terdiri dari fosfatida, protein, hidrokarbon,
karbohidrat, air, logam berat dan resin. Adanya gum pada CPO mampu menyumbat
pori-pori dan sisi aktif katalis sehingga mengurangi kinerja dari katalis K-Silika
sendiri. Tetapi penggunaan silika sebagai matriks katalis diharapkan dapat berperan
sebagai adsorben untuk menyerap yang bersifat polar seperti air dan asamsehingga
kadar air dan kadar FFA yang besar yang ada pada CPO tidak akan menggangu
reaksi yang menjadi masalah dalam sintesis biodiesel sehingga reaksi dapat
berlangsung dengan baik.

4.1.3 Pengaruh Tipe Katalis dan Jumlah Katalis terhadap Yield Biodiesel
Pada penelitian ini, katalis yang digunakan terdiri dari beberapa tipe yaitu tipe
katalis A1, A2, A3 dan A4, dengan masing-masing tipe katalis dilangsungkan pada
reaksi transesterifikasi terhadap bahan baku CPO. Keterangan dari masing-masing
tipe katalis yaitu:
1) A1 = Katalis yang diperoleh dari hasil kalsinasi pada suhu 500oC dengan rasio
molar K: SiO2 (2,5 :1) tertentu sebesar K: SiO2: 10,9 – 31,10 %.
2) A2 = Katalis yang diperoleh dari hasil kalsinasi pada suhu 600oC dengan rasio
molar K: SiO2 (2,5 :1) tertentu sebesar K: SiO2: 12,2 – 26,7%.
3) A3 = Katalis yang diperoleh dari hasil kalsinasi pada suhu 700oC dengan rasio
molar K: SiO2 (2,5 :1) tertentu sebesar K: SiO2: 12,1 – 32,40%.
4) A4 = Katalis yang diperoleh dari hasil kalsinasi pada suhu 800oC dengan rasio
molar K: SiO2 (2,5 :1) tertentu sebesar K: SiO2: 10,7 – 31,10 %

Gambar 4.1 Hubungan antara Jumlah Katalis dan Tipe Katalis dengan Yield

Dari Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa semakin besar jumlah katalis yang
digunakan untuk semua variasi tipe katalis maka yield biodiesel yang dihasilkan
akan semakin meningkat hingga mencapai titik tertentu, lalu mengalami penurunan.
Untuk semua jenis tipe katalis dengan jumlah katalis tertentu dapat dijelaskan
bahwa pada tipe katalis A1 dengan jumlah katalis 3 % hingga 4% mengalami
peningkatan kadar ester dan reaksi berjalan baik lalu mengalami penurunan pada
penggunaan katalis 5%, tipe katalis A2 dengan jumlah katalis 4 % mengalami
peningkatan yield pada jumlah katalis 4 % lalu mengalami penurunan pada
penggunaan katalis 5%, tipe katalis A3yield semakin meningkat hingga jumlah
katalis 3 - 4%, lalu mengalami penurunan pada penggunaan katalis sebanyak 5%.
Hal yang sama dapat dilihat pada gambar 4.1 untuk tipe katalis A4 terjadi
penurunan yield pada penggunaan katalis sebanyak 5%. Sehingga kecenderungan
untuk semua tipe katalis berada pada kondisi optimum dengan penggunaan berat
katalis 4%. Dari gambar 4.1 dapat dijelaskan bahwa jika melebihi jumlah katalis
4% maka menyebabkan campuran katalis dan reaktan akan semakin kental, yang
menyebabkan peningkatan viskositassehingga akan membuat terjadinya kesulitan
untuk terjadi perpindahan massa karena tumbukan antar molekul nya yang tidak
bebas sehingga gaya interaksi antar molekul melemah yang dapat menyebabkan
penurunan pada yield metil ester.
Berbagai kajian yang pernah dilakukan dengan menggunakan katalis
heterogendan diketahui karakteristik biodiesel yang dihasilkan telah memenuhi
standar yang ditetapkan. Roschat, dkk [14] dimana digunakan katalis heterogen
Na/SiO2 dari abu sekam padi yang mengasilkan yield 97% dengan berat katalis
2.5%. Ali, dkk [57] menggunakan katalis kalsium oksida-silikon dioksida-asam
sulfat yang diimpregnasi methanol dengan kandungan metil ester yang didapatkkan
sebesar 97.21%, berat katalis 5%.
Dari gambar 4.1 juga dapat dilihat bahwa untuk jumlah kalium yang ada pada
setiap katalis maka tipe katalis yang memiliki kadar kalium yang tertinggi dimiliki
oleh tipe katalis A2 dan A3untuk jumlah katalis yang sama yaitu sebesar 4%, tetapi
hasil yield yang tertinggi yang di dapat tidak berada pada A2 dan A3 yang memiliki
kadar kalium tertinggi melainkan pada tipe katalis A4yang tidak memiliki kadar
kalium yang tertinggi, sehingga dapat dijelaskan bahwa kadar kalium bukan satu-
satunya parameterpenentu keberhasilan dalam mengkatalisis reaksi ini. Jika dilihat
dari kandungan silika maka tipe katalis yang memiliki kadar silika tertinggi dimiliki
oleh tipe katalis A3 sebesar 32.40%, sehingga ada peran nya silika di dalam reaksi
ini dan menghasil hasil yang berbeda-beda, tetapi dengan kandungan silika yang
tinggi justru tidak menghasilkan yield dan kadar metil ester yang tinggi. Sementara
pada tipe katalis A3 dan A2dengan kandungan Si yang berbeda-beda yang memiliki
kandungan kalium yang hampir sama dan tidak cukup berbeda signifikan tapi
menghasilkan yield yang masih rendahdi dapat bahwa A4 berada pada kondisi yield
yang tertinggi. Sehingga dari penjelasan tersebut bahwa dari rasio K-Silika dalam
katalis masing-masing tipe katalis yaitu A1 (1:2), A2 (1:2), A3 (1:2) dan A4 (1:3)
sehingga dengan perbandingan rasio (1:3) adalah keberadaan kalium dan silika
yang terbaik dalam menjalankan reaksi ini.

4.2 Pengaruh Waktu Reaksi dan Tipe Katalis Reaksi Transesterifikasi


Menjadi Metil Ester Menghasilkan kadar (%berat) mono, -di, dan
Trigliserida.
Adapun hasil penelitian pembuatan biodiesel dari CPO dengan menggunakan
katalis heterogen K-Silika dari abu daun bambu (bamboo ash). Hubungan antara
waktu reaksi terhadap trigliserida, monogliserida, digliserida dan metil esterdengan
tipe katalis A2 dan A4 dalam penelitian ini ditampilkan pada Gambar 4.2

Gambar 4.2: (a) Pengaruh Waktu Reaksi Terhadap Komposisi Mono, -Di, dan
Trigliserida Pada Tipe Katalis A2 (B) Pengaruh Waktu Reaksi Terhadap Komposisi
Mono, -Di, Trigliserida Pada Tipe Katalis A4
Dari gambar 4.2 (a) dapat dilihat bahwa terjadi perubahan kadar mono,- di,-
dan trigliserida setiap menit nya sampai menit terakhir, pada tipe katalis A2dimana
pada t = 0 komposisi dari trigliserida sebesar 80%, digliserida 10,257% dan
monogliserida 0.0458 %, setelah 30 menit pertama ketigakomponen ada yang
mengalami penurunan dan kenaikan dimana trigliserida mengalami penurunan
sebesar 0,379% yang berarti pada 30 menit trigliserida sudah terkonversi menjadi
komponen lain, digliserida mengalami penurunan sebesar 0.3778% dan
monogliserida mengalami peningkatan sebesar 0.9409% dan metil ester 88.19%,
setelah menit ke 60 trigliserida mengalami penurunan sebesar 0.0635%, digliserida
tidak mengalami perbedaan yang cukup signifikan (tetap), dan monogliserida
mengalami peningkatan 0.9868% dan metil ester mengalami peningkatan 96,57%,
dan pada menit terakhir trigliserida mengalami penurunan kembali 0.01%,
digliserida tetap, dan monogliserida mengalami peningkatan sebesar 1.2051% yang
menghasilkan metil ester 98.48%.
Dari gambar4.2 (b) dapat dilihat bahwa terjadi perubahan kadar mono, - di, -
dan trigliserida setiap menit nya sampai menit terakhir, pada tipe katalis A4 dimana
pada t = 0 komposisi dari trigliserida sebesar 80%, digliserida 9,257% dan
monogliserida 0.832 %, setelah 30 menit pertama ketiga komponen ada yang
mengalami penurunan dimana trigliserida mengalami penurunan sebesar 0,370%
yang berarti pada 30 menit trigliserida langsung terkonversi menjadi komponen
lain, digliserida mengalami penurunan sebesar 0.588% dan monogliserida
mengalami penurunan sebesar 0.726% dan metil ester 88.19%, setelah menit ke 60
trigliserida mengalami penurunan sebesar 0.0635%, digliserida mengalami
penurunan sebsar 0.379%, dan monogliserida mengalami peningkatan 0.9868%
dan metil ester mengalami peningkatan 96,57%, dan pada menit terakhir trigliserida
mengalami penurunan kembali 0.02%, digliserida mengalami penurunan, dan
monogliserida mengalami penurunan 0.0632% yang menghasilkan metil ester
99.48%. Dari penjelasan diatas bahwa pada tipe katalis A2 pada menit terakhir
monogliserida masih banyak tertahan sehingga tahapan reaksi monogliserida
menjadi ester yang yang mengontorol kecepatan reaksi trigliserida menjadi ester,
pada tipe katalis A4 konversi monogliserida berlangsung lebih lambat sehingga
pada konversi digliserida menjadi monogliserida yang mengontrol kecepatan reaksi
digliserida menjadi ester.
Dari gambar diatas dapat di jelaskan bahwa reaksi transesterfikasi pada
trigliserida dan alcohol menjadi metil ester berlansung dalam 3 tahapan:
Dari gambar ini menunjukkan bahwa kadar trigliserida akan secepatnya turun
dibawah konsentrasi digliserida dan monogliserida. Pada awal reaksi dua fasa
beberapa trigliserida dikeluarkan dari fasa metanol dan fasa gliserol dimana
keduanya masih terdapat katalis yang terus bereaksi. Sehingga di dapatkan hasil
bahwa kadar trigliserida yang habis bereaksipada akhir reaksi akan lebih tinggi
disbanding dari digliserida dan monogliserida [58].
Reaksi trigliserida tidak dikenal sebagai reaksi autokatalitik (katalis reaksi
adalah asam atau basa), maka kemungkinan diduga pada kecepatan reaksi lambar
mula- mula merupakan daerah transfer massa yang mengontrol, kemudian diikuti
oleh daerah yang dikontrol secara kinetis dan berakhir pada daerah kesetimbangan.
Pada reaksi transesterifikasi, reakan mula-mula membentuk system liquid 2 fasa.
Dalam keadaan ini reaksi dikontrol oleh di fusi (transfer massa), sedangkan difusi
hanya sedikit di hasilkan antara 2 fasa yang tidak saling melarut sehingga mula-
mula reaksi berlangsung lambat. Ketik ester terbentuk, ester berperan sebagai
pelarut mutual untuk reaktan sehingga system liquid fasa tunggu terbentuk.
Pembentukan ester dimulai setelah 1-2 menit berlangsung. Perubahan tiba-tiba dari
laju pembentukan produk ester terhadap bersama- sama dengan titik ketika
konstentrasi ester relative maksimum. Konsentrasi maksimum ini terbentuk oleh
reaksi intermediate yang merupakan tipe reaksi reversible. Hal ini membuktikan
bahwa rekasi searah atau irreversible dalam penelitian ini dapat di terima [59].
Dari gambar 4.2 dapat dijelaskan bahwa pada kondisi yang berbeda yaitu
dengan tipe katalis A1 dan A4dengan A2sebesar (K-Si: 10,9 – 31,10%) dan
A4sebesar (K-Si 10.7 – 31,10%) masing-masing dengan jumlah katalis yang sama
sebesar 3% dengan A1 dan A4, dapat di jelaskan dengan gambar untuk kedua tipe
katalis tersebut bahwa dengan penggunan katalis tersebut mempercepat terjadi
kesetimbangan, tidak mengubah atau menggeser kesetimbangan reaksi, termasuk
sifat termodinamikanya, seperti kecenderungan keberlangsungan reaksi, besarnya
panas reaksi, harga tetapan kesetimbangan, dan konversi maksumum reaksi yang
dapat dicapai pada kondisi tertentu [58].
Gambar 4.3 Penggunaan Katalis Pada Reaksi [58]

Dari gambar diatas dapat dijelaskan bahwa dengan atau tanpa katalis sifat –
sifat termodinamika reaksi tidak mengalami perubahan. Katalis hanya berpengaruh
terhadap sifat kinetika reaksi sehingga reaksi yang menggunakan katalis jauh lebih
cepat mencapai keseimbangan reaksi tanpa katalis, dari gambar 4.2 dijelaskan
bahwa dengan kedua tipe katalis tersebut tidak akan mendapatkan konversi
maksimum 100% walaupun kedua tipe katalis memiliki K-Si yang berbeda-beda
sehingga penggunaan katatalis tidak dapat menggeser konversi kesetimbangan
tetapi mempercepat tercapainya kesetimbangan dan tidak merubah letak
kesetimbangan, dan dari kedua tipe katalis tersebut bahwa setiap katalis
mempunyai tahapan–tahapan yang mengontrol reaksi yang berbeda tersebut
walaupun dengan kondisi reaksi yang sama.

4.3 Karakteristik Biodiesel Yang Dihasilkan


Adapun karakteristik biodiesel yang dihasilkan pada penelitian ini dapat
dilihat pada tabel 4.3.
Sifat fisika dari biodiesel dengan hasil terbaik yang diperoleh dalam
penelitian ini, yaitu biodiesel dengan variabel proses rasio molar CPO dengan
metanol 1: 9, berat katalis 4%, suhu reaksi 65 oC, waktu reaksi 2 jam dengan tipe
katalis A4dapat mencapai yield sebesar 92.21 % dan konversi metil ester mecapai
99,78%. Hasil terbaik akan dibandingkan dengan standar biodiesel Indonesia (SNI
7182:2015) Amerika Serikat (ASTM D 6571/09), Eropa (EN 14214/03), dan Pr EN
14214/09.
Dapat dilihat dari Tabel 4.3 biodiesel pada run tersebut telah memenuhi
standar yang telah ada. Produk biodiesel dapat dibandingkan dengan kajian yang
sudah pernah dilakukan oleh Roschat, dkk [14] dimana katalis yang digunakan
adalah silika dari abu sekam padi yang diimpregnasi dengan Na, didapatkan yield
sebesar 97% dengan kondisi rasio molar metanol:minyak 12:1, suhu reaksi 65 oC,
berat katalis 2,5% dan waktu reaksi 150 menit.Dari penjelasan diatas, dapat dilihat
bahwa kondisi yang baik digunakan pada saat reaksi transesterifikasi dengan
penggunaan katalis K-Silika yang diimpregnasi KOH adalah dapat mencapai yield
sebesar 92.21 % dan konversi metil ester mecapai 99,78% dengan kondisi operasi
pada suhu reaksi 65oC, berat katalis 4% (terhadap berat CPO), waktu reaksi 2 jam,
dan rasio molar metanol:CPO sebesar 9:1 pada tipe katalis A4Maka, dapat dilihat
bahwa biodiesel yang disintesis telah memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI).
Hal ini menunjukkan penggunaan katalis katalis K- Silika dari abu daun
bambudapat digunakan dalam produksi biodiesel dengan bahan baku CPOsebagai
katalis heterogen dalam reaksi transesterifikasi tergolong baik karena dapat
memenuhi standar yang ditetapkan.

4.3.1 Pengaruh Kemurnian Terhadap Densitas Bioidisel Dari Masing-Masing


Tipe Katalis
Densitas dapat menjadi parameter keberhasilan reaksi transesterifikasi.
Densitas merupakan sifat utama dari suatu bahan bakar yang secara langsung
mempengaruhi karakteristik kinerja mesin, seperti angka setana dan nilai kalor [62].
Densitas biodiesel seharusnya berkisar 0,850-0,900 g/cm3 [32]. Hubungan antara
densitas terhadap kemurnian biodiesel dengan berbagai variasi tipe katalis dapat
dilihat pada tabel 4.5.
Tabel 4.5 Kemurnain dan Densitas Biodiesel Dari Masing-Masing Tipe Katalis
Tipe Katalis Kemurnian (%) Densitas (kg/m3)
A1 99.21 878
A2 98.77 876
A3 99.18 882
A4 99.78 886

Dari tabel 4.5 dapat dijelaskan bahwa hubungan antara kemurnian dan
densitas dengan jumlah katalis 4%, dimana pada tipe katalis A1 mendapatkan
kemurnian sebesar 99.21 %, densitas yang di dapat sebesar 876 kg/m3 sampai
dengan tipe katalis A2 kemurnian mengalami penurunan sebesar 0.44 % dan
densitas pun mengalami penurunan dari tipe katalis A1 sampai dengan A3 dan A4
terus mengalami peningkatan kemurnian dan densitas yang dihasilkan juga
mengalami kenaikan. Dari tabel 4.5 dapat dihitung nilai korelasi sebesar 0.91
bahwa korelasi nya sangat kuat dan ada korelasi positif antara kemurnian dan
densitas pada masing- masing tipe katalis. Hal ini berarti semakin besar kemurnian
yang di dapat, maka akan semakin besar pula densitas.
Dari tabel 4.5 dapat dijelaskan bahwa perbedaan massa jenis biodiesel
berkaitan dengan komposisi asam lemak dan tingkat kemurnian dari biodiesel,
massa jenis akan naik dengan terjadinya penurunan panjang rantai karbon dan
peningkatan ikatan rangkap [63] Selain itu, semakin tidak jenuh minyak yang
digunakan maka densitas akan semakin tinggi, Halini bisa juga disebabkan dengan
waktu reaksi dimana dalam penelitian ini berlangsung dalam 2 jam
sehinggasemakin lamawaktu reaksi yang digunakan maka densitas yang dihasilkan
akan semakin kecil, waktu reaksi yang semakin banyak akan mengurangi
kemurnian dari biodiesel yang dihasilkan dan berpengaruh terhadap densitas yang
dihasilkan. Hal ini disebabkan karena telah terjadi pemutusan gliserol dari
trigliserida sehingga terbentuk senyawa dengan ukuran molekul yang lebih kecil
[64]. Massa jenis biodiesel yang melebihi ketentuan sebaiknya tidak digunakan
sebagai bahan bakar, karena selain mengakibatkan keausan juga dapat
menyebabkan kerusakan pada mesin [65]
Densitas atau massa jenis menunjukan perbandingan berat per satuan volume.
Karakteristik ini berkaitan dengan nilai kalor dan daya yang dihasilkan oleh mesin
diesel per satuan volume bahan bakar. Jika biodiesel memiliki massa jenis melebihi
ketentuan, akan terjadi reaksi tidak sempurna pada konversi minyak. Biodiesel
dengan mutu seperti ini tidak seharusnya digunakan untuk mesin diesel karena akan
meningkatkan keausan mesin, emisi, dan menyebabkan kerusakan pada mesin [69].
Menurut SNI 04-7182-2012, densitas biodiesel pada suhu 40 oC adalah 850890
kg/m3. Biodiesel yang dihaskan pada berbagai variasi yang dilakukan diperoleh
densitas berkisar 862-873 kg/m3. Dengan demikian, biodiesel yang diperoleh telah
memenuhi standar densitas biodiesel.

4.3.2 Pengaruh Kemurnian Terhadap Viskositas Kinematik Bioidisel Dari


Masing – Masing Tipe Katalis
Viskositas dapat diklasifikasikan menjadi viskositas dinamik yang memiliki
satuan centipoise, dan viskositas kinematik yang berkaitan dengan densitas cairan
dan memiliki satuan centistokes. Viskositas biodiesel merupakan faktor penting
dalam kinerja sebuah mesin [58]. Hubungan antara viskositas kinematik terhadap
kemurnian biodiesel dengan berbagai variasi tipe katalis dapat dilihat pada tabel 4.6
Tabel 4.6 Kemurnian dan Viskositas Kinematik Bidoesel
Tipe Katalis Kemurnian (%) Viskositas Kinematik (cSt)
A1 99.21 4.233
A2 98.77 4,144
A3 99.18 4,231
A4 99.78 4.544

Dari tabel 4.6 dapat dijelaskan bahwa hubungan antara kemurnian dan
densitas dengan jumlah katalis 4%, dimana pada tipe katalis A1 mendapatkan
kemurnian sebesar 99.21 %, densitas yang di dapat sebesar 4.233 kg/m3 sampai
dengan tipe katalis A2 kemurnianmengalami penurunan sebesar 0.372 % dan
viskositas kinematik pun mengalami penurunan dari tipe katalis A1 sampai dengan
A3 dan mengalami peningkatan pada A4pada kemurnian dan densitas. Dari tabel
4.6 dapat dihitung nilai korelasi sebesar 0.891 bahwa korelasi nya sangat kuat dan
ada korelasi positif antara kemurnian dan densitas pada masing- masing tipe katalis.
Hal ini berarti semakin besar kemurnian yang di dapat, maka akan semakin besar
pula viskositas kinematik.
Viskositas kinematis (μ) merupakan sifat fisik biodiesel yang penting.
Viskositas kinematis biodiesel berkorelasi dengan jumlah atom karbon, jumlah
ikatan rangkap dan suhu [60,61]. Viskositas kinematik meningkat dengan
bertambahnya rantai baik asam lemak atau alkohol dalam hidrokarbon, dan
peningkatan viskositas kinematik beberapa atom karbon lebih kecil dibandingkan
peningkatan viskositas kinematik sebuah hidrokarbon berantai lurus [66].
Viskositasmerupakan salah satu parameter penting dalam kelayakanpenggunaan
biodiesel dalam mesin diesel. Jika viskositas semakin tinggi, tahanan akan semakin
tinggi. Hal ini sangat penting karena mempengaruhikenerja injektor dalam mesin
diesel [67]. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 04-7182-2012), viskositas
kinematik biodiesel pada suhu 40oC adalah 2,3-6,0 mm2/s. Dari hasil penelitian
untuk berbagai variasi yang dilakukan diperoleh viskositas kinematik berkisar 5,0-
6,0 mm2/s. Dengan demikian biodiesel yang diperoleh telah memenuhi standar
viskositas kinematik biodiesel.
V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
1. Asam lemak utama yang terdapat dalam bahan baku CPO adalah asam oleat
sebesar 43,01% dan asam palmitat sebesar 36,77%.
2. Pada masing – masing tipe katalis yang diperoleh K-SiO2: 10,7 – 31,10 %
memiliki yield tertinggi pada penelitian ini sebesar 92,91% dan konversi 99,76
% dengan rasio K- SiO2 (1:3) dibandingkan dengan ketiga tipe katalis yang
memiliki K-Si yang memiliki rasio K- (1:2), sehingga katalis K-Silika
mempunyai sifat katalitik yang sangat baik dimana kesetimbangan reaksi dapat
tercapai dalam waktu singkat dan mampu menghasikan yield produk yang
tinggi.
3. Pengaruh jumlah katalis terhadap yield biodiesel secara umum meningkat
hingga peningkatan katalis 4% pada tipe katalis dengan K-SiO2: 10,7 – 31,10
% pada kondisi optimum suhu reaksi 65oC, pada kondisi rasio molar
CPO:metanol yaitu 1:9, waktu reaksi 2 jam diperoleh yield biodiesel sebesar
92,91% dan konversi metil ester 99,76 %
4. Karaktersitik biodiesel yang dihasilkan meliputi densitas dan viskositas
kinematik berbanding lurus dengan kemurnian yang dihasilkan yang telah
memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI 7182:2015), ASTM D-6751, dan
EN 14214.

5.2. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah:
1. Disarankan agar dilakukan studi lebih lanjut mengenai reusability katalis
untuk mengetahui kemampuan daur ulang katalis heterogen
2. Disarankan dilakukan variasi kadar air bahan baku, untuk melihat pengaruhnya
terhadap aktivitas katalitik K-Silika
3. Disarankan agar dilakukan penelitian dengan variasi rasio mol minyak :
methanol dan waktu reaksi pada proses transesterifikasi.
DAFTAR PUSTAKA

[1] Gashaw, Alemayehu dan Abile Teshita, Production Of Biodiesel From Waste
Cooking Oil And Factors Affecting Its Formation : A Review, International
Journal of Renewable and Sustainable Energy¸ 3 (2014). Halaman: 92-95.
[2] Alam, Md. Zahangir, Ricca Rahman Nasaruddin, Mohammed Saedi Jami dan
Mohammad Shahab Uddin. Investigation Of Solvent System For The
Production Of Biodiesel From Sludge Palm Oil (SPO) By Enzymatic
Transesterification. Bioenvironmental Engineering Research Centre (BERC),
International Islamic University Malaysia (IIUM), Gombak, Journal Energy
Procedia, 32 (2013). Halaman 64 – 73.
[3] Rahmadi, A. and Lu Aye. Biodiesel from Palm Oil as An Alternative Fuel for
Indonesia: Opportunities and Challenges. Destination renewable- ANZES.
(2003).
[4] Al Hakim, Hisyam Musthafa. Life Cycle Assessment (LCA) Produksi Crude
Palm Oil (CPO) Kebun dan Pabrik Kelapa Sawit Pelaihari PT. Perkebunan
Nusantara. Tesis. Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, (2013).
[5] Abdullah, Nurul Fitriyah, Yun Hin Taufiq-Yap and Mahiran Basri. Biodiesel
Production via Transesterification of Palm Oil Using NaOH/Al2O3 Catalysts.
Jurnal Sains Malaysiana, 6 (2011). Halaman : 587-594.
[6] Singh, A., B. He, J. Thompson and J. Van Gerpen. Process Optimization Of
Biodiesel Production Using Alkaline Catalyst. Applied Engineering in
Agriculture, 4 (2006). Halaman: 597-600.
[7] Ejikeme, P. M., I. D. Anyaogu, C. L. Ejikeme, N. P. Nwafor, C. A. C.
Egbuonu, K. Ukogu, and J. A. Ibemesi. Catalysis in Biodiesel Production by
Transesterification Processes-An Insight. E-Journal of Chemistry, 4 (2010).
Halaman: 1120-1132.
[8] Gnanaprakasam, A., V.M. Sivakumar, A. Surendhar, M. Thirumarimurugan
dan T. Kannadasan. Recent Strategy of Biodiesel Production from Waste
Cooking Oil and Process Influencing Parameters : A Review. Journal of
Energy, (2013). Halaman : 1-10.
[9] Le Tu Thanh, Kenji Okitsu, Luu Van Boi dan Yasuaki Maeda. Catalytic
Technologies for Biodiesel Fuel Production and Utilization of Glycerol : A
Review. Catalysts, 2 (2012). Halaman: 191-222.
[10] Tan, Yie Hua., Mohammad Omar Abdullah, Cirilo Nolasco-Hipolito, dan
Yun Hin Taufiq-Yap. Waste Ostrich- and Chicken-Eggshells as
Heterogeneous Base Catalyst for Biodiesel Production from Used Cooking
Oil: Catalyst Characterization and Biodiesel Yield Performance. Applied
Energy 160. Elsevier Ltd. ISSN NO 0306-2619 (2015).
[11] Niju, S., K.M. Meera Sheriffa Begum dan N. Anantharaman.
Enchancement of Biodiesel Synthesis over Highly Active CaO Derived from
Natural White Bivalve Clam Shell. Arabian Journal of Chemistry.
ElsevierB.V. ISSN NO: 1878-5352 (2014).
[12] Leung, D. Y. C., dan Y. Guo. Biodiesel Production from Waste Cooking Oils.
Fuel 87. (2008). Halaman: 3.490-3.496. Elsevier Ltd.
[13] Chen, G., R.. Shan, S. Li, dan J. Shi. Transesterification of Palm Oil to
Biodiesel Using Risk Husk Ash-Based Catalyst. Fuel Processing Technology
133. (2015) Halaman: 8-13. Elsevier Ltd.
[14] Roschat, W., T. Siritanon, B. Yoosuk, V. Promarak. Rice Husk-Derived
Sodium Silicate As A Highly Efficient and Low-Cost Basic Heterogeneous
Catalyst for Biodiesel Production. Energy Conversion and Management.
(2016). Halaman: 453-462. Elsevier Ltd.
[15] Lani, N.S., N. Ngadi, N. Y. Yahya, dan R. A. Rahman. Synthesis,
Characterization and Performance of Silica impregnated Calcium Oxide as
Heterogeneous Catalyst in Biodiesel Production. Journal of Cleaner
Production. (2016). Halaman: 1-9. Elsevier Ltd.
[16] Hidryawati, N., G. P. Maniam, M. R. Karim, dan K. F. Chong.
Transesterification of Used Cooking Oil Over Alkali Metal (Li, Na, K)
Supported Rice Husk Silica as Potential Solid Base Catalyst. Engineering
Science and Technology, an International Journal. (2014). Elsevier B. V.
[17] Nduwayen, Jean Baptiste., TheonesteIshimwe., AnanieNiyibizidan Alexis
Munyentwali. 2015. Biodiesel Production from Unrefined Palm Oil on Pilot
Plant Scale. International Journal of Sustainable and Green Energy (2015).
Halaman 1-12.
[18 ] Franseschi, FransiscoAnguebes., Atl Cordova Quiroz., Julia Ceron Breton.,
Claudia Aguilar Ucan., Gloria Castillo Martinez., Rosa Ceron Breton.,
Alejandro Ruiz Marin dan Carlos Montalvo Romero. Optimization of
Biodiesel Production from African Crude Palm Oil (ElaisguineensisJacq)
with High Concentration of Free Fatty Acids bya Two-Step
Transesterification Process. Open Journal of Ecology, 44 (2016). Halaman:
182-197.\
[19 ]Gabriel, Katia C. P. ., A.A. Chivanga Barros dan Maria Joana Neiva Correia.
Study of Molar Ratio in Biodiesel Production From palm Oil. International
Association for Management of Technology (2015).
[20 ]Mamilla, Venkata Ramesh, M.V. Mallikarjun dan Dr. G. Lakshmi Narayana
Rao. Biodiesel Production From Palm Oil by Transesterification Method.
International Journal of Current Research, 8 (2012). Halaman : 83-88.
[21] Ohimain, Elijah I., Sylvester C. Izah dan Amanda D. Fawari. Quality
Assessment of Crude Palm Oil Produced by Semi-Mechanized Processor in
Bayelsa State, Nigeria. Discourse Journal of Agriculture and Food Sciences,
11 (2013). Halaman : 171-181.
[22] Suppalakpanya, Kittiphoom, Sukritthira Ratanawilai, Ruamporn Nikhom and
Chakrit Tongurai. Production of Ethyl Ester from Crude Palm Oil by Two-
Step Reaction Using Continuous Microwave System. Songklanakarin Journal
of Science and Technology, 33 (2011). Halaman: 79-86.
[23] Man, Y.B. Che, T. Haryati, H.M. Ghazali and B.A. Asbi. Composition and
Thermal Profile of Crude Palm Oil and Its Products. JAOCS, 76 (1999).
Halaman: 237-242.
[24] Nasaruddin, Ricca Rahman, Md. Zahangir Alam, dan Mohammed Saedi
Jami, Evaluation Of Solvent System For The Enzymatic Synthesis Of
Ethanol-Based Biodiesel From Sludge Palm Oil (SPO), Bioresearch
Technology, 31 (2013). Halaman: 4966-4974.
[25 ] Guldhe, Abhishek, Bhaskar Singh, Taurai Mutanda, Kugen Permaul, dan
Faizal Bux, Advances In Synthesis Of Biodiesel Via Enzyme Catalysis:
Novel And Sustainable Approaches, Renewable and Sustainable Energy
Reviews, 4 (2015). Halaman : 1447–1464.
[26] K. Shahbaz, F.S. Mjalli, M.A. Hashim, I.M. AlNashef, Eutectic Solvents For
The Removal Of Residual Palm Oil-Based Biodiesel Catalyst, Separation and
Purification Technology, 81 (2011). Halaman : 216–222.
[27] K. Shahbaz, Saeid Baroutian, Farouq Sabri Mjalli, Mohd Ali Hashim, Inas
Muen AlNashef, Prediction Of Glycerol Removal From Biodiesel Using
Ammonium And Phosphunium Based Deep Eutectic Solvents Using
Artificial Intelligence Techniques, Chemometrics and Intelligent Laboratory
Systems 118 (2012). Halaman: 193–199.
[28] Samart, Chanatip., Chaiyan Chaiya, Prasert Reubroycharoen, Biodiesel
Production by Methanolysis of Soybean Oil Using Calcium Supported on
Mesoporous Silica Catalyst, Energy Conversion and Management, 51 (2010).
Halaman: 1428–1431.
[29] Guldhe, Abhishek, Bhaskar Singh, Taurai Mutanda, Kugen Permaul, dan
Faizal Bux, Advances In Synthesis Of Biodiesel Via Enzyme Catalysis :
Novel And Sustainable Approaches, Renewable and Sustainable Energy
Reviews, 4 (2015). Halaman: 1447–1464.
[30] István Barabás and Ioan-Adrian Todoruţ. Biodiesel Quality, Standards and
Properties. Technical University of Cluj-Napoca, Romania (2010).
[31] Luque, Rafael dan Juan Antonio Melero. Advances in Biodiesel Production
Process and Technologies. Cambridge : Woodhead Publishing Ltd. (2012).
[32] ASTM D 6751. Standard Specification for Biodiesel Fuel Blend Stock (B100)
for Middle Distillate Fuels (2009).
[33] EN 14214. Automotive Fuels-Fatty Acid Methyl Esters (FAME) for Diesel
Engines-Requirements and Test Methods. (2003).
[34] Pr EN 14214. Automotive Fuels-Fatty Acid Methyl Esters (FAME) for Diesel
Engines-Requirements and Test Methods. (2009).
[35] Andreani, L. and J. D. Rocha. Use of Ionic Liquids in Biodiesel Production :
A review. Brazilian Journal of Chemical Engineering, 29 (2012). Halaman :
1- 13.
[36] Reddy, Eragam Ramamohan, Mukesh Sharma, Jai Prakash Chaudary, Hetel
Bosamiya and Ramavatar Meena. One-pot Synthesis of Biodiesel from High
Fatty Acid Jatropha curcas Oil Using Bio-based Basic Ionic Liquid as A
Catalyst. Current Science, 106 (2014). Halaman : 1394-1400.
[37] Yuli Ristianingsih, Sutijan, Arief Budiman, Studi Kinetika Proses Kimia Dan
Fisika Penghilangan Getah Crude Palm Oil (CPO) Dengan Asam Fosfat,
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Gajah Mada, Jurnal
Penelitian, Vol 13 No. 4. (2011) Halaman : 242-247.
[38] Deny Sumarna, Keuntungan Proses Wet Degumming Dibanding Dry
Degumming pada Pemurnian Minyak Sawit Kasar, Program Studi Teknologi
Pertanian. Universitas Mulawarman, Samarinda, Jurnal Teknologi Pertanian,
ISSN 1858-2419, (2007). Vol 3 No.1.
[39] Lourinho, Goncalo, Paulo Brito, Advanced biodiesel production
technologies: Novel developments, Rev Environ Sci Biotechnol (2014).
[40] Ahmad Abbaszaadeh, Barat Ghobadian , Mohammad Reza Omidkhah,
Gholamhassan Najafi. Current biodiesel production technologies: A
comparative review. Energy Conversion and Management 63 (2012).
Halaman: 138 – 148.
[41 Putra, Rudy Syah, Tatang Shabur Julianto, Puji Hartono, Ratih Dyah
Puspitasari, dan Angga Kurniawan. 2014. “Pre-Treatment of Used Cooking
Oil As Feedstocks of Biodiesel Production by Using Activated Carbon and
Clay Minerals”. International Journal of Renewable EnergyDevelopment 3.
Halaman 33-35.
[42] Myers, Rusty L. The Basic Of physics. Greenwood Press : London (2006).
[43] Blanco, Antonio, Alicia García-Abuín, Diego Gómez-Díaz, and JoséM.
Navaza. Density, Speed of Sound, Viscosity, and Surface Tension of
Dimethylethylenediamine + Water and (Ethanolamine +
Dimethylethanolamine) + Water from T = (293.15 to 323.15) K. Journal J.
Chem. Eng. Data, 61 (2016). Halaman: 188–194.
[44] Agus, Rustam. Harga Jual CPO Turun Lebih dari 10%, Bisnis, 11 Mei 2015.
[45] Fitra, Safrezi. Mulai Maret 2015, Harga BBN Mengacu pada Biaya Produksi.
Katadata News & Research. 2 Maret 2015.
[46] G. Knothe, “Dependence of Biodiesel Fuel Properties on the Structure of
Fatty Acid Alkyl Esters”, Journal of Fuel Process Technol, 86: (2005)
Halaman 1059-1070.
[47] Kusmiyati and Agung Sugiharto. Production of Biodiesel from Oleic and
Methanol by Reactive Distillation. Bulletin of Chemical Reaction
Engineering & Catalysis, 5(1) : (2010). Halaman 1-6.
[48] Chuah, Lai Fatt, Suzana Yusup, Abdul Rashid Abd Aziz, Jirˇı´ Jaromı´r
Klemes, Awais Bokhari, dan Mohd Zamri Abdullah, “Influence of Fatty
Acids Content in Non-Edible Oil for Biodiesel Properties,” Clean Technology
Environ Policy, Springer, Berlin (2015).
[49] Duarte, Susan H., Francisco Maugeri, “Prediction of Quality Properties for
Biodiesel Production by Oleaginous Yeast Cultivated in Pure and Raw
Glycerol,”Chemical Engineering Transactions,Vol. 37, (2014).
[50] Sanford, Shannon D., James Matthew White, Parag S. Shah, Claudia Wee,
Marlen A. Valverde, and Glen R. Meier, “Feedstock and Biodiesel
Characteristics Report,”Renewable Energy Group Inc.(2009).
[51] Atadashi, I.M., M.K. Aroua, A.R. Abdul Aziz, N.M.N. Sulaiman, “The Effect
of Water on Biodiesel Production and Refining Technologies :
Review,”/Applied/Energy88 (2011): Halaman 4239-4251.
[52] Tan, Kok Tat, Keat Teong Lee, Abdul Rahman Mohamed, “Effects Of Free
Fatty Acids, Water Content And Co-Solvent On Biodiesel Production By
Supercritical Methanol Reaction,” School of Chemical Engineering,
Universiti Sains Malaysia.
[53] Madya, Prof., Dr. Noor Azian Morad, Prof.Madya Mustafa Kamal Abd Aziz,
Rohani Binti Mohd Zin, “Process Design In Degumming And Bleaching Of
Palm Oil,” Centre Of Lipids Engineering And Applied Research
(Clear)(2006),Universiti Teknologi Malaysia.
[54] Vyas, Amish P., Jaswant L. Verma, N. Subrahmanyam, “A review on FAME
production processes,”Fuel8 9 (2010): Halaman1-9.
[55] Chen, Guanyi., Rui Shan, Shangyao Li, dan Jiafu Shi. 2015. A Biomimetic
Silicification Approach to Synthesize Cao-SiO2 Catalyst for The
Transesterification of Palm Oil into Biodiesel. Fuel. Elsevier Ltd. ISSN:
0016- 2361(2010)
[56] Kheang, Loh Soh, Fueziah Subari, dan Sharifah Aishah Syed A Kadir. “Pre-
Treatment of Palm Oleic-Derived Used Frying Oil As A Feedstock for Non-
Food Applications”. Volume 23. Journal of Oil PalmResearch. (2011).
Halaman 1185-1192. Kuala Lumpur: Malaysian Palm Oil Board.
[57] Ali, Rehab, M., Mona M. Abd El Latif, dan Hasan A. Farag. 2015.
Preparation and Characterization of CaSO4-SiO2-CaO/SO42- Composite for
Biodiesel Production. American Journal of Applied Chemistry. Volume 3.
Halaman 38- 45. ISSN: 2330-8475.
[58] Darnoko, D and Cheryan, M, Kinetics of Palm Oil Transeterification in a
Batch Reactor, J. Am.Oil Chem.Soc., 77, (2000) Halaman: 1263-1267.
[59 ] Manurung, Renita “ Optimasi dan Kinetika Transesterifikasi Minyak Sawit
Menjadi Etil Ester”. Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas
Sumatera Utara, Medan. 2007.
[60] Khemthong, P., C. Luadthong, W. Nualpaeng, P. Changsuwan, P. Tongprem,
N. Viriya-empikul, dan K. Faungnawakij. Industrial Eggshell Wastes As The
Heterogeneous Catalysts for Microwave- Assisted Biodiesel Production.
Catalysis Today 190. Halamam 112-116. (2012). Elsevier B.V.
[61] Anastopoulos, G., G. S. Dodos, S. Kalligeros, dan F. Zannikos. CaO Loaded
with Sr(NO3)2 As A Heterogeneous Catalyst for Biodiesel Production from
Cottonseed Oil and Waste Frying Oil. Journal of Biomass Conv. Bioref.
Springer (2012).
[62] V. Minovska, E. Winkelhausen, and S. Kuzmanova. “Lipase Immobilized by
Different Techniques on Various Support Materials Applied in Oil
Hydrolysis”. Journal Serb Chemical Soc. Vol. 70, Issue 4, Halaman. 609 –
624. 2005.
[63] Sahirman, Suryani, A., Mangunjidjaja, D., Sukardi, & Sudrajat, R. Pengujian
sifat fisiko-kimia, kinerja dan pengaruh pada mesin terhadap biodiesel dari
minyak biji bintagur (Cailophylum inopylum). Prosiding Seminar Nasional
Hasil Penelitian. (2008). Halaman: 84-97. Bogor.
[64] Tazora, Zuhelmi, 2011. Peningkatan Mutu Biodiesel Dari Minyak Biji Karet
Melalui Pencampuran Dengan Biodiesel Dari Minyak Jarak Pagar. Fakultas
Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
[65] Saputra, Leo., Rakhmah, Noor., Pradita, Hapsari Tyas dan Sunardi. Produksi
Biodiesel dari Minyak Jelantah dengan Cangkang Bekicot (Achatina Fulica)
Sebagai Katalis Heterogen, Prestasi, Vol. 1 No. 2,( 2012) Halaman. 118-125,
[66] Santoso, Nidya., Pradana, Ferdy dan Rachimoellah. Pembuatan Biodiesel dari
Minyak Biji Kapuk Randu (Ceiba pentandra) melalui proses transesterifikasi
dengan menggunakan CaO sebagai Katalis, Institut Teknologi Sepuluh
Nopember (2012). Uprety, B. K., W. Chaiwong, C. Ewileke, dan S. K.
Rakshit. “Biodiesel Production Using Heterogeneous Catalysts Including
Wood Ash And The Importance of Enhancing Byproduct Glycerol Purity”.
Energy Conversion and Management.(2016). Elsevier Ltd. Halaman 191-199

Anda mungkin juga menyukai