Latar Belakang
Akhir-akhir ini bencana alam silih berganti melanda negeri kita baik bencana alam yang bersifat
klimatik seperti banjir , tanah longsor di musim penghujan dan kekeringan, maupunkebakaran hutan
di musim kemarau maupun bencana alam yang naturalistik seperti gempa bumi, gunung meletus.
Sepertinya bencana sudah akrab dengan kehidupan kita.
Berita terbaru, Kompas 4 Januari 2008, bencana banjir melanda hampir di seluruh bagian pulau
Jawa, mulai dari Jakarta sampai Jember , Jawa Timur. Tahun ini nampaknya bajir yang terparah yang
melanda kota-kota di sekitar bengawan Solo akibat dari meluapnya sungai tersebut. Selain itu
bencana tanah longsor juga terjadi di daerah Karanganyar dan Tawangmangu Jawa Tengah yang
memakan korban yang tidak sedikit dan menimbulkan kerugian yang sangat besar. Kerugian yang
diderita akibat bencana alam tersebut ditaksir senilai 150 milyar .
Bencana-bencana klimatik yang akrab di negeri kita akibat dari menurunnya atau buruknya kualitas
lingkungan hidup kita. Alam atau lingkungan nampaknya sudah tidak mampu lagi menanggung
beban yang semakin berat karena kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh manusia. Daya dukung
lingkungan semakin menurun sedangkan beban terhadapnya semakin bertambah. Itulah yang terjadi
di Pulau Jawa. Pulau Jawa yang pembangunannya relative lebih maju daripada pulau-pulau lainnya
di Indonesia juga merupakan pulau yang daerah-daerahnya rawan akan bencana. Pembangunan
selain membawa kemajuan daerah juga membawa dampak negative yang berupa kerusakan
lingkungan yang mengakibatkan kesengsengsaraan rakyat.
Indikator keberhasilan pembangunan selama ini hanya diukur melalui besaran financial tanpa
memperhitungkan atau memasukkan nilai sumber daya alam yang telah digunakan dan kerusakan
sumber daya alam yang telah digunakan. Padahal sumberdaya alam merupakan modal utama dalam
pembangunan di negara kita. Kalau sumber sumber daya alam itu dieksploitasinya terus-menerus
tanpa memikirkan bagaimana caranya untuk meregenerasi atau sumberdaya alam tersebut
digunakan tanpa memperhitungkan dampak yang diakibatkan, niscaya lama kelamaan sumber daya
alam tersebut akan habis dan menyisakan bencana yang pada ujungnya akan menyengsarakan
rakyat. Contohnya berdasarkan penelitian BTP DAS Solo seperti yang dikutip oleh Kompas 2007,
eksploitasi hutan di daerah hulu sungai bengawan solo mengakibatkan erosi yang mengyebabkan
pendangkalan waduk Gajah Mungkur., sehingga pada musim penghujan waduk Gajdah Mungkur
1
tidak mampu menampung lauapan air dari anak-anak sungai Bengawan Solo, akibatnya sungai
meluap dan membanjiri daerah di sepanjang sungai tersebut.
Untuk menghindari dampak pembangunan yang semakin parah terhadap sumberdaya alam dan
lingkungan, perlu dianut suatu paradigma baru yaitu bahwa pembangunan harus berwawasan
lingkungan, sehingga pembangunan itu dapat bersifat berkelanjutan (sustainable development).
Pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi
sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi
kebutuhannya.
Karena paradigma pembangunan akan berubah kearah pembangunan yang berkelanjutan, maka
indikator pembangunan juga semestinya diubah, tidak lagi menggunakan PDB yang dihitung atas
dasar System of National Account (SNA), tetapi didasarkan pada PDB Hijau (Green Gross Domestic
Product atau Green GDP) yang dihitung atas dasar konsep Sistem Penghitungan Terpadu antara
lingkungan dan Ekonomi (System of Integrated Environmental and Economic Account). (United
National Divison Statistik, 1993)
Selama ini kerbehasilan pembangunan diukur dengan Produk Domestik Bruto Konvensional. PDB
itu sendiri merupakan jumlah seluruh nilai tambah (added value) yang diciptakan dalam suatu
perekonomian dalam suatu negara yang dihitung untuk masa satu tahun. Nilai tambah ini sendiri
merupakan selisih antara seluruh nilai produksi dengan seluruh biaya input antara (intermediate
inputs) Dengan kata lain nilai tambah itu mencerminkan balas jasa atau pendapatan dari setiap
pemilik faktor produksi. Jadi dengan mengetahui tinggi rendahnya nilai tambah atau PDB suatu
negara, kita dapat mengetahui pula tinggi rendahnya kemajuan suatu perekonomian negara yang
bersangkutan. (Samuelson, P.A and. Nordhaus, W. D., 1995) . Sedangkan untuk tingkat
regional/daerah digunakan PDRB, yaitu semacam PDB tetapi dalam tingkat daerah/regional.
Nilai-nilai yang dihasilkan dari hasil perhitungan PBRD menurut BPS (2000), merupakan barang dan
jasa yang dihasilkan dalam kurun waktu satu tahun. Nilai-nilai ini seolah-olah mencerminkan
pertumbuhan ekonomi yang berhasil dilakukan oleh suatu daerah dalam lingkup sektoral maupun
keseluruhan. Namun sesungguhnya nilai PDRB tersebut harus disempurnakan karena nilai sumber
daya alam yan hilang (deplesi) dan kerusakan (degradasi) lingkungan yang terjadi belum
diperhitungkan atau dikurangkan sebagai nilai kehilangan dan biaya kerusakan yang seharusnya
dibayar, sehingga nilai-nilai yang tercantum dalam PDRB yang konvensional itu belum menunjukkan
nilai kesejahteraan masyarakat yang sesungguhnya.
2
Oleh karena itu, untuk membuat agar nilai-nilai yang ada di dalam PDRB mencerminkan nilai
kesejahteraan masyarakat yang sesungguhnya sebagai hasil dari kegiatan perekonomian suatu
daerah, maka perlu dilakukan penghitungan PDRB yang disesuaikan (adjusted GRDP) yaitu dengan
memasukkan nilai sumber daya alam yang digunakan sebagai masukan (inputs) maupun kerusakan
(degradasi) lingkungan yang ditimbulkan sebagai produk yang tidak diinginkan (undesirable outputs)
sebagai akibat dilakukannya suatu kegiatan. Dengan demikian nilai PDRB yang telah disesuaikan
tersebut dapat dijadikan acuan dasar bagi perencanaan pembangunan yang berkelanjutan yaitu
dengan memperhatikan keberadaan faktor sumber daya alam dan lingkungan (Suhartono, 1995).
PDRB yang sudah biasa dihitung tanpa memasukkan unsur sumber daya alam dan lingkungan
disebut sebagai PDRB yang Konvensional atau PDRB COKLAT. PDRB yang dihitung dengan
memasukkan nilai pengambilan sumber daya alam saja (deplesi) disebut sebagai PDRB SEMI HIJAU,
dan PDRB yang sudah memasukkan nilai pengambilan sumber daya alam (deplesi) serta nilai
kerusakan (degradasi) lingkungan disebut sebagai PDRB HIJAU.
3
Tahap- tahap penghitungan PDRB Hijau
a. Membagi sektor perekonomian menjadi 9 sektor:
1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan & Perikanan
2) Pertambangan dan penggalian
3) Perindustrian Pengolahan
4) Listrik, Gas, dan Air Bersih
5) Bangunan (konstruksi)
6) Perdagangan, Hotel dan Restoran
7) Angkutan dan Komunikasi
8) Keuangan, Persewaan dan jasa Perusahaan
9) Jasa-jasa
b. Dari masing-masing sektor dihitung berapa nilai tambah yang diciptakannya dalam satu tahun.
Nilai tambah ini disebut juga sebagai sumbangan masing-masing sektor usaha kepada PDRB
Coklat daerah yang bersangkutan. Pekerjaan menyusun PDRB Coklat ini sudah dilaksanakan oleh
BPS.
c. Mengidentifikasi jenis dan volume sumberdaya alam yang digunakan langsung dari alam
(extractive use) untuk setiap sektor kegiatan ekonomi.
Data atau informasi dapat diperoleh dari Dinas Perindustrian, Kantor Badan Statistik Daerah,
Kantor Lingkungan Hidup Daerah, BAPEDALDA, serta wawancara langsung dengan beberapa
perusahaan.
d. Memberikan nilai ekonomi terhadap sumber daya alam yang diambil dari alam.
Nilai ini disebut sebagai nilai deplesi. Untuk menilainya dapat menggunakan nilai pasar untuk
produk-produk yang dipasarkan, atau menggunakan nilai dari barang pengganti dan barang
pelengkapnya, ataupun dengan contingent valuation melalui survei kepada responden berapa
kesediaan membayar atau kesediaan menerima pembayaran apabila dilakukan suatu kegiatan.
Sedangkan data harga dapat diperoleh dari perusahaan yang terlibat dalam proses produksi dan
penggunaan sumber daya alam (data primer), atau dari data sekunder.
e. Mengurangi nilai PDRB Coklat dengan nilai deplesi dan diperoleh nilai PDRB Semi Hijau.
f. Mengidentifikasi kerusakan atau degradasi tanah/lahan, air dan udara yang ada di daerah yang
bersangkutan. Untuk mengidentifikasi besarnya degradasi disesuaikan dengan data dan studi-
studi lain yang sejenis serta dapat digunakan untuk mengestimasi besarnya degradasi.
g. Menghitung volume kerusakan atau degradasi sumber daya tanah/lahan dan air yang terjadi
sebagai akibat dari pengambilan sumber daya alam maupun proses kegiatan usaha dimasing-
4
masing sektor. Untuk ini dapat digunakan beberapa metode pendekatan seperti metode
observasi langsung dan metode perkiraan berdasarkan studi-studi sejenis yang sudah ada.
h. Menentukan nilai ekonomi kerusakan atau degradasi lingkungan Untuk itu dapat digunakan
metode biaya pengganti (replacement costs) dan/atau metode pendapatan yang hilang (forgone
income).
i. Setelah nilai degradasi lingkungan diketahui, kemudian nilai tersebut dikurangkan dari nilai
PDRB Semi Hijau, dan diperolehlah nilai PDRB Hijau.
Tabel. 1 Nilai Deplesi Empat Sumberdaya Alam di Kutai Kartanegara 1999 – 2000
Sumber: Draft Laporan Penghitungan Pendapatan Regional Hijau; Studi Kasus: Kabupaten Kutai
Kartanegara, Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta, 2002
5
Nilai deplesi dari keempat sektor ini kemudian dimasukkandalam PDRB konvensional atau PDRB
coklat Kuta Kartanegara di bawah ini. Hasilnya merupakan PDRB semi hijau yang dapat dilihat pada
tabel berikut
Tabel 2. PDRB dan Pendapatan Regional Semi Hijau di Kabupaten Kutai Kartanegara
Uraian 1999 2000
867,3 1.066,0
Penyusutan (Rp. Milyar)
PDRNeto (Rp. Milyar) 14.086,9 17.314,0
24,6 32,3
Pendapatan Regional Coklat per kapita (Rp. Juta)
Penyusutan SDA (Rp. Milyar) 6.067,3 3.200,0
Pendapatan Regional Semi Hijau per kapita (Rp. Juta) 11,5 24,9
Pada tahun anggaran 2003 dilakukan usaha untuk menghitung kerusakan yang ditimbulkan oleh
eksploitasi sumberdaya alam utama yaitu hutan, ikan, minyak bumi dan gas alam serta batubara.
Hasil dari perhitungan ini dikurangkan dari Nilai Produk Domestik Bruto Semi Hijau. Hasilnya
merupakan PDRB Hijau teapi hanya dengan memasukkan nilai degradasi karena penebangan,
kerusakan dan kebakaran hutan di Kabupaten Kutai Kartanegara.
6
Tabel 3. PDRB Hijau Kabupaten Kutai Kartanegara, 2000 – 2001
Catatan : a
) Tidak termasuk degradasi akibat kebakaran hutan
b
) Termasuk degradasi akbibat kebakaran hutan
c
) Tidak termasuk degradasi akibat kebakaran hutan
d
) PDRB Hijau setelah dikurangkan nilai degradasi lingkungan termasuk
terbakarnya hutan.
e
) PDRB Hijau setelah dikurangkan nilai degradasi lingkungan tidak termasuk
terbakarnya hutan.
Dari tabel dapat diketahui PDRB Hijau Kabupaten Kutai Kartanegara. Terlihat bahwa adanya
penurunan Produk Domestik Regional Bruto Hijau secara drastis dari tahun 2000 hingga 2001 yaitu
sebesar 283 % dikarenakan terjadinya bencana alam kebakaran hutan di Kabupaten Kutai
Kartanegara.
Kabupaten Karawang
Selanjutnya pada tahun anggaran 2003, Kementrian Lingkungan Hidup membuat uji coba untuk
menyusun Buku Pedoman dan Uji Coba Penghitungan PDRB Hijau Kabupaten Karawang. Dalam Uji
Coba tersebut metode yang digunakan hanya memasukkan nilai deplesi sumberdaya alam pada
sektor-sektor usaha yang dihitung dalam penghitungan PDRB.
Dalam mencari nilai deplesi sumberdaya alam, terlebih dahulu diidentifikasi sumberdaya apa sajakah
yang dipakai atau dideplesi oleh sektor-sektor dan sub-sub sektor kegiatan ekonomi. Dalam
identifikasi tersebut ternyata semua sektor dan sub-sektor kegiatan ekonomi tidak luput dari
penggunaan atau deplesi sumberdaya air. Dalam identifikasi juga ditemukan bahwa sektor
penggalian dan pertambangan di samping menggunakan atau mendeplesi sumberdaya air juga
mendeplesi bahan-bahan tambang. Di daerah Kabupaten Karawang tercatat adanya penambangan
pasir, sirtu dan batu andalit. Memang di Karawang terdapat pengilangan minyak, tetapi hal tersebut
7
tidak tercatat mendeplesi sumberdaya mineral minyak bumi, melainkan hanya mengolah minyak
mentah menjadi minyak jadi. Jadi dalam hal ini tidak ada deplesi minyak bumi di Kabupaten
Karawang.
Setelah diketahui nilai sumberdaya alam yang dideplesi oleh masing-masing sektor perekonomian,
maka nilai-nilai deplesi tersebut dimasukkan dalam tabel nilai sumbangan terhadap PDRB
Konvensional yang telah ada, kemudian nilai sumbangan masing-masing sub-sektor dan nilai
sumbangan sektor yang bersangkutan pada PDRB dikurangi dengan nilai-nilai deplesi. Hasil
pengurangan tersebut disebut nilai PDRB Semi Hijau seperti tampak pada Tabel 4. Walaupun secara
absolut nilai-nilai sumbangan masing-masing sektor tampak lebih kecil dibandingkan dengan tanpa
pengurangan nilai deplesi sumberdaya alam, namun secara persentase peranan sektor industri
masih tampak dominan, disusul oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran dan kemudian sektor
pertanian.
Sejauh ini masih sulit untuk mendeteksi kerusakan lingkungan baik pada sumberdaya lahan,
sumberdaya air, maupun sumberdaya udara. Memang dalam studi lapangan sudah diidentifikasi
adanya kerusakan sumberdaya air karena sektor industri di hulu sungai Citarum telah tercemar oleh
limbah pabrik. Dengan menurunnya kualitas sumberdaya air yang disebabkan oleh adanya kegiatan
sektor industri, maka berarti sektor industri akan memiliki nilai sumbangan pada PDRB Hijau yang
lebih rendah daripada kalau tanpa memperhitungkan adanya limbah industri tersebut.
8
Tabel 4. Produk Domestik Regional Bruto Semi Hijau Kabupaten Karawang Atas Dasar Harga Berlaku
Menurut Lapangan Usaha Tahun 2001 (Jutaan Rupiah)
PDRB
NO. LAPANGAN USAHA DEPLESI
PDRB SEMI HIJAU
9
Kabupaten Bandung
Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa nilai-nilai dalam PDRB Hijau adalah hasil pengurangan
nilai PDRB Coklat dengan nilai deplisi sumberdaya alam dan degradasi lingkungan. Perlu
dikemukakan bahwa hasil penghitungan nilai PDRB Hijau Kabupaten Bandung kali ini belum
sempurna, karena belum memasukkan semua unsur deplisi dan degradasi yang benar-benar terjadi,
berhubung dengan keterbatasan data. Oleh karena itu boleh dikatakan bahwa angka-angka yang
ada masih dapat diperbaiki apabila tersedia data yang lebih lengkap di kemudian hari. Untuk
sementara nilai PDRB Hijau Kabupaten Bandung pada tahun 2003 dapat ditampilkan sebagaimana
tampak pada Tabel 5.
Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa nilai PDRB Hijau lebih kecil daripada nilai PDRB Coklat. Hal ini wajar
karena semua kegiatan ekonomi umumnya menggunakan kapital dalam melakukan kegiatannya.
Salah satu kapital atau modal yang digunakan adalah modal alami (natural capital), di samping
modal-modal lainnya yaitu modal buatan manusia (man-made capital), dan modal sumberdaya
manusia itu sendiri (SDM = human capital). Bahkan sekarang masih dikenal satu jenis kapital lagi
yaitu kapital sosial (social capital).
Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai PDRB Coklat Kabupaten Bandung sebesar Rp 23.832,10 milyar
pada tahun 2003. Kemudian dengan adanya deplisi sumberdaya alam pada tahun yang sama
mengubah PDRB Coklat menjadi PDRB Semi Hijau dengan nilai sebesar Rp 23.763,99 milyar. Dengan
adanya degradasi lingkungan sebesar Rp 5.373,01 milyar maka dapat dihitung nilai PDRB Hijau
sebesar Rp 18.390,98 milyar.
10
Dengan diketahuinya jumlah penduduk Kabupaten Bandung sebanyak 4.017.582 orang, maka dapat
dihitung PDRB Coklat per kapita Kabupaten Bandung ada sebesar Rp 5.931.951,11 dan nilai PDRB
Hijau per kapita ada sebesar Rp 4.577.624,05. Nilai PDRB Hijau per kapita inilah yang menunjukkan
nilai kesejahteraan yang sebenarnya, karena pendapatan yang diciptakan dalam bentuk PDRB Hijau
sudah dikurangi dengan penyusutan atau depresiasi modal alami (SDA dan lingkungan) guna
menciptakan PDRB Coklat per kapita. Kalau PDRB Coklat sudah pula dikurangkan nilai penyusutan
modal buatan manusia dan pajak tidak langsung, maka didapatkan angka pendapatan regional
Kabupaten Bandung. Kemudian dengan membagi nilai pendapatan regional tersebut diperoleh nilai
pendapatan per kapita yang hijau.
Pembahasan
Pembangunan merupakan proses yang dilakukan untuk menciptakan nilai tambah pada sumberdaya
alam. Input dari proses pembangunan ini berupa sumber daya alam yang ketersediannya terbatas,
SDM, modal dan input teknologi. Sedangkan output pembangunan adalah meningkatkan
kesejahteraan masyarakat yang diukur dengan pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan. Selama ini
pembangunan yang dilakukan cenderung utntuk mengeksplotasi sumber daya alam tanpa
memperhatikan daya dukung lingkungan dan keberlanjutan pembangunan. Tujuannya untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi seoptimum mungkin. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi
mungkin memang dapat dicapai, tetapi sayangnya dibarengi dengan bencana lingkungan yang
membawa dampak berantai.
Kekhawatiran mengenai pembangunan yang demikian tersebut sebenarnya sudah diserukan oleh
negara-negara yang tergabung dalam kelompok Roma. Pertumbuhan ekonomi akan mengalami
hambatan karena menipisnya sumberdaya alam, terutama kalau pola konsumsi penduduk dunia
tidak mau berubah dari trendnya yang sekarang ini. Untuk menghindari dampak pembangunan yang
semakin parah terhadap sumberdaya alam dan lingkungan, perlu dianut suatu paradigma baru yaitu
bahwa pembangunan harus per lingkungan, sehingga pembangunan itu dapat bersifat berkelanjutan
(sustainable development). berkelanjutan diartikan sebagai pembangunan yang memenuhi
kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk
memenuhi kebutuhannya.
11
Di Indonesia penerapan PDRB hijau sudah dituangkan dalam Perpres No. 7 Tahun 2005 tentang
RPJM 2004-2009 menetapkan PDB & PDRB Hijau sebagai kegiatan Program Peningkatan Kualitas dan
Akses Informasi SDA dan LH. Pelaksanaannya masih dalam diuji cobakan terhadap tiga kabupaten
yaitu kabupaten kerawang, Kutai Kartanegara dan Kabupaten Bandung. Hasil dari perhitungan PDRB
hijau untuk ketiga kabupaten menunjukkan hasil yang lebih kecil daripada PDRB konvensional.
Kesulitan atau permasalahan dalam dalam perhitungan PDRB hijau ini adalah
• Mengetahui sektor mana yang harus dibebani dengan pengurangan nilai degradasi lingkungan.
Hal ini sulit dilakukan karena adanya sektor-sektor yang menggunakan sumber daya alam yang sama.
Contohnya adanya penurunan debit sungai yangmengalir melalui suatu kawasan yang di dalamnya
ada kegiatan pertambangan dan HPH 9eksploitasi hutan) yang berdekatan. Susah untuk ditentukan
kegiatan mana yang menyebabkan penurunan debit air sungai dan sektor yang mana yang harus
dikurangi nilai dari penurunan debit air sungai tersebut.
• Double Counting
Dampak degradasi sumber daya air di sektor perikanan. Akibatnya produksi ikan menurun dan
sumbangan sektor perikanan pada PDRB Hijau pasti turun. Bila kemudian nilai degradasi sumberdaya
air itu dihitung dan kemudian dikuangkan lagi pada nilai PDRB yang ada, maka akan terjadi
pengurangan ganda (double counting); sehingga nilai PDRB Hijau menjadi sangat kecil atau menurun
drastis.
Terlepas dari permasalahan perhitungan PDRB di atas., penerapan PDRB hijuan paling tidak
memberikan gambaran kondisi lingkungan suatu daerah. PDRB hijau memang tidak ditujukan untuk
mengganti PDRB coklat tetapi merupakan pelengkap dari PDRB Konvensional. Dengan mengamati
perhitungan PDRB coklat dan PDRB hijau , pemerintah diharapkan akan lebih bijaksana dalam
pengaloksian sumber daya alam untuk kegiatan pembangunan. Dengan demikian tujuan
pembangunan berkelanjutan akan bisa dicapai.
Kesimpulan
Perhitungan PDRB hijau sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan daerah nampaknya sudah
harus dilakukan mengingat banyaknya kejadian bencana alam yang melanda Indonesia. Dengan
adanya PDRB hijau yang merupakan pelangkap PDRB konvensional, pemerintah dapat menyusun
rencana pembangunan yang berkelanjutan.
12
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2006. Kontribusi Sektor Kehutanan Kabupaten Blora, Pusat Rencana dan Statistik
Kehutanan, Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta
Emma Rachmawaty dkk, Panduan Penghitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Hijau,
Kementerian Lingkungan Hidup, 2004
Kementerian Lingkungan Hidup, Draft Laporan Penghitungan Pendapatan Regional Hijau, Studi
Kasus: Kabupaten Kutai Kartanegara, Jakarta, 2002
Paul A. Samuelson and William D. Nordhaus, Economics, McGraw-Hill, Inc. International Edition,
Fifteenth Edition, 1995, Chapter 22, halaman 402-420
Toni Suhartono, dkk, 2005.Buku Pedoman Penyusunan PDRB Hijau Sektor Kehutanan, Pusat
Rencana dan Statistik Kehutanan, Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan,
Jakarta
13