Anda di halaman 1dari 3

HARRY ROESLI

Harry Roesli, seorang yang tokoh dikenal melahirkan budaya musik kontemporer yang
berbeda, komunikatif dan konsisten memancarkan kritik sosial bernama lengkap Djauhar
Zaharsyah Fachrudin Roesli, lahir pada tahun 1951 di Bandung Jawa Barat. Ayahnya, Roeshan
Roesli merupakan seorang Mayor Jenderal Purnawirawan TNI dan ibunya, Edyana seorang
dokter. Harry Roesli juga cucu dari seorang pujangga besar Marah Roesli. Bakat seni yang
sangat kental merupakan warisan dari atmosfer keluarga yang juga mencintai seni. Harry
Roesli merupakan seorang figur yang memiliki perjalanan hidup yang menarik, mulai dari
perjalanan pendidikan, karier musik, kiprahnya di dunia sosial sampai urusan asmara yang
mempertemukannya dengan wanita yang sampai saat ini tetap setia menjadi istrinya yaitu
Kania Perdani Handiman. Orang tua Harry Roesli, tidak memberi restu bila Harry memilih
jalan sebagai musisi.Keinginannya bermusik dianggap tidak memiliki masa depan.Terlebih,
tiga orang kakak Harry memilih mengikuti jejak sang ibu untuk menekuni profesi sebagai
dokter. Berkat bantuan para kakaknya, pemilik nama lengkap Djauhar Zaharsyah Fachrudin
Roesli ini akhirnya berhasil meluluhkan hati orangtua. Ia mengantongi izin untuk dapat
bermusik dengan syarat pendidikan tetap berjalan.
Harry Roesli resmi menikah dengan sang istri Kania Perdani Handiman pada tahun
1981 dan dikaruniai dua anak laki-laki kembar, Layala Khrisna Patria dan Lahami Khrisna
Parana. Kedua putranya tidak secara formal memperlajari seni, tetapi sampai saat ini kedua
anaknya menjadi penerus salah satu cita-cita Harry yang memiliki empati terhadap anak-anak
jalanan untuk dibina.

Harry Roesli menuangkan berbagai kreativitas seninya terhadap idealisme seorang


“seniman sosial” yang bergerak untuk memperhatikan kehidupan anak-anak jalanan. Ia berdiri
dalam tiga paradigma yang kritis terhadap rezim pemerintahan yang kurang sejalan dengan
pemikirannya, mendidik dan berkarya sebagai seorang seniman yang utuh. Karya-karyanya
yang seolah jauh dari nilai komersil merupakan alat yang digunakan dalam mengekspresikan
perasaan hatinya terhadap situasi sosial dan politik yang sedang terjadi. Beberapa dari ekspresi
itu sering ditularkan kepada anak didiknya lewat berbagai cara, termasuk mewadahi para anak-
anak jalanan lewat pelatihan musik.

Di rumahnya di Jalan Supratman 57 Bandung, ada sebuah kamar seukuran 4x5 meter
yang dipakai Harry sebagai ruang kerja; bersebelahan dengan studio rekaman, ruang tamu, dan
ruang keluarga yang disulap menjadi tempat latihan bagi para seniman dan musisi jalanan.
Kamar ini diisi dengan lemari semi transparan berisi baju-baju Harry yang semuanya berwarna
hitam, rak-rak buku, beberapa alat musik dan tempat tidur kecil.

Lampu bohlam besar di atas meja kamar Harry memang selalu menyala. Barangkali
karena banyaknya orang yang bertamu di kamar ini, dari pagi sampai malam, nyaris setiap hari,
mulai dari mahasiswa, aktivis Bandung, anak-anak jalanan, seniman dan budayawan, para
politisi dan pejabat tinggi, bahkan anak-anak SMA dan ibu-ibu membuat Lardi--pembantu
rumah tangga keluarga Harry--tidak pernah sempat mematikannya.

Sosok Harry Roesli yang memiliki banyak dimensi dalam kehidupannya diasosiasikan
dalam satu komunitas. Segala bentuk kegiatan berkesenian yang terjadi di dalamnya dihimpun
dalam RMHR. Di dalam tubuh RMHR sendiri terdapat banyak produk, salah satunya adalah
Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB). Terlepas dari berbagai persoalan di dalamnya, RMHR
masih tetap eksis dan memiliki formula yang unik dalam merekrut anak-anak jalanan dan
melatih musiknya.
Harry Roesli dikenal sebagai musisi serba bisa dengan keahlian tak hanya sebatas gitar,
melainkan juga gong, gamelan, drum, botol, kaleng bekas dan kliningan. Kemampuan yang
langka di eranya. Ia disebut-sebut sebagai tokoh yang melahirkan budaya musik kontemporer
yang berbeda, komunikatif, dan gencar menyuarakan kritik sosial. Harry bahkan mengantongi
rekor sebagai Profesor Pendidikan Musik Pertama di Indonesia yang diberikan oleh Museum
Rekor Indonesia.

Karyanya pun monumental. Harry mampu menggabungkan berbagai instrumen musik


secara bersamaan namun berirama. Selain itu, nyaris mustahil secara sepakat menempatkan
satu genre dalam sebuah karya seorang Harry Roesli. Ditambah, lirik metafora yang ciamik
namun masih mampu menyampaikan pesan kritikan sosial secara tepat. "Saya lihat lagi karya-
karyanya, saya dengarkan liriknya, ini orang gila juga. Dipikir-pikir dia ciptakan Malaria itu
umur 20 tahun, Ken Arok usia 23 atau 24 tahun, lalu lihat karyanya Indonesia Jangan
Menangis itu dia umur 26, dia udah buat seperti itu. Ini orang penting buat musik di sini," kata
istri Harry, Kania Perdani Handiman.
Malaria adalah salah satu karya terbaik Harry Roesli yang disebut pengamat musik
kawakan mendiang Danny Sakrie sebagai metafora potret Indonesia. Sedangkan Ken Arok,
adalah karya Harry Roesli dalam bentuk teater.

Harry Roesli meninggal pada 11 Desember 2004, pukul 19.55 di RS Harapan Kita,
Jakarta. Sudah 14 tahun berlalu, namun warisan Harry Roesli masih terjaga di Bandung melalui
Rumah Musik Harry Roesli yang juga jadi rumah bagi banyak musisi jalanan yang ingin
menjadi musisi yang sesungguhnya.

Anda mungkin juga menyukai