Anda di halaman 1dari 21

KENABIAN, SIFAT-SIFAT, DAN SYAFAAT

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur pada mata kuliah

Ilmu Tauhid
Dosen :
Dr. A. Heris Hermawan, M.Ag
Nip. 197609042003121001

Penyusun :

Kelompok 03

1. Ai Siti Khodijah 1162050006


2. Diah Rahma Alfiatun 1162050024
3. Fathimah Azzahra 1162050035

KELAS 3A
PRODI PENDIDIKAN MATEMATIKA FALKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
TAHUN 2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat dan karunia-
Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kenabian,
Sifat-Sifat, dan Syafaat”. Dalam makalah ini dipaparkan hal-hal yang berkaitan
dengan kenabian, sifat-sifat Nabi dan Rasul, serta syafaat. Makalah ini disusun agar
dapat menambah wawasan serta pemahaman pembaca tentang kenabian, sifat-sifat
Nabi dan Rasul, serta syafaat.
Penyusun menyadari makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran penyusun harapkan agar dapat menyempurnakan makalah ini di masa
mendatang.

Bandung, Oktober 2017

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR. ................................................................................... 2

DAFTAR ISI . ................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 4

A. Latar Belakang .................................................................................... 4


B. Rumusan Masalah ............................................................................... 4
C. Tujuan ................................................................................................. 4

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 6

A. Kenabian .............................................................................................. 6
1. Pengertian Kenabian ..................................................................... 6
2. Syarat-syarat kenabian ................................................................... 7
3. Perbedaan Nabi dan Rasul ............................................................. 9
B. Sifat-Sifat Nabi dan Rasul.................................................................... 10
1. Sifat wajib bagi Nabi dan Rasul ..................................................... 11
2. Sifat mustahil bagi Nabi dan Rasul ................................................ 15
3. Sifat jaiz bagi Nabi dan Rasul ........................................................ 15
C. Syafaat Kenabian ................................................................................. 16
1. Pengertian syafaat .......................................................................... 16
2. Macam-macam syafaat................................................................... 16
3. Pendapat beberapa ulama tentang syafaat ...................................... 18
4. Pemberi dan penerima syafaat ....................................................... 19

BAB III PENUTUP ....................................................................................... 20

A. Simpulan ............................................................................................. 20
B. Saran .................................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 21

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keterkaitan hubungan manusia dengan Allah SWT sebagai Sang Pencipta
merupakan kebutuhan yang paling mendasar sehingga manusia terdorong untuk
mengenal siapa yang menciptakan alam semesta ini. Kemudian manusia mengenal
Allah SWT, yang tidak mungkin bagi manusia yang hanya sebagai makhluk-Nya
untuk menggapai-Nya dengan indra. Oleh karena itu, muncul suatu keyakinan
bahwa umat manusia butuh akan adanya perantara yaitu Nabi dan Rasul yang
menjembatani antara manusia dengan-Nya, untuk mengetahui apa yang Allah SWT
ridhai dan untuk mengetahui hal-hal yang tidak Allah SWT ridhai.

Nabi dan Rasul adalah manusia biasa yang diberikan kekuatan untuk dapat
berhubungan dengan Tuhan dan menyatakan kehendak-Nya. Salah satu alasan
kehadiran para Nabi dan Rasul sebagai perantara ialah adanya kebutuhan akan
syariat dan tuntutan Allah SWT, agar manusia dapat menjalani kehidupan yang
aman dan damai serta mendapat ridha Allah baik di dunia maupun di akhirat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kenabian (nubuwwah)?
2. Bagaimana syarat-syarat dalam hal kenabian?
3. Apa perbedaan antara Nabi dan Rasul?
4. Sifat-sifat apa sajakah yang dimiliki oleh Nabi dan Rasul?
5. Apa yang dimaksud syafaat kenabian?
6. Apa saja macam-macam syafaat kenabian?
7. Bagaimana pendapat para ulama tentang syafaat?
8. Siapa saja yang termasuk ke dalam pemberi dan penerima syafaat?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian kenabian (nubuwwah)
2. Untuk mengetahui syarat-syarat dalam hal kenabian

4
3. Untuk mengetahui perbedaan Nabi dan Rasul
4. Untuk mengetahui sifat-sifat yang dimiliki oleh Nabi dan Rasul
5. Untuk mengetahui pengertian syafaat kenabian
6. Untuk mengetahui macam-macam syafaat kenabian
7. Untuk mengetahui pendapat ulama tentang syafaat
8. Untuk mengetahui golongan yang termasuk ke dalam pemberi dan
penerima syafaat

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kenabian (Nubuwwah)
1. Pengertian Kenabian (Nubuwwah)
Kata nubuwwah berasal dari kata “naba-a” yang berarti kabar (berita
dan cerita) Kata “nubuwwah” sendiri merupakan mashdar dari “naba-a”.
Orang yang menerima nubuwwah disebut nabi. Maka, nubuwwah adalah
wahyu yang diturunkan kepada Nabi untuk disampaikan kepada manusia.
(Juwaini, 2011:199)
Dalam kajian Ilmu Sosiologis, an-Nubuwwah merupakan jembatan
transisi dari masa primitif menuju masa penggunaan akal. Rasulullah dan
para Nabi diutus Tuhan adalah untuk membawa manusia dari zaman gelap-
gulita menuju zaman yang terang benderang, masa tidak berpengetahuan
kepada masa berpengetahuan, masa ini maksudnya adalah masa manusia
dalam kebodohan yaitu masa-masa ini, bangsa Arab tidak memiliki aturan
hukum yang menjadi pedoman bagi manusia seperti kitab suci yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, masa penyimpangan akhlak
dan keyakinan, manusia tidak berbudi, perempuan tidak dihargai masa
inilah disebut dengan masa jahiliyah.
Walaupun Allah telah mentakdirkan orang-orang yang akan menjadi
nabi, namun para nabi tetap harus berusaha untuk melayakkan dirinya untuk
menepati kedudukan tersebut. Walaupun Allah mengutus nabi bagi setiap
kelompok manusia di bumi, al-Qur’an hanya menyebut 25 nama para nabi.
Yang pertama adalah Nabi Adam as dan yang terakhir dari nabi-nabi itu dan
merupakan penutup para nabi ialah Nabi Muhammad saw.
Dalam al-Qur’an digambarkan nubuwwah adalah suatu anugerah ilahi
atau pemberian rabbani kepada siapa saja manusia dari kalangan hamba-
hamba-Nya yang Dia kehendaki. Derajat an-Nubuwwah itu tidak bisa
diperoleh dengan usaha yang maksimal, atau dengan menunjukkan seberapa
banyak kepatuhan dari ibadah. Sesuai dengan firman Allah SWT.

6
Artinya: Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada
menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu.
Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-
Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Q.S Al-
Baqarah:105)
Adapun firman Allah SWT yang lain,

Artinya: Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari


manusia; sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S
Al-Hajj:75)
Dengan demikian, kenabian (nubuwwah) adalah karunia dan pemberian
Allah SWT. Karena Allah SWT telah memilih hamba yang dikehendaki-
Nya. Kenabian (nubuwwah) tidak akan dapat diperoleh dengan ikhtiar atau
usaha dengan kesungguhan dan juga tidak dapat diperoleh dengan jalan
memperbanyak beribadah serta memperbanyak ketaatan. Lalu, kenabian
juga tidak dapat diperoleh dengan jalan keturunan atau nasab. Akan tetapi,
kenabian itu adalah pilihan Allah SWT.
2. Syarat-Syarat Kenabian
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, tidak semua orang bisa
menjadi Nabi maupun Rasul. Hanya orang tertentu yang telah dipilih oleh
Allah lah yang bisa menjadi Nabi ataupun Rasul. Dikutip dari Dzulhadi
(2014:132), nabi yang menerima kenabian melalui wahyu, menurut Ibn
Khaldu dalam al-Muqaddimah, memiliki prasyarat berikut:

7
a) Terpelihara dari kesalahan dan Allah juga menjaga seorang Nabi
dari perbuatan maksiat. Kalaupun Nabi melakukan dosa atau
kesalahan, maka mereka hanya melakukan dosa yang kecil saja.
b) Mendapat ma’rifat dan pengetahuan dari Allah SWT, yakni berupa
wahyu. Para Nabi memandang sumber pengetahuan dan makrifat
mereka dari alam ilahi dan berkeyakinan tidak dihasilkan oleh akal
dan mental manusia.
c) Mengajak manusia kepada agama dan ibadah.
d) Ketika menerima wahyu kesadarannya hilang, sehingga orang
melihatnya tengah pingsan, padahal tidak. Itu adalah kondisi-nya
ketika berhubungan dengan malaikat ruhani sesuai dengan kekuatan
mereka yang keluar dari kemampuan manusia biasa.
e) Mampu melakukan hal-hal yang luar biasa, sebagai bukti
kenabiannya. Inilah yang disebut dengan mukjizat yang dapat
melemahkan manusia, sehingga mereka tak mampu mengikutinya.
f) Nabi itu wajib laki-laki dan tidak boleh perempuan. Sebagaimana
telah diungkapkan dalam Al-Qur’an,

Artinya: “Kami tiada mengutus rasul rasul sebelum kamu


(Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri
wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-
orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (Q.S Al-Anbiya:
7)
Berdasarkan ayat tersebut, Allah SWT telah menciptakan laki-laki
lebih kuat secara fisik dibandingkan dengan perempuan. Laki-laki
berbeda dengan perempuan karena perempuan ada beberapa
batasan. Sedangkan seorang Nabi harus bisa memimpin manusia
dalam segala aspek kehidupan sosial dan religiusnya tanpa jeda.
Itulah sebabnya seorang Nabi tidak mungkin untuk perempuan.

8
3. Perbedaan Nabi dan Rasul
Orang yang mengatakan bahwa tak ada perbedaan antara Nabi dan Rasul
adalah keliru. Alasannya adalah dalil yang menjelaskan jumlah para Nabi
dan Rasul. Dalam HR. Ahmad dikatakan bahwa jumlah para Nabi adalah
124 ribu sedangkan jumlah Rasul 311. (Asyqar, 2008:25)
Alasan lain yang menunjukkan perbedaan antara Nabi dan Rasul adalah
firman Allah SWT yang menyebutkan kata Nabi setelah Rasul

Artinya: “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun


dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu
keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu,
Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah
menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.” (Q.S Al-Hajj: 52)

Pendapat yang terkenal adalah bahwa Nabi lebih umum daripada Rasul.
Sebab, Rasul adalah orang yang diberi wahyu dan diperintah untuk
menyampaikannya. Sedangkan Nabi adalah orang yang diberi wahyu tapi
tidak diperintahkan untuk menyampaikannya. Karena itu, semua Rasul
adalah Nabi. Tapi tidak semua Nabi adalah Rasul. Namun, pendapat ini
keliru.

Alasannya:

 Allah SWT telah menerangkan bahwa Dia mengutus para Nabi


sebagaimana ia telah mengutus para Rasul. Jika perbedaan antara
Nabi dan Rasul adalah perintah untuk menyampaikan, maka kata

9
mengutus dalam Q.S Al-Hajj: 52 juga mengharuskan Nabi untuk
menyampaikan.
 Tidak menyampaikan berarti menyembunyikan wahyu. Allah
SWT tidak menurunkan wahyu untuk disembunyikan dan
disimpan dalam hati seseorang.
 Sabda Nabi Muhammad SAW sebagaimana diriwayatkan oleh
Ibnu Abbas,
“Umat-umat diperlihatkan kepadaku. Ada nabi yang bersama
satu orang pengikut, ada nabi yang bersama dua orang, ada nabi
yang bersama sekelompok orang. Ada juga nabi yang tidak
bersama seorang pengikut pun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka, definisi yang paling tepat mengenai perbedaan antara Nabi


dan Rasul, Rasul yaitu orang yang diberi wahyu dengan syariat baru.
Sedangkan Nabi adalah orang yang diutus untuk mengokohkan syariat yang
telah ada sebelumnya. (Asyqar, 2008:27)

B. Sifat-Sifat Nabi dan Rasul


Sebelum diangkat menjadi nabi, seorang nabi dan rosul memiliki ciri-ciri
kenabian/nubuwwah yang disebut juga dengan irhash. Sebagaimana Nabi
Muhammad SAW yang sejak kecil terkenal dengan akhlaknya yang mulia sehingga
disebut al amin. Firman Allah dalam QS. Al-Ahzab [31]: 21, yakni:

ِ ‫ّللاَ َو ْليَ ْو َم‬


‫اآلخ ِر َوذَك ََر ه‬
‫ّللاَ َكثِي ًْرا‬ َ ‫ّللاِ أُس َْوة ٌ َح‬
َ ‫سنَةٌ ِله َم ْن َكانَ يَ ْر ُج ْوا‬ ُ ‫لَقَدْ َكانَ لَ ُك ْم فِ ْي َر‬
َ ‫س ْو ِل‬

Yang artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.

Selanjutnya, dalam mengemban risalah sebagai seorang nabi dan rasul, adapun
sifat-sifat kenabian yang dibedakan menjadi tiga bagian, sebagai berikut:

10
1. Sifat-sifat Wajib bagi Nabi dan Rasul

Untuk menguatkan risalah yang dibawa oleh para nabi dan rosul, maka
Allah SWT telah menganugerahkan kepada mereka empat sifat kesempurnaan
sebagai berikut ini:

a) Ash-Shidqul Mutlaq (Shidiq)

Ash-Shidqul Mutlaq (Shidiq) berarti kejujuran secara mutlak yang tidak


rusak dalam segala situasi maupun kondisi apapun. Dalam menyampaikan
dakwah kepada umat manusia, seorang nabi pasti melakukan hal tersebut
dengan jujur/benar, baik dari segi perkataan maupun perbuatannya. Segala
sesuatu yang yang dilakukannya harus sesuai dengan apa yang ia ucapkan
kepada umatnya.

Dengan demikian, mustahil jika seorang nabi dan rasul adalah seorang
pembohong. Karena segala sesuatu yang telah disampaikan kepada manusia
baik berupa wahyu maupun khabar, mereka telah menyampaikannya sesuai
dengan apa yang telah diterima dari Allah SWT. Sehingga tidak ada suatu
perkara yang dilebih-lebihkan maupun dikurang-kurangkan dalam
penyampainnya.

Dengan kata lain, apa yang disampaikan kepada manusia pasti benar
adanya, karena memang bersumber dari Allah. Sebagai bukti atas
kebenarannya, para nabi dan rasul telah dianugerahi mukjizat-mukjizat oleh
Allah yang harus diyakini oleh setiap muslim tentang kebenarannya. Dan tidak
mungkin pula, para nabi dan rasul harus diyakini/dipercayai serta diteladani
apabila mereka tidak memiliki sifat yang jujur. Tentu saja, setelah segala
sesuatu yang diperintahkan Allah melalui perantara nabi dan rasul, sebagai
seoarang muslim kita harus ta’at dalam menjalankan perintah-Nya dan
menjauhi segala larangan-Nya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam
potongan ayat QS. Al-Hasyr [59]: 7, sebagai berikut:

... ‫س ْو ُل فَ ُخذ ُ ْوهُ َو َما نَ َها ُكم َع ْنهُ فَا ْنت َ ُه ْوا‬ َ ‫ َومآ آت َا ُك ْم‬...
ُ ‫الر‬

11
yang artinya: “... Apa yang diberikan rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan
apa yang dilarang bagimu, maka tinggalkanlah ...”

Apabila sifat ini rusak sedikit saja, maka risalah yang nabi dan rasul bawa
pun secara otomatis akan rusak pula. Karena setiap perkataan serta perbuatan dari
seorang nabi dan rasul yang jujur, tidak sedikit pun mengandung kabatilan bagi
umat manusia.

b) Al-Iltizamul Kamil

Al-Iltizamul Kamil adalah komitmen yang sempurna terhadap segala


sesuatu yang ia serukan kepada umat manusia sebagai wakil dari Allah. Sedangkan
Amanah artinya terpercaya atau dapat dipercaya. Dengan demikian, mustahil jika
seorang nabi dan rasul adalah seorang pengkhianat yang suka berkhianat. Amanah
berarti dapat dipercaya baik secara dhahir maupun bathin. Para nabi dan rasul akan
terjaga secara dhahir atau bathin dari melakukan perbuatan yang dilarang agama,
begitu pula dengan hal-hal yang melanggar etika.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Asy-Syu’araa [26]: 143,


sebagai berikut:

‫س ْو ٌل أ َ ِمي ٌْن‬
ُ ‫إنهِ ْي لَ ُك ْم َر‬

yang artinya: “Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus)
kepadamu.”

Tugas utama seorang nabi dan rasul adalah menyampaikan risalah yang
Allah bebankan kepadanya untuk disampaikan kepada umat manusia. Seorang nabi
dan rasul yang diutus oleh Allah sudah pasti mempunyai hubungan langsung
dengan-Nya dan sangat mengerti tentang keagungan Allah dibandingkan dengan
manusia biasa. Sehingga mustahil baginya untuk melanggar perintah Allah,
khususnya dalam menyampaikan risalah kepada umat manusia. Tindakan
melanggar perintah Allah merupakan suatu bentuk pengkhianatan kepada-Nya. Dan
tentunya, orang-orang yang tidak memiliki sifat amanah tidak mungkin dijadikan
sebagai pengemban risalah suci oleh Allah Yang Maha Kuasa.

12
Oleh karena itu, seorang nabi dan rasul yang amanah tidak mungkin
(mustahil) memiliki sifat hasud, riya’, sombong, dan sifat-sifat lainnya yang
bertolak belakang dengan sifat amanah.

c) At-Tablighul Kamil

At-Tablighul Kamil berarti penyampaian kandungan risalah secara sempura


dan berkelanjutan dengan didasari rasa kepercayaan (dapat dipercaya). Selain
didasari oleh kepercayaan, tabligh (menyampaikan) juga harus disertai rasa
ketidakpedulian terhadap kebencian, siksaan, kejahatan, tipu daya, konspirasi, atau
sikap kasar manusia yang menghalangi dakwahnya untuk menyampaikan risalah
Illahi. Seorang nabi dan rasul harus mampu istiqomah dalam menjalankan perintah
Allah dan tidak berpaling dari-Nya meskipun diuji dengan fitnah (ujian, godaan)
seberat apapun. Dengan demikian, mustahil jika seorang nabi dan rosul
menyembunyikan dan merahasiakan wahyu/risalah Allah yang seharusnya
disampaikan.

Sudah menjadi kewajiban bagi para nabi dan rasul untuk menyampaikan
wahyu/risalah yang mereka terima dari Allah kepada umat manusia. Jika Allah
memerintahkan seorang nabi dan rasul untuk menyampaikan wahyu kepada
manusia, maka hukumnya wajib bagi manusia untuk menerima apa yang telah
disampaikan dengan keyakinan kuat sebagai bukti atau saksi akan kebenaran wahyu
tersebut. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Ahzab [33]: 39, sebagai berikut:

‫ْب‬ َۗ ‫ش ْونَ ا َ َحدًا اَِلَ ه‬


‫ّللاَ َو َكفَى ِب ه‬
َ ‫اّللِ َح ِسي‬ َ ‫ّللاِ َويَ ْخش َْونَهُ َوَلَيَ ْخ‬
‫ت ه‬ َ ‫الَ ِذيْنَ يُبَ ِلهغُ ْونَ ِر‬
ِ ‫س َاَل‬

yang artinya: “(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah Allah, mereka takut
kepada-Nya dan mereka tiada takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan
cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan.”

Hal ini dapat dikatakan bahwa, apabila Allah memberi wahyu kepada para
nabi dan rasul untuk tidak disampaikan atau dirahasiakan kepada manusia, maka
tidak wajib bagi manusia untuk mempelajarinya. Sedangkan menyampaikan adalah

13
sesuatu hal yang wajib dan menyembunyikan adalah sesuatu hal yang terlaknat dan
tercela.

d) Al-Aqlul Azhim (fathonah)

Al-Aqlul Azhim ialah intelegensi yang cemerlang. Sedangkan fathonah


berarti cerdas, pandai atau pintar. Dalam menyampaikan risalah Allah, tentu saja
dibutuhkan kemampuan, diplomasi, dan strategi khusus agar wahyu yang tersimpan
di dalam hukum-hukum Allah dan risalah yang disampaikan dpat diterima dengan
baik oleh umat manusia. Oleh karena itu, seorang nabi dan rasul wajib memiliki
sifat cerdas. Kecerdasan ini sangat berfungsi, terutama dalam menghdapi orang-
orang yang membangkang dan menolak ajaran islam yang nabi dan rasul bawakan.

Selain itu, seseorang tidak akan mudah tunduk dan tertipu oleh orang lain
kecuali jika seseorang tersebut lebih cerdas dibandingkan yang lain. Hal ini berlaku
demikian, agar mereka merasa tenang bahwa ia tidak membawa mereka pada jalan
yang salah. Tanpa intelegensi yang cemerlang, pengemban risalah juga tidak akan
mampu meyakinkan orang lain tentang kebenaran yang ia bawa, khususnya
terhadap orang-orang yang memiliki wawasan luas serta intelektualitas yang tinggi.
Ia juga tidak akan mampu menghadapi serangan dari orang-orang yang memusuhi
ajaran yang ia sampaikan, yang menolak dakwahnya, dan yang menyimpang dari
jalan kebenaran. Sehingga sifat fathonah ini merupakan salah satu hujjah bagi
mereka agar apa yang disampaikan dapat diterima dengan baik. Sebagaimana
firman Allah dalam potongan ayat QS. Al-An’am [6]: 83, sebagai berikut:

... ‫َو تِ ْلكَ ُح َجتُنَآ آتَ ْينَا هَآ ِإب َْر ِهي َْم َعلَى قَ ْو ِم ِه‬

yang artinya: “Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk
menghadapi kaumnya ...”

Oleh karena itu, nabi dan rasul adalah seorang yang paling cerdik, paling
cerdas, paling berakal, paling bijak, dan paling sempurna ilmu pengetahuannya
dibandingkan manusia yang lain. Sehungga keberadaan dirinya dapat menjadi bukti

14
kebenaran risalah yang ia sampaikan. Dan mustahil seorang nabi dan rasul memiliki
sifat bodoh atau tidak mengerti apa-apa.

2. Sifat-sifat Mustahil bagi Nabi dan Rasul

Adapun kebalikan dari sifat- sifat wajib para nabi dan rasul adalah sifat-sifat
mustahil, yaitu:

a. Kidhb (bohong)

b. Khianah (berkhianat atau tidak dipercaya)

c. Kitman (menyembunyikan)

d. Baladah (bodoh)

3. Sifat-sifat Jaiz bagi Nabi dan Rasul

Allah telah mengutus para rasul kepada manusia dan telah dihiasi dengan sifat
kesempurnaan melenihi makhluk Allah yang lain, namun mereka tidak akan terlepas
dari fitnah kemanusiaan yang ada dalam dirinya. Karena pada dasarnya, seorang
nabi dan rasul tetaplah sebagai seorang manusia biasayang berperilaku sebagaimana
manusia.

Sifat para nabi dan rasul ini telah membuat mereka melakukan aktifitas
sebagaimana manusia pada umumnya. Pastinya, sifat-sifat yang dimaksud disini
adalah perilaku dan sifat yang tidak mengurangi derajat kerasulan mereka dalam
pandangan manusia. Dengan demikian, sifat-sifat ini boleh dikatakan jaiz bagi para
nabi dan rasul yang berarti sifat-sifat yang boleh dilakukan dan boleh pula
ditinggalkan. Seperti makan, minum, tidur, menikah, istirahat, sakit yang ringan,
pingsan, berjalan di pasar-pasar, berniaga dan lain sebagainya. Sedangkan perilaku
dan sifat yang dapat merendahkan derajat kerasulan akan terpelihara dan dipelihara
oleh Allah SWT. Dan sudah pasti perilaku dan sifat tersebut tidak pernah dilakukan
oleh para nabi dan rasul. Sehingga hal inilah yang membedakan merka dengan
manusia lain. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Furqan [25]: 20, sebagai
berikut:

15
‫ق‬ ُ ‫ام َويَ ْم‬
ِ ‫ش ْونَ ِف ْي األس َْوا‬ َ ‫سليْنض إَِلَ إِنَ ُه ْم لَيَأ ْ ُكلُ ْونَ ال‬
َ َ‫طع‬ َ ‫س ْلنَا قَ ْبلَكَ ِمنَ ْال ُم ْر‬
َ ‫َو َما أ َ ْر‬

yang artinya: “Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan


mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.”

C. Syafaat Kenabian
1. Pengertian Syafaat
Kata syafa’at ( ‫ ) شفاعة‬diambil dari kata al-Syaf’u ( ‫ ) الشفع‬yang berarti dua.
Abu al-Qāsim (1995:122) memberikan definisi terhadap kata al-Syaf’u, yaitu
berkumpulnya sesuatu kepada sesuatu yang semisalnya. Beliau juga
mengemukakan beberapa pendapat lain mengenai definisi kata al-Syaf’u yang
diambil dari surat al-Fajr ayat 3, di antaranya :
 Al-Syaf’u diartikan setiap makhluk, karena makhluk itu tersusun.
Definisi ini berpijak pada salah satu firman Allah dalam al-Qur’an
surat Al-Żāriyāt : 49. Dan al-Watru adalah Allah, karena Allah itu
Esa. Di antara Mufassir yang berpendapat dengan pendapat ini
adalah Imām Ibn ‘Abbās dan Imām Mujāhid.
 Al-Syaf’u diartikan dengan hari Idul Adha, dan al-Witru diartikan
dengan hari ‘Arafah. Yang menafsirkan demikian antara lain al-
Qurṭubi dalam tafsirnya. Hal senada juga diungkapkan oleh Syeikh
Nawawi dengan menukil sebuah riwayat bahwa Nabi menafsirkan
kedua kata itu dengan makna demikian.
 Al-Syaf’u diartikan dengan keturunan Adam, dan al-Watru diartikan
dengan Adam.
2. Macam-Macam Syafaat
Al-Qāḍi Abū al-Faḍl ‘Iyāḍ berkata bahwa syafa’at Nabi pada hari kiamat
itu ada lima macam.
 Syafa’at umum atau sering disebut juga dengan Syafā’at al-‘Uẓmā,
yaitu diperuntukan bagi seluruh mahluk, seperti dengan menciptakan
perasaan nyaman di tengah-tengah kegaduhan suasana alam
mahsyar, memudahkan hisab dan semisalnya.
 Memasukkan sekelompok orang ke surga tanpa hisab.

16
 Memberi syafa’at pada orang mukmin yang bertauhid dari umatnya
yang masuk neraka karena dosa-dosa mereka. Bila Allah
menghendaki, maka mereka akan masuk surga.
 Mengeluarkan orang-orang berdosa yang telah masuk neraka dari
neraka.
 Meninggikan derajat ahli surga yang telah masuk surge
Bagian yang ketiga itu merupakan bagian yang ditentang oleh kaum Khawarij
dan Muktazilah. Sedangkan menurut Ibn ‘Aṭiyyah yang masyhur bagi Rasulullah
itu ada tiga syafa’at. Pertama, syafa’at yang umum. Kedua, syafa’at untuk masuk
surga tanpa hisab. Ketiga, syafa’at untuk mengeluarkan orang-orang yang berdosa
dari neraka.

Berbeda dengan kedua pendapat di atas, Syeikh Ja’far Subhani (2011:93)


mempunyai opini lain tentang pembagian syafa’at. Menurut Beliau hakikat
syafa’at itu terbagi tiga bagian, yaitu syafa’at Takwiniyah, syafa’at Qiyadiyah dan
syafa’at Mushthalahah.

1) Syafa’at Takwiniyah (al-Syafā’ah al-Takwīniyyah)


Syafa’at Takwiniyah merupakan kekuasaan Allah dalam mengatur
semua urusan makhluk. Seperti perputaran fenomena alam yang
mempunyai pengaruh, seperti matahari, rembulan, api dan air.
Kesemuanya itu tidak memberikan pengaruh kecuali dengan kehendak
dan izin Allah.
2) Syafa’at Qiyadiyah (al-Syafā’ah al-Qiyādiyah)
Syafa’at Qiyadiyah adalah kepemimpinan para Nabi, para wali, para
imam, para ulama dan kitab-kitab suci yang berfungsi sebagai pemberi
syafa’at (pertolongan) dalam membebaskan manusia dari akibat-akibat
dan pengaruh-pengaruh perbuatan jahatnya.
3) Syafa’at Mushthalahah (al-Syafā’ah al-Muṣṭalaḥah) Yang dimaksud
syafa’at jenis ini adalah sampainya rahmat Allah kepada hamba-
hambanya melalui perantaraan para wali dan orang-orang suci di antara

17
hamba-hamba-Nya. Seperti dalam Surat An-Nisā’ ayat 6 dan surat
Yūsuf ayat 97-98.
3. Pendapat Beberapa Ulama Tentang Syafaat
Syaikh Ja’far Subhani (2011:28) mengemukakan pandangan beberapa ulama
tentang syafaat, diantaranya:
 Abu Manṡūr Muḥammad bin Muḥammad al-Maturidi al-Samarkandi
(w. 333 H) dalam tafsirnya menjelaskan adanya syafa’at yang
dikabulkan Allah (al-Syafā’ah al-Maqbūlah), dalilnya adalah firman
Allah surat al- Baqarah ayat 48 dan al–Anbiyā’ ayat 28. Dari kedua
ayat ini beliau menyimpulkan bahwa kendatipun ayat yang pertama
menafikan syafa’at, namun tetap dinyatakan adanya syafa’at yang
diterima seperti ayat yang keduanya.
 Al-Qāḍi Iyad mengatakan bahwa madzhab Ahlus Sunnah
menyatakan kebenaran adanya syafa’at secara rasional, dan wajib
adanya berdasarkan wahyu yang sharih dan hadits yang dipercaya.
Riwayat-riwayat yang secara keseluruhan derajatnya sampai
ketingkat mutawatir membenarkan adanya syafa’at di hari akhir bagi
orang-orang mukmin yang berdosa. Pendapat ini juga disepakati oleh
para ulama salaf shalih dan kalangan Ahlusunnah sesudah mereka.
Tetapi ditolak oleh kaum Muktazilah dan Khawarij.
 Imam Abu Hafs al-Nasafi menyatakan bahwa syafa’at ada pada diri
Rasul dan orang-orang pilihan Allah, berkaitan dengan siksa yang
menjadi hak para pelaku dosa besar, berdasarkan riwayat-riwayat
yang berbeda dengan Muktazilah.
 Al-Rāzī mengatakan : umat Islam sepakat bahwa Nabi mempunyai
syafa’at di hari akhir, dan Muktazilah mengatakan bahwa dampak
syafa’at adalah diperolehnya tambahan manfaat setingkat dengan hak
mereka atas itu. Hanya saja pendapat yang benar adalah bahwa
dampak syafa’at menggugurkan siksa bagi orang-orang yang berhak
mendapatkan siksa, baik dengan cara diberi syafa’at ketika hari
kiamat sehingga mereka tidak mendapatkan siksa ataupun mereka

18
telah masuk neraka lalu diberi syafa’at. Mereka sepakat syafa’at
bukan untuk orang kafir.
 Syeikh Muḥammad bin Abd al-Wahhāb berpendapat bahwa syafa’at
itu ada, meyakininya adalah wajib. Namun, untuk meminta syafa’at
tersebut hendaklah meminta kepada pemiliknya, yaitu Allah.
Sebagaimana dalam firman-Nya dalam surat Al-Zumar ayat 44.

4. Pemberi dan Penerima Syafaat


 Pemberi Syafaat
Ada beberapa kelompok yang disebut oleh Al Quran Al-Karim sebagai
syafi’. Di antaranya adalah para nabi a.s., malaikat, dan kaum mukminin
yang saleh. Selain itu amal perbuatan yang baik juga dapat memberikan
syafaat kepada pelakunya.
 Penerima Syafaat
Ada beberapa kelompok yang disebut oleh Al Quran Al-Karim sebagai
musyafi’ yaitu kaum muslimin yang memiliki hubungan atau keterkaitan
dengan syafi’ sehingga memungkinkan untuk diberi syafaat.
 Yang Tidak Akan Mendapat Syafaat
Syafaat adalah anugerah yang hanya akan diterima oleh kaum mukminin
dan syafaat tidak berguna bagi mereka yang mati dalam keadaan kafir. Al-
Quran Al-Karim dalam banyak ayatnya telah menjelaskan ancaman Tuhan
terhadap beberapa kelompok umat manusia bahwa mereka akan kekal di
dalam neraka dan tidak akan mendapat syafaat. yaitu diantaranya orang-
orang kafir, orang-orang yang murtad, orang-orang musyrik, pemakan riba,
para penentang allah dan rasul-nya, orang-orang congkak dan pendusta
kebenaran, munafikin, pembunuh orang mukmin, orang-orang yang zalim,
para pendosa, mereka yang berbuat kejahatan, mereka yang timbangan
amalnya ringan.

19
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Kenabian (nubuwwah) adalah karunia dan pemberian Allah SWT. Karena
Allah SWT telah memilih hamba yang dikehendaki-Nya. Kenabian
(nubuwwah) tidak akan dapat diperoleh dengan ikhtiar atau usaha dengan
kesungguhan dan juga tidak dapat diperoleh dengan jalan memperbanyak
beribadah serta memperbanyak ketaatan. Menurut Ibn Khaldu dalam al-
Muqaddimah, ada beberapa syarat dalam hal kenabian diantaranya harus laki-
laki, terpelihara dari kesalahan, mendapat ma’rifat dari Allah SWT, mampu
melakukan hal-hal yang luar biasa.
Perbedaan antara Nabi dan Rasul adalah Rasul yaitu orang yang diberi
wahyu dengan syariat baru. Sedangkan Nabi adalah orang yang diutus untuk
mengokohkan syariat yang telah ada sebelumnya. Sifat-sifat Nabi dan Rasul
terbagi 3 yaitu sifat wajib, mustahil, dan jaiz.
Syafaat adalah berkumpulnya sesuatu kepada sesuatu yang semisalnya.
Macam-macam syafaat terbagi tiga bagian, yaitu syafa’at Takwiniyah, syafa’at
Qiyadiyah dan syafa’at Mushthalahah. Yang termasuk ke dalam pemberi
syafaat adalah para nabi a.s., malaikat, dan kaum mukminin yang saleh. Yang
termasuk ke dalam penerima syafaat adalah kaum muslimin. Sedangkan yang
tidak mendapat syafaat yaitu diantaranya orang-orang kafir, orang-orang yang
murtad, orang-orang musyrik, pemakan riba, para penentang allah dan rasul-
nya, orang-orang congkak dan pendusta kebenaran, munafikin, pembunuh
orang mukmin, orang-orang yang zalim, para pendosa, mereka yang berbuat
kejahatan, mereka yang timbangan amalnya ringan.

B. Saran
Sebagai umat muslim, diharapkan dapat lebih yakin dengan kenabian pada
Nabi dan Rasul. Dan semakin yakin dengan ajaran yang dibawanya karena hal
tersebut merupakan perantara Allah SWT dengan hamba-Nya.

20
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qasim, Abu. 1995. al-Mufradāt fi Gharīb al-Qur’an Terjemahan Cetakan I.


Sūriyā: Dār Qutaibah

Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1952. Al-Islam Jilid I. Yogyakarta: Bulan Bintang.

Dzulhadi, Qosim N. 2014. Al-Farabi dan Filsafat Kenabian Vol. 12 No. 1. Maret
2014.

Juwaini. 2011. Konsep An-Nubuwwah Dalam Diskursus Filsafat Vol. 13 No. 2.


Malang: Universitas Brawijaya.

Marzuki. 2008. Meneladani Nabi Muhammad SAW Dalam Kehidupan Sehari-Hari


Oktober 2011. Malaysia: Univesiti Kebangsaan Malaysia.

Pendidikan Islam. 2013. Sifat-Sifat Nabi dan Rasul. http://www.masuk-


islam.com/sifat-sifat-nabi-dan-rasul-sifat-wajib-dan-sifat-mustahil-bagi-nabi
dan-rasul-lengkap-dengan-dalil-dan-penjelasannya.html. Diakses pada 14
Oktober 2017.

Suryadi. 2007. Modul 04: Meneladani Akhlak Rasulullah SAW dan Sahabat.
Vol. 8 No. 1. Maret 2008. HUMANIKA: Universitas Negeri Yogyakarta.

21

Anda mungkin juga menyukai