MAKALAH I
i
PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR BERBASIS WILAYAH
UNTUK PERTUMBUHAN EKONOMI
IGW Samsi Gunarta (NPM : 2015832003)
Abstrak
ii
DAFTAR ISI
1 Pendahuluan ................................................................................................. 1
5 Rangkuman................................................................................................. 15
iii
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
iv
1 Pendahuluan
1
1.2 Perumusan Masalah
2
2 Kajian Pustaka Model Pembangunan Infrastruktur Berbasis
Wilayah
Pembangunan infrastruktur terintegrasi umum dikaitkan dengan pengembangan
wilayah, baik dalam konteks pertumbuhan ekonomi maupun dalam pemenuhan
standar kualitas hidup masyarakat. Dalam rangka pengembangan ekonomi
wilayah, pembangunan infrastruktur dipersiapkan untuk mendukung aktivitas
pokok dan mendukung wilayah sebagai mesin pertumbuhan. Pemenuhan standar
kualitas hidup sendiri merupakan baseline dari penyediaan infrastruktur wilayah
dalam berbagai kasus yang telah terjadi sebelumnya.
Terlepas dari tujuan pembangunan infrastruktur di suatu wilayah,
keterpaduan pembangunan merupakan prasyarat mutlak dalam penyediaan
pelayanan infrastruktur wilayah. Susantono (2012) menggarisbawahi pentingnya
pembangunan infrastruktur terintegrasi dan menjelaskan konsep 6 koridor
ekonomi yang dipersiapkan Pemerintah Republik Indonesia dalam kerangka
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Pertumbuhan
ekonomi pada daerah yang disiapkan sebagai mesin pertumbuhan diharapkan
dapat didukung terlebih dahulu oleh infrastruktur dasar yang memadai untuk
kepentingan kesejahteraan masyarakat.
Penyediaan pelayanan dasar terkadang tidak dapat dilakukan secara
mandiri oleh suatu wilayah pengembangan, suatu wilayah pelayanan dapat
memiliki ketergantungan yang besar pada wilayah lainnya, salah satunya akibat
ketersediaan infrastruktur yang hulu atau hilir. Misalnya, suatu daerah dapat saja
memiliki potensi penggunaan tenaga listrik yang besar akibat tumbuhnya industri
dan jumlah penduduk yang tinggi, namun potensi bendungan terbaik ada pada
wilayah lain. Hal tersebut dapat terjadi pula dengan pelabuhan, bandara, dan air
bersih. Pada situasi seperti ini kolaborasi antar wilayah dan upaya untuk
memastikan adanya kerjasama saling menguntungkan (mutual-benefit) akan
menjadi kata kunci keberhasilan capaian. Beberapa konsep regionalisasi yang bisa
menggambarkan penjelasan tersebut dapat ditemui pada teori klasik
perkembangan wilayah, seperti Teori Kutub Pertumbuhan (growth pole theory)
dan Teori Lokasi Pusat (central place theory).
3
2.1 Teori Kutub Pertumbuhan
4
Sumber: https://www.e-education.psu.edu/geog597i_02/node/680, diunduh Maret
2016
Gambar 2.2 Ilustrasi Interaksi Wilayah pada Teori Lokasi Pusat
5
3 Praktik Empirik Regionalisasi Pembangunan
Regionalisasi pembangunan merupakan upaya meningkatkan efektivitas
pelayanan infrastruktur serta memastikan terjadinya interaksi ekonomi dalam
skala yang lebih besar. Model pengembangan infrastruktur terintegrasi dalam
konsep wilayah pengembangan banyak diperkenalkan dalam 2 dekade terakhir.
Model tersebut tidak hanya dikembangkan untuk pengembangan antar wilayah
pada suatu negara seperti yang diterapkan pada Glasgow and the Clyde Valley
dan 3 wilayah lain di Skotlandia, Boston-Washington Corridors di Amerika
Serikat, Delhi Mumbai Industrial Corridor (DMIC) di India, dan 9 Kawasan
Strategis Nasional di Indonesia. Namun juga dikembangkan sebagai wilayah
pembangunan trans-nasional, seperti yang diterapkan pada European Union,
Southern African Development Community, serta Brunei, Indonesia, Malaysia,
dan Phillipina (BIMP).
Praktik regionalisasi di Indonesia dimulai secara sektoral dan menjadi bagian
dari konsepsi pengembangan untuk sektor-sektor tertentu saja. Regionalisasi
tersebut umumnya diprakarsai oleh Kementerian tertentu. Beberapa contohnya
adalah regionalisasi di Indonesia adalah kawasan transmigrasi yang diparakarsai
oleh Kementerian Transpmigrasi, Regionalisasi satuan wilayah pengembangan
industri oleh Kementerian Perindustrian, regionalisasi melalui penetapan kawasan
andalan dan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) oleh
Kementerian PU, regionalisasi melalui penetapan Kawasan Ekonomi Khusus
(KEK) oleh Kementerian Perekonomian, dan regionalisasi pariwisata melalui
penetapan Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional (KPPN) yang diprakarsai
oleh Kementerian Pariwisata. Kawasan-kawasan ini berkembang dengan tujuan
dan ciri-cirinya sendiri dan diharapkan dapat membantu mendorong pertumbuhan
regional secara sinergis.
6
1) East Dunbartonshire, East Renfrewshire, Glasgow City, Inverclyde, North
Lanarkshire, Renfrewshire, South Lanarkshire dan West Dunbartonshire
Councils;
2) Aberdeen City dan Aberdeenshire Councils;
3) Angus, Dundee City, Fife dan Perth & Kinross Councils; dan
4) City of Edinburgh, East Lothian, Fife, Midlothian, Scottish Borders dan West
Lothian Councils.
7
diikuti. Koridor yang juga dikenal sebagai The Northeast Megapolitan Corridor
menunjukkan pentingnya peran infrastruktur sebagai pemicu pertumbuhan
ekonomi dan pengembangan wilayah. Sistem infrastruktur pada koridor ini
tumbuh sebagai respon dan juga konsekuensi dari beban yang ditimbulkan dari
pertumbuhan lalu-lintas sejak abad ke 17. Backbone yang semula digunakan
adalah jalan kolonial. Ini kemudian diperkuat dengan sistem kereta api yang
berperan di era 1880-1935, dan jalan interstate berkeeapatan tinggi (dimulai tahun
1920) yang dikombinasikan dengan transportasi laut yang membentuk kota-kota
pelabuhan yang berkembang sebagai metropolitan yang saling terkoneksi satu
dengan yang lainnya.
McNeil, Oswald, dan Ames (2010) melakukan evaluasi terhadap
pertumbuhan Koridor BOSWASH melalui overlay peta pertumbuhan infrastruktur
dan populasi dari koridor tersebut. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa
pertumbuhan infrastruktur kereta api dan jalan inter-state memicu pertumbuhan
populasi secara pesat. Sejalannya kecepatan pertumbuhan tersebut terus terjadi
hingga sekitar tahun 1990 dimana kecepatan pertumbuhan kapasitas infrastruktur
transportasi mulai mengalami penurunan. Hasil evaluasi juga menunjukkan bahwa
demand transportasi (Vehicle-Miles Travel; VMT) yang diakomodasikan oleh
sistem inter-state tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan
kapasitas infrastrukturnya. Pertumbuhan lalu-lintas barang pada Koridor
BOSWASH juga meningkat cepat, dalam waktu 2 tahun barang yang diangkut
meningkat sebesar 3,5 miliar ton pada tahun 2000 dari 13,6 miliar ton barang
yang diangkut pada tahun 1998 (Rodrigue, 2004). Ini menunjukkan bahwa
pengelolaan dan intervensi backbone secara tepat akan secara sertamerta
mendorong pertumbuhan populasi yang juga menyebabkan pertumbuhan aktivitas
ekonomi secara signifikan.
8
Sumber: McNeil, Oswald, dan Ames, 2010
9
Sumber : Ministry of Commerce and Industry Government of India, 2007
Gambar 3.3 Deliniasi dan Wilayah Pengaruh Koridor Industri Delhi Mumbai
DMIC membentang pada wilayah yang sudah terbangun secara moderat dan
wilayah yang sedang dibangun, dengan berbagai potensi sumber daya alam,
keterampilan, dan ragam kualitas infrastruktur baik secara fisik maupun sosial
dari 6 negara bagian yang berpartisipasi pada koridor ini. Titik-titik pertumbuhan
(nodes) yang diperkirakan memiliki dampak besar ataupun yang menjadi market
driven di sepanjang koridor ini diidentifikasi dan diusulkan untuk dikembangkan
menjadi kawasan pengembangan investasi dan industri terintegrasi dengan tingkat
transparansi tinggi yang menerapkan kebijakan ramah investasi. Kawasan tersebut
diharapkan menjadi kota-kota industri yang self-sustained, smart, dan dilengkapi
dengan infrastruktur kelas dunia.
Konektivitas terintegrasi antara jalan dengan rel kereta api, baik dari dan
menuju hub logistik maupun pelabuhan-pelabuhan, dikembangkan secara
10
terencana. Kawasan tersebut juga akan dilayani dengan konektifitas transportasi
udara domestik maupun internasional, kelistrikan yang handal, infrastruktur sosial
berkualitas, dan penyediaan atmosfir yang kompetitif pada skala global untuk
memulai bisnis.
11
Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2015
12
Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2015
Gambar 3.5 Salah Satu Model Klasterisasi Kawasan dengan Pendekatan WPS
13
Sumber : Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2015
14
perencana tiap pemerintah daerah untuk dapat membagi aktivitas yang akan
dijadikan fokus wilayah pengembangan tersebut dengan baik.
Tantangan juga muncul apabila sumber daya tertentu hanya dimiliki oleh satu
daerah saja, terutama bila sumber daya tersebut mempengaruhi sumber pangan
dan sumber pendapatan, seperti ketersediaan potensi air untuk sumber tenaga
listrik. Daerah tersebut diharapkan dapat mendistribusikan potensi tersebut untuk
pemerataan dan pengembangan wilayah, namun akan sangat sulit meyakinkan
pemerintah daerah maupun masyarakatnya untuk dapat mengorbankan
kenyamanan dan keuntungan yang mereka dapatkan oleh keberadaan infrastruktur
kelistrikan tersebut.
Kerjasama antar daerah dalam pembangunan infrastruktur sangat rentan
gagal akibat kapasitas pembiayaan yang berbeda antar daerah tersebut. Hal
tersebut dapat terjadi akibat berubahnya prioritas pembiayaan yang mengganggu
komitmen pembiayaan infrastruktur. Kejadian seperti ini banyak terjadi pada
infrastruktur yang dibangun dengan pembiayaan bersama, baik antar
daerah/kawasan pengembangan maupun antar pemerintah.
Operasionalisasi model pembangunan dengan konsep regionalisasi biasanya
dihadapkan pada sulitnya melakukan komunikasi timbal balik untuk memastikan
adanya kerjasama yang saling menguntungkan. Dalam beberapa kasus, otoritas
pembangunan dibentuk dengan instrumen yang relatif kuat, misalnya pengelolaan
anggaran wilayah secara mandiri, atau memiliki sistem insentif yang dapat
mendorong pembangunan (ADB, 2010). Koordinasi akan sulit dilakukan dan
menjadi tidak efektif apabila model kelembagaan pengintegrasian infrastruktur
tidak memiliki pengaruh terhadap skema pembiayaan, atau tidak memiliki sistem
insentif yang mendukung.
5 Rangkuman
Pengembangan infrastruktur kawasan kerap kali dihubungkan dengan upaya untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dalam mendorong pertumbuhan, model
pembangunan sektoral yang lebih mengutamakan output mulai ditinggalkan dan
digantikan dengan pendekatan perencanaan terintegrasi dan berbasis terhadap
outcomes yang dikenal dengan regionalisasi pengembangan. Regionalisasi telah
banyak diterapkan, beberapa yang dianggap berhasil adalah pengembangan
15
Boston-Washington (BOSWASH) Corridors, Delhi-Mumbai Industrial Corridors,
Incheon International Development Area, dan Iskandar Industrial Park.
Konsep dari model pengembangan wilayah berbasis kawasan ini juga
diadopsi dan dikembangkan di Indonesia, seperti Indonesian Economic Corridors
dan Pendekatan Pembangunan Infrastruktur pada Wilayah Pengembangan
Strategis (WPS). Pendekatan pembangunan ini diharapkan dapat memberikan
dampak pembangunan yang lebih signifikan melalui keterpaduan pemrograman
dan pelaksanaan sehingga memungkinkan pemanfaatan wilayah secara lebih
terencana, cepat, dan dapat mendorong penguatan investasi swasta pada wilayah
yang sudah dipersiapkan.
16
melihat keberhasilan model ini di dalam negeri. Meskipun secara praktis hal ini
sudah diimplementasikan dalam skala yang lebih kecil di sepanjang jalau Pantai
Utara Pulau Jawa, evaluasi dan monitoring terhadap keberhasilan model ini secara
khusu belum dilakukan. Tabel 5.1 memberikan rangkuman terhadap konsep dan
capaian dari regionalisasi pembangunan yang dikupas pada makalah ini.
Sulitnya menentukan prioritas lokasi pembangunan menjadi persoalan yang
muncul dari model pengembangan ini. Kawasan pengembangan sangat
bergantung kepada sektor dan platform perencanaan berbasis wilayah, namun
sektor memiliki prioritas sendiri dan memiliki keleluasaan dalam mengatur
pembiayaannya. Apabila terjadi konflik, pemrograman berbasis wilayah
cenderung dikalahkan, maka dari itu dibutuhkan keberadaan kepemimpinan yang
kuat serta instrumen pemrograman yang dapat memastikan berjalannya program
infrastruktur wilayah. Hal tersebut dapat dicapai melalui penerapan insentif
anggaran atau pengadaan otoritas untuk melakukan pematokan prioritas yang
diatur dengan regulasi.
DAFTAR PUSTAKA
17
working paper submitted to the University of Delaware- University
Transportation Center (UD-UTC). Newark, DE.
Ministry of Commerce and Industry Government of India (2007) Concept Paper,
Delhi Mumbai Industrial Corridor. New Delhi.
National Research Council (1995) Measuring and Improving Infrastructure
Performance. Washington, DC.
Rodrigue, (2004). Freight, Gateways and Mega-Urban Regions: The Logistical
Integration of The BOSTWASH Corridor, Journal of Economic and Social
Geography, Volume 95 (2) 147–161. New York.
The Scottish Government (2013). Strategic Development Areas, Planning
Circular 1/2013. Edinburgh.
18