Anda di halaman 1dari 28

AM DAN KHAS

MAKALAH

Diajukan Sebagai Tugas Pengganti Ujian Akhir Semester pada Mata kuliah Ushul
Fiqih 2 yang Diampu Oleh Amrullah Hayatuddin SHI., M.Ag

Disusun Oleh :

Muhammad Fahmi R 10010117005

MR. Rusdee Madardam 10010116023

M Alvin Nuzi Khairi M 10010117024

PROGRAM STUDY HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

MEI 2019

2
Kata Pengantar

Pertama-tama marilah kita ucapkan kepada Allah zat wajjibbal wujud


khadirat butjalil yang telah menyingkap tirai rembulan malam di kegelapan
malam, yang mengisi seratus satu macam legenda kehidupan langit berbyanyi
bumi bersiul ikut menyaksikan kehindahan alam, subhanallah ternyata lukisan
seni tak seindah lukisan sang Illahi.

Sebagai langkah yang kedua, salawat beriringan salam kita ucapkan buat
Nabi Muhammad SAW sebagai agent of changed buat umat manusia, yang
membawa umat manusia dari yang tidak berilmu pengetahhuan sampai kehidupan
yang berilmu pengetahuan (who has changed his imber from the dakness period
into the knowladge period as we feel right now)

Selanjutnya, makalah yang penulis ini berjudul “AM DAN KHAS”


didisain dari Mata Perkuliahan yang bertujuan agar mahasiswa mengerti dengan
dasar-dasar pengambilan hukum-hukum Islam.

Saya sebagai pemakalah sangat menyadari bahwa makalah saya ini masih
banyak kekurangan serta masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, saya
sangat mengharapkan kritikan dan saran yang membangun demi kesempurnaan
makalah ini.

Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada
Dosen pembimbing yang telah memberikan tugas serta kepercayaan kepada
penulis untuk membuat dan menyusun makalah ini, semoga makalah ini benar-
benar bermanfaat bagi pembaca khususnya mahasiswa terutama bagi penulis yang
membuat makalah ini.

3
DAFTAR ISI
Cover

Kata Pengantar.......................................................................................................ii

Daftar Isi................................................................................................................iii

BAB I Pendahuluan...............................................................................................iv

A. Latar Belakang Masalah............................................................................iv


B. Rumusan Masalah......................................................................................iv
C. Tujuan........................................................................................................iv

BAB II Pembahasan..............................................................................................1

A. Pengertian ‘Am..........................................................................................1
B. Pengertian Khas.........................................................................................5
C. Pengertian Takhsis.....................................................................................7

BAB III Penutup....................................................................................................19

Kesimpulan............................................................................................................19

Daftar Pustaka.......................................................................................................22

4
BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan


dalam mengkaji Islam adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang
mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan
hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui
dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul akan diketahui nash-
nash yang syara’ dan hukum-hukum yang ditunjukkannya.
Materi ini yang banyak dibahas secara mendalam oleh Ulama
Ushul Fiqh sejak dulu, karena masalah ini sering melahirkan perbedaan
pendapat diantara mereka. perbedaan tersebut terjadi karena berhubungan
dengan kedudukan Hadis-hadis Ahad dengan keumuman Al-Qur’an, dan
kedudukan Qiyas terhadap nash-nash yang bersifat umum.
Dari segi cakupan lafadz terhadap satuannya dibagi menjadi bentuk
yang umum (‘am) dan Khusus (khash).

B. RUMUSAN MASALAH

Dari urain diatas dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa pengertian ‘am ?


2. Apa pengertian khas?
3. Apa yang dimaksud takhsis?

C. Tujuan
1. Dapat mengeahui pengertian ‘am
2. Dapat mengethui pengertian khas
3. Dapat mengetahui pengertian Takhsis

5
BAB 2 PEMBAHASAN

A. Pengertian ‘Am
Secara bahasa ‘Am adalah mencakup beberapa urusan. Secara istilah am yaitu
lafad yang dapat mencakup seluruh satuan-satuan yang tidak terbatas dalam jumlah
tertentu. Maka yang dimaksud dengan ‘am yaitu suatu lafadz yang dipergunakan
untuk menunjukkan suatu makna yang pantas (boleh) dimasukkan pada makna itu
dengan mengucapkan sekali ucapan saja. Seperti kita katakan “arrijal”, maka lafadz
ini meliputi semua laki-laki. Dalam bahasa arab, menunjukkan bahwa lafaz-lafaz
yang arti bahasanya menunjukkan kepada makna yang umum dan mencakup
keseluruhan satuan-satuannya para ulama ushul mengklasifikasikannya (shighah-
shighah) yaitu:1

1. Kullu ‫ل‬
‫كك ل‬
Contoh :
‫س مذائتمقةك الومو ت‬
.. ‫ت‬ ‫ككللك نمنوف س‬
‫مو‬
“tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati..”

2. Jami’ ‫تج نيِع‬


Contoh :

‫جن نيِ ععنناَ كثلن ن ا وس نتْم نموىى ن إتنملن ن ال لسن نممنناَ تء ن فمنمس نلوا كه نلنن ن‬ ‫ه وا نلنتذننيِ مخ نلمنمق ن لمنكك نوم ن ممنناَ تفن ن ا ولمن نور ت‬
‫ض ن مت‬

‫ت ن موكه نمو ن بتنكك نللن ن مش نوي نسء ن مع نلتنيِ مم ن‬


‫سنبنع ن مس نناَ وا س‬
‫مو م م م‬

1 Rosidin, Dedeng, Ilmu Ushul Fikih, Bandung: Ar Raafi Bandung, 2014, Hlm. 27

1
“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia
berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia
Maha Mengetahui segala sesuatu.”

3. Kaffah ‫مكنناَ فنلنةعن‬


Contoh :

‫موممنناَ أمنورمس نول ننمنناَ مك ن إتنللن ن مكنناَ فنلنةعن لنتنل نلنناَ تس ن بمنتش نعيا مونمنتذ نيِ عرا مو ىلنم نتك نلنن ن أمنوك نثْم نمر ن ال نلنناَ تس ن ملن ن‬

‫يِم نوعنلمنكمننومن ن‬

“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya
sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi
kebanyakanmanusiatiadamengetahui.”

4. Ma’syar ‫مم نوع نمشننر‬


Contoh :

ُ‫س أي لي عم يي أع تم كك عم كر كس لُل مم عن كك عم يي قك ص‬
‫ص وُّ ين يع لي عي كك عم‬ ‫يياَ يم عع يشرَ ي اَ عل مج نن يواَ ع مل عن م‬
َ‫آ يياَ متيِ يو يك عن مذ كرو ني كك عم لم يقاَ يء يي عوُّ مم كك عم ههي يذا‬

“Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari
golongan kamu sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan
memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini?.”2

2 Ibid., hlm. 27

2
Ditinjau dari segi keberadaan nash, lafaz am itu dapat dibagi menjadi tiga
macam:3
1) Am yuradu bihi am
Yaitu am yang disertai qarinah yang menghilangkan kemungkinan untuk dapat
dikhususkannya.
Contohnya :

- QS. Hud [11], 6 :

َ‫ض ن إتنللن ن مع نلمننىَ ال نل نته ن تروزقْك نمهنناَ مويِم نوع نلمنكم ن كم نوس نتْم نمق نلرمهننا‬
‫موممنناَ تم نون ن مدننا بنلنسة ن تفن ن ا ولمن نور ت‬

‫ومنس نتْم نومد نمع نهنناَ كك نللن ن تفن ن كتنتْمنناَ س‬


‫ب ن كم نبتن س‬
‫ين ن‬ ‫مك و و م‬
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang
memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat
penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”

- QS. Al-Anbiya [21], 30 :

‫أمنتم ن ا لتمن نكذ نوا آ تلنمنةعن تم نمن ن ا ولمن نور ت‬


‫ض ن كه نوم ن يِكنون نتش نكرومن ن‬
“Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan dari bumi, yang dapat menghidupkan
(orang-orang mati)?.”

Masing-masing dari kedua ayat di atas menerangkan secara umum sunnah Allah
bahwa setiap binatang yang melata di muka bumi niscaya diberi rezeki. Dan segala
sesuatu yang hidup itu diciptakan dari unsur air Menurut logika bahwa semua
makhluk yang telah diciptakan pasti diberi makan. Dan menurut pengertian secara
ilmiah bahwa segala sesuatu yang hidup itu, tentu terdiri dari unsur hidup pula,
antara lain adalah unsur air. Petunjuk akal dan pengertian ilmiah inilah yang
menjadi qarînah, yang menghilangkan kemungkinan dikhususkannya dari petunjuk
3 Mukhtar Yahya dan fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: PT Al-
Ma’arif, 1986, hlm. 224

3
yang umum. Karena itu menurut hemat penulis, dilâlah ‘âm dalam ayat di atas
adalah bersifat qath’iy dilâlah ‘ala umûm. Artinya, kedua contoh tersebut di atas
tidak ada kemungkinan untuknya bahwa yang dimaksud adalah khusus.4

2) am yuradu bihi khusus


Yakni adanya lafaz am yang disertai qarinah yang menghilangkan arti
umumnya. Dan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan am itu adalah sebagian
dari satuannya. Misalnya lafaz al-nâs dalam firman Allah QS. Ali-Imran [3], : 97

َ‫ت ن مم نمقنناَ كم ن إتننبو نمرا ته نيِ مم ن مومم نون ن مدنمخ نلمنهكن مكنناَ من ن آ تم ننعنناَ مولتن نل نته ن مع نلمننى‬
‫ت ن بم نيِلن ننمنناَ م‬
‫تت‬
‫فنيِ هن آ يِنمناَ م‬
‫ت‬ ‫ت‬ ‫ت‬
‫ع ن إتنلمنويِ نه ن مس نبتنيِ علن ن مومم نون ن مك نمف نمر ن فمنتإ نلنن ن ال نل نهمن مغ ن ت ل‬
‫ن ن ن مع نتن ن‬ ‫ال نلنناَ تس ن ح نلجن ن ا لوننبم نويِ نت ن مم نتن ن ا وس نتْمنطنمناَ م‬
‫ين ن‬ ‫ت‬
‫ا لونمعنناَ لمنمن م‬
“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim;
barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji
adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji),
maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta
alam.”
Kalimat al-nâs adalah am yakni seluruh manusia. Akan tetapi yang
dimaksudkan dengan ayat tersebut adalah khusus yaitu orang-orang mukallaf saja.
Karena menurut akal tidak mungkin Tuhan mewajibkan haji bagi orang-orang
yang belum dewasa atau orang-orang yang tidak aqil. Petunjuk akal inilah yang
menjadi qarînah yang menghilangkan arti keumumnan ayat tersebut.

3) am makhsus

4 Ibid., Hlm 225

4
artinya am yang khusus untuk am atau am muthlaq. am seperti ini tidak disertai
dengan qarinah yang menghilangkan kemungkinan dikhususkan dan tidak disertai
pula dengan qarinah yang menghilangkan keumumannya.
Pada kebanyakan nash-nash yang didatangkan dengan sigat umum tidak disertai
qarînah sekalipun qarînah lafdziyah, aqliyah atau urfiyah yang menyatakan
keumumannya atau kekhususnya. Contohnya QS. Al-Baqarah [2], 228 :

‫ص نمن ن بتنأمننو نكف نتس نته نلنن ن ثمنملن نثمنةمن قْك نكروسء ن موملن ن متين نللن ن ملنكنلنن ن أمنون ن يِمنوك نتْكنوم نمن ن‬ ‫موا لونكم نطمن نل نمقنناَ ك‬
‫ت ن يِم نتْم نمربنلن و‬
‫ممنناَ مخ نلمنمق ن ال نل نهكن تفن ن أمنورمحنناَ تم نته نلنن ن إتنون ن كك نلنن ن يِكنوؤتم نلنن ن بنتناَل نل نته ن موا لونيِم نووتم ن ا ولن نتخ نتر ن موبكنعكننولمنتْك نكه نلنن ن‬

‫ص نملن نعحنناَ موملنكنلنن ن تم نثْونكل ن ا نلنتذننيِ مع نلمنويِ نته نلنن ن‬ ‫ت‬ ‫ت‬
‫أمنمحنلقن ن بتنمرلدن نه نلنن ن تفن ن ىمذن نل ن م‬
‫ك ن إتنون ن أمنمرا كد نوا إتن و‬
‫ف ن مولنتنل لرمجنناَ تل ن مع نلمنويِ نته نلنن ن مدنمرمج نةمن موال نل نهكن مع نتزيِ مز ن مح نتك نيِ مم ن‬
‫بنتناَ لونم نع نرو ت‬
‫م وك‬

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.
Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya,
jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan
kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Kalimat al-muthallaqhât adalah ‘am makhsus, ia tetap dalam keumumannya


selama belum ada dalil yang mengkhususkannya.5

5 Mukhtar Yahya dan fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Hlm. 226

5
B. Pengertian khas
Khas menurut bahasa ialah lawan daripada ‘Am. Sedangkan menurut istilah
ialah suatu lafaz yang menunjukkan arti tunggal yang menggunakan bentuk mufrad,

baik pengertian itu menunjuk pada jenis ( ‫) إنساَن‬, atau menunjuk macam (‫) رجل‬, atau

juga menunjuk arti perorangan (‫) خاَلد‬, ataupun isim jumlah (‫) ثلثة‬.6

Singkatnya bahwa setiap lafaz yang menunjukkan arti tunggal itulah lafaz
khâs. Dan menurut kesepakatan para ulama bahwa setiap lafaz yang khâs,
menunjukkan pengertian yang qath’i yang tidak mengandung adanya kemungkinan-
kemungkinan yang lain.Jika lafaz itu berbentuk perintah maka memberi pengertian
mewajibkan yang diperintahkan itu, selama tidak terdapat dalil yang memalingkan
perintah itu dari kewajiban.7

Contohnya :

-QS. Al-Baqarah [2], 43:


‫تت‬ ‫موأمنقْتنيِ كم نوا ال ل‬
‫صن نملن نمة ن موآ تكنوا ال لزمكنناَ مة ن موا ورمك نعك نوا مم نمع ن ال لراك نع ن م‬
‫ين ن‬

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang

ruku'.”

Ayat tersebut secara tegas menunjukkan adanya perintah wajib melaksanakan


shalat dan perintah mengeluarkan zakat dan perintah tersebut bersifat khusus.
Demikian juga sebaliknya, jika lafaz itu berbentuk larangan, maka memberi
pengertian mewajibkan yang dilarang, selama tidak ada dalil yang memalingkan dari
keharaman itu.8 Contohnya QS. Al-Isra [17], 33:

6 Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999, hlm. 236

6
‫س ن ا نل نتتن ن مح نلرمم ن ال نل نهكن إتنللن ن بنتناَ ولمن نلقن ن مومم نون ن قْكنتْتنمل ن مم نظونلنكنوعمنناَ فم نمق نود ن‬
‫موملن ن تم نوق نتْك نلكنوا ال نلن نوف ن م‬
‫مجنمع نول ننمنناَ لتنمولتنيِنل نته ن كس نولنطنمناَ ننعناَ فمنملن ن يِكنوس نتر و‬
‫ف ن تفن ن ا لونمق نوتْ نتل ن إتنننلنهكن مكنناَ من ن مم نون ن ك‬
‫صننوعرا‬

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah


(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa
dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan
kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam
membunuh.

Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan."


Ini menunjukkan haramnya membunuh secara qath’i karena sigat nahi juga termasuk
khas.7

C. Pengertian Takhsis
Takhsis al-‘Am ialah penjelasan bahwa maksud al-mutakallim (syari’) dari
keumuman lafaznya adalah sebagiannya, tidak keseluruhannya, agar pendengar tidak
mengira selain yang dimaksud.
Lafaz ‘Am terbagi atas dua, yaitu âm yang dapat dimasuki takhshîsh dan âm yang
tidak bisa dimasuki takhshîsh. Karena itu harus ada dalil yang menunjukkan bahwa ia
benar-benar ditakhshîsh.Hanafiyah berpendapat bahwa yang bisa mentakhshish âm
ialah lafaz yang berdiri sendiri bersamaan dalam satu zaman serta mempunyai
kekuatan yang sama dilihat dari segi qath’iy atau zanniynya.8

D. Pembagian takhsis

Takhsis terbagi kepada dua, yaitu Takhsis muttashil dan takhsis munfasil.

7 Ibid., Hlm. 236


8 Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, Hlm. 237

7
1. Takhsis muttashil

Takhsis muttashil adalah takhsis yang tidak menyendiri, maksudnya


maknanya berkaitan dengan lafadz yang sebelumnya.

Takhsis muttashil iniada beberapa macam, yaitu:

a. Istisna
Istisna secara bahasa adalah pengecualian. Bahasannya luas sekali sebenarnya,
tapi kita ambil yang simpel dan mudah dimengerti saja. Biasanya istisna ini ditandai
dengan kata bahasa Arab yang artinya “kecuali”, ya namanya juga pengecualian. Nah

kata itu adalah “illa = ‫”ال‬. Contohnya di surah an-Nur 4-5 dan al-Maidah 23. Coba
kita lihat an-Nur : 4-5.

‫ت‬ ‫ت‬ ‫ت‬ ‫والتذيِن يِنرمومن الومح ت‬


‫صمناَت كثل ملو يِمأوتكوا بتأموربمنمعة كشمهمداءم مفاَوجلكدوكهوم ممثاَن م‬
‫ي مجولمدعة مومل تمنوقبمنلكوا ملكوم‬ ‫م م مو ك ك و م‬
‫ت ت‬ ‫ت‬
‫صلمكحوا فمتإلن اللهم مغكفومر‬ ‫( إتلل الذيِمن متاَبكوا تمون بمنوعد مذل م‬4) ‫ك كهكم الومفاَتسكقومن‬
‫ك موأم و‬ ‫مشمهاَمدعة أمبمعدا موكأولمئت م‬

(5) ‫مرتحيِمم‬

Ayat ini menjelaskan bahwa semua orang yang pernah menuduh perempuan
baik-baik berzina dan tuduhannya tersebut tidak terbukti tidak boleh lagi diterima
persaksainnya selamanya. Ini sifatnya umum, semua penuduh zina. Tapi dikhususkan
dengan adanya kata “illa allazina” kecuali yang bertaubat dan memperbaiki
kesalahannya, beramal saleh maka Allah mengampuni mereka. Persaksainnya
diterima lagi.9

b. Sifat

9 Ibid., hlm. 238

8
Sifat yaitu sudah diserap ke dalam bahasa indonesia. Intinya ini adalah
pengcualian bagi sesuatu yang memiliki sifat tertentu, biasanya ditandai dengan

adanya kata “yang” di dalam bahasa Arab kata itu adalah “allati/alladzi = ‫ الت‬/ِ‫”الذي‬.
Biar lebih jelas, langsung saja contohnya di surah an-Nisa : 23 ;

‫مومرمباَئتبككككم الللتت تف كحكجوترككوم تمون نتمساَئتكككم الللتت مدمخولتْكوم تبتلن فمتإون ملو تمككونكوا مدمخولتْكوم تبتلن فممل‬

‫كجمناَمح معلمويِككوم‬
Ayat ini memuat daftar dari perempuan yang tidak boleh dinikahi oleh
seorang laki-laki muslim. Salah satunya adalah putri tiri si A dari perempuan yang
pernah si A nikahi. Skenarionya begini, ada seorang janda yang sudah punya putri,
trus si A menikahi lalu si A ceraikan lagi. Apakah si A bisa menikahi putrinya setelah
ibunya kamu ceraikan?
Berdasarkan keumuman dalil di atas tidak boleh. Tapi ada penghususan
menggunakan sifat ; jika ibunya belum pernah kamu gauli sebelum diceraikan, maka
putrinya itu halal untuk kamu nikahi. Tapi jika sudah digauli, maka ia dianggap
seperti putrimu, kata as-Sa’di di dalam tafsirnya, dan akan sangatdisgusting jika ada
ayah yang menikahi putrinya. Jadi, di sini ada penghususan dengan menggunakan
sifat ditandai dengan adanya kata alllatiy.10

c. Syarat
Ada juga penghususan dalam al-Qur’an yang menggunakan syarat. Biasanya

syarat memakai kata “jika” dalam bahasa Arab “in = ‫”ان‬. Contoh ngawurnya ; semua

perempuan di UMY cantik jika perempuan itu kuliah di Ma’had ‘Ali. kalimat ini
adalah kalimat umum yang dikhususkan dengan syarat. Awalnya seolah-olah saya

10 Rosidin, Dedeng, Ilmu Ushul Fikih, Hlm. 35

9
menggap semua perempuan di UMY cantik, tapi ternyata ada penghususan dengna
syarat kuliah juga di Ma’had Ali, yang tidak kuliah di Ma’had Ali keluar dari kategori
ini. (tidak usah terlalu dipikirkan ya, ini Cuma contoh).
Contoh yang benar ada di surah al-Baqarah : 180

‫ككتْتب علميِككم إتمذا حضر أمحمدككم الوموت إتون تمنرمك خيِنرا الووتصيِلةك لتولوالتمديِتن واولمقْونربتي تباَلومعرو ت‬
‫ف‬ ‫م و م م م م وك‬ ‫م م و و م مم م ك م و ك م م و ع م‬
(180) ‫ي‬ ‫حققاَ عملىَ الو تْ ت‬
‫ملق م‬ ‫م م ك‬

Di dalam ayat ini diwajibkan bagi setiap orang yang mendekati kematian agar
membuat wasiat bagi kedua orang tua dan kerabatnya. Wasiat dalam konteks ini
adalah harta, wasiat untuk memberikan kepada orang tua atau kerabat jumlah tertentu
dari harta. Ayat ini umum, tapi ada penghususan yakni “jika ia meninggalkan harta
berlimpah”. Al-Khair menurut as-Sa’di adalah harta yang buanyak sekali. Maka
jika ia tidak meninggalkan harta berlimpah, untuk apa pakai wasiat segala? Jika tidak
ada penghussan dalam ayat ini pasti akan sangat memberatkan. Bayangkan saja ada
seorang kakek-kakek miskin yang tidak punya apa-apa akan meninggal, eh dia malah
diwajibkan membuat surat wasiat akan memberikan harta kepada kerabatnya. Kan
dak tidak masuk akal tayyeee (logat Madura). Jadi wasiat dikhususkan bagi yang
punya harta peninggalan yang banyak. Apa ukurannya? Menurut as-Sa’diy
sesuai urf atau budaya masing-masing masyarakat.11

d. Gayah
Gayah artinya batas dari sesuatu. Bisa juga berarti tujuan akhir. Dalam konteks
ushul fikih maka suatu dalil yang disertai gayah hukumnya akan selalu berlaku
hingga gayah tersebut terlampaui. Gayahditandai dengan kata “hingga, sampai” yang

11 Jurnal Hukum Diktum, Volume 14 Nomor 2, Desember 2016: Makassar, Hlm. 138

10
di dalam bahasa Arab adalah “Hatta dan ilaa = ‫الن‬/‫ ”حننت‬. Dalam ucapan sehari-hari

pun kadang kita membuat penghususan semacam ini, misalnya ; istriku, kamu akan
selalu menjadi permata hatiku hingga ajal menjemputmu. Implikasi dari gombalan ini
adalah bahwa si istri menjadi permata hati khusus selama ia masih hidup.
Contoh dalil umum yang dikhsuskan dengna syarat ada di surah al-Baqarah : 222

‫ض مومل تمنوقمركبوكهلن محلت يِمطوكهورمن فمتإمذا تمطملهورمن فمأوكتوكهلن تمون محويِ ك‬


‫ث أممممركككم‬ ‫مفاَوعتْمتزلكوا النلمساَءم تف الوممتحيِ ت‬

‫اللهك‬..
Ayat di atas adalah dalil umum yang melarang kita mendekati wanita yang
sedang haid. Tentu saja boleh duduk berdekatan, tadi saya lupa menuliskan tanda
petik. Jadi ayat ini melarang kita “mendekati” perempuan yang sedang haid. Oke
sudah ada tanda petiknya, yang dewasa pasti faham ya? Fahimtum? (jamaah ikhwan :
fahimnaaa). Akan tetapi ayat di atas dikhususkan dengan adanya gayah yakni sampai
mereka telah kembali bersih alias berhenti haid. Penghusuannya ada pada kalimat
“hatta yathhurna” 12

e. badal ba’d min kulli


Badal ba’d min al-kulli. Badal artinya pengganti, ba’d min al-Kulli artinya
sebagian tertentu dari keseluruhan sesuatu. Ini memang isitilah di dalam nahwu, saya
juga bingung apa kaidah bahasa yang sepadan di dalam Bahasa Indonesia, apalagi
bahasa alay.
Badal adalah penjelasan lebih lanjut dari kata yang masih ambigu di dalam suatu
kalimat. Misalnya ada mahasiswa yang berteriak “woi, si Udin jatuh dari motor!” trus
dia berhenti, trus teriak lagi “Itu lho Udin sodaramu..” Di dalam kalimat pertama tadi
“Udin” masih ambigu, ini Udin yang mana ya? Tapi dengan penjelasan lanjutan “itu
lho Udin saudaramu” maka jadi jelas bahwa yang jatuh dari motor itu

12 Ibid., Hlm. 138

11
adalah saudaramu yang namanya Udin. Makanya saudaramu itu dididik yang benar,
jangan suka main monopoli di atas motor yang lagi parkir.
Penjelasan semacam ini dalam bahasa Arab ada bermacam-macam, salah satunya
adalah badal ba’d min al-kulli. Badal ini adalah penjelasan lanjutan yang
menyebutkan sebagian yang dimaksud dari kata yang masih ambigu. Misalnya
“Rotimu yang kamu simpan di kulkas itu kumakan ya…” “setengahnya aja
bro..” Pada kalimat pertma masih belum jelas, rotinya itu dimakan sampai habis atau
gimana, tapi dengan adanya badal yang berbunyi “setengahnya aja bro..” maka
jelaslah bahwa yang kumakan itu cuma setengahnya.
Jika diterjemahkan, badal bisa diwakili oleh kata “yaitu” atau “yakni”. Misalnya
jika dua contoh di atas dijadikan kalimat Bahasa Indonesia yang baku ; saya
memakan rotimu, yaitu setengahnya. Udin jatuh dari motor, yakni Udin saudaramu.
Di dalam ushul fikih, badal ba’d min al-kulli juga termasuk alat untuk menghususkan
dalil umum aliasmuhkassis. Contohnya ada di surah Ali Imran : 97.

‫ت‬ ‫ت متن استْممطاَ ت‬


‫ت‬ ‫ت‬ ‫تت‬
‫ع إتلمويِه مسبتيِعل موممون مكمفمر فمتإلن اللهم مغتنل معتن الومعاَلمم م‬
(97) ‫ي‬ ‫مولله معملىَ اللناَتس حلج اولبمنويِ م و م‬
Penggalan pertama ayat ini adalah perintah bersifat kepada semua manusia
(an-Nas) untuk berhaji ke Baitullah. Tentu hal itu akan sangat memberatkan.
Untunglah Allah ta’ala menghusukannya denganbadal ba’d min kulli yang ditandai
dengan kata “man = ‫ ”من‬Maka arti ayat ini adalah ; Allah memerintahkan kepada
manusia untuk berhaji ke Baitullah, yaitu mereka yang sanggup
melaksakannya. “man istata’a (yaitu mereka yang sanggup)” adalah badal atau
penjelasan lebih lanjut dari kata “an-nas (seluruh manusia)” yang masih umum. 13

2. Takhsis munfasil
Munfashil:takhsis yang berdiri sendiri (terpisah antara satu nash dengan nash lainnya).

13 Rosidin, Dedeng, Ilmu Ushul Fikih, Hlm. 38

12
a. Mentakhshish ayat Al Qur’an dengan ayat Al Qur’an.

‫صمن بتأمنونكفتستهلن ثمملثمةم قْكنكروسء‬ ‫موالوكمطملمقاَ ك‬


‫ت يِمنتْمنمربل و‬

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali


quru.” (QS. Al Baqarah (2) :228).

Ketentuan dalam ayat di atas berlaku umum, bagi mereka yang hamil atau
tidak. Tapi ketentuan itu dapat ditakhshish dengan QS. At-Thalaq(65) ayat 4 sebagai
berikut:

‫حاَتل أممجلككهلن أمون يِم م‬


‫ضوعمن محولمكه ل ين‬ ‫موأكومل ك‬
‫ت اولم و م‬

“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya.”

Dapat pula ditakhshish dengan surat Al Ahzab(33):49

‫يِاَ أميِنلهاَ التذيِن آمنكوا إتمذا نممكحتْكم الوموؤتممناَ ت‬


‫ت كثل طملوقتْككموكهلن تمون قْمنوبتل أمون متملسوكهلن فممماَ لمككوم‬ ‫و ك ك‬ ‫م م‬ ‫م م‬
َ‫معلمويِتهلن تمون تعلدسة تمنوعتْملدونمنمها‬

“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-


perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang
kamu minta menyempurnakannya.”

Dengan demikian keumuman bagi setiap wanita yang dicerai harus beriddah
tiga kali suci tidak berlaku bagi wanita yang sedang hamil dan yang dicerai dalam
keadaan belum pernah digauli.14

14 Ibid., Hlm. 40

13
b. Mentakhshish Al Qur’an dengan As Sunnah.

َ‫مواللساَتركق مواللساَترقْمةك مفاَقْوطمعكوا أميِوتديِمنكهمما‬

“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan


keduanya “ (QS. Al Maidah (5) : 38)

Dalam ayat di atas tidak disebutkan batasan nilai barang yang dicuri. Kemudian
ayat di atas ditakhshish oleh sabda Nabi Saw:

‫ رواه الماَعة‬. ‫لم قْمطومع تف أمقْملل تمون كربوتع تديِونمناَسر‬

“Tidak ada hukuman potong tangan di dalam pencurian yang nilai barang yang
dicurinya kurang dari seperempat dinar”. (HR. Al-Jama’ah).

Dari ayat dan hadis di atas, jelaslah bahwa apabila nilai barang yang dicuri
kurang dari seperempat dinar, maka si pencuri tidak dijatuhi hukuman potong tangan.

c. Mentakhshish As Sunnah dengan Al Qur’an.

‫ت‬
‫ متْفق عليِه‬. ‫ضأم‬
‫ت يِمنتْمنمو ل‬ ‫صلممة أممحدككوم إتمذا أموحمد م‬
‫ث مخ ل‬ ‫لم يِمنوقبمكل الك م‬
“Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kamu bila ia berhadats sampai
ia berwudhu”. (Muttafaq ‘Alaihi).15

Hadis di atas kemudian ditakhshish oleh firman Allah dalam QS. Al Maidah
(5): 6,

‫ضىىَ أموو معلمىىَ مسمفسر أموو مجاَءم أممحمد تمونككوم تممن الومغاَئتتط‬
‫موإتون ككونتْكوم كجنكعباَ مفاَطللهكروا موإتون ككونتْكوم ممور م‬
‫ت ت‬ ‫ت‬ ‫أمو ملمستْكم النلساَء فمنلمم متتكدوا ماَء فمنتْمنيِلمموا ت‬
‫صعيِعدا طميِلعباَ مفاَوممسكحوا بتكوكجوهككوم موأميِوديِككوم مونهك‬
‫مع م ك م‬ ‫و مو ك مم و‬

15 Rosidin, Dedeng, Ilmu Ushul Fikih, Hlm. 41

14
“Dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan
tanah yang baik (bersih) sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu”.16

Keumuman hadis di atas tentang keharusan berwudhu bagi setiap orang yang
akan melaksanakan shalat, ditakhshish dengan tayammum bagi orang yang tidak
mendapatkan air, sebagaimana firman Allah di atas.

d. Mentakhshish As Sunnah dengan As Sunnah.

‫ متْفق عليِه‬. ‫ت اللسمماَءك الوعكوشكر‬ ‫ت‬


‫فويِمماَ مسمق و‬

“Pada tanaman yang disirami oleh air hujan, zakatnya sepersepuluh”. (Muttafaq
Alaihi).

Keumuman hadis di atas tidak dibatasi dengan jumlah hasil panennya.


Kemudian hadis itu ditaksis oleh hadis lain yang berbunyi:

‫ت‬ ‫لميِ ت‬
‫س فويِمماَ كدوومن مخومسة أمووكسسق م‬
‫ متْفق عليِه‬. ‫صمدقْمةم‬ ‫و م‬
“Tidak ada kewajiban zakat pada taanaman yang banyaknya kurang dari 5
watsaq (1000 kilogram)’. (Muttafaq Alaihi).

Dari kedua hadis di atas jelaslah bahwa tidak semua tanaman wajib dizakati,
kecuali yang sudah mencapai lima watsaq.

e. Mentakhsish Al Qur’an dengan Ijma’.

‫صملتة تمون يِمنووتم اولككممعتة مفاَوسمعووا إت م ىل تذوكتر اللته مومذكروا اولبمنويِمع‬


‫يِ تلل ل‬ ‫ت ت‬ ‫لت‬
‫ميِاَ أميِنلمهاَ ا ذيِمن آممنكوا إمذا كنود م‬

16 Ibid, Hlm. 42

15
“Apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu
kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al Jumuah : 9)

Menurut ayat tersebut, kewajiban shalat Jum’at berlaku bagi semua orang.
Tapi para ulama telah sepakat (ijma’) bahwa kaum wanita, budak dan anak-anak tidak
wajib shalat Jum’at.

f. Mentakhshish Al Qur’an dengan Qiyas.

‫اللزانتيِةك واللزاتن مفاَجلتكدوا ككلل واتحسد تموننهماَ تماَئمةم جولمدةس‬


‫م‬ ‫كم‬ ‫م‬ ‫و‬ ‫م م‬
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus dali dera, “ (QS. An-Nur : 2)

Keumuman ayat di atas ditakhshish oleh QS. An Nisa’ (4) : 25

‫ب‬ ‫صلن فمتإون أمتمني بتمفاَتحمشسة فمنعلميِتهلن نتصف ماَ عملىَ الومح ت‬
‫ت تمن الوعمذا ت‬ ‫فمتإمذا أكح ت‬
‫صمناَ م م‬ ‫و ك م م كو م‬ ‫مو‬ ‫وم‬ ‫و‬

“Apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka


mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman
dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami..”

Ayat di atas menerangkan secara khusus, bahwa hukuman dera bagi pezina
budak perempuan adalah saparuh dari dera yang berlaku bagi orang merdeka yang
berzina. Kemudian hukuman dera bagi budak laki-laki di-qiyaskan dengan hukuman
bagi budak perempuan, yaitu lima puluh kali dera.17

g. Mentakhshish dengan Pendapat Sahabat.

Jumhur ulama berpendapat bahwa takhshish hadis dengan pendapat sahabat tidak
diterima. Sedangkan menurut Hanafiyah dan Hanbaliyah dapat diterima jika sahabat
itu yang meriwayatkan hadis yang ditakhshishnya.

Misalnya:

17 Rosidin, Dedeng, Ilmu Ushul Fikih, Hlm. 43

16
‫ت ت‬ ‫ت‬
‫ب معون عوكترممةم أملن معلقيِاَ مرضمي اللهك معونهك محلرمق قْمنووعماَ فمنبمنلممغ ابومن معلباَسس فمنمقاَمل لموو ككون ك‬
‫ت‬ ‫معون أمليِو م‬
‫ب اللته مولممقتْمنولتْكنكهوم مكمماَ مقْاَمل‬
‫ب صللىَ اللهك معلمويِته وسلم مقْاَمل مل تكنعلذبوا بتعمذا ت‬
‫م ك م‬ ‫مم م‬
‫ت‬
‫أممناَ ملو أكمحلرقْونكهوم لملن النلت ل م‬
‫ متْفق عليِه‬. ‫صللىَ اللهك معلمويِته مومسلمم ممون بملدمل تديِنمهك مفاَقْونتْكنكلوهك ممون بملدمل تديِوننمهك فماَقْونتْكنلكووهك‬ ‫النلت ل‬
‫ب م‬
“Dari Ayyub dari Ikrimah bahwa ‘ali r.a membakar suatu kaum lalu berita itu
sampai kepada Ibnu Abbas maka dia berkata: ”Seandainya aku ada, tentu aku
tidak akan membakar mereka karena Nabi SAW telah bersabda: Janganlah
kalian menyiksa dengan siksaan Allah (dengan api), dan aku hanya akan
membunuh sebagaimana Nabi telah bersabda Siapa yang mengganti agamanya
maka bunuhlah dia".”

Menurut hadis tersebut, baik laki-laki maupun perempuan yang murtad


hukumnya dibunuh. Tetapi Ibnu Abbas (perawi hadis tersebut) berpendapat bahwa
perempuan yang murtad tidak dibunuh, hanya dipenjarakan saja.

Pendapat di atas ditolak oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa


perempuan yang murtad juga harus dibunuh sesuai dengan ketentuan umum hadis
tersebut. Pendapat sahabat yang mentakhshish keumuman hadis di atas tidak
dibenarkan karena yang menjadi pegangan kita, kata Jumhur Ulama, adalah lafadh-
lafadh umum yang datang dari Nabi. Di samping itu, dimungkinkan bahwa sahabat
tersebut beramal berdasarkan dugaan sendiri.18

h. Takhshis bi al-aql

Takhshis dengan akal itu dibolehkan seperti firman Allah:

‫اللهك مخاَلتكق ككلل مشويسء‬

18 Ibid., Hlm. 43

17
“Allah menciptakan segala sesuatu.” (QS ar-Ra’du: 16)

Kata segala sesuatu pada ayat tersebut menunjukan keseluruhan kecuali allah.
Karena allah yang menciptakan zatnya.

i. Takhsis bi al-hissi

‫ش معتظيِمم‬ ‫س‬ ‫إتلن وجودت امرأمعة متولتككهم وكأوتتيِ ت‬


‫ت مون ككلل مشويء مومملاَ معور م‬
‫كو م م و‬ ‫م م ك وم‬
“Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia
dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.”

Kata-kata segala sesuatu itu” tidak menunyukan semuanya . secara hissi


(panca indra) bahwa wanita tersebut tidak diberikan sebagian sesuatu yang ada pada
tangan Nabi Sulaiman as.19

19 Rosidin, Dedeng, Ilmu Ushul Fiki, Hlm. 44

18
BAB III PENUTUP

Kesimpulan

‘Am
Secara bahasa am adalah mencakup beberapa urusan. Secara istilah am yaitu
lafad yang dapat mencakup seluruh satuan-satuan yang tidak terbatas dalam jumlah
tertentu. Maka yang dimaksud dengan ‘am yaitu suatu lafadz yang dipergunakan
untuk menunjukkan suatu makna yang pantas (boleh) dimasukkan pada makna itu
dengan mengucapkan sekali ucapan saja. Seperti kita katakan “arrijal”, maka lafadz
ini meliputi semua laki-laki.

khas
Khas menurut bahasa ialah lawan daripada ‘Aam. Sedangkan menurut istilah
ialah suatu lafaz yang menunjukkan arti tunggal yang menggunakan bentuk mufrad,

baik pengertian itu menunjuk pada jenis (‫) إنساَن‬, atau menunjuk macam (‫) رجل‬, atau

juga menunjuk arti perorangan (‫) خاَلد‬, ataupun isim jumlah (‫) ثلثة‬.6

Singkatnya bahwa setiap lafaz yang menunjukkan arti tunggal itulah lafaz
khâs. Dan menurut kesepakatan para ulama bahwa setiap lafaz yang khâs,
menunjukkan pengertian yang qath’i yang tidak mengandung adanya kemungkinan-
kemungkinan yang lain.

Takhsis
Takhshîsh al-‘Am ialah penjelasan bahwa maksud al-mutakallim (syari’) dari
keumuman lafaznya adalah sebagiannya, tidak keseluruhannya, agar pendengar tidak
mengira selain yang dimaksud.9
Lafaz ‘Aamm terbagi atas dua, yaitu âm yang dapat dimasuki takhshîsh dan âm
yang tidak bisa dimasuki takhshîsh. Karena itu harus ada dalil yang menunjukkan
bahwa ia benar-benar ditakhshîsh.

19
Saran

penulis berharap agar pembaca dapat menggali lagi pengetahuan mengenai lafadz
‘Am dan Khas sehingga dapat memahami secara mendalam mengenai kaidah-kaidah
ushul fikih.

20
21
Daftar Pustaka

Dedeng Rosidin, 2014, Ilmu Ushul Fikih. Bandung: Ar Raafi.

Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, 1986, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh


Islami. Bandung: PT Al-Ma’arif.

Muhamad Abu Zahra, 1999, Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Rachmat Syafe’i, 2007, Ilmu Ushul Fiqih untuk UIN, STAIN, PTAIS. Bandung : CV
Pustaka Setia.

Jurnal Hukum Diktum, Volume 14 Nomor 2, Desember 2016: Makassar.

22

Anda mungkin juga menyukai