Setiap manusia, ingin memperoleh kehidupan mulia. Dalam arti, memiliki kedudukan
yang mapan secara lahiriah (materialfinansial) dan batiniyah (moral-spiritual) di
tengah lingkungan keluarga dan masyarakat. Sehingga ada semboyan populer 'isy
kariman, awu mutsyahidan'. Hidup mulia atau mati syahid.
Contohnya dalam hal senioritas di sebuah institusi dimana seorang senior merasa
dirinya paling benar, paling mengetahui dalam segala hal sehingga merendahkan dan
meremehkan juniornya.
Orang yang sudah beruntung mendapat kemuliaan dari Allah SWT dalam bentuk
harta kekayaan, pangkat, jabatan, ketinggian ilmu, ketekunan ibadah, serta bentuk-
bentuk lain yang menjadi ciri kehormatan diri serta penghormatan orang lain, harus
mampu mempertahankannya hingga akhir hayat. Jangan sampai ternodai oleh hal-hal
yang dapat menghancurkan nilai kemuliaan itu. Terutama sikap lupa diri dan
penyalahgunaan wewenang. Tumpuan fondasi iman dan takwa jangan digoyahkan
oleh perilaku-perilaku yang menyimpang dari 'kalimat thayyibah' dan amal saleh.
Kejatuhan seseorang dari kemuliaan hidup yang sudah diperolehnya, akan muncul
hanya karena menyimpang dari prinsipprinsip 'kalimat thayyibah' dan amal saleh.
Merasa kuat, kaya, tampan, dan lain sebagainya, seolah-olah milik pribadi. Lupa
bahwa itu hanya pinjaman atau titipan dari Allah SWT yang diberikan berkat 'kalimat
thayyibah' dan amal saleh. Begitu 'kalimat thayyibah' dan amal saleh hilang, hilang
pulalah kemuliaan itu dalam sekejap. Peringatan dari Allah SWT, sangat jelas: "Dan
orang-orang yang membuat rencana jahat, bagi mereka azab yang keras, serta rencana
jahat mereka akan binasa" (QS Fathir: 10).
Maka itu, tidak ada jalan lain bagi orang yang sudah mencapai kemuliaan, untuk
mempertahankannya dengan memelihara 'kalimat thayyibah', yang menjadi pertanda
hablum minallah dan amal saleh (hablum minannasi).