3. Patofisiologi
Menurut Jitowiyono (2010) Cephalopelvic disproportion
(CPD) adalah disproporsi antara ukuran janin dan ukuran pelvis,
yakni ukuran pelvis tertentu tidak cukup besar untuk
mengakomodasi keluarnya janin tertentu melalui pelvis sampai
terjadi kelahiran pervagina. Dari sini perlu dilakukan pembedahan
untuk melahirkan janin dengan membuka perut dan dinding uterus
atau vagina atau suatu histerektomi untuk melahirkan janin dari
rahim yang disebut dengan SC (Sectio Caesarea). Dari sini klien
mengalami adaptasi fisiologi dan psikologi.
Pada adaptasi fisiologi seperti terputusnya konstiunitas yang
dapat menyebabkan nyeri. Komplikasi, pendaraham, dan volume
darah menurun dapat menyebabkan resti kurang dari volume cairan
serta jalan masuk organisme dapat menyebabkan intoleransi
aktivitas, efek anastesi menyebabkan peristaltik usus menurun serta
apabila belum flaktus tidak boleh makan minum akibatnya
pemenuhan nutrisi bertahap dapat menyebabkan terjadinya
perubahan pola makan yang akan menyebabkan munculnya
konstipasi. Penurunan hormon estrogen dan progesteron dapat
menyebabkan multimulasi hipofisis anterior dan posterior
menimbulkan laktasi yang menyebabkan pengeluaran ASI tidak
lancar yang dapat menimbulkan pembengkakan panyudara.
Adaptasi psikologi itu ada talking in, talking hold dan letting
go, kalao talking in dapt menyebabkan ketergantungan yang
mengakibatkan mobilisasi fisik menurun yang dapat menyebabkan
gangguan perawatan diri sedangkan talking hold dan letting go
kurang informasi yang dimiliki pasien tentang perawatan bayi dan
cara menyusui bayi yang benar menyebabkan kurang pengetahuan
tentang perawatan bayi dan cara menyusui bayi yang benar.
4. Manifestasi klinis
1) Plasenta previa sentralis dan laterasi (posterior).
2) Panggul sempit
Holemer mengambil batas terendah untuk melahirkan jsnin vias
naturalis ialah CV = 8 cm. Panggul dengan CV = 8 cm dapat
dipastikan tidak dapat melahirkan janin yang normal, harus
diselesikan dengan sectio caesaria. CV antara 8 – 10 cm boleh
dicoba dengan partus percobaan, baru setelah gagal dilakukan
sectio caesaria sekunder.
3) Disporsi sefalopelvik yaitu ketidak seimbangan antara ukuran
kepala dan ukuran panggul.
4) Rupture uteri mengancam
5) Pastus lama (prolonged labor).
6) Partus tak maju (obtructed labor).
7) Distosia serviks.
8) Pre-eklamsia dan hipertensi.
9) Malpresentasi janin:
a) Letak lintang
Greenhil dan Easman sama – sama sependapat
1) Bila ada kesempitan panggul makan sectio caesaria
adalah cara ang terbaik dalam segala letak lintang dengan
janin hidup dan besar biasa.
2) Semua primigravida dengan letak lintang harus ditolong
dengan sectio caesaria, walau tidak ada perkiraan
panggul semput.
3) Multipara dengan letak lintang dapat lebih dulu ditolong
dengan cara – cara lain.
b) Letak bokong
Sectio caesaria dianjurkan pada letak bokong bila ada:
1) Panggul sempit
2) Primigravida
3) Janin besar dan berharga
c) Presentasi dahi dan muka (letak defleksi)
d) Presentasi rangkap jika reposisi tidak berhasi
e) Gemeli, menurut Eastman sectio caesaria dianjurkan:
1) Bila janin pertama letak lintang atau presentasi bahu
(shoulder presentation).
2) Bila terjadi interlock (locking of the twins).
3) Distonia oleh karena tumor.
4) Gawat janin dan sebagainya.
5. Pemeriksaan penunjang
1) Pemantauan janin terhadap kesehatan janin.
2) Pemantauan EKG.
3) JDL dengan diferensial.
4) Elektrolit.
5) Hemoglobin/ hematokrit.
6) Golongan darah.
7) Urinalisis.
8) Amniosentesis terhadap maturitas paru janin sesuai indikasi.
9) Pemeriksaan sinar X sesuai indikasi.
10) Untrasound sesuai pesanan .
6. Penatalaksanaan
1) Pemberian cairan
Karena 6 jam pertama penderita puasa pasca operasi. Makan
pemberian cairan per-intravena harus cukup banyak dan
mengandung elektrolit agar tidak terjadi hipotermi, dehidrasi
atau komplikasi pada organ tubuh lainnya. Cairan yang biasa
diberikan biasanya DS 10%, garam fisiologi, dan RL secara
bergantian dan jumlah teteasan tergantung kebutuhan. Bila kadar
Hb rendah diberikan transfusi darah sesuai kebutuhan.
2) Diet
Pemberian cairan per-infus biasanya dihentikan setelah
penderita flaktus lalu dimulailah pemberian minuman dan
makanan peroral. Pemberian minuman dengan jumlah yang
sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 – 8 jam pasca operasi,
berupa air putih dan air teh.
3) Mobilisasi
Dilakukan secara bertahap meliputi:
a) Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 – 8 jam setelah
operasi.
b) Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur
terlentang sedini mungkin setelah sadar.
c) Hari pertama post operasi, pasien dapat didudukkan selama
5 menit dan diminta untuk bernafas dalam lalu hembuskan.
d) Kemudian posisi tidur terlentang dapat diubah menjadi
posisi setengah duduk (semifowler).
e) Selanjutnya sekama berturut – turut, hari demi hari, pasien
dianjurkan belajar duduk selama sehari, belajar berjalan dan
kemudian berjalan sendiri dan pada hari ke – 3 pasca operasi
pasien bisa dipulangkan.
4) Kateterisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak
enak pada penderita, menghalangi inovasi uterus dan
menyebabkan pendarahan. Kateter biasanya terpasang 24 – 48
jam / lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan keadaan
penderita.
5) Pemberian obat – obatan
1) Antibiotik
Cara pemilihan dan pemberian antibiotik sangat berbeda –
beda setiap institusi.
2) Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran
pencernaan
a. Supositoria = ketopropen sup 2x/24jsm
b. Oral = trsmsdol tisp 6 jam atau paracetamol
c. Injeksi = penitidine 90 – 75 mg diberikan setiap 6 jam
bila perlu
d. Obat – obatan lainuntuk meningkatkan vitalitas dan
keadaan umum penderita dapat diberikan caboransia
seperti neurobian I vitamin C.
6) Perawatan luka
Kondisi balutan luka dilihat pada hari 1 post operasi, bila basah
dan berdarah harus dibuka dan diganti.
7) Perawatan rutin
Hal – hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah
suhu, tekanan darah, nadi dan pernafasan.
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a) Identitas klien dan penanggung
b) Keluhan utama saat ini
c) Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas
d) Riwayat obstetri dan ginekologi (riwayat menstruasi,
pernikahan, riwayat kontrasepsi)
e) Riwayat penyakit keluarga
f) Pola kebiasaan klien (bernafas, makan dan minum,
eliminasi, gerakan dan aktivitas, istirahat dan tidur,
kebersihan diri, ibadah, dll)
g) Pemeriksaan fisik ( keadaan umum, head to toe)
h) Data penunjang, diagnosa medis, pengobatan
2. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
a) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b/d obstruksi jalan
(mukus dalam jumlah berlebig, jalan nafas alergik
(respon obat anastesi).
b) Nyeri akut b/d agen injuri fisik (pembedahan, trauma
jalan lahir, episiotomi).
c) Ketidakefektifan pemberian ASI b/d kurang
pengetahuan ibu, terhentinya proses menyusui.
d) Gangguan eliminasi urine.
e) Gangguan pola tidur b/d kelemahan.
f) Resiko infeksi b/d faktor resiko: episiotomi , laserasi
jalan lahir, bantuan pertolongan persalinan.
g) Defisit perawatan diri mandi, makan, eleminasi b/d
kelelahan postpartum.
h) Kontipasi.
i) Resiko syok (hipovolemik).
j) Defisiensi pengetahuan: perawatan post partum b/d
kurangnya informasi tentang penanganan post partum.
3. Rencana asuhan keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas NOC NIC
Definisi : Ketidakmampuan untuk 1. Respiratory status : Airway Suction
membersihkan sekresi atau obstruksi Ventilation 1. Pastikan kebutuhan oral /
dari saluran pernafasan untuk 2. Respiratory status : tracheal suctioning
mepertahankan kebersihan jalan nafas airway patency 2. Auskultasi suara nafas sebelum
Faktor yang berhubungan: Kriteria Hasil dan sesudah suctioning
1. Lingkungan 1. Mendemonstrasikan 3. Informasikan pada klien dan
a. Perokok pasif batuk efektif dan keluaraga tentang suction
b. Menghisap asap suara napas yang 4. Minta klien nafas dalam sebelum
c. Merokok bersih, tidak ada suction dilakukan
2. Obstruksi jalan napas sianosis dan 5. Berikan Oksigen dengan
a. Spasme jalan napas dyspneu (mampu menggunakan nasal untuk
b. Mokus dalam jumlah berlebihan mengeluarkan memfasilitasi suction nasotrakeal
c. Eksudat dalam jalan alveoli sputum, mampu 6. Gunakan alat yang steril setiap
d. Materi asing dalam jalan napas bernapas dengan melakukan tindakan
e. Adanya jalan napas buatan mudah, tidak ada 7. Anjurkan px untuk istirajat dan
f. Sekresi tertahan/sisa sekresi pursed lips) nafas dalam setelah kateter
g. Sekresi dalam bronki 2. Menunjukkan jalan dikeluarkan dari nasotrakeal
3. Fisiologis napas yang paten 8. Monitor status oksigen
a. Jalan napas alergik (klien tidak merasa 9. Ajarkan px bagaimana cara
b. Asma tercekik, irama menggunakan suction
c. PPOK nafas dan frekuensi 10. Hentikan suction dan berikan
d. Hiperplasi dinding bronkial napas dalam rentang oksigen apabila px menunjukkan
e. Infeksi normal, tidak ada bradikardi, peningkatan saturasi
f. Disfungsi neuromuskular suara napas oksigen dll.
abnormal)
3. Mampu Airway management
mengidentifikasi 1. Buka jalan nafas, gunakan teknik
dan mencegah chin lift atau jaw thrust bila perlu
faktor yang dapat 2. Posisikan px utk
menghambat jalan memaksimalkan ventilasi
napas 3. Identifikasikan px perlunya
pemasangan alat jalan nafas buatan
4. Pasang mayo bila perlu
5. Lakukan fisioterapi dada jika
perlu
6. Keluarkan sekret dengan batuk
atau suction
7. auskultasi suara nafas,catat
adanya suara tambahan
8. Lakukan suction pada mayo
9. Berikan bronkodilator bila perlu
10 berikan pelembab udara kassa
basah NaCl lembab
11 Atur intake untuk ciran
mengoptimalkan keseimbangan
12. Monitor respirasi dalam status
oksigen
4. Implementasi
Implemesntasi merupakan pelaksanaan dari rencana keperaatan
yang telah disusun sebelumnya berdasarkan prioritas yang telah dibuat.
Dimana tindakan yang diberikan mencakup tindakan mandiri dan
kolaborasi (Tarwoto,2012).
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahapan terakhir dalam proses keperawatan
dimana dilakukan evaluasi berdasarkan respon pasien terhadap tindakan
yang diberikan.