Anda di halaman 1dari 1

OVERSHARENTING: Menjadi orang tua bijak bagi generasi millenial

Oleh: Laily Hidayati


lailykusturayu@gmail.com

“Oversharenting” dalam Parenting


“Sharenting” tergolong istilah baru dan belum sering terdengar di telinga masyarakat
Indonesia. Secara sekilas, pengucapan istilah ini mirip dengan pengucapan kata “parenting”,
sebagai istilah yang digunakan untuk menyebut pola pengasuhan orang tua kepada anak-
anaknya dalam sebuah keluarga. Dapat dikatakan bahwa kemiripan penyebutan istilah
“sharenting” dan “parenting” memang berdasarkan kedekatan hubungan kedua istilah
tersebut. Istilah “sharenting” muncul pertama kali dalam The Wall Street Journal pada
kajiannya di tahun 2013, yang ditulis oleh Steven Leckart, dimana di dalamnya disebutkan
bahwa istilah ini merupakan kombinasi atau gabungan dari kata “sharing” dan kata
“parenting”. (https://en.wikipedia.org/wiki/Sharenting)
“Sharenting” pada dasarnya digunakan untuk menyebut kebiasaan orang tua masa
sekarang dalam membagikan informasi tentang anaknya secara online dalam media sosial.
“Oversharenting” kemudian menunjuk pada terlalu banyaknya informasi yang dibagikan
oleh orang tua masa sekarang, tentang kehidupan anaknya melalui kiriman-kiriman (posts)
di akun jejaring sosialnya, dengan menafikan perlu atau tidaknya, penting atau tidaknya,
riskan atau tidaknya. Secara lebih luas, istilah “oversharenting” kemudian meliputi seluruh
aktivitas membagikan informasi yang berlebihan oleh orang tua dalam lini masa jejaring
sosialnya berkenaan dengan pengasuhan anak (parental sharing).

Mengapa “oversharenting” menjadi sensitif?


Arus opini dalam media sosial yang nyaris tak terkendali, dikhawatirkan dapat
menjadi ancaman bagi masa depan seorang anak yang masa kecilnya telah menjadi “objek”
opini dan harapan sosial dunia maya, bahkan sebelum dirinya dapat berbuat apa-apa untuk
menerima atau menolak label yang diakibatkan oleh pembagian informasi berlebih dari
orang tuanya. Fenomena ini menjadi mengkhawatirkan karena masa dimana anak
seharusnya mulai disiapkan lingkungan positif untuk membentuk dasar bagi konsep dirinya,
orang tua generasi millenial terjebak pada harapan sosial semu dunia maya.
Fenomena “oversharenting” ini masih menjadi perdebatan dalam bidang pendidikan
dan psikologi perkembangan anak. Akan tetapi ketidakmampuan kita membaca masa depan
seharusnya kita sikapi dengan kehati-hatian dalam memilihkan apa yang benar-benar
dibutuhkan oleh anak untuk mendukung tumbuh-kembangnya, dan apa yang hanya
dijadikan oleh orang tua sebagai perangkat pendukung pembentukan identitas yang tak
tuntas pada masa remaja. Tentu saja yang dimaksudkan adalah tumbuh-kembang anak yang
sehat secara psikologis, yaitu ketika anak tumbuh dan berkembang dengan konsep diri yang
nyata yang dapat mengantarkannya menapaki jalan hidup yang nyata pula saat ia dewasa
kelak. Anak harus dibiasakan menerima kondisi dirinya secara nyata, dengan keterbatasan-
keterbatasan yang sangat wajar dan pasti. Anak harus dilindungi dari rekayasa-rekayasa
semu tentang dirinya, yang hal tersebut dikhawatirkan dapat menyebabkannya mengulangi
“nasib” sama dengan orang tuanya, yang gagal melalui masa pencarian jatidiri. ( )

Anda mungkin juga menyukai