Anda di halaman 1dari 26

REFLEKSI KASUS Juni 2019

HIPERPLASIA ENDOMETRIUM

Disusun Oleh:
APRILIA SILAMBI
N 111 18 011

Pembimbing Klinik:
dr. DJEMI, Sp.OG, MARS

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Aprilia Silambi

No. Stambuk : N 111 18 011

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Kedokteran

Judul Refka : Hiperplasia Endometrium

Bagian : Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan

Bagian Ilmu Kandungan dan Penyakit Kandungan

RSUD Undata Palu

Fakultas Kedokteran

Universitas Tadulako

Palu, Mei 2019

Pembimbing Klinik Ko – Assisten

dr. Djemi, Sp.OG., MARS Aprilia Silambi


N 111 18 011

1
BAB I

PENDAHULUAN

Perdarahan uterus abnormal adalah perdarahan uterus yang jumlah, lama


atau frekuensinya lebih dari normal. Perdarahan uterus abnormal dapat
disebabkan oleh karena kelainan organik alat reproduksi maupun disfungsi atau
gangguan fungsi kerja hypothalamus – hipofisis - ovarium - endometrium.
Kejadian perdarahan dapat meningkatkan morbiditas wanita dalam bentuk
anemia dengan keluhan yang mengganggu aktivitas hidup sehari-hari. Etiologi
dari metrorrhagi antara lain adalah adanya kelainan fungsional yang terkait
dengan fungsi interaksi hormonal, sedangkan lainnya adalah kelainan fungsional
yang dikenal sebagai perdarahan uterus disfungsi. Sebagian besar perdarahan
uterus bersifat anovulasi yang pada dasarnya diakibatkan oleh stimuasi hormon
estrogen tanpa hambatan dari progesteron. Stimuasi hormon estrogen tanpa
hambatan ini menimbulkan proliferasi dan hiperpasia endometrium. Hiperpasia
endometrium adalah pertumbuhan yang berlebihan dari kelenjar dan stroma yang
disertai dengan pembentukan vaskuarisasi dan infiltrasi limfoist pada
endometrium. Pertumbuhan ini dapat mengenai sebagian atau seluruh lapisan
endometrium.1,2

Angka kejadian hiperplasia endometrium sangat bervariasi. Umumnya


hiperplasia endometrium dikaitkan dengan perdarahan uterus disfungsi yang
seringkali terjadi pada masa perimenopause, walaupun dapat terjadi pada masa
reproduktif, pascamenars ataupun pascamenopause. Pada wanita perimenopause
terjadi siklus yang anovulatoar sehingga estrogen yang terbentuk tidak diimbangi
oleh kadar progesteron dan menyebabkan rangsangan untuk terjadinya hiperplasia
endometrium.2

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Endometrium3
Endometrium adalah lapisan epitel yang melapisi rongga rahim.
Permukaannya terdiri atas lapisan selapis sel kolumnar yang bersilia dengan
kelenjar sekresi mukosa rahim yang berbentuk invaginasi ke dalam stroma
selular. Kelenjar dan stroma mengalami perubahan yang siklik, bergantian
antara pengelupasan dan pertumbuhan baru setiap sekitar 28 hari.
Terdapat dua lapisan pada endometrium yaitu lapisan fungsional yang
letaknya superfisial yang akan mengelupas setiap bulan dan lapisan basal
tempat lapisan fungsional berada yang tidak ikut mengelupas. Epitel lapisan
fungsional menunjukkan perubahan proliferasi yang aktif setelah periode haid
sampai terjadi ovulasi, kemudian kelenjar endometrium mengalami fase
sekresi.

2. Definisi1
Hiperplasia endometrium adalah proliferasi nonfisiologis, noninvasif
endometrium dengan gambaran kelenjar yang tidak beraturan dengan ukuran
yang berbeda-beda. Kelainan ini adalah akibat stimulasi estrogen yang terus-
menerus yang ditandai secara klinis dengan perdarahan uterus abnormal.

3
3. Patofisiologi1
Pertumbuhan endometrium normal dirangsang oleh estrogen yang
masuk ke dalam sitoplasma dengan cara difusi melalui membran sel.
Reseptor estrogen akan mengikat hormon estrogen menjadi ikatan kompleks
yang berfungsi sebagai protein akseptor pada lokus spesifik dari DNA.
Reseptor estrogen mempunyai model dengan struktur domain pada ligand
binding unit dimana bagian yang mengikat estrogen dan bagian yang
berinteraksi dengan DNA serta bagian molekul lainnya yang berfungsi
sebagai regulator. Bagian regulator (pengaturan terhadap respon estrogen)
merupakan bagian yang sensitif terhadap estrogen yang berinteraksi dengan
reseptor protein secara spesifik. Protein homolog yang dapat berikatan
dengan ligand estradiol adalah asam retinoat dan hormon tiroid. Elemen yang
berespon terhadap estrogen dapat mengenali kompleks ikatan estradiol baik
yang berikatan dengan agonis maupun antagonisnya. Interaksi dengan DNA
berperan penting pada tingkat reseptor. Proses selanjutnya adalah terjadinya
inisiasi sintesis protein untuk proliferasi dan mitosis sel. Reseptor estrogen
dan progesteron adalah dua protein yang di sintesis untuk berespon terhadap
estradiol. Progesteron yang membentuk ikatan kompleks dengan reseptor
progestreon masuk ke dalam inti dan berikatan dengan DNA akan berakibat
menghambat produksi reseptor estrogen dan reseptor progesteron sehingga
menghambat terjadinya mutasi dengan meningkatkan diferensiasi sel.
Adanya rangsang estrogen yang lama dan berebihan tanpa ada yang
menghambat akan merangsang pertumbuhan endometrium menjadi
hiperplastik dan dapat berkembang menjadi karsinoma. Kelainan
endometrium yang dapat berlanjut menjadi adenokarsinoma adaah hiperplasia
adenomatosa atipik yang sering di sebut lesi prekursor terjadinya
adenokarsinoma.

4. Klasifikasi Hiperplasia Endometrium4


Pada tahun 2014 WHO menerbitkan klasifikasi terbaru dengan
membedakan 2 kategori hiperplasia endometrium :

4
a. Hiperplasia endometrium tanpa atipikal (benign hyperplasia)
b. Hiperplasia endometrium atipikal atau Endometrial Intraepitheia
Neoplasia (EIN)

5. Faktor Risiko5
Hiperplasia endometrium adalah prekursor kanker, semua faktor risiko
dari karsinoma endometrium dapat dikaitkan dengan hiperplasia
endometrium. Wanita pascamenopause, nulipara dan infertilitas memiliki
risiko lebih besar mengalami hiperplasia endometrium. Diabetes, hipertensi
dan obesitas juga terkait dengan peningkatan risiko hiperplasia endometrium.
Selain kadar estrogen yang tinggi, obesitas menyebabkan peradangan kronis
yang dapat menyebabkan hiperplasia dan berkembang menjadi kanker . Jika
dibandingkan dengan wanita yang tidak gemuk, wanita gemuk dengan BMI>
30 kg/m2 menunjukkan peningkatan hampir 4 kali lipat dalam kejadian
hiperplasia endometrium atipikal. Selain itu, wanita dengan BMI 40 kg/m2
menunjukkan peningkatan risiko 13 kali lipat dari hiperplasia endometrium
dengan atipikal dan 23 kali lipat peningkatan risiko untuk terjadi hiperplasia
endometrium tanpa atipikal.
Tabel 1. Faktor risiko hiperplasia endometrium
Faktor Risiko Faktor yang berhubungan
dengan hiperplasia
endometrium

Menstruasi dan status paritas Pascamenopause, nulipara, late


menopause atau early menarche,
anovulasi kronik

Penyakit yang sudah ada Obesitas atau overweight, diabetes


sebelumnya mellitus, infertiitas, hipertensi,
polycystic ovarian syndrome,
tumor sekresi androgen, karsinoma
kolon non poliposis herediter

5
(Lynch syndrome)

Terapi hormone Paparan estrogen eksogen dalam


jangka waktu yang lama,
tamoxifen, estrogen replacement
therapy

6. Resiko Perkembangan Hiperplasia Endometrium5


Hiperplasia endometrium merupakan kontinum proses histologis yang
berbeda, mulai dari hiperplasia endometrium sederhana tanpa atipia dan
kemudian berkembang menjadi hiperplasia endometrium kompleks dengan
atipia, diikuti oleh karsinoma endometrium yang terdiferensiasi baik.
Gambaran sitologi atipia adalah faktor yang menentukan risiko
perkembangan ke karsinoma. Hiperplasia sederhana menunjukkan risiko
terendah untuk berkembang menjadi kanker. Di antara pasien dengan
hiperplasia atipikal, status pascamenopause dikaitkan dengan risiko tertinggi
untuk mengalami adenokarsinoma. Hiperplasia sederhana dikaitkan dengan
tingkat pertumbuhan 3% dan 8% ke hiperplasia kompleks dan hiperplasia
atipikal sederhana. Hiperplasia kompleks memiliki risiko perkembangan
intermediet, yang telah terbukti mengalami regresi di sebagian besar kasus,
sedangkan hiperplasia endometrium dengan gambaran sitologi atipia
dicirikan sebagai lesi prakanker dan dapat berisiko lebih tinggi berkembang
menjadi karsinoma. Penelitian lain melaporkan perkembangan ke arah
karsinoma endometrium yaitu 1% pasien dengan hiperplasia sederhana, 3%
pasien dengan hiperplasia kompleks, 8% pasien dengan hiperplasia atipikal
sederhana dan 29% pasien dengan hiperplasia atipikal kompleks. Dilaporkan
2% dari kasus hiperplasia kompleks dapat berkembang menjadi karsinoma
endometrium dan 10,5% menjadi hiperplasia atipikal, dimana 52% hiperpasia
atipikal dapat berkembang menjadi karsinoma endometrium.

6
7. Manifestasi Klinis6
Gejala klinis yang paling umum dari pasien dengan hiperplasia
endometrium adalah perdarahan uterus abnormal, baik dalam bentuk
menorrhagia, metrorrhagia, atau perdarahan pascamenopause. Hal ini dapat
dikaitkan dengan perdarahan uterus, membutuhkan intervensi medis atau
bedah, kehilangan kesuburan, dan terapi transfusi darah. Gejala lain yang
muncul dengan keputihan abnormal atau Pap smear hasil menunjukkan
kelainan kelenjar. Hasil Pap smear yang tidak normal mungkin berupa sel
kelenjar atipikal atau adanya sel endometrium atipikal.

Ketika pendarahan abnormal muncul, lakukan pemeriksaan fisik


lengkap dengan hati-hati terhadap saluran genital bawah untuk lesi vulva,
vagina, leher rahim, dan palpasi uterus dan ovarium. Sumber keputihan atau
perdarahan, ukuran rahim dan rongga endometrium, dan setiap massa panggul
harus diperhatikan. Jika pasien mengalami obesitas dan pemeriksaan panggul
tidak memadai, ultrasonografi panggul mungkin berguna untuk menilai massa
ovarium. Diperlukan prosedur diagnostik untuk menyingkirkan hiperplasia
atau kanker jika pasien bergejala atau memiliki sitologi abnormal.

8. Diagnosa7
Histereskopi merupakan gold standard untuk menginvestigasi
perdarahan uterus abnormal. Cara lain bisa dengan melakukan biopsi
endometrium, kuretase, ultrasonografi transvaginal dan sonohisterografi.
Biopsi endometrium dapat mendeteksi hiperpasia endometrium atipikal
dengan sensitivitas 81 %. Histereskopi sendiri dapat memberikan hasil positif
palsu untuk mendeteksi hiperplasia endometrium, sehingga pemeriksaan
kombinasi dari histereskopi dengan kuretase atau biopsi endometrium lebih
dianjurkan dalam menegakkan diagnosis.

7
9. Penatalaksanaan8
Hiperplasia Endometrium biasanya dideteksi setelah ditemukan adanya
perdarahan uterus abnormal. Pada wanita pramenopaus dan pascamenopaus,
dimana terapi yang diberikan mempertimbangkan keinginan kesuburan,
komorbiditas medis dan risiko menjadi kanker.
a. Manajemen Endometrial hiperplasia tanpa atipia :
1) Penanganan konservatif
Hiperplasia endometrium tanpa atipia dapat berkembang
menjadi kanker endometrium dalam kurang dari 5% kasus selama 20
tahun. Sebagian besar akan mengalami regresi secara spontan selama
masa tindak lanjut. Wanita harus diinformasikan bahwa pengobatan
dengan progestogen memiliki tingkat regresi penyakit yang lebih
tinggi dibandingkan dengan biopsi endometrium selama 6 bulan.
Terapi progesteron diindikasikan pada wanita yang gagal dengan
tindakan observatif selama 12 bulan.
Progestogen intrauterin oral dan intrauterin lokal
Levonorgestrel-releasing intrauterine system (LNG-IUS) efektif
dalam mencapai regresi. LNG-IUS menjadi pengobatan medis lini
pertama, karena dibandingkan dengan progestogen oral, ia memiliki
tingkat regresi penyakit yang lebih tinggi dan profil perdarahan yang
lebih baik dan efek samping yang lebih sedikit.
Progestogen kontinu (medroksiprogesteron 10-20 mg / hari
atau norethisterone 10-15 mg / hari) harus digunakan untuk wanita
yang menolak LNG-IUS. Progestogen siklik tidak boleh digunakan
karena kurang efektif. Perawatan dengan progestogen oral atau
LNG-IUS harus minimal 6 bulan untuk menginduksi regresi
histologis.
Jika efek samping dapat ditoleransi dan tidak menginginkan
kesuburan, wanita harus didorong untuk tetap menggunakan LNG-
IUS hingga 5 tahun karena ini mengurangi risiko kekambuhan.
Setelah dimulainya pengobatan, biopsi endometrium rawat jalan

8
direkomendasikan pada 6 bulan. Setelah perbaikan telah dicapai
setidaknya hasi dua biopsi negatif berturut-turut, diambil dalam
waktu 6 bulan. Karena tingginya tingkat kekambuhan pada wanita
dengan BMI> 30, tindak lanjut jangka panjang harus
dipertimbangkan dengan biopsi setiap 6 bulan selama 2 tahun.
2) Penanganan operatif
Tindakan kuratase selain untuk menegakkan diagnosa
sekaligus sebagai terapi untuk menghentikan perdarahan. Khusus
bagi penderita hiperplasia kategori atipik, jika memang terdeteksi
ada kanker, maka jalan satu-satunya adalah menjalani operasi
pengangkatan rahim. Histerektomi adalah terapi yang terbaik untuk
penderita hiperplasia endometrium kategori atipik. Histerektomi
tidak dianggap sebagai pengobatan lini pertama untuk hiperplasia
tanpa atipia.
Indikasi untuk histerektomi :
a) Kemajuan ke hiperplasia atipikal
b) Tidak ada regresi histologis setelah 12 bulan pengobatan
c) Relapse
d) Perdarahan terus menereus
Histerektomi laparoskopi atau histerektomi vaginal kapan saja
dapat dipertimbangkan. Wanita pasca menopause yang
membutuhkan histerektomi harus dipertimbangkan untuk salpingo-
ooperektomi bilateral. Karena potensi risiko hiperplasia residual,
histerektomi subtotal dan ablasi endometrium dikontraindikasikan.

b. Manajemen hiperplasia endometrium atipikal


Hiperplasia endometrium tipikal (AEH) berisiko lebih besar untuk
berkembang menjadi kanker endometrium (hingga 50%). Risiko terjadinya
kanker endometrium mencapai 40% pada pasien yang didiagnosis dengan
AEH.

9
1) Manajemen bedah hiperplasia atipikal
Wanita dengan hiperplasia atipikal harus menjalani histerektomi
total karena risiko berkembang menjadi kanker yang mendasari.
Pendekatan laparoskopi lebih disukai. Karena risiko yang signifikan
dari kanker endometrium bersamaan, wanita pascamenopause juga
harus menjalani salpingo-ooperektomi bilateral.
2) Manajemen non-bedah hiperplasia atipikal
Sebelum mempertimbangkan manajemen medis, jika
memungkinkan, pasien harus menjalani histeroskopi untuk
mengurangi risiko karsinoma okultisme.
Manajemen medis dapat dipertimbangkan dalam situasi berikut:
a) presentasi kesuburan
b) Secara medis tidak sehat untuk operasi
c) Obesitas ekstrim
d) Pasien tidak mau menjalani operasi
Perawatan lini pertama dengan LNG-IUS direkomendasikan,
dengan progestogen oral sebagai alternatif terbaik kedua. Jika pasien
tidak menginginkan kesuburan, histerektomi harus dipertimbangkan
mengingat risiko tinggi kambuh penyakit.
Perawatan lanjut :
a) 6 bulanan hingga dua biopsi negatif berturut-turut
b) Saat terbukti selama durasi tindak lanjut, regresi telah terjadi
c) Risiko rekurensi tertinggi dalam 2 tahun pertama, ditindaklanjuti
dengan dua tahun biopsi dianjurkan.
d) Setelah perawatan selesai, dokter harus mengingatkan
kemungkinan munculnya gejala kekambuhan potensial
e) Histerektomi dipertimbangkan kembali pada 12 bulan jika regresi
belum terjadi dan juga pada pasien yang mengalami penyakit
berulang.

10
BAB III

LAPORAN KASUS

Tanggal Pemeriksaan : 07 April 2019


Jam : 10.20 WITA
Ruangan : RSU Anutapura

I. IDENTITAS
Nama : Ny. H
Umur : 27 tahun
Alamat : Jl. Dewi Sartika
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Pendidikan : SMP

II ANAMNESIS

A. Keluhan Utama :
Keluar darah dari jalan lahir

B. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien masuk dengan keluhan keluar darah dari jalan lahir yang
dirasakan sejak ± 1 bulan sebelum masuk Rumah Sakit , darah yang
kerluar berwarna merah kehitaman seperti darah haid dan biasanya
disertai dengan adanya darah yang menggumpal. Perdarahan yang terjadi
sebanyak 2-3 pembalut perhari dan menetap selama ± 1 bulan terakhir.
Keluhan disertai dengan nyeri perut bagian bawah, lemas dan pusing.
Pasien mengaku siklus haid tidak teratur. Pasien menyangkal ada
riwayat trauma.

11
C. Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien mengaku tidak pernah memiliki keluhan yang serupa sebelumnya.
Riwayat asma, diabetes melitus, penyakit jantung, hipertensi, hepatitis
disangkal.

D. Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan serupa, riwayat
asma , diabetes melitus, penyakit jantung, hipertensi, hepatitis disangkal.

E. Riwayat Menstruasi :
Menarche : 14 tahun

Siklus : tidak teratur

Lama haid : 4-8 hari

Banyak : 2-3 kali ganti pembalut

F. Riwayat Perkawinan
Menikah 1 kali, usia pernikahan ± 6 tahun

G. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran:


Hamil Tahun J Umur Jenis Hidup
No Penolong
ke Persalinan K Kehamilan Persalinan / Mati
1 1 2015 P Aterm Normal Bidan Hidup
3,1 kg

H. Riwayat Kontrasepsi (Keluarga Berencana)


Tidak ada

I. Riwayat Operasi :
Tidak ada

12
III. PEMERIKSAAN FISIK

KU : Sedang
Kesadaran : Kompos mentis
BB : 82 Kg
TB : 160 cm
IMT : 32, 03 (Obesitas)
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 82 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36,6 ºC

Kepala – Leher :

Konjungtiva anemis, sclera tidak ikterus, tidak terjadi pembesaran KGB dan
kelenjar tiroid .

Thorax :

I : Pergerakan thoraks simetris


P : vocal premitus simetris
P : Sonor pada kedua lapang paru, pekak pada area jantung, batas jantung
dalam batas normal
A : Bunyi pernapasan vesicular, Bunyi jantung I/II murni Regular

Abdomen

I : Tampak cembung kesan lemas


A : Peristaltik usus (kesan normal)
P : Timpani pada empat kuadran abdomen
P : Nyeri tekan abdomen negatif , massa teraba negative

13
Ekstremitas :

Akral hangat kedua ekstremitas, edema negatif

Pemeriksaan Ginekologi :

Pemeriksaan Luar

Inspeksi : Perut tampak cembung, tidak tampak sikatrik, tidak


tampak tanda radang, tidak tampak striae gravidarum,
perdarahan flek-flek positif

Palpasi : TFU tidak teraba

Inspekulo : vulva uretra dan vagina tidak ada kelainan, permukaan

portio licin, ostium uteri externa tertutup

Pemeriksaan Dalam

Flour albus : tidak ada

Vulva : tidak ada kelainan, dinding vagina licin

Portio : teraba lunak, ostium uteri externa tertutup, nyeri tekan

negatif

Corpus uteri : tidak teraba massa

Cavum douglas : tidak menonjol

Adneksa parametrium :

Kanan : tidak teraba massa

Kiri : tidak teraba massa

14
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah lengkap :

WBC : 9 x 103/mm3
HGB : 8,6 gr/dL
HCT : 27,3 %
PLT : 456 x 103/mm3
RBC : 3,6 x 106/mm3
HbSAg : non reaktif
Anti HIV : non reaktif
Urine
Hcg Test : negatif
Pemeriksaan Ultrasonografi

15
Hasil USG :
a. Uterus normal retrofleksi, endometrial line intak dan menebal ukuran 2,9
cm, echo homogen
b. Kedua adnexa echo normal
c. Tidak tampak echo cairan bebas di cavum douglas
Kesan : Hiperplasia endometrium

VI. RESUME
Pasien masuk dengan keluhan keluar darah dari jalan lahir yang
dirasakan sejak ± 1 bulan sebelum masuk Rumah Sakit , darah yang kerluar
berwarna merah kehitaman seperti darah haid dan biasanya disertai dengan
adanya darah yang menggumpal. Perdarahan yang terjadi sebanyak 2-3
pembalut perhari dan menetap selama ± 1 bulan terakhir. Keluhan disertai
dengan nyeri perut bagian bawah, lemas dan pusing. Pasien mengaku siklus
haid tidak teratur. Pasien menyangkal ada riwayat trauma. Riwayat
menstruasi pasien menarche usia 14 tahun, siklus haid tidak teratur dengan
lama haid 4-8 hari.

16
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang,
kesadaran compos mentis, dari tanda-tanda vital didapatkan tekanan darah
110/70 mmHg, Nadi 100 x/menit, respirasi 20 x/menit dan suhu tubuh
36,6oC. Pemeriksaan ginekologi didapatkan masih dalam batas normal dan
tidak ditemukan kelainan.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan WBC : 9 x 103/mm3, HB:


8,6 gr/dL, HCT : 27,3 %, PLT : 456 x 103/mm3, RBC : 3,6 x 106/mm3,
HbSAg : non reaktif, Anti HIV : non reaktif, pemeriksaan urine Hcg Test :
negatif dan pemeriksaan ultrasonografi kesan hiperplasia endometrium.

VII. DIAGNOSIS
Hiperplasia Endometrium

VIII. PENATALAKSANAAN
Pasang IVFD RL 28 TPM
Inj. Asam Tranexamat 500 mg/5ml / 8 jam/ IV
Inj. Ranitidin 1amp /8 jam/IV
Inj. Ketorolac 1amp /8 jam /IV
Tablet Norelut (Norethisteron) 5 mg 2x1
Transfusi PRC 1 kantong
Rencana kuretase

Follow Up Hari 1 (08 April 2019)

S : Perdarahan Per Vaginam, nyeri perut bagian bawah, lemas, pusing, BAB
dan BAK lancar
O : Keadaan Umum : sakit sedang
Konjungtiva : anemis
TD : 100/70 mmHg
N : 82 x/menit
R : 20 x/menit

17
S : 36,6 ºC
A : Hiperplasia endometrium
P :
Pasang IVFD RL 28 TPM
Inj. Asam Tranexamat 500 mg/5ml / 8 jam/ IV
Inj. Ranitidin 1amp /8 jam/IV
Inj. Ketorolac 1amp /8 jam /IV
Tablet Norelut (Norethisteron) 5 mg 2x1
Transfusi PRC 1 kantong
Rencana USG Gynekologi

Follow Up Hari 2 (09 April 2019)


S : Perdarahan Per Vaginam, nyeri perut bagian bawah, pusing, BAB dan
BAK lancar
O : Keadaan Umum : sedang
Konjungtiva : tidak anemis
TD : 110/70 mmHg
N : 86 x/menit
R : 20 x/menit
S : 36,7 ºC
A : Hiperplasia endometrium
P :
Pasang IVFD RL 20 TPM
Inj. Asam Tranexamat 500 mg/5ml / 8 jam/ IV
Tablet Norelut (Norethisteron) 5 mg 2x1
Rencana kuretase

Follow Up Hari 3 (10 April 2019)


S : Perdarahan Per Vaginam minimal, nyeri perut, pusing, BAB dan BAK
lancar
O : Keadaan Umum :sedang

18
Konjungtiva : tidak anemis
TD : 110/80 mmHg
N : 86 x/menit
R : 18 x/menit
S : 36,6ºC
A : Hiperplasia endometrium
P :
Kuretase
IVFD RL 28 TPM
Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam/ IV
Inj. Ranitidin 1amp/ 8 jam/IV
Inj. Ketorolac 1amp/ 8 jam /IV

Dilakukan kuretase pada tanggal 10/04/2019 pukul 13.30 WITA.


Operator : Dr. Abdul Faris, Sp.OG (K)

Laporan Operasi :
1. Pasien diposisikan secara litotomi dibawah pengaruh anestesi
2. Desinfeksi daerah kerja menggunakan kasa steril dan betadine
3. Memasang duk steril untuk batasi area kerja
4. Memasang speculum anterior dan posterior pada mulut Rahim
5. Menjepit serviks dengan tenaculum pada arah jam 11
6. Melepaskan speculum anterior
7. Mengukur panjang uterus dengan sonde
8. Melakukan kuretase dan didapatkan jaringan endometrium ±10 ml untuk
selanjutnya dilakukan pemeriksaan PA.
9. Melepas tenaculum dan speculum posterior
10. Membersihkan area kerja dengan kasa steril dan betadine
11. Memasang tampon vagina 1 buah
12. Membersihkan area luar vagina
13. Operasi selesai

19
Follow Up Hari 4 (11 April 2019)

S : Nyeri perut berkurang, tidak ada Perdarahan Per Vaginam , BAB dan
BAK lancar
O : Keadaan Umum :sedang
Konjungtiva : tidak anemis
TD : 110/80 mmHg
N : 84 x/menit
R : 18 x/menit
S : 36,6 ºC
A : Post kuretase H1 a/i Hyperplasia Endometrium
P :
AFF infus, pasien di bolehkan pulang
Terapi oral :
Asam Mefenamat 500 mg 3x1
Metylergometrine 0,125 mg 3x1

20
Cefadroxil 500 mg 2x1
Control poli KIA

Hasil Pemeriksaan Patologi Anatomi


Pengirim : dr. Abd Faris Sp.OG (K)
Diagnose klinik : Hiperplasia Endometrium
Pemeriksaan PA : Blok Parafin
Makroskopik : diterima jaringan tidak beraturan, penampang putih
kecoklatan.
Mikroskopik : sediaan jaringan menunjukan kelenjar – kelenjar
endometrium ada yang berkelok – kelok dan ada yang
back to back, kelenjar dilapisi 3 – 5 epitel dengan inti
atipik, pleomorfik, kromatin kasar dan beberapa nucleoli
prominent diantara stroma yang padat.
Kesimpulan : Hiperplasia endometrium atipik

21
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis hiperplasia endometrium dapat di tegakkan dengan anamnesis


pemeriksaan fisik, hingga pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, pemeriksa
dapat meninjau hal-hal yang menjadi faktor resiko terjadinya hiperplasia
endometrium yang diperoleh pada riwayat penyakit sekarang atau riwayat
penyakit terdahulu. Dari anamnesis didapatkan pasien masuk dengan keluhan
keluar darah dari jalan lahir yang dirasakan sejak ± 1 bulan sebelum masuk
Rumah Sakit , darah yang kerluar berwarna merah kehitaman seperti darah haid
dan biasanya disertai dengan adanya darah yang menggumpal. Perdarahan yang
terjadi sebanyak 2-3 pembalut perhari dan menetap selama ± 1 bulan terakhir.
Keluhan disertai dengan nyeri perut bagian bawah, lemas dan pusing. Pasien
mengaku siklus haid tidak teratur. Pasien menyangkal ada riwayat trauma.
Riwayat menstruasi pasien menarche usia 14 tahun, siklus haid tidak teratur
dengan lama haid 4-8 hari.

Perdarahan uterus abnormal merupakan gejala yang paling sering muncul


pada hiperplasia endometrium. Pasien yang lebih muda pada usia produktif
biasanya muncul hiperplasia endometrium sekunder akibat PolycysticOvarian
Syndrome (POCS). Hiperplasia endometrium seringkali terjadi pada sejumlah
wanita yang memiliki resiko tinggi Sekitar usia menopause, didahului dengan
terlambat haid atau amenorea, Obesitas (konversi perifer androgen menjadi
estrogen dalam jaringan lemak), penderita diabetes mellitus. Sehingga dari kasus
ini kemungkinan faktor resiko yang lebih mendekati yaitu obesitas. Pada
pemeriksaan fisik secara generalisata dan ginekologi pada pasien didapatkan
masih dalam batas normal. Dari anamnesis gejala ini sesuai dengan tinjauan
pustaka yang mengarah pada suatu hiperplasia endometrium diperkuat dengan
hasil USG pada pasien ini ditemukan endometrial line intak dan menebal ukuran
2,9 cm. Dan pada pasien ini telah dilakukan kuretase.5

22
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
Hiperplasia endometrium dengan cara USG, kuretase, melakukan pemeriksaan
Hysteroscopy dan dilakukan juga pengambilan sampel untuk pemeriksaan PA.
Pada pasien ini dilakukan pengambilan sampel untuk pemeriksaan PA untuk
memastikan suatu keganasan. Pada hasil pemeriksaan PA didapatkan hasil
gambaran mikroskopik sedian jaringan menunjukan kelenjar endometrium ada
yang berkelok – kelok da nada yang back to back, kelenjar dilapisi 3 – 5 lapis
epitel dengan inti atipik , pleomorfik, kromatin kasar dan beberapa nucleoli
prominent diantara stroma yang padat. Kesimpulan dari hasil PA yaitu
hiperplasia endometrium atipik. Hiperplasia kompleks memiliki risiko
perkembangan intermediet, yang telah terbukti mengalami regresi di sebagian
besar kasus, sedangkan hiperplasia endometrium dengan sitologi-atypia dicirikan
sebagai lesi prakanker langsung dan dapat membawa risiko lebih tinggi terhadap
perkembangan karsinoma.3,6

Penanganan secara medikamentosa pada pasien ini berupa pemberian injeksi


Asam Tranexamat 500 mg per 8 jam secara intravena yang merupakan obat anti
fibrinolitik dimana obat ini berfungsi untuk mencegah dan mengurangi
perdarahan. Pasien juga mendapat injeksi antibiotika ceftriaxone 1 gr per 12 jam
secara intravena. Ceftriaxone merupakan antibiotika golongan sefalosporin yang
efektif terhadap mikroorganisme gram positif dan gram negatif. Pemberian
antibiotika pada pasien ini bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi secara
ascending menuju uterus karena adanya erosi pada jaringan uterus. Pasien juga
mendapatkan injeksi ketorolac 30 mg per 8 jam secara intravena. Ketorolac
adalah obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID). Indikasi penggunaan ketorolac
adalah untuk inflamasi akut dalam jangka waktu penggunaan maksimal selama 5
hari. Ketorolac selain digunakan sebagai anti inflamasi juga memiliki efek
anelgesik dimana pada pasien dibutuhkan untuk meredakan nyeri perut bawah.
Namun penggunaan ketorolac dapat menimbulkan efek samping berupa ulcer,
perdarahan pada gaster karena meningktakan produksi asam lambung. Oleh
karena itu, pasien diberikan injeksi rantidine 50 mg per 8 jam secara intravena

23
yang memiliki efek menurunkan produksi asam lambung. Pasien juga diberikan
obat oral berupa norelut 5 mg 2 x 1, dimana norelut merupakan obat dengan
kandungan Norethisterone yang merupakan jenis progesteron sintesis yang
berfungsi untuk mengatasi perdarahan abnormal akibat ketidakseimbangan
hormon dan juga dapat digunakan untuk mengatur siklus haid.

Prognosis pada hiperplasia atipikal umumnya akan mengalami regresi


dengan terapi progestin, akan tetapi memiliki tingkat kekambuhan yang lebih
tinggi ketika terapi dihentikan dibandingkan dengan lesi pada hiperplasia tanpa
atipia. Pada kasus ini prognosis pasien adalah malam karena tingkat
kekambuhannya lebih tinggi dan memiliki resiko perkembangan menuju ke
kanker endometrium hingga 50 % jika tidak menjalani histerektomi total.7

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Amran R. Pemeriksaan Histopatologi Kuretase Endometrium dan Sikatan


Endometrium pada Wanita Usia lebih dari 40 Tahun dengan Perdarahan
Uterus Abnormal. Palembang: Unsri Press; 2013. p. 3-4.
2. Sastrawinata U, Suryawan A, Indahwati D. Hubungan Kerapatan Reseptor
Hormon Estrogen pada Wanita Perimenopause terhadap Kejadian Tipe
Hiperplasia Endometrium. Artikel Penelitian Bagian Obstetric Dan
Ginekologi. 2009;6(2):1-2.
3. Sofoewan MS. Endometrium dan Desidua. Dalam : Saifudin AB,
Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka; 2016. p. 847-849.
4. Sobczuk A, Sobczuk K. New Classification System of Endometrial
Hyperplasia WHO 2014 and its Cinica Implications. Menopause Review.
2017;16(3):110.
5. Rai R, Dwivedi A, Menbrook Dm, Kim JJ, Chandra V. Therapeutic Options
For Management Of Endometrial Hyperplasia. Journal Of Gynecologic
Oncology. 2016;27(18):1-25.
6. Huh WK, Rivlin ME, Talavera F, Wilcox N, Chiang WJ. Premalignant
Lesion Of the Endometrium. Medscape. 2018:1-6.
7. Tidy JA, Perunovic B, Pamer JE. Endometrial Hyperplasia. The Obstetrician
& Gynaecologist. 2008;10:211-214.
8. Duncan T, Naeem S. Management Of Endometrial Hyperplasia. Norfolk and
Norwich university hospital. 2016.

25

Anda mungkin juga menyukai