Meristem merupakan kumpulan sel-sel yang aktif membelah pada tempat tertentu pada
tanaman, dimana sel-sel tersebut akan membentuk sistem jaringan secara permanen seperti
akar, tunas, daun, bunga dan lain-lain. Sel-sel jaringan meristem mempunyai kemampuan
embrionik yang dapat membelah tanpa batas untuk membentuk jaringan dewasa untuk
kemudian menjadi organ-organ tanaman.
Bentuk dan ukuran titik tumbuh meristem berbeda antara tanaman yang satu dengan lainnya
tergantung kelompok tanaman secara taksonomik. Meristem pada tunas tanaman yang
tergolong dikotil mempunyai lapisan sel-sel yang membentuk kubah yang sel-selnya aktif
membelah berukuran diameter sekitar 0.1-0.2 mm dan panjang 0.2-0.3 mm. Meristem tidak
mempunyai vaskuler yang terhubung dengan jaringan phloem dan xylem pada batang.
Dibawah sel meristem terdapat sel-sel yang membelah dan memanjang yang berkembang
menjadi primordia daun.
Kultur meristem merupakan salah satu metoda dalam teknik kultur jaringan dengan
menggunakan eksplan berupa jaringan meristematik baik meristem pucuk terminal atau
meristem dari tunas aksilar. Tujuan utama aplikasi kultur meristem adalah mendapatkan dan
memperbanyak tanaman yang bebas virus (eliminasi virus dari bahan tanaman). Kultur
meristem sebagai metoda untuk perbanyakan tanaman yang bebas virus sudah secara luas
diaplikasikan terutama pada tanaman hortikultura. Sel-sel meristem pada umumnya stabil,
karena mitosis pada sel-sel meristem terjadi bersama dengan pembelahan sel yang
berkesinambungan, sehingga ekstra duplikasi DNA dapat dihindarkan. Hal ini menyebabkan
tanaman yang dihasilkan identik dengan tanaman donornya (Gunawan, 1988). Jaringan
meristem merupakan jaringan vegetatif sehingga plantlet yang dihasilkannyapun merupakan
suatu klon. Oleh karena itu kelompok tanaman yang dihasilkan dari kultur meristem sering
disebut mericlone.
Morel dan Martin (1952) merupakan orang pertama yang berhasil menumbuhkan meristem
tanaman dahlia yang terserang virus dan memperoleh tanaman yang bebas virus. Setelah itu
penggunaan kultur meristem terhadap berbagai jenis tanaman banyak dikembangkan. Pada
tahun 1960 Morel berhasil memperbanyak tanaman Cymbidium yang bebas virus. Dari hasil
perbanyakan kultur meristem anggrek tersebut, Morel menemukan pembentukan kalus
terlebih dahulu. Dan dari kalus tersebut kemudian membentuk struktur yang serupa dengan
perkembangan awal dari perkecambahan biji anggrek sebelum menjadi tanaman. Struktur
tersebut disebut dengan protocorm. Protocorm akan memperbanyak diri menjadi massa
protocorm yang baru apabila ditumbuhkan pada media tumbuh yang sama dan akan tumbuh
menjadi tanaman lengkap (plantlet) apabila dipindahkan ke media pendewasaan dan
perakaran.
Berbeda dengan Morel yang telah berhasil mengklonkan tanaman anggrek melalui
protocorm, Hussey dan Stacey (1960) memperbanyak tanaman kentang secara massal yang
bebas virus melalui subkultur tunas aksiler secara berulang. Eksplan tunas kentang yang
sudah bebas virus dijadikan eksplan awal ditumbuhkan pada media perbanyakan yang
menghasilkan tunas dengan buku-buku yang mengandung tunas ketiak disetiap bukunya.
Tiap bulan dapat dihasilkan rata-rata 3-5 buku. Setiap empat minggu buku-buku tersebut
dipotong untuk dikulturkan ke media baru. Setelah empat minggu dipotong-potong lagi.
Demikian seterusnya sehingga dalam satu tahun dapat dihasilkan jutaan tanaman.
Keberhasilan kultur meristem tergantung pada beberapa faktor, diantaranya media kultur,
keadaan fisiologis eksplan dan lingkungan fisik tumbuh. Sering terjadi bahwa jaringan
meristem yang ditanam tidak menunjukkan proses morfogenesis, hal ini disebabkan sel-sel
dari eksplan tidak mengadakan pembelahan dan berdiferensiasi. Jaringan meristem
merupakan jaringan yang sel-selnya aktif membelah, biasanya jaringan ini akan mempunyai
daya hidup yang lebih besar dan dapat beregenerasi dengan baik apabila ditanam bersama
dengan daun primordianya. Akan tetapi lebih disarankan apabila tujuannya untuk
mendapatkan tanaman bebas virus sebaiknya meristem ditanam tanpa disertakan daun
primordia.
Perbanyakan tanaman kentang melalui kultur meristem untuk eliminasi virus dapat
dicontohkan seperti yang dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang
yaitu sebagai berikut:
Sebagai sumber eksplan adalah tunas-tunas yang tumbuh dari umbi berukuran 3-5 cm. Titik
tumbuh / jaringan meristem yang diambil berukuran 0.25-0.4 mm dengan menggunakan
skalpel atau jarum. Pengambilan meristem dilakukan dibawah mikroskop binokuler
(pembesaran 25-40 kali) dalam lingkungan steril (dalam laminar airflow). Meristem ditanam
secara in vitro pada media dasar MS yang ditambah suplemen sukrosa 30 g/l, myo-inositol
100 mg/l, GA3 0.1-0.25 mg/l, agar 7 g/l, pH 5.6-5.7. Biakan kemudian diinkubasi di ruang
kultur dengan suhu 20-22oC, dengan diberi penerangan 1000-2000 lux selama 16 jam per
hari. Subkultur dilakukan setelah jaringan meristem tumbuh dan berkembang menjadi
plantlet. Pada umumnya jaringan meristem akan tumbuh dan berkembang menjadi plantlet
setelah 3-6 bulan stelah tanam. Plantlet kemudian diperbanyak dengan metoda penanaman
stek satu buku pada media MS yang diperkaya air kelapa 100 ml/l, gula 30 g/l, GA3 0.15
mg/l, agar 7 g/l, pH 5.7. Biakan disimpan pada kondisi yang sama dengan kultur meristem.
Stek mikro tersebut umumnya dapat diperbanyak kembali setelah berumur 3-5 minggu
(Gambar F-6.3).
BAB I
PENDAHULUAN
Kultur jaringan dalam bahasa asing disebut sebagai tissue culture. Kultur adalah budidaya
dan jaringan adalah sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama. Jadi, kultur
jaringan berarti membudidayakan suatu jaringan tanaman menjadi tanaman kecil yang mempunyai
sifat seperti induknya. Kultur jaringan akan lebih besar presentase keberhasilannya bila
menggunakan jaringan meristem. Jaringan meristem adalah jaringan muda, yaitu jaringan yang
terdiri dari sel-sel yang selalu membelah, dinding tipis, plasmanya penuh dan vakuolanya kecil-kecil.
Kebanyakan orang menggunakan jaringan ini untuk tissue culture. Sebab, jaringan meristem
keadaannya selalu membelah, sehingga diperkirakan mempunyai zat hormon yang mengatur
pembelahan.
Teknik kultur jaringan sebenarnya sangat sederhana, yaitu suatu sel atau irisan jaringan
tanaman yang sering disebut eksplan secara aseptik diletakkan dan
dipelihara dalam medium pada atau cair yang cocok dan dalam keadaan steril. dengan cara demikian
sebaian sel pada permukaan irisan tersebut akan mengalami
proliferasi dan membentuk kalus. Apabila kalus yang terbentuk dipindahkan ke dalam medium
diferensiasi yang cocok, maka akan terbentuk tanaman kecil yang lengkap dan disebut planlet.
Dengan teknik kultur jaringan ini hanya dari satu irisan kecil suatu jaringan tanaman dapat dihasilkan
kalus yang dapat menjadi planlet dlama jumlah yang besar.
Pelaksanaan teknik kultur jaringan tanaman ini berdasarkan teori sel sperti yang
dikemukakan oleh Schleiden, yaitu bahwa sel mempunyai kemampuan autonom, bahkan
mempunyai kemampuan totipotensi. Totipotensi adalah kemampuan setiap sel, darimana saja sel
tersebut diambil, apabila diletakkan dilingkungan yang sesuai akan tumbuh menjadi tanaman yang
sempurna. Teknik kultur jaringan akan berhasil dengan baik apabila syarat-syarat yang diperlukan
terpenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi pemilihan eksplan sebagai bahan dasar untuk
pembentukkan kalus, penggunaan medium yang cocok, keadaan yang aseptik dan pengaturan udara
yang baik terutama untuk kultur cair. Meskipun pada prinsipnya semua jenis sel dapat ditumbuhkan,
tetapi sebaiknya dipilih bagian tanaman yang masih muda dan mudah tumbuh yaitu bagian
meristem, seperti: daun muda, ujung akar, ujung batang, keping biji dan sebagainya. Bila
menggunakan embrio bagian bji-biji yang lain sebagai eksplan, yang perlu diperhatikan adalah
kemasakan embrio, waktu imbibisi, temperatur dan dormansi.
Kegunaan utama dari kultur jaringan adalah untuk mendapatkan tanaman baru dalam
jumlah banyak dalam waktu yang relatif singkat, yang mempunyai sifat fisiologi dan morfologi sama
persis dengan induknya. Dari teknik kultur jaringan tanaman ini diharapkan juga memperoleh
tanaman baru yang bersifat unggul. Secara lebih rinci dan jelas berikut ini akan dibahas secara
khusus kegunaan dari kultur jaringan terhadap berbagai ilmu pengetahuan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Regenerasi tanaman dengan menggunakan teknik kultur jaringan dapat dilakukan melalui
jalur organogenesis dan embriogenesis somatik. Perbanyakan tanaman dengan menggunakan teknik
kultur jaringan melalui jalur embriogenesis somatik lebih menguntungkan dibandingkan melalui
organogenesis karena dapat menghasilkan tanaman baru dengan jumlah yang lebih banyak. Selain
itu, karena embriosomatik berasal dari sel tunggal maka akan lebih mudah untuk memonitor proses
pertumbuhan setiap individu tanaman. Embriogenesis somatik juga merupakan jalur yang lebih
efisien untuk penelitian yang melibatkan produksi tanaman yang ditransformasikan secara genetik.
Jaringan meristematik yang digunakan sebagai sumber eksplan dalam kultur meristem dapat
berupa meristem apikal atau meristem tunas aksiler. Kultur meristem digunakan untuk
mengeliminasi virus, untuk memperoleh pengetahuan tentang peranan nutrisi dan hormone
terhadap diferensiasi serta pertumbuhan embrio somatik maupun tunas, dan untuk diaplikasikan
untuk menyimpan plasma nutfah.
Sebelum melakukan kultur jaringan untuk suatu tanaman, kegiatan yang pertama harus
dilakukan adalah memilih bahan induk yang akan diperbanyak. Tanaman tersebut harus jelas jenis,
spesies, dan varietasnya serta harus sehat dan bebas dari hama dan penyakit. Tanaman indukan
sumber eksplan tersebut harus dikondisikan dan dipersiapkan secara khusus di rumah kaca atau
greenhouse agar eksplan yang akan dikulturkan sehat dan dapat tumbuh baik serta bebas dari
sumber kontaminan pada waktu dikulturkan secara in-vitro.
Lingkungan tanaman induk yang lebih higienis dan bersih dapat meningkatkan kualitas
eksplan. Pemeliharaan rutin yang harus dilakukan meliputi : pemangkasan, pemupukan, dan
penyemprotan dengan pestisida (fungisida, bakterisida, dan insektisida), sehingga tunas baru yang
tumbuh menjadi lebih sehat dan dan bersih dari kontaminan. Selain itu pengubahan status fisiologi
tanaman induk sumber eksplan kadang – kadang perlu dilakukan seperti memanipulasi parameter
cahaya, suhu, dan zat pengatur tumbuh.
Manipulasi tersebut bisa dilakukan dengan mengondisikan tanaman induk dengan
fotoperiodisitas dan temperatur tertentu untuk mengatasi dormansi serta penambahan ZPT seperti
sitokinin untuk merangsang tumbuhnya mata tunas baru dan untuk meningkatkan reaktivitas
eksplan pada tahap inisiasi kultur.
Tujuan utama dari propagasi secara in-vitro tahap ini adalah pembuatan kultur dari eksplan
yang bebas mikroorganisme serta inisiasi pertumbuhan baru. Pada tahap ini mengusahakan kultur
yang aseptik atau aksenik. Aseptik berarti bebas dari mikroorganisme, sedangkan aksenik berarti
bebas dari mikroorganisme yang tidak diinginkan. Dalam tahap ini juga diharapkan bahwa eksplan
yang dikulturkan akan menginisiasi pertumbuhan baru, sehingga akan memungkinkan dilakukannya
pemilihan bagian tanaman yang tumbuhnya paling kuat,untuk perbanyakan (multiplikasi) pada
kultur tahap selanjutnya.
Untuk mendapakan kultur yang bebas dari kontaminasi, eksplan harus disterilisasi. Sterilisasi
merupakan upaya untuk menghilangkan kontaminan mikroorganisme yang menempel di permukaan
eksplan. beberapa bahan kimia yang dapat digunakan untuk mensterilkan permukaan eksplan
adalah NaOCl, CaOCl2, etanol, dan HgCl2.
Kesesuaian bagian tanaman untuk dijadikan eksplan, dipengaruhi oleh banyak faktor.
Tanaman yang memiliki hubungan kekerabatan dekat pun, belum tentu menunjukkan rspon in-vitro
yang sama. Penggunaan eksplan yan tepat merupakan hal penting yang juga harus diperhatikan
pada tahap ini. Umur fisiologis dan ontogenetik tanaman induk, serta ukuran eksplan bagian
tanaman yang digunakan sebagai eksplan, merupakan faktor penting dalam tahap ini. Bagi
kebanyakan tanaman, eksplan yang sering digunakan adalah tunas pucuk (tunas apikal) atau mata
tunas lateral pada potongan batang berbuku. Namun belakangan ini, eksplan potongan daun yang
dulunya hanya digunakan untuk tanaman-tanaman herba, seperti violces, begonia, petunia dan
tomat, ternyata dapat digunakan juga untuk tanaman-tanaman berkayu seperti Ficus lyrata, Annona
squamosa, dan melinjo.
Masalah yang sering dihadapi pada kultur tahap ini adalah terjadinya pencokelatan atau
penghitaman bagian eksplan (browning). Hal ini disebabkan oleh senyawa fenol yang timbul akibat
stress mekanik yang timbul akibat pelukaan pada waktu proses isolasi eksplan dari tanaman induk.
Senyawa fenol tersebut bersifat toksik, menghambat pertumbuhan atau bahkan dapat mematikan
jaringan eksplan.
Tahap ini bertujuan untuk menggandakan propagul atau bahan tanaman yang diperbanyak
seperti tunas atau embrio, serta memeliharanya dalam keadaan tertentu sehingga sewaktu-waktu
bisa dilanjutkan untuk tahap berikutnya. Pada tahap ini, perbanyakan dapat dilakukan dengan cara
merangsang terjadinya pertumbuhan tunas cabang dan percabangan aksiler atau merangsang
terbentuknya tunas pucuk tanaman secara adventif, baik secara langsung maupun melalui induksi
kalus terlebih dahulu. Seperti halnya dalam kultur fase inisiasi, di dalam media harus terkandung
mineral, gula, vitamin, dan hormon dengan perbandingan yang dibutuhkan secara tepat.
Hormon yang digunakan untuk merangsang pembentukan tunas tersebut berasal dari
golongan sitokinin seperti BAP, 2-iP, kinetin, atau thidiadzuron (TDZ). Kemampuan memperbanyak
diri yang sesungguhnya dari suatu perbanyakan secara in-vitro terletak pada mudah tidaknya suatu
materi ditanam ulang selama multiplikasi. Eksplan yang dalam kondisi bagus dan tidak
terkontaminasi dari tahap inisiasi kultur dipindahkan atau disubkulturkan ke media yang
mengandung sitokinin. Subkultur dapat
dilakukan berulang-ulang kali sampai jumlah tunas yang kita harapkan, namun subkultur yang terlalu
banyak dapat menurunkan mutu dari tunas yang dihasilkan, seperti terjadinya penyimpangan
genetik (aberasi), menimbulkan suatu gejala ketidak normalan (vitrifikasi) dan frekuensi terjadinya
tanaman off-type sangat besar.
Tujuan dari tahap ini adalah untuk membentuk akar dan pucuk tanaman yang cukup kuat
untuk dapat bertahan hidup sampai saat dipindahkan dari lingkungan in-vitro ke lingkungan luar.
Dalam tahap ini, kultur tanaman akan memperoleh ketahanannya terhadap pengaruh lingkungan,
sehingga siap untuk diaklimatisasikan.
Tunas-tunas yang dihasilkan pada tahap multiplikasi di pindahkan ke media lain untuk
pemanjangan tunas. Media untuk pemanjangan tunas mengandung sitokinin sangat rendah atau
tanpa sitokinin. Tunas tersebut dapat dipindahkan secara individu atau berkelompok. Pemanjangan
tunas secara berkelompok lebih ekonomis daripada secara individu. Setelah tumbuh cukup panjang,
tunas tersebut dapat diakarkan. Pemanjangan tunas dan pengakarannya dapat dilakukan sekaligus
atau secara bertahap, yaitu setelah dipanjangkan baru diakarkan. Pengakaran tunas in-vitro dapat
dilakukan dengan memindahkan tunas ke media pengakaran yang umumnya memerlukan auksin
seperti NAA atau IBA.
Keberhasilan tahap ini tergantung pada tingginya mutu tunas yang dihasilkan pada tahap
sebelumnya. Disamping itu, beberapa perlakuan yang disebut hardening in vitro telah dilaporkan
dapat meningkatkan mutu tunas sehingga planlet atau tunas mikro tersebut dapat diaklimatisasikan
dengan persentase yang lebih tinggi. Beberapa perlakuan yang bisa dilakukan sebagai berikut:
1. Mengondiskan kultur di tempat yang pencahaannya berintensitas lebih tinggi (contohnya 10000 lux)
dan suhunya lebih tinggi.
2. Pemanjangan dan pemanjangan tnas mikro dilakukan dalam media kultur dengan hara mineral dan
sukrosa lebih rendah dan konsentrasi agar-agar lebih tinggi.
2.5 Aklimatisasi
Dalam proses perbanyakan tanaman secara kultur jaringan, tahap aklimatisasi planlet
merupakan salah satu tahap kritis yang sering menjadi kendala dalam produksi bibit secara masal.
Pada tahap ini, planlet atau tunas mikro dipindahkan ke lingkungan di luar botol seperti rumah kaca ,
rumah plastik, atau screen house (rumah kaca kedap serangga). Proses ini disebut aklimatisasi.
Aklimatisasi adalah proses pengkondisian planlet atau tunas mikro (jika pengakaran
dilakukan secara ex-vitro) di lingkungan baru yang aseptik di luar botol, dengan media tanah, atau
pakis sehingga planlet dapat bertahan dan terus menjadi bibit yang siap di lapangan. Prosedur
pembiakan dengan kultur jaringan baru bisa dikatakan berhasil jika planlet dapat diaklimatisasi ke
kondisi eksternal dengan keberhasilan yang tinggi. Tahap ini merupakan tahap kritis karena kondisi
iklim mikro di rumah kaca, rumah plastik, rumah bibit, dan lapangan sangatlah jauh berbeda dengan
kondisi iklim mikro di dalam botol.
Kondisi di luar botol bekelembaban nisbi jauh lebih rendah, tidak aseptik, dan tingkat
intensitas cahayanya jauh lebih tinggi daripada kondisi dalam botol. Planlet atau tunas mikro lebih
bersifat heterotrofik karena sudah terbiasa tumbuh dalam kondisi berkelembaban sangat tinggi,
aseptik, serta suplai hara mineral dan sumber energi berkecukupan. Disamping itu tanaman tersebut
memperlihatkan beberapa gejala ketidak normalan, seperti bersifat sukulen, lapisan kutikula tipis,
dan jaringan vaskulernya tidak berkembang sempurna, morfologi daun abnormal dengan tidak
berfungsinya stomata sebagai mana mestinya. Strutur mesofil berubah, dan aktifitas fotosintesis
sangat rendah. Dengan karakteristik seperti itu, planlet atau tunas mikro mudah menjadi layu atau
kering jika dipindahkan ke kondisi eksternl secara tiba-tiba. Karena itu, planlet atau tunas mikro
tersebut diadaptasikan ke kondisi lngkungan yang baru yang lebih keras. Dengan kata lain planlet
atau tunas mikro perlu diaklimatisasikan.
Tahapan yang dilakukan dalam perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan adalah :
1. Pembuatan media
2. Inisiasi
3. Sterilisasi
4. Multiplikasi
5. Pengakaran
6. Aklimatisasi
BAB III
ISI
Kultur meristem (meristem culture) adalah kultur jaringan tanaman dengan menggunakan
eksplan berupa jaringan-jaringan meristematik. Jaringan meristem yang digunakan dapat berupa
meristem pucuk terminal atau meristem tunas aksilar. Dalam kultur meristem, perkembangan
diarahkan untuk mendapatkan tanaman sempurna dari jaringan meristem tersebut dan dapat
sekaligus diperbanyak.
Kultur meristem, sudah secara luas diterapkan untuk tujuan perbanyakan tanaman,
terutama pada tanaman hortikultura. Sel-sel meristem pada umumnya stabil, karena mitosis pada
sel-sel meristem terjadi bersama mericloneengan pembelahan sel yang berkesinambungan, sehingga
ekstra duplikasi DNA dapat dihindarkan. Hal ini menyebabkan tanaman yang dihasilkan identik
dengan tanaman donornya. Berikut akan dijelaskan alasan kultur meristem dilakukan pada beberapa
jenis tanaman.
Tanaman kentang (Solarium fuberosunz L.) diperbanyak secara vegetatif melalui umbi
sehingga kemungkinan terjadinya degenerasi akan lebih besar. Penyakit virus merupakan salah satu
penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya degenerasi pada tanaman kentang. Virus menginfeksi
umbi kentang kemudian berkembang dan menular secara turun temurun pada generasi berikutnya.
Kendala utama dalam peningkatan produksi kentang adalah pengadaan dan distribusi benih
kentang berkualitas yang belum kontinyu dan memadai. Padahal saat ini, penggunaan benih bebas
pathogen/berkualitas mutlak diperlukan. Bibit bebas patogen, bisa didapatkan melalui kultur
jaringan disertai dengan pengujian patogen secara intensif dan dilanjutkan dengan teknik
perbanyakan cepat khususnya dengan menanam stek secara inviltro atau in vivo, untuk
mendapatkan bibit kentang generasi nol.
Kegiatan memproduksi benih kentang berkualitas baik dalam bentuk tanaman in vitro atau
umbi mini dibagi dalam 4 tahap mulai dari eliminasi penyakit sistemik terutama virus, Penggunaan
teknik in vitro untuk tujuan perbanyakan vegetatif, Aklimatisasi, dan produksi umbi mini kentang.
Teknik kultur jaringan sangat membantu dalam usaha mengeliminasi penyakit sistemik
terutama penyakit virus. Metode yang umum digunakan untuk produksi plantlet dan umbi mikro
kentang adalah teknik kultur meristem atau kultur satu mata tunas (single-node culture). Kultur
meristem digunakan untuk produksi bibit kentang bebas virus.
Keberhasilan dalam menggunakan metoda kultur jaringan sangat bergantung perbanyakan ini
dimulai dengan penumbuhan jaringan meristem hingga pada penempatan kultur di ruang inkubasi
atau incubator dengan suhu 20 – 22oC dengan photoperiode 16 jam terang 8 jam gelap. Pada
umumnya jaringan meristem akan tumbuh menjadi plantlet setelah 3 – 6 bulan setelah tanam.
Kehilangan hasil akibat virus daun menggulung (PLRV) adalah 25 – 90 %, sedangkan akibat
virus mosaik (PVX, PVY dan PVS) adalah 5 - 80 %Virus pada tanaman kentang dapat dieliminasi
dengan teknik kultur jaringan yaitu kultur meristem atau menggunaan antiviral seperti Virazol
(Ribavirin). Ribavirin adalah suatu senyawa sintetis yang telah dilaporkan mempunyai aktivitas
antiviral terhadap banyak ragam virus. Ribavirin (=Virazole; 1 - B - D -ribofuranosyl - 1 - 2 - 4 -
triazole - 3 -carboxarnide), merupakan analog suatu anabolit basa purine, telah terbukti pada lebih
dari 20 jenis virus DNA dan RNA virus yang bersifat patogenik pada hewan dan manusia serta dapat
menghambat beberapa virus tumbuhan. Ribavin merupakan suatu senyawa nukleosida yang tidak
berwarna serta dapat larut dan stabil dalam air, mempunyai rumus molekul CaHlzNaOs dengan
berat molekul (FW) 244,2. Ribavirin mampu menekan replikasi virus dalam jaringan terinfeksi.
Ribavirin menurunkan konsentrasi virus secara mencolok pada daun yang lebih atas (bagian pucuk).
Hal ini mungkin disebabkan oleh penyebaran virus yang lambat dan terjadmya penghambatan pada
biosintesis virus.
a. Umbi kentang yang mempunyai bobot 30 g/ buah atau umbi yang besar yang dipotong dengan berat
20 g/potong dengan beberapa mata.
b. Umbi direndam dalam 0,03 μm GA3 selama 1 jam.
c. Umbi diletakan pada pasir yang lembab.
d. Tunas yang 3-5 cm dipergunakan sebagai bahan awal.
Isolasi meristem
Tunas dicuci bersih menggunakan detergen dan disterilkan dalam larutan clorox 20% selama
7 menit, direndam lagi dalam larutan clorox 10% selama 10 menit, selanjutnya dibilas menggunakan
aquadest steril. Tunas dipindahkan pada petri-dish steril. Tunas diambil bagian jaringan meristem
dengan cara seperti pada pengambilan jaringan meristem pada kedelai. Media yang digunakan
adalah MS + 1 g/L Bacto-tryptone. Botol kultur disimpan dalam inkubator pada suhu 25 oC, panjang
penyinaran 12 jam /hari, intensitas cahaya 150 lux selama 7 minggu. plantula yang telah dihasilkan
diuji dengan ELISA test. Bila telah bebas virus, plantula dapat disubkultur dengan memotong-motong
1 buku/ eksplan, dipindahkan ke madia MS + 0,001 mg/L dan diulangi prosedur tiak 20 hari, untuk
mendapatkan plantula dalam jumlah banyak.
Pisang barangan telah diperbanyak melalui teknik kultur jaringan, hingga memperoleh bibit
kultur yang baik (seragam atau bebas patogen) atau sama seperti induknya dalam jumlah yang lebih
banyak dan relatif cepat. Media yang digunakan yaitu MS (murashige dan skoog) merupakan media
dasar yang telah banyak digunakan dalam kultur jaringan. Tanaman pisang mempunyai ciri spesifik
yang mudah dibedakan dari jenis tanaman lainnya. Tanamannya terdiri dari daun, batang (bonggol),
batang semu, bunga, dan buah. Pisang termasuk keluarga musaceae, salah satu anggota ordo
scitamineae.
Morfologi tanaman dapat tampak jelas melalui batangnya yang berlapis-lapis. Lapisan ini
sebenarnya merupakan dasar dari pelepah daun yang dapat menyimpan air (sukulenta) sehingga
lebih tepat disebut batang semu (pseudostem). Daun pisang Cavendish berwarna hijau tua.
Lembaran daun (lamina) pisang lebar dengan urat daun utama menonjol berukuran besar sebagai
pengembangan dari morfologis lapisan batang semu (gedebog). Batang pisang sesungguhnya
terdapat didalam tanah, yaitu yang sering disebut bonggol. Pada sepertiga bagian bonggol sebelah
atas terdapat mata calon tumbuh tunas anakan.
Bunga pisang yang disebut tongkol yang disebut jantung. Bunga ini muncul dari primordia
yang terbentuk pada bonggolnya, perkembangan primordia bunga memanjang keatas hingga
menembus inti batang semu dan keluar diujung batang semu tersebut. Panjang Tandan 60 - 100 cm
dengan berat 15 - 30 kg. Setiap tandan terdiri dari 8 - 13 sisiran dan setiap sisiran ada 12 - 22 buah.
Daging buah putih kekuningan, rasanya manis agak asam, dan lunak. Kulit buah agak tebal berwarna
hijau kekuningan sampai kuning muda halus. Umur panen 3 - 3,5 bulan sejak keluar jantung.
Salah satu tanaman buah-buahan yang diperbanyak secara komersial dengan teknik kultur
jaringan adalah pisang. Pisang biasanya diperbanyak secara vegetatif menggunakan anakan atau
bonggolnya. Ukuran anakan yang cukup besar menyulitkan transportasi bibit dari satu tempat ke
tempat penanamannya. Anakan yang diproduksi oleh satu induk pisang ukuran dan umurnya
beragam, sehingga sangat sulit untuk memperoleh anakan berukuran seragam dalam jumlah
memadai untuk perkebunan pisang secara komersial.
Perbanyakan klonal pisang dengan teknik kultur jaringan dapat mengatasi kendala-kendala
tersebut. Metode dan tahapan perbanyakan yang digunakan untuk perbanyakan klonal pisang ini
serupa dengan metode perbanyakan lainnya. Teknik yang umum digunakan adalah kultur meristem
(meristem culture) atau kultur pucuk (shoot culture), selain itu telah dicoba juga untuk
mengkulturkan tangkai bunga inflorescence muda pisang. Pisang Cavendish di Indonesia lebih
dikenal dengan Pisang Ambon Putih. Perbanyakan tanaman pisang secara kultur jaringan bertujuan
untuk mendapatkan bibit bermutu dalam jumlah banyak dan cepat selama kurun waktu tertentu.
Ditinjau dari tujuan tersebut maka adanya bibit kultur jaringan akan mampu mendukung
pengembangan kebun agribisnis dalam skala luas. Bibit pisang kultur jaringan adalah bibit yang
dihasilkan melalui biakan jaringan (sel meristem) pada media buatan dalam laboratorium (in vitro).
Perbanyakan abaca dapat melalui teknik kultur in-vitro. Salah satu tahapan dalam teknik
kultur in-vitro adalah penggandaan tunas. Tunas yang digandakan dapat berasal dari tunas mikro
hasil induksi meristem apikal sebagai sumber eksplan, sehingga disebut kultur meristem. Kelebihan
kultur meristem adalah mampu menghasilkan bibit tanaman yang identik dengan induknya dan
bebas virus. Kultur meristem mampu meningkatkan laju induksi dan penggandaan tunas, mampu
memperbaiki mutu bibit yang dihasilkan, mampu mempertahankan sifat-sifat morfologi yang positif.
Keberhasilan penggandaan tunas abaca melalui kultur meristem sangat tergantung pada
keseimbangan zat pengatur tumbuh golongan auksin dan sitokinin, terutama keseimbangan antara
6-Benzil Amino Purin (BAP) dan Asam Naftalen Asetat (NAA). BAP adalah zat pengatur tumbuh
sintetik yang berperan antara lain dalam pembelahan sel dan morfogenesis sedangkan NAA adalah
zat pengatur tumbuh sintetik yang mampu mengatur berbagai proses pertumbuhan dan
pemanjangan sel. Pemberian NAA pada konsentrasi 0,01-0,8 mg/l yang dikombinasikan dengan
kinetin mampu memperbaiki penggandaan tunas jahe.
Kombinasi konsentrasi 2 mg/l 2.4-D dengan 0,5 mg/l BAP pada medium dasar MS merupakan
kombinasi terbaik untuk penggandaan tunas kacang tanah dan embriogenesis ubi jalar. Efektifitas
BAP dan NAA pada penggandaan tunas abaca melalui kultur meristem belum diketahui secara pasti
sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Kombinasi konsentrasi BAP dan NAA berpengaruh
nyata terhadap variabel jumlah tunas, panjang tunas dan jumlah daun.
Selain dari perbanyakan, aplikasi kultur meristem yang terutama adalah eliminasi virus dari
bahan tanaman dan penyimpanan plasma nutfah yang bebas virus ini dengan teknik
Cryopreservation : preservasi dengan temperatur rendah. Kultur meristem dan eliminasi virus,
perbanyakan vegetatif yang menggunakan eksplan yang telah terinfeksi virus akan menjadi
penyebab tersebarnya virus dalam anakan (progeni) di lapangan. Penularan melalui benih sering
terjadi pada tanaman Fabaceae seperti buncis, ercis, dan kedelai.
Perkembangbiakan virus sangat tergantung pada metabolisme sel tnaman inang, antara
virus dan sel inang terdapat hubungan yang erat. Proses eliminasi virus melalui cara-cara kemoterapi
tidak selalu berhasil. Cara yang paling efisien adalah menggunakan kultur meristem.
Sel-sel meristem umumnya stabil karena mitosis pada sel-sel meristem terjadi bersama
dengan pembelahan sel yang berkesinambungan sehingga ekstra duplikasi DNA dapat dihindarkan.
Hal ini menyebabkan tanaman yang dihasilkan identik dengan tanaman donornya.
Selain dari perbanyakan, aplikasi kultur meristem yang terutama adalah eliminasi virus dari
bahan tanaman dan penyimpangan plasma nutfah yang bebas virus ini , dengan teknik
cryopreservation : preservasi dengan temperatur rendah. Sekelompok tanaman berupa klon yang
dihasilkan oleh kultur meristem yang disebut meriklon.
1) Kontaminasi
Kontaminasi adalah gangguan yang sangat umum terjadi dalam kegiatan kultur jaringan.
Munculnya gangguan ini bila dipahami secara mendasar adalah merupakan sesuatu yang sangat
wajar sebagai konsekuensi penggunaan yang diperkaya. Fenomena kontaminasi sangat beragam,
keragaman tersebut dapat dilihat dari jenis kontaminasinya (bakteri, jamur, virus, dll). Upaya
mencegah terjadinya kontaminsai. Biasakan membersihkan berbagai sarana yang diperlukan dalam
kultur jaringan. Yakinkan bahwa proses sterilisasi media secara baik dan benar. Lakukan proses
penanaman bahan pada keadaan anda nyaman dan cari waktu yang longgar.
2) Pencoklatan/browning
Pencoklatan adalah suatu karakter munculnya warna coklat atau hitam yang sering
membuat tidak terjadinya pertumbuhan dan perkembangan eksplan. Peristiwa pencoklatan
sesunggguhnya merupakan peristiwa alamiah yang biasa yang sering terjadi. Pencoklatan umumnya
merupakan suatu tanda-tanda kemunduran fisiologi eksplan dan tidak jarang berakhir pada
kematian eksplan.
3) Vitrifikasi
Vitrifikasi adalah suatu istilah problem pada kultur yang ditandai dengan: Munculnya
pertumbuhan dan pertumbuhan yang tidaknormal. Tanaman yang dihasikan pendek-pendek atau
kerdil. Pertrumbuhan batang cenderung ke arah penambahan diameter. Tanaman utuhnya menjadi
sangat turgescent. Pada daunnya tidak memiliki jaringan pallisade.
4) Variabilitas Genetik
Bila kultur jaringan digunakan untuk upaya perbanyakan tanaman yang seragam dalam
jumlah yang banyak, dan bukan sebagai upayapemuliaan tanaman
maka variasi genetik adalah kendala. Variasi genetik dapat terjadi pada kultur in
vitro karena:
Laju multiflikasi yang tinggi, variasi terjadi karena terjadinya sub kultur berulang yang tidak
terkontrol. Penggunaan teknik yang tidak sesuai. Variasi genetik yang paling umum terjadi pada
kultur kalus dan kultur suspensi sel, hal tersebut terjadi karena munculnya sifat instabilitas
kromosom mungkin akibat teknis kultur, media atau hormon.
Cara mengatasi problem variasi genetik tentunya tidak sederhana, harus
Problem utama berkaitan dengan proses pertumbuhan adalah bila eksplan yang ditanam
mengalami stagnasi, dari mulai tanam hingga kurun waktu tertentu
tidak mati tetapi tidak tumbuh. Untuk menghindari hal itu dapat dilakukan dengan preventif
menghindari bahan tanam yang tidak juvenil atau tidak meristematik. Karena awal pertumbuhan
eksplan akan dimulai dari sel-sel yang muda yang aktif membelah, atau dari sel-sel tua yang muda
kembali.
dari kondisi medialah suatu sel dapat atau tidak terdorong melakukan proses pembelahan dan
pembesaran dirinya. Pada proses klutur jaringan yang bersifa inderict embriogenesis, tahapan
pembentukan kalus harus dilanjutkan dengan mendorong induksi embriosomatik dari sel-sel kalus.
Terjadinya embrio somatik dapat secara endogen atau eksogen.
6) Praperlakuan
Masalah pada kegiatan in vitro bukan hanya dari penanaman eksplan saja, pertumbuahn dan
perkembangannya dlama botol saja tetapi juga sangat bisa dipengaruhi oleh persyaratan kegiatan
prapelakuan. Pada kasus ini masalah akan
muncul bila kegiatan prapelakuaan tidak dilakukan. Prapelakuan dilakukan umumnya untuk tujuan-
tujuan tertentu, secara umum adalah dalam rangka menghilangkan hambatan. Hambatan apat
berupa hambatan kemikalis, fisik, biologis. Hambatan berupa bahan kimia penanganannya harus
dimulai dari pengenalan senyawa aktif, potensi gangguan, proses reaksi dan alternatif
pengelolaannya.
7) Lingkungan Mikro
Masalah lingkungan inkubator juga tidak bisa diabaiakan karena ini juga sering menjadi
masalah. Suhu ruangan inkubator sangat menentukan optimasi pertumbuhan eksplan, suhu yang
terlalu rendah aatau tinggi dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pada eksplan.
Kebutuhan antara satu tananaman dengan tanaman yang lain berbeda, namun demikian solusinya
sulit dilakukan mengingat umumnya ruangan inkubator suatu ruangan laboratorium kultur jaringan
tidak bisa dibuat variasi antara satu ruangan dengan bagian ruangan yang lainnya. Sehingga optimasi
pertumbuhan tidak bisa diharapkan sama antara kultur yang satu dengan kultur yang lain.
Bibit dapat diproduksi dalam jumlah banyak dengan waktu yang relatif lebih cepat (dari satu
mata tunas yang sudah respon dalam 1 tahun dapat dihasilkan minimal 10.000 planlet/bibit)
Dalam proses pembibitan bebas dari gangguan hama, penyakit, dan deraan lingkungan
lainnya
Metabolit sekunder tanaman segera didapat tanpa perlu menunggu tanaman dewasa
Bagi orang tertentu, cara kultur jaringan dinilai mahal dan sulit.
Membutuhkan modal investasi awal yang tinggi untuk bangunan (laboratorium khusus),
peralatan dan perlengkapan.
Diperlukan persiapan SDM yang handal untuk mengerjakan perbanyakan kultur jaringan
agar dapat memperoleh hasil yang memuaskan
- Kultur meristem adalah kultur jaringan tanaman dengan menggunakan eksplan berupa jaringan-
jaringan meristematik.
- Jaringan meristem yang digunakan dapat berupa meristem pucuk terminal atau meristem tunas
aksilar.
- Dalam kultur meristem, perkembangan diarahkan untuk mendapatkan tanaman sempurna dari
jaringan meristem tersebut dan dapat sekaligus diperbanyak.
Daftar Pustaka
Gunawan, L.W. 1990. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Laboratorium Kultur Jaringan. Pusat Antar
Universitas (PAU) Bioteknologi. IPB. Bogor. P. 304.
Sitompul, S.M. dan Guritno.B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Salisburry, F.B. dan Ross, C.W.1992. Plant Physiology. Wadsworth Publishing Company, California.
Sriyanti, D.P. dan A.Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Yayasan Kansius.Yogyakarta. Hal. 18, 54, 57, 63,
67, 69, 82-83.
Sunarjono, H. 2002. Budidaya Pisang dengan Bibit Kultur Jaringan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Kutur Jaringan Produksi Metabolit Sekunder
E. Hasil Penelitian
Hasil penelitian dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan
Obat Tradisional dan Badan Penelitian dan Pengembang Kesehatan Kementerian Kesehatan
RI yang berjudul Pengaruh Penambahan Sitokinin Pada Senyawa Flavonoid Kalus
(Echinacea Purpurea L) mendapatkan hasil penetapan kadar flavonoid total dari kalus dan
tanaman Echinacea purpurea L hasil perlakuan dengan BAP 3 mg/l diperoleh 0,29%, pada
BAP 4 mg/l diperoleh 0,28% dan pada tanaman asal juga 0,28%. Kadar flavonoid tersebut
menunjukkan hasil yang hampir sama antara hasil induksi kalus dengan tanaman asal, bahkan
pada BAP 3 mg/l terjadi peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa kalus daun yang diperoleh
secara kultur jaringan dapat digunakan sebagai alternatif untuk menghasilkan metabolit
sekunder.