Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pengendalian Hama
Terpadu yang Diampu Oleh Bapak Sugiarto, Ir., H.MM)
Disusun Oleh:
Kelompok VII
Acep Munawar 1610631090002
Dava Swa Sambayu 1610631090041
Dicky Mulyana 1610631090053
Nurul Luthfiah 1610631090117
Siti Nurhaeni 1610631090141
Kelas 7A
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadiratNya yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayahNya kepada kita semua sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas yang berjudul “Laporan Praktikum Perangkap
Lalat Buah”. Laporan praktikum ini diajukan guna memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Pengendalian Hama Terpadu.
Laporan praktikum ini telah kami susun dengan maksimal, terlepas dari
semua ini kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasa. Oleh karena itu, kami mengharapkan
saran dan kritik yang bersifat membangun, untuk dijadikan evaluasi bagi kami
sebagai penyusun dalam pembuatan laporan praktikum selanjutnya.
Semoga laporan praktikum ini dapat memberikan informasi bagi pembaca
dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu
pengetahuan bagi kita semua.
Penyusun
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum pembuatan perangkap lalat buah ini yaitu sebagai
berikut:
1. Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengendalian Hama Terpadu
2. Untuk mengetahui cara pembuatan perangkap lalat buah
3. Untuk mengetahui populasi lalat buah selama 9 hari
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Feromon
Istilah feromon pertama kali digunakan oleh Karlson dan Luscher (1959).
Feromon berasal dari bahasa Yunani yakni pherein yang berarti membawa dan
hormone yang berarti membangkitkan gairah. Feromon diproduksi oleh kelenjar-
kelenjar eksokrin dan termasuk golongan semiochemical (Semeon dalam bahasa
Yunani berarti suatu signal) atau signal kimia. Signal kimia dibagi menjadi dua,
yaitu feromon dan allelokimia atau substansi kimia yang dilepaskan oleh suatu
organisme ke lingkungannya yang menyebabkan organisme tersebut dapat
berkomunikasi secara interspesifik.
Feromon awalnya disebut ektohormon karena dikeluarkan oleh kelenjar dan
memiliki pengaruh fisiologi seperti hormon. Istilah tersebut bersifat kontradiksi
dengan feromon, karena hormon adalah substansi yang dikeluarkan secara internal
untuk mempengaruhi organisme lain, sedangkan feromon dikeluarkan secara
eksternal untuk bisa mempengaruhi serangga lain. Feromon terdiri atas asam-
asam lemak tak jenuh. Senyawa kimia dengan berat molekul rendah seperti ester,
alkohol, aldehida, keton, epoxide, lactone, hidrokarbon, terpen dan sesquiterpene
adalah komponen umum dalam feromon (Roelofs, 1978)
Feromon dapat mengontrol hama tanpa menggunakan pestisida. Feromon
juga dapat menjaga populasi hama-hama dibawah tingkat yang tidak
mengganggu. Sejumlah kecil feromon dapat digunakan sebagai penarik seks (sexs
attractant) serangga jantan, sehingga serangga jantan akan terjebak dan dapat
dimatikan. Tanpa serangga jantan maka serangga betina tidak dapat berkembang
biak. Feromon dalam jumlah yang sangat kecil dapat menimbulkan rangsangan
yang diinginkan. Seekor serangga betina yang hanya mengeluarkan 8-10 gram
feromon dapat menarik lebih dari satu miliyar serangga jantan yang bermil-mil
jauhnya. Oleh karena itu serangga jantan dapat diumpan dengan suatu feromon
penarik seks, dijebak, dan kemudian disterilkan atau dimatikan. Apabila hanya
disterilkan, serangga jantan dilepas dan bergaul dengan serangga betina tidak akan
dapat berkembang biak.
Senyawa feromon dapat bertindak sebagai zat pemikat baik pada manusia
maupun hewan. Sifat feromon pemikat pada serangga inilah yang kemudian
dijadikan oleh para ahli untuk membuat feromon pemikat buatan atau sintetis
dalam mengendalikan serangga tanaman. Teknologi pengendalian hama serangga
dengan menggunakan feromon pemikat ini cukup ramah lingkungan dibandingkan
teknik penyemprotan dengan insektisida. Dengan teknologi perangkap yang
menggunakan feromon pemikat ini, residu akibat penyemprot serangga bisa
dihilangkan. Untuk membuat alat penjebak atau perangkap serangga yang
memanfaatkan feromon pemikat sintetis ini cukup mudah. Salah satu feromon
sintetis yang digunakan untuk mengendalikan hama lalat buah yang membuat
busuk buah pada banyak jenis tanaman adalah petrogenol.
Petrogenol adalah atraktan dengan bahan aktif metil eugenol 800 g/l yang
berfungsi untuk menarik lalat buah jantan masuk ke dalam perangkap. Metil
eugenol ini mengeluarkan aroma wangi yang dibutuhkan lalat buah jantan,
sehingga lalat buah jantan dari jarak 20-100 m dan jika dibantu angin
jangkauannya dapat mencapai 3 km akan tertarik masuk perangkap (Manurung
dan Ginting, 2010).
Ekstrak feromon kasar dapat diperoleh dengan mengekstak seluruh tubuh
serangga atau hanya kelenjar-kelenjar yang mengandung feromon saja seperti di
ujung abdomen untuk serangga dari Ordo Lepidoptera atau usus bagian belakang
dari kumbang kulit kayu (bark beetle) (Ordo Coleoptera). Serangga dari Ordo
Lepidoptera, feromon diekstrak menggunakan metil klorida. Ekstrak tersebut
dapat dianalisis dengan menggunakan gas-liquid chromatography (Roelofs, 1995).
Feromon sudah diidentifikasi pada lebih dari 1600 spesies serangga yang
mewakili lebih dari 90 famili dan 9 ordo. Feromon serangga pertama yang
diisolasi pada pertengahan tahun 1950-an adalah dari serangga Bombyx mori
(ngengat sutera). Feromon tersebut diberi nama bombykol dan dihasilkan dari
300.000 ngengat sutera. Dari jumlah tersebut hanya 5.3 mg bahan aktif yang
diperoleh (Nation. 2002).
2.1.1. Klasifikasi Feromon
Feromon terbagi menjadi dua kelompok yaitu:
1. Feromon Primer
Feromon ini dapat mempengaruhi fisiologi serangga. Feromon primer
umumnya terdapat pada serangga sosial dan belum banyak dipelajari karena
sulitnya mengisolasi feromon tersebut.
2. Feromon Releaser
Feromon ini dapat mempengaruhi tingkah laku serangga dari spesies yang
sama. Feromon releaser dikelompokkan berdasarkan fungsi atau tingkah laku
yang ditunjukkan oleh penerima yakni sebagai berikut :
a. Feromon Sex
Feromon ini dapat dihasilkan oleh jantan atau betina untuk proses
kawin. Pada jumlah serangga dalam rangka proses kawin maka feromon
sex dapat dihasilkan oleh kedua serangga (jantan dan betina) (Klowden,
2002). Feromon sex sintetik sudah banyak diproduksi dan merupakan
salah satu produk penting dalam pengendalian hama (Nation, 2002).
b. Feromon Agregasi
Feromon agregasi adalah feromon yang dikeluarkan untuk menarik
serangga jantan maupun betina untuk berkelompok. Feromon ini juga
dapat meningkatkan kemungkinan kopulasi di dalam populasi tersebut.
Feromon agregasi biasanya diproduksi oleh serangga-serangga dari Ordo
Coleoptera untuk mempertahankan diri terhadap serangan predator dan
untuk mengatasi resistensi tanaman inang terhadap serangan kumbang
tersebut. Contoh, serangga betina kumbang kulit kayu pada saat mengetam
masuk ke dalam pohon mengeluarkan feromon agregasi dan bersama-sama
dengan terpene yang dihasilkan oleh pohon tersebut dapa menarik
serangga jantan maupun betina. Kehadiran sejumlah serangga dapat
mengatasi pertahanan dari pohon atau tanaman tersebut. (Klowden, 2002).
c. Feromon Alarm
Feromon ini umumnya dihasilkan oleh serangga-serangga sosial.
Feromon alarm dikeluarkan sebagai peringatan terhadap sesamanya pada
saat ada ancaman atau bahaya dan untuk membentuk pertahanan koloni.
d. Feromon Pengikut Jejak dan Distribusi
Feromon ini terdapat pada serangga-serangga sosial seperti semut,
rayap, dan lebah. Contoh, semut sudah membangun mekanisme yang
sangat sensitif untuk mengikuti jejak sesamanya guna mendapatkan
sumber makanan. Pada saat makanan semakin berkurang maka feromon
jejak juga akan berkurang. Feromon jejak menguap dengan cepat sehingga
semut lain tidak lagi menuju ke tempat tersebut ketika sumber makanan
semakin berkurang. Dengan demikian feromon tersebut tidak akan
mengganggu semut untuk mendeteksi signal dari semut lain dari sumber
makanan yang lain (Klowden, 2002).
e. Feromon Penanda Lokasi
Feromon ini dikeluarkan oleh serangga tertentu untuk menjaga
kepadatan populasi individu agar tidak melampaui kapasitas tampung.
Contoh, kumbang kulit kayu pada saat mengeluarkan feromon agregasi
maka jantan dan betina akan berkumpul. Untuk menghindari kelebihan
populasi maka serangga mengeluarkan feromon penanda lokasi atau
disebut juga feromon epideistic.
Feromon yang dihasilkan oleh suatu serangga dapat memiliki lebih dari
satu fungsi, tergantung pada konteks tingkah laku dan lingkungan. Feromon
dengan multifungsi disebut feromon parsimony. Contoh, suatu feromon sex yang
dihasilkan oleh ratu lebah madu (Apis mellifera) dapat berfungsi menarik pekerja
untuk bergerombol mengelilinginya dan mempengaruhi jantan untuk kawin tetapi
hanya pada saat feromon tersebut dibebaskan beberapa meter diatas udara sebagai
jarak normal bagi lebah madu untuk kawin (Gary, 1962 dalam Nation, 2002).
d. Sayap
Lalat buah pada beberapa spesies mudah dikenali dari pola sayapnya yang
1. Fase Telur
Telur lalat buah yang baru dikeluarkan berwarna putih dan memiliki
ukuran panjang sekitar 2 mm yang berbentuk elips hampir datar di bagian
ujung ventral, cekung di bagian dorsal. Pada ujung anteriornya terdapat dua
tangkai seperti tanduk. Telur diletakkan secara berkoloni di dalam buah. Fase
telur berlangsung ± 1 hari hingga menetas menjadi larva (Rahmanda, 2017).
Induk lalat buah meletakkan telurnya dibawah kulit buah secara
mengelompok. Biasanya satu tempat terdiri sampai lima kelompok, dan tempat
peletakkannya itu ditandai oleh cekungan kecil berwarna gelap. Setiap
kelompok terdiri dari 2-15 butir telur. Telur-telur tersebut dapat dilihat apabila
cekungan kecil tersebut dibelah dengan pisau kecil, dan kemudian diamati di
bawah mikroskop. Induk lalat buah meletakkan telur sebannyak 1-40 butir per
hari. Seekor lalat betina mampu meletakkan sekitar 800 butir telur selama
periode peneluran. Lalat betina beberapa spesies Bactrocera bahkan diketahui
sanggup meletakkan telur hingga 1500 butir selama periode peletakkan telur.
Masa telur bergantung pada kondisi lingkungan diantaranya kelemababan
relatif dan suhu (Wangi, 2017)
2. Fase Larva
Larva merupakan tahap kedua dalam metamorfosis setelah fase telur.
Proses perkembangan instar akhir akan menentukan berlanjut menjadi pupa
atau tidak karena harus memiliki banyak nutrisi dan cadangan makanan untuk
membentuk puparium (Wangi, 2017).
Nama daerah larva lalat buah yaitu sindat, singat, atau set. Larva ini
berwarna putih kekuningan, mempunyai panjang sekitar 10 mm, dan
merupakan tahap hidup lalat buah yang paling merusak. Larva lalat buah
memiliki bentuk yang khas dengan bagian tubuh depan yang meruncing, lebih
sempit daripada bagian belakang tubuh yang membesar dan seperti terpotong.
Pada ujung anterior tubuhnya atau bagian kepalanya terdapat alat mulut yang
berbentuk sepasang kait warna hitam. Kait yang tersambung pada bagian ujung
kepala melalui skeleton sepalofaringeal ini cukup keras sehingga sanggup
meretas jaringan inangnya.
Larva bernafas menggunakan spirakel yang ada pada bagian dorso-
posterior tubuh yang bermanfaat untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan
jaringan inang yang berair. Larva berkembang di dalam daging buah selama 6-
9 hari. Selama ± 4 hari larva akan bertambah ukuran dan melakukan pergantian
kulit (moulting) dan bagian mulut larva berubah lebih kehitaman untuk
mencapai dewasa. Pada hari ke-4 larva telah memasuki fase prepupa
(Rahmanda, 2017).
3. Fase Pupa
Hari ke-6 fase prepupa berubah menjadi pupa dengan ditandai adanya
perubahan warna tubuhnya yang sedikit kecoklatan dan segmen tubuh yang
lebih terlihat jelas disertai keadaan larva yang diam (tidak aktif). Pupa lalat
buah berada di dalam puparium yang berbentuk tong dan berwarna cokelat tua.
Perkembangan pupa tergantung dengan kelembaban tanah. Kelembaban tanah
yang sesuai dengan stadium pupa adalah 0-9% (Isnaini, 2013). Pada beberapa
kondisi terutama pada pembiakan masal di dalam wadah di laboratorium,
pupasi dapat terjadi di bawah buah yang busuk atau di bawah benda lain.
Pupa berada di dalam tanah sekitar 2-3 cm di bawah permukaan tanah.
Masa perkembangan pupa antara 4-10 hari. Pupa berubah menjadi imago
setelah 13-16 hari kemudian (Djatmiadi dan Djatnika, 2001).
4. Lalat Dewasa (Imago)
Lalat dewasa merupakan tahapan akhir dalam metamorfosis lalat, proses
perkembangan berlangsung baik jika lingkungannya mendukung. Panjang lalat
dewasa sekitar 3,5-5 mm, berwarna hitam kekuningan. Kepala dan kakinya
berwarna coklat. Thorak berwarna hitam, abdomen jantan berbentuk bulat
sedangkan abdomen betina terdapat alat tusuk. Hari ke-7 lalat buah memasuki
fase eklosi (imago keluar dari pupa). Semasa fase eklosi lalat buah terlihat
menyerupai bentuk lalat buah dewasa namun ukurannya sedikit lebih kecil
dengan sayap yang belum terlentang. Pada hari ke-8 barulah imago lalat buah
dapat terbang dan dapat melakukan perkawinan kembali (Rahmanda, 2017).
Lalat dewasa muda meretas dinding puparium menggunakan ptilinum,
kemudian dengan menggembungkan tubuhnya, mereka akan keluar dari pupa,
dan menemukan jalan keluar dari dalam tanah melalui rekahan sempit atau
celah di antara bongkahan tanah. Waktu kemunculan lalat dewasa terjadi pada
waktu pagi menjelang siang, dan ditentukan oleh pancaran sinar matahari dan
kenaikan suhu. Apabila hujan dan suhu rendah maka dapat menghambat saat
kemunculan lalat buah baru.
Nutrisi yang memadai dapat menentukan kesuksesan lalat buah untuk
melakukan perkawinan dan reproduksi. Banyak kajian yang menunjukkan
bahwa masing-masing spesies lalat buah mempunyai kombinasi pakan yang
khas. Penambahan ME (Methyl eugenol) pada pakan protein akan
meningkatkan keinginan lalat jantan untuk mengawini lalat betina.
Lalat yang sudah dewasa jelas terlihat perbedaan antara lalat jantan dan
lalat betina. Menurut Weems & Fasulo (2012) dalam Rahmawati (2014), lalat
buah dewasa antara jantan dengan betina memiliki perbedaan di daerah
posteriornya yaitu ovipositor. Ovipositor hanya dimiliki lalat buah betina untuk
peletakkan telur sedangkan jantan tidak. Ukuran ovipositor setelah mengalami
pertumbuhan maksimal yaitu sepanjang 3 mm. Siklus hidup lalat buah dari
telur sampai imago berlangsung selama kurang lebih 27 hari (Siwi, 2005).
Semua lalat buah yang ada didalam perangkap dalam keadaan mati, hal
tersebut dikarenakan adanya penambahan furadan yang menyerbabkan serangga
yang berinteraksi dengan furadan akan mati. Dan dapat dikatakan bahwa semua
serangga yang mati adalah serangga jantan.
4.2. Pembahasan
Berdasarkan hasil Praktikum dilapangan didapatkan rerata mortalitas lalat buah
yang masuk kedalam perangkap Petrogenol I, Petrogenol II, dan Petrogenol III
Rerata 92 83 72
Tabel 2. Rerata Jumlah Lalat Buah yang mati
Petrogenol merupakan salah satu merek dagang yang memiliki bahan aktif
Metil Eugenol. Senyawa metil eugenol merupakan salah satu senyawa yang
banyak digunakan sebagai umpan perangkap bagi lalat buah, tepatnya lalat buah
jantan. Pada praktikum ini penggunaan Petrogenol dapat menarik perhatian lalat
buah sehingga lalat buah tesebut masuk kedalam perangkap. Sifat bahan aktif
Metil eugnol yang mudah menguap karena berat massa jenis yang ringan
membuat eugenol dapat dengan mudah di ketahui keberadaan nya oleh Lalat
buah.
Pada serangga terdapat antena yang berguna sebagai sensor dan alat
interaksi. Lalat buah dalam hal ini termasuk kedalam serangga yang memiliki
antena. Deteksi keberadaan Feromon (Petrogenol) dapat diterima dengan baik
oleh lalat buah sehingga lalat buah masuk kedalam perangkap.
Rerata Jumlah Lalat Buah
100
90
Jumalah Lalat buah (Ekor)
80
70
60
50
40 Jumlah Lalat Buah
30
20
10
0
24 jam 48 jam 72 jam
Jam ke- setelah Pemasangan Perangkap
5.1. Kesimpulan
Feromon merupakan salah satu signal kimia yang digunakan makhluk
hidup untuk membantu berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Salah satu
makhluk hidup yang sangat pekka terhadap feromon adalah lalat
buah,penggunaan feromon sebagai perangkap terbukti dapat menekan populasi
serta serangan dari hama lalat buah.Lalat buah jantan menjadi objek yang masuk
kedalam perangkap.
5.2. Saran
Sebaiknya penambahan dan pengambilan perangkap di beri jeda waktu
yang sama antar ulangan sehingga setiap ulangan genap menjadi 24 jam. Pada
praktikum ini ada beberapa perlakuan yang tidak genap 24 jam.
DAFTAR PUSTAKA
Proses Pengikatan Lidi dan Kapas Pada Proses Pemberian Petrogenol Pada
Benang Kapas
Perangkap Lalat Buah Perangkap Lalat Buah Dipasang Pada
Pohon Jambu Air