Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tension pneumotoraks merupakan salah satu penyakit yangdisebabkan
oleh trauma tumpul. Tekanan rongga pleura bersifat negatif dan
mengandung sedikit cairan dalam rongga pleura akan tetapi apabila terjadi
trauma tumpul dan terjadi perubahan tekanan dalam rongga pleura
menjadi tekanan positif disebut tension pneumotoraks. Tension
pneumotoraks adalah kasus darurat dan butuh penanganan dengan
tindakan dengan cepat dan tepat.
Insidensi dari tension pneumotoraks di luar rumah sakit tidak mungkin
dapat ditemukan. Revisi oleh Departement of Transportation (DOT)
Emergency Medical Treatment (EMT) Paramedic Curriculum
menyarankan tindakan dekompresi jarum segera pada dada pasien yang
menunjukan ke pusat trauma tingkat 1 di Amerika Serikat menerima
tindakan pra rumah sakit berupa dekompresi torakostomi, meskipun pada
jumlah tersebut tidak semua pasien menderita kondisi tension
pneumotoraks. Angka kematian dari tension pneumotoraks tergantung
dari penegakan diagnosa dan penanganan.
Sebagai seorang perawat, kita mampu untuk menegakkan diagnosa dan
mengambil tindakan penanganan yang tepat dan cepat agar tidak
menimbulkan kematian pada klien yang mengalami tension pneumotoraks.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa dapat mengungkapkan pola pikir yang ilmiah dalam
melaksanakan asuhan keperawatan kegawatdarurata kepada klien

1
dengan Tension Pneumotoraks dengan menggunakan pendekatan
proses keperawatan.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui Anatomi dan Fisiologi sistem pernapasan Bawah
b. Mengetahui dan memahami Penyakit kegawatdaruratan Tension
Pneumotoraks
c. Mampu memahami Pengkajian Asuhan Keperawatan
kegawatdaruratan pada klien Tension Pneumotoraks
d. Mampu memahami Diagnosa Asuhan Keperawatan pada klien
kegawatdaruratan Tension Pneumotoraks
e. Mampu membuat Intervensi dan Rasional Keperawatan
kegawatdaruratan pada klien Tension Pneumotoraks

C. Rumusan Masalah
1. Jelaskan Anatomi dan Fisiologi sistem Pernapasan Bawah?
2. Jelaskan penyakit kegawatdaruratan Tension Pneumotarks?
3. Bagaimanakan Pengkajian kegawatdaruratan pada klien Tension
Pneumotoraks?
4. Apa diagnosa keperawatan kegawatdaruratan pada klien Tension
Pneumotoraks?
5. Apa intervensi yang dapat dilakukan pada klien Tension
Pneumotoraks?

2
BAB II
TINJAUAN TEORITIS & ASUHAN KEPERAWATAN
Tinjauan Teoritis

A. Definisi
Tension pneumotoraks adalah pengumpulan/ penimbunan udara diikuti
peningkatan tekanan di dalam rongga pleura. Kondisis ini terjadi bila salah
satu rongga paru terluka, sehingga udara masuk ke rongga pleura dan
udara tidak bisa keluar secara alami. Kondisi ini bisa dengan cepat
menyebabkan terjadinya insufisiensi pernapasan, kolaps kardiovaskuler,
dan akhirnya kematian jika tidak dikenali dan ditangani. Hasil yang baik
memerlukan diagnosa mendesak dan dan penanganan dengan segera.
Tension pneumotoraks adalah diagnosa klinis yang sekarang lebih siap
dikenali karena perbaikan di pelayanan-pelayanan darurat medis dan
tersebarnya penggunaan sinar-x dada (Sole, Mary L.2012)
Tension pneumotoraks adalah suatu keadaan yang mengancam nyawa
karena penumpukan udara di dalam ruang pleura akhirnya akan
menyebabkan kolapsnya paru dan pembuluh darah di bawahnya. Keadaan
ini harus segera ditangani dengan insersi suatu selang atau jarum
berukuran besar ke dalam ruang pleura diikuti oleh pengisapan udara
keluar dari ruangan tersebut. (Corwin, J Elizabeth. 2009)
Tension pneumotoraks adalah medical emergency dimana akumulasi udara
dalam rongga pleura akan bertambah setiap kali bernapas. Peningkatan
tekanan intratoraks mengakibatkan bergesernya organ mediastinum secara
masif ke arah berlawanan dari sisi paru yang mengalami tekanan.
(Mansjoer, 2011)

3
B. Anatomi & Fisiologi

Pada klien dengan tension pneumotoraks kejadiannya terletak pada lapisan


paru antara lapisan parietalis dan viseralis yang di sebut dengan rongga
pleura. Oleh karena itu untuk penjelasan anatomi fisiologinya diambil dari
bagian pernapasan bawah. Sistem pernapasan bawah dimulai dari :
1. Trakea
Tenggorokan berupa pipa yang panjangnya ± 10 cm, terletak sebagian
di leher dan sebagian di rongga dada. Dinding tenggorokan tipis dan
kaku, dikelilingi oleh cincin tulang rawan, dan pada bagian dalam
rongga bersilia. Silia-silia ini berfungsi menyaring benda-benda asing
yang masuk ke saluran pernapasan.

2. Bronkus
Bronkus tersusun atas percabangan, yaitu bronkus kanan dan kiri.
Letak bronkus kanan dan kiri agak berbeda. Bronkus kanan lebih
vertikal daripada kiri. Karena strukturnya ini, sehingga bronkus kanan
akan mudah kemasukan benda asing. Bronkus kemudian bercabang
lagi sebanyak 20–25 kali percabangan membentuk bronkiolus. Pada

4
ujung bronkiolus inilah tersusun alveolus yang berbentuk seperti buah
anggur.

3. Paru-paru
Organ yang berperan penting dalam proses pernapasan adalah paru-
paru. Paru-paru merupakan organ tubuh yang terletak pada rongga
dada, tepatnya di atas sekat diafragma. Diafragma adalah sekat rongga
badan yang membatasi rongga dada dan rongga perut. Paru-paru terdiri
atas dua bagian, paru-paru kanan dan paru-paru kiri. Paru-paru kanan
memiliki tiga lobus yang berukuran lebih besar daripada paru-paru
sebelah kiri yang memiliki dua lobus. Semakin ke dalam, di dalam
paru-paru akan ditemui gelembung halus kecil yang disebut alveolus.
Jumlah alveolus pada paru-paru kurang lebih 300 juta buah. Adanya
alveolus ini menjadikan permukaan paru-paru lebih luas. Diperkirakan,
luas permukaan paru-paru sekitar 160 m2. Dengan kata lain, paru-paru
memiliki luas permukaan sekitar 100 kali lebih luas dari pada luas
permukaan tubuh. Dinding alveolus mengandung kapiler darah.
Oksigen yang terdapat pada alveolus berdifusi menembus dinding
alveolus, lalu menem bus dinding kapiler darah yang mengelilingi
alveolus. Setelah itu, masuk ke dalam pembuluh darah dan diikat oleh
hemoglobin yang terdapat di dalam sel darah merah sehingga
terbentuk oksihemoglobin (HbO2). Akhirnya, oksigen diedarkan oleh
darah ke seluruh tubuh. Setelah sampai ke dalam sel-sel tubuh, oksigen
dilepaskan sehingga oksihemoglobin kembali menjadi hemoglobin.
Oksigen ini digunakan untuk oksidasi. Karbon dioksida yang
dihasilkan dari respirasi sel diangkut oleh plasma darah melalui
pembuluh darah menuju ke paru-paru. Sesampai di alveolus, CO2
menembus dinding pembuluh darah dan dinding alveolus. Dari
alveolus, karbondioksida akan disalurkan menuju hidung untuk
dikeluarkan. Jadi proses pertukaran gas sebenarnya berlangsung di
alveolus.

5
4. Pleura
Suatu lapisan tipis kontinu yang mengandung kolagen dan jaringan
elastis, dikenal sebagai pleura, melapisi rongga dada (pleura
parietalis) dan menyelubungi setiap paru (pleura viseralis). Di antara
dan viseralis terdapat suatu lapisan tipis cairan pleura yang berfungsi
untuk memudahkan kedua permukaan itu bergerak selama pernapasan
dan untuk mencegah pemisahan toraks dan paru. Tekanan dalam
rongga pleura lebih rendah dari tekanan atmosfer, sehingga mencegah
kolaps paru. Ada 3 faktor yang mempertahankan tekanan negatif yang
normal ini.
a. Jaringan Elastis
Jaringan elastis paru memberikan kekuatan kontinu yang
cenderung menarik paru menjauh dari rongga toraks; misalnya,
setelah lahir, paru cenderung mengerut ke ukuran aslinya yang
lebih kecil daripada bentuknya sebelum mengembang. Tetapi,
permukaan pleura viseralis dan pleura parietalis yang saling
menempel itu tidak dapat dipisahkan, sehingga tetap ada kekuataan
kontinu yang cenderung memisahkannya. Kekuatan ini dikenal
sebagai tekanan negatif dari ruang pleura.
b. Kekuatan Osmotik
Pergerakan cairan pleura dianggap mengikuti hukum Starling
tentang pertukaran transkapiler; yaitu pergerakan cairan
bergantung pada selisish perbedaan antara tekanan hidrostatik
darah yang cenderung mendorong cairan keluar dan tekanan
onkotik dari protein plasma yang cenderung menahan cairan agar
tetap di dalam.
c. Pompa Limfatik
Sejumlah kecil protein secara normal memasuki ruang pleura tetapi
akan dikeluarkan oleh sistem limfatik dalam pleura
parietalis;terkumpulnya protein di dalam ruang intrapleura akan

6
mengacaukan keseimbangan osmotik normal tanpa pengeluaran
limfatik.

Ketiga faktor ini kemudian, mengatur dan mempertahankan tekanan


negatif intrapleura normal. Diafragma merupakan otot berbentuk kubah
yang membentuk dasar rongga toraks dan meisahkan rongga tersebut
dari rongga abdomen. (Price, Sylvia A. 2006)

C. Epidemiologi
Insiden tension pneumutoraks diluar rumah sakit sulit untuk ditentukan.
Dari 2000 insiden yang dilaporkan ke Australian Inciden Monitoring
Study (AIMS), 17 merukan penderita atau suspect pneumutoraks, dan 4
diantaranya diiagnosisi sebagai tension penumutoraks. Data militer
menunjukan bahwa lebih dari 5% korban pertempuran dengan trauma
dada mempunyai tension penumutoraks saat kematian.

D. Etiologi
Etiologi tension pneumotoraks yang paling sering terjadi adalah karena
iatrogenik atau berhubungan dengan trauma, yaitu sebagai berikut:
1. Trauma benda tumpul atau tajam meliputi gangguan salah satu pleura
viseral atau parietal.
2. Pemasangan kateter vena sentral (salah arah kateter).
3. Komplikasi dari pneumotoraks itu sendiri. (Sole, Mary L.2012)

7
E. Patofisiologi
Trauma dada Terputusnya
Trauma dada terbuka pada
tertutup kontuinitas tulang
dada yang melibatkan
lapisan parietas, viseral dan jaringan
dan rongga pleura Rusuk yang fraktur (menusuk
dan merobek membran pleura)
Nosiseptor
mengeluarkan zat
Udara masuk ketika fase kimia bradikinin
inspirasi ke membran pleura
dan tidak dapat keluar pada
saat fase ekspirasi
Nyeri

Tekanan pada rongga


pleura berubah menjadi
positif

TENSION
PNEUMOTORAKS

Peningkatan tekanan
intrapleura dan
-Pergeseran mediastinum
menyempitkan paru
-kompresi organ-organ
mediastinum
Insersi WSD Paru-paru menjadi
kolaps
Penekanan pada CVP

Resiko Mobilitas
Infeksi terbatas Penurunan
Pembesaran vena
ekspansi paru
leher
Pasien dan
Hambatan
keluarga
Mobilitas Ketidakefektifan
Cardiac ouput yang sering
fisik pola napas
dihasilkan menurun bertanya

Gangguan
pertukaran gas Kurang
Ansietas
menerima
informasi

Sumber : Sole, Mary L.2012, Suyono, 2001

8
F. Manifestasi Klinis
1. Manifestasi awal : nyeri dada, dipsnu, ansietas, takipnu, takikardi,
hipersonor dinding dada dan tidak ada suara nafas pada sisi yang sakit
2. Manifestasi lanjut : tingkat kesadarn menurun, trakea bergeser menuju
kesisi kontralateral, hipotensi, pembesaran pembuluh darah leher/ vena
jugularis (tidak ada jika pasien sangat hipotensi) dan sianosis
3. Terjadi sesak nafas yang progresif dan berat
4. Terdapat kolaps dengan pulsus kecil dan hipotensi berat sebagai
akubat gangguan pada jantung dan terhalangnya aliran balik vena ke
jantung
5. Tanda-tanda pergeseran mediastinum jelas terlihat
6. Perkusi biasanya timpani, mungkin pula redup karena pengurangan
getaran pada dinding toraks
7. Apabila pneumutorak meluas, dan apabila yang terjadi adalah tension
pneumutoraks dan udara menumpuk dirongga pleura, jantung dan
pembuluh darah besar dapat bergeser ke paru yang sehat sehingga dada
tampak asimetris. (Corwin, 2009)

G. Pemeriksaan diagnostik
1. Pemeriksaan computed tomographi (CT-scan)
Diperlukan apabila foto dada diagnosis belum dapat ditegakkan.
Pemeriksaan ini lebih spesifik untuk membedakan antara enfisema
bulosa dengan pneumutoraks, batas antara udara dengan cairan intra
dan ekstra plumonal serta untuk membedakan antara pneumutoraks
spontas dengan pneumutoraks skunder.
2. Pemeriksaan endoskopi (torakoskopi)
merupakan pemeriksaan invasive, tetepai memiliki sensifitas yang
lebih besar dibandingkan pemeriksaan CT-Scan
3. Pemeriksaan foto dada tampak garis pleura viseralis
Lurus atau cembung terhadap dinding dada dan terpisah dari garis
pelura parietalis. Celah antara kedua garis pleura tersebut tampak

9
lusens karena berisi kumpulan udara dan tidak didapatkan corakan
vaskuler pada daerah tersebut.
Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleura
yang : dapat menunjukan penyimpangan struktur mediastinal.
4. Pemeriksaan GDA
Variabel tergatung dari derajat paru yang dipengaruhi, gangguan
mekanik pernafasan dan kemampuan mengkompensasi.
5. Pemeriksaan HB
Menurun, menunjukan kehilangan darah. (Sole, Mary L.2012 dan
Corwin, Elizabeth.2009)

H. Penatalaksanaan
1. Needle decompression
Tindakan akan mengubah tensin pneumutoraks menjadi pneumutoraks
sederhana. Evaluasi ulang selalu diperlukan. Decompressi segera
memakai jarum suntik tusuk pada sela iga kedua di midklavikula dan
tutup dengan handscon biar udara lain tidak masuk baru dilakukan
WSD.
2. Observasi dan pemberian tambahan oksigen
3. Thorakoskopi
Tindakan ini membantu mencegah terjadi kejadian berulang.
4. Pemasangan NGT bila tidak ada fraktur basis kranii.
5. Ukur TTV dan saturasi oksigen.
6. Pemasangan kateter folley
untuk monitor diaresis dan decompressi fesika urinaria. (Sole, Mary
L.2012)

10
I. Komplikasi
1. Gagal napas akut
2. Komplikasi tubetorakostomi
3. Henti jantung paru
4. Infeksi sekunder dari penggunaan WSD
5. Kematiaan, kematiian timbul akibat dari tension pneumutoraks disertai
dengan efusi pleura dan darah.
6. Syok (Alagaf, 2005)

J. Prognosis
Pada klien dengan tension pneumotoraks yang ditangani dengan cukup
baik, umumnya tidak dijumpai komplikasi. Akan tetapi pada klien yang
dengan penyakit mendasar seperti PPOK harus lebih berhati-hati karena
berbahaya dan mengancam nyawa. (Suyono, Slamet. 2001)

11
Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian
1. Pengkajian
a) Pengkajian umum : klien dapat tampak sakit sedang atau berat.
b) Pengkajian primer : pengkajian ini meliputi beberapa hal yaitu:
1) Airway dan cervical spine control
Pemeriksaan apakah ada obstruksi jalan napas yang disebabkan
benda asing, fraktur tulang wajah, atau maksila dan mandibula,
fraktur laring atau trakea. Pada penderita yang dapat berbicara
di anggap bahwa jalan nafas bersih, walaupun demikian
peniliaian ulang terhadap airway harus tetap di lakukan.
2) Breathing
Gerakan dada asimetris, trakea bergeser, vena jugularis distensi
tapi masih ada nafas. Pasien ini diberikan WSD dan pemberian
O2 tambahan.
3) Circulation
Akral tangan dan kaki dingin, nadi cepat dan lemah, hipotensi
dan dilakukan kontrol perdarahan dengan balut tekan tapi
jangan terlalu kuat.
c) Pengkajian sekunder
1) Tingkat kesadaran dan reaksi pupil
Tingkat kesadaran pada pasien tension pneumothoraks
umumnya masih sadar akan tetapi ada beberapa yang sudah
mengalami letargi atau koma karena terlambat penanganan.
Reaksi pupil ishokor, reaksi terhadap rangsangan cahaya
positif.
2) Pemeriksaan Head To-Toe
Wajah : bibir syanosis, pasien bisa mengalami keringat
dingin
Leher : terjadi defiasi trakea dan pembesaran JVP.

12
Thoraks :adanya nyeri tekan, retraksi dada, adanya
hipersonor pada salah satu sisi paru yang
mengalami tension pneumothoraks, untuk suara
paru umumnya tidak terdengar.
Ekstremitas: akral teraba dingin dan syanosis.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi.
3. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera biologis.
4. Ansietas berhubungan dengan kurang paparan informasi.

C. Intervensi Keperawatan
NO DIAGNOSA KEP TINDAKAN KEPERAWATAN RASIONAL
Tujuan dan kriteria Intervensi
hasil

1. Gangguan NOC: Status NIC: Pengaturan 1. Memantau status


pertukaran gas Pernafasan: Hemodinamik pernafasan dan
berhubungan Pertukaran Gas. 1.Kaji suara paru, pertukaran gas klien
dengan Setelah dilakukan frekuensi 2. Untuk mengetahui
ketidakseimbangan tindakan keperawatan pernapasan, PaO2 dan PaCO2
ventilasi-perfusi. selama ....x...., kedalaman, dan dan SaO2 dan
diharapkan masalah usaha napas menilai udara yang
gangguan pertukaran 2.Pantau hasil gas keluar apakh masih
gas akan berkurang darah dan pantau ada atau berkurang.
dengan kriteria hasil: WSD 3. Agar tidak terjadi
a. Tidak terjadi 3.Observasi sianosis dan gejala
dispnea saat terhadap sianosis berlanjut
aktifitas berat terutama 4. Agar klien secara
b. Tidak terjadi membran mandiri dapat
sianosis dan mukosa mulut mengontrol dan
somnolent 4.Ajarkan teknik menangani pola
c. PaO2 dan PaCO2 bernapas dan nafas tidak efektif
dan SaO2 dalam relaksasi
batas normal:

13
- SaO2: 95% atau
lebih
- PaO2: 80-
100mmHg
- PaCO2: 35-
45mmHg
d. Tidak mengalami
napas dangkal
atau ortopnea

2. Ketidakefektifan NOC: status respirasi NIC: bantuan 1. Untuk mengetahui


pola napas : ventilasi spontan status respirasi
berhubungan Setelah dilakukan 1. Pantau ventilasi pasien
dengan tindakan keperawatan kecepatan, 2. Mengetahui
hiperventilasi. selama ....x...., irama, perkembangan
diharapkan pasien kedalaman dan pola pernafasan
menunjukan pola upaya pasien
pernapasan yang pernapasan. 3. Memandirikan
efektif dengan kriteria 2. Pantau pola pasien dan
hasil: pernapasan keluarga pasien
a. Mempunyai 3. Informasikan serta membantu
kecepatan dan kepada pasien dalam proses
irama pernapasan dan keluarga, penyembuhan
dalam batas bahwa mereka pasien
normal harus 4. Mengetahui
b. Tidak terdapat memberikan perkembangan
suara napas pada perawat status sirkulasi
tambahan jika terjadi pasien
c. Tidak terdapat ketidakefektifa
retraksi dada. n pola nafas
4. Kolaborasikan
dalam
pemeriksaan
diagnostik nilai
GDA, dan
pemberian O2
tambahan
3. Nyeri akut NOC: pengendalian NIC: manajemen 5. Memantau status
berhubungan nyeri nyeri pernafasan dan
dengan agens Setelah dilakukan 1. Kaji skala nyeri pertukaran gas klien
cedera biologis tindakan keperawatan secara 6. Untuk mengetahui
selama ....x...., komprehensif PaO2 dan PaCO2

14
diharapkan masalah (meliputi dan SaO2
nyeri dapat teratasi OPQRSTUV) 7. Agar tidak terjadi
dengan kriteria hasil: 2. Mengatur posisi sianosis dan gejala
1. Nyeri klien berlanjut
berkurang senyaman 8. Agar klien secara
menjadi skala 4 mungkin mandiri dapat
2. Klien dapat 3. Ajarkan mengontrol dan
mengontrol penggunaan menangani pola
nyeri teknik nafas tidak efektif
3. Klien tidak nonfarmakolo
menunjukan gis : teknik
ekspresi nyeri relaksasi
pada wajah. 4. Kolaborasikan
dalam
pemberian
obat analgetik.
4 Ansietas b.d Tujuan : Dalam waktu 1. Tindakan yang
kurangnya 1 x 60 menit klien tepat diperlukan
pemaparan mampu memahami dalam mengatasi
informasi dan menerima masalah yang
keadaanya sehingga dihadapi klien dan
tidak terjadi membangun
kecemasan. kepercayaan dalam
Kriteria Hasil : mengurangi
1) Klien terlihat kecemasan.
mampu bernapas 2. Pemanfaatan
secara normal (16- sumber koping
20x/menit) yang ada secara
2) Mampu konstruktif sangat
beradaptasi bermanfaat dalam
dengan mengatasi stress.
keadaannya 3. Rasa cemas
3) Respon merupakan efek
nonverbal klien emosi sehingga
tampak lebih apabila sudah
rileks dan santai terindetifikasi
dengan baik, maka
perasaan yang
mengganggu dapat
diketahui.
4. Mengurangi

15
ketegangan otot
dan kecemasan.
Hubungan saling
percaya membantu
memperlancar
proses terapeutik

D. Evaluasi
1. Pasien menunjukan pola pernapasan yang efektif, ditandai dengan:
Mempunyai kecepatan dan irama pernapasan dalam batas normal,
tidak ada suara nafas tambahan dan tidak ada retraksi dada
2. Masalah gangguan pertukaran gas dapat berkurang, ditandai dengan:
tidak terjadi dispnea saat aktifitas berat dan tidak terjadi sianosis serta
somnolent, tidak mengalami napas dangkal atau ortopnea.
3. Masalah nyeri teratasi ditandai dengan : Nyeri berkurang menjadi
skala , Klien dapat mengontrol nyeri , Klien tidak menunjukan ekspresi
nyeri pada wajah.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tension pneumotoraks adalah suatu keadaan yang mengancam nyawa
karena penumpukan udara di dalam ruang pleura akhirnya akan
menyebabkan kolapsnya paru dan pembuluh darah di bawahnya. Keadaan
ini harus segera ditangani dengan insersi suatu selang atau jarum
berukuran besar ke dalam ruang pleura diikuti oleh pengisapan udara
keluar dari ruangan tersebut.
Insiden tension pneumutoraks diluar rumah sakit sulit untuk ditentukan.
Dari 2000 insiden yang dilaporkan ke Australian Inciden Monitoring
Study (AIMS), 17 merukan penderita atau suspect pneumutoraks, dan 4
diantaranya diiagnosisi sebagai tension penumutoraks. Data militer
menunjukan bahwa lebih dari 5% korban pertempuran dengan trauma
dada mempunyai tension penumutoraks saat kematian. Pada klien dengan
tension pneumotoraks yang ditangani dengan cukup baik, umumnya tidak
dijumpai komplikasi. Akan tetapi pada klien yang dengan penyakit
mendasar seperti PPOK harus lebih berhati-hati karena berbahaya dan
mengancam nyawa.

17
DAFTAR PUSTAKA

Alagaff, Hood,dkk. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:


University Airlangga Press

Corwin, J Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC

Mansjoer, Arif. 2011. Kapita Selekta Untuk Kedokteran. Jakarta: EGC

Sole, Mary L. 2012. Critical Care Nursing. Florida:Elsevier Saunders

Suyono, Slamet, dkk. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi III.
Jakarta: FKUI

18

Anda mungkin juga menyukai