Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN KASUS (CASE REPORT)

BLOK ELEKTIF

FAKTOR PENCETUS DERMATITIS ATOPIK PADA

GERIATRI DI PANTI WERDHA BUDI MULYA 1 CIPAYUNG

Disusun Oleh:

FANISA TRIA RANI

1102015069

Kelompok 3 Bidang Kepeminatan Geriatri

Dosen Pembimbing:

dr. Edward Syam, M.Kes

Dosen Pengampu

dr Faizal Drissa H, SpPD KHOM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI


JAKARTA
2019/2020
ABSTRAK

FAKTOR PENCETUS DERMATITIS ATOPIK

PADA GERIATRI DI PANTI WERDHA BUDI MULYA 1 CIPAYUNG

Latar Belakang : Jumlah lansia di Indonesia setiap tahun meningkat. Besarnya jumlah penduduk lansia menjadi
beban jika lansia memiliki masalah penurunan kesehatan, salah satunya yaitu penyakit kulit seperti dermatitis.
Dermatitis atopik jarang terjadi pada usia lanjut namun semakin bertambah jumlah kasusnya setiap tahun.

Presentasi kasus : Tn. F, 69 tahun, merupakan salah satu lansia yang tinggal di Panti Werdha Cipayung. Pasien
mengeluh gatal- gatal pada seluruh tubuh yang hilang timbul sejak 10 tahun yang lalu. Gatal muncul tanpa adanya
pencetus. Badan memerah saat gatal muncul, ketombe (-). Pasien meminum obat chlorfeniramin maleat (CTM)
dua kali sehari. Gatal hilang setelah meminum obat namun timbul akan timbul kembali. Pasien mandi lebih dari
tiga kali sehari jika gerah. Pasien tidak mempunyai alergi makanan dan makan makanan yang disediakan panti
tiga kali sehari. Pasien juga mengalami depresi tingkat sedang karena ditelantarkan keluarga. Pasien rutin
melakukan ibadah setiap minggu.

Simpulan : Penurunan fungsi sawar kulit, tingginya tingkat stres dapat menjadi faktor pencetus penyakit
dermatitis atopik pada lansia.

Kata Kunci : lansia, dermatitis atopik, sawar kulit, stres

ABSTRAC
INDUCING FACTORS OF GERIATRIC ATOPIC DERMATITIS

IN WERDHA BUDI MULYA 1 CIPAYUNG SOCIAL NURSING HOUSE

Backgrounds : The total of elderly in Iindonesia are increasing every year. The big amount of elderly citizens
could be a burden if they having a health problems, including dermatitis. Atopic dermatitis rarely happen in
geriartric but the cases are increasing evey year.

Case presentation : Mr. F, 69 years old, is one of elderlies that live in Werdha Cipayung Nursing House. He
has itching skin all over his body that keep coming back since 10 years ago. Itching appears without triggers.
There is a skin redness when the itch happening. The patient consumed chlorfeniramin maleat (CTM) twice a
day. The itching was gone after that, but appears after sometimes. The patient took a bath more than three times
a day if he feels hot. he do not have any food allergic and eat three times a day. The patient has a moderate level
depression due to being abandoned by his own family. He pray and do worship everyweek.

Conclusion : Epithelial Barrier Dysfunction and high stress level could be inducing factors of geriatric atopic
dermatitis.

Keywords : Elderly, atopic dermatitis, epithelial barrier, stress


PENDAHULUAN

Jumlah penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2017 diperkirakan terdapat 23,66 juta
jiwa penduduk lansia di Indonesia (9,03%). Diprediksi jumlah penduduk lansia tahun 2020
(27,08 juta), tahun 2025 (33,69 juta), tahun 2030 (40,95 juta) dan tahun 2035 (48,19 juta).
Besarnya jumlah penduduk lansia di Indonesia di masa depan membawa dampak positif
maupun negatif. Berdampak positif, apabila penduduk lansia berada dalam keadaan sehat, aktif
dan produktif. Disisi lain, besarnya jumlah penduduk lansia menjadi beban jika lansia memiliki
masalah penurunan kesehatan yang berakibat pada peningkatan biaya pelayanan kesehatan,
penurunan pendapatan/penghasilan, peningkatan disabilitas, tidak adanya dukungan sosial dan
lingkungan yang tidak ramah terhadap penduduk lansia. Di panti Werdha Budi Mulya sendiri
terdapat total 500 lansia yang terbagi dua antara wilayah cipayung dan ciracas. Sebagian besar
pasien adalah lansia yang tidak mempunyai tempat tinggal, atau ditelantarkan oleh
keluarganya.

Dermatitis merupakan kelainan kulit yang sering terjadi pada lansia. Penyakit ini dapat
dikategorikan dalam beberapa jenis menurut etiologinya, yaitu dermatitis kontak, seboroik,
asteatoksik dan atopik. Meskipun demikian, insiden dermatitis atopik pada pasien lansia sangat
sedikit dibanding dermatitis lain. Dermatitis atopik adalah peradangan kulit kronis dan residif
yang biasanya terjadi selama masa bayi dan anak, dan hanya terjadi 1-3% pada populasi dewasa
namun tingkat kejadiannya makin meninggi setiap tahun.

PRESENTASI KASUS

Identitas Pasien

Nama : Tn. F

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 69 tahun

Agama : Kristen

Status perkawinan : Duda

Pendidikan terakhir : S1
Pekerjaan terakhir : Petugas reboisasi di Kalimantan

Tanggal Kunjungan : 13 November 2019

Seorang laki-laki berusia 69 tahun bernama Tn. F, salah satu dari 250 lansia yang
tinggal di Panti Werdha. Tn. F mempunyai riwayat kaki bengkak hingga tidak bisa berjalan
sehingga diharuskan operasi dan mendapatkan perawatan di rumah sakit selama 2 bulan.
Selama di rumah sakit, tidak ada keluarga yang menjenguk. Setelah dibantu oleh salah satu
petugas sosial untuk pulang ke rumah, ternyata istrinya kabur dari rumah, serta rumahnya
diambil alih oleh salah satu kerabatnya yang tidak mengakui Tn. F sebagai keluarganya.
Sebulan kemudian Tn. F diantar pak RW ke Panti Werdha Budi Mulya sejak 2 tahun yang lalu.

Keluhan utama yang dirasakan Tn. F saat ini adalah gatal-gatal pada seluruh tubuh.
Gatal hilang timbul pada saat yang tidak menentu tanpa adanya pemicu dan terjadi sejak 10
tahun yang lalu, kulit memerah saat gatal. Tidak ditemukan adanya ketombe pada kepala,

Pasien diberikan terapi medikamentosa Chlorpheniramine (CTM) dua kali sehari serta
diberikan talc salisil. Pasien merasa gatal hilang setelah meminum obat, namun gatal akan
muncul lagi. Selain CTM, pasien mengkonsumsi amlodipin satu kali sehari untuk mengatasi
hipertensi, vitamin dua kali sehari, dan tablet kalsium 2 kali sehari. Pasien mandi dengan sabun
dua kali sehari namun akan mandi lebih dari 3 kali sehari apabila cuaca panas atau gerah.
Perawat menyarankan untuk menggunakan sabun bayi saat mandi. Pasien mengatakan rasa
gatal mereda setelah penggunaan sabun bayi.

Pasien tidak mempunyai pantangan atau alergi makanan dan makan tiga kali
sehari.Tn.F mempunyai riwayat konsumsi alkohol hampir 20 tahun, dan merokok sejak SMP.
Pasien mengatakan saat ini, ia sesekali merokok apabila ada uang. Riwayat keluarga Tn. F
yaitu ibu mengalami hipertensi dan ayah meinggal karena penyakit jantung. Pasien tidak ada
keluhan sesak nafas atau pusing kepala.

Tn.F juga mengalami depresi tingkat sedang. Tidur pasien tidak terganggu namun
terkadang sulit tidur karena memikirkan istri dan anak. Tidak ada dukungan dan kunjungan
dari keluarga. Aktivitas sehari-hari berjalan pagi, dan duduk-duduk. Pasien juga melakukan
kebaktian rutin setap minggu.

Tn.F mempunyai riwayat konsumsi alkohol hampir 20 tahun, dan merokok sejak SMP.
Pasien mengatakan saat ini, ia sesekali merokok apabila ada uang. Riwayat keluarga Tn. F
yaitu ibu mengalami hipertensi dan ayah meinggal karena penyakit jantung. Pasien tidak ada
keluhan sesak nafas atau pusing kepala.

DISKUSI

Dermatitis atopik (D.A.) adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif,disertai
gatal, yang umumnya sering terjadi selama masih bayi dan anak-anak. Kelainan kulitnya
berupa papul, gatal, yang kemudian mengalami ekskoriasi dan likenifikasi, distribusinya di
lipatan (fleksural).(Djuanda, 2007). D.A. paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan,
biasanya setelah usia 2 bulan. Sedangkan pada umumnya dermatitis atopik remaja atau dewasa
berlangsung lama, kemudian cenderung menurun dan membaik (sembuh) setelah usia 30 tahun,
jarang sampai usia pertengahan. Namun tidak menutup kemungkinan terjadinya dermatitis
atopik pada lansia. Faktor-faktor pencetus yang diduga turut berperan dalam terjadinya dan
perlangsungan dermatitis atopi, antara lain : penurunan fungsi sawar kulit, disfungsi sistem
imun, faktor genetik, faktor lingkungan, dan agen infeksi. Pada laporan kasus ini penulis ingin
menngetahui kemungkinan faktor penyebab terjadinya dermatitis atopik pada lansia.

Prevalensi DA secara umum berkisar antara 10-20% pada anak, sedangkan 1-3% pada
populasi dewasa. DA merupakan hasil perpaduan faktor genetik respons imun kulit, respons
imun sistemik, dan faktor pemicu. Kromosom tertentu pada penderita DA (diduga kromosom
5q31-33) menentukan ekspresi sitokin, yaitu IL-3, IL-4, IL-13, dan GM-CSF yang memegang
peran penting dalam manifestasi klinis DA. Respons imun kulit penderita DA juga berbeda di-
bandingkan kulit normal. Jumlah T-helper 2 di kulit penderita DA lebih banyak dibandingkan
kulit orang normal. Sel Langerhans penderita DA juga dapat menstimulasi sel T-helper tanpa
adanya antigen, sehingga peradangan mudah terjadi. Selain respon lokal di kulit. Respons
sistemik DA berbeda dengan orang tanpa atopi. Pada penderita DA, sel mononuklearnya
menurun. Dengan jumlah IgE serum meningkat.

Penyebab pasti dermatitis atopik belum dapat dipastikan, namun terdapat beberapa
faktor- faktor pencetus yang memicu terjadinya dermatitis atopik. Penyakit ini disebabkan
interaksi kompleks berbagai faktor seperti disfungsi sawar kulit , genetik, sistem imun,
pencetus alergen dan non alergen, serta stres.

Penurunan fungsi sawar kulit merupakan salah satu faktor pencetus terjadinya
dermatitis atopik. Pada dermatitis atopik kulit menjadi kering. Hal ini berhubungan dengan
disfungsi permeabilitas sawar epidermis yaitu hilangnya fungsi mutasi gen filaggrin (FLG).
Gen ini mengkode protein profilargin sebagai prekusor struktur protein FLG pada diferensiasi
kompleks epidermal. FLG terekspresi pada granula keratohialin selama diferensiasi terminal
epidermis. Setelah keratinosit menjadi padat, protein FLG melepaskan natural moisturizing
factor (NMF). Jika NMF tidak terbentuk, maka kulit menjadi kering. Kondisi kulit kering
sebenarnya banyak terjadi pada bayi dan anak- anak sebagai bagian dari fisiologis kulit normal
yang terjadi sebelum pubertas. Disfungsi sawar pada kulit kering menyebabkan masuknya
alergen, iritan dan patogen, yang menjadi penyebab terbesar terjadinya DA pada anak- anak.

Gambar 1. Proses dan fungsi filaggrin pada epidermis. Sumber: Pandalake T. A, Herry E.
Pandalake. 2014.

Menua atau aging yaitu suatu proses yang mengubah seorang dewasa menjadi seorang
yang lemah, rentan, dengan berkurangnya sebagian besar cadangan sistem fisiologis dan
meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit. (Amin Z dkk, 2009). Saat terjadinya
proses penuaan, fungsi sawar kulit juga menurun sehingga menyebabkan tubuh menjadi lebih
rentan terhadap pajanan. Pada kasus ini pasien sudah berusia 69 tahun yang sudah mengalami
proses penuaan. Sehingga pada pasien mungkin sudah mengalami penurunan fungsi kulit,
sehingga lebih mudah terkena dermatitis atopik. Pemakaian sabun yang tidak sesuai pH juga
dapat menyebabkan kulit kering. Kebiasaan pasien yang terkadang mandi lebih dari 3 kali
sehari mungkin dapat memperburuk faktor tersebut.

Dalam penelitian terbaru, stres dapat menyebabkan rusaknya fungsi sawar kulit dan
memicu terjadinya respon alergi atau Th2. Pada saat stres, saraf sensoris melepaskan
neuromediator yang meregulasi inflamasi dan respon imun seperti pada penurunan fungsi
sawar kulit. Respon hypothalamus-pituitary-adrenal axis (HPA) pada sistem saraf pusat akan
berespon terhadap stres psikologis dengan meningkatkan regulasi hormon stres corticotrophin-
releasing hormone (CRH) dan adrenocorticotropic hormone (ACTH). CRH dan ACTH
menstimulasi norepinefrin (NE) dan pelepasan kortisol dari kelenjar adrenal, serta langsung
menstimulasi sel imun dalam darah dan perifer melalui masing- masing reseptor. Akibatnya
terjadi umpan balik negatif dari kortisol pada CRH dan ACTH, kemudian hipotalamus dan
hipofisis. Produksi serotonin pada batang otak (5HT) meningkat. Substansi P (SP), gastrin-
releasing peptide (GRP), dan calcitonin gene related peptide (CGRP) pada ganglia spinalis
dorsalis juga meningkat. Pada kulit, sel-sel imun melepaskan sitokin, kemokin, dan
neuropeptida, yang memodulasi respon inflamasi lokal.

Selain itu, saraf sensoris melepaskan neuromediator yang memodulasi inflamasi kulit,
nyeri, dan gatal, serta mengirimkan rangsangan sensorik melalui ganglia spinalis dorsalis dan
medula spinalis ke area tertentu dari sistem saraf pusat. Sel mast kulit berhubungan erat dengan
substansi P (SP), CGRP, pituitary adenylate cyclase-activating protein (PACAP), dan opioid
releasing neurons. Kesemuanya akan memicu sintesis dan sekresi mediator inflamasi sebagai
respon terhadap berbagai rangsangan fisik dan biokimia. Produksi lokal dari neurohormon dan
neuropeptida dengan serabut saraf SP terjadi pada kulit sebagai respon terhadap stres.

Depresi yang dialami pasien mungkin juga merupakan salah satu faktor timbulnya
penyakit tersebut. Hal ini sesuai dengan penilitian yang dilakukan di Surakarta pada remaja
smp, yang dalam penelitiannya menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara stres terhadap
terjadinya peningkatan risiko terjadinya dermatitis atopik

Faktor alergi dan iritan dapat terjadi pada dermatitis atopik. Makanan seperti telur, susu,
gandum, kacang, kedelai, dapat memicu terjadinya dermatitis atopik. Golongan makanan yang
paling sering menimbulkan alergi yaitu susu sapi, susu kambing, telur, kacang kacangan, ikan
laut, kacang kedele serta gandum. Pada kasus Tn. F, tidak ada pantangan makan untuk pasien,
sehingga makanan yang disediakan dari panti mungkin berisikan komponen tersebut. Namun
alergi makanan biasanya lebih tinggi terjadi pada anak-anak. Pada geriatri alergi makanan tidak
mempunyai peran besar sebagai faktor penyebab penyakit ini.

Faktor pencetus selanjutnya yaitu faktor genetik dan sistem imun. Bila salah satu orang
tua memiliki riwayat DA, maka insiden terkena DA menjadi dua kali lipat pada anaknya.
Insiden ini menjadi tiga kali lipat bila riwayat DA ditemukan pada kedua orang tua. Namun
pada kasus di lapangan, tidak terdapat riwayat keluarga yang mengalami penyakit yang sama.

Dalam pandangan islam, menjaga kebersihan agar terhindar dari penyakit kulit telah
dijelaskan dalam Alquran surat Al Maidah ayat 6:

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu
tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah
mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia
hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu
bersyukur." (QS. Al-Maidah : 6)
Sebagai muslim sebaiknya mejaga kebersihan badan dan kulit seperti yang
diperintahkan oleh Allah SWT. dengan cara mandi dan berwudhu karena kebersihan itu
sebagian dari iman.

SIMPULAN
Penurunan fungsi sawar kulit dan tingginya tingkat stres dapat menjadi faktor pencetus
terjadinya dermatitis atopik pada geriatri.
Disarankan bagi pasien untuk menjaga kelembapan kulit, menjaga kebersihan badan,
serta mendekatkan diri pada tuhan.
UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Panti Werdha Budi Mulya 1 Cipayung yang
telah memberikan kesempatan untuk berkunjung guna mengumpulkan data dan informasi.
Penulis juga berterima kasih kepada Ibu Mini selaku penanggung jawab Wisma Flamboyan,
dan kakek- kakek Panti Werdha yang bersedia kami wawancara. Terima kasih kepada teman-
teman kelompok kepeminatan geriatri dan Universitas Yarsi sehingga laporan kasus dapat
berjalan dengan lancar.

DAFTAR PUSTAKA

Al Quran dan terjemahannya.

Adhi, Djuanda. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi V. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Darmojo R.B. 2006. Buku Ajar Geriatri: Problema Dermatologik pada usia lanjut. p 467.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Irawan Y, Dkk. 2016. Atopic Dermatitis In Elderly. JDVI. Vol 1, No 2. June.

Lufita L. 2015. Hubungan Stress Terhadap Peningkatan Resiko Dermatitis Atopik pada
Remaja SMPN Surakarta. UMS.

Pandalake T. A, Herry E. Pandalake. 2014. Etiopatogenesis Dermatitis Atopic. Journal


Biomedik: JBM Vol 6, No.2.

PUSDATIN. 2017. Analisis Lansia Di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2017.

Tanei, R. 2009. Atopic Dermatitits In The Elderly. PubMed. 398-404. August.

Thaha M Athuf. 2015. Faktor Resiko Dermatitis Atopik. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan.
Vol 2, No 1, hal 61-67. Januari.

Wolff, K. Richard A Johnson. 2009. Fitzpatrick’s Color Atlas & Syponsis of Clinical
Dermatology. Ed VI. The McGrow Hill Companies.

Anda mungkin juga menyukai