Anda di halaman 1dari 22

SEMINAR BIDANG KEAHLIAN

MAKALAH I

PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR BERBASIS WILAYAH


UNTUK PERTUMBUHAN EKONOMI

Pembimbing : Prof. Wimpy Santosa, Ir., M.Eng, MSCE, Ph.D.


Nama : IGW Samsi Gunarta
NPM : 2015832003

PROGRAM PASCA SARJANA


PROGRAM STUDI DOKTOR TEKNIK SIPIL
UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN
BANDUNG
Maret 2016

i
PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR BERBASIS WILAYAH
UNTUK PERTUMBUHAN EKONOMI
IGW Samsi Gunarta (NPM : 2015832003)

Pembimbing: Prof. Wimpy Santosa, Ir., M.Eng, MSCE, Ph.D.


Doktor Ilmu Teknik Sipil
Bandung
Maret 2016

Abstrak

Kehadiran infrastruktur tidak hanya memberikan kemudahan bagi


masyarakat untuk melaksanakan aktifitas dalam rangka memenuhi kebutuhan
pergerakan, ekonomi, dan kesejahteraan sosial. Konsep regionalisasi
pembangunan memungkinkan dapat dibangunnya infrastruktur secara lebih efisien
untuk mendorong berfungsinya mesin-mesin pertumbuhan pada suatu wilayah
pertumbuhan. Pemanfaatan infrastruktur secara bersama-sama untuk berbagai
kawasan yang dipengaruhinya dapat mendorong sinergi antar kawasan sehingga
pertumbuhan ekonomi pada wilayah tersebut menjadi lebih cepat.
Makalah ini akan menjabarkan latar belakang, teori, dan implementasi
regionalisasi pembangunan infrastruktur untuk mewujudkan Pembangunan
Infrastruktur Berbasis Wilayah. Mengacu pada pengalaman dari berbagai upaya
regionalisasi di mancanegara, implementasi dari konsep ini tampaknya cukup
menjanjikan untuk memastukan percepatan pertumbuhan ekonomi dan
mengurangi gap infrastruktur pada suatu wilayah pertumbuhan.

Kata Kunci: Pengembangan Infrastruktur, Pengembangan Wilayah,


Aglomerasi Kawasan.

ii
DAFTAR ISI

1 Pendahuluan ................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1

1.2 Perumusan Masalah ........................................................................................ 2

1.3 Metode Pendekatan ........................................................................................ 2

2 Kajian Pustaka Model Pembangunan Infrastruktur Berbasis


Wilayah ......................................................................................................... 3

2.1 Teori Kutub Pertumbuhan .............................................................................. 4

2.2 Teori Lokasi Pusat .......................................................................................... 4

3 Praktik Empirik Regionalisasi Pembangunan .......................................... 6

3.1 Strategic Development Plan Area-SKOTLANDIA ....................................... 6

3.2 Koridor Boston-Washington (BOSWASH) ................................................... 7

3.3 Delhi-Mumbai Industrial Corridor ................................................................. 9

3.4 Klasterisasi Wilayah Pembangunan dalam Wilayah Pengembangan


Strategis ........................................................................................................ 11

4 Tantangan Penyelenggaraan Infrastruktur Regional ............................ 14

5 Rangkuman................................................................................................. 15

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 17

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 5.1 Perbandingan Konsep dan Capaian antar Konsep Regionalisasi


Pembangunan ........................................................................................................ 16

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Ilustrasi Interaksi pada Teori Kutub Pertumbuhan ............................. 4


Gambar 2.2 Ilustrasi Interaksi Wilayah pada Teori Lokasi Pusat ........................... 5
Gambar 3.1 Deliniasi 4 SDPA di Skotlandia .......................................................... 7
Gambar 3.2 Pertumbuhan Populasi Koridor BOSWASH 1950-2000 .................... 9
Gambar 3.3 Deliniasi dan Wilayah Pengaruh Koridor Industri Delhi Mumbai ... 10
Gambar 3.4 Ilustrasi Konsep Wilayah Pengembangan Strategis .......................... 12
Gambar 3.5 Salah Satu Model Klasterisasi Kawasan dengan Pendekatan WPS .. 13
Gambar 3.6 Sebaran Wilayah Pengembangan Strategis (WPS) ........................... 14

iv
1 Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Pengembangan infrastruktur terpadu pada skala kawasan menjadi topik hangat
dalam beberapa tahun terakhir, berbagai Negara berupaya untuk mengejar
pertumbuhan dengan menciptakan mesin-mesin ekonomi. Konsep koridor
pertumbuhan dan regionalisasi pembangunan berkembang pesat dan banyak
diimplementasikan. Belajar dari pertumbuhan Koridor Boston-Washington
(BOSWASH), beberapa koridor ekonomi berbasis produksi menjamur di berbagai
belahan dunia, seperti Delhi-Mumbai Industrial Corridor, Iskandar Development
Region, Seoul-Busan Corridor, serta 6 Koridor Ekonomi yang digagas dalam
Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Selain
mendorong pertumbuhan kompetitif berbasis potensi dan infrastruktur terbangun
pada kawasan yang menjadi mesin pembangunan, pengembangan regionalisasi
pembangunan juga bertujuan untuk mengurangi disparitas wilayah dengan
memastikan tercapainya pelayanan infrastruktur secara maksimal pada wilayah-
wilayah pendukungnya.
Dalam Rencana Strategis Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat Tahun 2015-2019 (Kementerian PUPR, 2015a), disusun sebuah model
perencanaan berbasis Wilayah Pengembangan Strategis (WPS) yang mengadopsi
model pengembangan infrastruktur dengan aglomerasi kawasannya. Penyusunan
WPS ditujukan untuk memastikan berfungsinya mesin-mesin pertumbuhan dan
melengkapinya dengan prasarana kewilayahan maupun kesejahteraan sosial yang
memadai. Terdapat 35 WPS yang menjadi wilayah pengembangan infrastruktur
strategis prioritas yang diharapkan dapat menjawab tantangan Pemerintah untuk
mewujudkan Nawa Cita dan Tol Laut Indonesia.
Makalah ini mencoba mengupas model perencanaan Infrastruktur berbasis
wilayah dengan meninjau teori, praktik yang sudah ada, dan harapan yang ada
terhadap konsep ini. Dengan demikian, gambaran dari efektifitas pembangunan
infrastruktur berbasis wilayah dapat dibayangkan, sekaligus pula berbagai
tantangan yang akan muncul dapat diidentifikasi secara baik.

1
1.2 Perumusan Masalah

Pendekatan pembangunan infrastruktur berbasis kewilayahan bukanlah hal baru,


Konsep ini merupakan pengejawantahan dari konsep aglomerasi kawasan yang
sudah banyak digunakan sebelumnya. Indonesia sebagai negara yang berbasis
kepulauan sudah pula mengadopsi pendekatan ini dalam pengembangan wilayah
dan mengejar ketertinggalan infrastruktur. Harapannya adalah mendorong
pembangunan infrastruktur secara lebih efisien dan sekaligus dapat menurunkan
disparitas antar wilayah secara efektif. Berbasis pada pendekatan regionalisasi ini
Indonesia telah menetapkan 35 Wilayah Pengembangan Strategis sebagai
pendekatan pengembangan infrastruktur di mana setiap WPS merupakan koridor
pertumbuhan yang terdiri atas Infrastruktur backbone dan Kawasan-kawasan.
Sebagai sebuah pendekatan, konsep ini perlu dipelajari lebih jauh dan
dikupas dari beberapa aspek, seperti kerangka teori yang melandasinya,
implementasi praktis, harapan terhadap pemanfaatan konsep ini. Selain itu, perlu
juga dilihat permasalahan yang mungkin terjadi dari pelaksanaan aglomerasi
perencanaan dan pemanfaatan infrastruktur ini lebih jauh sehingga persoalan
yang muncul dapat diantisipasi dari awal.

1.3 Metode Pendekatan


Studi ini dilaksanakan melalui tinjauan pustaka terhadap konsep pengembangan
infrastruktur wilayah dan peninjauan terhadap praktik yang ada dari berbagai
laporan. Pendalaman terhadap proses perencanaan infrastruktur regional yang
sudah ada dilakukan dengan wawancara tidak terstruktur untuk melakukan
konfirmasi terhadap ide, konsepsi pembentukan WPS terkait dengan teori yang
ada, dan efektivitas WPS sebagai platform perencanaan. Analisis dilakukan secara
kualitatif deskriptif untuk melihat perbedaan antara model perencanaan
infrastruktur wilayah pada WPS dengan model regionalisasi lainnya. Dari hasil ini
dapat dilihat tingkat efektifitas dari model WPS dan persoalan yang mungkin
muncul dalam operasionalisasinya.

2
2 Kajian Pustaka Model Pembangunan Infrastruktur Berbasis
Wilayah
Pembangunan infrastruktur terintegrasi umum dikaitkan dengan pengembangan
wilayah, baik dalam konteks pertumbuhan ekonomi maupun dalam pemenuhan
standar kualitas hidup masyarakat. Dalam rangka pengembangan ekonomi
wilayah, pembangunan infrastruktur dipersiapkan untuk mendukung aktivitas
pokok dan mendukung wilayah sebagai mesin pertumbuhan. Pemenuhan standar
kualitas hidup sendiri merupakan baseline dari penyediaan infrastruktur wilayah
dalam berbagai kasus yang telah terjadi sebelumnya.
Terlepas dari tujuan pembangunan infrastruktur di suatu wilayah,
keterpaduan pembangunan merupakan prasyarat mutlak dalam penyediaan
pelayanan infrastruktur wilayah. Susantono (2012) menggarisbawahi pentingnya
pembangunan infrastruktur terintegrasi dan menjelaskan konsep 6 koridor
ekonomi yang dipersiapkan Pemerintah Republik Indonesia dalam kerangka
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Pertumbuhan
ekonomi pada daerah yang disiapkan sebagai mesin pertumbuhan diharapkan
dapat didukung terlebih dahulu oleh infrastruktur dasar yang memadai untuk
kepentingan kesejahteraan masyarakat.
Penyediaan pelayanan dasar terkadang tidak dapat dilakukan secara
mandiri oleh suatu wilayah pengembangan, suatu wilayah pelayanan dapat
memiliki ketergantungan yang besar pada wilayah lainnya, salah satunya akibat
ketersediaan infrastruktur yang hulu atau hilir. Misalnya, suatu daerah dapat saja
memiliki potensi penggunaan tenaga listrik yang besar akibat tumbuhnya industri
dan jumlah penduduk yang tinggi, namun potensi bendungan terbaik ada pada
wilayah lain. Hal tersebut dapat terjadi pula dengan pelabuhan, bandara, dan air
bersih. Pada situasi seperti ini kolaborasi antar wilayah dan upaya untuk
memastikan adanya kerjasama saling menguntungkan (mutual-benefit) akan
menjadi kata kunci keberhasilan capaian. Beberapa konsep regionalisasi yang bisa
menggambarkan penjelasan tersebut dapat ditemui pada teori klasik
perkembangan wilayah, seperti Teori Kutub Pertumbuhan (growth pole theory)
dan Teori Lokasi Pusat (central place theory).

3
2.1 Teori Kutub Pertumbuhan

Teori Kutub Pertumbuhan mendelineasi kawasan pusat pertumbuhan dan wilayah


hinterland agar economic flow dapat menetes dari pusat pertumbuhan tersebut ke
wilayah belakangnya (Perroux, 1955). Konsep ini berargumen bahwa
pertumbuhan tidak terjadi di seluruh tempat pada saat yang sama, melainkan
hanya terjadi pada satu titik (poin) atau kutub dengan intensitas yang beragam
(besar, sedang, atau kecil). Ide dasar teori ini adalah pertumbuhan ekonomi
sebenarnya tidak terjadi secara merata di seluruh wilayah melainkan hanya terjadi
pada kutub-kutub yang spesifik. Sehingga untuk memeratakan pertumbuhan ke
seluruh wilayah, pertumbuhan harus diteteskan dari kutub utama ke wilayah
belakangnya.

Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2015


Gambar 2.1 Ilustrasi Interaksi pada Teori Kutub Pertumbuhan

2.2 Teori Lokasi Pusat

Teori Lokasi Pusat mendelineasi kawasan pelayanan berbentuk heksagonal dari


pusat pertumbuhan, dengan asumsi bahwa jarak tertentu merupakan batasan luas
wilayah terlayani oleh pusat pertumbuhan. Konsep yang diperkenalkan oleh
Walter Christaller (1933) ini mencoba menguraikan jumlah, ukuran, dan lokasi
pusat permukiman dalam suatu sistem perkotaan. Dalam konsep ini, permukiman
secara sederhana berfungsi sebagai tempat pusat (central place) yang melayani
area sekitar, aglomerasi dari fungsi-fungsi tersebut kemudian membentuk sistem
besar pelayanan yang utuh.

4
Sumber: https://www.e-education.psu.edu/geog597i_02/node/680, diunduh Maret
2016
Gambar 2.2 Ilustrasi Interaksi Wilayah pada Teori Lokasi Pusat

Teori dan konsepsi terus berkembang dan seiring dengan perkembangan


global, tidak menutup kemungkinan bahwa teori dan konsepsi lama menjadi
obsolet sehingga sulit untuk diaplikasikan. Model Christaller juga mengalami
kesulitan dalam penerapannya akibat beberapa alasan, antara lain :
1) Area yang besar dan datar sangat jarang ditemui, banyaknya limitasi dan
kendala alam mengakibatkan perlunya inovasi dalam sistem jaringan
transportasi;
2) Aspek politik pemerintah seringkali dapat mempengaruhi penentuan lokasi
industri;
3) Keberadaan kompetisi sempurna jarang terjadi, melainkan terdapat monopoli
ekonomi yang besar dan kuat;
4) Preferensi orang untuk melakukan perjalanan sangat beragam, contohnya
untuk berbelanja tidak selalu berorientasi pada pusat perbelanjaan terdekat
5) Distribusi manusia dan sumber daya alam tidak terlaksana secara merata
sempurna.
Inovasi dalam pengembangan wilayah menjadi penting untuk terus
dikembangkan, model pengembangan wilayah akan selalu terus berkembang
karena kegiatan ekonomi dan bisnis semakin bervariasi seiring dengan kemajuan
teknologi dan berbagai inovasi lainnya. Globalisasi ‘memaksa’ pemerintah untuk
lebih kreatif dan inovatif dalam mengoptimalkan nilai ekonomi sumber daya
alam, posisi geopolitik, serta kuantitas dan kualitas SDM. Kekuatan ekonomi juga
terus bergerak lintas negara dan semakin jauh (beyond) dari pemikiran saat ini.

5
3 Praktik Empirik Regionalisasi Pembangunan
Regionalisasi pembangunan merupakan upaya meningkatkan efektivitas
pelayanan infrastruktur serta memastikan terjadinya interaksi ekonomi dalam
skala yang lebih besar. Model pengembangan infrastruktur terintegrasi dalam
konsep wilayah pengembangan banyak diperkenalkan dalam 2 dekade terakhir.
Model tersebut tidak hanya dikembangkan untuk pengembangan antar wilayah
pada suatu negara seperti yang diterapkan pada Glasgow and the Clyde Valley
dan 3 wilayah lain di Skotlandia, Boston-Washington Corridors di Amerika
Serikat, Delhi Mumbai Industrial Corridor (DMIC) di India, dan 9 Kawasan
Strategis Nasional di Indonesia. Namun juga dikembangkan sebagai wilayah
pembangunan trans-nasional, seperti yang diterapkan pada European Union,
Southern African Development Community, serta Brunei, Indonesia, Malaysia,
dan Phillipina (BIMP).
Praktik regionalisasi di Indonesia dimulai secara sektoral dan menjadi bagian
dari konsepsi pengembangan untuk sektor-sektor tertentu saja. Regionalisasi
tersebut umumnya diprakarsai oleh Kementerian tertentu. Beberapa contohnya
adalah regionalisasi di Indonesia adalah kawasan transmigrasi yang diparakarsai
oleh Kementerian Transpmigrasi, Regionalisasi satuan wilayah pengembangan
industri oleh Kementerian Perindustrian, regionalisasi melalui penetapan kawasan
andalan dan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) oleh
Kementerian PU, regionalisasi melalui penetapan Kawasan Ekonomi Khusus
(KEK) oleh Kementerian Perekonomian, dan regionalisasi pariwisata melalui
penetapan Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional (KPPN) yang diprakarsai
oleh Kementerian Pariwisata. Kawasan-kawasan ini berkembang dengan tujuan
dan ciri-cirinya sendiri dan diharapkan dapat membantu mendorong pertumbuhan
regional secara sinergis.

3.1 Strategic Development Plan Area-SKOTLANDIA

Pada Tahun 2008, Skotlandia membentuk 4 kelompok perencanaan yang


dinamakan Otoritas Perencanaan Stratejik (SDPA) pada Otoritas Perencanaan
Wilayah yang diberlakukan secara efektif sejak 25 Juni 2008. Keempat
regionalisasi yang dibangun terdiri atas :

6
1) East Dunbartonshire, East Renfrewshire, Glasgow City, Inverclyde, North
Lanarkshire, Renfrewshire, South Lanarkshire dan West Dunbartonshire
Councils;
2) Aberdeen City dan Aberdeenshire Councils;
3) Angus, Dundee City, Fife dan Perth & Kinross Councils; dan
4) City of Edinburgh, East Lothian, Fife, Midlothian, Scottish Borders dan West
Lothian Councils.

Sumber: The Scottish Government, 2013


Gambar 3.1 Deliniasi 4 SDPA di Skotlandia

Model regionalisasi ini menggantikan model perencanaan terstruktur yang


dianut Skotlandia selama beberapa dekade terakhir dan berhasil mendorong
negara ini menjadi salah satu negara dengan kesejahteraan terbaik di belahan
Utara Bumi. Namun tingkat kesejahteraan yang tinggi dan kualitas hidup saja
tidak mampu membuat negara ini menjadi salah satu negara yang menarik untuk
dihuni. Upaya regionalisasi dilakukan dengan tujuan untuk mengantisipasi
kebutuhan pemerataan infrastruktur dan mengurangi disparitas pelayanan
infrastruktur. Melalui Model Perencanaan Area Stratejik, Skotlandia menerapkan
sistem perencanaan infrastruktur secara terintegrasi dan mengakomodasikan
berbagai tantangan lingkungan, gaya hidup, dan kebutuhan generasi mendatang
sehingga Skotlandia dapat menjadi tempat hunian idaman secara lebih merata di
Abad XXI.

3.2 Koridor Boston-Washington (BOSWASH)

Sebagai koridor transportasi tertua dan terkompleks di Amerika Serikat,


perkembangan Koridor Boston-Washington (BOSWASH) sangat menarik untuk

7
diikuti. Koridor yang juga dikenal sebagai The Northeast Megapolitan Corridor
menunjukkan pentingnya peran infrastruktur sebagai pemicu pertumbuhan
ekonomi dan pengembangan wilayah. Sistem infrastruktur pada koridor ini
tumbuh sebagai respon dan juga konsekuensi dari beban yang ditimbulkan dari
pertumbuhan lalu-lintas sejak abad ke 17. Backbone yang semula digunakan
adalah jalan kolonial. Ini kemudian diperkuat dengan sistem kereta api yang
berperan di era 1880-1935, dan jalan interstate berkeeapatan tinggi (dimulai tahun
1920) yang dikombinasikan dengan transportasi laut yang membentuk kota-kota
pelabuhan yang berkembang sebagai metropolitan yang saling terkoneksi satu
dengan yang lainnya.
McNeil, Oswald, dan Ames (2010) melakukan evaluasi terhadap
pertumbuhan Koridor BOSWASH melalui overlay peta pertumbuhan infrastruktur
dan populasi dari koridor tersebut. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa
pertumbuhan infrastruktur kereta api dan jalan inter-state memicu pertumbuhan
populasi secara pesat. Sejalannya kecepatan pertumbuhan tersebut terus terjadi
hingga sekitar tahun 1990 dimana kecepatan pertumbuhan kapasitas infrastruktur
transportasi mulai mengalami penurunan. Hasil evaluasi juga menunjukkan bahwa
demand transportasi (Vehicle-Miles Travel; VMT) yang diakomodasikan oleh
sistem inter-state tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan
kapasitas infrastrukturnya. Pertumbuhan lalu-lintas barang pada Koridor
BOSWASH juga meningkat cepat, dalam waktu 2 tahun barang yang diangkut
meningkat sebesar 3,5 miliar ton pada tahun 2000 dari 13,6 miliar ton barang
yang diangkut pada tahun 1998 (Rodrigue, 2004). Ini menunjukkan bahwa
pengelolaan dan intervensi backbone secara tepat akan secara sertamerta
mendorong pertumbuhan populasi yang juga menyebabkan pertumbuhan aktivitas
ekonomi secara signifikan.

8
Sumber: McNeil, Oswald, dan Ames, 2010

Gambar 3.2 Pertumbuhan Populasi Koridor BOSWASH 1950-2000

3.3 Delhi-Mumbai Industrial Corridor

Delhi-Mumbai Industrial Corridor (DMIC) merupakan bagian dari pembangunan


segi empat emas diharapkan dapat menjadi koridor manufaktur dan hub
perdagangan terbesar di India. Dibangun dengan konsep cerdas dan pelayanan
berstandar internasional, koridor industri sepanjang 1483 km dengan luas
pengaruh sekitar 436.486 km2 ini menggunakan high-speed multi-modal
dedicated logistic lane sebagai backbone. Pembangunan infrastruktur di koridor
ini diperkirakan mempengaruhi sekitar 13,8 % wilayah daratan India dan 178 Juta
(sekitar 17%) penduduk India yang terdiri atas berbagai etnik.

9
Sumber : Ministry of Commerce and Industry Government of India, 2007

Gambar 3.3 Deliniasi dan Wilayah Pengaruh Koridor Industri Delhi Mumbai

DMIC membentang pada wilayah yang sudah terbangun secara moderat dan
wilayah yang sedang dibangun, dengan berbagai potensi sumber daya alam,
keterampilan, dan ragam kualitas infrastruktur baik secara fisik maupun sosial
dari 6 negara bagian yang berpartisipasi pada koridor ini. Titik-titik pertumbuhan
(nodes) yang diperkirakan memiliki dampak besar ataupun yang menjadi market
driven di sepanjang koridor ini diidentifikasi dan diusulkan untuk dikembangkan
menjadi kawasan pengembangan investasi dan industri terintegrasi dengan tingkat
transparansi tinggi yang menerapkan kebijakan ramah investasi. Kawasan tersebut
diharapkan menjadi kota-kota industri yang self-sustained, smart, dan dilengkapi
dengan infrastruktur kelas dunia.
Konektivitas terintegrasi antara jalan dengan rel kereta api, baik dari dan
menuju hub logistik maupun pelabuhan-pelabuhan, dikembangkan secara

10
terencana. Kawasan tersebut juga akan dilayani dengan konektifitas transportasi
udara domestik maupun internasional, kelistrikan yang handal, infrastruktur sosial
berkualitas, dan penyediaan atmosfir yang kompetitif pada skala global untuk
memulai bisnis.

3.4 Klasterisasi Wilayah Pembangunan dalam Wilayah


Pengembangan Strategis
Indonesia, sejak tahun 2015 menggunakan konsep Pembangunan berbasis
Wilayah Pengembangan Strategis (WPS). Konsep ini memadukan pengembangan
wilayah dengan market driven, mempertimbangkan daya dukung dan daya
tampung lingkungan, serta menciptakan fokus pengembangan infrastruktur pada
suatu wilayah strategis. Pengembangan WPS berazaskan efisiensi yang berbasis
pada daya dukung, daya tampung, dan fungsi lingkungan fisik terbangun, manfaat
dalam skala ekonomi (economic of scale), serta sinergitas dalam penyediaan
infrastruktur. Dengan demikian, dapat diwujudkan konektivitas transportasi
lingkup nasional maupun internasional; berkurangnya kesenjangan antar pasokan
dan kebutuhan air dan energi; Pemenuhan kebutuhan layanan dasar permukiman
yang layak bagi masyarakat dan mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh;
serta Meningkatkan keandalan dan keberlanjutan layanan sumber daya air baik
untuk pemenuhan air minum, sanitasi, dan irigasi guna menunjang ketahanan
pangan dengan mempertimbangkan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
(Kementerian PUPR, 2015).
Secara umum klasterisasi WPS diilustrasikan sebagai konektivitas pusat-
pusat pertumbuhan ekonomi atau kawasan yang dihibungkan dengan infrastruktur
transportasi sebagai tulang punggung (Gambar 3.4). Klasterisasi diharapkan dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi dengan memaksimalkan keuntungan
aglomerasi, menggali potensi dan keunggulan daerah serta meningkatkan efisiensi
dalam penyediaan infrastruktur dalam kawasan, antar kawasan, maupun antar
WPS. Pendekatan ini merupakan integrasi dari pendekatan sektoral, regional dan
makro ekonomi.

11
Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2015

Gambar 3.4 Ilustrasi Konsep Wilayah Pengembangan Strategis

Upaya klasterisasi kawasan pada tiap WPS didapatkan dengan


memperhatikan 3 (tiga) faktor hal, antara lain faktor sumber daya alam, faktor
sosial-ekonomi dan lingkungan fisik terbangun, serta keseimbangan
pengembangan sumber daya manusia. Klasterisasi pada faktor sumber daya alam
dilakukan dengan mengupayakan penyatuan lokasi, keluasan wilayah pengaruh,
dan distribusi topografi yang lebih memungkinkan pengembangan; kedekatan dan
koneksi Simpul Produksi Potensial/Strategis; kekayaan tambang, minyak, dan gas;
kondisi curah hujan dan air permukaan, kearifan lokal, dan keindahan
pemandangan alam. Faktor Sosial Ekonomi dan Lingkungan Fisik Terbangun
dilihat dari Jumlah dan Sebaran Penduduk, ketersediaan Infrastruktur PUPR dan
Non-PUPR (termasuk pelabuhan, bandara, energi, dan kemajuan penggunaan pita
lebar) dan kawasan strategis termasuk Kawasan Perkotaan dan Perdesaan,
Kawasan Industri, Kawasan Ekonomi Khusus, dan kawasan strategis lainnya.
Faktor terakhir yang digunakan dalam pengelompokan wilayah dalam WPS
adalah keseimbangan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM), Komposisi Usia,
dan gender, termasuk ketersediaan tenaga kerja buruh, tenaga terampil, ahli dan
profesional.

12
Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2015

Gambar 3.5 Salah Satu Model Klasterisasi Kawasan dengan Pendekatan WPS

Dari 35 (Tiga Puluh Lima) WPS yang dipersiapkan sebagai Pendekatan


Pembangunan Infrastruktur di Indonesia, WPS-WPS ini dibagi dalam 3 kategori
terkait dengan investasi (Gambar 3.6). Pertama adalah WPS yang merupakan
Pusat Pertumbuhan Terpadu yang diberikan warna merah muda dan merah.
Investasi infrastruktur pada WPS ini akan diarahkan untuk lebih mendayagunakan
kapasitas swasta melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS). WPS
berikutnya adalah kategori WPS yang merupakan Pusat Pertumbuhan Sedang
Berkembang, warna Gijau Muda dan Hijau Tua. WPS ini secara selektif akan
memanfaatkan KPS dan sebagian infrastruktur akan ditangani oleh Pemerintah.
Sedangkan berikutnya adalah WPS dengan warna kuning, dikategorikan sebagai
Pusat Pertumbuhan Sedang Berkembang dimana seluruh kegiatan pembangunan
infrastruktur akan dikerjakan oleh pemerintah dengan berbagai mekanisme
pendanaan yang memungkinkan.

13
Sumber : Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2015

Gambar 3.6 Sebaran Wilayah Pengembangan Strategis (WPS)

4 Tantangan Penyelenggaraan Infrastruktur Regional


Keberhasilan pembangunan infrastruktur terintegrasi tidak selamanya
memberikan hasil yang memuaskan. Terdapat berbagai tantangan yang perlu
ditangani dalam konteks kerjasama antar wilayah, terutama yang melibatkan
beberapa wilayah otonom atau negara, antara lain adalah (The World Economic
Forum, 2014): Kompetisi, Penguasaan Sumber Daya; Pembiayaan; Kapasitas
Teknis, Legal, Personel/Budaya, dan Pemerintahan.
Tantangan terbesar muncul dari adanya kompetisi akibat kemiripan sumber
daya yang dimiliki satu wilayah dengan lainnya. Kapasitas kepemimpinan tingkat
regional yang tidak terlalu kuat, ditambah dengan keinginan politis tiap pimpinan
wilayah dapat menimbulkan persaingan yang kontra-produktif. Misalnya tiap
wilayah membangun pelabuhan secara berlebihan dan tidak saling mendukung,
akibat tidak adanya wilayah yang bersedia mengalah untuk menjadi pelabuhan
pengumpan maka terjadi pecahnya fokus pelayanam infrastruktur. Pada situasi
seperti ini, diharapkan kerjasama dari pengelola infrastruktur regional dengan

14
perencana tiap pemerintah daerah untuk dapat membagi aktivitas yang akan
dijadikan fokus wilayah pengembangan tersebut dengan baik.
Tantangan juga muncul apabila sumber daya tertentu hanya dimiliki oleh satu
daerah saja, terutama bila sumber daya tersebut mempengaruhi sumber pangan
dan sumber pendapatan, seperti ketersediaan potensi air untuk sumber tenaga
listrik. Daerah tersebut diharapkan dapat mendistribusikan potensi tersebut untuk
pemerataan dan pengembangan wilayah, namun akan sangat sulit meyakinkan
pemerintah daerah maupun masyarakatnya untuk dapat mengorbankan
kenyamanan dan keuntungan yang mereka dapatkan oleh keberadaan infrastruktur
kelistrikan tersebut.
Kerjasama antar daerah dalam pembangunan infrastruktur sangat rentan
gagal akibat kapasitas pembiayaan yang berbeda antar daerah tersebut. Hal
tersebut dapat terjadi akibat berubahnya prioritas pembiayaan yang mengganggu
komitmen pembiayaan infrastruktur. Kejadian seperti ini banyak terjadi pada
infrastruktur yang dibangun dengan pembiayaan bersama, baik antar
daerah/kawasan pengembangan maupun antar pemerintah.
Operasionalisasi model pembangunan dengan konsep regionalisasi biasanya
dihadapkan pada sulitnya melakukan komunikasi timbal balik untuk memastikan
adanya kerjasama yang saling menguntungkan. Dalam beberapa kasus, otoritas
pembangunan dibentuk dengan instrumen yang relatif kuat, misalnya pengelolaan
anggaran wilayah secara mandiri, atau memiliki sistem insentif yang dapat
mendorong pembangunan (ADB, 2010). Koordinasi akan sulit dilakukan dan
menjadi tidak efektif apabila model kelembagaan pengintegrasian infrastruktur
tidak memiliki pengaruh terhadap skema pembiayaan, atau tidak memiliki sistem
insentif yang mendukung.

5 Rangkuman
Pengembangan infrastruktur kawasan kerap kali dihubungkan dengan upaya untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dalam mendorong pertumbuhan, model
pembangunan sektoral yang lebih mengutamakan output mulai ditinggalkan dan
digantikan dengan pendekatan perencanaan terintegrasi dan berbasis terhadap
outcomes yang dikenal dengan regionalisasi pengembangan. Regionalisasi telah
banyak diterapkan, beberapa yang dianggap berhasil adalah pengembangan

15
Boston-Washington (BOSWASH) Corridors, Delhi-Mumbai Industrial Corridors,
Incheon International Development Area, dan Iskandar Industrial Park.
Konsep dari model pengembangan wilayah berbasis kawasan ini juga
diadopsi dan dikembangkan di Indonesia, seperti Indonesian Economic Corridors
dan Pendekatan Pembangunan Infrastruktur pada Wilayah Pengembangan
Strategis (WPS). Pendekatan pembangunan ini diharapkan dapat memberikan
dampak pembangunan yang lebih signifikan melalui keterpaduan pemrograman
dan pelaksanaan sehingga memungkinkan pemanfaatan wilayah secara lebih
terencana, cepat, dan dapat mendorong penguatan investasi swasta pada wilayah
yang sudah dipersiapkan.

Tabel 5.1 Perbandingan Konsep dan Capaian antar Konsep Regionalisasi


Pembangunan

Konsep Indikator Keberhasilan


Koridor Backbone
Pengembangan Keberhasilan Capaian
Pertumbuhan
Penduduk sejalan
Pertumbuhan
Jalan KA, Pertumbuhan
Pertumbuhan Infrastruktur,
Koridor Pelabuhan, industri dan
Penduduk, Pelayanan Aktivitas ekonomi
BOSWASH Interstate permukiman
Infrastruktur tumbuh jauh lebih
Highways sepanjang koridor
cepat dibandingkan
pertumbuhan
infrastruktur
Pengelolaan Pertumbuhan Pertumbuhan
Koridor
Urbanisasi dan Ekonomi, ekonomi tinggi dan
Tokyo- KA Cepat
Industri sepanjang Pertumbuhan kota baru sepanjang
Osaka
koridor Perkotaan koridor
Penurunan Biaya
Harmonisasi
Koridor Logistik, Belum terlihat,
manufaktur,
Industri KA Cepat Pertumbuhan Industri Masih dalam
urbanisasi, dan
Delhi- logistik Manufaktur, dan Progress
perbaikan
Mumbai Pertumbuhan Kota Pembangunan
lingkungan
Baru
Kecukupan
Belum terlihat,
Infrastruktur,
Integrasi Dalam Proses
Jalan, KA, Pertumbuhan
WPS infrastruktur pada Perencanaan dan
Pelabuhan Ekonomi Lokal,
dan antara kawasan sinkronisasi
menurunnya gap
program
infrastruktur
Sumber: Hasil Analisis dari berbagai sumber.

Keberhasilan dari upaya aglomerasi kawasan dalam pengembangan wilayah


dapat dilihat pada beberapa kasus mancanegara, namun masih terlalu dini untuk

16
melihat keberhasilan model ini di dalam negeri. Meskipun secara praktis hal ini
sudah diimplementasikan dalam skala yang lebih kecil di sepanjang jalau Pantai
Utara Pulau Jawa, evaluasi dan monitoring terhadap keberhasilan model ini secara
khusu belum dilakukan. Tabel 5.1 memberikan rangkuman terhadap konsep dan
capaian dari regionalisasi pembangunan yang dikupas pada makalah ini.
Sulitnya menentukan prioritas lokasi pembangunan menjadi persoalan yang
muncul dari model pengembangan ini. Kawasan pengembangan sangat
bergantung kepada sektor dan platform perencanaan berbasis wilayah, namun
sektor memiliki prioritas sendiri dan memiliki keleluasaan dalam mengatur
pembiayaannya. Apabila terjadi konflik, pemrograman berbasis wilayah
cenderung dikalahkan, maka dari itu dibutuhkan keberadaan kepemimpinan yang
kuat serta instrumen pemrograman yang dapat memastikan berjalannya program
infrastruktur wilayah. Hal tersebut dapat dicapai melalui penerapan insentif
anggaran atau pengadaan otoritas untuk melakukan pematokan prioritas yang
diatur dengan regulasi.
DAFTAR PUSTAKA

Asian Development Bank (2010). Institutions for Regional Integration; toward an


Asian Economic Community. Manila.
Esfahani, H.S. (2005) Measuring Public Sector Performance in Infrastructure,
Public Services Delivery, ed. Anwar Shah, The World Bank, Washington,
DC.
Harzog (2011). Infrastructure Performance, Management for Virtualized Systems.
APM Experts.Alpharetta, Georgia.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (2015). Metodologi
Pengembangan Wilayah Pengembangan Strategis di Indonesia. Jakarta.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (2015). Rencana Strategis
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Tahun 2015-2019.
Jakarta
McNeil, Oswald, and Ames (2010). A Case Study of the BOSWASH
Transportation Corridor: Observations Based on Historical Analyses: A

17
working paper submitted to the University of Delaware- University
Transportation Center (UD-UTC). Newark, DE.
Ministry of Commerce and Industry Government of India (2007) Concept Paper,
Delhi Mumbai Industrial Corridor. New Delhi.
National Research Council (1995) Measuring and Improving Infrastructure
Performance. Washington, DC.
Rodrigue, (2004). Freight, Gateways and Mega-Urban Regions: The Logistical
Integration of The BOSTWASH Corridor, Journal of Economic and Social
Geography, Volume 95 (2) 147–161. New York.
The Scottish Government (2013). Strategic Development Areas, Planning
Circular 1/2013. Edinburgh.

18

Anda mungkin juga menyukai