Panduan Manajemen Nyeri RS Dr. Moewardi
Panduan Manajemen Nyeri RS Dr. Moewardi
BAB I
DEFINISI
A. PENDAHULUAN
Semenjak IASP kongres pada tahun 1976, topik nyeri sudah dimunculkan
dan tendensi untuk mendapatkan sambutan dalam pengelolaannya sudah
semakin bertambah setiap tahunnya. Hal ini ditunjukkan dengan semakin
banyaknya penelitian tentang obat-obatan, teknologi diagnostik, tehnik intervensi
nyeri dan juga semakin banyaknya tenaga medis yang mulai "concern" dalam
menangani nyeri, malah sampai dibentuknya sekolah pendidikan spesialis dalam
bidang khusus menangani nyeri. Tetapi apakah itu sudah menyelesaikan
masalah tentang nyeri?
Suatu pesan yang harus diingat dan dikerjakan oleh para tenaga medis
adalah: penyembuhan nyeri harus dipertimbangkan sebagai salah satu
pemenuhan hak asasi manusia yang paling mendasar, nyeri harus diingat
sebagai tanda vital yang kelima, obat-obat anti nyeri yang esensial harus
tersedia disetiap negara, pelajaran mengenai nyeri harus dimasukkan kedalam
kurikulum pendidikan medis, mengembangkan pendidikan khusus spesialis nyeri.
B. PENGERTIAN
Kedua, bahwa perasaan yang sama dapat juga terjadi tanpa di sertai
dengan kerusakan jaringan yang nyata (pain without nociception). Keadaan nyeri
seperti ini disebut sebagai nyeri kronis.
Nyeri dapat diakibatkan oleh trauma, yaitu mekanik, thermis, dan elektrik,
neoplasma (jinak dan ganas), peradangan, gangguan sirkulasi darah dan
kelainan pembuluh darah serta trauma psikologis.
C. ETIOLOGI
Etiologi nyeri sangat beraneka ragam dengan lokasi nyeri yang juga bisa
terjadi di semua sistem organ tubuh dimana nyeri bisa akibat suatu penyakit
medis, trauma, pasca operasi, nyeri akibat tumor, kanker atau metastase kanker,
nyeri persalinan, dsb. Secara garis besar, etiologi nyeri dapat dirangkum sebagai
berikut :
1. Nyeri fisiologis
Pada nyeri fisiologis, stimulus nyeri berlangsung singkat dan tidak
menimbulkan kerusakan jaringan. Ketika stimulus nyeri hilang, proses di
nosiseptor juga ikut hilang sehingga tidak menimbulkan kerusakan jaringan
dan proses yang berkepanjangan. Nyeri fisiologis ini penting untuk
mempertahankan kelangsungan hidup setiap makhluk sebab sangat
diperlukan dalam mengaktivasi reflek menghindari rangsangan nyeri dan
meningkatkan kewaspadaan.
3. Nyeri neuropathic
Merupakan nyeri yang didahului oleh disfungsi atau lesi primer pada
sistem saraf, baik saraf perifer maupun saraf sentral. Nyeri neuropathic
antara lain : nyeri neuropati diabetika, trigeminal neuralgia, post herpetika
neuralgia, dll. Tanda dari nyeri neuropatik antara lain terjadi hiperalgesia,
alodinia dan nyeri spontan tiba-tiba, dengan rasa nyeri seperti terbakar,
tertusuk. Mekanisme terjadinya nyeri neuropatic sangat kompleks dan
sampai sekarang belum dipahami sepenuhnya.
D. Klasifikasi
Nyeri dapat diklasifikasi dalam berbagai cara, antara lain:
1. Menurut sumber terjadinya nyeri nosiseptif :
a. Nyeri somatik, terjadi akibat adanya eksitasi dan sensitisasi nosiseptor
di kulit dan jaringan seperti, tulang, jaringan lunak periartikuler, sendi
dan otot. Nyeri somatik ini sifatnya terlokalisir, intermiten atau terus
menerus. Nyeri somatik ditandai dengan rasa nyeri yang tajam, sakit
berdenyut atau seperti ditekan (Bloomstone & Borsook , 2002).
b. Nyeri viseral, berawal dari nosiseptor-nosiseptor yang terdapat pada
jaringan viseral, seperti jaringan kardiovaskuler, jaringan respirasi,
jaringan gastrointestinal, dan jaringan genitourinaria. Nosiseptor viseral,
tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak dirancang sebagai reseptor
nyeri tunggal karena organ visera jarang terpapar dengan kerusakan
yang berat. Berbagai stimuli yang merusak (pemotongan, terbakar,
clamping) tidak menghasilkan nyeri saat diberikan pada struktur visera.
Namun, inflamasi, iskhemia, peregangan mesenterikus, dilatasi atau
spasme organ berongga mungkin menghasilkan spasme yang berat.
Stimuli ini biasanya berkaitan dengan proses patologis dan nyeri yang
dihasilkan mungkin berperan sebagai pertahanan dengan menimbulkan
immobilisasi. Berbeda dengan nyeri somatik, nyeri ini tidak terlokalisasi
secara topografik, nyeri ini difus, bersifat intermiten atau konstan,
ditandai dengan rasa perih dan kram
2. Menurut penyebabnya :
a. Nyeri onkologik / nyeri kanker
b. Nyeri non-onkologik
3. Menurut asal embriologis jaringan :
a. Referred pain : nyeri alih dari suatu organ yang dirasakan nyeri di tempat
lain, misalnya nyeri akibat infark miokard dirasakan juga menjalar pada
lengan dan jari tangan kiri
b. Phantom pain : nyeri yang terjadi pada jaringan yang memiliki asal
embriologis yang sama, misalnya akibat amputasi kaki atau tangan yang
akan tetap dirasakan sebagai nyeri.
4. Menurut derajat nyerinya : nyeri ringan, sedang, dan berat
5. Menurut timbulnya nyeri : nyeri akut dan nyeri kronik
a. Nyeri akut: penyebabnya biasanya diketahui, dapat terjadi pada
pascaoperasi, trauma, proses penyakit sebelumnya dengan durasi relatif
pendek, dan bila penyebabnya dihilangkan maka nyeri juga akan
sembuh sendirinya, dan nyeri ini lebih dikenal dengan sebutan
"simptomatik".
b. Nyeri kronik: penyebabnya sering sulit diketahui, biasanya disertai oleh
penyakit sebelumnya atau injury misalnya rematoid artritis, osteoartritis,
nyeri tulang belakang, nyeri bahu, kanker, nyeri tetap terjadi meskipun
telah terjadi penyembuhan jaringan dalam waktu > 3 bulan, durasi
panjang, dan nyeri ini lebih dikenal dengan "penyakit". Tujuan
penanganan nyeri pada nyeri kronik adalah mengontrol nyeri, bukan
menyembuhkan nyeri. Components of chronic pain
- Persistent pain – pain that lasts 12 or more hours each day 1
- Breakthrough pain – flare of pain that “breaks through” the medicine
taken around-the-clock, which typically peaks in as little as 3 minutes
and may last up to 30 minutes 2,3
Klasifikasi berdasarkan nyeri akut dan nyeri kronik saat ini paling sering
digunakan pada praktek klinis sehari-hari.
F. Patofisiologi Nyeri
Rangkaian proses yang menyertai antara kerusakan jaringan (sebagai
sumber stimuli nyeri) sampai dirasakannya persepsi nyeri adalah suatu proses
elektro- fisiologik, yang disebut sebagai nosisepsi (“nociception”).
Ada 4 (empat) proses yang jelas yang terjadi mengikuti suatu proses
elektro- fisiologik nosisepsi, yakni :
RUANG LINGKUP
A. ASESMEN NYERI
1. Anamnesis
a. Riwayat nyeri sekarang
Onset nyeri: akut atau kronik, traumatic atau non-traumatik.
Karakter dan derajat keparahan nyeri; nyeri tumpul, nyeri tajam, rasa
terbakar, tidak nyaman, kesemutan, neuralgia.
Pola penjalaran / penyebaran nyeri.
Durasi dan lokasi nyeri.
Gejala lain yang menyertai misalnya, baal, kesemutan, mual/muntah,
atau gangguan keseimbangan / control motorik.
Faktor yang memperberat dan memperingan.
Kronisitas.
Hasil pemeriksaan dan penanganan nyeri sebelumnya, termasuk
respon terapi.
Gangguan / kehilangan fungsi akibat nyeri / luka.
Penggunaan alat bantu.
Perubahan fungsi mobilitas, kognitif, irama tidur, dan aktivitas hidup
dasar (activity of daily living).
Singkirkan kemungkinan potensi emergensi pembedahan, seperti
adanya fraktur yang tidak stabil, gejala neurologis progresif cepat yang
berhubungan dengan sindrom kuda ekuina.
2. Asesmen nyeri
Rileks 0
1 Ekspresi wajah
Meringis 1
Tidak menangis 0
2 Menangis Meringis 1
Menangis keras 2
Rileks 0
3 Pola nafas
Perubahan pola nafas 1
Tertahan 0
Rileks 0
4 Lengan
Fleksi 1
Ekstensi 1
Tertahan 0
Rileks 0
5 Tungkai
Fleksi 1
Ekstensi 1
Tidur 0
6 Keadaan terangsang Bangun 0
Rewel 1
Skor total 7
Menafsirkan skor perilaku yang ada pada FLACC, setiap kategori diberi
skor/nilai 0 – 2, yang menghasilkan skor/nilai 0 – 10.
N
Parameter Kondisi Skor
o
Tertidur dalam 1
Tertidur tidak dalam 2
1 Kesiagaan Mengantuk 3
Sepenuhnya terjaga dan siaga 4
Siaga penuh 5
Tenang 1
Sedikit cemas 2
2 Ketenangan Cemas 3
Sangat cemas 4
Gugup/panik 5
Tidak ada batuk/pernafasan spontan 1
Pernafasan spontan dengan sedikit respon pada
2
3 Gangguan ventilasi
pnafasan Batuk sesekali/resisten pada ventilasi 3
Aktif bernafas melawan ventilator/batuk reguler 4
Melawan ventilator, batuk atau tersedak 5
Nafas hening, tidak ada tangis 1
Tersedu sedan 2
4 Tangis Merintih 3
Tangisan 4
Jeritan 5
Tidak ada gerakan 1
Sekali-kali, gerakan ringan 2
5 Gerakan Berulang, gerakan ringan 3
fisik Gerakan bertenaga 4
Gerakan bertenaga termasuk batang tubuh dan
5
kepala
Secara total otot rileks, tidak ada kekuatan tonus
1
otot
Kekuatan tonus otot berkurang 2
6 Kekuatan
Kekuatan tonus otot normal 3
otot
Kekuatan tonus otot meningkat, fleksi jari tangan
4
dan kaki
Kekakuan otot /rigid dan fleksi jari tangan dan kaki 5
N
Parameter Kondisi Skor
o
Otot muka rileks 1
Tonus otot muka normal nada 2
7 Ketegangan Ketegangan jelas di beberapa otot muka 3
wajah
Jelas ketegangaan sepanjang otot muka 4
Otot muka menggeliat/menyeringai 5
Tekanan darah dibawah baseline 1
Tekanan darah konsisten di baseline 2
Peningkatan tekanan darah jarang 15% diatas
Tekanan 3
8 darah baseline (1-3 selama 2 menit pengamatan)
Peningkatan tekanan darah sering 15% diatas
baseline 4
baseline (>3 selama 2 menit pengamatan)
Peningkatan tekanan darah menetap sebesar 15%
5
atau lebih
Detak jantung dibawah baseline 1
Detak jantung konsisten di baseline 2
Peningkatan detak jantung jarang 15% diatas
Detak 3
9 jantung baseline (1-3 selama 2 menit pengamatan)
Peningkatan detak jantung sering 15% diatas
baseline 4
baseline (>3 selama 2 menit pengamatan)
Peningkatan detak jantung menetap sebesar 15%
5
atau lebih
Skor total 45
Menafsirkan skor pengamatan perubahan perilaku yang ada pada Comfort scale,
setiap kategori diberi skor/nilai 1 - 5, yang menghasilkan skor/nilai 9 – 45.
Asesmen ulang nyeri: dilakukan pada pasien yang dirawat lebih dari beberapa
jam dan menunjukkan adanya rasa nyeri, sebagai berikut;
Derajat nyeri yang meningkat hebat secara tiba-tiba, terutama bila sampai
menimbulkan perubahan tanda vital, merupakan tanda adanya diagnosis medis
atau bedah yang baru (mis; komplikasi pasca pembedahan, nyeri neuropatik).
3. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan umum
1) Tanda vital: tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu tubuh.
2) Ukurlah berat badan dan tinggi badan pasien.
3) Periksa apakah terdapat lesi/luka di kulit seperti jaringan parut akibat
operasi, hiperpigmentasi, ulserasi, tanda bekas jarum suntik.
4) Perhatikan juga adanya ketidaksegarisan tulang (mal-alignment), atrofi
otot, fasikulasi, diskolorisasi, dan edema.
b. Status mental
1) Nilai orientasi pasien
2) Nilai kemampuan mengingat jangka panjang, pendek, dan segera.
3) Nilai kemampuan kognitif.
4) Nilai kondisi emosional pasien, termasuk gejala-gejala depresi, tidak
ada harapan, atau cemas.
c. Pemeriksaan sendi
1) Selalu nilai kedua sisi untuk menilai kesimetrisan
2) Nilai dan catat pergerakan aktif semua sendi, perhatikan adanya
keterbatasan gerak, diskinesis, raut wajah meringis, atau asimetris
3) Nilai dan catat pergerakan pasif dari sendi yang terlihat
abnormal/dikeluhkan oleh pasien (saat menilai pergerakan aktif).
Perhatikan adanya limitasi gerak, raut wajah meringis atau asimetris.
4) Palpasi setiap sendi untuk menilai adanya nyeri.
5) Pemeriksaan stabilitas sendi untuk mengidentifikasi adanya cidera
ligament.
d. Pemeriksaan motorik
Nilai dan catat kekuatan motorik pasien dengan menggunakan kriteria pada
tabel 5 di bawah ini,
Derajat Definisi
5 Tidak terdapat keterbatasan gerak, mampu melawan tahan
kuat
4 Mampu melawan tahanan ringan
3 Mampu melawan gravitasi
2 Mampu bergerak/bergeser ke kiri dan kanan tetapi tidak
mampu melawan gravitasi
1 Terdapat kontraksi otot (inspkesi/palpasi), tidak
menghasilkan pergerakan
0 Tidak terdapat kontraksi otot
e. Pemeriksaan sensorik
B. Asesmen Awal
Nyeri sebagai bagian dari tanda vital ke 5 manusia, menjadi suatu hal
yang harus dikaji pada setiap pasien baru pada pemeriksaan awal. Diawali dari
pasien di instalasi rawat jalan dan instalasi gawat darurat, petugas akan menilai
respon nyeri setiap pasien sebagai bagian dari tanda vital manusia. Petugas akan
mengukur tanda vital seperti berikut; tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu, dan
nyeri.
Pada instalasi rawat inap, penilaian awal nyeri akan juga dilakukan oleh
petugas pemberi asuhan dalam rangkaian pemeriksaan awal pasien masuk ruang
rawat inap. Dalam menilai skor nyeri seorang pasien, petugas harus
menggunakan salah satu instrumen yang terukur dan sesuai dengan regulasi
manajemen nyeri di tingkat RSUD Dr. Moewardi. Beberapa instrumen tersebut
seperti yang dijelaskan pada halaman depan;NIPS, FLACC, Comfort Scale,
Wong Baker FACES rating scale.
C. Asesmen Lanjutan
Pada ruangan rawat intensif proses penilaian nyeri dilakukan setiap jam
oleh petugas pemberi layanan. Instrumen yang lazim dipergunakan mengukur
nyeri pasien pada ruang perawatan intensif adalah Comfort scale dengan
pendekatan pengamatan perubahan perilaku pasien.
TATALAKSANA
6) Stimulasi listrik
Stimulasi listrik dari sistem saraf dapat menghasilkan
analgesia pada pasien dengan nyeri akut dan kronis. Saat ini dapat
dilakukan secara transcutaneous, epidural, atau dengan
penanaman elektroda di sistem saraf pusat.
7) Stimulasi transkutan
Stimulasi listrik saraf transkutan (TENS) diperkirakan
menghasilkan analgesia dengan menstimulasi serabut aferen besar.
Mungkin dapat bermanfaat pada pasien dengan nyeri akut ringan
sampai sedang dan pasien dengan nyeri punggung kronis rendah,
arthritis, dan nyeri neuropatik.
Teori gerbang nyeri menunjukkan bahwa input aferen dari
serat epicritic besar bersaing dengan serat nyeri yang lebih kecil.
Sebuah teori alternatif menyatakan bahwa pada stimulasi tinggi,
TENS menyebabkan blok konduksi serat kecil aferen nyeri. Dengan
TENS konvensional, elektroda ditempatkan pada titik nyeri dan
distimulasi secara berkala oleh arus searah (DC) dari pembangkit
listrik (biasanya selama 30 menit beberapa kali sehari). Arus 10-30
mA dengan tekanan berkisar 50-80μs diterapkan pada frekuensi 80-
100 Hz.
Beberapa pasien yang sulit disembuhkan terhadap TENS
konvensional merespon dengan TENS frekuensi rendah (TENS
seperti akupunktur), yang menggunakan rangsangan dengan lebar
pulsasi > 200 μs pada frekuensi <10 Hz (selama 5-15 menit). Tidak
seperti TENS konvensional, stimulasi frekuensi rendah sebagian
dapat direverse dengan naloxone, menunjukkan adanya kerja opioid
endogen.
9) Stimulasi intraserebral
Stimulasi otak dalam dapat digunakan untuk nyeri kanker
berat, dan jarang untuk nyeri neuropatik yang berat yang berasal
dari proses nonmalignansi. Elektroda yang ditanamkan secara
stereotactic ke dalam daerah abu-abu periaqueductal dan
periventrikular untuk nyeri nosiseptif (terutama kanker dan nyeri
punggung kronis); untuk nyeri neuropatik, elektroda yang
ditanamkan ke nukleus thalamicus spesifik sensorik. Komplikasi
yang paling serius adalah perdarahan intrakranial dan infeksi
b) Intervensi psikologis
1) Teknik ini paling efektif bila dikerjakan oleh psikolog atau psikiater.
Termasuk didalamnya terapi kognitif, terapi perilaku, biofeedback
dan teknik relaksasi, serta hipnosis. Intervensi kognitif didasarkan
pada asumsi bahwa sikap pasien terhadap nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Sikap maladaptif berkontribusi
terhadap nyeri berkepanjangan dan kecacatan. Pasien diajarkan
keterampilan untuk mengatasi rasa sakit baik secara individual atau
dalam terapi kelompok. Teknik yang paling sering adalah
pengalihan perhatian. Terapi perilaku didasarkan pada pemikiran
bahwa kebiasaan pada pasien dengan nyeri kronis ditentukan oleh
konsekuensi dari kebiasaan tersebut.
2) Penguatan positif (seperti perhatian dari pasangan) malah
cenderung memperburuk rasa sakit, sedangkan penguatan negatif
mengurangi perilaku nyeri. Terapis menyatakan perilaku nyeri "tidak
baik" dan mencoba untuk memanipulasi penguatan, interfensi jenis
ini membutuhkan kerjasama dari anggota keluarga dan tenaga
kesehatan.
3) Teknik relaksasi mengajarkan pasien untuk mengalihkan respon
yang timbul dan peningkatan tonus simpatik yang berhubungan
dengan nyeri. Teknik yang paling sering digunakan adalah latihan
relaksasi otot yang progresif.
4) Biofeedback dan hipnosis adalah intervensi erat yang terkait.
Semua bentuk biofeedback didasarkan pada prinsip bahwa pasien
dapat diajarkan untuk mengontrol parameter fisiologis. Setelah
mahir daengan teknik ini, pasien mungkin dapat mengendalikan
faktor-faktor fisiologis yang memperburuk nyeri (misalnya,
ketegangan otot), dapat menimbulkan respon relaksasi, dan dapat
lebih efektif menerapkan keterampilan koping. Parameter fisiologis
yang paling umum digunakan adalah kekakuan otot (biofeedback
elektromiografi) dan suhu (biofeedback termal). Efektivitas hipnosis
berfariasi antara tiap individu.
5) Teknik hipnosis mengajarkan pasien untuk mengubah persepsi
nyeri dengan membuat mereka fokus pada sensasi lain,
melokalisasi nyeri ke tempat lain, dan menjauhkan diri dari
pengalaman nyeri melalui pengalihan pikiran. Tehnik relaksasi
terlihat bermanfaat pada pasien dengan sakit kepala kronis dan
gangguan muskuloskeletal.
Terapi manajemen nyeri yang berbasis pada psikologi;
1) Cognitive-behavioral therapy
2) Psycho therapy
3) Group therapy
4) Family therapy
5) Biofeedback & relaxation
6) Hypnosis and Guided Imagery
Keterangan:
Istilah:
Obat Non-obat
Analgesik Kognitif
Analgesik adjuvant Fisik
Anestesi Perilaku
e. Pemberian analgesik:
1) ‘by the ladder’: pemberian analgesik secara bertahap sesuai dengan
level nyeri anak (ringan, sedang, berat).
a) Awalnya, berikan analgesik ringan-sedang (level 1)
b) Jika nyeri menetap dengan pemberian analgesik level 1, naiklah ke
level 2 (pemberian analgesik yang lebih poten)
c) Pada pasien yang mendapat terapi opioid, pemberian parasetamol
tetap diaplikasikan sebagai analgesik adjuvant
d) Analgesik adjuvant
Merupakan obat yang memiliki indikasi primer bukan untuk nyeri
tetapi dapat berefek analgesik dalam kondisi tertentu
Pada anak dengan nyeri neuropatik, dapat diberikan analgesik
adjuvant sebgai level 1
Analgesik adjuvant ini lebih spesifik dan efektif untuk mengatasi
nyeri neuropatik
Kategori:
Analgesik multi-tujuan: antidepresan,agonis adrenergikalfa-2,
kortikosteroid, anestesi topical.
Analgesik untuk nyeri neuropatik: antidepresan,
antikonvulsan, agonis GABA, anestesi oral-lokal.
Analgesik untuk nyeri muskuloskeletal: relaksan otot,
benzodiazepin, inhibitor osteoklas, radiofarmaka.
2) ‘by the clock’: mengacu pada waktu pemberian analgesik.
Pemberian haruslah teratur, misalnya: setiap 4-6 jam (disesuaikan
dengan masa kerja obat dan derajat keparahan nyeri pasien), tidak
boleh prn (jika perlu) kecuali episode nyeri pasien benar-benar
intermitten dan tidak dapat diprediksi.
3) ‘by the child’: mengacu pada pemberian analgesik yang sesuai deng
kondisi masing-masing individu.
a) Lakukan monitor dan asesmen nyeri secar teratur
b) Sesuaikan dosis analgesik jika perlu
4) ‘by the mouth’: mengacu pada jalur pemberian oral
a) Obat harus diberikan melalui jalur yang paling sederhana, tidak
invasif, dan efektif; biasanya per oral.
b) Karena pasien takut dengan jarum suntik, pasien dapat menyangkal
bahwa mereka mengalami nyeri atau tidak memerlukan pengobatan.
c) Untuk mendapatkan efek analgesik yang cepat dan langsung,
pemberian parenteral terkadang merupakan jalur yang paling efisien.
d) Opioid kurang poten jika diberikan per oral.
e) Sebisa mungkin jangan memberikan obat via intramuskuler karena
nyeri dan absorbsi obat tidak dapat diandalkan.
f) Infus kontinyu memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan IM, IV,
dan subkutan intermitten, yaitu; tidak nyeri, mencegah terjadinya
penundaan/keterlambatan pemberian obat, memberikan kontrol nyeri
yang kontinyu pada anak.
Indikasi: pasien nyeri di mana pemberian obat oral dan opioid
parenteral intermitten tidak memberikan hasil yag memuaskan,
adanya muntah hebat (tidak dapat memberikan obat per oral).
5) Analgesik dan anestesi regional: epidural atau spinal
a) Sangat berguna untuk anak dengan nyeri kanker stadium lanjut yang
sulit diatasi dengan terapi konservatif.
b) Harus dipantau dengan baik.
c) Berikan edukasi dan pelatihan kepada staff, ketersediaan segera
obat-obatan dan peralatan resusitasi, dan pencatatan akurat
mengenai tanda vital/skor nyeri.
6) Manajemen nyeri kronik: biasanya memiliki penyebab multiple, dapat
melibatkan komponen nosiseptif dan neuropatik.
a) Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh
b) Pemeriksaan penunjang yang sesuai
c) Evaluasi faktor yang mempengaruhi
d) Program terapi: kombinasi terapi obat dan non-obat (kognitif, fisik,
dan perilaku)
e) Lakukan pendekatan multidisiplin
7) Berikut adalah tabel obat-obatan non-opioid yang sering digunakan untuk
anak:
Tabel 7 Obat-obatan non-opioid
PASIEN NYERI
ANAMNESIS
PEMERIKSAAN FISIK
KARAKTERISTIK NYERI
IMPLEMENTASI
TINDAKAN NYERI TIDAK
TERKONTROL
EVALUASI RESPON
NYERI
DPJP KONSUL KE TIM
NYERI/APS
SKOR NYERI; SKOR NYERI;
VAS <4 VAS >4
MANAJEMEN NYERI
FLACC <4 FLACC >4
OLEH TIM NYERI/APS
NIPS <3 NIPS >3
COMFORT <27 COMFORT >27
MONITORING EVALUASI
RESPON TERAPI
MANAJEMEN
NYERI NON
OBAT
SKOR NYERI; SKOR NYERI;
VAS <4 VAS >4
PENYERAHAN KEMBALI FLACC <4 FLACC >4
KE DPJP NIPS <3 NIPS >3
COMFORT <27 COMFORT >27
MANAJEMEN NYERI
OLEH TIM NYERI/APS
BAB IV
DOKUMENTASI
8. Edward, Morgan Jr. et al. 2006. Clinical Anesthesiology. 4th edition. Hal 359-
413
9. Berman, A., Snyder S.J., B., Erb, G. 2009. Buku Ajar Praktik Keperawatan
Klinis Kozier Erb. Jakarta: EGC.
10. Smeltzer, S.C., Bare, B.G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner & Suddath. 8th Ed. Jakarta: EGC.
12. Anand, KJS and the International Evidence-Based Group for Neonatal Pain.
Consesus Statement for the Prevention and Management of Pain in the
Newborn. Archives of Pediatric and Adolescent Medicine 2001; 155:173-
180
13. Lawrence J, et al. the development of tool to assess neonatal pain. Neonatal
Network 1993; 12(6): 59-66
Basoeki Soetardjo
Pembina Utama Madya
NIP. 19581018 198603 1 009