Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PRAKTIKUM PERANGKAP LALAT BUAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pengendalian Hama
Terpadu yang Diampu Oleh Bapak Sugiarto, Ir., H.MM)

Disusun Oleh:
Kelompok VII
Acep Munawar 1610631090002
Dava Swa Sambayu 1610631090041
Dicky Mulyana 1610631090053
Nurul Luthfiah 1610631090117
Siti Nurhaeni 1610631090141
Kelas 7A

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG
KARAWANG
2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadiratNya yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayahNya kepada kita semua sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas yang berjudul “Laporan Praktikum Perangkap
Lalat Buah”. Laporan praktikum ini diajukan guna memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Pengendalian Hama Terpadu.
Laporan praktikum ini telah kami susun dengan maksimal, terlepas dari
semua ini kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasa. Oleh karena itu, kami mengharapkan
saran dan kritik yang bersifat membangun, untuk dijadikan evaluasi bagi kami
sebagai penyusun dalam pembuatan laporan praktikum selanjutnya.
Semoga laporan praktikum ini dapat memberikan informasi bagi pembaca
dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu
pengetahuan bagi kita semua.

Karawang, November 2019

Penyusun
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Buah merupakan salah satu jenis hortikultura yang dapat digunakan sebagai
pemenuh kebutuhan vitamin dan karbohidrat bagi tubuh. Selain itu buah juga bisa
menjadi sumber pendapatan, serta menyerap tenaga kerja bila diusahakan secara
intensif. Seiring bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya daya beli
masyarakat, maka pola konsumsi masyarakat dalam mengonsumsi buah pun
meningkat, sehingga menyebabkan permintaan akan buah-buahan terus meningkat
(Setiawan, 2017).
Buah-buahan merupakan salah satu komoditas yang prospektif karena dari
tahun ke tahun produksinya terus meningkat. Tetapi ada beberapa kendala atau
permasalahan yang sering terjadi dalam meningkatkan produksi buah tersebut
yaitu seperti ketersediaan mutu. Karena buah merupakan komoditi pertanian yang
mudah rusak maka buah mudah diserang oleh Organisme Pengganggu Tanaman
salah satunya adalah hama lalat buah.
Lalat buah merupakan salah satu hama utama yang menyerang berbagai
buah di Indonesia. Hama ini dapat menurunakan produksi buah baik dari segi
kuantitas maupun kualitas. Kerusakan akibat serangan hama lalat buah dapat
menyebabkan kehilangan hasil panen sampai 80% (Syahfari dan Mujiyanto,
2013). Muryati et al (2008) menyakatakan bahwa buah-buahan ekspor yang
terkena infeksi hama sering tidak diterima di pasar luar negeri karena adanya
kekhawatiran akan menyebarkan hama tersebut ke Negara tujuan ekspor. Lalat
buah umumnya menyerang buah-buahan lebih dari 20 jenis buah, diantaranya
seperti jambu air, jeruk, papaya, belimbing, alpukat, nangka dan mangga.
Serangan hama lalat buah ini sangat mengganggu petani dan pengusaha
buah-buahan. Lalat buah bertelur didalam buah dan larva yang menetes dari telur
tersebut akan merusak daging buah, sehingga buah akan menjadi busuk dan
gugur. Konsumen sering kecewa apabila buah yang mereka beli mengandung
larva atau busuk. Hal ini dapat menurunkan daya saing komoditas hortikultura
Indonesia di pasar global (Syahfari dan Mujiyanto, 2013).
Ketersediaan berbagai tanaman buah merupakan kondisi yang baik bagi
perkembangan hama lalat buah. Oleh karena itu diperlukan usaha untuk
mengendalikannya. Kebutuhan terhadap teknik pengendalian yang ramah
lingkungan sangat diperlukan, terutama yang efektif dan efisien serta mudah
diperoleh oleh petani dalam operasionalnya di lapangan. Contohnya adalah
dengan penggunaan perangkap pengendalian lalat buah menggunakan Petrogenol.
Petrogenol adalah atraktan dengan bahan aktif metil eugenol 800 g/l yang
berfungsi untuk menarik lalat buah jantan masuk ke dalam perangkap. Metil
eugenol ini mengeluarkan aroma wangi yang menarik lalat buah jantan, sehingga
lalat buah jantan dari jarak 20-100 m dan jika dibantu angin jangkauannya dapat
mencapai 3 km akan tertarik masuk perangkap (Manurung dan Ginting, 2010).
Apabila populasi lalat buah jantan dapat ditekan maka reproduksi lalat buah
betina akan menurun sehingga dapat menurunkan populasi lalat buah pada
tanaman buah-buahan.

1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum pembuatan perangkap lalat buah ini yaitu sebagai
berikut:
1. Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengendalian Hama Terpadu
2. Untuk mengetahui cara pembuatan perangkap lalat buah
3. Untuk mengetahui populasi lalat buah selama 9 hari
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Feromon
Istilah feromon pertama kali digunakan oleh Karlson dan Luscher (1959).
Feromon berasal dari bahasa Yunani yakni pherein yang berarti membawa dan
hormone yang berarti membangkitkan gairah. Feromon diproduksi oleh kelenjar-
kelenjar eksokrin dan termasuk golongan semiochemical (Semeon dalam bahasa
Yunani berarti suatu signal) atau signal kimia. Signal kimia dibagi menjadi dua,
yaitu feromon dan allelokimia atau substansi kimia yang dilepaskan oleh suatu
organisme ke lingkungannya yang menyebabkan organisme tersebut dapat
berkomunikasi secara interspesifik.
Feromon awalnya disebut ektohormon karena dikeluarkan oleh kelenjar dan
memiliki pengaruh fisiologi seperti hormon. Istilah tersebut bersifat kontradiksi
dengan feromon, karena hormon adalah substansi yang dikeluarkan secara internal
untuk mempengaruhi organisme lain, sedangkan feromon dikeluarkan secara
eksternal untuk bisa mempengaruhi serangga lain. Feromon terdiri atas asam-
asam lemak tak jenuh. Senyawa kimia dengan berat molekul rendah seperti ester,
alkohol, aldehida, keton, epoxide, lactone, hidrokarbon, terpen dan sesquiterpene
adalah komponen umum dalam feromon (Roelofs, 1978)
Feromon dapat mengontrol hama tanpa menggunakan pestisida. Feromon
juga dapat menjaga populasi hama-hama dibawah tingkat yang tidak
mengganggu. Sejumlah kecil feromon dapat digunakan sebagai penarik seks (sexs
attractant) serangga jantan, sehingga serangga jantan akan terjebak dan dapat
dimatikan. Tanpa serangga jantan maka serangga betina tidak dapat berkembang
biak. Feromon dalam jumlah yang sangat kecil dapat menimbulkan rangsangan
yang diinginkan. Seekor serangga betina yang hanya mengeluarkan 8-10 gram
feromon dapat menarik lebih dari satu miliyar serangga jantan yang bermil-mil
jauhnya. Oleh karena itu serangga jantan dapat diumpan dengan suatu feromon
penarik seks, dijebak, dan kemudian disterilkan atau dimatikan. Apabila hanya
disterilkan, serangga jantan dilepas dan bergaul dengan serangga betina tidak akan
dapat berkembang biak.
Senyawa feromon dapat bertindak sebagai zat pemikat baik pada manusia
maupun hewan. Sifat feromon pemikat pada serangga inilah yang kemudian
dijadikan oleh para ahli untuk membuat feromon pemikat buatan atau sintetis
dalam mengendalikan serangga tanaman. Teknologi pengendalian hama serangga
dengan menggunakan feromon pemikat ini cukup ramah lingkungan dibandingkan
teknik penyemprotan dengan insektisida. Dengan teknologi perangkap yang
menggunakan feromon pemikat ini, residu akibat penyemprot serangga bisa
dihilangkan. Untuk membuat alat penjebak atau perangkap serangga yang
memanfaatkan feromon pemikat sintetis ini cukup mudah. Salah satu feromon
sintetis yang digunakan untuk mengendalikan hama lalat buah yang membuat
busuk buah pada banyak jenis tanaman adalah petrogenol.
Petrogenol adalah atraktan dengan bahan aktif metil eugenol 800 g/l yang
berfungsi untuk menarik lalat buah jantan masuk ke dalam perangkap. Metil
eugenol ini mengeluarkan aroma wangi yang dibutuhkan lalat buah jantan,
sehingga lalat buah jantan dari jarak 20-100 m dan jika dibantu angin
jangkauannya dapat mencapai 3 km akan tertarik masuk perangkap (Manurung
dan Ginting, 2010).
Ekstrak feromon kasar dapat diperoleh dengan mengekstak seluruh tubuh
serangga atau hanya kelenjar-kelenjar yang mengandung feromon saja seperti di
ujung abdomen untuk serangga dari Ordo Lepidoptera atau usus bagian belakang
dari kumbang kulit kayu (bark beetle) (Ordo Coleoptera). Serangga dari Ordo
Lepidoptera, feromon diekstrak menggunakan metil klorida. Ekstrak tersebut
dapat dianalisis dengan menggunakan gas-liquid chromatography (Roelofs, 1995).
Feromon sudah diidentifikasi pada lebih dari 1600 spesies serangga yang
mewakili lebih dari 90 famili dan 9 ordo. Feromon serangga pertama yang
diisolasi pada pertengahan tahun 1950-an adalah dari serangga Bombyx mori
(ngengat sutera). Feromon tersebut diberi nama bombykol dan dihasilkan dari
300.000 ngengat sutera. Dari jumlah tersebut hanya 5.3 mg bahan aktif yang
diperoleh (Nation. 2002).
2.1.1. Klasifikasi Feromon
Feromon terbagi menjadi dua kelompok yaitu:
1. Feromon Primer
Feromon ini dapat mempengaruhi fisiologi serangga. Feromon primer
umumnya terdapat pada serangga sosial dan belum banyak dipelajari karena
sulitnya mengisolasi feromon tersebut.
2. Feromon Releaser
Feromon ini dapat mempengaruhi tingkah laku serangga dari spesies yang
sama. Feromon releaser dikelompokkan berdasarkan fungsi atau tingkah laku
yang ditunjukkan oleh penerima yakni sebagai berikut :
a. Feromon Sex
Feromon ini dapat dihasilkan oleh jantan atau betina untuk proses
kawin. Pada jumlah serangga dalam rangka proses kawin maka feromon
sex dapat dihasilkan oleh kedua serangga (jantan dan betina) (Klowden,
2002). Feromon sex sintetik sudah banyak diproduksi dan merupakan
salah satu produk penting dalam pengendalian hama (Nation, 2002).
b. Feromon Agregasi
Feromon agregasi adalah feromon yang dikeluarkan untuk menarik
serangga jantan maupun betina untuk berkelompok. Feromon ini juga
dapat meningkatkan kemungkinan kopulasi di dalam populasi tersebut.
Feromon agregasi biasanya diproduksi oleh serangga-serangga dari Ordo
Coleoptera untuk mempertahankan diri terhadap serangan predator dan
untuk mengatasi resistensi tanaman inang terhadap serangan kumbang
tersebut. Contoh, serangga betina kumbang kulit kayu pada saat mengetam
masuk ke dalam pohon mengeluarkan feromon agregasi dan bersama-sama
dengan terpene yang dihasilkan oleh pohon tersebut dapa menarik
serangga jantan maupun betina. Kehadiran sejumlah serangga dapat
mengatasi pertahanan dari pohon atau tanaman tersebut. (Klowden, 2002).
c. Feromon Alarm
Feromon ini umumnya dihasilkan oleh serangga-serangga sosial.
Feromon alarm dikeluarkan sebagai peringatan terhadap sesamanya pada
saat ada ancaman atau bahaya dan untuk membentuk pertahanan koloni.
d. Feromon Pengikut Jejak dan Distribusi
Feromon ini terdapat pada serangga-serangga sosial seperti semut,
rayap, dan lebah. Contoh, semut sudah membangun mekanisme yang
sangat sensitif untuk mengikuti jejak sesamanya guna mendapatkan
sumber makanan. Pada saat makanan semakin berkurang maka feromon
jejak juga akan berkurang. Feromon jejak menguap dengan cepat sehingga
semut lain tidak lagi menuju ke tempat tersebut ketika sumber makanan
semakin berkurang. Dengan demikian feromon tersebut tidak akan
mengganggu semut untuk mendeteksi signal dari semut lain dari sumber
makanan yang lain (Klowden, 2002).
e. Feromon Penanda Lokasi
Feromon ini dikeluarkan oleh serangga tertentu untuk menjaga
kepadatan populasi individu agar tidak melampaui kapasitas tampung.
Contoh, kumbang kulit kayu pada saat mengeluarkan feromon agregasi
maka jantan dan betina akan berkumpul. Untuk menghindari kelebihan
populasi maka serangga mengeluarkan feromon penanda lokasi atau
disebut juga feromon epideistic.
Feromon yang dihasilkan oleh suatu serangga dapat memiliki lebih dari
satu fungsi, tergantung pada konteks tingkah laku dan lingkungan. Feromon
dengan multifungsi disebut feromon parsimony. Contoh, suatu feromon sex yang
dihasilkan oleh ratu lebah madu (Apis mellifera) dapat berfungsi menarik pekerja
untuk bergerombol mengelilinginya dan mempengaruhi jantan untuk kawin tetapi
hanya pada saat feromon tersebut dibebaskan beberapa meter diatas udara sebagai
jarak normal bagi lebah madu untuk kawin (Gary, 1962 dalam Nation, 2002).

2.1.2. Deteksi Feromon Oleh Serangga


Feromon secara umum dideteksi oleh penerima bau yang berlokasi di
antena. Penerima feromon sex di antena terdiri dari satu atau dua sel saraf
dibungkus dalam sebuah seta atau rambut halus pada antena, keseluruhan struktur
tersebut disebut sensillum. Keberhasilan penggunaan feromon dipengaruhi oleh
kepekaan penerima, jumlah dan bahan kimia yang dihasilkan dan dibebaskan per
satuan waktu, penguapan bahan kimia, kecepatan angin dan temperature (Alouw,
2007).

2.2. Lalat Buah


Lalat buah merupakan salah satu hama yang paling merugikan dalam
budidaya tanaman buah-buahan maupun sayuran di dunia. Hama ini merugikan
karena menyerang langsung produk pertanian seperti buah. Di Indonesia kerugian
paling besar akibat lalat buah ini pada tahun 2004 adalah ditolaknya komoditas
pertanian, seperti cabai, tomat dan paprika di pasar Taiwan. Kerugian tersebut
mencapai U$ 3 juta (Tempo 12 November 2003). Lalat buah berasal dari Asia dan
sejak tahun 1946 telah menginfeksi buah-buahan dan sayuran di Hawaii. Saat ini
lalat buah menyebar ke Pakistan, India, Sri Lanka, Sikkim, Myanmar, Malaysia,
Thailand, Kamboja, Taiwan dan Indonesia. Di Indonesia, hama ini telah
ditemukan di Sulawesi, Jawa, Kalimantan dan Sumatera (Weems et al, 2004).

2.2.1. Klasifikasi Lalat Buah


Klasifikasi lalat buah menurut Drew and Hancock (1994) dalam Isnaini
(2013) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthopoda
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Family : Tephritidae
Genus : Bactrocera
Spesies : Bactrocera spp.
Lalat buah, anggota Famili Tephritidae, Ordo Diptera yang termasuk ke
dalam Tribe Dacini terdiri dari 2 genus, yaitu Bactrocera dan Dacus. Di dunia
Bactrocera spp. tersebar di wilayah India, Asia Tenggara hingga wilayah Pasifik,
sedangkan Dacus spp. tersebar dari wilayah bagian barat hingga Afrika (Drew,
2004). Di Indonesia, genus Bactrocera tersebar dari wilayah bagian barat hingga
Indonesia bagian timur, sedangkan genus Dacus dominan di temukan di wilayah
timur Indonesia (AQIS, 2008). Lalat buah memiliki arti penting dalam budidaya
tanaman buah-buahan dan sayuran. Keberadaan lalat buah pada tanaman buah-
buahan dan sayuran merupakan kendala agribisnis yang banyak dihadapi oleh
petani (Kartini et at, 2003). Kerusakan yang muncul dapat berupa kerusakan
secara kualitatif maupun kuantitatif.

2.2.2. Morfologi Lalat Buah


Secara morfologi tubuh lalat buah dewasa terdiri dari kepala (caput), dada
(thorax), perut (abdomen) dan sayap. Sementara bentuk pradewasa biasanya
menyerupai moyangnya, hewan lunak beruas mirip cacing.
a. Kepala (caput)
Kepala lalat buah berbentuk bulat agak lonjong. Pada kepala (caput)
terdapat mata, antena, dan mulut. Pada mata terdapat sepasang mata majemuk
yang terdapat di kiri dan kanan kepala. Pada antena terdapat sepasang antena
yang berfungsi sebagai alat perasa. Antena tersusun dari tiga ruas dan beberapa
spesies terdapat noktah warna yang khas, dan sering digunakan sebagai ciri
spesies. Pada mulut lalat buah memiliki tipe mulut penjilat dan penyerap.
Hitam pada bagian depan wajah yang disebut dengan facial spot (Putra dan
Suputa, 2013). Berikut bagian-bagian dari kepala

Gambar 1. Bagian-Bagian dari Kepala Lalat Buah


(Sumber: Putra dan Suputu, 2013)
b. Dada (thorax)
Bagian dada (thorax) pada lalat buah mudah dikenali dari warna-warnanya
yang cerah sehingga berbeda dengan jenis lalat yang lainnya. Warna dasar
toraks lalat buah yaitu hitam,atau coklat-merah bata. Toraks pada lalat buah
umumnya sama seperti serangga lainnya yang terdiri dari prothorax,
mesothorax, dan metathorax. Pada toraks terdapat kaki dan sayap. Kaki atau
tungkai pada lalat buah terdiri dari 6 ruas, ruas ke-5 tersus dan ruas ke-6
metatorsus (Rahmanda, 2017).
Pada bagian thorak Ciri paling mudah dikenali adalah ada atau tidaknya
medial Postsutural Vittae dan Lateral Postsutural Vittae. Berikut bagian-
bagian dari Thorak dan Pola thorak pada beberapa Spesies Bactrocera spp.

Gambar 2. Bagian-Bagian dari Thorax Lalat Buah


(Sumber: Siwi et al., 2006)

Gambar 3. Pola Thoraks Pada Beberapa Spesies (Bactrocera spp.)


Keterangan :
(a) Bactrocera albistrigata ; (b) Bactrocera calumniate; (c) Bactrocera
carambolae; dan (d) Bactrocera cucurbitae (Sumber: Ginting, 2009)
c. Perut (Abdomen)
Ciri utama pada bagian abdomen yang digunakan dalam identifikasi
adalah ada tidaknya gambar pola T, antar terga kedua dan seterusnya menyatu
dan pola warna pada terga. Kebanyakan lalat buah mempunyai abdomen yang
berwarna dasar coklat tua atau coklat muda, atau hitam keabu-abuan. Pada
warna coklat dengan warna lainnya dapat digunakan untuk mencandra genus
atau spesies lalat buah. Berikut bagian-bagian dari abdomen lalat buah

(Sumber : Siwi et al., 2006)

d. Sayap
Lalat buah pada beberapa spesies mudah dikenali dari pola sayapnya yang

Gambar 4. Bagian-Bagian dari Abdomen Lalat Buah


berwarna coklat pada beberapa bagian. Sayap terletak pada mesothorax. Vensi
sayap lalat buah sangat khas, yaitu vena subkosta (Sc) atau pembuluh sayap
yang melengkung ke arah depan, ke arah vena kosta ©, tetapi tidak sampai
bertemu. Sementara itu, sel anal (A) pada kebanyakan lalat buah mempunyai
pemanjangan ke arah posterior. Pada bagian posterior-median sayap terdapat
rambut-rambut kecil yang tersusun rapi yang membentuk noktah yang disebut
mikrotrisia yang hingga kini belum jelas fungsinya (Putra dan Suputu, 2013).
Berikut bagian-bagian dari sayap pada lalat buah

Gambar 5. Bagian-Bagian Sayap dari Lalat Buah


(Sumber: Siwi et al, 2006)

2.2.3. Siklus Hidup Lalat Buah


Lalat buah mengalami perkembangan sempurna atau di kenal dengan
holometabola yang keberadaan spesiesnya kurang dari 4500 spesies. Hal ini
disebabkan karena ukuran tubuhnya yang kecil, cepat berkembang biak, siklus
hidupnya singkat, dan makanannya yang mudah didapat. Siklus hidup lalat buah
mempunyai 4 fase metamorfosis, yaitu fase telur, larva, pupa dan imago.

Gambar 6. Siklus Hidup Lalat Buah


(Sumber: Isnaini, 2013)

1. Fase Telur
Telur lalat buah yang baru dikeluarkan berwarna putih dan memiliki
ukuran panjang sekitar 2 mm yang berbentuk elips hampir datar di bagian
ujung ventral, cekung di bagian dorsal. Pada ujung anteriornya terdapat dua
tangkai seperti tanduk. Telur diletakkan secara berkoloni di dalam buah. Fase
telur berlangsung ± 1 hari hingga menetas menjadi larva (Rahmanda, 2017).
Induk lalat buah meletakkan telurnya dibawah kulit buah secara
mengelompok. Biasanya satu tempat terdiri sampai lima kelompok, dan tempat
peletakkannya itu ditandai oleh cekungan kecil berwarna gelap. Setiap
kelompok terdiri dari 2-15 butir telur. Telur-telur tersebut dapat dilihat apabila
cekungan kecil tersebut dibelah dengan pisau kecil, dan kemudian diamati di
bawah mikroskop. Induk lalat buah meletakkan telur sebannyak 1-40 butir per
hari. Seekor lalat betina mampu meletakkan sekitar 800 butir telur selama
periode peneluran. Lalat betina beberapa spesies Bactrocera bahkan diketahui
sanggup meletakkan telur hingga 1500 butir selama periode peletakkan telur.
Masa telur bergantung pada kondisi lingkungan diantaranya kelemababan
relatif dan suhu (Wangi, 2017)
2. Fase Larva
Larva merupakan tahap kedua dalam metamorfosis setelah fase telur.
Proses perkembangan instar akhir akan menentukan berlanjut menjadi pupa
atau tidak karena harus memiliki banyak nutrisi dan cadangan makanan untuk
membentuk puparium (Wangi, 2017).
Nama daerah larva lalat buah yaitu sindat, singat, atau set. Larva ini
berwarna putih kekuningan, mempunyai panjang sekitar 10 mm, dan
merupakan tahap hidup lalat buah yang paling merusak. Larva lalat buah
memiliki bentuk yang khas dengan bagian tubuh depan yang meruncing, lebih
sempit daripada bagian belakang tubuh yang membesar dan seperti terpotong.
Pada ujung anterior tubuhnya atau bagian kepalanya terdapat alat mulut yang
berbentuk sepasang kait warna hitam. Kait yang tersambung pada bagian ujung
kepala melalui skeleton sepalofaringeal ini cukup keras sehingga sanggup
meretas jaringan inangnya.
Larva bernafas menggunakan spirakel yang ada pada bagian dorso-
posterior tubuh yang bermanfaat untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan
jaringan inang yang berair. Larva berkembang di dalam daging buah selama 6-
9 hari. Selama ± 4 hari larva akan bertambah ukuran dan melakukan pergantian
kulit (moulting) dan bagian mulut larva berubah lebih kehitaman untuk
mencapai dewasa. Pada hari ke-4 larva telah memasuki fase prepupa
(Rahmanda, 2017).
3. Fase Pupa
Hari ke-6 fase prepupa berubah menjadi pupa dengan ditandai adanya
perubahan warna tubuhnya yang sedikit kecoklatan dan segmen tubuh yang
lebih terlihat jelas disertai keadaan larva yang diam (tidak aktif). Pupa lalat
buah berada di dalam puparium yang berbentuk tong dan berwarna cokelat tua.
Perkembangan pupa tergantung dengan kelembaban tanah. Kelembaban tanah
yang sesuai dengan stadium pupa adalah 0-9% (Isnaini, 2013). Pada beberapa
kondisi terutama pada pembiakan masal di dalam wadah di laboratorium,
pupasi dapat terjadi di bawah buah yang busuk atau di bawah benda lain.
Pupa berada di dalam tanah sekitar 2-3 cm di bawah permukaan tanah.
Masa perkembangan pupa antara 4-10 hari. Pupa berubah menjadi imago
setelah 13-16 hari kemudian (Djatmiadi dan Djatnika, 2001).
4. Lalat Dewasa (Imago)
Lalat dewasa merupakan tahapan akhir dalam metamorfosis lalat, proses
perkembangan berlangsung baik jika lingkungannya mendukung. Panjang lalat
dewasa sekitar 3,5-5 mm, berwarna hitam kekuningan. Kepala dan kakinya
berwarna coklat. Thorak berwarna hitam, abdomen jantan berbentuk bulat
sedangkan abdomen betina terdapat alat tusuk. Hari ke-7 lalat buah memasuki
fase eklosi (imago keluar dari pupa). Semasa fase eklosi lalat buah terlihat
menyerupai bentuk lalat buah dewasa namun ukurannya sedikit lebih kecil
dengan sayap yang belum terlentang. Pada hari ke-8 barulah imago lalat buah
dapat terbang dan dapat melakukan perkawinan kembali (Rahmanda, 2017).
Lalat dewasa muda meretas dinding puparium menggunakan ptilinum,
kemudian dengan menggembungkan tubuhnya, mereka akan keluar dari pupa,
dan menemukan jalan keluar dari dalam tanah melalui rekahan sempit atau
celah di antara bongkahan tanah. Waktu kemunculan lalat dewasa terjadi pada
waktu pagi menjelang siang, dan ditentukan oleh pancaran sinar matahari dan
kenaikan suhu. Apabila hujan dan suhu rendah maka dapat menghambat saat
kemunculan lalat buah baru.
Nutrisi yang memadai dapat menentukan kesuksesan lalat buah untuk
melakukan perkawinan dan reproduksi. Banyak kajian yang menunjukkan
bahwa masing-masing spesies lalat buah mempunyai kombinasi pakan yang
khas. Penambahan ME (Methyl eugenol) pada pakan protein akan
meningkatkan keinginan lalat jantan untuk mengawini lalat betina.
Lalat yang sudah dewasa jelas terlihat perbedaan antara lalat jantan dan
lalat betina. Menurut Weems & Fasulo (2012) dalam Rahmawati (2014), lalat
buah dewasa antara jantan dengan betina memiliki perbedaan di daerah
posteriornya yaitu ovipositor. Ovipositor hanya dimiliki lalat buah betina untuk
peletakkan telur sedangkan jantan tidak. Ukuran ovipositor setelah mengalami
pertumbuhan maksimal yaitu sepanjang 3 mm. Siklus hidup lalat buah dari
telur sampai imago berlangsung selama kurang lebih 27 hari (Siwi, 2005).

2.2.4. Gejala Serangan Lalat Buah


Lalat buah biasanya menyerang pada buah yang berkulit tipis dan
mempunyai daging yang lunak. Gejala serangannya pada daging buah biasanya
membusuk dan terdapat ratusan larva. Serangannya biasanya sering ditemukan
pada buah yang hampir masak. Gejala awal ditandai dengan terlihatnya noda-noda
kecil berwarna hitam bekas tusukan ovipositornya. Selanjutnya karena aktivitas
hama di dalam buah, maka noda tersebut berkembang menjadi meluas. Larva lalat
memakan daging buah sehingga buah busuk sebelum masak. Apabila daging buah
dibelah, didalamnya terdapat belatung-belatung kecil, dan daging buah mengalami
perubahan warna dan bagian terserang menjadi lunak. Buah akan gugur selama
masak, apabila tidak segera dikumpulkan atau dimusnahkan bisa menjadi sumber
infeksi atau perkembangan lalat buah generasi berikutnya (Deptan, 2007).

2.3. Metil Eugenol


Metil eugenol merupakan senyawa turunan dari eugenol. Metil eugenol
berupa cairan kental, jernih, tidah berwarna dengan bau yang sama seperti
eugenol, tetapi metil eugenol digunakan cukup luas salah satunya yaitu sebagai
penarik seks bagi lalat buah (Budimarwanti, 1997). Susunan kimia metil eugenol
terdiri dari C, H, dan O (C12H24O2).
Metil eugenol berfungsi sebagai umpan untuk menarik lalat buah jantan ke
dalam perangkap sehingga lalat buah akan mati karena kelaparan dan kekeringan.
Pengendalian dengan cara ini ternyata cukup efektif untuk menekan populasi lalat
buah.
Metil eugenol bersifat sangat mudah menguap sehingga senyawa ini sangat
mudah terdeteksi oleh lalat buah jantan dan mengakibatkan lalat-lalat buah jantan
akan terpikat dan akan mendatangi zat tersebut. Karena sifatnya yang mudah
menguap maka pengaruh zat tersebut akan cepat hilang seiring dengan laju
penguapannya yang sangat cepat, sehingga menjadi kurang efisien. Para pekebun
harus sering menambahkan kembali zat tersebut ke dalam perangkap atau dengan
memberikan dalam volume yang besar supaya aromanya dapat bertahan lebih
lama, namun cara ini kurang ekonomis (Sulistiya, 2016).
Umumnya aroma atraktan akan tercium pada jarak 20-100 m, namun jika
dipengaruhi oleh faktor angin jangkauannya bisa lebih luas lagi bahkan bisa
mencapai 3 km (Kardinan, 2003). Penggunaan atraktan dengan menggunakan
bahan metil eugenol merupakan cara pengendalian yang ramah lingkungan dan
telah terbukti efektif. Atraktan dapat digunakan untuk mengendalikan hama lalat
buah dalam tiga cara yaitu (1) mendeteksi atau memonitor populasi lalat buah; (2)
menarik lalat buah untuk kemudian dibunuh dengan perangkap; dan (3)
mengacaukan lalat buah dalam perkawinan, berkumpul dan cara makan (Thamrin,
2017).
Didalam tubuh lalat buah jantan, metil eugenol akan diproses menjadi zat
pemikat yang berguna dalam proses perkawinan. Dalam proses perkawinan
tersebut, lalat buah betina akan memilih lalat buah jantan yang telah mengonsumsi
metil eugenol karena lalat buah jantan tersebut mampu mengeluarkan aroma yang
berfungsi sebagai sex pheromone (daya pikat seksual) (Kardinan, 2003).
BAB III
BAHAN DAN CARA KERJA

3.1. Tempat dan Waktu


Praktikum pembuatan perangkap lalat buah dilaksanakan pada tanggal 12
November 2019 bertempat di Laboratorium Organisme Pengganggu Tanaman
(OPT) Fakultas Pertanian Universitas Singaperbangsa Karawang.
Pemasangan perangkap lalat buah bertempat di Kampong Dapur Areng,
Desa Cengkong Purwasari, Kecamatan Purwasari, Kabupaten Karawang, pada
pohon jambu air (Syzygium aqueum).
Praktikum ini dilakukan pada tanggal 12 November 2019 sampai 21
November 2019.

3.2. Bahan dan Alat


Bahan dan alat yang digunakan untuk pembuatan perangkap lalat buah yaitu
sebagai berikut:
a. Petrogenol (Bahan aktif metil eugenol)
b. Furadan 3G
c. Botol Aqua
d. Benang
e. Kapas
f. Lidi/ Tusuk gigi
g. Jarum suntik
h. Pisau/ Gunting
i. Isolasi/ Streples
j. Label
k. Alat tulis

3.3. Cara Kerja


Cara pembuatan perangkap lalat buah yaitu sebagai berikut:
a. Botol aqua dipotong sekitar 5 cm dari ujung kepala.
b. Botol aqua ditusuk dengan jarum kira-kira setengah dari potongannya.
c. Benang dimasukkan lewat lubang aqua kemudian diikatkan pada kapas dan
lidi yang sudah dipersiapkan.
d. Potongan ujung botol aqua dimasukkan terbalik pada badannya dan
kemudian di steples.
e. Kapas di beri petrogenol dengan cara disuntik sebanyak 0,125 cc/ml,
kemudian kurang lebih satu sendok teh furadan 3 gram ditaruh pada badan
botol aqua.
f. Perangkap lalat buah siap digunakan dengan mengikatnya pada pohon.

Pengamatan yang dilakukan dengan cara menghitung populasi lalat buah


yang terperangkap dalam botol aqua setiap kali pengamatan.
PENGAMATAN TANGGAL KETERANGAN
KE- PENGAMATAN PENGAMATAN
Pemberian Petrogenol I
1 13 November 2019 24 jam setelah pemasangan I
2 14 November 2019 48 jam setelah pemasangan I
3 15 November 2019 72 jam setelah pemasangan I
Pemberian Petrogenol II
4 16 November 2019 24 jam setelah pemasangan II
5 17 November 2019 48 jam setelah pemasangan II
6 18 November 2019 72 jam setelah pemasangan II
Pemberian Petrogenol III
7 19 November 2019 24 jam setelah pemasangan III
8 20 November 2019 48 jam setelah pemasangan III
9 21 November 2019 72 jam setelah pemasangan III
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pengamatan


PENGAMATAN TANGGAL KETERANGAN POPULASI
KE- PENGAMATAN PENGAMATAN LALAT
BUAH
Pemberian Petrogenol I
1 13 November 2019 24 jam setelah 79
pemasangan I
2 14 November 2019 48 jam setelah 64
pemasangan I
3 15 November 2019 72 jam setelah 76
pemasangan I
TOTAL 219
Pemberian Petrogenol II
4 16 November 2019 24 jam setelah 110
pemasangan II
5 17 November 2019 48 jam setelah 77
pemasangan II
6 18 November 2019 72 jam setelah 40
pemasangan II
TOTAL 227
Pemberian Petrogenol III
7 19 November 2019 24 jam setelah 86
pemasangan III
8 20 November 2019 48 jam setelah 110
pemasangan III
9 21 November 2019 72 jam setelah 100
pemasangan III
TOTAL 296

Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan di lapangan,perangkap


dipasang di pohon buah jambu air. Pengamatan yang dilakukan selama 9 hari
dengan penambahan feromon setiap 3 hari setelah pemasangan. Perangkap
feromon yang telah di buat, menarik cukup banyak lalat buah di sekitar
perangkap. Pada 24 jam Petrogenol I, sebanyak 79 ekor lalat buah masuk kedalam
perangkap dimana semua lalat buah ditemukan mati karena penggunaan furadan
di dalam perangkap. Kemudian pada 48 jam Petrogenol I, sebanyak 64 lalat Buah
masuk kedalam perangkap. Dan pada 72 Jam Petrogenol I 76 ekor lalat buat
terperangkat,sehingga jumlah total lalat buah yang masuk kedalam perangkap
Petrogenol 1 adalah 219 ekor lalat Buah.

Pada Petrogenol II , dilakukan penambahan sebanyak 0,125 ml Petrogenol


pada perangkap lalat buah. Perangkap yang telah ditambahkan pertogenol
kemudian disimpan kembali pada lokasi yang sama dengan lokasi penyimpanan
petrogenol I. Terhitung Pada 24 jam setelah Pemasangan Petrogenol II terdapat
110 ekor lalat buah yang masuk kedalam perangkap. Kemudian 77 ekor lalat buah
mati dalam perangkap pada 48 jam setelah pemasangan Petrogenol II. Sedangkan
terhitung pada 72 jam setelah pemasangan Petrogenol II sebanyak 40 Lalat buah
mati dalam perangkap. Sehingga jumlah total lalat Buah yang masuk kedalam
perangkap Petrogenol II adalah 227 ekor lalat buah.

Petrogenol III, penambahan feromon petrogenol ditambahkan kembali


sebanyak 0,125 ml.Petrogenol III kemudian disimpan dilokasi yang sama dengan
Petrogenol II dan I. Setelah 24 jam maka terhitung ada 86 ekor lalat buah yang
terperangkap didalam perangkap petrogenol III. Setelah nya 24 Jam berikutnya
yaitu 48 jam kemudian, didapatkan kembali 110 ekor Lalat buah masuk kedalam
perangkap petrogenol III. Kemudian pada 72 jam setelah pemasangan
perangkap,terhitung ada 100 ekor lalat buah. Setelah ditotal,jumlah lalat buah
yang terperangkap dalam Petrogenol III ada 296 ekor lalat buah.

Semua lalat buah yang ada didalam perangkap dalam keadaan mati, hal
tersebut dikarenakan adanya penambahan furadan yang menyerbabkan serangga
yang berinteraksi dengan furadan akan mati. Dan dapat dikatakan bahwa semua
serangga yang mati adalah serangga jantan.
4.2. Pembahasan
Berdasarkan hasil Praktikum dilapangan didapatkan rerata mortalitas lalat buah

yang masuk kedalam perangkap Petrogenol I, Petrogenol II, dan Petrogenol III

adalah sebagai berikut :

Aplikasi Jumlah Lalat Buah Jam ke-


Petrogenol ke- setelah Pemasangan
(0,125 ml) (Ekor)
24 jam 48 jam 72 jam
I 79 64 76
II 110 77 40
III 86 110 100

Rerata 92 83 72
Tabel 2. Rerata Jumlah Lalat Buah yang mati

Petrogenol merupakan salah satu merek dagang yang memiliki bahan aktif
Metil Eugenol. Senyawa metil eugenol merupakan salah satu senyawa yang
banyak digunakan sebagai umpan perangkap bagi lalat buah, tepatnya lalat buah
jantan. Pada praktikum ini penggunaan Petrogenol dapat menarik perhatian lalat
buah sehingga lalat buah tesebut masuk kedalam perangkap. Sifat bahan aktif
Metil eugnol yang mudah menguap karena berat massa jenis yang ringan
membuat eugenol dapat dengan mudah di ketahui keberadaan nya oleh Lalat
buah.

Pada serangga terdapat antena yang berguna sebagai sensor dan alat
interaksi. Lalat buah dalam hal ini termasuk kedalam serangga yang memiliki
antena. Deteksi keberadaan Feromon (Petrogenol) dapat diterima dengan baik
oleh lalat buah sehingga lalat buah masuk kedalam perangkap.
Rerata Jumlah Lalat Buah
100
90
Jumalah Lalat buah (Ekor)

80
70
60
50
40 Jumlah Lalat Buah
30
20
10
0
24 jam 48 jam 72 jam
Jam ke- setelah Pemasangan Perangkap

Grafik 1. Rerata Jumlah Lalat buah yang mati

Berdasarkan Grafik diatas dapat diketahui bahwa terjadi penurunan jumlah


lalat buah yang masuk kedalam perangkap Petrogenol. Pada 24 jam pertama rerata
kematian lalat buah mencapai 92 ekor, sedangkan pada 48 jam setelah
pemasangan perangkap terjadi penurunan menjadi 83 ekor. Kemudian pada 72
jam setelah pemasangan terjadi penurunan kembali menjadi 72 ekor lalat buah.

Penurunan jumlah lalat buah yang terperangkap dapat disebabkan oleh


jumlah senyawa aktif dalam petrogenol (Metil eugenol) yang terdapat dalam
perangkap. Menurut Sulistia (2016) Metil eugenol memiliki sifat mudah
menguap, maka pengaruhnya akan cepat hilang. Semakin cepat laju
penguapannya maka semakin cepat Senyawa metil eugenol hilang, sehingga
peggunaannya menjadi kurang efisien.
Hal tersebut diperkuat oleh Alouw (2007), yang menyatakan bahwa
keberhasilan penggunaan feromon dipengaruhi oleh kepekaan penerima, jumlah
dan bahan kimia yang dihasilkan dan dibebaskan per satuan waktu, penguapan
bahan kimia, kecepatan angin dan temperature. Terdapat poin jumlah dan bahan
kimia yang dihasilkan (digunakan) serta laju penguapan. Terjadi penguapan metil
eugenol sehingga dapat terdeteksi oleh lalat buah namun disis lain laju penguapan
tersebut menyebabkan kemampuan metil eugenol berkurang. Hal tersebut dapat
menyebabkan jangkauan bau semakin kecil sehingga kepekaan lalat buah terhadap
perangkap tersebut sedikit.
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Feromon merupakan salah satu signal kimia yang digunakan makhluk
hidup untuk membantu berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Salah satu
makhluk hidup yang sangat pekka terhadap feromon adalah lalat
buah,penggunaan feromon sebagai perangkap terbukti dapat menekan populasi
serta serangan dari hama lalat buah.Lalat buah jantan menjadi objek yang masuk
kedalam perangkap.

Efektivitas feromon dapat menurun tergantung pada laju penguapan


feromon tersebut. Sifat bahan aktif feromon sintetik yaitu metil eugenol yang
mudah menguap menyebabkan menurunnya efektivitas feromon pada perangkap.
Sehingga diperlukan penambahan secara berkala untuk menjaga ke efektivan dari
feromon pada perangkap.

5.2. Saran
Sebaiknya penambahan dan pengambilan perangkap di beri jeda waktu
yang sama antar ulangan sehingga setiap ulangan genap menjadi 24 jam. Pada
praktikum ini ada beberapa perlakuan yang tidak genap 24 jam.
DAFTAR PUSTAKA

Alouw, J.C. 2007. Feromon dan Pemanfaatnya dalam Pengendalian Hama


Kumbang Kelapa Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae). Buletin
Palma, (32) : 12 -21.
AQIS Australian Quarantine and Inspection Service. 2008. Fruit Flies Indonesia:
Their Identification, Pest Status and Pest Management. Conducted by the
international center for the management of pest fruit flies Griffith
University, Brisbane, Australia, and ministry of Agriculture, Republic of
Indonesia.
Deptan. 2007. Pengenalan Lalat Buah. [Online]. Tersedia:
http://ditlin.holtikultura.go.id/buku_peta/bagian_03.html. diakses pada 22
November 2019.
Djatmiadi dan Djatnika. 2001. Petunjuk Teknis Surveilans Lalat Buah. Pusat
Teknik dan Metode Karantina Hewan dan Tumbuhan. Badan Karantina
Pertanian. Jakarta.
Drew, RAI. 2004. Biogeography and Speciation in The Dacini (Diptera:
Tephritidae: Dacinae). Bishop Museum Bulletin in Entomology, 12 : 165-
178.
Ginting, R. 2009. Keanekaragaman Lalat Buah (Diptera: Tephritidae) di Jakarta,
Depok, dan Bogor Sebagai Bahan Kajian Penyusunan Resiko Hama.
Tesis. Institut Pertanian Bogor.
Isnaini, Y.A. 2013. Identifikasi Spesies dan Kelimpahan Lalat Buah Bactrocera
spp. di Kabupaten Demak. Skripsi. Universitas Negeri Semarang.
Kardinan, A. 2003. Tanaman Pengendali Lalat Buah. Agromedia Pustaka.
Tangerang.
Karlson, P dan M. Luscher. 1959. “Pheromones”: A New Term For A Class Of
Biologically Active Substances. Nature, 183 : 55-56.
Kartini L, Trisnasari, Heriyenti, Juhariyono, dan Komaruddin. 2003. Laporan
Ujicoba Perlakuan Karantina. Balai Karantina Tumbuhan Boom Baru
Palembang. Palembang.
Klowden, M.J. 2002. Physiological Systems in Insects. Academic Press. London.
Manurung, B dan Ginting, E.L. 2010. Efektifitas Atrakan dalam Memerangkap
Lalat Buah Bactrocera spp. dan Kajian Awal Fluktuasi Populasinya pada
Pertanaman Jeruk di Kabupaten Karo. Jurnal Sains Indonesia, 34 (2) :
96-99.
Muryati, A. Hasyim, dan Riska. 2008. Preferensi Spesies Lalat Buah Terhadap
Atraktan Metil Eugenol dan Cue-Lure dan Populasinya di Sumatera
Barat dan Riau. J.Hort, 18 (2) : 227-233.
Putra dan Suputa. 2013. Lalat Buah Hama Bioekologi dan Strategi Tepat
Mengelola Populasinya. Smartania Publishing. Yogyakarta.
Rahmanda, Edi. 2017. Identifikasi Spesies Lalat Buah Genus Bactrocera
(Diptera: Tephritidae) pada komoditas cabai. Skripsi. Universitas Islam
Negeri Raden Intan. Lampung.
Rahmawati, Yuli P. 2014. Ketertarikan Lalat Buah Bactrocera sp. Pada Senyawa
Atraktan yang Mengandung Campuran Protein dan Metil Eugenol.
Skripsi. Universitas Negeri Semarang.
Roelofs, W.L. 1978. Chemical Control Of Insects By Pheromones. In Rockstein,
M. 1978. Biochemistry Of Insect (edt). Acad Press. New York.
___________. 1995. Chemistry Of Sex Attraction. Proc. Natl. Acad. Sci. USA.
Siwi, S.S. 2005. Eko-Biologi Hama Lalat Buah. BB-Biogen. Bogor.
Siwi, S.S., Hidayat, P. dan Suputa. 2006. Taksonomi dan Bioekologi Lalat Buah
Penting di Indonesia (Diptera: Tephritidae). BB Biogen & Departemen
Agriculture, Fisheries & Forestry Australia. Bogor.
Sulistiya. 2016. Pemakaian Larutan Methyl Eugenol dan Ekstrak Jambu Merah
dalam Mengendalikan Lalat Buah. Agros, 18 (1) : 49-56.
Syahfari, H dan Mujiyanto. 2013. Identifikasi Hama Lalat Buah (Diptera:
Tephritidae) Pada Berbagai Macam Buah-Buahan. Ziraa’ah, 36 (1) : 32-
39.
Thamrin, M. 2017. Metil Eugenol Sebagai Perangkap Lalat Buah. [Online].
Tersedia:http://balittra.litbang.pertanian.go.id/index.php?option=com_co
ntent&view=article&id=1197&Itemid=10. diakses pada 22 November
2019.
Wangi, R.D.M.C. 2017. Studi Populasi Lalat Buah Bactrocera dorsalis Kompleks
(Diptera: Tephritidae) di Pantai Sindangkerta Cipatujuh Kabupaten
Tasikmalaya. Skripsi. Program Studi Pendidikan Biologi. Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Pasundan. Bandung.
Weems, H.V., J.B. Hepper, dan J.L.Nation. 2004. Oriental Fruit Fly, Batrocera
(=Dacus) dorsalis (Hendel) (Insecta: Diptera: Tephritidae). Universitas
of Florida. Florida.
LAMPIRAN

Alat Untuk Pembuatan Perangkap Lalat Bahan Untuk Pembuatan Perangkap


Buah Lalat Buah

Proses Penusukan Botol Aqua


Proses Pemotongan Botol Aqua Menggunakan Jarum dan Pemasukan
Benang Ke Dalam Lubang Tersebut

Proses Pengikatan Lidi dan Kapas Pada Proses Pemberian Petrogenol Pada
Benang Kapas
Perangkap Lalat Buah Perangkap Lalat Buah Dipasang Pada
Pohon Jambu Air

Pengamatan 1 : 79 Ekor Lalat Buah Pengamatan 2 : 64 Ekor Lalat Buah


(13 November 2019) (14 November 2019)

Pengamatan 4 : 110 Ekor Lalat Buah


Pengamatan 3 : 76 Ekor Lalat Buah
(16 November 2019)
(15 November 2019)
Pengamatan 5 : 77 Ekor Lalat Buah Pengamatan 6 : 40 Ekor Lalat Buah
(17 November 2019) (18 November 2019)

Pengamatan 7 : 86 Ekor Lalat Buah Pengamatan 8 : 110 Ekor Lalat Buah


(19 November 2019) (20 November 2019)

Pengamatan 9 : 100 Ekor Lalat Buah


(21 November 2019)

Anda mungkin juga menyukai