Disusun Oleh:
Pembimbing:
BAB I
LATAR BELAKANG
Menurut data yang diterbitkan oleh WHO pada tahun 2005, penyebab kematian
tertinggi nomor 2 di dunia adalah akibat perilaku bunuh diri pada kisaran usia 15-29 tahun.
Gangguan jiwa merupakan masalah yang sangat lazim terjadi pada remaja-remaja dengan
perilaku bunuh diri. Memang tidak semua tindakan bunuh diri disebabkan oleh gangguan
jiwa, tetapi 80-90% remaja yang melakukan bunuh diri mempunyai psikopatologi signifikan
seperti gangguan mood, gangguan cemas, masalah perilaku, dan penyalahgunaan NAPZA.
Menurut WHO Global Health Estimates 2017, kematian global tertinggi akibat bunuh diri
adalah pada usia 20 tahun di negara-negara pendapatan rendah dan menengah. Karena itu
WHO menetapkan Mental Health Action Plan 2013-2020 dengan target untuk mengurangi
laju prevalensi bunuh diri di dunia sebesar 10% pada tahun 2020.
Di Indonesia sendiri prevalensi rumah tangga dengan anggota yang menderita
gangguan jiwa menurut data Riskesdas 2018 adalah sebanyak 7‰, dengan prevalensi di Jawa
Tengah sebanyak 8.7‰. Kabupaten Kebumen sendiri menempati peringkat ke-9 di seluruh
Jawa Tengah dengan prevalensi sebanyak 11.76‰. Berkaitan dengan hal ini, pemerintah
Indonesia juga telah mengeluarkan UU No. 18 Tahun 2014 mengenai kesehatan jiwa demi
meningkatkan dan menjamin pelayanan kesehatan bagi orang-orang dengan gangguan jiwa.
Hal ini selaras dengan definisi sehat berdasarkan UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009, yang
mengemukakan bahwa definisi sehat tidak hanya berkaitan dengan keadaan sehat secara fisik,
tetapi juga mental, spiritual maupun sosial, yang memungkinkan setiap orang untuk hidup
produktif secara sosial dan ekonomis.
Salah satu kendala terbesar dalam melakukan penanganan bagi ODGJ di Indonesia
adalah stigma negatif masyarakat terhadap ODGJ yang masih sangat kuat. Seringkali orang
dengan gangguan jiwa bahkan dianggap sebagai aib oleh keluarganya sendiri, keberadaan
mereka diartikan sebagai sesuatu yang memalukan sehingga seringkali ODGJ dipasung oleh
keluarganya dan bukannya dibawa untuk berobat secara medis. Padahal dalam kasus
gangguan kejiwaan, dukungan keluarga adalah faktor yang sangat esensial untuk mencapai
keberhasilan terapi, dimulai dari kesadaran keluarga dan orang-orang sekitar untuk mengenali
tanda-tanda gangguan jiwa yang dialami, hingga kesediaan untuk membawa orang yang sakit
untuk berobat serta memantau pengobatan yang diberikan.
Dalam Pasal 44 UU No. 18 Tahun 2014 disebutkan bahwa perencanaan, pengadaan,
dan peningkatan mutu, penempatan dan pendayagunaan, serta pembinaan sumber daya
manusia di bidang Kesehatan Jiwa diatur dalam Peraturan Pemerintah. Salah satu usaha yang
dilakukan adalah dengan melakukan pelatihan kader kesehatan jiwa dalam rangka
pembentukan Desa Siaga Sehat Jiwa (DSSJ).
BAB II
PERMASALAHAN
Hasil nilai pre-test dan post-test kader kesehatan jiwa Kelurahan Panjer adalah sebagai
berikut:
NILAI
NO NAM
PRE POST GAP
. A
TEST TEST
1. Ny.S 60 90 30
2. Tn.GA 50 50 0
3. Ny.SS 60 70 10
4. Tn.S 80 80 0
5. Ny.ES 60 50 -10
6. NySN 80 70 -10
7. Ny.I 60 100 40
8. Ny.Y 90 90 0
9. Tn.TS 40 90 50
10. Ny.SR 90 90 0
11. Tn.S 50 90 40
12. Ny.S 70 90 20
13. Ny.K 40 70 30
14. Ny.KR 70 90 20
15. Tn.H 60 60 0
16. Ny.TI 70 70 0
17. Ny.RS 80 80 0
18. Ny.S 60 70 10
19. Ny.ES 70 80 10
20. Ny.SR 60 70 10
21. Ny.SH 80 80 0
22. Tn.R 40 80 40
23. Ny.K 50 90 40
63,91 78,26 14,35
Untuk praktik kunjungan rumah, kader dibagi ke dalam 6 kelompok, masing-masing
kelompok didampingi oleh 1 petugas puskesmas. Berikut adalah rekapitulasi hasil kunjungan
rumah:
Kelompo Jumlah jiwa yang Kategori
k diskrining Sehat Risiko Sakit
1 21 16 3 2
2 27 22 2 3
3 21 16 3 2
4 12 10 1 1
5 27 22 2 3
6 16 10 4 2
TOTAL 124 96 15 13
BAB V
MONITORING DAN EVALUASI
Telah terjadi peningkatan pemahaman para kader mengenai gangguan jiwa setelah
diberikan pembekalan materi, dengan rata-rata kenaikan nilai pre-test dan post-test
sebesar 14,35 poin.
Para kader kesehatan jiwa sudah mulai turut berpartisipasi dalam upaya pelayanan
kesehatan jiwa dengan adanya pembentukan Desa Siaga Sehat Jiwa (DSSJ).
Sudah ada peningkatan penemuan kasus orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dengan
adanya kegiatan kunjungan rumah sebagai usaha deteksi dini ODGJ oleh para kader
kesehatan jiwa.
Dapat dilakukan pembekalan materi mengenai monitoring perawatan ODGJ, sehingga
peran kader dapat lebih optimal, tidak hanya sebatas deteksi dini dan penemuan kasus
awal.
Perlu diadakan jadwal kunjungan rumah secara rutin untuk melakukan pemantauan
secara berkala kepada pasien-pasien ODGJ.
Dapat dilakukan program pelatihan kader serupa di Desa/Kelurahan lainnya yang ada di
wilayah kerja Puskesmas Molingkapoto agar pelayanan kesehatan bagi ODGJ dapat
berjalan lebih optimal.