Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus Tipe II


2.1.1 Definisi Diabetes Melitus Tipe II

Diabetes Melitus tipe II adalah kondisi metabolisme umum yang


berkembang ketika tubuh gagal menghasilkan cukup insulin atau ketika
insulin gagal bekerja dengan baik, yang disebut sebagai resistensi insulin.
Insulin adalah hormon yang merangsang sel untuk mengambil glukosa
dari darah untuk digunakan sebagai energi (Hurtado & Vella, 2019).

2.1.2 Faktor Risiko Penyebab Diabetes Melitus Tipe II


Menurut (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia [PERKENI],
2015) terdapat 2 faktor risiko penyebab diabetes melitus tipe II yaitu
faktor risiko yang tidak dapat diubah dan faktor risiko yang dapat diubah
antara lain :
2.1.2.1 Faktor Risiko yang tidak dapat diubah
A. Riwayat keluarga dengan DM
Riwayat keluarga ayah, ibu dan saudara kandung menderita
penyakit DM tipe II maka berisiko untuk mengalami penyakit
DM tipe II (Susanti, 2019). Berdasarkan hasil penelitian
mengenai faktor risiko penyebab DM tipe II didapatkan hasil
tertinggi pada reponden yang mempunyai keturunan DM
dengan jumlah 75,9% (Trisnawati & Setyorogo, 2013).
B. Usia
Usia lebih dari 45 tahun memiliki risiko peningkatan kadar
glukosa darah, semakin bertambahnya usia mengakibatkan
perubahan pada sisten anatomi, fisiologis dan biokimia dalam
tubuh berdampak pada resistensi insulin (Susanti, 2019). Pada
penelitian Isnaini (2018) juga menunjukan hasil bahwa
penderita DM tipe II banyak terjadi pada usia 51-60 tahun.
Bertambahnya usia menjadi salah satu penyebab
ketidakstabilan kadar gula darah dalam tubuh karena terjadi
penurunan fungsi tubuh termasuk pada sistem endokrin terjadi
resistensi pada insulin.
C. Riwayat DM Gestasional
Riwayat DM gestasional adalah mempunyai riwayat DM
selama kehamilan atau riwayat melahirkan bayi dengan BB
lahir bayi > 4000 gram. Berdasarkan hasil penelitian Tjekyan
(2014) didapatkan 16 responden penderita DM tipe II memiliki
riwayat DM gestasional. Hal tersebut menunjukan terdapat
hubungan antara riwayat DM gestasional dengan DM tipe II.
2.1.2.2 Faktor Risiko Yang Dapat Diubah
A. Kurangnya Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik akan mempengaruhi aksi insulin dalam
metabolisme glukosa dan lemak pada otot rangka. Maka
aktivitas fisik dapat meningkatkan kerja otot, menstimulasi
penggunaan insulin dan pemakaian glukosa dalam darah
(Isnaini, 2018). Pada hasil penelitian Paramitha (2014) terdapat
hubungan aktivitas fisik dengan kadar gula darah puasa yang
menunjukan bahwa semakin rutin dalam melakukan aktivitas
fisik maka gula darah puasa mendekati nilai normal.
B. Berat badan lebih / obesitas
Berat badan lebih / obesitas memiliki indeks masa tubuh
(IMT) ≥23 kg/m2. Pada kondisi tubuh mengalami kelebihan
berat badan maka akan terjadi peningkatan asam lemak bebas
yang dapat menurunkan translokasi pengiriman glukosa ke
dalam sel dan peningkatan asam lemak bebas juga
menyebabkan resistensi insulin (Asmarani, Tahir, & Adryani,
2017). Hasil penelitian Isnaini (2018) menunjukan bahwa ada
hubungan antara indeks masa tubuh / IMT dengan penyakit
DM tipe II. Pada penelitian tersebut menunjukan hasil IMT dari
responden yang mempunyai penyakit diabetes melitus tipe II
paling banyak yaitu IMT ≥ 27 dan ≥ 29 kg/m2.
C. Diet nutrisi yang tidak sehat
Diet nutrisi yang tidak sehat yaitu diet dengan tinggi gula
dan rendah serat ( PERKENI, 2011). Risiko DM tipe II lebih
tinggi apabila diet rendah serat dengan indeks glikemik tinggi
serta asam lemak maka dapat menyebabkan resistensi insulin.
Terdapat hubungan antara kepatuhan diet jumlah kalori dengan
kadar gula darah pada penyakit DM tipe II. hal tersebut
menunjukan bahwa kepatuhan dalam diet dapat mengontrol
kadar gula darah dalam tubuh (Toharin, Cahyati, & Zainafree,
2015).
D. Dislipidemia
Dislipidemia yaitu keadaan dimana tubuh mengalami
peningkatan kadar lemak darah (trigliserida > 250 mg/dl)
(Fatimah, 2015). Hasil penelitian Virginia (2015) menunjukan
karakteristik responden pada DM tipe II banyak memiliki
dislipidemia.
2.1.3 Tanda dan Gejala Penyakit Diabetes Melitus II
Menurut Tarwoto (2011) tanda dan gejala pada kondisi tubuh
mengalami kadar glukosa darah yang meningkat maka penderita DM tipe
II dapat merasakan gelaja-gejala antara lain : poliuria / meningkatnya
frekuensi buang air kecil, polidipsia / meningkatnya rasa haus, polifagia /
meningkatnya rasa lapar, kelemahan dan keletihan, penglihatan kabur dan
kulit gatal, infeksi kulit dan gatal-gatal di sekitar penis dan vagina.
Berdasarkan hasil penelitian Fatimah (2015) tanda dan gejala yang dapat
dialami oleh penderita DM dibedakan menjadi dua yaitu akut dan kronik.
Gejala akut yang dapat dialami oleh penderita DM antara lain : polifagia /
banyak makan, polidipsi / banyak minum, poliuria / banyak kencing atau
sering kencing di malam hari, nafsu makan bertambah namun mengalami
penurunan berat badan dengan cepat dalam waktu 2-4 minngu sebanyak 5-
10 kg dan mudah lelah. Sedangkan untuk gejala kronik yang dapat terjadi
pada penderita DM tipe II antara lain : pada kulit terasa panas, seperti
ditusuk-tusuk dan merasa kebas, kram, kelelahan, mudah mengantuk,
pandangan kabur, kesemutan, terjadi penurunan kemampuan seksual dan
impotensi pada pria.
2.1.4 Komplikasi Penyakit Diabetes Melitus Tipe II
Menurut Smeltzer dan Brenda G (2013) komplikasi yang dapat
terjadi pada penderita dengan penyakit DM tipe II dibagi menjadi dua
yaitu komplikasi mikrovaskular dan komplikasi makrovaskular.
Komplikasi mikrovaskular antara lain kerusakan sistem ginjal (nefropati),
kerusakan saraf (neuropati) dan kerusakan pada mata (retinopati).
Sedangkan komplikasi makrovaskular antara lain : penyakit pembuluh
darah perifer menyebabkan gangrene sehingga luka sembuh dalam waktu
yang lama, jantung dan stroke. Berdasarkan hasil penelitian Edwina dan
Manaf (2015) jumlah penderita DM tipe II yang memiliki komplikasi
makrovaskular sebanyak 66,5% sedangkan yang mengalami komplikasi
mikrovaskular sebanyak 81,7%. Jenis komplikasi yang banyak terjadi
yaitu komplikasi mikrovaskular pada nefropati diabetik dengan jumlah
42,6% dan banyak terjadi pada penderita DM tipe II dengan jenis kelamin
perempuan yang memiliki usia <60 tahun. Berbeda dengan hasil penelitian
Gamayanti dkk (2018) menunukan bahwa penderita DM tipe II banyak
yang mengalami komplikasi neuropati diabetik dan penyakit jantung
koroner.
2.1.5 Penatalaksanaan DM tipe II
Penatalaksanaan pasien diabetes mellitus dikenal empat pilar penting
dalam mengontrol perjalanan penyakit dan komplikasi (Berawi & Putra,
2015). Empat pilar tersebut meliputi :
A. Diet
Perencanaan makan yang baik merupakan bagian penting dari
penatalaksanaan diabetes secara total. Diet seimbang akan mengurangi
beban kerja insulin dengan meniadakan pekerjaan insulin mengubah
gula menjadi glikogen. keberhasilan terapi ini melibatkan dokter,
perawata, ahli gizi, pasien itu sendiri dan keluarganya (Berawi &
Putra, 2015). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Prabowo &
Hastuti (2015) menyebutkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan
semakin patuh dalam diet, sehingga dapat disimpulkan terdapat
hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan kepatuhan diet
pada penderita diabetes mellitus serta ada kecenderungan semakin baik
dukungan keluarga semakin patuh dalam diet.
B. Aktivitas Fisik
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan latihan jasmani teratur (3-
4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit) merupakan salah satu
pilar dalam pengelolaan diabetes tipe 2. Latihan jasmani dapat
menurunkan berat badan (jalan, bersepeda santai, jogging, berenang).
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status
kesegaran jasmani. Perlu dibatasi atau jangan terlalu lama melakukan
kegiatan yang kurang gerak (menonton televisi). Hasil penelitian
menurut (Yitno & Riawan Wahyu, 2017) menunjukkan bahwa
Sebagian besar mempunyai kadar gula darah acak dalam kategori
diabet yaitu 20 responden (83%), sesudah di lakukan perlakuan jalan
kaki ringan 30 menit sebagian besar responden mempunyai kadar gula
darah acak dalam kategori diabet yaitu 14 responden (58.3%). Hasil
penelitian menunjukkan pengaruh latihan jalan kaki ringan 30 menit
terhadap penurunan kadar gula darah pada lansia penderita diabetes
melitus tipe 2. Terapi farmakologi diberikan bersama dengan
pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat).
C. Terapi Farmakalogi
Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
Hasil penelitian (Dedi Hartanto, 2017) menunjukkan bahwa responden
yang patuh terhadap terapi sebanyak 43,60% sedangkan yang lain
56,40% dianggap tidak patuh terhadap terapi. Selain itu tingkat
keberhasilan terapi responden sebesar 35,90% sedangkan sisanya yaitu
sebesar 64,10% dikatakan terapinya tidak berhasil. Terapi kombinasi
premixed insulin dengan biguanid merupakan terapi yang banyak
menunjukkan keberhasilan terapi. Terdapat hubungan yang positif dan
signifikan antara kepatuhan dengan keberhasilan terapi.
Kesimpulannya ada hubungan yang positif dan signifikan antara
kepatuhan dengan keberhasilan terapi berbasis kombinasi insulin dan
obat antidiabetik oral pada pasien DM tipe 2.
D. Edukasi
Salah satu aspek yang memegang peranan penting dalam
penatalaksanaan DM type 2 adalah edukasi. Edukasi kepada pasien
DM tipe 2 penting dilakukan sebagai langkah awal pengendalian DM
tipe 2. Edukasi diberikan kepada pasien DM dengan tujuan untuk
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan pasien sehingga pasien
memiliki perilaku preventif dalam gaya hidupnya untuk menghindari
komplikasi DM tipe 2 jangka panjang (Nuradhayani, Arman, &
Sudirman, 2017). Edukasi yang diberikan adalah pemahaman tentang
perjalanan penyakit, pentingnya pengendalian penyakit, komplikasi
yang timbul dan resikonya, pentingnya intervensi obat dan pemantauan
glukosa darah, cara mengatasi hipoglikemia, perlunya latihan fisik
yang teratur, dan cara mempergunakan fasilitas kesehatan. Mendidik
pasien bertujuan agar pasien dapat mengontrol gula darah, mengurangi
komplikasi dan meningkatkan kemampuan merawat diri
sendiri.(Berawi & Putra, 2015).
Keberhasilan pengelolaan diabetes melitus membutuhkan
partisipasi aktif pasien, keluarga, tenaga kesehatan terkait dan
masyarakat. Pencapaian keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan
edukasi yang komprehensif. Pada penelitian (Rahayu et al., 2014)
memberikan pendidikan dan pelatihan kepada penderita DM tentang
penyakit DM dan perawatannya, memberikan motivasi kepada
keluarga dan penderita bahwa perawatan secara rutin pada penderita
DM penting dilakukan untuk menghindari komplikasi, serta
mengadakan follow up secara berkala setiap bulan yaitu 2 kali
kunjungan rumah. Setelah program DSME selesai diselenggarakan,
kemudian dilakukan pengukuran tahap kedua (post test) untuk menilai
kualitas hidup penderita DM setelah intervensi.
2.2 Kualitas Hidup (Quality Of Life)
2.2.1 Pengertian Kualitas Hidup
Kualitas hidup merupakan persepssi seseorang terhadap hidupnya
berdasarkan nilai dan kepercayaan personal. Sudur pandang dalam kaulitas
hidup sangat bervariasi tergantung pada situasi. Peningkatan kualitas hidup
dilakukan melalui pencegahan dan menajemen penyakit kronis seperti
perawatan preventif, dukungan gaya hidup sehat, edukasi dan pengkajian
lingkungan (Kalliopi, 2015).
Kualitas hidup adalah cara mengukur aspek yang meliputi reaksi
emosional seseorang terhadap kejadian kehidupan, rasa pemenuhan dan
kepuasan hidup, kepuasan bekerja dan hubungan pribadi. Kualitas hidup
adalah hasil kesehatan yang penting dalam dirinya sendiri, mewakili tujuan
akhir dari semua intervensi kesehatan (Al-Khaledi et al., 2018).
2.2.2 Aspek-Aspek Kualitas Hidup
Berawal dari pemikiran mengenai aspek kualitas hidup yang dapat
berbeda antara individu satu dengan individu lainnya, berbagai studi kualitas
hidup meneliti aspek-aspek kehidupan yang penting bagi individu dalam
hubungannya dengan kualitas hidup. Ada banyak aspek kualitas hidup
menurut para ahli, diantaranya dapat dilihat pada tabel 2.1

Tabel 2.1

Aspek-Aspek Kualitas Hidup Menurut Para Ahli (Galloway, 2005)

Felce (1996) Schalock WHO-QOL Hagerty et al Cummins


(2000) definition (2001) (1997)
(1993)
Cacat/ Cacat / Indikator Penelitian Cacat
Psikologi Psikologi Kesehatan
Sosial
6 8 domain inti: 6 domain: 7 domain inti: 7 domain inti:
kemungkinan
domain:
Kesejahteraan Kesejahteraan Fisik Kesehatan Kesehatan
fisik fisik
Kesejahteraan Kesejahteraan Lingkungan Kesejahteraan Kesejahteraan
material material material material
Kesejahteraan Keterlibatan Hubungan Merasa satu Kesejahteraan
sosial sosial sosial bagian dari masyarakat
masyarakat
setempat.
Kesejahteraan - - Pekerjaan & Pekerjaan/aktivi
produktif aktivitas tas produktif.
produktif
Kesejahteraan Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan Kesejahteraan
emosional emosional Hak emosional emosional.
Hak atau - - -
kesejateraan
warga negara Hubungan
- antar pribadi - Hubungan Hubungan
dengan sosial keluarga
keluarga dan
teman-teman
- Pengembangan - - -
pribadi
- Penentuan Tingkat - -
nasib sendiri kemandirian
- - Spiritual - -
- - - Keselamatan Rasa aman
pribadi

Berdasarkan perbandingan aspek-aspek kualitas hidup oleh beberapa


ahli,maka aspek kualitas hidup yang digunakan dalam penelitian ini mengacu
pada aspek-aspek kualitas hidup yang terdapat pada World Heath Organization
Quality of Life Bref version (WHOQoL-BREF) karena sudah mencakup
keseluruhan kualitas hidup. Menurut WHOQOL Group (Power dalam Lopers dan
Snyder, 2004), kualitas hidup memiliki enam aspek yaitu kesehatan fisik,
kesejahteraan psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial, hubungan dengan
lingkungan, dan keadaan spiritual. WHOQoL ini kemudian dibuat lagi menjadi
instrument WHOQoL –BREF dimana enam aspek tersebut dipersempit menjadi
empat aspek yaitu kesehatan fisik, kesejahteraan psikologis, hubungan sosial dan
hubungan dengan lingkungan ( Power, dalam Lopez dan Snyder, 2014)

a. Aspek Kesehatan fisik

Kesehatan fisik dapat mempengaruhi kemampuan individu untuk


melakukan aktivitas. Aktivitas yang dilakukan individu akan memberikan
pengalaman pengalaman baru yang merupakan modal perkembangan ke tahap
selanjutnya. Kesehatan fisik mencakup aktivitas sehari-hari, ketergantungan
pada obat-obatan dan bantuan medis, energi dan kelelahan, mobilitas (keadaan
mudah bergerak), sakit dan ketidak nyamanan, tidur dan istirahat, kapasitas
kerja.

b. Aspek psikologis

Aspek psikologis yaitu terkait dengan keadaan mental individu. Keadaan


mental mengarah pada mampu atau tidaknya individu menyesuaikan diri
terhadap berbagai tuntutan perkembangan sesuai dengan kemampuannya, baik
tuntutan dari dalam diri maupun dari luar dirinya. Aspek psikologis juga terkait
dengan aspek fisik, dimana individu dapat melakukan suatu aktivitas dengan
baik bila individu tersebut sehat secara mental. Kesejahteraan psikologis
mencakup bodily image dan appearance, perasaan positif, perasaan negatif, self
esteem, spiritual/agama/keyakinan pribadi, berpikir, belajar, memori dan
konsentrasi.

c. Aspek hubungan sosial

Aspek hubungan sosial yaitu hubungan antara dua individu atau lebih
dimana tingkah laku individu tersebut akan saling mempengaruhi, mengubah,
atau memperbaiki tingkah laku individu lainnya. Mengingat manusia adalah
mahluk sosial maka dalam hubungan sosial ini, manusia dapat merealisasikan
kehidupan serta dapat berkembang menjadi manusia seutuhnya. Hubungan
sosial mencakup hubungan pribadi, dukungan sosial, aktivitas seksual.

d. Aspek lingkungan

Aspek lingkungan yaitu tempat tinggal individu, termasuk di dalamnya


keadaan, ketersediaan tempat tinggal untuk melakukan segala aktivitas
kehidupan, termasuk di dalamnya adalah saran dan prasarana yang dapat
kehidupan. Hubungan dengan lingkungan mencakup sumber financial,
kebebasan, keamanan dan keselamatan fisik, perawatan kesehatan dan social
care termasuk aksesbilitas dan kualitas; lingkungan rumah, kesempatan untuk
mendapatkan berbagai informasi baru maupun keterampilan (skill), partisipasi
dan mendapat kesempatan untuk melakukan rekreasi dan kegiatan yang
menyenangkan di waktu luang, lingkungan fisik termasuk
polusi/kebisingan/keadaan air/iklim, serta transportasi.

2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup


2.2.3.1 Usia
Berdasarkan hasil penelitian Fitri, Anggraeni, and Juliningrum
2018 usia mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan
perawatan mandiri DM. Pasien DM yang tidak dapat melakukan
perawatan secara mandiri dapat menurunkan kualitas hidupnya. Status
kualitas hidup berhubungan dengan usia yakni semakin bertambah usia
seseorang maka semakin menurun nilai kualotas hidupnya.
2.2.3.2 Jenis kelamin
Perempuan lebih beresiko terkena penyakit DM disebabkan secara
fisik perempuan mempunyai peluang lebih besar daripada laki-laki untuk
terjadi obesitas sentral dan peningkatan indeks masa tubuh. Selain itu
faktor lainnya karena kondisi tertentu yang hanya terjadi pada wanitayaitu
kehamilan (gestasional), wanita yang memiliki riwayat persalnan dengan
bayi bedar (lebih dari 4 kg) memiliki resiko terkena DM tujuh kali lipat
dibandingkan dengan wanita yang hamil normal (Fisik, 2019).
2.2.3.3 Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan juga menentukan kemampuan seseorang dalam
memahami pengetahuan yang diperoleh, yakni semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang maka semakin mudah seseorang menerima
informasi yang diperoleh. Pengetahuan seseorang dalam mencegah
komplikasi baik jangka pendek maupun jangka panjang dapat
meningkatkan kualitas hidupnya (A. Fitri et al., 2018).
2.2.3.4 Status sosial ekonomi
Status sosial ekonomi berkaitan dengan penghasilan yang di
dapatkan oleh responden. Sosial ekonomi yang rendah merupakan faktor
resiko rendahnya kualitas hidup pasien DM tipe 2. Orang yang memiliki
pendapatan diatas UMR beresiko lebih besar mengalami DM dibadingkan
dengan orang yang memiliki pendapatan dibawah UMR. Hal tersebut
dikarenakan perubahan sosial ekonomi akan mengakibtakan pola makan
masyarakat yang cenderung menjauhkan konsep makanan seimbang,
sehingga berdampak negatif terhadap kesehatan dan gizi (Luthfa &
Fadhilah, 2019).
2.2.3.5 Lama menderita DM
Lama menderita penyakit DM dan adanya komplikasi memiliki
hubungan dengan kualitas hidup penderitanya (Luthfa & Fadhilah, 2019).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Fisik, 2019) menyatakan
bahwa responden yang baru menderita DM tipe 2 selama 4 bulan akan
menunjukkan efikasi diri yang baik dan dapat melakukan perawatan diri
yang baik sehingga mampu mempertahankan kialitas hidupnya. Namun,
jika disertai dengan komplikasi maka pasien akan memiliki fikasi diri yang
rendah dan dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.
2.2.3.6 Status pernikahan
Orang yang menikah memiliki resiko DM 1,72 kali dibandingkan
dengan orang yang bekum menikah. Hal tersebut dapat berpengaruh
terhadap kebiasaan, pola makan dan aktivitas yang dijalankan setelah
menikah. Pada pasien yang janda atau duda memiliki kualitas hidup yang
lebih rendah atau merasa tidak puas. Hal imi terjadi karena hilangnya
pendampingan dalam mendukung terapi dan perawatan yang ada dalam
penaggulangan penyakit yang dapat mempengaruhi kualitas hidupnya (A.
Fitri et al., 2018).
2.2.3.7 Komplikasi
Pasien DM tipe 2 memiliki kualitas hidup cukup baik berdasarkan
kuesioner WHO mengenai kualitas hidup. Kualitas hidup yang rendah
dihubungkan dengan berbagai komplikasi dari DM tipe 2 seperti ganggren,
hipertensi, katarak, dan obesitas, sehingga komplikasi merupakan salah
satu penyebab rendahnya kualitas hidup pasien DM tipe 2 (A. Fitri et al.,
2018).
2.2.4 Cara Pengukuran Kualitas Hidup
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan oleh (Tiyas, 2017)
didapatkan instrumen pengukuran kualitas hidup sebagai berikut :
a. Instrument The World Health Organisation Quality of Life-Breif
(WHOQLO-Breif)
WHOQOL-Breif dan WHOOL-100 merupakan instrument untuk
mengukur kualitas hidup. Struktur WHOOL-100 memiliki enam domain
yaitu kesehatan fisik, psikologis, tingkat aktivitas, hubungan sosial,
lingkungan, dan spiritual/agama/kepercayaan. WHOQOL-Breif
merupakan instrument untuk mengukur kualitas hidup versi singkat dari
WHOQOL-100. WHOQOL-Breif adalah instrument yang diuji validitas
dan reabilitasnya untuk mengembangkan penilaian kualitas hidup
berdasarkan konsep yang dipakai di seluruh Negara yaitu WHOQOL-
100. Terdapat empat domain yang akan di ukur oleh WHOQOL-Brief ini
yakni kesehatan fisik, psikologis, sosial dan lingkungan.
b. Instrument Diabetes Quality of Life (DQOL)
Instrument ini disusun oleh Munoz dan Thiagrajan (1998) yang
telah diterjemahkan oleh Tyas(2008) dan dilakukan uji validitas serta
reliabilitas oleh Yusra(2011) dalam penelitiannya yang berjudul
Hubungan Natara Dukungan Keluarga dengan Kualitas Hidup Pasien
Diabetes mellitus Tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit
Umum Pusat fatmawati Jakarta. Indikator pengukuran Diabetes Quality
of Life (DQOL) yaitu kesehatan fisik, psikologis, hubungan sosial dan
lingkungan.

2.3 Diabetes Self Management Education (DSME)


2.3.1 Definisi Diabetes Self Management Education (DSME)
Diabetes Self Management Eduacation (DSME) adalah suatu proses
berkelanjutan yang dilakukan untuk menfasilitasi pengetahuan,
keterampilan, dan kemampuasn pasien DM untuk melakukan perawatan
mandiri (Powers et al., 2017).
DSME merupakan suatu proses pemberian edukasi kepada pasien
mengenai aplikasi strategi perawatan diri secara mandiri untuk
mengoptimalkan kontrol metabolic, mencegah komplikasi, dan memperbaiki
kualitas hidup pasien DM (Ningsih, Fatmasari, Johan, & Yuswanto, 2018).
2.3.2 Tujuan DSME
Menurut Powers et al (2015) DSME/S memiliki tujuan untuk
mengurangi atau menurunkan biaya perawatan di klinis, menurunkan resiko
komplikasi serta memberikan support dalam mendukung kualitas hidup
pasien. Tujuan umum DSME adalah mendukung pengambilan keputusan
perawatan diri, pemecahan masalah, dan kolaborasi aktif dengan tim
kesehatan untuk meningkatkan hasil klinis, status kesehatan, dan kualitas
hidup (Ningsih et al., 2018).
2.3.3 Manfaat DSME

DSME/S dapat mengurangi biaya administrasi rumah sakit dimana


biaya perawatan bagi penderita DM akan berhubungan dengan rendahnya
resiko komplikasi. Program DSME/S ini dapat menurunkan biaya perawatan
pasien DM dan mengurangi komplikasi yang ada. Selain penting, program
ini dapat memberikan efek positif pada psikologis, dan aspek tingkah laku
pasien DM sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien (Powers et al,
2015).
2.3.4 Penatalaksanaan Diabetes Self Management Education (DSME)
Diabetes Self-Management Education dapat dilakukan secara induvidu
maupun kelompok baik diklinik, rumah, maupun komunitas, pelaksanaan
Diabetes Self-Management Education (DSME) dapat dilakukan sebanyak 4
sesi, sesi pertama pola makan dan diet Diabetes Millitus, sesi ke dua
olahraga atau aktivitas fisik, sesi ke tiga kontrol gula darah, sesi ke
perawatan diabetes, dengan durasi waktu selama 45 menit, dengan judul
jurnal Increasing Diabetes Self-Management Educationin Community
Settings (Noris et, aal, 2012).
2.3.5 Prinsip DSME
Prinsip utama DSME adalah pendidikan DM efektif dalam
memperbaiki hasil klinis dan kaulitas hidup pasien meskipun dalam jangka
pendek, DSME telah berkembang dari model pengajaran primer menjadi
lebih teoritis yang berdasarkan pada model pemberdayaan pasien, tidak ada
program edukasi yang terbaik, namun program edukasi yang
menggabungkan strategi perilaku dan psikososial terbukti dapat
memperbaiki hasil klinis, dukungan yang berkelanjutan merupakan aspek
yang sangat penting untuk mempertahankan kemajuan yang diperoleh
pasien selama program DSME, dan penetapan tujuan-perilaku adalah
strategi efektif untuk mendukung self-care behavior (Ningsih et al., 2018).
2.3.6 Standar DSME
Menurut (Standards and Education 2018) DSME memiliki 10 standar
yang terbagi menjadi 3 domain, yaitu :
a. Struktur
1) Standar 1 (internal structure) : DSME merupakan struktur organisasi,
misi, dan tujuan yang menjadikan DSME sebagai bagian dari
perawatan untuk pasien DM.
2) Standar 2 (eksternal input) : Kesatuan DSME harus menunjukkan
suatu tim untuk mempromosikan kualitas DSME. Tim tersebut harus
terdiri dari tenaga kesehatan , pasien DM, komunitas, dan pembuat
kebijakan.
3) Standar 3 (acess) : Kesatuan DSME akan mengidentifikasi kebutuhan
pendidikan kesehatan merupakan upaya untuk mendukung
peningkatan kualitas hidup bagi pasien DM. DSME mengidentifikasi
kebutuhan pendidikan kesehatan dari populasi target dan
mengidentifikasi sumber-sumber yang dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan tersebut.
4) Standar 4 (program coordination) : Koordination DSME akan ditunjuk
untuk mengawasi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi DSME.
Koordinator yang ditunjuk harus memiliki kemampuan akademik dan
pengakaman dalam perawatan penyakit kronis dan manajemen
program edukasi.
b. Proses
1) Standar 5 (instructional staff) : DSME dapat oleh satu atau lebih
tenaga kesehatan. Educator DSME harus memiliki kemampuan
akademik dan pengalaman dalam memberikan edukasi dan
manajemen DM atau harus memiliki sertifikat sebagai edukator.
Edukator DSME mempersiapkan materi yang akan disampaikan
secara berkelanjutan.
2) Standar 6 (curriculum) : penyusunan kurikulum harus
menggambarkan fakta DM, petunjuk praktek, dengan kriteria untuk
hasil evaluasi dan akan digunakan sebagai kerangka kerja DSME.
Pengkajian kebutuhan pasien DM dan pre-DM akan mengidentifikasi
informasi-informasi yang harus diberikan kepada pasien.
3) Standar 7 (individualization) : Pengkajian individual dan perencanaan
edukasi akan dilakukan oleh kolaborasi antara pasien dan educator
untuk menentukkan pendekatan pelaksanaan DSME dan strategi
dalam mendukung manajemen pasien. Strategi yang digunakan adalah
mempertimbangkan aspek budaya dan etnis pasien, usia,
pengetahuan, keyakinan dan sikap, kemampuan belajar, keterbatasan
fisik, dukungan keluarga, dan status finansial pasien. Pengkajian,
perencanaan, intervensi dan edukasi akan didokumentasikan pada
dokumen.
4) Standar 8 (ongoing support) : Perencanaan follow-up pasien untuk
mendukung DSME akan dilakukan dengan kolaborasi antara pasien
dan educator. Hasil follow-up tersebut akan diinformasikan kepada
seluruh pihak yang terlibat dalam DSME.
c. Hasil
1) Standar 9 (patient progress) : Kesatuan DSME akan mengukur
keberhasilan pasien dalam mencapai tujuan dan hasil klinis pasien
dengan menggunakan teknik pengukuran yang tepat untuk
mengevaluasi efektifitas dari DSME.
2) Standar 10 (quality improvement) : Kesatuan DSME akan mengukur
efektifitas proses edukasi dan mengidentifikasikan peluang untuk
perbaikan DSME dengan menggunakan perencaaan perbaikan kualitas
DSME secara berkelanjutan yang menggambarkan peningkatan
kualitas berdasarkan kriteria hasil yang dicapai.
2.3.7 Komponen DSME
Menurut (Ningsih et al. 2018) komponen dalam DSME yaitu :
a. Pengetahuan dasar tentang diabetes, meliputi definisi, patofisiologi
dasar, alasan pengobatan, dan komplikasi diabetes.
b. Pengobatan, meliputi definisi, tipe, dosis, dan cara penyimpanan.
Penggunaan insulin meliputi dosis, jenis insulin, cara penyuntikan, dan
lainnya. Penggunaan Obat Hipoglikemi Oral (OHO) meliputi dosis,
waktu minum, dan lainnya,
c. Monitoring, meliputi penjelasan monitoring yang perlu dilakukan,
pengertian, tujuan, dan hasil dari monitoring, dampak hasil dan strategi
lanjutan, peralatan yang digunakan dalam monitoring, frekuensi dan
waktu pemeriksaan.
d. Nutrisi, meliputi fungsi nutrisi bagi tubuh, pengaturan diet, kebutuhan
kalori, jadwal makan, manajemen nutrisi saat sakit, kontrol berat badan,
gangguan makan dan laiinya.
e. Olahraga dan aktivitas, meliputi kebutuhan evaluasi kondisi medis
sebelum melakukan olahraga, penggunaan alas kaki dan alat pelindung
dalam berolahraga, pemeriksaan kaki dan alas kaki yang digunakan, dan
pengaturan kegiatann saat kondisi metabolisme tubuh sedang buruk.
f. Stress dan psikososial, meliputi identifikasi faktor yang menyebabkan
terjadinya distress, dukungan keluarga dan lingkungan dalam kepatuhan
pengobatan.
g. Perawatan kaki, meliputi insidensi gangguan pada kaki, penyebab tanda
dan gejala, cara mencegah, komplikasi, pengobatan, rekomendasi pada
pasien jadwal pemeriksaan berkala.
h. Sistem pelayanan kesehatan dan sumber daya, meliputi pemberian
informasi tentang tenaga kesehatan dan sistem pelayanan kesehatan yang
ada di lingkungan pasien yang dapat membantu pasien.
2.3.8 Tingkat Pembelajaran DSME
Menurut Jones (2008), tingkat pembelajaran DSME terbagi menjadi tiga
tingkatan, yaitu :
a. Survival/basic level
Edukasi yang diberikan kepada pasien pada tingkat ini meliputi
pengetahuan, keterampilan dan motivasi untuk melakukan perawatan
diri dalam upaya mencegah, mengidentifikasi dan mengobati komplikasi
jangka pendek.
b. Intermediate level
Edukasi yang diberikan kepada pasien pada tingkat ini meliputi
pengetahuan, keterampilan dan motivasi untuk melakukan perawatan
diri dalam upaya mencapai kontrol metabolic yang direkomendasikan,
mengurangi resiko komplikasi jangka panjang dan menfasilitasi
penyesuaian hidup pasien.
c. Advanced level
Edukasi yang diberikan kepada pasien pada tingkat ini meliputi
pengetahuan, keterampilan dan motivasi untuk melakukan perawtan diri
dalam upaya mendukung manajemen DM secara intensif untuk kontrol
metabolic yang optimal dan integrasi penuh ke dalam kegiatan
perawatann kehidupan pasien.

2.4 Pendidikan Kesehatan


2.4.1 Pengertian Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan merupakan salah satu bentuk promosi melalui
komunikasi. Pendidikan kesehatan merupakan proses belajar yang dilakukan
secara sadar oleh individu, kelompok atau masyarakat untuk mengubah
perilaku dan mencapai tujuan dalam kehidupan yang sehat (Mubarak &
Cahyatin, 2009). Pendidikan kesehatan yang diberikan pada klien
merupakan proses pendampingan untuk membuat klien memahami
informasi mengenai penyakitnya sehingga informasi yang diberikan dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari (Kok & Vries, 2015).
2.4.2 Pendidikan Kesehatan pada DM tipe II
Pendidikan kesehatan yang dibutuhkan pada penderita diabetes
melitus tipe II pada tingkat awal menurut PERKENI (2015) antara lain :
mengetahui tentang penyakit diabetes melitus, mengetahui risiko komplikasi
akut dan kronis diabetes melitus, mengetahui Intervensi non farmakologis
dan farmakologi pada diabetes melitus, monitor kadar glukosa darah dan
memahami hasil dari pengukuran glukosa darah, mengetahui gejala dan
penanganan hipoglikemia atau penurunan kadar glukosa darah dan
mengetahui pentingnya aktivitas fisik yang teratur, perawatan kaki dan
penggunaan fasilitas perawatan kesehatan
2.4.3 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Proses Pendidikan Kesehatan
Berdasarkan hasil penelitian (Ibrahim, 2015) perspektif pasien
mengenai komunikasi perawat dalam pendidikan kesehatan didapatkan hasil
antara lain : (1) faktor yang tedapat pada individu antara lain : kurang
berkonsentrasi, tidak berkenan pada perawat yang memberikan informasi,
tidak percaya pada informasi kesehatan, kesalahpahaman dalam menerima
informasi dan timbulnya gejala sakit pada klien selama pemberian informasi
kesehatan, (2) faktor yang terdapat pada perawat antara lain : kurangnya
keterampilan dalam berkomunikasi dan penggunaan media yang tidak
sesuai, (3) faktor yang terdapat pada lingkungan antara lain : adanya
kegaduhan atau kebisingan dan staf rumah sakit tidak kooperatif, (4) faktor
yang terdapat pada informasi antara lain : informasi tidak sesuai dengan
penyakit klien, informasi tidak jelas dan tidak dapat dipahami dan informasi
yang diberikan tidak menarik.
2.4.4 Media Pendidikan Kesehatan
Media merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi proses
pendidikan kesehatan. Media digunakan sebagai alat bantu untuk
menyampaikan informasi pendidikan kesehatan secara sistematis.
Peningkatan pengetahuan dapat diperoleh dari banyaknya indera yang
digunakan dalam proses penerimaan informasi kesehatan (Notoatmodjo,
2012).
2.4.4.1 Media Sosial
Nasrullah (2016) istilah media bisa dijelaskan sebagai sarana
penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan. Makna sosial itu
merujuk pada saling bekerja sama (co-operative work), yaitu terdapatnya
karakter kerja sama atau saling mengisi di antara individu dalam rangka
membentuk kualitas baru dari masyarakat. Sehingga dapat dirtikan bahwa,
melalui media sosial seseorang dapat saling terhubung dengan setiap orang
yang tergabung dalam media sosial yang sama untuk berbagi informasi
dan berkomunikasi.
Media sosial memiliki sifat yang lebih interaktif apabila
dibandingkan dengan bentuk media tradisional seperti radio maupun
televisi. Adapun karakteristik media sosial menurut Nasrullah (2016),
yaitu: (1) Jaringan (network). Media sosial memiliki karakter jaringan
sosial; (2) Informasi (information). Informasi menjadi entitas yang penting
dari media sosial; (3) Arsip (archive). Arsip mengubah cara menghasilkan,
mengakses, hingga menaruh informasi; (4) Interaksi (interactivity).
Pengguna bisa berinteraksi, baik di antara pengguna itu sendiri maupun
dengan produser konten media; (5) Simulasi sosial (simulation of society).
Pengguna media sosial bisa dikatakan sebagai warga negara digital; dan
(6) Konten oleh pengguna (user-generated content). Konten sepenuhnya
milik dan berdasarkan kontribusi pengguna atau pemilik akun.
Media sosial mudah digunakan untuk mengirimkan pesan, foto,
video, panggilan suara, panggilan video hingga wadah informasi
komunikasi antar kelompok. Pesan dapat dikirimkan dengan massive,
efektif dan real time. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa media
sosial telah menjadi sumber peningkatan aspek kognitif hingga
keterampilan di bidang kesehatan. Internet dan media sosial pada era
teknologi saat ini memiliki peluang yang sangat besar dalam pencapaian
informasi kesehatan. Aspek terpenting dalam pencapaian kesuksesan
pembelajaran berbasis media sosial adalah kualitas fasilitator dan target
pencapaian pembelajar yang ditentukan oleh learner yang distimulasi
dengan penjelasan kurikulum, dan core utama. Aspek fasilitator memiliki
nilai fundamental pencapaian learning output dan pencapaian kepuasan
belajar. Interaksi fasilitator dan learner merupakan aspek penting lain
dalam peningkatan pengetahuan berbasis media sosial (D. E. Fitri, Sari, &
Krianto, 2019).
2.4.4.2 Aplikasi WhatsApp
WhatsApp adalah salah satu aplikasi smartphone yang dapat
dimanfaatkan untuk mengirim pesan, gambar, video, dan video call hingga
membuat kelompok diskusi. Whatsapp merupakan sosial media untuk
berkomunikasi sesama pengguna, sebagai alat mengirim atau menerima
pesan. Pengguna whatsapp dapat mengirim atau menerima pesan yang
dapat di jadikan sebagai media mengirim atau menerima informasi
(Ekadinata & Widyandana, 2017).
2.4.4.3 DSME dengan teknologi Smartphone (WhatsApp)
Program edukasi melalui pemanfaatan pengiriman teks dan gambar
edukasi tentang Diabetes Self Management Education (DSME) pada
aplikasi WhatsApp efektif meningkatkan pengetahuan. WhatsApp dapat
menjadi media peningkatan edukasi kesehatan berbasis. Kelebihan edukasi
menggunakan WhatsApp adalah materi mudah diakses dan cost effective (D.
E. Fitri et al., 2019).
Dalam sebuah penelitian Nopryan Ekadinata & Doni Widyandana
(2017), menjelaskan efek positif penggunaan gambar dan teks sebagai media
edukasi, dibuktikan dengan meningkatnya skor pengetahuan. Metode
pengiriman gambar dan teks edukasi adalah salah satu terobosan yang paling
sering diaplikasikan di media sosial sebagai upaya meningkatkan aspek
kognitif. Program edukasi melalui WhatsApp dapat dioptimalkan melalui
pengiriman pesan teks edukasi dan pesan bergambar. Beberapa bukti
empirik telah menjelaskan evidence based dampak positif pengiriman pesan
gambar dan teks edukatif pada media sosial untuk meningkatkan
pengetahuan. Aspek diskusi pada fitur WhatsApp memiliki peluang
signifikan dalam meningkatkan minat learner dalam program peningkatan
kognitif.
Pengiriman pesan pendek melalui ponsel lebih efektif dan cost
effective dibandingkan kegiatan penyuluhan. Pengiriman pesan pendek dapat
dilakukan dalam satu waktu dan mencakup segmentasi masyarakat luas.
Penggunaan informasi kesehatan bergambar merupakan aspek potensial
penerima pesan dengan tingkat literasi rendah. Penyampaian informasi
melalui gambar mampu meningkatkan minat belajar penerima
pesan. Penelitian ini memanfaatkan WhatsApp sebagai media pengiriman
informasi melalui pesan bergambar dan pesan teks. Penentuan pemilihan
media pengiriman pesan merupakan aspek penting dalam optimalisasi
peningkatan aspek kognitif (Ekadinata & Widyandana, 2017).
Era digital merupakan peluang promotor kesehatan dalam
pengembangan kapasitas masyarakat dengan pemanfaatan media daring.
Media promosi kesehatan didominasi penyampaian informasi kesehatan
berupa gambar dan teks edukasi melalui media daring dan luring. Media
gambar dan pesan edukasi adalah media pesan yang paling mudah diterima
oleh learner. Pemanfaatan gambar tentang diabetes memiliki efektifitas
lebih tinggi dibandingkan teks edukasi. Penyampaian informasi kesehatan
melalui gambar lebih potensial dibandingkan melalui teks dari segi output
pembelajaran. Informasi kesehatan melalui gambar berhubungan dengan
peningkatan minat belajar dan lebih efektif pada orang dengan tingkat
literasi rendah. Gambar edukatif meningkatkan respon emosional dan minat
belajar spesifik. Perumusan gambar edukatif yang baik akan berimplikasi
positif terhadap penerima pesan pada setiap segmentasi usia. Sedangkan,
pendidikan kesehatan melalui teks edukatif diterima efektif pada individu
dengan tingkat literasi baik serta cenderung tidak berhubungan dengan
peningkatan minat belajar penerima pesan. Metode pembelajaran berbasis
WhatsApp memberikan ruang diskusi interaktif. Media pembelajaran
WhatsApp merupakan media edukasi potensial dimana media tersebut
merupakan media interaktif antara pengirim dan penerima pesan (Ekadinata
& Widyandana, 2017).
2.5 Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Diabetes Self Management
Education (DSME)
Hasil penelitian Laili (2012) mengenai pengaruh edukasi dengan
pendekatan prinsip diabetes self management education (DSME) terhadap
perilaku kepatuhan diet pada penderita diabetes melitus tipe 2 didapatkan
hasil yang menunjukan adanya perubahan pada pengetahuan, sikap dan
tindakan mengenai kepatuhan diet sebelum dan sesudah diberikan pendidikan
kesehatan dengan prinsip DSME pengetahuan diet dengan nilai p = 0,004,
sikap kepatuhan diet dengan p = 0,025 dan praktik kepatuhan diet dengan p =
0,002. Setelah dilakukan edukasi dengan pendekatan DSME pada hasil
penelitian ini juga terdapat peningkatan jumlah responden pada kelompok
intervensi yang mempunyai sikap positif yaitu 10 orang (83,3 %).
Pendidikan kesehatan dapat memberikan efek positif terhadap
aktivitas perawatan diri. Perawatan diri pada pasien DM diperlukan untuk
meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan. Melalui pendidikan kesehatan
pasien DM dapat memahami dan mengetahui pengelolaan penyakit DM
sehingga dapat merawat diri mereka sendiri (Karakurt & Kaşikçi, 2012).
Pendidikan kesehatan dapat mempengaruhi kualitas hidup pada pasien DM
tipe II. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahayu
dkk (2014) mengenai pengaruh program Diabetes Self management
Education (DSME) berbasis keluarga terhadap kualitas hidup penderita
diabetes melitus tipe II di wilayah Puskesmas II Baturaden menunjukan
adanya perubahan kualitas hidup yang signifikan setelah diberikan edukasi
dengan nilai p = 0,000. Dari hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa
pendidikan kesehatan self management dapat memberikan pengaruh pada
pengetahuan, sikap, tindakan serta dapat meningkatkan kualitas hidup pasien
DM tipe II.
2.6 Pengaruh Diabetes Self Management Education (DSME) dengan Kualitas
hidup

DM merupakan penyakit kronis yang membutuhkan perawatan medis


berkelanjutan dan pendidikan pengelolaan diri yang berlangsung serta
adanya dukungan untuk mencegah terjadinya komplikasi akut dan
menurunkan resiko komplikasi jangka panjang (ADA, 2016). Efek samping
pengobatan medis dan komplikasi akan mempengaruhi kualitas hidup pasien
DM tipe Kualitas hidup merupakan persepsi individu terhadap posisinya
yang berhubungan dengan tujuan hidup dan harapan.

Menurut Rahmawati (2015), terdapat beberapa dampak negatif yang


dapat menyebabkan turunnya kualitas hidup pasien DM tipe 2. Penelitian
yang dilakukan oleh Azila (2016) dijelaskan bahwa penyakit DM tipe 2 dapat
memberikan dampak terhadap kualitas hidup pasien baik secara fisik,
psikologis, kesehatan sosial maupun kesejahteraan pasien. Indikator fisik dan
psikologis memiliki kemungkinan dalam mempengaruhi kualitas hidup
pasien. Menurut Morales (2015), terdapat 8 domain yang mempengaruhi
kualitas hidup, yaitu fungsi fisik, keterbatasan akibat masalah fisik, perasaan
nyeri, keadaan umum, energi, fungsi sosial, masalah emosi, dan kesehatan
mental. Menurut Price & Wilson (2006) komplikasi yang dialami oleh pasien
DM tipe 2 yaitu komplikasi yang berupa masalah fisik pada pasien dengan
DM tipe 2. Selain itu, pasien DM tipe 2 juga memiliki dampak yang
berhubungan dengan masalah psikologi, sosial, maupun ekonomi. Masalah
psikologi erat kaitannya dengan stress yang dialami oleh pasien dan
keluarganya. Masalah sosial akan terganggu akibat keputusasaan pasien
dalam pengobatan dalam mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut.
Masalah ekonomi pada pasien dengan DM tipe 2 berhubungan dengan biaya
perawatan yang cukup panjang sehingga dapat mempengaruhi produktifitas
kerja.
Kunci dalam penatalaksanaan penyakit yang komprehensif pada
pasien dengan penyakit kronis adalah pengelolaan mandiri (Adam dalam
Atak, 2010). Pengelolaan DM secara mandiri dan efektif dilakukan oleh
pasien yang memiliki pengetahuan dan keterampilanyang baik untuk
melakukan perilaku pengelolaan DM. Tingkat pengetahuan yang rendah
mengenai perawatan diri dapat memperburuk kondisi kesehatan yang
berakibat pada ketidakmampuan pasien dalam melakukan perawatan diri
(Nugroho, 2010). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rantung, dkk (2015)
mengatakan bahwa kegiatan self care sangat penting dipahami oleh pasien
untuk dipahami dan dilaksanakan secara efektif dan konsisten agar
meminimalisasi terjadinya komplikasi. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi
kualitas hidup pasien.
Menurut PERKENI (2015) terdapat 4 pilar penatalaksanaan DM tipe 2
salah satunya yakni edukasi. Edukasi merupakan hal yang penting bagi
pasien dalam merubah perilaku dan pengelolaan DM secara mandiri. Tujuan
edukasi untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam merawat
diri sehingga pasien dapat menghindari komplikasi DM (Smeltzer & Bare,
2001). Peran perawat sebagai educator bagi pasien dalam membantu pasien
untuk meningkatkan pengetahuannya melalui pemberian pengetahuan
perawatan diri yang dapat dilakukan oleh pasien dan keluarga (Pertiwiwati &
Rizany, 2016).

Salah satu edukasi yang dapat dilakukan perawat dalam meningkatkan


pengelolaan diabetes secara mandiri melalui pendidikan kesehatan dan
dukungan yaitu dengan memberikan DSME. Diabetes Self Management
Education (DSME) merupakan program yang memiliki tujuan mendukung
pasien dalam melakukan manajemen diabetes secara mandiri dan
menurunkan komplikasi. Diabetes Self Management Support (DSMS) adalah
program yang mengacu pada pemberian dukungan yang diperlukan dalam
pengelolaan diri pasien DM secara berkelanjutan Gerber, 2014; ADA, 2014).
DSME/S diberikan dalam dalam bentuk discharge planning kepada pasien
dalam meningkatkan pengetahuan mengenai DM dan menambah
keterampilan pasien dalam melakukan perawatan diri secara mandiri.
Discharge planning merupakan proses antisipasi dan perencanaan yang
dibutuhkan oleh pasien dan keluarga setelah kembali ke rumah dalam
melakukan perawatan kesehatan secara komprehensif dan dilakukan pada
setiap perencanaan perawatan pasien (Kozier et al., 1995 dalam Lestari,
2010). Discharge planning yang baik memungkinkan pasien secara mandiri
melakukan perawatan lanjutan yang aman dan realistis setelah meninggalkan
rumah sakit.

Pengelolaan diabetes secara mandiri ini dapat dilakukan oleh pasien


dan keluarganya di rumah (Potter dan Perry, 2006). Kemampuan pasien
dalam melakukan perawatan diri dapat memberikan perubahan dalam
hidupnya untuk menjadi lebih baik. Hal ini menunjukkan pemberian edukasi
DSME/S diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien DM tipe 2
(Rahayu, dkk, 2014). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rahayu, dkk
(2014) menyatakan bahwa dukungan keluarga dapat memperkuat perubahan
kualitas hidup pasien. Salah satu dukungan positif yang diberikan keluarga
kepada pasien DM tipe 2 yaitu adanya perlibatan keluarga dalam proses
pendampingan, pemberi masukan, dan pengingat agar pasien patuh terhadap
pengelolaan mandiri diabetes dalam meningkatkan kualitas hidupnya.
Dukungan keluarga sangat berpengaruh terhadap proses perawatan pada
pasien dengan DM tipe 2.
Menurut Friedman (2010) Dukungan keluarga merupakan proses yang
terjadi selama masa hidup dengan sifat dan tipe dukungan yang bervariasi
(dukungan informasional, dukungan penilaian, dukungan instrumental, dan
dukungan emosional) pada setiap keluarga. Dukungan tersebut akan
mempengaruhi keluarga dalam melakukan 5 fungi keluarga (fungsi afektif,
fungsi sosial, fungsi reproduksi, fungsi ekonomi, dan fungsi perawatan
kesehatan). Dukungan ini juga didapat dari efikasi diri pasien yang dapat
mempengaruhi kualitas hidupnya (Yusra, 2011). Penelitian yang dilakukan
oleh Susanti (2013) menyatakan bahwa dukungan keluarga dapat
meningkatkan kepatuhan diet pasien DM. Menurut Yusra (2011) adanya
dukungan keluarga dengan kualitas hidup pasien yang menunjukkan pola
positif yang memiliki arti semakin tinggi dukungan keluarga maka semakin
tinggi kualitas hidupnya. Sehingga dapat dirumuskan bahwa pemberian
edukasi melalui program DSME/S dapat meningkatkan kualitias hidup pasien
DM tipe 2.
2.7 Kerangka Berfikir
2.7.1 Kerangka Teori

Faktor Resiko Diabetes


Diabetes Melitus Tipe II
Melitus Tipe II

Aspek-aspek Kualitas Faktor-faktor yang


Hidup mempengaruhi Kualitas
Empat Pilar hidup :
penatalaksanaan DM tipe 1. Kesehatan fisik
2. Psikologis 1. Usia
II : 2. Jenis kelamin
3. Hubungan sosial
4. Lingkungan 3. Tingkat pendidikan
1. Diet 4. Status sosial ekonomi
2. Aktivitas Fisik 5. Lama menderita DM
3. Terapi Farmakologi 6. Status pernikahan
Aplikasi Pesan Otomatis 7. Komplikasi
4. Edukasi
(WhatsApp)

Komponen Diabetes Self Management


Education (DSME :

1. Pengetahuan
2. Pengobatan
3. Monitoring KGD
4. Pola makan dan pengaturan diet
5. Olahraga dan aktivitas
6. Stress dan psikososial
7. Perawatan kaki
8. Sistem pelayanan kesehatan dan
sumber daya

Gambar 2.1 kerangka teori penelitian pengaruh DSME melalui aplikasi


WhatsApps terhadappeningkatn kualitas hidup pada pasien DM tipe 2

Sumber : (Hurtado & Vella, 2019) ; (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia


[PERKENI], 2015); (Kalliopi, 2015); (Powers et al., 2017); (Berawi &
Putra, 2015); (D. E. Fitri et al., 2019); (Ningsih et al. 2018);
(Galloway, 2005)
2.7.2 Kerangka Konsep Penelitian

Diabetes Self Management


Education (DSME)

Kualitas hidup pasien DM Kualitas hidup pasien DM


tipe II (sebelum intervensi) tipe II (eseudah intervensi)

Faktor yang mempengaruhi : Faktor yang mempengaruhi :

a. Usia a. Usia
b. Jenis kelamin b. Jenis kelamin
c. Pendidikan c. Pendidikan
d. Status sosial ekonomi
d. Status sosial ekonomi
e. Lama menderita DM
e. Lama menderita DM f. Status pernikahan
f. Status pernikahan g. Komplikasi
g. Komplikasi

Keterangan :
:= di teliti = di teliti
= tidak diteliti = tidak diteliti

Gambar 2.2 Kerangka konsep penelitian pengaruh Diabetes Self Management


Education (DSME) melalui Pesan Otomatis (WhatsApp) terhadap Peningkatan
kualitas hidup pada pasien DM tipe 2
Variabel Independen : Diabetes Self Management Education (DSME)
Variabel Dependen : Kualitas Hidup (Quality Of Life)
2.7.3 Hipotesis
Ha : Ada pengaruh Diabetes Self Management Education (DSME) melalui
Pesan Otomatis (WhatsApp) terhadap Peningkatan kualitas hidup
pada pasien DM tipe 2.
Daftar Pustaka

Al-Khaledi, M., Al-Dousari, H., Al-Dhufairi, S., Al-Mousawi, T., Al-Azemi, R.,
Al-Azimi, F., & Badr, H. E. (2018). Diabetes Self-Management: A Key to
Better Health-Related Quality of Life in Patients with Diabetes. Medical
Principles and Practice, 27(4), 323–331. https://doi.org/10.1159/000489310

Asmarani, Tahir, A. C., & Adryani, A. (2017). Analisis Faktor Risiko Obesitas
dan Hipertensi dengan Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 di Rumah Sakit
Umum Daerah Kota Kendari. 4(April).

Berawi, K. N., & Putra, I. W. A. (2015). Empat Pilar Penatalaksanaan Pasien


Diabetes Mellitus Tipe 2 Four Pillars of Management of Type 2 Diabetes
Mellitus Patients. Majority, 4(9), 8–12.

Budiman, & Agus, R. (2013). Pengetahuan dan Sikap Dalam Penelitian


Kesehatan. In Salemba Medika (Vol. 5). https://doi.org/10.22435/bpsk.v15i4
Okt.3050

Chaidir, R., Wahyuni, A. S., & Furkhani, D. W. (2017). Hubungan Self Care
Dengan Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus. Jurnal Endurance, 2(2),
132. https://doi.org/10.22216/jen.v2i2.1357

Dimyati, & Mudjiono. (2009). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Edwina, D., & Manaf, A. (2015). Pola Komplikasi Kronis Penderita Diabetes
Melitus Tipe 2 Rawat Inap di Bagian Penyakit Dalam RS. Dr. M. Djamil
Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 4(1), 102–106.

Ekadinata, N., & Widyandana, D. (2017). Health promotion using images and text
in WhatsApp application on Posbindu health workers. Berita Kedokteran
Masyarakat, 33(11), 547. https://doi.org/10.22146/bkm.26070

Fatimah, R. N. (2015). Diabetes Melitus Tipe II. Jurnal Majority, 4(5).


https://doi.org/10.14499/indonesianjpharm27iss2pp74
Fisik, T. (2019). IMPROVING THE QUALITY OF LIFE PATIENTS BY
DIABETES MELLITUS BY IMPROVING THE QUALITY OF LIFE
PATIENTS WITH DIABETES MELLITUS THROUGH PHYSICAL
THERAPY. 2(1), 19–25.

Fitri, A., Anggraeni, N., & Juliningrum, P. P. (2018). The Effect of Diabetes Self
Management Education and Support ( DSME / S ) on Quality of Life in
Patients with Type 2 Diabetes. 6(3), 453–460.

Fitri, D. E., Sari, S. M., & Krianto, T. (2019). The Comparison of the Comparison
of Diabetes Self Management Education using Lecturing Method with
Booklet and Whatsapp Group Method against Self Care Behavior of
Diabetes Mellitus Patients. Jurnal Kesehatan Komunitas, 4(3), 126–131.
https://doi.org/10.25311/keskom.vol4.iss3.294

Gamayanti, V., Ratnasari, N. L. M. N., & Bhargah, A. (2018). Pola penggunaan


insulin pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di poli penyakit dalam RSU
Negara Periode Juli – Agustus 2018. Intisari Sains Medis, 9(3), 68–73.
https://doi.org/10.1556/ism.v9i3.306

Hurtado, M. D., & Vella, A. (2019). What is type 2 diabetes? Medicine (United
Kingdom), 47(1), 10–15. https://doi.org/10.1016/j.mpmed.2018.10.010

Ibrahim, A. F. (2015). Nurse communication in health education : Patients ’


perspective. 3(4). https://doi.org/10.5430/cns.v3n4p94

Isnaini, N. (2018). Faktor risiko mempengaruhi kejadian Diabetes mellitus tipe


dua Risk factors was affects of diabetes mellitus type 2. 14(1), 59–68.

Kalliopi, M. (2015). Quality of life in chronic disease patients. Health Psychology


Research, 1(3), 17–20. https://doi.org/10.4082/hpr.2013.e27

Karakurt, P., & Kaşikçi, M. K. (2012). The effect of education given to patients
with type 2 diabetes mellitus on self-care. International Journal of Nursing
Practice, 18(2), 170–179. https://doi.org/10.1111/j.1440-172X.2012.02013.x
Kok, G., & Vries, N. K. De. (2015). Health Education and Health Promotion. In
International Encyclopedia of Social & Behavioral Sciences (Second Edi,
Vol. 10). https://doi.org/10.1016/B978-0-08-097086-8.92055-5

Laili, N. R. (2012). Pengaruh Edukasi dengan Pendekatan Prinsip Diabetes Self


Management Education (DSME) Terhadap Perilaku Kepatuhan Diet pada
Penderita Diabetes Melitus Tipe 2.

Luthfa, I., & Fadhilah, N. (2019). Self Management Determines the Quality of
Life of Diabetes Mellitus Patients. Jurnal Endurance, 4(2), 402.
https://doi.org/10.22216/jen.v4i2.4026

Ningsih, R., Fatmasari, D., Johan, T., & Yuswanto, A. (2018). I nternational J
ournal of A llied M edical S ciences and C linical R esearch ( IJAMSCR )
Combination of diabetic self management education ( DSME ) with diabetic
foot exercises on blood sugar level in type II diabetes patients. 6(3).

Notoatmodjo, P. D. S. (2012). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan.


Jakarta: Rineka Cipta.

Nuradhayani, Arman, & Sudirman. (2017). Pengaruh Diabetes Self Management


Education (DSME) terhadap Kadar Gula Darah Pasien Diabetes Tipe 2 di
Balai Besar Laboratorium Kesehatan Makassar. Jurnal Ilmiah Kesehatan
Diagnosis, 11(4), 393–399.

Paramitha, G. M. (2014). Hubungan AKtivitas Fisik Dengan Kadar Gula darah


pada Pasien Diabetes Melitus Tipe II di Rumah Sakit Umum Daerah
Karanganyar. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia [PERKENI]. (2015). Konsnsus


Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2011. PB
PERKENI.

Powers, M. A., Bardsley, J., Cypress, M., Duker, P., Funnell, M. M., Fischl, A.
H., … Vivian, E. (2017). Diabetes Self-management Education and Support
in Type 2 Diabetes: A Joint Position Statement of the American Diabetes
Association, the American Association of Diabetes Educators, and the
Academy of Nutrition and Dietetics. Diabetes Educator, 43(1), 40–53.
https://doi.org/10.1177/0145721716689694

Rahayu, E., Kamaluddin, R., & Sumarwati, M. (2014). Pengaruh Program


Diabetes Self Management Education Berbasis Keluarga Terhadap Kualitas
Hidup Penderita Diabetes Melitus Tipe II Di Wilayah Puskesmas II
Baturraden. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of
Nursing), 9(3), 163–172.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.20884/1.jks.2013.8.2.470

Sabil, F. A., Kadar, K. S., & Sjattar, E. L. (2019). FAKTOR – FAKTOR


PENDUKUNG SELF CARE MANAGEMENT DIABETES MELLITUS TIPE
2 : A LITERATURE REVIEW Factors Supporting Self-Care Management On
Diabetes Mellitus Type 2 Patients : A Literature Review. 10, 48–57.

Smeltzer, C. S., & Brenda G, B. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & suddart (8 vol 2; EGC, Ed.). Jakarta.

Susanti, E. F. N. (2019). Gambaran faktor risiko terjadinya diabetes melitus pada


penderita diabetes melitus tipe 2. Jurnal Keperawatan, 1–14.

Tarwoto, D. (2011). Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Endokrin.


Jakarta: TIM penebit buku kesehatan.

Tiyas, Y. F. W. (2017). Digital Digital Repository Repository Universitas


Universitas Jember Jember Digital Digital Repository Repository
Universitas Universitas Jember Jember Text Mining pada Media Sosial
Twitter.

Tjekyan, R. (2014). Angka Kejadian dan Faktor Risiko Diabetes Melitus Tipe 2 di
78 RT Kotamadya Palembang Tahun 2010. Majalah Kedokteran Sriwijaya,
46(2), 85–94.

Toharin, S. N. R., Cahyati, W. H., & Zainafree, I. (2015). Unnes Journal of Public
Health. 4(2), 153–161.
Trisnawati, S. K., & Setyorogo, S. (2013). Faktor Risiko Kejadian Diabetes
Melitus Tipe II Di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat Tahun
2012. 5(1), 6–11.

Virginia, D. M. (2015). Dislipidemia sebagai Faktor Risiko Penurunan Nilai


Estimasi Laju Filtrasi Glomerulus ( eLFG ) pada Diabetes Mellitus Tipe II (
Dyslipidemia as A Risk Factor of Declining Estimated Glomerular Filtration
Rate ( eGFR ) Value on Diabetes Mellitus Type II ). 13(1), 17–22.

Anda mungkin juga menyukai