Makalah Isbd SDD
Makalah Isbd SDD
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi nikmat, taufik,
hidayah serta inayah sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul “Manusia,
Moralitas, dan Hukum” dengan tiada halangan suatu apa pun.
Dalam kesempatan ini kami menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Bapak H. Hadi Maryono sebagai dosen pembimbing mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar.
2. Teman-teman dari kelas Pendidikan Sains B 2010 serta semua pihak yang telah membantu
kami.
Penulis telah berupaya semaksimal mungkin untuk menyusun makalah ini dengan sebaik-
baiknya, namun mungkin masih ada kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan dari semua pihak.
Akhirnya dengan tersusunnya makalah ini, semoga ada guna dan manfaatnya, khususnya
di dunia pendidikan dan masyarakat. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi dan memberkahi
hidup dan perjuangan kita, Amin.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
A. Kesimpulan ....................................................................................................................... 20
B. Saran ................................................................................................................................. 20
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hakikatnya manusia adalah makhluk moral. Untuk menjadi makhluk sosial yang
memiiki kepribadian baik serta bermoral tidak secara otomatis, perlu suatu usaha yang
disebut pendidikan. Menurut pandangan humanisme manusia memiliki kemampuan
untuk mengarahkan dirinya ketujuan yang positif dan rasional. Manusia dapat
mengarahkan, mengatur, dan mengontrol dirinya. Menurut Ki Hajar Dewantara,
pendidikan ialah upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin),
pikiran (intelek), dan jasmani (Slamet Sutrisno, 1983, 26). Perkembangan kepribadian
seseorang tidak lepas dari pengaruh lingkungan sosial budaya tempat tumbuh dan
berkembangnya seseorang (cultural backround of personality).
Setiap orang pasti akan selalu berusaha agar segala kebutuhan hidupnya dapat
terpenuhi dengan baik sehingga dapat mencapai kesejahteraan dalam hidupnya.
Kebutuhan hidup manusia selain ada kesamaan juga terdapat banyak perbedaan bahkan
bertentangan antara satu dengan yang lain. Agar dalam usaha atau perjuangan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya tidak terjadi tabrakan antara yang satu dengan yang lain
dalam masyarakat, maka diperlukan adanya suatu aturan, norma atau kaidah yang harus
dipatuhi oleh segenap warga masyarakat. Oleh sebab itu di negara Indonesia, kehidupan
manusia dalam bermasyarakat diatur oleh hukum juga diatur oleh norma-norma agama,
kesusilaan, dan kesopanan, serta kaidah-kaidah lainnya. Kaidah-kaidah sosial itu
mengikat dalam arti dipatuhi oleh anggota masyarakat di mana kaidah itu berlaku.
Hubungan antara hukum dan kaidah-kaidah sosial lainnya itu saling mengisi.
Di Indonesia sendiri, penegakan hukum selalu menjadi suatu kewajiban yang
mutlak harus diadakan dalam negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Kewajiban
tersebut bukan hanya dibebankan pada petugas resmi yang telah ditunjuk dan diangkat
oleh Pemerintah akan tetapi adalah juga merupakan kewajiban dari pada seluruh warga
masyarakat. Bukan merupakan rahasia umum lagi bahwa kadang-kadang terdapat noda
hitam dalam praktek penegakan hukum yang perlu untuk dibersihkan sehingga hukum
dan keadilan benar-benar dapat ditegakkan. Sebagai salah satu pilar yang sangat penting
dalam sistem ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), penyelesaian
berbagai permasalahan hukum yang dihadapi oleh bangsa Indonesia harus diakui tidak
dapat dilakukan dalam waktu singkat.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah hukum dan moralitas itu penting dalam kehidupan bermasyarakat?
2. Bagaimana moral sebagai sumber kebudayaan?
3. Bagaimana hubungan norma, etika, dan hukum dalam kehidupan bermasyarakat?
4. Bagaimana pelaksanaan hukum di Indonesia?
5. Apa saja hambatan-hambatan yang terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia?
C. Tujuan
1. Agar generasi muda sekarang tidak hanya cerdas namun juga memiliki moral yang baik
sehingga ilmu yang dimilikinya dapat disumbangkan untuk kemajuan bangsa dan budaya
Indonesia.
2. Mendidik generasi muda untuk menjadi manusia yang taat dengan nilai dan norma-norma
yang berlaku di negara Indonesia.
3. Mendidik generasi muda terutama mahasiswa dan mahasiswi UNESA untuk sadar hukum.
Dimana sebagai generasi muda mampu berpartisipasi dalam pelaksanaan hukum di
Indonesia dan mampu mengatasi hambatan-hambatan dalam penegakan hukum di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENTINGNYA MORAL DAN HUKUM
Manusia dan hukum adalah dua identitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan
dalam ilmu hukum, terdapat adagium yang terkenal yang berbunyi: “Ubi societas ibi jus”
(di mana ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap
pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka selalu akan
dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai “semen perekat” atas berbagai komponen
pembentuk dari masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai “semen perekat” tersebut
adalah hukum.Untuk mewujudkan keteraturan, maka mula-mula manusia membentuk
suatu struktur tatanan (organisasi) di antara dirinya yang dikenal dengan istilah tatanan
sosial (social order) yang bernama masyarakat. Guna membangun dan mempertahankan
tatanan sosial masyarakat yang teratur ini, maka manusia membutuhkan pranata pengatur
yang terdiri dari dua hal: aturan (hukum) dan si pengatur (kekuasaan).
Nilai moral dan hukum mempunyai keterkaitan yang sangat erat sekali. Nilai
dianggap penting oleh manusia itu harus jelas, harus semakin diyakini oleh individu dan
harus diaplikasikan dalam perbuatan. Moralitas diidentikan dengan perbuatan baik dan
perbuatan buruk(etika) yang mana cara mengukurannya adalah melalui nilai- nilai yang
terkandung dalam perbuatan tersebut.
Pada dasarnya nilai, moral, dan hukum mempunyai fungsi yaitu untuk melayani
manusia. pertama, berfungsi mengingatkan manusia untuk melakukan kebaikan demi diri
sendiri dan sesama sebagai bagian dari masyarakat. kedua,menarik perhatian pada
permaslahan-permasalahan moral yang kurang ditanggapi manusia. Ketiga, dapat
menjadi penarik perhatian manusia kepada gejala “Pembiasaan emosional”
Selain itu fungsi dari nilai, moral dan hukum yaitu dalam rangka untuk
pengendalian dan pengaturan. Pentingnya system hukum ialah sebagai perlindungan bagi
kepentingan-kepentingan yang telah dilindungi agama, kaidah kesusilaan dan kaidah
kesopanan karena belum cukup kuat untuk melindungi dan menjamin mengingat terdapat
kepentingan-kepentingan yang tidak teratur. Untuk melindungi lebih lanjut kepentingan
yang telah dilindungi kaidah-kaidah tadi maka diperlukanlah system hukum.
K. Bertens menyatakan ada setidaknya empat perbedaan antara hukum dan
moral, pertama, hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas (hukum lebih
dibukukan daripada moral), kedua, meski hukum dan moral mengatur tingkah laku
manusia, namun hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral
menyangkut juga sikap bathin seseorang, ketiga, sanksi yang berkaitan dengan hukum
berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas, keempat, hukum didasarkan
atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara sedangkan moralitas
didasarkan pada norma-norma moral yang melebihi para individu dan masyarakat.
2. Norma Kesusilaan
Adalah aturan hidup yang bersumber dari suara hati manusia tentang mana perbuatan yang baik
dan mana perbuatan tidak baik. Norma kesusilaan mendorong manusia untuk memiliki akhlak
mulia, dan sebaliknya bagi manusia yang melanggar norma kesusilaan dapat menyeret manusia
melakukan perbuatan yang nista. Sanksi terhadap norma kesusilaan berupa rasa penyesalan diri.
Contohnya adalah berlaku jujur, berbuat baik terhadap sesama, dan lain-lain.
3. Norma Kesopanan
Adalah aturan hidup bermasyarakat yang landasannya berupa kepatutan, kepantasan serta
kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Horma kesopanan sering disebut juga dengan tata krama.
Norma kesopanan ditunjukkan kepada sikap lahiriah setiap anggota masyarakat emi ketertiban
dan suasana keakraban dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Sanksi bagi yang melanggar
adalah celaan dari masyarakat. Contohnya adalah maka tidak boleh sambil bicara, orang muda
harus menghormati orang yang lebih tua, dan lain-lain
4. Norma Hukum
Norma hukum adalah seperangkat peraturan yang dibuat oleh negara atau badan yang
berwenang.norma hukum berisi perintah negara yang dilaksanakan dan larangan-larangan yang
tidak boleh dilakukan oleh warga negara.sifat dari norma ini adalah tegas dan memaksa.
Sifat ”memaksa” dengan sanksinya yang tegas inilah yang merupakan kelebihan dari norma
hukum,jika dibandingkan dengan norma-norma yang lainnya.demi tegaknya hukum,negara
mempunyai lembaga beserta aparat-apratnya di bidang penegakan hukum seperti polisi,jaksa,dan
hakim.bila seseorang melanggar hukum,ia akan menerima sanksinya berupa hukuman misalnya
hukuman mati,penjara,kurungan,dan denda. Contohnya adalah mematuhi rambu lalu lintas,
dilarang membunuh, dan lain-lain.
C.1.1. Hubungan Antar-Norma
Kehidupan manusia dalam bermasyarakat, selain diatur oleh hukum juga diatur oleh
norma-norma agama, kesusilaan, dan kesopanan, serta kaidah-kaidah lainnya. Kaidah-kaidah
sosial itu mengikat dalam arti dipatuhi oleh anggota masyarakat di mana kaidah itu berlaku.
Hubungan antara hukum dan kaidah-kaidah sosial lainnya itu saling mengisi. Artinya kaidah
sosial mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat dalam hal-hal hukum tidak mengaturnya.
Selain saling mengisi, juga saling memperkuat. Suatu kaidah hukum, misalnya “kamu tidak
boleh membunuh” diperkuat oleh kaidah sosial lainnya. Kaidah agama, kesusilaan, dan adat juga
berisi suruhan yang sama.
Dengan demikian, tanpa adanya kaidah hukum pun dalam masyarakat sudah ada larangan
untuk membunuh sesamanya. Hal yang sama juga berlaku untuk “pencurian”, “penipuan”, dan
lain-lain pelanggaran hukum. Hubungan antara norma agama, kesusilaan, kesopanan dan hukum
yang tidak dapat dipisahkan itu dibedakan karena masing-masing memiliki sumber yang
berlainan. Norma Agama sumbernya kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Norma
kesusilaan sumbernya suara hati (insan kamil). Norma kesopanan sumbernya keyakinan
masyarakat yang bersangkutan dan norma hukum sumbernya peraturan perundang – undangan.
Fungsi norma sosial di dalam kehidupan bermasyarakat adalah sebagai pedoman hidup
yang berlaku bagi semua anggota masyarakat pada wilayah tertentu; memberikan stabilitas dan
keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat; mengikat warga masyarakat, karena norma disertai
dengan sanksi dan aturan yang tegas bagi para pelanggarnya; menciptakan kondisi dan suasana
yang tertib dalam masyarakat; dan adanya sanksi yang tegas akan memberikan efek jera kepada
para pelanggarnya, sehingga tidak ingin mengulangi perbuatannya melanggar norma.
Berdasarkan kekuataan daya pengikatnya,norma-norma sosial dibagi menjadi tata cara
(usage), kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores), adat-istiadat(customs), dan hukum (laws).
a. Tata cara (usage)
Proses interaksi yang terus-menerus akan melahirkan pola-pola tertentu yang dinamakan
tata cara(usage). Tata cara merupakan norma yang menunjukan pada suatu bentuk perbuatan
dengan sanksinya ringan terhadap pelanggarnya dibandingkan norma lainnya. Misalnya, pada
waktu makan bersendawa atau mendecak, tidak mencuci tangan sebelum makan. Pelanggaran
terhadap norma ini tidak akan mengakibatkan sanksi berat, melainkan hanya sekedar celaan atau
dinyatakan tidak sopan oleh orang lain.
b. Kebiasaan (folkways)
Kebiasaan adalah perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama. Kebiasaan
memiliki kekuatan yang lebih besar daripada tata cara, misalnya memberikan salam pada waktu
bertemu, membungkukan badan sebagai tanda penghormatan kepada orang yang lebih tua.
Sanksinya yang akan diterima bagi pelanggarannya dapat berupa teguran, sindiran,
digunjingkan, dan dicemooh.
c. Tata Kelakuan (mores)
Tata kelakuan merupakan norma yang bersumber pada ajaran agama, filsafat, nilai
kebudayaan atau ideologi yang dianut oleh masyarakat. Tata kelakuan adalah aturan yang
berlandaskan pada apa yang baik dan seharusnya dilakukan manusia. Apabila orang melanggar
kebiasaan akan dianggap aneh, tetapi kalau melanggar tata kelakuan akan disebut jahat.
Contohnya adalah larangan berzinah, berjudi, minum-minuman keras ,penggunaan narkoba.
Pelanggaran terhadap tata kelakuan ini mengakibatkan sanksi yang berat, misalnya diusir dari
kampungnya sehingga mores juga disebut norma berat.
d. Adat – Istiadat (customs)
Adat istiadat merupakan norma yang tidak tertulis namun sangat kuat mengikatnya
sehingga anggota-anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat akan menderita yang
kadang-kadang secara tidak langsung dikenakan. Contohnya adat istiadat yang berlaku di
masyarakat lampung, seorang suami tidak boleh menceraikan istrinya apabila terjadi perceraian
maka tidak hanya bersangkutan yang tercemar namanya, tetapi seluruh keluarganya bahkan
sukunya. Sanksinya berupa pengucilan, dikeluarkan dari masyarakat/sukunya atau harus
memenuhi persyaratan tertentu, seperti upacara adat.
e. Hukum(laws)
Hukum merupakan norma yang bersifat formal,berupa aturan tertulis yang dibuat oleh
lembaga yang berwenang dan memiliki sanksi yang tegas dan memaksa.
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu ethos
sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat tinggal
yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara
berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan. Filsafat etika adalah salah satu cabang
filsafat yang mengkaji tentang hakikat baik buruk tingkah laku manusia. Oleh karena itu etika
diartikan filsafat tingkah laku atau lebih tepatnya ilmu yang membahas atau mempelajari
perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia.
Etika berupa aturan – aturan, misalnya etika pergaulan yaitu aturan bagaimana bergaul yang
baik, kode etik guru, kode etik dokter, kode etik jaksa, dan lain-lain. Tujuan untuk mempelajari
etika adalah Untuk mendapatkan konsep yang sama mengenai penilaian baik dan buruk bagi
semua manusia dalam ruang dan waktu tertentu.
Etika memberi pegangan atau orientasi dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Ini berarti tindakan manusia selalu mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapainya. Etika ada
dua yaitu etika deontologi dan etika teleologi. Etika deontologi menekankan manusia untuk
bertindak secara baiki. Suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasakan akibat
atau tujuan baik pada dirinya sendiri. Tindakan itu bernilai moral karena tindakan itu dilaksanakn
berdasarkann kewajiban yang memang harus dilaksanakan terlepas dari tujuan atau akibat dari
tindakan itu. Etika deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan baik dan watak yang kuat
dari pelaku. Kemauan baik harus dinilai baik pada dirinya sendiri terlepas dari apapun juga.n
maka, dalam menilai seluruh tindakan, kemauan baik harus selalu dinilai9 pertama dan menjadi
kondisi dari segalanya.
Etika teleologi mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang akan
dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan nakibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Suatu
tindakan dinilai baik, kalau bertujuan mencapai sesuatu yang baik, atau kalau akibat yang
ditimbulkannya baik dan berguna. Etika teleologi lebih situsional, karena tujuan dan akibat suatu
tindakan bisa sangat tergantung pada situasi khusus tertentu. Karena itu, setiap norma dan
kewajiban moral tidak bisa berlaku begitu saja dalam setiap situasi.
Etika secara umum dapat dibagi menjadi etika umum yang berisi prinsip serta moral dasar
dan etika khusus atau etika terapan yang berlaku khusus. Etika khusus ini masih dibagi lagi
menjadi etika individual dan etika sosial. Etika sosial ada enam yaitu sikap terhadap sesama;
etika keluarga; etika profesi misalnya untuk pustakawan; arsiparis; dokumentalis; pialang;
informasi; etika politik; etika lingkungan hidup; dan kritik ideologi.
Berbicara tentang Moralitas, mari kita lihat terlebih dahulu di dalam Kamus Bahasa
Indonesia apa definisi tentang moralitas, Moralitas berarti Budi Pekerti, Sopan Santun, Adat
Kesopanan. Sementara kata Moralitas, berasal dari kata “Moral” dan moral di dalam kamus
didefinisikan sebagai ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai budi
pekerti. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik
dan buruk (Bertens,2002:7). Jadi, jika kita berbicara tentang ”Moralitas atau Moral” pasti kita
merujuk kepada cara berfikir dan bertindak yang dilandasi oleh budi pekerti yang luhur. Istilah
moral juga biasanya dipergunakan untuk menentukan batas-batas suatu perbuatan, kelakuan, sifat
dan perangkai dinyatakan benar, salah, baik, buruk, layak atau tidak layak, patut maupun tidak
patut. Moralitas dapat berasal dari sumber tradisi atau adat, agama atau sebuah ideologi atau
gabungan dari beberapa sumber.
Masalah moral merupakan masalah kemanusiaan, jadi sudah sewajarnya apabila dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara masalah moralitas menjadi masalah penting
yang harus diperhatikan dalam rangka meningkatkan hubungan sosialnya dengan masyarakat
sekitar yang merupakan realitas kehidupan yang harus dihadapi. Pada tahap awal pembentukan
kepribadian misalnya, seorang bayi mulai mempelajari pola perilaku yang berlaku dalam
masyarakat dengan cara mengadakan hubungan dengan orang lain. Dalam hal ini pertama-tama
dengan orang tua dan saudara-saudaranya. Lambat laun setelah menjadi anak-anak dia mulai
membedakan dirinya dengan orang lain. Dia mulai menyadari perbuatan yang boleh dilakukan
dan yang tidak. Bila ia melakukan perbuatan yang benar dia akan disukai oleh lingkungan dan
bila berbuat salah dia akan ditegur. Tahap demi tahap seorang anak akan mempunyai konsep
tentang dirinya, kesadaran itu dapat diamati dari tingkah laku dalam interaksinya dengan
lingkungan. Maka dalam proses interaksi tersebut diperlukan nilai-nilai moral sebagai petunjuk
arah, cara berfikir, berperasaan dan bertindak serta panduan menentukan pilihan dan juga sebagai
sarana untuk menimbang penilaian masyarakat terhadap sebuah tindakan yang akan diambil, dan
nilai-nilai moralitas juga penting untuk menjaga rasa solidaritas di kalangan kelompok atau
masyarakat serta dapat menjadi benteng perlindungan atau penjaga stabilitas budaya kelompok
atau masyarakat tertentu.
Melihat kondisi penerus bangsa yang saat ini telah kacau balau. Dimana banyak
peristiwa yang menunjukkan sikap tidak bermoral seperti tindakan pencurian, pemerkosaan,
pemerasan dan perampokan yang hampir setiap hari mewarnai kehidupan di negara kita tercinta
ini. Belum lagi tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme yang membuat bangsa ini morat-marit
dengan segala permasalahanya baik dalam bidang keamanan, politik, ekonomi, sosial budaya
serta pendidikan banyak dilakukan oleh orang orang yang mempunyai latar belakang pendidikan
tinggi baik dalam negeri maupun luar negeri. Faktor-faktor yang mengakibatkan seseorang
menjadi tidak beramoral adalah:
Faktor pertama, yaitu pengajaran tentang moral yang terlambat. Pada dasarnya,
pendidikan moral harus diajarkan dan diterapkan mulai usia dini, karena potensi anak-anak yang
lebih mudah mencontoh suatu perilaku baik/buruk dibandingkan pada saat dewasa. Ketika
pendidikan moral dilakukan sejak usia dini, maka pendidikan moral tersebut akan menjadi
kerangka berpikir atau kebiasaan anak tersebut ketika beranjak dewasa.
Faktor kedua, yaitu proses transformasi pendidikan moral yang tidak diimbangi oleh
pendidik yang bermoralitas. Bagaimana seorang anak atau murid mampu menyerap dengan baik
pendidikan moral yang diajarkan oleh orang tua atau gurunya, jika pendidiknya sendiri tak
mampu menunjukkan perilaku yang bermoral. Ibarat peribahasa, buah jatuh tak jauh dari
pohonnya atau guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Seseorang akan mampu menyerap
dengan baik informasi yang diterimanya jika informasi tersebut berlangsung dikehidupan nyata.
Oleh sebab itu mengapa murid lebih suka melakukan praktek daripada hanya mendengarkan
teori-teori saja.
Faktor ketiga, yaitu kesadaran diri pada manusia itu sendiri. Pada dasarnya orang-orang
yang tidak/kurang bermoral bisa belajar untuk jadi bermoral jika orang tersebut memiliki
keinginan, kemauan, kesadaran dan harapan. Oleh sebab itu tidak ada salahnya, jika orang
tersebut dibekali oleh pendidikan agama (spiritual) dan contoh-contoh nyata perilaku yang
bermoral dari orang-orang disekitarnya.
D.1.1. Hubungan antara Hukum dan Moralitas
Dalam kehidupan bermasyarakat tidak akan terlepas dari ikatan nilai-nilai, baik nilai-
nilai agama, moral, hukum, keindahan, dan sebagainya. Hubungan antara hukum dan moralitas
sangat erat sekali. Tujuan hukum ialah mengatur tata tertib hidup bermasyarakat sesuai dengan
aturan hukum yang berlaku. Sedangkan moral bertujuan mengatur tingkah laku manusia sesuai
dengan tuntutan nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat. Hukum berisikan perintah dan
larangan agar manusia tidak melanggar aturan-aturan hukum baik yang tertulis maupun tidak
tertulis. Moral menuntut manusia untuk bertingkah laku baik dan tidak melanggar nilai-nilai
etika atau moral. Berbeda dengan hukum, maka hakikat moralitas pertama-tama terletak dalam
kegiatan batin manusia. Moral berkaitan dengan masalah perbuatan manusia, pikiran serta
pendirian tentang apa yang baik dan apa yang tidak baik, mengenai apa yang patut dan tida patut
untuk dilakukan seseorang. Dikatakan moralnya baik apabila sikap dan perbuatannya sesuai
dengan pedoman sebagaimana digariskan oleh ajaran Tuhan, hukum yang ditetapkan pemerintah
serta kepentingan umum. Pelanggaran terhadap norma hukum sekaligus juga melanggar norma
moral. Karena itu bagi pelanggar norma hukum akan mendapat dua sanksi sekaligus, yaitu sanksi
hukum dan sanksi moral. Sanksi hukum berupa hukuman sesuai dengan aturan-aturan yang
ditetapkan pemerintah. Sedangkan sanksi moral berupa: (1) sanksi dari Tuhan, (2) sanksi pada
diri sendiri, dan (3) sanksi yang berasal dari keluarga atau masyarakat.
D.2. Pelaksanaan Hukum serta Hambatan-Hambatannya.
Hukum adalah seperangkat norma tentang apa yang benar dan apa yang salah, yang
dibuat dan diakui eksistensinya oleh pemerintah yang dituangkan baik dalam aturan tertulis
(peraturan) maupun yang tidak tertulis yang mengikat dan sesuai dengan kebutuhan
masyarakatnya secara keseluruhan dan dengan ancaman sanksi bagi pelanggar aturan tersebut
(Achmad Ali). Hukum yang berlaku bagi suatu negara mencerminkan perpaduan antara sikap
dan pendapat pimpinan pemerintahan negara dan keinginan masyarakat luas mengenai hukum
tersebut. Letak perbedaan hukum dan moral, yaitu norma-norma moral itu berakar pada batin
manusia, sedangkan peraturan-peraturan hukum itu lain karena hukum positif mengendalikan
kemungkinan paksaan, ialah paksaan yang diatur dalam negara harus dilaksanakan. Sesuatu itu
hanya menurut hukum diwajibkan, karena hukum mengatakannya, dan hukum itu hanya
mengikat karena dibentuk dengan cara yang ditunjuk oleh Undang-Undang Dasar. Dan UUD itu
mengikat karena UUD itu merupakan kesepakatan seluruh rakyat dalam negara.
Hukum yang berlaku terdiri dari dan diwujudkan oleh aturan-aturan hukum yang saling
berhubungan, dan oleh karena itu keberadaannya merupakan suatu susunan atau tatanan sehingga
disebut tata hukum. Tata hukum di Indonesia ditetapkan oleh masyarakat hukum Indonesia atau
oleh negara Indonesia. Oleh sebab itu tata hukum Indonesia ada sejak Proklamasi Kemerdekaan,
yaitu tanggal 17 Agustus 1945. Hal ini berarti bahwa sejak saat itu bangsa Indonesia telah
mengambil keputusan untuk menentukan dan melaksanakan hukumnya sendiri, yaitu hukum
bangsa Indonesia dengan tata hukumnya yang baru ialah Tata Hukum Indonesia.
Dasar-dasar dan asas-asas tata hukum nasional sebagai berikut:
1. Dasar Pokok Hukum Nasional RI adalah Pancasila.
2. Hukum nasional bersifat: Pengayoman, Gotong royong, Kekeluargaan, Toleransi, Anti
kolonialisme, imperialisme, dan feodalisme.
Dengan adanya UU No. 10 Tahun 2004 Pasal 6, materi muatan peraturan perundanga-undangan
mengandung asas:
a. Pengayoman;
b. Kemanusiaan;
c. Kebangsaan;
d. Kekeluargaan;
e. Kenusantaraan;
f. Bhineka Tunggal Ika;
g. Keadilan;
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. Ketertiban dan kepastian hukum;
j. Keseimbangan, keserasian dan keselarasan.
3. Semua hukum sebanyak mungkin diberi bentuk tertulis.
4. Selain hukum tertulis diakui berlaku hukum tidak tertulis.
5. Hakim membimbing perkembangan hukum tak tertulis melalui yurisprudensi ke arah
keseragaman hukum yang seluas-luasnya dan dalam hukum kekeluargaan ke arah sistem
parental.
6. Hukum tertulis mengenai bidang-bidang hukum tertentu sedapat mungkin dihimpun dalam
bentuk kodifikasi (Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Dagang, Hukum Acara Perdata,
Hukum Acara Pidana, Hukum AcaraPeradilan Tata Usaha Negara).
7. Untuk membangun masyarakat sosialis Indonesia diusahakan unifikasi hukum.
8. Dalam perkara pidana:
a. Hakim berwenang sekaligus memutuskan aspek perdatanya baik karena jabatannya maupun
atas tuntutan pihak yang berkepentingan.
b. Hakim berwenang mengambil tindakan yang dipandang patut dan adil di samping atau tanpa
pidana.
9. Sifat pidana harus memberikan pendidikan kepada terhukum untuk menjadi warga yang
bermanfaat bagi masyarakat.
10. Dalam bidang hukum acara perdata diadakan jaminan supaya peradilan berjalan sederhana,
cepat, dan murah (Pasal 4 Ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004).
11. Dalam bidang hukum acara pidana diadakan ketentuan-ketentuan yang merupakan jaminan kuat
untuk mencegah:
a. Seseorang tanpa dasar hukum yang cukup kuat ditahan atau lebih lama dari yang diperlukan.
b. Penggeledahan, penyitaan, pembukaan surat-surat dilakukan sewenang-wenang.
Kendati jajaran kepolisian kian berbenah dengan semboyan profesionalisme dan melayani
kepentingan masyarakat, namun dalam prakteknya kerap terjadi distorsi kebijakan. Masyarakat
sering mempertanyakan eksistensi pihak kepolisian ini.
Pertama mengenai aspek kemaksimalan tugas, Kedua Sensitifitas problema/kriminalitas
masyarakat, Ketiga, Kejujuran dan Kenetralan Tugas. Badan (lembaga) yang seharusnya menjadi
pengayom masyarakat ternyata sekarang menjadi lembaga angker dan menakutkan.
2. Kejaksaan.
Tugas kejaksaan menurut Keputusan Presiden RI No. 86 Tahun 1999 pada Bab I Pasal 2,
yaitu: “Kejaksaan mempunyai tugas melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan
tugas-tugas lain berdasarkan peraturan perundang-undangan serta turut menyelenggarakan
sebagian tugas umum pemerintahan dan pembangunan di bidang hukum”.
Lembaga ini memiliki banyak masalah yang juga meresahkan masyarakat. Jaksa selaku
Penuntut Umum telah juga ternoda, karena ulah sebagian oknum jaksa nakal dan silau dengan
materi. Kenakalan jaksa tidak hanya dalam kasus-kasus yang telah dilimpahkan di Pengadilan.
Namun, kenakalan itu juga di luar Pengadilan. Misalnya, kasus-kasus yang masih dalam tahap
penyelidikan/penyidikan. Di tingkat penyelidikan atau penyidikan kerap terjadi penyalah-gunaan
wewenang. Tertuduh/tersangka atau keluarganya bisa saja melobi jaksa yang
menyelidik/menyidik kasusnya meminta kasusnya di-peti es-kan atau istilah formalnya SP3
(Surat Perintah Penghentian Penyelidikan).
3. Kehakiman.
Kekuasaan kehakiman dapat dilihat dalam UU Tentang Kekuasaan Kehakiman Bab III
Pasal 19. Sedangkan tugas pokok hakim yaitu: “Menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan perkara-perkara (melaksanakan persidangan)”.
Departemen kehakiman hingga kini belum mampu memberantas kenakalan para hakim di
seluruh negeri ini. Betapa tidak, sebenarnya munculnya cibiran tentang mafia peradilan lebih
ditujukan kepada para hakim. Kita tahu, wajah hukum negeri ini telah dicoreng dengan
banyaknya kasus-kasus yang terjadi karena praktik vonis yang tanpa dasar atau cenderung
menurut selera para hakim. Dari hari ke hari, Lembaga ini kerap ditunding melahirkan hakim
nakal. Putusan-putusan hakim sering mengusik hati nurani dan rasa keadilan masyarakat. Kita
tentu masih ingat misalnya Tommi Suharto yang seabrek-abrek kejahatannya, divonis hanya 15
tahun penjara. Anehnya, beberapa hari mendekam dipenjara, tanpa dasar dan alasan yang
rasional ia mendapatkan keringanan masa tahanan (remisi). Dan masih banyak lagi kasus-kasus
kelas kakap yang belum dapat dituntaskan pihak Kejaksaan. Sebenarnya, praktik mafia
peradilan tidak hanya ditujukan kepada dua lembaga tersebut, tapi juga dengan pengacara.
Sekarang ini, tugas pengacara banyak mengalami perubahan fungsi. Semula mendampingi klien
dan membelanya, baik di dalam maupun di luar Pengadilan (litigasi dan non litigasi). Kini, sudah
bergeser menjadi calo perkara dan pelobi atau makelar kasus. Meski tidak semua, namun
kebanyakan pengacara menangani perkara karena pertimbangan financial, sekalipun mereka
harus mematikan hati nurani. Ukuran keberhasilan (menang) suatu kasus bukan karena
kemampuan analisis cerdas pengacara dalam mengotopsi dan menggali dasar hukum kasus yang
sedang ditangani, melainkan berdasarkan kalkulasi seberapa banyak uang klien yang akan
disuguhi kepada hakim yang menangani suatu kasus.
D.2.2. Hambatan-hambatan Penegakan Hukum
Penegakan hukum adalah merupakan suatu kewajiban yang mutlak harus diadakan dalam
negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Kewajiban tersebut bukan hanya dibebankan pada
petugas resmi yang telah ditunjuk dan diangkat oleh Pemerintah akan tetapi adalah juga
merupakan kewajiban dari pada seluruh warga masyarakat. Bukan merupakan rahasia umum lagi
bahwa kadang-kadang terdapat noda hitam dalam praktek penegakan hukum yang perlu untuk
dibersihkan sehingga hukum dan keadilan benar-benar dapat ditegakkan. Sebagai salah satu pilar
yang sangat penting dalam sistem ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
penyelesaian berbagai permasalahan hukum yang dihadapi oleh bangsa Indonesia harus diakui
tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Hambatan-hambatan yang dihadapi antara lain:
1. Kurang optimalnya komitmen para pemegang fungsi pembentukan perundang-undangan dalam
mematuhi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan lemahnya koordinasi
antarinstansi/lembaga dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan karena masing-
masing mempunyai kepentingan (ego sektoral). Akibatnya, ketidakpastian dan penegakan
peraturan perundang-undangan lebih mengemuka dan pada akhirnya rakyatlah yang dirugikan
karena sangat bertentangan dengan tujuan untuk menciptakan ketertiban dan ketenteraman.
2. Kinerja lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum yang lain juga masih belum
memperlihatkan kinerja yang menggembirakan. Dapat dilihat dari banyaknya kasus yang
diputuskan oleh pengadilan yang bersifat kontroversial, yang bertentangan dengan moral dan
rasa keadilan masyarakat.
3. Kurangnya pengetahuan aparat penegak hukum terhadap perkembangan kejahatan yang
sifatnya sudah dalam lingkup kejahatan antarnegara (transnational crime) terutama mengenai
tindakan pencucian uang termasuk uang dari hasil korupsi.
4. Kurangnya tenaga perancang peraturan perundang-undangan (legal drafter)yang berkualitas
sehingga sering menimbulkan multiinterpretasi dalam penyusunan peraturan perundang-
undangan, baik di pusat maupun di daerah.
5. Upaya untuk meningkatkan kesadaran hukum dan pemahaman terhadap pelindungan dan
penghormatan HAM masih belum memberikan dampak yang menggembirakan dalam
masyarakat. Merupakan suatu kenyataan bahwa kegiatan penyuluhan hukum dan pemahaman
terhadap nilai-nilai HAM belum memengaruhi perilaku setiap anggota masyarakat dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
6. Rendahnya moral penegak hukum dan masyarakat di Indonesia. Menimbulkan berbagai kasus
dalam hukum seperti korupsi, mafia hukum, dan mafia pajak dimana kasus-kasus ini menyeret
para pejabat tinggi di pengadilan.
Berbagai upaya dan langkah telah dilakukan oleh Pemerintah untuk melakukan
pembenahan sistem dan politik hukum, di antaranya adalah (1) pengubahan serta penetapan
peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi, keperluan, dan perkembangan
dalam masyarakat, tidak diskriminasi, serta mempertimbangkan keadilan dan kesetaraan gender;
(2) pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum yang lain; (3) peningkatan
kemampuan profesional aparat hukum; (4) serta peningkatan kesadaran hukum dan HAM.
Namun, hasil-hasil pembenahan sistem dan politik hukum yang telah dicapai masih belum
menunjukkan kinerja yang memuaskan. Untuk mendorong kinerja pembangunan, pembenahan
sistem dan politik hukum diperlukan tindakan sebagai berikut.
Dalam rangka Perencanaan Hukum dan Pembentukan Hukum, hal yang penting untuk
dilakukan adalah membangun komitmen di antara lembaga pembentuk hukum untuk mematuhi
kesepakatan di dalam Prolegnas. Peran Prolegnas cukup penting dalam rangka menciptakan
koordinasi yang baik antara departemen/Lembaga Pemerintah Non-Departemen dan Badan
Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam rangka pembentukan undang-undang.
Selain itu, perlu dirumuskan dan disusun mekanisme yang lebih kuat dalam rangka pembentukan
undang-undang antara DPR dan Pemerintah sehingga dapat disusun penentuan kriteria yang jelas
dalam menetapkan prioritas RUU yang akan dibahas bersama antara DPR dan Pemerintah serta
menjadi jaminan bahwa RUU yang disepakati antara DPR dan Pemerintah tersebut akan benar-
benar dijalankan. Di samping itu, upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan terus-
menerus dilakukan berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 dengan tujuan untuk menciptakan
keserasian, harmoni, dan tidak tumpang tindih antara peraturan yang satu dan peraturan yang lain
yang juga harus diikuti dengan peningkatan kualitas tenaga perancang peraturan perundang-
undangan. Tersedianya peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat
merupakan landasan dan pedoman dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Diharapkan dengan adanya kebijakan satu pintu dari amanat undang-undang tersebut, produk
perundang-undangan yang akan dihasilkan tersebut benar-benar dapat mencerminkan kebutuhan
masyarakat, menjamin kepastian hukum, mampu memberi dukungan terhadap proses pemulihan
ekonomi, sosial, politik, dan keamanan, memberi pelindungan dan penghormatan terhadap
HAM, tidak diskriminatif, dan memberikan pelindungan terhadap hak perempuan dan anak.
Upaya pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum yang lain dalam
rangka penegakan supremasi hukum tidak akan tercapai tanpa didukung oleh lembaga peradilan
dan lembaga penegak hukum yang lain. Oleh karena itu, diperlukan serangkaian langkah untuk
meningkatkan peran lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum yang lain. Fungsi
pengawasan terhadap lembaga peradilan dan perilaku hakim terus menerus ditingkatkan melalui
pemberdayaan lembaga pengawasan yang telah ada terutama di lingkungan internal dalam
rangka meningkatkan fungsi pengawasan terhadap lembaga peradilan dan kinerjanya ataupun
lembaga yang sedang dalam proses pembentukan, antara lain dengan pembentukan Komisi
Yudisial dan Dewan Kehormatan Hakim. Demikian pula, di dalam upaya penegakan hukum dan
pemberantasan korupsi, berbagai upaya telah dilakukan antara lain penguatan terhadap peran
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002. Sementara itu,
koordinasi antarlembaga yang tugas dan fungsinya melakukan pemberantasan korupsi terus
ditingkatkan sehingga proses hukum penanganan perkara korupsi mulai dari tingkat penyidikan
sampai dengan penuntutan dapat dipercepat dan diselesaikan sampai kepada tindakan secara
hukum.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nilai moral dan hukum mempunyai keterkaitan yang sangat erat sekali. Pada dasarnya
nilai, moral, dan hukum mempunyai fungsi yaitu untuk melayani manusia. pertama, berfungsi
mengingatkan manusia untuk melakukan kebaikan demi diri sendiri dan sesama sebagai bagian
dari masyarakat. kedua, menarik perhatian pada permasalahan-permasalahan moral yang kurang
ditanggapi manusia. Ketiga, dapat menjadi penarik perhatian manusia kepada gejala
“Pembiasaan emosional”.
Nilai-nilai moral mengandung nasihat, wejangan, petuah, peraturan, dan perintah turun
temurun melalui suatu budaya tertentu. Sedangkan etika merupakan refleksi kritis dan rasional
mengenai nilai dan norma manusia yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan perilaku
hidup manusia. Karena etika dan moral saling mempengaruhi, maka keduanya tentu memiliki
hubungan yang erat dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Norma sebagai bentuk
perwujudan dari etika dan moral yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan hukum di Indonesia antara
lain: Kurang optimalnya komitmen para pemegang fungsi pembentukan perundang-undangan
dalam mematuhi Program Legislasi Nasional (Prolegnas), Lemahnya koordinasi
antarinstansi/lembaga dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, Kinerja
lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum yang masih belum memperlihatkan kinerja
yang menggembirakan. Kurangnya pengetahuan aparat penegak hukum terhadap perkembangan
kejahatan yang sifatnya sudah dalam lingkup kejahatan antarnegara (transnational crime)
terutama mengenai tindakan pencucian uang termasuk uang dari hasil korupsi. Kurangnya tenaga
perancang peraturan perundang-undangan (legal drafter) yang berkualitas. Upaya untuk
meningkatkan kesadaran hukum dan pemahaman terhadap pelindungan dan penghormatan HAM
masih belum memberikan dampak yang menggembirakan dalam masyarakat. Rendahnya moral
penegak hukum di Indonesia.
B. Saran
Dalam praktek ketatanegaraan Indonesia dewasa ini, telah banyak orang-orang intelektual
seperti para pejabat tinggi Indonesia saat ini. Namun ketika intelektual tersebut tidak diimbangi
dengan moralitas maka yang terjadi adalah banyaknya kasus-kasus beramoral seperti korupsi
yang menyeret mereka ke dalam pengadilan. Oleh sebab itu, kita sebagai penerus muda yang
akan menggantikan posisi pejabat tinggi Indonesia saat ini, sebaiknya mulai berbenah diri, tidak
hanya menuntut ilmu saja, namun juga harus diimbangi dengan pendidikan moral agar kelak kita
bisa menjadi pemimpin negara yang bermoral. Karena apa artinya hukum jika tidak disertai
moralitas. Hukum dapat memiliki kekuatan jika dijiwai oleh moralitas. Kualitas hukum terletak
pada bobot moral yang menjiwainya. Tanpa moralitas, hukum tampak kosong dan hampa.
EVALUASI
1. Sebutkan sikap mental negatif yang dapat menghambat pembangunan nasional?
2. Sebutkan jenis-jenis norma dalam kehidupan bermasyarakat?
3. Apa perbedaan antara etika dengan moral?
4. Bagaimana hubungan moralitas dengan hukum?
5. Sebutkan tiga hambatan penegakan hukum di Indonesia saat ini?
KUNCI JAWABAN
1. Sikap mental negatif yang dapat menghambat pembangunan nasional antara lain :
· Sifat mentalitas yang meremehkan mutu.
· Sifat mentalitas yang suka menerabas
· Sifat tak percaya diri sendiri.
· Sifat tak berdisiplin murni.
· Sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh.