Anda di halaman 1dari 31

KULTUR MERISTEM

Meristem merupakan kumpulan sel-sel yang aktif membelah pada tempat tertentu pada
tanaman, dimana sel-sel tersebut akan membentuk sistem jaringan secara permanen seperti
akar, tunas, daun, bunga dan lain-lain. Sel-sel jaringan meristem mempunyai kemampuan
embrionik yang dapat membelah tanpa batas untuk membentuk jaringan dewasa untuk
kemudian menjadi organ-organ tanaman.
Bentuk dan ukuran titik tumbuh meristem berbeda antara tanaman yang satu dengan lainnya
tergantung kelompok tanaman secara taksonomik. Meristem pada tunas tanaman yang
tergolong dikotil mempunyai lapisan sel-sel yang membentuk kubah yang sel-selnya aktif
membelah berukuran diameter sekitar 0.1-0.2 mm dan panjang 0.2-0.3 mm. Meristem tidak
mempunyai vaskuler yang terhubung dengan jaringan phloem dan xylem pada batang.
Dibawah sel meristem terdapat sel-sel yang membelah dan memanjang yang berkembang
menjadi primordia daun.

Kultur meristem merupakan salah satu metoda dalam teknik kultur jaringan dengan
menggunakan eksplan berupa jaringan meristematik baik meristem pucuk terminal atau
meristem dari tunas aksilar. Tujuan utama aplikasi kultur meristem adalah mendapatkan dan
memperbanyak tanaman yang bebas virus (eliminasi virus dari bahan tanaman). Kultur
meristem sebagai metoda untuk perbanyakan tanaman yang bebas virus sudah secara luas
diaplikasikan terutama pada tanaman hortikultura. Sel-sel meristem pada umumnya stabil,
karena mitosis pada sel-sel meristem terjadi bersama dengan pembelahan sel yang
berkesinambungan, sehingga ekstra duplikasi DNA dapat dihindarkan. Hal ini menyebabkan
tanaman yang dihasilkan identik dengan tanaman donornya (Gunawan, 1988). Jaringan
meristem merupakan jaringan vegetatif sehingga plantlet yang dihasilkannyapun merupakan
suatu klon. Oleh karena itu kelompok tanaman yang dihasilkan dari kultur meristem sering
disebut mericlone.
Morel dan Martin (1952) merupakan orang pertama yang berhasil menumbuhkan meristem
tanaman dahlia yang terserang virus dan memperoleh tanaman yang bebas virus. Setelah itu
penggunaan kultur meristem terhadap berbagai jenis tanaman banyak dikembangkan. Pada
tahun 1960 Morel berhasil memperbanyak tanaman Cymbidium yang bebas virus. Dari hasil
perbanyakan kultur meristem anggrek tersebut, Morel menemukan pembentukan kalus
terlebih dahulu. Dan dari kalus tersebut kemudian membentuk struktur yang serupa dengan
perkembangan awal dari perkecambahan biji anggrek sebelum menjadi tanaman. Struktur
tersebut disebut dengan protocorm. Protocorm akan memperbanyak diri menjadi massa
protocorm yang baru apabila ditumbuhkan pada media tumbuh yang sama dan akan tumbuh
menjadi tanaman lengkap (plantlet) apabila dipindahkan ke media pendewasaan dan
perakaran.
Berbeda dengan Morel yang telah berhasil mengklonkan tanaman anggrek melalui
protocorm, Hussey dan Stacey (1960) memperbanyak tanaman kentang secara massal yang
bebas virus melalui subkultur tunas aksiler secara berulang. Eksplan tunas kentang yang
sudah bebas virus dijadikan eksplan awal ditumbuhkan pada media perbanyakan yang
menghasilkan tunas dengan buku-buku yang mengandung tunas ketiak disetiap bukunya.
Tiap bulan dapat dihasilkan rata-rata 3-5 buku. Setiap empat minggu buku-buku tersebut
dipotong untuk dikulturkan ke media baru. Setelah empat minggu dipotong-potong lagi.
Demikian seterusnya sehingga dalam satu tahun dapat dihasilkan jutaan tanaman.
Keberhasilan kultur meristem tergantung pada beberapa faktor, diantaranya media kultur,
keadaan fisiologis eksplan dan lingkungan fisik tumbuh. Sering terjadi bahwa jaringan
meristem yang ditanam tidak menunjukkan proses morfogenesis, hal ini disebabkan sel-sel
dari eksplan tidak mengadakan pembelahan dan berdiferensiasi. Jaringan meristem
merupakan jaringan yang sel-selnya aktif membelah, biasanya jaringan ini akan mempunyai
daya hidup yang lebih besar dan dapat beregenerasi dengan baik apabila ditanam bersama
dengan daun primordianya. Akan tetapi lebih disarankan apabila tujuannya untuk
mendapatkan tanaman bebas virus sebaiknya meristem ditanam tanpa disertakan daun
primordia.
Perbanyakan tanaman kentang melalui kultur meristem untuk eliminasi virus dapat
dicontohkan seperti yang dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang
yaitu sebagai berikut:
Sebagai sumber eksplan adalah tunas-tunas yang tumbuh dari umbi berukuran 3-5 cm. Titik
tumbuh / jaringan meristem yang diambil berukuran 0.25-0.4 mm dengan menggunakan
skalpel atau jarum. Pengambilan meristem dilakukan dibawah mikroskop binokuler
(pembesaran 25-40 kali) dalam lingkungan steril (dalam laminar airflow). Meristem ditanam
secara in vitro pada media dasar MS yang ditambah suplemen sukrosa 30 g/l, myo-inositol
100 mg/l, GA3 0.1-0.25 mg/l, agar 7 g/l, pH 5.6-5.7. Biakan kemudian diinkubasi di ruang
kultur dengan suhu 20-22oC, dengan diberi penerangan 1000-2000 lux selama 16 jam per
hari. Subkultur dilakukan setelah jaringan meristem tumbuh dan berkembang menjadi
plantlet. Pada umumnya jaringan meristem akan tumbuh dan berkembang menjadi plantlet
setelah 3-6 bulan stelah tanam. Plantlet kemudian diperbanyak dengan metoda penanaman
stek satu buku pada media MS yang diperkaya air kelapa 100 ml/l, gula 30 g/l, GA3 0.15
mg/l, agar 7 g/l, pH 5.7. Biakan disimpan pada kondisi yang sama dengan kultur meristem.
Stek mikro tersebut umumnya dapat diperbanyak kembali setelah berumur 3-5 minggu
(Gambar F-6.3).
BAB I
PENDAHULUAN

Kultur jaringan dalam bahasa asing disebut sebagai tissue culture. Kultur adalah budidaya
dan jaringan adalah sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama. Jadi, kultur
jaringan berarti membudidayakan suatu jaringan tanaman menjadi tanaman kecil yang mempunyai
sifat seperti induknya. Kultur jaringan akan lebih besar presentase keberhasilannya bila
menggunakan jaringan meristem. Jaringan meristem adalah jaringan muda, yaitu jaringan yang
terdiri dari sel-sel yang selalu membelah, dinding tipis, plasmanya penuh dan vakuolanya kecil-kecil.
Kebanyakan orang menggunakan jaringan ini untuk tissue culture. Sebab, jaringan meristem
keadaannya selalu membelah, sehingga diperkirakan mempunyai zat hormon yang mengatur
pembelahan.

Teknik kultur jaringan sebenarnya sangat sederhana, yaitu suatu sel atau irisan jaringan
tanaman yang sering disebut eksplan secara aseptik diletakkan dan

dipelihara dalam medium pada atau cair yang cocok dan dalam keadaan steril. dengan cara demikian
sebaian sel pada permukaan irisan tersebut akan mengalami

proliferasi dan membentuk kalus. Apabila kalus yang terbentuk dipindahkan ke dalam medium
diferensiasi yang cocok, maka akan terbentuk tanaman kecil yang lengkap dan disebut planlet.
Dengan teknik kultur jaringan ini hanya dari satu irisan kecil suatu jaringan tanaman dapat dihasilkan
kalus yang dapat menjadi planlet dlama jumlah yang besar.

Pelaksanaan teknik kultur jaringan tanaman ini berdasarkan teori sel sperti yang
dikemukakan oleh Schleiden, yaitu bahwa sel mempunyai kemampuan autonom, bahkan
mempunyai kemampuan totipotensi. Totipotensi adalah kemampuan setiap sel, darimana saja sel
tersebut diambil, apabila diletakkan dilingkungan yang sesuai akan tumbuh menjadi tanaman yang
sempurna. Teknik kultur jaringan akan berhasil dengan baik apabila syarat-syarat yang diperlukan
terpenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi pemilihan eksplan sebagai bahan dasar untuk
pembentukkan kalus, penggunaan medium yang cocok, keadaan yang aseptik dan pengaturan udara
yang baik terutama untuk kultur cair. Meskipun pada prinsipnya semua jenis sel dapat ditumbuhkan,
tetapi sebaiknya dipilih bagian tanaman yang masih muda dan mudah tumbuh yaitu bagian
meristem, seperti: daun muda, ujung akar, ujung batang, keping biji dan sebagainya. Bila
menggunakan embrio bagian bji-biji yang lain sebagai eksplan, yang perlu diperhatikan adalah
kemasakan embrio, waktu imbibisi, temperatur dan dormansi.

Kegunaan utama dari kultur jaringan adalah untuk mendapatkan tanaman baru dalam
jumlah banyak dalam waktu yang relatif singkat, yang mempunyai sifat fisiologi dan morfologi sama
persis dengan induknya. Dari teknik kultur jaringan tanaman ini diharapkan juga memperoleh
tanaman baru yang bersifat unggul. Secara lebih rinci dan jelas berikut ini akan dibahas secara
khusus kegunaan dari kultur jaringan terhadap berbagai ilmu pengetahuan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Regenerasi tanaman dengan menggunakan teknik kultur jaringan dapat dilakukan melalui
jalur organogenesis dan embriogenesis somatik. Perbanyakan tanaman dengan menggunakan teknik
kultur jaringan melalui jalur embriogenesis somatik lebih menguntungkan dibandingkan melalui
organogenesis karena dapat menghasilkan tanaman baru dengan jumlah yang lebih banyak. Selain
itu, karena embriosomatik berasal dari sel tunggal maka akan lebih mudah untuk memonitor proses
pertumbuhan setiap individu tanaman. Embriogenesis somatik juga merupakan jalur yang lebih
efisien untuk penelitian yang melibatkan produksi tanaman yang ditransformasikan secara genetik.

Jaringan meristematik yang digunakan sebagai sumber eksplan dalam kultur meristem dapat
berupa meristem apikal atau meristem tunas aksiler. Kultur meristem digunakan untuk
mengeliminasi virus, untuk memperoleh pengetahuan tentang peranan nutrisi dan hormone
terhadap diferensiasi serta pertumbuhan embrio somatik maupun tunas, dan untuk diaplikasikan
untuk menyimpan plasma nutfah.

2.1 Pemilihan dan Penyiapan Tanaman Induk Sumber Eksplan

Sebelum melakukan kultur jaringan untuk suatu tanaman, kegiatan yang pertama harus
dilakukan adalah memilih bahan induk yang akan diperbanyak. Tanaman tersebut harus jelas jenis,
spesies, dan varietasnya serta harus sehat dan bebas dari hama dan penyakit. Tanaman indukan
sumber eksplan tersebut harus dikondisikan dan dipersiapkan secara khusus di rumah kaca atau
greenhouse agar eksplan yang akan dikulturkan sehat dan dapat tumbuh baik serta bebas dari
sumber kontaminan pada waktu dikulturkan secara in-vitro.

Lingkungan tanaman induk yang lebih higienis dan bersih dapat meningkatkan kualitas
eksplan. Pemeliharaan rutin yang harus dilakukan meliputi : pemangkasan, pemupukan, dan
penyemprotan dengan pestisida (fungisida, bakterisida, dan insektisida), sehingga tunas baru yang
tumbuh menjadi lebih sehat dan dan bersih dari kontaminan. Selain itu pengubahan status fisiologi
tanaman induk sumber eksplan kadang – kadang perlu dilakukan seperti memanipulasi parameter
cahaya, suhu, dan zat pengatur tumbuh.
Manipulasi tersebut bisa dilakukan dengan mengondisikan tanaman induk dengan
fotoperiodisitas dan temperatur tertentu untuk mengatasi dormansi serta penambahan ZPT seperti
sitokinin untuk merangsang tumbuhnya mata tunas baru dan untuk meningkatkan reaktivitas
eksplan pada tahap inisiasi kultur.

2.2 Inisiasi Kultur

Tujuan utama dari propagasi secara in-vitro tahap ini adalah pembuatan kultur dari eksplan
yang bebas mikroorganisme serta inisiasi pertumbuhan baru. Pada tahap ini mengusahakan kultur
yang aseptik atau aksenik. Aseptik berarti bebas dari mikroorganisme, sedangkan aksenik berarti
bebas dari mikroorganisme yang tidak diinginkan. Dalam tahap ini juga diharapkan bahwa eksplan
yang dikulturkan akan menginisiasi pertumbuhan baru, sehingga akan memungkinkan dilakukannya
pemilihan bagian tanaman yang tumbuhnya paling kuat,untuk perbanyakan (multiplikasi) pada
kultur tahap selanjutnya.

Untuk mendapakan kultur yang bebas dari kontaminasi, eksplan harus disterilisasi. Sterilisasi
merupakan upaya untuk menghilangkan kontaminan mikroorganisme yang menempel di permukaan
eksplan. beberapa bahan kimia yang dapat digunakan untuk mensterilkan permukaan eksplan
adalah NaOCl, CaOCl2, etanol, dan HgCl2.

Kesesuaian bagian tanaman untuk dijadikan eksplan, dipengaruhi oleh banyak faktor.
Tanaman yang memiliki hubungan kekerabatan dekat pun, belum tentu menunjukkan rspon in-vitro
yang sama. Penggunaan eksplan yan tepat merupakan hal penting yang juga harus diperhatikan
pada tahap ini. Umur fisiologis dan ontogenetik tanaman induk, serta ukuran eksplan bagian
tanaman yang digunakan sebagai eksplan, merupakan faktor penting dalam tahap ini. Bagi
kebanyakan tanaman, eksplan yang sering digunakan adalah tunas pucuk (tunas apikal) atau mata
tunas lateral pada potongan batang berbuku. Namun belakangan ini, eksplan potongan daun yang
dulunya hanya digunakan untuk tanaman-tanaman herba, seperti violces, begonia, petunia dan
tomat, ternyata dapat digunakan juga untuk tanaman-tanaman berkayu seperti Ficus lyrata, Annona
squamosa, dan melinjo.

Eksplan yang dapat digunakan untuk memperbanyak tanaman Anthurium sendiri


diantaranya adalah tunas pucuk, daun, tangkai daun muda, tangkai bunga, spate, spandik, biji, ruas
batang dan anther. Umur fisiologis dan umur ontogenetik jaringan tanaman yang dijadikan eksplan
juga berpengaruh terhadap potensi morfogenetiknya. Umumnya, eksplan yang berasal dari tanaman
Bougenvile mempunyai daya regenerasi tinggi untuk membentuk tunas lebih cepat dibandingakan
dengan eksplan yang berasal dari tanaman yang sudah dewasa.

Masalah yang sering dihadapi pada kultur tahap ini adalah terjadinya pencokelatan atau
penghitaman bagian eksplan (browning). Hal ini disebabkan oleh senyawa fenol yang timbul akibat
stress mekanik yang timbul akibat pelukaan pada waktu proses isolasi eksplan dari tanaman induk.
Senyawa fenol tersebut bersifat toksik, menghambat pertumbuhan atau bahkan dapat mematikan
jaringan eksplan.

2.3 Multiplikasi atau Perbanyakan Propagul

Tahap ini bertujuan untuk menggandakan propagul atau bahan tanaman yang diperbanyak
seperti tunas atau embrio, serta memeliharanya dalam keadaan tertentu sehingga sewaktu-waktu
bisa dilanjutkan untuk tahap berikutnya. Pada tahap ini, perbanyakan dapat dilakukan dengan cara
merangsang terjadinya pertumbuhan tunas cabang dan percabangan aksiler atau merangsang
terbentuknya tunas pucuk tanaman secara adventif, baik secara langsung maupun melalui induksi
kalus terlebih dahulu. Seperti halnya dalam kultur fase inisiasi, di dalam media harus terkandung
mineral, gula, vitamin, dan hormon dengan perbandingan yang dibutuhkan secara tepat.

Hormon yang digunakan untuk merangsang pembentukan tunas tersebut berasal dari
golongan sitokinin seperti BAP, 2-iP, kinetin, atau thidiadzuron (TDZ). Kemampuan memperbanyak
diri yang sesungguhnya dari suatu perbanyakan secara in-vitro terletak pada mudah tidaknya suatu
materi ditanam ulang selama multiplikasi. Eksplan yang dalam kondisi bagus dan tidak
terkontaminasi dari tahap inisiasi kultur dipindahkan atau disubkulturkan ke media yang
mengandung sitokinin. Subkultur dapat

dilakukan berulang-ulang kali sampai jumlah tunas yang kita harapkan, namun subkultur yang terlalu
banyak dapat menurunkan mutu dari tunas yang dihasilkan, seperti terjadinya penyimpangan
genetik (aberasi), menimbulkan suatu gejala ketidak normalan (vitrifikasi) dan frekuensi terjadinya
tanaman off-type sangat besar.

2.4 Pemanjangan Tunas, Induksi, dan Perkembangan Akar

Tujuan dari tahap ini adalah untuk membentuk akar dan pucuk tanaman yang cukup kuat
untuk dapat bertahan hidup sampai saat dipindahkan dari lingkungan in-vitro ke lingkungan luar.
Dalam tahap ini, kultur tanaman akan memperoleh ketahanannya terhadap pengaruh lingkungan,
sehingga siap untuk diaklimatisasikan.

Tunas-tunas yang dihasilkan pada tahap multiplikasi di pindahkan ke media lain untuk
pemanjangan tunas. Media untuk pemanjangan tunas mengandung sitokinin sangat rendah atau
tanpa sitokinin. Tunas tersebut dapat dipindahkan secara individu atau berkelompok. Pemanjangan
tunas secara berkelompok lebih ekonomis daripada secara individu. Setelah tumbuh cukup panjang,
tunas tersebut dapat diakarkan. Pemanjangan tunas dan pengakarannya dapat dilakukan sekaligus
atau secara bertahap, yaitu setelah dipanjangkan baru diakarkan. Pengakaran tunas in-vitro dapat
dilakukan dengan memindahkan tunas ke media pengakaran yang umumnya memerlukan auksin
seperti NAA atau IBA.

Keberhasilan tahap ini tergantung pada tingginya mutu tunas yang dihasilkan pada tahap
sebelumnya. Disamping itu, beberapa perlakuan yang disebut hardening in vitro telah dilaporkan
dapat meningkatkan mutu tunas sehingga planlet atau tunas mikro tersebut dapat diaklimatisasikan
dengan persentase yang lebih tinggi. Beberapa perlakuan yang bisa dilakukan sebagai berikut:

1. Mengondiskan kultur di tempat yang pencahaannya berintensitas lebih tinggi (contohnya 10000 lux)
dan suhunya lebih tinggi.
2. Pemanjangan dan pemanjangan tnas mikro dilakukan dalam media kultur dengan hara mineral dan
sukrosa lebih rendah dan konsentrasi agar-agar lebih tinggi.

2.5 Aklimatisasi

Dalam proses perbanyakan tanaman secara kultur jaringan, tahap aklimatisasi planlet
merupakan salah satu tahap kritis yang sering menjadi kendala dalam produksi bibit secara masal.
Pada tahap ini, planlet atau tunas mikro dipindahkan ke lingkungan di luar botol seperti rumah kaca ,
rumah plastik, atau screen house (rumah kaca kedap serangga). Proses ini disebut aklimatisasi.

Aklimatisasi adalah proses pengkondisian planlet atau tunas mikro (jika pengakaran
dilakukan secara ex-vitro) di lingkungan baru yang aseptik di luar botol, dengan media tanah, atau
pakis sehingga planlet dapat bertahan dan terus menjadi bibit yang siap di lapangan. Prosedur
pembiakan dengan kultur jaringan baru bisa dikatakan berhasil jika planlet dapat diaklimatisasi ke
kondisi eksternal dengan keberhasilan yang tinggi. Tahap ini merupakan tahap kritis karena kondisi
iklim mikro di rumah kaca, rumah plastik, rumah bibit, dan lapangan sangatlah jauh berbeda dengan
kondisi iklim mikro di dalam botol.
Kondisi di luar botol bekelembaban nisbi jauh lebih rendah, tidak aseptik, dan tingkat
intensitas cahayanya jauh lebih tinggi daripada kondisi dalam botol. Planlet atau tunas mikro lebih
bersifat heterotrofik karena sudah terbiasa tumbuh dalam kondisi berkelembaban sangat tinggi,
aseptik, serta suplai hara mineral dan sumber energi berkecukupan. Disamping itu tanaman tersebut
memperlihatkan beberapa gejala ketidak normalan, seperti bersifat sukulen, lapisan kutikula tipis,
dan jaringan vaskulernya tidak berkembang sempurna, morfologi daun abnormal dengan tidak
berfungsinya stomata sebagai mana mestinya. Strutur mesofil berubah, dan aktifitas fotosintesis
sangat rendah. Dengan karakteristik seperti itu, planlet atau tunas mikro mudah menjadi layu atau
kering jika dipindahkan ke kondisi eksternl secara tiba-tiba. Karena itu, planlet atau tunas mikro
tersebut diadaptasikan ke kondisi lngkungan yang baru yang lebih keras. Dengan kata lain planlet
atau tunas mikro perlu diaklimatisasikan.

Tahapan yang dilakukan dalam perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan adalah :

1. Pembuatan media

2. Inisiasi

3. Sterilisasi

4. Multiplikasi

5. Pengakaran

6. Aklimatisasi
BAB III

ISI

Kultur meristem (meristem culture) adalah kultur jaringan tanaman dengan menggunakan
eksplan berupa jaringan-jaringan meristematik. Jaringan meristem yang digunakan dapat berupa
meristem pucuk terminal atau meristem tunas aksilar. Dalam kultur meristem, perkembangan
diarahkan untuk mendapatkan tanaman sempurna dari jaringan meristem tersebut dan dapat
sekaligus diperbanyak.

Kultur meristem, sudah secara luas diterapkan untuk tujuan perbanyakan tanaman,
terutama pada tanaman hortikultura. Sel-sel meristem pada umumnya stabil, karena mitosis pada
sel-sel meristem terjadi bersama mericloneengan pembelahan sel yang berkesinambungan, sehingga
ekstra duplikasi DNA dapat dihindarkan. Hal ini menyebabkan tanaman yang dihasilkan identik
dengan tanaman donornya. Berikut akan dijelaskan alasan kultur meristem dilakukan pada beberapa
jenis tanaman.

1. Kentang (Solanum fuberosunz L.)

Tanaman kentang (Solarium fuberosunz L.) diperbanyak secara vegetatif melalui umbi
sehingga kemungkinan terjadinya degenerasi akan lebih besar. Penyakit virus merupakan salah satu
penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya degenerasi pada tanaman kentang. Virus menginfeksi
umbi kentang kemudian berkembang dan menular secara turun temurun pada generasi berikutnya.

Kendala utama dalam peningkatan produksi kentang adalah pengadaan dan distribusi benih
kentang berkualitas yang belum kontinyu dan memadai. Padahal saat ini, penggunaan benih bebas
pathogen/berkualitas mutlak diperlukan. Bibit bebas patogen, bisa didapatkan melalui kultur
jaringan disertai dengan pengujian patogen secara intensif dan dilanjutkan dengan teknik
perbanyakan cepat khususnya dengan menanam stek secara inviltro atau in vivo, untuk
mendapatkan bibit kentang generasi nol.

Kegiatan memproduksi benih kentang berkualitas baik dalam bentuk tanaman in vitro atau
umbi mini dibagi dalam 4 tahap mulai dari eliminasi penyakit sistemik terutama virus, Penggunaan
teknik in vitro untuk tujuan perbanyakan vegetatif, Aklimatisasi, dan produksi umbi mini kentang.
Teknik kultur jaringan sangat membantu dalam usaha mengeliminasi penyakit sistemik
terutama penyakit virus. Metode yang umum digunakan untuk produksi plantlet dan umbi mikro
kentang adalah teknik kultur meristem atau kultur satu mata tunas (single-node culture). Kultur
meristem digunakan untuk produksi bibit kentang bebas virus.

Keberhasilan dalam menggunakan metoda kultur jaringan sangat bergantung perbanyakan ini
dimulai dengan penumbuhan jaringan meristem hingga pada penempatan kultur di ruang inkubasi
atau incubator dengan suhu 20 – 22oC dengan photoperiode 16 jam terang 8 jam gelap. Pada
umumnya jaringan meristem akan tumbuh menjadi plantlet setelah 3 – 6 bulan setelah tanam.

Kehilangan hasil akibat virus daun menggulung (PLRV) adalah 25 – 90 %, sedangkan akibat
virus mosaik (PVX, PVY dan PVS) adalah 5 - 80 %Virus pada tanaman kentang dapat dieliminasi
dengan teknik kultur jaringan yaitu kultur meristem atau menggunaan antiviral seperti Virazol
(Ribavirin). Ribavirin adalah suatu senyawa sintetis yang telah dilaporkan mempunyai aktivitas
antiviral terhadap banyak ragam virus. Ribavirin (=Virazole; 1 - B - D -ribofuranosyl - 1 - 2 - 4 -
triazole - 3 -carboxarnide), merupakan analog suatu anabolit basa purine, telah terbukti pada lebih
dari 20 jenis virus DNA dan RNA virus yang bersifat patogenik pada hewan dan manusia serta dapat
menghambat beberapa virus tumbuhan. Ribavin merupakan suatu senyawa nukleosida yang tidak
berwarna serta dapat larut dan stabil dalam air, mempunyai rumus molekul CaHlzNaOs dengan
berat molekul (FW) 244,2. Ribavirin mampu menekan replikasi virus dalam jaringan terinfeksi.
Ribavirin menurunkan konsentrasi virus secara mencolok pada daun yang lebih atas (bagian pucuk).
Hal ini mungkin disebabkan oleh penyebaran virus yang lambat dan terjadmya penghambatan pada
biosintesis virus.

Semakin tinggi konsentrasi Ribavirin ternyata dapat menghambat proliferasi jaringan


meristem, persentase poliferasi kecil namun semua explant dapat tumbuh dan berkembang
membentuk tunas. Keberhasilan explant mengadakan pembelahan dan berdiferensiasi disebabkan
oleh sel-sel yang terdapat di explant bersifat tidak totipoten. Dalam kultur jaringan explant baru
dapat dikatakan lulus hidup jika terjadi peningkatan jumlah sel yang ada atau explant menjadi masa
yang lebih besar.

Berikut cara kultur meristem dari kentang :

Persiapan bahan tanaman

a. Umbi kentang yang mempunyai bobot 30 g/ buah atau umbi yang besar yang dipotong dengan berat
20 g/potong dengan beberapa mata.
b. Umbi direndam dalam 0,03 μm GA3 selama 1 jam.
c. Umbi diletakan pada pasir yang lembab.
d. Tunas yang 3-5 cm dipergunakan sebagai bahan awal.

Isolasi meristem
Tunas dicuci bersih menggunakan detergen dan disterilkan dalam larutan clorox 20% selama
7 menit, direndam lagi dalam larutan clorox 10% selama 10 menit, selanjutnya dibilas menggunakan
aquadest steril. Tunas dipindahkan pada petri-dish steril. Tunas diambil bagian jaringan meristem
dengan cara seperti pada pengambilan jaringan meristem pada kedelai. Media yang digunakan
adalah MS + 1 g/L Bacto-tryptone. Botol kultur disimpan dalam inkubator pada suhu 25 oC, panjang
penyinaran 12 jam /hari, intensitas cahaya 150 lux selama 7 minggu. plantula yang telah dihasilkan
diuji dengan ELISA test. Bila telah bebas virus, plantula dapat disubkultur dengan memotong-motong
1 buku/ eksplan, dipindahkan ke madia MS + 0,001 mg/L dan diulangi prosedur tiak 20 hari, untuk
mendapatkan plantula dalam jumlah banyak.

2. Pisang Barangan (Musa paradisiaca L.)

Pisang barangan telah diperbanyak melalui teknik kultur jaringan, hingga memperoleh bibit
kultur yang baik (seragam atau bebas patogen) atau sama seperti induknya dalam jumlah yang lebih
banyak dan relatif cepat. Media yang digunakan yaitu MS (murashige dan skoog) merupakan media
dasar yang telah banyak digunakan dalam kultur jaringan. Tanaman pisang mempunyai ciri spesifik
yang mudah dibedakan dari jenis tanaman lainnya. Tanamannya terdiri dari daun, batang (bonggol),
batang semu, bunga, dan buah. Pisang termasuk keluarga musaceae, salah satu anggota ordo
scitamineae.

Morfologi tanaman dapat tampak jelas melalui batangnya yang berlapis-lapis. Lapisan ini
sebenarnya merupakan dasar dari pelepah daun yang dapat menyimpan air (sukulenta) sehingga
lebih tepat disebut batang semu (pseudostem). Daun pisang Cavendish berwarna hijau tua.
Lembaran daun (lamina) pisang lebar dengan urat daun utama menonjol berukuran besar sebagai
pengembangan dari morfologis lapisan batang semu (gedebog). Batang pisang sesungguhnya
terdapat didalam tanah, yaitu yang sering disebut bonggol. Pada sepertiga bagian bonggol sebelah
atas terdapat mata calon tumbuh tunas anakan.

Bunga pisang yang disebut tongkol yang disebut jantung. Bunga ini muncul dari primordia
yang terbentuk pada bonggolnya, perkembangan primordia bunga memanjang keatas hingga
menembus inti batang semu dan keluar diujung batang semu tersebut. Panjang Tandan 60 - 100 cm
dengan berat 15 - 30 kg. Setiap tandan terdiri dari 8 - 13 sisiran dan setiap sisiran ada 12 - 22 buah.
Daging buah putih kekuningan, rasanya manis agak asam, dan lunak. Kulit buah agak tebal berwarna
hijau kekuningan sampai kuning muda halus. Umur panen 3 - 3,5 bulan sejak keluar jantung.

Salah satu tanaman buah-buahan yang diperbanyak secara komersial dengan teknik kultur
jaringan adalah pisang. Pisang biasanya diperbanyak secara vegetatif menggunakan anakan atau
bonggolnya. Ukuran anakan yang cukup besar menyulitkan transportasi bibit dari satu tempat ke
tempat penanamannya. Anakan yang diproduksi oleh satu induk pisang ukuran dan umurnya
beragam, sehingga sangat sulit untuk memperoleh anakan berukuran seragam dalam jumlah
memadai untuk perkebunan pisang secara komersial.

Perbanyakan klonal pisang dengan teknik kultur jaringan dapat mengatasi kendala-kendala
tersebut. Metode dan tahapan perbanyakan yang digunakan untuk perbanyakan klonal pisang ini
serupa dengan metode perbanyakan lainnya. Teknik yang umum digunakan adalah kultur meristem
(meristem culture) atau kultur pucuk (shoot culture), selain itu telah dicoba juga untuk
mengkulturkan tangkai bunga inflorescence muda pisang. Pisang Cavendish di Indonesia lebih
dikenal dengan Pisang Ambon Putih. Perbanyakan tanaman pisang secara kultur jaringan bertujuan
untuk mendapatkan bibit bermutu dalam jumlah banyak dan cepat selama kurun waktu tertentu.
Ditinjau dari tujuan tersebut maka adanya bibit kultur jaringan akan mampu mendukung
pengembangan kebun agribisnis dalam skala luas. Bibit pisang kultur jaringan adalah bibit yang
dihasilkan melalui biakan jaringan (sel meristem) pada media buatan dalam laboratorium (in vitro).

3. Pisang Abaca (Musa textilis Nee.)

Perbanyakan abaca dapat melalui teknik kultur in-vitro. Salah satu tahapan dalam teknik
kultur in-vitro adalah penggandaan tunas. Tunas yang digandakan dapat berasal dari tunas mikro
hasil induksi meristem apikal sebagai sumber eksplan, sehingga disebut kultur meristem. Kelebihan
kultur meristem adalah mampu menghasilkan bibit tanaman yang identik dengan induknya dan
bebas virus. Kultur meristem mampu meningkatkan laju induksi dan penggandaan tunas, mampu
memperbaiki mutu bibit yang dihasilkan, mampu mempertahankan sifat-sifat morfologi yang positif.

Keberhasilan penggandaan tunas abaca melalui kultur meristem sangat tergantung pada
keseimbangan zat pengatur tumbuh golongan auksin dan sitokinin, terutama keseimbangan antara
6-Benzil Amino Purin (BAP) dan Asam Naftalen Asetat (NAA). BAP adalah zat pengatur tumbuh
sintetik yang berperan antara lain dalam pembelahan sel dan morfogenesis sedangkan NAA adalah
zat pengatur tumbuh sintetik yang mampu mengatur berbagai proses pertumbuhan dan
pemanjangan sel. Pemberian NAA pada konsentrasi 0,01-0,8 mg/l yang dikombinasikan dengan
kinetin mampu memperbaiki penggandaan tunas jahe.

Kombinasi konsentrasi 2 mg/l 2.4-D dengan 0,5 mg/l BAP pada medium dasar MS merupakan
kombinasi terbaik untuk penggandaan tunas kacang tanah dan embriogenesis ubi jalar. Efektifitas
BAP dan NAA pada penggandaan tunas abaca melalui kultur meristem belum diketahui secara pasti
sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Kombinasi konsentrasi BAP dan NAA berpengaruh
nyata terhadap variabel jumlah tunas, panjang tunas dan jumlah daun.

Selain dari perbanyakan, aplikasi kultur meristem yang terutama adalah eliminasi virus dari
bahan tanaman dan penyimpanan plasma nutfah yang bebas virus ini dengan teknik
Cryopreservation : preservasi dengan temperatur rendah. Kultur meristem dan eliminasi virus,
perbanyakan vegetatif yang menggunakan eksplan yang telah terinfeksi virus akan menjadi
penyebab tersebarnya virus dalam anakan (progeni) di lapangan. Penularan melalui benih sering
terjadi pada tanaman Fabaceae seperti buncis, ercis, dan kedelai.

Perkembangbiakan virus sangat tergantung pada metabolisme sel tnaman inang, antara
virus dan sel inang terdapat hubungan yang erat. Proses eliminasi virus melalui cara-cara kemoterapi
tidak selalu berhasil. Cara yang paling efisien adalah menggunakan kultur meristem.

Sel-sel meristem umumnya stabil karena mitosis pada sel-sel meristem terjadi bersama
dengan pembelahan sel yang berkesinambungan sehingga ekstra duplikasi DNA dapat dihindarkan.
Hal ini menyebabkan tanaman yang dihasilkan identik dengan tanaman donornya.

Selain dari perbanyakan, aplikasi kultur meristem yang terutama adalah eliminasi virus dari
bahan tanaman dan penyimpangan plasma nutfah yang bebas virus ini , dengan teknik
cryopreservation : preservasi dengan temperatur rendah. Sekelompok tanaman berupa klon yang
dihasilkan oleh kultur meristem yang disebut meriklon.

Masalah-masalah yang terjadi dalam kultur jaringan yaitu:

1) Kontaminasi

Kontaminasi adalah gangguan yang sangat umum terjadi dalam kegiatan kultur jaringan.
Munculnya gangguan ini bila dipahami secara mendasar adalah merupakan sesuatu yang sangat
wajar sebagai konsekuensi penggunaan yang diperkaya. Fenomena kontaminasi sangat beragam,
keragaman tersebut dapat dilihat dari jenis kontaminasinya (bakteri, jamur, virus, dll). Upaya
mencegah terjadinya kontaminsai. Biasakan membersihkan berbagai sarana yang diperlukan dalam
kultur jaringan. Yakinkan bahwa proses sterilisasi media secara baik dan benar. Lakukan proses
penanaman bahan pada keadaan anda nyaman dan cari waktu yang longgar.

2) Pencoklatan/browning

Pencoklatan adalah suatu karakter munculnya warna coklat atau hitam yang sering
membuat tidak terjadinya pertumbuhan dan perkembangan eksplan. Peristiwa pencoklatan
sesunggguhnya merupakan peristiwa alamiah yang biasa yang sering terjadi. Pencoklatan umumnya
merupakan suatu tanda-tanda kemunduran fisiologi eksplan dan tidak jarang berakhir pada
kematian eksplan.

3) Vitrifikasi

Vitrifikasi adalah suatu istilah problem pada kultur yang ditandai dengan: Munculnya
pertumbuhan dan pertumbuhan yang tidaknormal. Tanaman yang dihasikan pendek-pendek atau
kerdil. Pertrumbuhan batang cenderung ke arah penambahan diameter. Tanaman utuhnya menjadi
sangat turgescent. Pada daunnya tidak memiliki jaringan pallisade.

4) Variabilitas Genetik

Bila kultur jaringan digunakan untuk upaya perbanyakan tanaman yang seragam dalam
jumlah yang banyak, dan bukan sebagai upayapemuliaan tanaman

maka variasi genetik adalah kendala. Variasi genetik dapat terjadi pada kultur in

vitro karena:

Laju multiflikasi yang tinggi, variasi terjadi karena terjadinya sub kultur berulang yang tidak
terkontrol. Penggunaan teknik yang tidak sesuai. Variasi genetik yang paling umum terjadi pada
kultur kalus dan kultur suspensi sel, hal tersebut terjadi karena munculnya sifat instabilitas
kromosom mungkin akibat teknis kultur, media atau hormon.
Cara mengatasi problem variasi genetik tentunya tidak sederhana, harus

memperhatikan aspek yang dikulturkan.


5) Pertumbuhan dan Perkembangan

Problem utama berkaitan dengan proses pertumbuhan adalah bila eksplan yang ditanam
mengalami stagnasi, dari mulai tanam hingga kurun waktu tertentu

tidak mati tetapi tidak tumbuh. Untuk menghindari hal itu dapat dilakukan dengan preventif
menghindari bahan tanam yang tidak juvenil atau tidak meristematik. Karena awal pertumbuhan
eksplan akan dimulai dari sel-sel yang muda yang aktif membelah, atau dari sel-sel tua yang muda
kembali.

Media juga dapat menjadi sebab terjadinya stagnasi pertumbuhan, karena

dari kondisi medialah suatu sel dapat atau tidak terdorong melakukan proses pembelahan dan
pembesaran dirinya. Pada proses klutur jaringan yang bersifa inderict embriogenesis, tahapan
pembentukan kalus harus dilanjutkan dengan mendorong induksi embriosomatik dari sel-sel kalus.
Terjadinya embrio somatik dapat secara endogen atau eksogen.

6) Praperlakuan

Masalah pada kegiatan in vitro bukan hanya dari penanaman eksplan saja, pertumbuahn dan
perkembangannya dlama botol saja tetapi juga sangat bisa dipengaruhi oleh persyaratan kegiatan
prapelakuan. Pada kasus ini masalah akan

muncul bila kegiatan prapelakuaan tidak dilakukan. Prapelakuan dilakukan umumnya untuk tujuan-
tujuan tertentu, secara umum adalah dalam rangka menghilangkan hambatan. Hambatan apat
berupa hambatan kemikalis, fisik, biologis. Hambatan berupa bahan kimia penanganannya harus
dimulai dari pengenalan senyawa aktif, potensi gangguan, proses reaksi dan alternatif
pengelolaannya.

7) Lingkungan Mikro

Masalah lingkungan inkubator juga tidak bisa diabaiakan karena ini juga sering menjadi
masalah. Suhu ruangan inkubator sangat menentukan optimasi pertumbuhan eksplan, suhu yang
terlalu rendah aatau tinggi dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pada eksplan.
Kebutuhan antara satu tananaman dengan tanaman yang lain berbeda, namun demikian solusinya
sulit dilakukan mengingat umumnya ruangan inkubator suatu ruangan laboratorium kultur jaringan
tidak bisa dibuat variasi antara satu ruangan dengan bagian ruangan yang lainnya. Sehingga optimasi
pertumbuhan tidak bisa diharapkan sama antara kultur yang satu dengan kultur yang lain.

Keuntungan Pemanfaatan Kultur Jaringan

 Pengadaan bibit tidak tergantung musim

 Bibit dapat diproduksi dalam jumlah banyak dengan waktu yang relatif lebih cepat (dari satu
mata tunas yang sudah respon dalam 1 tahun dapat dihasilkan minimal 10.000 planlet/bibit)

 Bibit yang dihasilkan seragam

 Bibit yang dihasilkan bebas penyakit (menggunakan organ tertentu)

 Biaya pengangkutan bibit relatif lebih murah dan mudah

 Dalam proses pembibitan bebas dari gangguan hama, penyakit, dan deraan lingkungan
lainnya

 Dapat diperoleh sifat-sifat yang dikehendaki

 Metabolit sekunder tanaman segera didapat tanpa perlu menunggu tanaman dewasa

Kekurangan Pemanfaatan Kultur Jaringan :

 Bagi orang tertentu, cara kultur jaringan dinilai mahal dan sulit.

 Membutuhkan modal investasi awal yang tinggi untuk bangunan (laboratorium khusus),
peralatan dan perlengkapan.

 Diperlukan persiapan SDM yang handal untuk mengerjakan perbanyakan kultur jaringan
agar dapat memperoleh hasil yang memuaskan

 Produk kultur jaringan pada akarnya kurang kokoh


Kesimpulan

Dari pembuatan makalah ini dapat disimpulkan :

- Kultur meristem adalah kultur jaringan tanaman dengan menggunakan eksplan berupa jaringan-
jaringan meristematik.
- Jaringan meristem yang digunakan dapat berupa meristem pucuk terminal atau meristem tunas
aksilar.
- Dalam kultur meristem, perkembangan diarahkan untuk mendapatkan tanaman sempurna dari
jaringan meristem tersebut dan dapat sekaligus diperbanyak.
Daftar Pustaka

Gunawan, L.W. 1990. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Laboratorium Kultur Jaringan. Pusat Antar
Universitas (PAU) Bioteknologi. IPB. Bogor. P. 304.

Sitompul, S.M. dan Guritno.B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.

Salisburry, F.B. dan Ross, C.W.1992. Plant Physiology. Wadsworth Publishing Company, California.

Sriyanti, D.P. dan A.Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Yayasan Kansius.Yogyakarta. Hal. 18, 54, 57, 63,
67, 69, 82-83.

Sunarjono, H. 2002. Budidaya Pisang dengan Bibit Kultur Jaringan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Kutur Jaringan Produksi Metabolit Sekunder

A. Pengantar Metabolit Sekunder


Kultur jaringan dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan metabolit sekunder dari
suatu tanaman. Kultur jaringan tanaman hanya mengambil jaringan yang cukup kecil dan
pengembangannya di atas media yang sesuai dalam waktu yang relatif singkat (Suryowinoto,
1985). Metabolit sekunder merupakan hasil dari proses biokimia yang terjadi dalam tubuh
tanaman. Proses-proses tersebut juga terjadi pada teknik kultur jaringan, oleh karena itu
kultur jaringan dapat digunakan sebagai sarana penghasil metabolit sekunder (Dalimoenthe,
1987).
Senyawa metabolit sekunder dari tumbuhan telah lama diketahui mempunyai banyak
manfaat bagi manusia (Fitriani, 2003). Menurut Wink (1990) dalam Ngampanya, dan
Phongtongpasuk (2006) produk metabolit sekunder juga banyak digunakan sebagai sumber
pharmaceuticals, fragrances, agrochemicals and food additives. Kelly (1996) menyatakan
bahwa produk metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman nanas adalah bromelin. Enzim
bromelin merupakan suatu enzim protease yang dapat menghidrolisa protein atau peptida
menjadi molekul yang lebih kecil yaitu asam amino (www.agribisnis.web.id, 2004).
Golongan persenyawaan yang telah diteliti meliputi: alkaloid, flavonoid, phenol,
saponine, terpene, asam amino non protein dan quinon. Diperkirakan hanya sekitar 15% dari
spesies tanaman yang telah diidsolasi persenyawan-persenyawaannya. Dari tiap spesies hanya
1-2 persenyawaan yang diketahui dengan pasti (Balandren et al, 1985).

B. Tujuan Metabolit Sekunder


Senyawa metabolit sekunder biasa digunakan untuk pertahanan dan
perkembangbiakan tanaman. Kebanyakan senyawa metabolit sekunder ini beracun bagi
hewan. Penggolongan metabolit sekunder berdasarkan biosentesisnya meliputi senyawa
alkaloid, fenol, dan terpenoin (Anonim, 2010). Peranan metabolit sekunder (wink, 1987)
adalah :
a. Sistem pertahanan terhadap virus, bakteri dan fungi.
b. Sistem pertahanan terhadap herbivore : molusca, anthropoda dan vertebrata
c. Sistem pertahanan terhadap tanaman lain melalui allelopati
d. Atractan bagi binatang-binatang yang membantu polinasi dan penyerbukan biji
e. Penyimpangan nitrogen
f. Sistem transportasi nitrogen
g. Proteksi terhadap sinar U.V.
Selain bernilai ekonomis karena dapat digunakan dalam industry, metabolit juga
memegang peranan penting dalam pertanian dan pemuliaan tanaman. Metabolit sekunder
yang penting bagi tanaman menurut Schlee, 1986; Levin, 1976; Savein, 1977; Wink, 1987,
yang dihimpun oleh Wink (1988).
Hashimoto dan Yamada (1994) dalam Mukarlina (2006) menyatakan bahwa kultur
jaringan dapat digunakan sebagai metode alternatif untuk memperoleh metabolit sekunder.
Menurut Fowler (1983) dalam Fitriani (2003) keuntungan penerapan kultur jaringan
tumbuhan dibandingkan dengan penggunaan konvensional diantaranya; pembentukan
senyawa bioaktif dalam kondisi terkontrol dan waktu yang relatif lebih singkat, bebas dari
kontaminasi mikroba, setiap sel dapat diperbanyak untuk menghasilkan senyawa metabolit
sekunder tertentu, pertumbuhan sel terawasi dan proses metabolismenya dapat diatur secara
rasional dan kultur jaringan tidak bergantung kepada kondisi lingkungan seperti keadaan
geografi, iklim dan musim.

C. Faktor yang mempengaruhi produksi metabolit sekunder


Metabolit sekunder tanaman dihasilkan dari proses metabolisme respirasi dan melalui
kultur jaringan dapat ditingkatkan kandungan metabolit sekunder bahkan dari yang tidak ada
menjadi ada dengan penambahan senyawa-senyawa yang merupakan prekursor. Dalam usaha
menghasilkan metabolit sekunder untuk skala besar, sangat diperlukan pemahaman yang
besar tentang tingkah laku sel, biosintesis metabolit sekunder didalam tubuh tanaman
tersebut. Oleh karena itu, biosintesis metabolit sekunder dengan menggunakan kultur jaringan
menjadi alternatif pilihan dan akhirnya menjadi tujuan yang berharga. Namun dari banyak
penelitian dan usaha komersial, masih banyak menghadapi kendala.
Faktor yang mempengaruhi produksi metabolit sekunder
1) Formulasi atau komposisi media kultur.
Konsentrasi sukrosa yang tinggi diserap sel kalus selain untuk pertumbuhan juga
digunakan untuk membentuk metabolit sekunder. Menurut Jang dan Sheen (1997) dalam
Merrilon dan Ramawat (1999) gula dalam pembentukkan metabolit sekunder, gula digunakan
sebagai sumber energi, sumber karbon, dan untuk mengatur sinyal yang mempengaruhi
ekspresi gen dalam proses pembentukkan metabolit sekunder.
Menurut Jang dan Sheen (1997) dalam Merrilon dan Ramawat (1999) gula dalam
medium kultur untuk tujuan produksi metabolit sekunder memiliki 3 peran, yaitu sebagai
sumber energi, sumber karbon, dan untuk mengatur sinyal yang mempengaruhi ekspresi gen
dalam proses pembentukkan metabolit sekunder. Dicosmo (1989) menyatakan bahwa sumber
karbon dapat menginduksi pembentukkan metabolit sekunder dan pada konsentrasi yang
tinggi karbohidrat dapat mempertahankan metabolisme sekunder. Dalam sel tumbuhan,
karbohidrat dapat mempengaruhi pembentukan metabolit sekunder melalui glikolisis dan
daur Krebs. Kedua jalur tersebut menjadi sumber energi dalam pembentukan metabolit
sekunder (Ramawat, 1999). Sukrosa dalam medium kultur mengalami hidrolisis menjadi
glukosa dan fruktosa. Glukosa yang terbentuk selanjutnya akan masuk ke dalam jalur asam
D-glukoronat dan L-gulonat untuk membentuk asam askorbat (Manitto,1981). Peningkatan
konsentrasi sukrosa tampak mampu mempengaruhi kandungan asam askorbat di dalam kalus
Hibiscus sabdariffa L.
2) Faktor fisik (suhu, cahaya,kelembaban dll).
3) Faktor genetik (genotip sel).
Karakteristik genetik dan fisiologis Asal Eksplan
Percobaan untuk menghasilkan metabolit dalam kultur in vitro. Tahap pertama yaitu
melakukan analisis jaringan tanaman in vivo untuk mengetahui bagian tanaman yang
mempunyai kandungan tertinggi senyawa yang diinginkan.
Hal ini sesuai dengan teori totipotensi biokimia sel, dimana sel tertentu dari tanaman
mempunyai potensi genetik yang diturunkan untuk menghasilkan senyawa dalam sistem in
vitro seperti halnya dengan in vito. Berdasarkan teori ini, tanaman mempunyai kandungan
senyawa tertentu dalam jumlah besar juga mampu menghasilkan senyawa yang sama dalam
jumlah besar apabila tanaman tersebut dikulturkan dalam kondisi in vitro.
Deteksi terhadap senyawa yang diinginkan ini dapat dilakukan secara kurang teliti
dengan metode yang sederhana, seperti dengan mempergunakan Thin layer Chromotography.
Senyawa-senyawa tertentu dapat diketahui keberadaannya hanya dengan cara visual,
misalnya senyawa antosianin atau senyawa-senyawa lain yang termasuk golongan pigmen.
Seringkali deteksi ini dilakukan diantara kultivar dalam satu spesies tanaman tertentu karena
kultivar yang berada memiliki potensi biokimia yang berbeda pula, yang diturunkan secara
genetik.
Selain pertimbangan potensi genetik yang ada pada tanaman, faktor lain yang harus
diperhatikan adalah umur fisiologi eksplan dan bagian tanaman yang dipilih. Umur fisiologi
eksplan sangat penting karena semakin muda umur fisiologinya, keberhasilan kultur semakin
besar untuk mendapatlan umur fisiologi yang muda dapat dilakukan grafting dari tanaman
yang tua dan dari tanaman hasil grafting tersebut dapat diisolasi eksplan yang mempunyai
umur fisiologi yang jauh lebih muda.
Umur fisiologi yang paling muda mempunyai keberhasilan yang lebih tinggi dalam
menginduksi kalus atau organ lain. Hal ini berhubungan dengan juvenilitas eksplan. Bagian
tanaman yang dipergunakan sebagai sumber eksplan juga mempengaruhi senyawa yang
dihasilkan. Selanjutnya, sumber eksplan yang dipilih kadang-kadang perlu diberikan “pre
treatment” sebelum digunakan dalam kultur in vitro. Pre treatment ini mencakup antara lain
musim dimana sebaiknya bahan tanaman diambil, pemberian hara tanaman tertentu untuk
merangsang juvenilitas pada tanaman misalnya dengan pemberian nitrogen, menanam pada
kondisi gelap untuk mendapatkan tanaman yang terisolasi, dan pemberian zat pengatur
tumbuh tertentu pada eksplan sesudah diisolasi tapi belum ditanam pada media perlakuan
untuk meningkatkan respon tanaman terhadap perlakuan yang diberikan.
4. Faktor Stress lingkungan (logam berat, elicitor, sinar UV).
Menurut Santoso dan Nursandi (2001) sebagian besar senyawa metabolit sekunder
diekstrak dari spesies-spesies tumbuhan yang dibudidayakan secara in vivo, namun cara
tersebut mempunyai kelemahan, diantaranya pengaruh musim, senyawa kimia tertentu hanya
dihasilkan pada umur tertentu pada tanaman tertentu, dan lahan pertanian yang semakin
terbatas. Oleh karena itu, diperlukan budidaya alternatif untuk produksi senyawa-senyawa
sekunder.
Menurut Mattel dan Smith (1993), agar produksi metabolit sekunder tinggi maka
perlu optimasi faktor-faktor internal dan eksternal. Optimasi faktor tersebut dapat dilakukan
dalam dua tahap yaitu tahap pertumbuhan dan tahap produksi. Pada tahap pertumbuhan,
kondisi kultur diarahkan untuk memproduksi biomassa sel dalam waktu dekat, sedangkan
tahap produksi dilakukan pemindahan biomassa sel ke dalam medium produksi dengan
tujuan pengkondisian kultur untuk produksi metabolit sekunder. Selain optimasi pada kedua
tahap di atas, pendekatan lain yang dapat dilakukan secara efektif untuk meningkatkan
produksi biomassa sel dan metabolit sekunder adalah penambahan prekursor (prazat), elisitasi
dan amobilisasi.

D. Usaha-Usaha Memperbaiki Produksi Metabolit Sekunder


Usaha-Usaha Memperbaiki Produksi Metabolit Sekunder
1. Penggunaan Fusi Sel Untuk Produksi Senyawa Metabolit Sekunder
Minat yang besar dalam memproduksi senyawa-senyawa yang berguna seperti
alkaloid, steroid, vitamin dan pigmen sangat meningkat dengan perkembangan teknologi sel
tanaman. Beberapa usaha untuk menghasilkan senyawa-senyawa metabolit pada skala
industri sudah dilaporkan (Curtin, 1983).
Metabolit sekunder dihasilkan oleh kultur sel tanaman. Kultur protoplast juga sudah
digunakan untuk pemuliaan tanaman, untuk mendapatkan muatan yang resisten terhadap
obat-obatan, dan auxotrof serta untuk hibridisasi somatik. Sebagian besar tanaman yang
dipelajari berasal dari genus solanaceae. Kultur protoplast penting untuk menyeleksi sel
tunggal yang mengandung metabolit sekunder dalam jumlah tinggi.
Yamada (1985) sudah mengkulturkan protoplast (klon sel tunggal) dari sel Coptis
yang memproduksi sejumlah besar berberine. Dari protoplast tersebut kemudian berhasil
diinisiasi koloni kalus dan kandungan berberinnya dianalisis. Kemudian didapatkan bahwa
sel yang berasal dari protoplast mempunyai kandungan berberin yang serupa dengan sel
induknya. Pertumbuhan lini sel dari protoplast lebih besar dari pada lini sel induknya. Hal
yang menarik adalah lini-lini sel yang berasal dari protoplast menunjukkan variasi kromosom
meskipun setiap klon diturunkan dari protoplast tunggal.
Tanaman tingkat tinggi adalah organisme multiseluler yang terdiri dari sel-sel,
jaringan yang berdiferensiasi. Sel-sel yang berdiferensiasi mempunyai potensi untuk
memproduksi senyawa spesifik dalam jumlah dan kelakuan yang stabil. Dalam hal ini, sel
tumbuhan berbeda dari sel mikroorganisme, seperti bakteri yaitu cloning sel tunggal dapat
dilakukan dengan sangat efektif untuk mendapatkan sel yang mempunyai karakter yang
spesifik. Diferensiasi metabolit sekunder menggunakan metoda seleksi yang dipilih harus
berbeda dari metoda seleksi yang digunakan untuk mengisolasi sel tunggal yang mampu
menghasilkan metabolit sekunder dalam jumlah besar. Produktivitas metabolit sekunder yang
dihasilkan dengan kultur sel adalah fungsi dari jumlah metabolit pada sel dan kecepatan
pertumbuhan sel. Dengan mempergunakan kultur protoplast, hal ini penting untuk
mendapatkan sel yang tumbuh sangat cepat akan menghasilkan hibridoma tanaman.
2. Seleksi sel
Seleksi Klon pada kultur jaringan tanaman telah digunakan untuk mendapatkan lini
sel yang menghasilkan produk metabolit sekunder dalam jumlah besar. Seleksi ini telah
berhasil meningkatkan metabolit sekunder pada beberapa sel tanaman. Pada tanaman
Morinda citrifolia seleksi telah meningkatkan produksi anthraquinone 10 kali lebih tinggi
dari pada tanaman dilapang (Zenk et al., 1975). Pada tanaman ubi jalar, sel yang
menghasilkan antosianin tinggi juga dihasilkan dengan cara seleksi kultur kalus (Nozue et al.,
1986). Sedang pada tanaman Polygonum tinchtorium Ait, seleksi agregat telah meningkatkan
kandungan antosianin 4 kali kultur tanpa seleksi pada kultur suspensi sel telah menghasilkan
10 kali lebih tinggi (Ernawati et al., 1991 a, b). Yamamoto et al.,(1982) melaporkan bahwa
seleksi lini sel pada Euphorbia millii meningkatkan kandungan antosianin tujuh kali lebih
tinggi dari kandungan awalnya. Demikian juga Yamada dan Sato (1981) mendapatkan lini sel
Coptis japonica yang menghasilkan berberine yang lebih tinggi dari pada tanaman aslinya.
Dasar dari seleksi pada kultur jaringan untuk menghasilkan senyawa metabolit
sekunder adalah adanya variasi pada sel-sel dalam kemampuannya untuk menghasilkan
senyawa tertentu. Variasi ini dikenal sebagai variasa somaklonal dan secara genetik variasi
ini cukup besar sehingga telah terbukti dapat dimanfaatkan sebagai sumber keragaman untuk
menghasilkan senyawa tertentu. Variasi somaklonal ini dapat diperoleh dari kultur sel yang
berasal dari protoplast atau cara-cara lain.
Jenis seleksi yang digunakan relatif spesifik tergantung jenis senyawa yang
dihasilkan. Jenis senyawa yang dihasilkan ini menentukan desain metode seleksi dan memilih
lini sel untuk digunakan. Hal mendasar yang harus diketahui adalah inisiasi kultur awal harus
mempertimbangkan spesies dan kultivar yang menghasilkan senyawa bersangkutan.
Cara mendesain seleksi yang harus dipertimbangkan tidak hanya aspek biokimia dari
senyawa yang diinginkan dan spesies tanaman yang dikulturkan, tapi jenis kultur yang
dipakai.
Penggunaan kultur kalus pada banyak study dibatasi oleh kontak langsung sel dengan
medium, karena sel-selnya berikatan sate sama lain. Dalam hal ini juga sulit untuk melakukan
pemindahan atau sub kultur yang seragam baik jumlah atau massa sel maupun keseragaman
tipe sel jika memindahkan sekelompok kecil dengan spatula.
Selain kultur kalus, sistem yang telah digunakan adalah sistem kultur suspensi sel.
Sistem kultur suspensi mempunyai keuntungan-keuntungan tertentu mencakup:
1) Kecepatan pertumbuhan yang lebih cepat
2) Transfer atau sub kultur sel relative homogeny
3) Sel-sel yang ada dapat diamati dengan mikroskop karena merupakan sel-sel bebas
4) Medium cair berada dalam kontak langsung dengan setiap sel
5) Medium dapat diperbaharui dengan mudah dengan penambahan medium baru
6) Sel-sel dapat diplating secara langsung
Sistem kultur suspensi sudah digunakan untuk menyeleksi lini-lini sel yang resisten
terhadap asam amino (Gathercole dan Street, 1976; Palmer dan Widholm, 1975; Widholm,
1972; Widholm 1974) dan NaCl (Nabors et al, 1975). Emawati et al. (1991 b) jugs
mempergunakan sistem ini untuk mendapatkan lini yang menghasilkan antosianin.
Seleksi Klon adalah teknik yang sangat berguna, sebuah sel berasal dari sebuah sel
tunggal sehingga sel-sel dalam satu mempunyai informasi genetik yang sama. Hal ini sangat
penting untuk memastikan kemurnian dan stabilitas lini¬lini yang diinginkan. Tetapi pada
umumnya teknik pengklonan ini sangat tidak efisen untuk dikerjakan secara rutin. Salah satu
sistem yang mungkin digunakan adalah mikrospora yang diisolasi dari Nicotiana tabacum,
Nicotiana sylvestris dan Datura innoxia sudah diinduksi untuk membentuk embrio dan
kemudian menjadi tanaman. Sistem ini memungkinkan isolasi sel tunggal, yaitu sel-sel
haploid yang mungkin sangat berguna untuk seleksi. Kesesuaian teknik ini tergantung pada
jumlah embrio yang dapat diperoleh. Nitsch (1977) mendapatkan bahwa rata-rata 5% dari
mikrospora Nicotiana tabacum berkembang menjadi platlets. Karena terdapat 5 anther pads
setiap bunga, dan setiap anther mengandung 30.000 mikrospora, maka rata-rata 7000 plantlet
dapat diproduksi dari setiap, bunga. Karena itu terdapat sejumlah besar dari embrio yang
sedang berkembang dapat diperoleh dengan sistem ini. Kenyataan sampai saat ini adalah
bahwa tidak mudah bekerja dengan set tumbuhan bila dibandingkan dengan mikroba. Sel-sel
tumbuhan umumnya tumbuh dengan sangat lambat, untuk agregat sel, jika diplating tidak
akan tumbuh bila kerapatannya rendah dan menunjukkan ketidakstabilan kromosom dan
ploidy. Kesulitan-kesulitan ini tidak mengecualikan manipulasi sel-sel tanaman yang sukses,
tetapi menyebabkan lambatnya kemajuan.
3. Penggunaan Elicitor untuk Produksi Metabolit sekunder
Elisitasi adalah suatu metode untuk meningkatkan fitoaleksin dan metabolit sekunder
lainnya dengan menambahkan berbagai elisitor biotik maupun abiotik. Elisitasi merupakan
proses penambahan elisitor pada sel tumbuhan dengan tujuan untuk menginduksi dan
meningkatkan pembentukan metabolit sekunder. Selain itu, elisitasi merupakan suatu respon
dari suatu sel untuk menghasilkan metabolit sekunder. Dalam hal ini adanya interaksi
patogen dengan inang akan menginduksi pembentukan fitoaleksin pada tumbuhan.
Fitoaleksin itu sendiri merupakan senyawa antibiotik yang mempunyai berat molekul rendah,
dan dibentuk pada tumbuhan tinggi sebagai respons terhadap infeksi mikroba patogen.
Senyawa yang merupakan bagian dari mekanisme tersebut dapat dianalogikan dengan
antibody yang terbentuk sebagai respons imun pada hewan (Yoshikawa&Sugimito, 1993).
Elisitor selain dapat menginduksi sintesis fitoaleksin, ternyata dapat juga menginduksi
sintesis metabolit sekunder yang bukan fitoaleksin pada kultur kalus dan sel (Eilert et al
1986). Contoh elisitor yang berasal dari miselium Fusarium yang meningkatkan kadar tiopen
hingga 300 % pada kultur akar rambut Tagetas putula.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kandungan metabolit sekunder dalam kultur
yang dielisitasi antara lain macam elisitor, konsentrasi elisitor, waktu kontak elisitor dengan
sel tumbuhan, galur sel yang digunakan, waktu penambahan elisitor dan fase pertumbuhan sel
dalam kultur, serta nutrien yang digunakan dalam medium.
Konsentrasi elisitor merupakan salah satu faktor pembatas yang menentukan
kandungan metabolit sekunder pada kultur jaringan yang dielisitasi. Hal ini menunjukkan
bahwa pada membran plasma terdapat reseptor untuk elisitor dengan jumlah tertentu,
sehingga untuk meningkatkan kandungan katarantin diperlukan konsentrasi elisitor yang
optimum (Buitelaar et al., 1991).
Sebuah pendekatan lain untuk memperbaiki produk yang dihasilkan pada kultur sel
tanaman adalah alterasi metabolisme sel melalui faktor eksternal, misalnya stress. Kultur sel
tanaman pada dasarnya bersifat totipotensi karena itu semua produk yang ada pada tanaman
induk seharusnya juga disinetsi pada kultur dalam kondisi yang tepat. Pada interaksi antara
tanaman inang dengan pathogen yang biasanya bersifat spesifik species, infeksi pathogen
menginduksi pembentukan produk (fitoaleksi) yang toksik terhadap organism yang
menginvasi. Enzim dari metabolisme sekunder juga diinduksi oleh pathogen yang
menginvasi yang menghasilkan fitoaleksin. Dalam hal ini elicitor berperan penting dalam
menginduksi enzim yang terlibat dalam siklus metabolisme.
Elicitor yang dipakai dapat berupa fraksi karbohidrat yang diambil dari kultur
suspense cendawa atau ekstrak yeast, atau lebih dikenal sebagai glucas. Struktur glucan yang
diperlukan untuk aktivitas elicitor adalah (1,6)-B-B-glucopyranosyl. Sedang molekul aktif
terkecilnya adalah glukoheptose.
Dosis elicitor yang dipakai juga menentukan efektivitasnya dalam menginduksi
senyawa yang diinginkan. Dosis yang terlalu tinggi menyebabkna timbulnya gejala nekrosa
yaitu terjadinya pencoklatan sel. Dosis yang tepat dapat ditentukan dengan percobaan, dan
tergantung pada jenis elicitor yang dipakai serta sel tanaman yang diberi perlakuan. Pada
kultur suspense sel kedelai, elicitor yang diberikan berasal dari cendawan Phytopthora mega
sperma, dan dosis yang diberikan adalah untuk 20 μg elicitor per mg berat kering sel untuk
menginduksi sintesis senyawa-senyawa yang merupakan isomer glyceollin. Apabila elicitor
yang dipakai berasal dari ekstrak yeast, konsentrasi yang dipakai adalah 5,2 mg/ml dari
ekstrak yang sudah dianalisis. Pada kultur Tabernaemonta sp, dosis yang dipakai adalah
100mg cellulase, atau 100gr pectinase atau 100 mg suspense Mycellium aspergillus niger
untuk menghasilkan indole alkolodi apparicine sebagai salah satuu produk utama. Pada kultur
suspense thalictrum rugosum dosis elicitor 200 μg/g berat basah sel menghasilkan berberin
maksimum.
Pemberian elicitor dapat dilakukan pada berbagai fase pertumbuhan sel, tetapi
nampaknya tidak terdapat keserupaan antara sel yang diberi perlakuan elicitor dengan sel
tanpa perlakuan elicitor. Pada kultur thalictrum rugosum, berberine dihasilkan berasosiasi
dengan pertumbuhan sel. Tetapi pada kultur sel yang diberi elicitor produk berberin tertinggi
dipakai apabila elicitor pada fase lag tidak mengakibatkan terjadinya peningkatan produksi
berberin. Pemberian pada fase stasioner mengaskibatkan terjadinya penurunan berat kering
total yang lebih besar daripada pemberian pada fase pertumbuhan eksponensial, tetapi
pemberian pada kedua fase ini meningkatkan hasil berberin. Perbedaan ini mungkin terjadi
pada sel-sel yang berada pada fase awal pertumbuhan, sel tidak memproduksi tyrosine atau
prekutsor-prekursor lain yang terlibat pada sintesa berberin. Sebab lain mungkin enzim-
enzim yang bertanggug jawab pada sintesa berberin tidak diinduksi pada sel-sel muda
tersebut. Pada kultur sel Tabernae Montana elicitor diberikan pada saat kultur berumur 10
hari yang merupakan fase akhir pertumbuhan ekponensial. Pada kultur suspense sel tembakau
pemberian elicitor dilakukan pada fase pertumbuhan eksponensial.
Frekuensi pemberian elicitor juga dapat dilakukan lebih dari satu kali, teragantung
pada jenis sistem yang digunakan dan juga jenis tanaman yang dikulturkan. Pada kultur
Papaver somniverum L. yang dikulturkan dengan proses semi continous, elicitasi dengan
sanguinarine (SGE) dan dihydrosanguinarine (DSGE). Elisitas yang sama, hanya mediumnya
yang diganti. Elicitasi kembali ini menunjukkan peningkatan sensivitas kultur terhadap
elicotir yang diberikan (pertumbuhan menurun, produknya meningkat). Hal ini membawa
harapan untuk memudahkan dalam penyusunan sistem produksi secara besar-besaran. Pada
kultur suspense tanaman lainnya elicitor diberikan hanya sekali pada sel yang sama.
Waktu yang diperlukan oleh sel untuk menghasilkan produk dalam jumlah maksimum
setelah pemberian elicitor berbeda-beda tergantung jenis kulturnya. Pada kultur suspense sel
tembakau, capsidiol mencapau jumlah maksimum antara 15 samapai 20 jam sesudah sel
diberi perlakuan elicitor. Pada kultur T. rugosum, berbeda mencapai jumlah maksimal 120
jam sesudah kultur diberi perlakuan elicitor. Sedang pada kultur Papever somniforum L. SGE
dan SDGE dipanen dari sel sesudah sel berumur 14 hari setelah diberi perlakuan. Pada kultur
Tabernaemontana spp. pemanenan dilakukan pada saat kultur berumur 4 hari setelah kultur
diberi perlakuan elicitor. Hal ini menunjukkan bahwa waktu yang diperlukan untuk
menghasilkan senyawa metabolit sekunder tidak tergantung pada konsentrasi elicitor.
Suatu hal yang menarik, pemberian elicitor mampu menaikkan hasil pada produksi
senyawa yang diinginkan dan juga menghasilkan senyawa yang tidak dihasilkan oleh kultur
tanpa elicitor. Pada kultur suspense sel tembakau, sel yang diberi perlakuan elicitor
menghasilkan capsidiol lebih dari 10 μg/g berat basah pemberian elicitor pada kultur
Thalictrum rugosum menghasilkan berberin 4- 4,5% berat kering, sedang kultur yang sama
tanpa elicitor hanya menghasilkan berberin 0,5% berat kering kultur. Pada kultur
Tabernaemontana sp, pemberian elicitor selain meningkatkan produksi de novo zat bioaktif
antimikroba yang tergolong triterpene, juga meningkatkan berat basah total. Sedang pada
kultur Papever somniforum L.
Elisitor terdiri atas dua kelompok, yaitu elisitor abiotik dan elisitor biotik
a. Elisator abiotik, bisa berasal dari senyawa anorganik , radiasi secara fisik, seperti ultraviolet,
logam berat, dan detergen
b. Elisator biotic dapat dikelompokkan dalam elisator endogen, dan elisator eksogen, yaitu :
1) Elisator endogen, umumnya berasal dari bagian tumbuhan itu sendiri, seperti bagian dari
dinding sel (poligogalakturonat) yang rusak. Rusaknya dinding sel ini, disebabkan oleh suatu
serangan pathogen. Dinding sel yang rusak dan terluka oleh karena aktivitas enzim hidrolisis
dari serangan pathogen.
2) Elisator eksogen, bisa berasal dari dinding jamur misalnya kitin, atau glukan. Selain itu dapat
berupa senyawa yang disintesis, misalnya protein ( enzim ) ( Salisburry & Ross, 1995 ).
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa metode elisitasi dapat meningkatkan
kandungan fitoaleksin dan metabolit sekunder lain pada tumbuhan tertentu. Kandungan
fitoaleksin kapsidiol pada kultur sel Capsicum annuum dapat ditingkatkan setelah diberi
penambahan ekstrak dari spora dan miselium Gliocladium deliquescens
2 Antosianin pada kultur sel Daucus carota dapat ditingkatkan setelah diberi penambahan
filtrat sel dan homogenat dari Escherichia coli, Staphyllococcus aureus, Saccharomyces
cereviseae, dan Candida albicans.
Kegunaan elisitasi adalah
a. untuk menginduksi dan meningkatkan pembentukan metabolit sekunder.
b. Meningkatkan aktivitas atau kelompok enzim spesifik yang mengkatalis reaksi biokimia
yang diinginkan ( Roberts, 2005).
c. Sebagai strategi dalam menginduksi dan meningkatkan pementukan metabolit sekunder.
d. Dapat meningkatkan aktivitas enzim- enzim yang berkaitan dengan pembentukan metabolit
sekunder.
Kerugian adalah
a. Prosedur kompleks, misal untuk mendapatkan hasil maksimum diperlukan kultur dengan dua
tahap.
b. Kadar konsentrasi elisitor harus optimum, konsentrasi elisitor adalah titik kritis dalam
keberhasilan elisitasi. Jika penambahan kurang tepat malah akan mengurangi produksi
metabolit sekundernya.
c. Sulit untuk meningkatkan produksi dua atau lebih metabolit sekunder yang kita inginkan
dalam sati sistem elisitasi.
d. tidak semua metabolit sekunder yang dihasilkan berupa fitoaleksin sehingga dapat
mengganggu peningkatan produksi metabolit sekunder.
e. Karena pemberian elisitor yang menyebabkan luka sehingga nutrisi yang terdapat dalam
tanaman digunakan untuk menutupi luka, akibatnya tidak ada nutrisi yang digunakan untuk
pertumbuhan sel serta jika penambahan elisitor terlalu banyak, justru akan mengurangi
pertumbuhan sel, hal itu disebabkan adanya pengaruh feedback inhibition
f. Membutuhkan senyawa spesifik untuk setiap metabolit sekunder (Verpoorte et al,1994).

E. Hasil Penelitian

Hasil penelitian dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan
Obat Tradisional dan Badan Penelitian dan Pengembang Kesehatan Kementerian Kesehatan
RI yang berjudul Pengaruh Penambahan Sitokinin Pada Senyawa Flavonoid Kalus
(Echinacea Purpurea L) mendapatkan hasil penetapan kadar flavonoid total dari kalus dan
tanaman Echinacea purpurea L hasil perlakuan dengan BAP 3 mg/l diperoleh 0,29%, pada
BAP 4 mg/l diperoleh 0,28% dan pada tanaman asal juga 0,28%. Kadar flavonoid tersebut
menunjukkan hasil yang hampir sama antara hasil induksi kalus dengan tanaman asal, bahkan
pada BAP 3 mg/l terjadi peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa kalus daun yang diperoleh
secara kultur jaringan dapat digunakan sebagai alternatif untuk menghasilkan metabolit
sekunder.

Anda mungkin juga menyukai