Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN PRAKTIK PROFESI NERS

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


PADA PASIEN NY.N DENGAN STRUMA
DI INSTALASI BEDAH SENTRAL
UPTD RSUD SALATIGA

Disusun oleh :
Nurul Kamili
P27220019292

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


POLTEKKES SURAKARTA
TAHUN AKADEMIK
2019/2020
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Nurul Kamili

NIM : P27220019292

Judul : Laporan Pendahuluan Praktik Profesi Ners Keperawatan


Medikal Bedah Pada Pasien Ny.N Dengan Struma Di Ruang
Instalasi Bedah Sentral UPTD RSUD Salatiga

Salatiga, Desember 2019

Mengetahui

Preseptor Akademik Preseptor Klinik


LAPORAN PENDAHULUAN PRAKTIK PROFESI NERS
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
PADA PASIEN NY.N DENGAN STRUMA
DI RUANG INSTALASI BEDAH SENTRAL
UPTD RSUD SALATIGA

A. Konsep Struma
1. Definisi
Struma adalah pembesaran pada kelenjar tiroid yang biasana terjadi karena
folikel-folikel terisi koloid secara berlebihan, setelah bertahun-tahun folikel tumbuh
semakin membesar, dengan membentuk kista dan kelenjar tersebut menjadi noduler
(Smeltzer & Suzanne, 2012).
Struma adalah pembesaran kelenjar gondok yang disebabkan oleh penambahan
jaringan kelenjar gondok yang menghasilkan hormone tiroid dalam jumlah banyak
sehingga menimbulkan keluhan seperti berdebar-debar, keringat, gemetaran, bicara
jadi gagap, mencret, berat badan menurun, mata membesar, penyakit ini dinamakan
hipertiroid (Nurarif dan Hardhi, 2015).
Struma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal yaitu
(Roy, 2011):
a. Berdasarkan jumlah nodul: bila jumlah nodul hanya satu disebut struma
nodosa soliter (uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut struma
multinodosa.
b. Berdasarkan kemampuan menyerap yodium radioaktif, ada tiga bentuk
nodul tiroid yaitu nodul dingin, hangat, dan panas. Nodul dingin apabila
penangkapan yodium tidak ada atau kurang dibandingkan dengan bagian
tiroid sekitarnya. Hal ini menunjukkan aktivitas yang rendah. Nodul
hangat apabila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini berarti
fungsi nodul sama dengan bagian tiroid lainnya. Dan nodul panas bila
penangkapan yodium lebih banyak dari sekitarnya. Keadaan ini
memperlihatkan aktivitas yang berlebih.
c. Berdasarkan konsistensinya lunak, kistik, keras dan sangat keras.
2. Anatomi Fisiologi
Kelenjar tiroid terletak di depan trakhea dan di bawah laryng yang
terdiri atas dua lobus yang terletak disebelah dan kiri trakhea dan diikat
bersama oleh secarik jaringan disebut istmus yang melintasi pada cincin
tulang trakhea dua dan tiga. Struktur thyroid terdiri atas sejumlah besar folikel
dilapisi oleh cuboid epitelium membentuk ruang yang disebut koloid yaitu
lumen substansi protein (Saputra, 2014).
Regulasi sekresi hormon tyroid dipengaruhi oleh sistem kerja balik
antara kelenjar hipofisis atau pituitari lobus anterior dan kelenjar thyroid.
Lobus anterior hipofisis mensekresi TSH yang berfungsi meningkatkan
iodine, meningkatkan sintesis dan sekresi hormon thyroid, meningkatkan
ukuran kelenjar thyroid. Apabila terjadi penurunan hormon thyroid, hipofisis
anterior merangsang peningkatan sekresi TSH dan mempengaruhi kelenjar
thyroid untuk meningkatkan sekresi hormon thyroid. Thyroxine (T4)
berfungsi untuk mempertahankan metabolisme tubuh.Tridothyronin (T3),
berfungsi untuk mempercepat metabolisme tubuh.Fungsi utama kelenjar
thyroid adalah memproduksi hormon tiroxin yang berguna untuk mengontrol
metabolisme sel. Dalam produksinya sangat erat hubungannya dengan proses
sintesa tyroglobulin sebagai matrik hormon, yodium dari luar, thyroid
stimuliting hormon dari hipofise (Saputra, 2014). Hormon tiroid memiliki
efek pada pertumbuhan sel, perkembangan dan metabolisme energi. Selain itu
hormon tiroid mempengaruhi pertumbuhan pematangan jaringan tubuh dan
energi, mengatur kecepatan metabolisme tubuh dan reaksi metabolik,
menambah sintesis asam ribonukleat (RNA), menambah produksi panas,
absorpsi intestinal terhadap glukosa,merangsang pertumbuhan somatis dan
berperan dalam perkembangan normal sistem saraf pusat. Tidak adanya
hormon-hormon ini, membuat retardasi mental dan kematangan neurologik
timbul pada saat lahir dan bayi (Saputra, 2014).
3. Etiologi
Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tiroid merupakan
faktor penyebab pembedaran tiroid antara lain (Nurarif dan Hardhi, 2015):
a. Defisiensi iodium
Pada umumnya, penderita penyakit struma sering terdapat di daerah yang
kondisi air minum dan tanahnya kurang mengandung iodium, misalnya daerah
pegunungan.
b. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat hormon tiroid
c. Penghambatan sintesis hormon oleh zat kimia (seperti substansi dalam kol,
lobal. dan kacang kedelai)
d. Penghambatan sintesis hormon oleh obat-obatan (thiocarbamide, sulfonylyurea,
dan litium)
4. Patofisiologi dan Pathway
5. Manifestasi Klinik
a. Gangguan menelan
b. Peningkatan metabolisme karena kien hiperaktif dengan meningkatnya denyut
nadi
c. Peningkatan simpatias(jantung berdebar-debar, gelisah, berkeringat, tidak tahan
cuaca dingin, diare, gemetar dan kelelahan) Pada pemeriksaan status lokalis
struma nodusa, dibedakan dalam hal :
1) Jumlah nodul ; satu (soliter), atau lebih dari satu (multipel)
2) Konsistensi : lunak, kistik, keras dan sangat keras
3) Nyeri pada penekanan; ada atau tidak ada.
4) Perlekatan dengan sekitarnya; ada atau tidak ada.
5) Pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tyroid ; ada atau tidak ada.
(Brunicardi et al, 2010)
6. Penatalaksanaan
a. Operasi/pembedahan
b. Yodium radioaktif
Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi
pada kelenjar tiroid sehingga menghasikan ablasi jaringan. Pasien yang
tidak mau dioperasi maka pemberian yodium radioaktif dapat mengurangi
gondok sekitar 50 %.
c. Pemberian tiroksin dan obat anti tiroid
Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan sidik tiroid
b. Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
c. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration/FNA)
d. Termografi
e. Petanda tumor
8. Komplikasi

B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas
1) Umur: BPH biasanya terjadi pada usia lebih dari 50 tahun (Prabowo &
Pranata, 2014, hal. 131)
2) Jenis kelamin: Hanya dialami oleh seorang laki laki (Prabowo &
Pranata, 2014, hal. 131)
b. Alasan masuk rumah sakit
Biasanya pasien mecngeluh nyeri pada saat miksi dan perasaan ingin
miksi yang mendadak saat miksi harus menunggu lama dan kencing
terputus- putus (Wijaya A. S., 2013, hal. 103)
c. Keluhan utama: Nyeri saat miksi (Wijaya A. S., 2013, hal. 103)
d. Upaya yang dilakukan:
Pemberian obat golongan reseptor alfa-adrenergik inhibitor untuk
merelaksasikan otot polos prostat dan salura kemih agar terbuka (Prabowo
& Pranata, 2014, hal. 136)
e. Status kesehatan saat ini
1) Keluhan Utama
Keluhan utama yang menjadikan alasan pasien karena biasanya
nyeri saat miksi, pasien juga sering mengeluh saat miksi, pasien juga
sering BAK berulang ulang (anyang-anyangan), terbangun ingin miksi
saat malam hari, perasaan ingin miksi yang sangat mendesak, kalau
miksi harus menunggu lama, harus mkencing terputus putus. (Wijaya A.
S., 2013, hal. 103).
2) Alasan Masuk Rumah Sakit
Pasien mengeluh nyeri saat miksi,pasien merasakan jika
inginmiksi harus menunggu lama,harus mengedan dan kencing terputus-
putus. (Wijaya A. S., 2013, hal. 103)
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengembangan dari keluhan utama yang dirasakan klien melalui
metode PQRST dalam bentuk narasi
P (paliatif dan profokatif) : pasien mengeluh sakit pada saat miksi dan
harus menunggu lama dan harus mengedan.
Q (Quality atau Quanty): pasien mengatakan tidak bisa melakukan
hubungan seks.
R (Regio dan Radiasi) :keluhan tersebut tempatnya , yaitu di bawah
kandung kemih
S (Saverit atau Scale) : keluhan tersebut mengganggu aktifitas dan
mengeluh sering BAK berulang-ulang.
T (Timing) : saat pasien ingin miksi dan lebih sering terbangun pada
saat malam hari. (Wijaya A. S., 2013, hal. 103)
f. Riwayat kesehatan terdahulu
1) Riwayat penyakit sebelumnya
Klien pernah menderita BPH sebelumnya dan apakah klien pernah
dirawat dirumah sakit sebelumnya. (Wijaya A. S., 2013, hal. 103).
2) Riwayat penyakit keluarga
Mungkin diantara keluarga pasien sebelumnya ada yang menderita
penyakit yang sama dengan penyakit sekarang. (Wijaya A. S., 2013,
hal. 103).
3) Riwayat pengobatan
Pemberian obat golongan reseptor alfa-adrenergik inhibitor mampu
merelaksasikan otot polos prostat dan saluran kemih akan lebih
terbuka.obat golongan 5-alfa-reduktase inhibitor mampu menurunkan
kadar dehidrotestosteron intraprostat, sehingga dengan turunya kadar
testosteron dalam plasma maka prostat akan mengecil. (Prabowo &
Pranata, 2014, hal. 136).

g. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Kesadaran: Pada pasien Benigna Prostat Hiperplasia, keluhan yang
sering dialami dikenal dengan istilah LUTS (lower urunary tract
symtoms) yaitu pancaran urin lemah, intermitensi,ada sisa urin pasca
miksi, urgensi, frekuensi dan disuria. (Prabowo & Pranata, 2014, hal.
137)
2) Tanda-tanda vital:
Tekanan darah: mengalami peningkatan pada tekanan darah
Nadi: adanya peningkatan nadi. Hal ini merupakan bentuk kompensasi
dari nyeri yang tibul akibat opstruksi meatus uretalis dan adanya distensi
bladder.
Respirasi: terjadi peningkatan frekuensi nafas akibat nyeri yang
dirasakan pasien.
Suhu: terjadi peningkatan suhu akibat retensi urin berlangsung lama
seiring ditemukan adanya tanda gejala urosepsis. (Prabowo & Pranata,
2014, hal. 137).
3) Pemeriksaan body sistem
a) Sistem pernafasan
Inspeksi: biasanya klien terjadi sesak nafas ,frekuensi pernafasan
Palpasi: pada palpasi supra simfisis akan teraba distensi badder.
Auskultasi: biasanya terdengar suara nafas tambahan seperti
ronchi,wheezing,suara nafas menurun, dan perubahan bunyi nafas.
(Prabowo & Pranata, 2014, p. 137).
b) Sistem kardiovaskular
Inspeksi: tidak terdapat sianosis , tidak terdapat perubahan letak
maupun pemeriksaan pada inspeksi.
Palpasi: biasannya denyut nadi meningkat akral hangat CRT <2 detik
Perkusi: pada pemeriksaan manusia normal pemeriksaan perkusi
yang didapatkan pada thorax adalah redup (Prabowo & Pranata,
2014, p. 137).
c) Sistem persyarafan
Inspeksi: menggigil, kesadaran menurun dengan adanya infeksi dapat
terjadi urosepsis berat sampai pada syok septik (Prabowo & Pranata,
2014, hal. 137).
d) Sistem perkemihan
Inspeksi: terdapat massa padat dibawah abdomen bawah (distensi
kandung kemih)
Palpasi: pada palpasi bimanual ditemukan adanya rabaan pada ginjal.
Dan pada palpasi supra simfisis akan teraba distensi bladder dan
terdapat nyeri tekan.
Perkusi: dilakukan untuk mengetahui adatidaknya residual urin
terdapat suara redup dikandung kemih karena terdapat residual (urin)
(Prabowo & Pranata, 2014, hal. 137)
e) Sistem pencernaan
Mulut dan tenggorokan : hilang nafsu makan mual dan muntah.
Abdomen: datar (simetris)
Inspeksi: bentuk abdomen datar , tidak terdapat masa dan benjolan.
Auskultasi: biasanya bising usus normal.
Palpasi: tidak terdapat nyeri tekan dan tidak terdapat pembesaran
permukaan halus.
Perkusi: timpani (Wijaya, 2013, p. 100).
f) Sistem integumen
Palpasi: kulit terasa panas karena peningkatan suhu tubuh karena
adanya tanda gejala urosepsis klien menggigil , kesadaran menurun
(Prabowo & Pranata, 2014, hal. 137).

g) Sistem endokrin
Inspeksi: adanya perubahan keseimbangan hormon testosteron dan
esterogen pada usia lanjut (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 91).
h) Sistem reproduksi
Pada pemeriksaan penis, uretra, dan skrotum tidak ditemukan
adanya kelainan, kecuali adanya penyakit penyerta seperti stenosis
meatus. Pemeriksaan RC (rectal toucher) adalah pemeriksaan
sederhana yangpaling mudah untuk menegakan BPH. Tujuannya
adalah untuk menentukan konsistensi sistem persarafan unut vesiko
uretra dan besarnya prostate(Prabowo & Pranata, 2014, hal. 137).
i) Sistem muskuloskletal
Traksi kateter direkatkan di bagian paha klien. Pada paha yang
direkatkan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan
(Wijaya, 2013, p. 106).
j) Sistem pengindraan
Inspeksi : pada pasien BPH biasanya pada sistem ini tidak mengalami
gangguan (Prabowo & Pranata, 2014, p. 137).
k) Sistem imun
Tidak terjadi kelainan imunitas pada penderita BPH. (Prabowo &
Pranata, 2014, p. 137)
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b/d spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada TURP.
b. Resiko infeksi b/d prosedur inovasif pembedahan.
c. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi mengenai
proses penyakit dan pengobatannya.
3. Perencanaan Keperawatan
Diagnosa I: Nyeri akut b/d spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada
TURP.

a. NOC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam rasa nyeri berkurang
atau hilang, dengan kriteria hasil:
1) klien mengatak an nyeri berkurang / hilang
2) ekspresi wajah klien tenang
3) tanda-tanda vital dalam batas normal
b. NIC
1) Kaji skala nyeri.
R/mengetahui skala nyeri.
2) Jelaskan pada klien tentang gejala dini spasmus kandung kemih
R/klien dapat mendeteksi gejala dini spasmus kandung kemih.
3) Pemantauan klien pada interval yang teratur selama 48 jam, untuk
mengenal gejala-gejala dini dari spasmus kandung kemih.
Diagnosa II: Resiko infeksi b/d prosedur inovasif pembedahan.
a. NOC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam tidak terjadi adanya
tanda-tanda infeksi, dengan kriteria hasil:
1) Klien tidak mengalami infeksi.
2) Dapat mencapai waktu penyembuhan.
3) Tanda-tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda-tanda shock.
b. NIC
1) Monitor tanda dan gejala infeksi
R/ mengetahui tanda dan gejala infeksi.
2) Ajarkan intake cairan yang cukup sehingga dapat menurunkan potensial
infeksi.
R/meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi isk dikurangi dan
mempertahankan fungsi ginjal .
3) Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan antibiotik .
R/ mencegah infeksi.

4. Evaluasi
a. Pasien dapat bergerak dengan baik.
b. Kebutuhan pasien terpenuhi.
c. Tingkat pengetahuan pasien bertambah.
DAFTAR PUSTAKA

Aulawi, K. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Rapha


Publishing.
Muttaqin, A & Sari, K. (2014). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: salemba Medika.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosis Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: Mediaction.
Prabowo, E., & Pranata, A. E. (2014). Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan.

Yogyakarta: Nuha Medika.


Wijaya, A. S. (2013). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai