Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Chronic Kidney Disease (CKD) atau gagal ginjal kronik adalah kehilangan atau
penurunan fungsi ginjal yang sudah lanjut dan bertahap serta bersifat menahun
sehingga ginjal tidak dapat berfungsi dengan baik dan perlu dilakukan perawatan
dan pengobatan yang serius.1 CKD dapat berkembang cepat 2-3 bulan dan dapat
pula berkembang dalam waktu yang sangat lama 30-40 tahun.2
Chronic Kidney Disease telah menjadi kekhawatiran yang berkembang di dunia
karena prevalensinya yang meningkat serta hasil akhirnya yang buruk. Di Amerika
serikat penderita CKD mencapai 20 juta yang berarti 1 dari 9 orang dewasa.
Meskipun teknik dialisis dan transplantasi makin berkembang namun prognosis
gagal ginjal tetap buruk. Sistem pendataan ginjal di Amerika Serikat pada tahun
2001 menunjukkan angka lebih dari 76.500 kematian pasien dengan End Stage
Renal Disease (ESRD), angka ini seakan tidak berubah selama satu dekade terakhir.
Morbiditas gagal ginjal juga cukup tinggi di mana pasien yang menjalani dialysis
rata-rata 4 (empat) kondisi komorbid, 15 (lima belas) hari perawatan Rumah Sakit
(RS) per tahun, dan kualitas hidup yang lebih rendah dari rata-rata populasi. Jumlah
pasien dengan tingkat CKD yang lebih dini lebih besar namun mortalitas,
morbiditas, hari perawatan RS per tahun, dan kualitas hidup belum diteliti lebih
lanjut. Sebagian besar penderita tidak menyadari penyakit tersebut karena CKD
asimtomatik sampai ia berkembang dengan signifikan.3
Menurut Rahardjo (1996) dalam Lubis (2006), diperkirakan jumlah penderita
gagal ginjal kronik terus meningkat dan diperkirakan pertumbuhannya sekitar 10 %
setiap tahun. Saat ini belum ada penelitian epidemiologi tentang prevalensi penyakit
ginjal kronik di Indonesia. Dari data di beberapa pusat nefrologi di Indonesia
diperkirakan insidens dan prevalensi penyakit ginjal kronik masing-masing berkisar
100 - 150/ 1 juta penduduk dan 200 - 250/ 1 juta penduduk. Berdasarkan hasil studi
dokumentasi dari bagian pencatatan dan pelaporan di Ruang Melati Lantai 2 Rumah
Sakit Pusat dr. Hasan Sadikin Bandung, tercatat selama kurun waktu bulan Januari

1
sampai dengan April 2008, klien yang dirawat dengan gagal ginjal kronik mencapai
22 orang dengan persentase 27,5 %.2
Pendekatan diagnosis pada gagal ginjal kronik dapat menggunakan temuan
gambaran klinis, laboratoris, radiologis dan histopatologi ginjal.Temuan ginjal
kecil ekogenik bilateral (<10 cm) menggunakan USG mendukung dianosis CKD,
meskipun ginjal yang normal atau besar dapat pada gagal ginjal yang disebabkan
penyakit ginjal polikistik dewasa, nefropati diabetik, nefropati terkait HIV,
mieloma multipel, amiloidosis, dan uropati obstruktif.1

I.2 Tujuan Penulisan


1. Sebagai syarat untuk mengikuti ujian akhir program pendidikan profesi di
Bagian kepaniteraan Radiologi di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP)
Persahabatan
2. Untuk menambah ilmu pengetahuan gambaran radiologi pada Chronic
Kidney Disease (CKD) baik bagi petugas medis maupun masyarakat umum.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu sindroma klinis yang disebabkan
oleh penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif, dan
cukup lanjut.4
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3
bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti
proteinuria, yang ditandai dengan peningkatan ureun dan kreatinin. Jika tidak
ada tanda kerusakan ginjal diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai
laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m². Batasan penyakit ginjal
kronik.4
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal,
dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
 Kelainan patologik
 Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan radiologi
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau
tanpa kerusakan ginjal.

II.2 Epidemiologi
Di Amerika serikat penderita CKD mencapai 20 juta yang berarti 1 dari 9
orang dewasa. Meskipun teknik dialisis dan transplantasi makin berkembang
namun prognosis gagal ginjal tetap buruk. Sistem pendataan ginjal di Amerika
Serikat pada tahun 2001 menunjukkan angka lebih dari 76.500 kematian pasien
dengan End Stage Renal Disease (ESRD), angka ini seakan tidak berubah selama
satu dekade terakhir.
Menurut Rahardjo (1996) dalam Lubis (2006), diperkirakan jumlah penderita
gagal ginjal kronik terus meningkat dan diperkirakan pertumbuhannya sekitar
10 % setiap tahun. Saat ini belum ada penelitian epidemiologi tentang prevalensi

3
penyakit ginjal kronik di Indonesia. Dari data di beberapa pusat nefrologi di
Indonesia diperkirakan insidens dan prevalensi penyakit ginjal kronik masing-
masing berkisar 100 - 150/ 1 juta penduduk dan 200 - 250/ 1 juta penduduk.
Berdasarkan hasil studi dokumentasi dari bagian pencatatan dan pelaporan di
Ruang Melati Lantai 2 Rumah Sakit Pusat dr. Hasan Sadikin Bandung, tercatat
selama kurun waktu bulan Januari sampai dengan April 2008, klien yang dirawat
dengan gagal ginjal kronik mencapai 22 orang dengan persentase 27,5 %.2

II.3 Embriologi Sistem Kemih


A. Sistem ginjal
Pada manusia terdapat 3 proses pembentukan ginjal:5
1. Pronefros
Proses yang digambarkan oleh 7-10 kelompok sel padat di daerah leher.
Kelompok yang pertama membentuk nefrotom vestigium yang menghilang
sebelum nefrotom yang di sebelah kaudal terbentuk. Pada akhir minggu 4, semua
tanda sistem pronefros menghilang.

Gambar 1 Pronefros
2. Mesonefros
Mesonefros dan salurannya berasal dari mesoderm intermedia (dari segmen
lumbal bagian atas L3). Pada minggu ke 4, sistem mesonefros mulai tampak.
Saluran ini memanjang dengan cepat, membentuk sebuah gelung yang berbentuk
huruf S dan terdapat glomerolus diujung medialnya dan membentuk simpai
bowman. Simpai bowman + glomerolus => korpuskulus mesonefrikus (ginjal).

4
Di sebelah lateral, saluran yang bermuara pada saluran pengumpul memanjang
=> duktus mesonefrikus/duktus wolf. Pada pertengahan minggu ke 2,
mesonefros membentuk organ bulat telur yang besar (terdapat di kiri dan kanan
garis tengah). Pada medial mesonefros terdapat gonad, sehingga rigi-rigi yang

dibentuk ke 2 organ besar tadi disebut rigi urogenital.


Gambar 2 Mesonefros
3. Metanefros
Proses ini tampak minggu ke 5. Satuan-satuan ekskresi berkembang dari
mesonefros metanefros dan akan berfungsi pada trimester pertama.

Gambar 3 Metanefros

B. Sistem Pengumpul
Berkembang dari tunas ureter (tonjolan saluran mesonefros yang di dekat
muara kloaka). Tunas ureter menembus jaringan metanefros yang menutup
ujung distalnya sebagai topi. Tunas melebar membentuk piala ginjal (pelvis

5
renalis) primitif dan terbagi menjadi kranial dan kaudal membentuk kalises
mayores.
Sambil terus menembus lebih jauh ke dalam jaringan metanefros, tiap-tiap
kaliks akan membentuk 2 tunas baru, dan akan terus membelah hingga terbentuk
12 generasi saluran atau lebih. Sementara itu, di bagian tepi, terbentuk lebih
banyak saluran hingga akhir bulan ke 5. Saluran generasi ke 2 membesar dan
menyerap masuk saluran generasi ke 3 dan ke 4, sehingga terbentuklah kalises
minor piala ginjal. Pada perkembangan selanjutnya, saluran generasi ke 5 dan
seterusnya sangat memanjang dan menyebar dari kaliks minor dan membentuk
piramida ginjal. Dengan demikian, tunas ureter membentuk ureter, piala ginjal,
kalises mayor dan minor, dan kurang lebih 1-3 juta saluran pengumpul.5
C. Sistem Eksresi
Tiap-tiap saluran yang baru terbentuk akan ditutupi topi jaringan metanefrik
diujungnya. Sel-sel topi jaringan ini membentuk gelembunggelembung kecil
vesikel renalis, yang akan menjadi saluran-saluran kecil, yang bersama-sama
berkas kapiler dikenal sebagai glomeruli membentuk nefron/ satuan eksresi.
ujung proksimal masing-masing nefron membentuk simpai bowman, yang
didalamnya berisi glomerulus. sedangkan ujung distalnya membentuk hubungan
terbuka dengan salah satu saluran pengumpul, sehingga terbentuk jalan
penghubung dari glomerulus ke salah satu saluran pengumpul. pemanjangan
saluran ekskresi terus menerus mengakibatkan pembentukan tubulus kontortus
proksimal, ansa henle, dan tubulus kontortus distal. Ginjal berkembang dari 2
sumber yang berbeda :
1. Mesoderm metanefros yang akan membentuk satuan eksresi.
2. Tunas ureter yang membentuk sistem pengumpul.
Pada saat lahir, ginjal berlobulasi. Selama masa anak-anak, gambaran
lobulasi menghilang karena pertumbuhan nefron lebih lanjut. Akan tetapi,
jumlahnya tidak bertambah.5
D. Posisi Ginjal
Ginjal yang semula terletak di daerah panggul akan bergeser kedudukannya
lebih ke kranial ke rongga perut. Naiknya ginjal disebabkan oleh kurangnya
kelengkungan maupun pertumbuhan tubuh di daerah lumbal dan sakral. Di

6
panggul, metanefros menerima aliran darah dari sebuah cabang panggul dari
aorta. Dalam perjalanan naik ke rongga perut, ginjal diperdarahi oleh pembuluh-
pembuluh nadi yang berasal dari aorta yang letaknya semakin meninggi.
Pembuluh-pembuluh yang lebih rendah biasanya akan berdegenerasi.5

II.4 Anatomi Ginjal


Ginjal merupakan organ pada tubuh manusia yang menjalankan banyak
fungsi untuk homeostasis, yang terutama adalah sebagai organ ekskresi dan
pengatur kesetimbangan cairan dan asam basa dalam tubuh. Terdapat sepasang
ginjal pada manusia, masing-masing di sisi kiri dan kanan (lateral) tulang
vertebra dan terletak retroperitoneal (di belakang peritoneum). Selain itu
sepasang ginjal tersebut dilengkapi juga dengan sepasang ureter, sebuah vesika
urinaria (bulibuli/kandung kemih) dan uretra yang membawa urin ke lingkungan
luar tubuh.6

Gambar 4. Batas-batas Ginjal


Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terdapat sepasang
(masing-masing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan posisinya
retroperitoneal. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah 10 (kurang lebih 1 cm)
dibanding ginjal kiri, hal ini disebabkan adanya hati yang mendesak ginjal

7
sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11 (vertebra T12),
sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11 atau iga 12. Adapun
kutub bawah ginjal kiri adalah processus transversus vertebra L2 (kira-kira 5 cm
dari krista iliaka) sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah pertengahan
vertebra L3. Dari batas-batas tersebut dapat terlihat bahwa ginjal kanan
posisinya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri.6
II.3.1 Makroskopis
Ginjal pada orang dewasa berukuran 11-12 cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,3-3 cm,
kira-kira sebesar kepalan tangan manusia dewasa. Berat kedua ginjal kurang dari
1% berat seluruh tubuh atau kurang lebih beratnya antara kacang, dengan
lekukan yang menghadap ke dalam. Jumlahnya ada 2 buah yaitu kiri dan kanan,
ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan dan pada umumnya ginjal laki-laki lebih
panjang dari pada ginjal wanita. Ginjal kanan biasanya terletak sedikit ke bawah
dibandingkan ginjal kiri untuk memberi tempat lobus hepatis dexter yang besar.
Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yang tebal.
Kedua ginjal dibungkus oleh dua lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak
pararenal) yang membantu meredam guncangan.6

Gambar 5. Tampak Anterior dari Potongan Ginjal Kanan

8
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa,
terdapat cortex renalis di bagian luar, yang berwarna coklat gelap, dan medulla
renalis di bagian dalam yang berwarna coklat lebih terang dibandingkan cortex.
Bagian medulla berbentuk kerucut yang disebut pyramides renalis, puncak
kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil disebut
papilla renalis.7
Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu masuknya
pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus. Pelvis renalis berbentuk
corong yang menerima urin yang diproduksi ginjal. Terbagi menjadi dua atau
tiga kaliks renalis majores yang masing masing akan bercabang menjadi dua atau
tiga kaliks renalis minores. Medulla terbagi menjadi bagian segitiga yang disebut
piramid. Piramid-piramid tersebut dikelilingi oleh bagian korteks dan tersusun
dari segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papila atau apeks
dari tiap piramid membentuk duktus papilaris bellini yang terbentuk dari
kesatuan bagian terminal dari banyak duktus pengumpul.7
II.3.2 Mikroskopis
Ginjal terbentuk oleh unit yang disebut nephron yang berjumlah 1-1,2 juta
buah pada tiap ginjal. Nefron adalah unit fungsional ginjal. Setiap nefron terdiri
dari kapsula bowman, tumbai kapiler glomerulus, tubulus 13 kontortus
proksimal, lengkung henle dan tubulus kontortus distal, yang mengosongkan diri
keduktus pengumpul.7
Unit nephron dimulai dari pembuluh darah halus / kapiler, bersifat sebagai
saringan disebut Glomerulus, darah melewati glomerulus/ kapiler tersebut dan
disaring sehingga terbentuk filtrat (urin yang masih encer) yang berjumlah kira-
kira 170 liter per hari, kemudian dialirkan melalui pipa/saluran yang disebut
Tubulus. Urin ini dialirkan keluar ke saluran Ureter, kandung kencing, kemudian
ke luar melalui Uretra. Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut
(terutama elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring darah,
kemudianmereabsorpsi cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh.
Molekul dan sisa cairan lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan
dilakukan menggunakan mekanisme pertukaran lawan arus dan kotranspor.
Hasil akhir yang kemudian diekskresikan disebut urin.7

9
Gambar 6. Anatomi dan Histologi Ginjal

Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan


simpatis ginjal melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui n.splanchnicus major,
n.splanchnicus imus dan n.lumbalis. Saraf ini berperan untuk vasomotorik dan
aferen viseral. Sedangkan persarafan simpatis melalui n.vagus.8
Menurut Van de Graff, divisi utama dari aliran darah adalah sirkulasi paru
dan sirkulasi sistemik. Sirkulasi paru termasuk pembuluh darah yang
mengangkut darah ke paru-paru untuk pertukaran gas dan kemudian kembali ke
jantung. Ini terdiri dari ventrikel kanan yang memompa darah, trunkus
pulmonalis dengan valva pulmonalis, arteri pulmonalis yang mengangkut darah
terdeoksigenasi ke paru-paru, kapiler paru dalam setiap paru-paru, vena
pulmonalis yang transportasi oksigen darah kembali ke jantung, dan atrium kiri
yang menerima darah dari vena pulmonalis. Sirkulasi sistemik melibatkan semua
bagian dari tubuh yang bukan merupakan bagian dari sirkulasi paru-paru, yaitu
atrium kanan, ventrikel kiri, aorta dengan valva aorta, semua cabang aorta,

10
semua kapiler selain yang di paru-paru yang terlibat dengan pertukaran gas.
Atrium kanan menerima semua vena yang kembalinya darah oksigen dari
pembuluh darah sistemik.8

Gambar 7. Vaskularisasi Seluruh Tubuh

Ginjal mendapatkan aliran darah dari arteri renalis yang merupakan cabang
langsung dari aorta abdominalis, sedangkan darah vena dialirkan melalui vena
renalis yang bermuara ke dalam vena kava inferior. Sistem arteri ginjal adalah
end arteries yaitu arteri yang tidak mempunyai anastomosis dengan cabang–
cabang dari arteri lainnya, sehingga jika terdapat kerusakan salah satu cabang
arteri ini, berakibat timbulnya iskemia/nekrosis pada daerah yang dilayaninya.
Arteri renalis memasuki ginjal melalui hilus dan kemudian bercabang cabang
secara p r o gr e s i f membentuk arteri interlobaris, arteri arkuarta, arteri
interlobularis, dan arteriol aferen yang menuju ke kapiler glomerulus tempat
sejumlah besar cairan dan zat terlarut difiltrasi untuk pembentukan urin. Ujung

11
distal kapiler pada setiap glomerulus bergabung untuk membentuk arteriol
eferen, yang menuju jaringan kapiler kedua, yaitu kapiler peritubulus yang
mengelilingi tubulus ginjal. Kapiler peritubulus mengosongkan isinya ke
dalam pembuluh sistem vena, yang berjalan secara paralel dengan pembuluh
arteriol secara prorgesif untuk membentuk vena interlobularis, vena arkuarta,
vena interlobaris, dan vena renalis, yang meninggalkan ginjal di samping arteri
renalis dan ureter.9

Gambar 8. Suplai Darah Ginjal dan Perjalanannya

II.5 Fisiologi
Fungsi ginjal yaitu mengeluarkan zat-zat toksik atau racun; mempertahankan
keseimbangan cairan; mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari
cairan tubuh; mempertahankan keseimbangan garam-garam dan zat-zat lain
dalam tubuh; mengeluarkan sisa metabolisme hasil akhir sari protein ureum,
kreatinin dan amoniak. Tiga tahap pembentukan urin :10

12
II.5.1 Filtrasi glomerular
Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus, seperti
kapiler tubuh lainnya, kapiler glumerulus secara relatif bersifat impermiabel
terhadap protein plasma yang besar dan cukup permabel terhadap air dan larutan
yang lebih kecil seperti elektrolit, asam amino, glukosa, dan sisa nitrogen. Aliran
darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow) adalah sekitar 25% dari curah jantung
atau sekitar 1200 ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma atau sekitar 125
ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsula bowman. Ini dikenal dengan
laju filtrasi glomerulus (GFR = Glomerular Filtration Rate). Gerakan masuk ke
kapsula bowman’s disebut filtrat. Tekanan filtrasi berasal dari perbedaan
tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus dan kapsula bowman’s, tekanan
hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus mempermudah filtrasi dan kekuatan
ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula bowman’s serta
tekanan osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh
tekanan-tekanan koloid diatas namun juga oleh permeabilitas dinding kapiler.
II.5.2 Reabsorpsi
Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non elektrolit,
elektrolit dan air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorpsi selektif zat-
zat tersebut kembali lagi zat-zat yang sudah difiltrasi.
II.5.3 Sekresi
Sekresi tubular melibatkan transfor aktif molekul-molekul dari aliran darah
melalui tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak terjadi
secara alamiah dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang secara alamiah
terjadi dalam tubuh termasuk asam urat dan kalium serta ion-ion hidrogen.
Pada tubulus distalis, transfor aktif natrium sistem carier yang juga telibat
dalam sekresi hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam hubungan ini, tiap
kali carier membawa natrium keluar dari cairan tubular, cariernya bisa hidrogen
atau ion kalium kedalam cairan tubular “perjalanannya kembali” jadi, untuk
setiap ion natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau kalium harus disekresi dan
sebaliknya.

13
Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada konsentrasi cairan
ekstratubular (CES) dari ion-ion ini (hidrogen dan kalium).
Pengetahuan tentang pertukaran kation dalam tubulus distalis ini membantu kita
memahami beberapa hubungan yang dimiliki elektrolit dengan lainnya. Sebagai
contoh, kita dapat mengerti mengapa bloker aldosteron dapat menyebabkan
hiperkalemia atau mengapa pada awalnya dapat terjadi penurunan kalium
plasma ketika asidosis berat dikoreksi secara theurapeutik.

II.6 Etiologi dan Faktor Resiko


Meskipun CKD dapat disebabkan oleh kelainan atau penyakit dari ginjal itu
sendiri, namun penyebab utamanya adalah :1
II.6.1 Diabetes Melitus type 1 dan 2
Diabetes Melitus dapat menyebabkan kondisi diabetic nefrofathy dan
merupakan penyebabkan utama penyakit ginjal di Unted State.1 Menurut
American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005) diabetes
melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator,
karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan
berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat
timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya
perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih
sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung
lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan
diperiksa kadar glukosa darahnya.3
II.6.2 Hipertensi
Hipertensi jika tidak terkontrol dapat mengakibat kerusakan pada ginjal.1
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik ≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi.
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu
hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya
atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal.3

14
II.6.3 Glomerulonephritis
Glomerulonephritis adalah inflamasi dan kerusakan dari system filtrasi di
ginjal dan dapat menyebabkan gagal ginjal. Kondisi post infeksi dan LUPUS
adalah penyebab utama glomerulonephritis.1 Istilah glomerulonefritis
digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya tidak jelas, akan
tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu pada
glomerulus. Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis
dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit
dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder
apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes
melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau
amiloidosis.Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan
ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan
atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal
seperti dialisis.3
II.6.4 Polycystic kidney diease
Polycystic kidney diease adalah contoh penyebab yang sifatnya herediter
dari CKD, dimana ginjal mempunyai multiple cystic.1 Kista adalah suatu
rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang semisolid.
Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-kista
yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh
karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau
penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering
didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal
polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian
besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini
dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan
autosomal lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik
dewasa.3
II.6.5 Penggunaan analgetik
Penggunaan analgetik seperti asetaminofen (Tylenol ) dan ibuprofen
(motrin, advil) secara reguler dan dalam waktu lama dapat menyebabkan

15
neprophaty analgetic. Beberapa jenis obat yang lain dapat pula menyebabkan
kerusakan di ginjal.
II.6.5 Artherosclerosis
Artherosclerosis menyebabkan kondisi yang disebut ischemik
neprophathy.
II.6.6 Obstruksi aliran urine
Obstruksi aliran urine oleh karena batu saluran kencing, pembesaran
prostat, stuktur atau cacer dapat menyebabkan kidney disease.
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai
berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan
ginjal polikistik (10%).
Berdasarkan data dari National Kidney Foundation pada tahun 2009 faktor risiko
gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau hipertensi,
obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat
penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga.3

16
II.7 Patofisiologi

17
3
GFR : Glomerulus Filtration Rate
GGK : Gagal Ginjal Kronik
RAA : Renin Angiotensin Aldosteron
COP :Cardiac Output

18
Penurunan fungsi ginjal yang progresif tetap berlangsung terus meskipun
penyakit primernya telah diatasi atau telah terkontrol. Hal ini menunjukkan adanya
mekanisme adaptasi sekunder yang sangat berperan pada kerusakan yang sedang
berlangsung pada penyakit ginjal kronik. Bukti lain yang menguatkan adanya
mekanisme tersebut adalah adanya gambaran histologik ginjal yang sama pada
penyakit ginjal kronik yang disebabkan oleh penyakit primer apapun. Perubahan
dan adaptasi nefron yang tersisa setelah kerusakan ginjal yang awal akan
menyebabkan pembentukan jaringan ikat dan kerusakan nefron yang lebih lanjut.
Demikian seterusnya keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir
dengan gagal ginjal terminal.3

II.8 Klasifikasi

CKD jarang reversibel dan mengarah pada penurunan progresif fungsi ginjal.
Hal ini terjadi bahkan setelah kejadian yang memicu telah disingkirkan.
Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi nefron-nefron yang tersisa
dengan hiperfiltrasi, dan angka Glomerus Filtration Rate pada nefron-nefron
tersebut di atas normal. Adaptasi ini memberikan beban pada nefron-nefron tersisa
dan menyebabkan sklerosis glomerular progresif dan fibrosis intersisial, yang
menunjukkan bahwa hiperfiltrasi memperburuk fungsi ginjal.
Definisi tidak dapat berdasarkan nilai kreatinin serum (Creatinin Clearence
Test) semata karena korelasi non-linear antara nilai kreatinin serum dengan GFR.
Namun demikian prediksi GFR dapat dilakukan dengan memasukkan nilai
kreatinin serum ke dalam persamaan tertentu dengan mempertimbangkan pula jenis
kelamin, usia, ras, dan ukuran tubuh.
Caranya, cukup mengukur kadar kreatinin darah (sCr: serum Creatinin), bisa
diketahui persentase fungsi ginjal dari GFR-nya dengan rumus :
Laki-laki GFR = (140 - umur) x (BB)/ (serum Creatinin x 72)
Wanita GFR = (140 - umur) x (BB) x 0.85/ (serum Creatinin x 72)
Pengukuran klirens kreatinin menggunakan penampungan urin 24 jam tidak
memberikan perkiraan GFR yang lebih tepat dibandingkan menggunakan
persamaan. Klasifikasi CKD menurut National Kidney Foundation adalah sebagai
berikut :3

19
Tingkat Deskripsi GFR Nilai

Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau menurun 90

Kerusakan ginjal dengan GFR menurun ringan 60-89

GFR menurun sedang 30-59

GFR menurun berat 15-29

Gagal ginjal < 15 (atau dialysis)

Tabel 1. Klasifikasi CKD menurut National Kidney Foundation

II.9 Diagnosis
II.9.1 Anamnesa
Gejala dan tanda-tanda jelas penyakit ginjal sering tidak ada sampai gagal ginjal
terjadi. Dengan demikian, diagnosis penyakit ginjal sering mengejutkan pasien dan
mungkin menjadi penyebab keraguan dan penolakan. Aspek-aspek tertentu dari
riwayat yang berhubungan erat dengan penyakit ginjal termasuk riwayat hipertensi
(yang dapat menyebabkan CKD atau menjadi refleksi dari CKD), diabetes mellitus,
urinalisis abnormal, dan masalah dengan kehamilan seperti preeklampsia atau
kehilangan kehamilan dini. Dalam mengevaluasi sindrom uremik, pertanyaan
tentang nafsu makan, penurunan berat badan, mual, cegukan, edema perifer, kram
otot, dan pruritus sangat membantu.
II.9.2 Gambaran Klinis4
 Fatigue dan lemah
Fatigue dan lemah akibat anemia dan akumulasi dari produk sisa metabolism.
 Loss of appetite, nausea & vomiting
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal
ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah
masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh
flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan
iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan

20
saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet
protein dan antibiotika.
 Edema
 Gatal, mear, kulit pucat
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan
diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini
akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering
dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan
dinamakan urea frost.
 Sakit kepala, peripheral neurophaty, gangguan tidur, gangguan status mental
(encephalopaty karena uremia)
 Kelainan Mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien
gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari
mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya
hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan
pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi
maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik.
Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan
gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati
mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat
penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
 Hipertensi
 Edema pulmonal sehingga timbul sesak nafas
 Nyeri sendi, tulang dan fraktur
 Disfungsi seksual
II.9.2 Pemeriksaan Penunjang
II.9.2.1 Pemeriksaan Laboratorium
Gambaran laboratorium CKD meliputi :4
a. Sesuai penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum dan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG)

21
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan Hb, peningkatan asam
urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiperfosfatemia, asidosis
metabolik
d. Kelainan urinalisis berupa proteinuria, hematuri, leukosuria.
II.9.2.2 Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya,
yaitu:
 Foto polos abdomen
Pada foto polos abdomen perhatikan dan ukur kontur ginjal. Pada foto
polos kontur ginjal sering tidak tervisualisasi.
Pielografi retrograde adalah pemasukan zat kontras melalui kateter ke
dalam ureter dan pelvis ginjal yang dapat dilakukan selama sistoskopi.
Dilakukan untuk mendeteksi batu ginjal, tumor, hyperplasia prostat,
penyebab dari hematuria dan infeksi saluran kemih, dan mengeluarkan
batu ginjal.
 BNO-IVP
Pemeriksaan IVP untuk mengetahui adanya kelainan pada sistem
urinary, dengan melihat kerja ginjal dan sistem urinary pasien. Dengan
IVP dapat diketahui adanya kelainan pada sistem tractus urinary dari batu
ginjal, pembesaran prostat, dan tumor pada ginjal, ureter. Kontra
Indikasinya adalah alergi terhadap media kontras, pasien yang mempunyai
kelainan atau penyakit jantung, pasien dengan riwayat atau dalam
serangan jantung, neonates, diabetes mellitus tidak terkontrol, pasien yang
sedang dalam keadaan kolik, dan hasil ureum dan kreatinin yang tidak
dalam batas normal.

22
Gambar 9. Foto polos konvensional abdomen yang terdiri dari ginjal, ureter, dan
kandung kemih yang diperoleh setelah pemberian kontras IV untuk urografi
menunjukkan sistem pengumpulan normal. Kaliks (panah), pelvis renal (P), ureter (*)
and kandung kemih (B).

 Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan penunjang radiologis yang umumnya dilakukan pada pasien
gagal ginjal adalah pemeriksaan dengan ultrasonografi. USG saat ini
digunakan sebagai pemeriksaan pertama secara rutin pada keadaan gagal
ginjal yang digunakan untuk memperoleh informasi tentang parenkim, sistem
collecting dan pembuluh darah ginjal.11 Gagal ginjal kronik pada umumnya
diikuti dengan kenaikan kadar kreatinin dan menimbulkan gambaran
ultrasonografi gagal ginjal kronik.1
Pemeriksaan ultrasonografi pada gagal ginjal untuk mengetahui adanya
pembesaran ginjal, kristal, batu ginjal, mengkaji aliran urin dalam ginjal.3
USG abdomen pada pasien gagal ginjal kronik biasanya ditandai
dengan korteks yang lebih hiperechoic hingga hampir sama dengan sinus
renalis.Selain itu dapat ditemukan pula ukuran ginjal yang mengecil dan batas
korteks medula yang tidak jelas. Pada pemeriksaan USG gambaran
hiperechoic pada parenkim ginjal kanan dapat menimbulkan kecurigaan
adanya radang pada ginjal kanan. Normalnya, parenkim ginjal pada bagian
korteks memiliki sonodensitas yang lebih rendah dari pada hepar, sehingga
bersifat hipoechoic.12
Sonodensitas yang lebih tinggi dapat ditemukan pada parenkim sinus
renalis karena komposisi lemak yang dimilikinya. Gambaran sonodensitas

23
parenkim yang meningkat mungkin disebabkan proses inflamasi akibat
riwayat konsumsi jamu dan obat-obatan yang sangat mungkin bersifat
nefrotoksik.12
Besar kedua ginjal yang masih normal pada USG menandakan proses
penyakit ginjal kronik yang masih awal dimana berkurangnya massa ginjal
belum jelas terlihat. Gambaran PCS yang tidak melebar dan tidak
ditemukannya batu pada struktur ginjal kanan dan kiri dapat menyingkirkan
kemungkinan proses obstruktif sebagai etiologi.

Gambar 10. This elderly male patient presented with symptoms of medical renal disease. Sonography of
the kidneys revealed:

1) bilateral echogenic (hyperechoic renal cortex) kidneys

2) both kidneys appear small in size (atrophic)

3) reduced thickness (thinning) of renal cortex (10mm.)

4) reduction in cortico-medullary differentiation

These ultrasound images are diagnostic of chronic medical renal disease (or chronic renal failure).

24
Gambar 11. Deskripsi dan Gambaran USG pada Derajat CKD
(a) Grade 0 Ginjal ukuran normal, echogenicity kortikal kurang dari limpa,
dengan diferensiasi kortiko-meduler yang terawat baik.
(b) Grade 1- Ginjal ukuran normal, echogenicity kortikal sama dengan
limpa, dengan diferensiasi kortiko-meduler yang dipertahankan.
(c) Grade 2- Ginjal ukuran normal, kortikal echogenisitas lebih dari limpa,
penurunan diferensiasi kortiko-meduler.
(e) Grade 4- panjang ginjal berkurang, echogenicity kortikal lebih dari
limpa, dengan diferensiasi kortiko-meduler yang tidak baik.

 CT Scan
Berguna untuk mendefinisikan massa dan kista ginjal dengan lebih baik
yang biasanya dicatat pada ultrasonogram, serta tes paling sensitif untuk
mengidentifikasi batu ginjal.

25
Gambar 12. CT scan polikistik ginjal. Ginjal kanan kistik, status nephrectomy sisi kiri.
Kista protein tinggi (gambaran hiperdens tanpa peningkatan kontras) - ditandai dengan
panah biru. Peningkatan parenkim ginjal yang normal - ditandai dengan panah tebal.

Gambar 13. CT scan pada batu ginjal

 Nefrogram
Pemeriksaan Renograf dapat melihat adanya gejala kelainan ginjal. Hasil
yang diperoleh dari renograf adalah grafik renogram. Teknik Renografi untuk
memeriksa fungsi ginjal telah dikenal sejak tahun 1950-an. Alat renograf
menggunakan radioisotop sebagai perunut (tracer) yang dimasukkan ke

26
dalam tubuh pasien. Indikasi pemeriksaan renografi dapat dilakukan atas
permintaan dokter untuk pasien dengan berbagai latar belakang klinis
gangguan fungsi ginjal. Renografi dalam sistem pelayanan kesehatan dapat
berperan sebagai sarana screening diagnostic maupun sebagai sarana
pemantauan hasil pengobatan atau tindakan medis.
Waktu yang diperlukan untuk persiapan dan pemeriksaan pasien relatif
singkat. Dosis isotop yang lebih aman (seperempat dari yang diperlukan pada
penggunaan kamera gamma), kelengkapan perangkat lunak (software) yang
mudah digunakan (user friendly) dan kesederhanaan alat yang tidak
memerlukan personil terdidik khusus (high skill personnel) untuk
pengoperasian dan perawatan alat, serta biaya investasi yang kurang dari
sepersepuluh kamera gamma, sehingga biaya operasional per pasien sangat
ekonomis. Renograf Dual Probes sesuai untuk rumah sakit kecil yang belum
memiliki kamera gamma, ataupun rumah sakit sibuk yang berusaha
mengurangi beban penggunaan kamera gamma yang telah ada untuk
pemeriksaan ginjal.
Radioisotop yang dikandung oleh ginjal akan menjadi sumber radiasi bagi
alat renograf. Selanjutnya radiasi yang dipancarkan akan dideteksi oleh suatu
detector yang terdaoat pada alat renograf. Dalam kedokteran nuklir,
pengamatan terhadap perunut yang dilakukan dari luar tubuh penderita
disebut pengamatan “in-vivo” yang artinya memasukkan radioisotop γ ke
dalam tubuh manusia.
Pada prinsipnya alat renograf bekerja sebagai alat pencacah aktivitas
perunut radioisotop yang terkandung oleh ginjal. Suatu perunut radioisotope
I-131 disuntikkan pada tubuh pasien secara intravena. Parunut akan dibawa
oleh darah ke organ-organ tubuh dan disebarkan ke seluruh pembuluh darah
yang ada di organ-organ tersebut, yang berakhir di ginjal. Pada ginjal perunut
dikumpulkan pada pelvis renalis, kemudian bersama-sama zat lain yang tidak
berguna dibuang melalui urine. Peristiwa mengalirnya perunut radioaktif
dalam pembuluh-pembuluh ginjal dideteksi oleh detector yang diletakkan
tepat pada posisi organ ginjal. Dari pemantauan detector dihasilkan laju
cacahan atau jumlah pulse per detik.

27
Tabel 2. Dosis Dewasa untuk Renogram
Persiapan pemeriksaan renografi yaitu yakinkan peralatan telah disiapkan
sesuai radiofarmaka yang akan digunakan (setting LLD-ULD) dan telah
dilakukan uji kesetabilan (chi-square test). Berikan kepada pasien air minum
(hydrate) sebanyak 250 s/d 500 ml sebelum prosedur pemeriksaan. Pasien
diminta buang air kecil sebelum pengaturan posisi pemeriksaan. Isikan data
pasien pada form file baru (pada komputer).
Atur posisi pasien (duduk atau tiduran), arahkan masing-masing probe ke
ginjal kiri dan kanan, pasien diminta untuk tidak menggerakkan punggung
selama pemeriksaan. Ketepatan posisi dan pengaturan arah probe sangat
menentukan keberhasilan pengukuran. Kunci posisi kursi/tempat tidur pasien
dan detektor probes agar tidak berubah selama pengukuran. Injeksikan
radiofarmaka secara intravena pada lengan kanan atau lengan kiri pasien
(gunakan bolus teknik), serentak dengan injeksi mulailah pengukuran.
Pengukuran berlangsung selama 18 s/d 20 menit dan dapat diperpanjang
sampai 40 menit apabila diperlukan.
Pada dasarnya metoda renografi adalah memonitor kedatangan, sekresi,
ekskresi (arrival, uptake, transit and elimination) dari radiofarmaka pada
ginjal sesaat setelah injeksi intravena. Pemonitoran dari luar tubuh ini
dimungkinkan karena radiofarmaka yang digunakan mengandung isotop
yang memancarkan radiasi gamma. Hasil pengukuran adalah berupa kurva
renogram.
Fisiologis renogram (normal) terdiri atas 3 segmen (fase) :
 Fase I : Memberikan informasi tentang kapasitas respon renovaskuler.
Kurva memiliki up-slope yang tajam dan berlangsung cepat (sekitar 30
detik).

28
 Fase II : Memberikan informasi tentang kapasitas uptake, konsentrasi
dan sekresi jaringan parenchym ginjal (nephron). Kurva memiliki up-
slope yang lebih landai dan berlangsung kurang dari 5 menit.
 Fase III : Memberikan informasi tentang kapasitas ekskresi atau
eliminasi kedua ginjal. Kurva menurun (downslope) dimulai dari
puncak fase II sampai akhir pemeriksaan.
Ketiga fase merupakan refleksi keadaan urodinamik kedua ginjal.
Gangguan pada masing-masing fase memiliki makna klinis yang berbeda.
Walaupun secara komprehensif dapat saling mempengaruhi.13

Gambar 14. Pola renogram untuk kondisi ginjal tertentu

29
II.10 Pencegahan
Berdasarkan National Kidney Foundation pada tahun 2009 upaya pencegahan
terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai dilakukan pada stadium dini
penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan yang telah terbukti bermanfaat
dalam mencegah penyakit ginjal dan kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi
(makin rendah tekanan darah makin kecil risiko penurunan fungsi ginjal),
pengendalian gula darah, lemak darah, anemia, penghentian merokok, peningkatan
aktivitas fisik dan pengendalian berat badan.3

II.11 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :4
 Terapi spesifik terhadap penyakit dasar
 Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
 Memperlambat perburukan fungsi ginjal
 Pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular
 Pencegahan dan terapi komplikasi
 Terapi pengganti ginjal
Perencanaan tatalaksana CKD sesuai dengan derajat dapat dilihat pada tabel
berikut :
Derajat GFR Rencana Tatalaksana

>90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi


1 perburukan fungsi ginjal, memperkecil risiko
kardiovaskular

2 60-89 Menghambat perburukan fungsi ginjal

3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi

4 15-29 Persiapan terapi pengganti ginjal

5 <15 Terapi pengganti ginjal

Tabel 3. Rencana Tatalaksana CKD sesuai Derajat

30
II.11.1 Terapi spesifik terhadap penyakit dasar
Waktu yang paling tepat adalah sebelum terjadi penurunan GFR. Pada ukuran
ginjal yang masih normal secara USG, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal
dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Namun apabila GFR
menurun 20-30%, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
II.11.2 Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Faktor-faktor komorbid antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi
tidak terkontrol, infeksi traktur urinarius, obstruksi traktur urinarius, obat
nefrotoksik.
II.11.3 Menghambat perburukan fungsi ginjal
Faktor penyebab utama adalah hiperfiltrasi glomerulus. Cara penting untuk
mengurangi hiperfiltrasi glomerulus :
- Pembatasan asupan protein
Mulai dilakukan pada GFR <60 ml/menit. Protein diberikan 0,6-
0,8/kgBB/hari yang 0,35-0,50 diantaranya merupakan protein nilai biologi
tinggi. Jumlah kalori yang diberikan 30-35 kkal/kgBB/hari.
- Terapi farmakologis
Pemakaian obat antihipertensi sangat penting untuk memerlambat
perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi
intraglomerulus. Beberapa obat antihipertensi terutama penghambat enzim
konverting angiotensin dapat memperlambat proses perburukan fungsi
ginjal.
II.11.4 pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi ini adalah pengendalian
diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian
anemia, pengendalian hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan
gangguan elektrolit.
II.11.5 Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
- Anemia
Anemia pada CDK disebabkan oleh defisiensi eritropoitin. Evaluasi
anemia dimulai apabila kadar Hb <10 g% atau Ht <30 %.

31
Pemberian transfusi harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi
yang tepat dan pemantauan yang cermat. Sasaran Hb adalah 11-12 g/dl.
- Osteodistrofi renal
Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara mengatasi
hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol. Mengatasi
hiperfosfatemia dengan pembatasan asupan fosfat yaitu 600-800 mg/hari,
pemberian pengikat fosfat (garam kalsium, alumunium hidroksida, dan
garam magnesium), pemberian bahan kalsium memetik yang dapat
menghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid yaitu sevelamer
hidroklorida.
II.11.6 Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis,
dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.3
- Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat
pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal
(LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi
elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang
tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan
Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi
elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah,
dan astenia berat.
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang
telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan
ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput
semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup
baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala
yang ada adalah biaya yang mahal.

32
- Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi
medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65
tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular,
pasienpasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien
GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien
nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-
medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk
melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.
- Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
 Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh
(100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80%
faal ginjal alamiah
 Kualitas hidup normal kembali
 Masa hidup (survival rate) lebih lama
 Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan
dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan

II.12 Prognosis
Prognosis gagal ginjal kronis kurang baik, akibat terjadi komplikasi
penyakit. Faktor prognosis yang mempengaruhi meliputi komplikasi penyakit
anemia, asidosis metabolik, hiperkalemia, tekanan darah yang cenderung tidak
normal, edema, edema paru, fluktuasi berat badan, dan penyakit dasar batu ginjal,
glomerulonefretis, hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit dasar yang lainnya.
Faktor umur, jenis kelamin dan frekuensi hemodialisis juga perlu dipertimbangkan.

33
Prognosis penyakit ginjal kronis dapat ditentukan berdasarkan laju filtrasi
glomerulus dan albuminuria menurut kriteria kidney disease: improving global
outcomes (KDIGO), sebagai berikut :16

Gambar 15. Prognosis CKD berdasarkan GFR dan kategori albuminuria. Hijau,
risiko rendah (jika tidak ada penanda penyakit ginjal lainnya, tidak ada CKD);
Kuning, peningkatan risiko sedang; Oranye, risiko tinggi; Merah, risiko sangat tinggi

34
BAB III

KESIMPULAN

III.1 Kesimpulan
 Chronic Kidney Disease (CKD) menurut National Kidney Foundation
(NKF) di Amerika Serikat didefinisikan sebagai kerusakan ginjal atau
laju filtrasi glomerolus (GFR) < 60 mL/menit/1,73 m2 selama 3 bulan
atau lebih. Kadar ureum >40 mg/dl dan kreatinin >1.5 mg/dl dapat
menjadi suati tanda adanya gangguan fungsi ginjal.
 Menurut Rahardjo (1996) dalam Lubis (2006), diperkirakan jumlah
penderita gagal ginjal kronik terus meningkat dan diperkirakan
pertumbuhannya sekitar 10 % setiap tahun. Dari data di beberapa pusat
nefrologi di Indonesia diperkirakan insidens dan prevalensi penyakit
ginjal kronik masing-masing berkisar 100 - 150/ 1 juta penduduk dan
200 - 250/ 1 juta penduduk.
 Etiologi CKD dari yang terbanyak yaitu glomerulonefritis (25%),
diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%).
 Gambaran klinis pasien CKD yaitu lemas, penurunan nafsu makan,
edema.
 Pemeriksaan laboratorium yang mendukung diagnosis CKD yaitu kadar
ureum >40 mg/dl dan kreatinin serum >1.5 mg/dl.
 Pemeriksaan penunjang radiologi berupa foto polos abdomen, BNO-
IVP, ultrasonografi (USG), CT scan dan pemeriksaan renografi.
 USG saat ini digunakan sebagai pemeriksaan pertama secara rutin pada
keadaan gagal ginjal yang digunakan untuk memperoleh informasi
tentang parenkim, sistem collecting dan pembuluh darah ginjal.
Sedangkan renogram dapat melihat adanya gejala kelainan ginjal. Hasil
yang diperoleh dari renogram adalah grafik renografi.
 Penatalaksanaan CKD berupa terapi sesuai stage. Pada stage 1 terapi
berupa terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi perburukan
fungsi ginjal, memperkecil risiko kardiovaskular. Pada stage 2 terapi

35
berupa menghambat perburukan fungsi ginjal, stage 3 berupa evaluasi
dan terapi komplikasi, stage 4 berupa persiapan terapi pengganti ginjal
dan pada stage 5 berupa terapi pengganti ginjal. Terapi pengganti ginjal
tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi
ginjal.
 Prognosis gagal ginjal kronis pada stage 1-2 masih baik, stage 3
prognosis sedang dan pada stage 4-5 prognosisnya buruk.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Purwahyudi, Ari. Chronic Kidney Disease. Chronic Kidney Disease. 2010.


2. Hukari, Dwi. Leaflet Chronic Kidney Disease. Leaflet Manajemen
Nyeri.2010.
3. Nurdin HM. Chronic Kidney Disease. Be Smart and Educated 2010.
4. Suyono S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2001.
5. Langman, T.W. Sadler., 2010. Embriologi Kedokteran. Jakarta: EGC
6. Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 6th ed. Philadelphia: Saunders. 2006
7. Prince, A.Sylvia & Lorraine, M. Wilson. Patofisiologi :Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit. Edisi 8. Vol 2. Jakarta: EGC. 2005.
8. Van de Graaf KM. Human anatomy. 6th ed. US: The McGraw-Hill
Companies. 2001
9. Tortora, J & Derrickson, B. 2014. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi 6. USA: John Wiley & Sons, Inc.
10. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi ke-2. Jakarta:
EGC; 2001.
11. Rasad, Sjahriar. Radiologi Diagnostik. Edisi Kedua. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2005.
12. Antony, Joe. Chronic Renal Failure. Ultrasound Images of Diseases of the
Kidneys 2007.
13. Wahid. Renograf Dual Probes Sebagai Pendeteksi Fungsi Ginjal.
Instrumentasi Medis Fisika UI 2011.
14. Hsieh, Jun-Wei et al. Stage Classification in Chronic Kidney Disease by
Ultrasound Image. IVCNZ '14. 2014.
15. Gradzik, M et al. Diagnostic Imaging of Autosomal Dominant Polycystic
Kidney Disease. Pol J Radiol, 2016; 81: 441-453
16. Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO). Clinical Practice
Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease.
2012

37

Anda mungkin juga menyukai