Anda di halaman 1dari 118

Pengantar Studi

Konstitusi
Jilid I
_HANDBOOK_

Pengantar Studi
Konstitusi
Jilid I

A.H. As’ari Taufiqurrohman, S.H., M.H.

Hak Cipta Dilindungi Oleh Undang-Undang

Penerbit Pustaka Renaissance


Editor : Tri Susilowati, S.Pd.
Desain Sampul: 57 comp. Pekalongan & Acadia 2 Yogyakarta

Dicetak oleh Percetakan Acadia 2


Jl. Kaliurang, km 4.5, Yogyakarta

Cetakan Kedua: Mei 2012


Dilarang memperbanyak, mengcopy baik sebagian atau
seluruh isi buku ini
TANPA IZIN TERTULIS dari penerbit.
Pengantar
Penulis

Handbook yang telah tersusun ini, merupakan


upaya pelengkap dari buku-buku konstitusi yang
ada. Sebagai pengantar studi, tentu saja isi buku
ini memuat hal-hal yang bersifat mendasar dan
prinsipil mengenai Konstitusi. Ada beberapa hal
yang secara sengaja penulis masukkan sebagai
bahan kajian buku ini, misalnya pembahasan
mengenai negara dan Hak Asasi Manusia. Hal ini
penting mengingat sebelum memahami sebuah
Konstitusi sebagai dokumen dasar yang memiliki
kedudukan tertinggi sebuah negara, akan lebih
baik jika memahami terlebih dahulu apa itu
negara, kaitan antara Konstitusi dan Negara, serta
bagaimana pula selayaknya Konstitusi tersebut
mengatur Hak Asasi Manusia.
Meskipun buku Jilid Pertama ini hanya
sebagai pengantar, akan tetapi secara substansial
telah diusahakan sedapat mungkin memenuhi
pemahaman awal para para pembaca untuk
memulai memperluas khasanah pemikiran
cakrawala Konstitusi Sebagai bagian dari kajian
ketatanegaraan.
Handbook ini sangat bermanfaat untuk
membantu para pembelajar hukum yang memiliki
minat untuk mendalami Konstitusi, terutama
dalam rangka menyusun konsep dan kerangka
berpikir secara sistematis.
Mudah-mudahan buku yang masih sangat
sederhana ini dapat memberikan manfaat
sebagai wahana transfer pengetahuan bagi
mahasiswa maupun masyarakat umum.
Akhirnya, penulis amat menyadari adanya
kekurangan dalam penyusunan buku ini, baik itu
dari sisi kompleksitas materi maupun pada
redaksional penyusunannya. Oleh sebab itu,
saran dan masukan sangatlah penulis harapkan
demi pembaharuan, perubahan dan perbaikan di
masa yang akan datang.

Semarang, 26 Maret, 2012

A.H. As’ari Taufiqurrohman, S.H., M.H.


DAFTAR
ISI

Pengantar Penulis ................................................................... iv

BAB I
Negara dan Konstitusi ............................................................ 1
Manusia, Negara dan Bangsa ................................................. 1
Teoretisasi Negara dan Bangsa .............................................. 2
Definisi Negara ....................................................................... 4
Konsep Negara Hukum ........................................................... 5

BAB II
Konstitusi dan Konstitusionalisme .......................................... 9
Teori dan pengertian Konstitusi .............................................. 13
a. Definisi Konstitusi .......................................................... 11
b. Konstitusi Tertulis dan Tidak Tertulis ............................ 16
c. Isi Konstitusi .................................................................. 18
d. Konstitusionalisme ........................................................ 19

BAB III
Konstitusi dan HAM ……………………………………………………….….. 21
Pelembagaan HAM dalam Sejarah dan Konstitusi ………………..21
Konstitusionalisme dan HAM dalam Islam …………………….…… 26
Konstitusi Madinah ……………………………………………………….…… 31
a. Unsur HAM dalam Piagam Madinah ............................. 36
b. HAM Pada Masa Peradaban Islam Pasca Rasulullah .... 45
c. HAM Pada Masa Peradaban Islam Modern .................. 46
d. Islam dan HAM
Dalam Perkembangan Kebangsaan Indonesia .............. 49
Islam dan HAM dalam Konstitusi Indonesia .......................... 51
a. Pembahasan Ide Islam
Dalam UUD 1945 ................................................................. 51
b. Unsur HAM dalam Konstitusi Indonesia …………………………. 56
1. HAM dalam UUD 1945 ............................................... 56
2. HAM dalam Konstitusi RIS 1949 ................................. 60
3. HAM dalam UUDS 1950 ............................................. 72
4. HAM dalam Amandemen I ......................................... 86
5. HAM dalam Amandemen II ........................................ 87
6. HAM dalam AMandemen III ....................................... 97
7. HAM dalam Amandemen IV. ....................................... 98

Daftar Pustaka .................................................................104


handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

BAB I
Negara dan Konstitusi

Manusia, Negara dan Bangsa


Manusia adalah makhluk sosial (homo homini lopus),
manusia itu sendiri berada dalam roda kehidupan yang kompleks
dan multidimensional secara sosial, politik, ekonomi, budaya
(culture) dan hukum yang turut serta menyelimuti peradaban dan
eksistensi manusia. Dalam dimensi inilah seringkali manusia
bersentuhan dengan nilai – nilai asasinya baik secara individu
maupun kolektif.

Nilai asasi yang kemudian disebut Hak Asasi Manusia


(HAM) pada dasarnya merupakan hak utama (primary rights), hak
dasar (fundamental rights) yang tidak dapat dihapuskan serta tidak
bisa dibantah keberadaannya seiring dengan eksistensi manusia.
Nilai substansi seperti inilah yang lantas menempatkan hak asasi
sebagai salah satu instrumen penting dalam menggambarkan “ciri
khas” setiap manusia. Dengan demikian maka HAM itu sendiri
pada hakekatnya merupakan refleksi dari eksistensi manusia
sebagai pencipta maupun sebagai pelaku peradaban. HAM adalah
formasi keutuhan manusia menuju kehidupan yang beradab.1

Hak Asasi Manusia yang satu dan lainnya akan saling


berbenturan manakala bersentuhan dengan kepentingan social.
Disamping itu, adalah naluri alamiah manusia sebagai makhuk
social yang tidak pernah terlepas dari keinginan untuk membentuk

1
. Hafid Abbas. Pengantar dalam Majda El-Muhtaj, 2005, Hak-Hak Asasi Manusia dalam
Konstitusi Indonesia, Kencana, Jakarta.

1
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

suatu komunitas__yang kemudian dikenal dalam bentuk


bangsa__yang selanjutnya meleburkan diri ke dalam sebuah
wadah politis dan territorial yang bernama Negara. Dengan
demikian, terdapat sebuah garis historis antara manusia, Negara
dan bangsa. Tentu saja hal ini tidak hanya terjadi pada konstelasi
masyarakat modern, tetapi jauh sebelum itu, dalam kurun waktu
yang sangat lama, manusia telah mulai mengembangkan cikal
bakal pola pemerintahan dalam suatu komunitas kebangsaan
melalui bentuknya yang amat sederhana, kala itu.

Teoretisasi Negara dan Bangsa

Membicarakan tentang Negara tak lepas dari


memperbincangkan manusia, masyarakat atau bangsa. Negara
bangsa dibangun melalui sekumpulan manusia-manusia yang
sepakat menyatukan visi dan keinginan untuk hidup dalam sebuah
sistem bersama secara politik. Sedangkan di sisi lain, mereka pun
bersepakat untuk mengikis hak-hak individual mereka agar tidak
berbenturan dengan hak-hak individu lainnya. Oleh sebab itulah
manusia sebagai individu selalu dapat secara luwes menempatkan
dirinya dalam kelompok. Manusia sendiri disebut sebagai makhluk
social (homo homini lupus) atau bahkan sebagai insan politik (zoon
politicon).

Akan tetapi, problematika kemudian muncul manakala


kelompok masyarakat tersebut berjalan mewujudkan visi dan
tujuannya. Dalam proses perjalanannya secara organisasional
maupun politik, seringkali terjadi perbedaan, baik itu dikarenakan
perbedaan pandangan maupun ketidaksetujuan dikarenakan
adanya pengikisan hak-hak individual yang terjadi secara tidak adil.
Hal yang wajar memang, karena bukankah komunitas masyarakat
berisi banyak individu? Bukan satu atau dua orang saja. Komunitas
bangsa juga demikian, terdiri dari beberapa kelompok dan elemen

2
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

yang saling menunjang dan melebur ke dalam satu panutan system


yang secara politik akan dijalankan bersama-sama, disepakati
bersama dalam rangka mencapai tujuan baik itu kesejahteraan,
ekonomi maupun budaya. Oleh sebab itu, menuangkan satu
kesepakatan bersama ke dalam suatu ikatan perjanjian__baik itu
tertulis maupun tidak tertulis (yang diakui telah menjadi satu
kebiasaan atau konvensi)__merupakan hal yang niscaya untuk
dilakukan. Kesepakatan inilah yang kemudian dinamakan
“Konstitusi”.

Konstitusi dan Negara memiliki hubungan yang sangat


erat, Konstitusi adalah penunjang berdirinya sebuah Negara,
bahkan identitas sebuah Negara. Dengan demikian, pastilah
Konstitusi akan memiliki corak warna yang khas sesuai dengan nilai
luhur bangsa yang dianut.

Negara telah berkembang demikian pesat seiring dengan


dinamisasi kebutuhan manusia. Negara yang pada awal
kemunculannya hanya berupa Negara kota (polis) telah
berkembang dari masa-ke masa hingga sampai pada konsep
Negara kesejahteraan (welfare state) saat ini. Pengembanan
konsep Negara telah dimulai bahkan sejak masa kerajaan kuno
babylonia, sampai pada masa Yunani, Romawi yang kemudian
meluas ke daratan eropa hingga saat ini. Hanya saja, konsep
Negara pada masa lampau, yang lebih dikenal dalam konsep
kerajaan, kekaisaran (dinasti) meletakkan garis kekuasaan pada
absolutisme raja. Hal ini pernah juga berlaku di beberapa wilayah
eropa continental semisal Perancis.

Meskipun pada perjalanan kenegaraan selanjutnya,


absolutisme raja secara perlahan-lahan mulai terkikis melalui
pembatasan-pembatasan kekuasaan dalam Negara, hal ini tidak
secara langsung menghilangkan figur seorang “raja” (personifikasi

3
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

individu absolut) dalam sebuah Negara. Pada kenyataannya, masih


ada Negara di dunia yang menggunakan figur seorang pemimpin
selayaknya “raja” dalam negaranya__semisal Thailand, Inggris,
Jerman__meskipun konsep maupun penamaannya telah
dimodifikasi sedemikian rupa agar sesuai dengan perkembangan
kebutuhan Negara modern dewasa ini.

Demikian halnya dengan Konstitusi yang juga mengalami


perkembangan pesat dari masa ke masa. Konsep hukum kuno yang
diawali dari kebiasaan masyarakat, pada tahap selanjutnya
menuntut adanya kewajiban_(kepastian atas penegakan)_
menciptakan ketaatan atas kebiasaan-kebiasaan tersebut. Untuk
itu diperlukan figur pemimpin yang memiliki kekuasaan
menjalankan hukum. Konstitusi menjadi suatu dokumen yang
amat penting dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut,
karena disamping emengatur aturan dasar, di dalamnya juga diatur
bagaimana cara menjalankannya. Pada dasarnya, menurut
pemikiran penulis, cikal bakal sebuah konstitusi telah ada sejak
masyarakat memiliki keinginan untuk membentuk satu komunitas
dalam lingkup satu wilayah politis yang memiliki aturan hukum
mengikat (dalam bentuk negara, kerajaan, atau komunitas bangsa
lainnya yang belum menamakan dirinya negara, tetapi memiliki
seorang pemimpin atau figur yang dianggap sebagai penguasa).
Hanya saja, kondisi pada masa itu masih menggunakan konsep
konstitusi secara sederhana dan yang terpenting mengatur
bagaimana kekuasaan akan dijalankan.

Definisi Negara

Menurut istilah asing, Negara dikenal dengan beberapa


penyebutan: “state” (bahasa inggris), “staat” (bahasa belanda),
“d’etat” (bahasa Perancis), “estado” (bahasa Spanyol) yang berasal
dari induk kata bahasa latin “status” atau “statum” yang berarti

4
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

menaruh dalam keadaan berdiri ,membuat berdiri, menempatkan


berdiri2.

Sedangkan menurut istilah Indonesia, Negara berasal


dari bahasa sanskerta, yakni “nagari” atau “nagara” yang berarti
kota. Apapun penyebutannya, negara memiliki pengertian sebagai
organisasi kekuasaan yang bersifat mengatur masyarakat melalui
sebuah aturan-aturan tertentu untuk mewujudkan tujuan-tujuan
yang telah disepakati bersama dalam rangka menciptakan
kemandirian, kemakmuran dan kesejahteraan. Oleh sebab itu,
unsur utama yang harus dimiliki oleh negara adalah: Rakyat,
wilayah, pemerintahan yang berdaulat, serta adanya pengakuan
dari bangsa lain (bilamana diperlukan).

Konsep Negara Hukum


• Konsep Negara Hukum Rechtsstaat: berkembang di wilayah
Eropa Kontinental yang dipelopori diantaranya oleh Immanuel
Kant, Paul Laband, Julius Stahl. Ciri khas konsep Negara Hukum
Rechtsstaat adalah;3
1. Pengakuan hak-hak asasi manusia (grondrechten);
2. Adanya pemisahan kekuasaan (Scheiding van machten);
3. Pemerintahan yang berdasarkan atas undang-undang
(wetmatigheid van bestuur); dan
4. Peradilan administrasi (administratieve rechtspraak).

2
. Disadur dari Soetomo, Ilmu Negara, Surabaya, usaha nasional, 1993,
hlm. 20.
3
. Padmo Wahyono, 1989, “Pembangunan Hukum di Indonesia”, Ind-Hill
Co, Jakarta, hal.30.
5
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

• Konsep Negara Hukum The Rule of law: berkembang


diwilayah anglo saxon maupun anglo-amerika dan dipelopori
oleh A.V. Dicey. Konsep The Rule of Law memiliki ciri sebagai
berikut4:
1). Supremasi Hukum (Supremacy of Law);
2). Persamaan di hadapan hukum (Equality before the Law)
3). Asas Legalitas (Due Proses Law)

• Menurut Sri Soemantri,5 Ada empat unsur yang harus


dipenuhi dalam konsep Negara Hukum yaitu:
1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya harus berdasar atas hukum atau
peraturan perundang-undangan;
2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia
(warga negara);
3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan.

• Menurut Jimly Asshiddiqie, ada dua belas prinsip Negara


Hukum:6
1. Supermasi hukum (supermacy of law),
2. Persamaan dalam hukum (equality before the law),
3. Asas legalitas (due process of law),
4. Pembatasan kekuasaan,
5. Organ-organ eksekutif independen,

4
. Jimly Asshiddiqie, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme. op.cit,
hal.152.
5
. Sri Soemantri, 1992, “Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia”,
Alumni, Bandung, hal. 29-30.
6
. Jimly Asshiddiqie, 2006, “Konstitusi dan Konstitusionalisme
Indonesia”, op.cit. hal. 154 -162.
6
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

6. Peradilan bebas dan tidak memihak,


7. Peradilan tata usaha negara,
8. Peradilan tata negara (constitusional court),
9. Peradilan hak asasi manusia,
10. Bersifat demokratis (democratische rechtsstaat),
11. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan negara
(welfarestaat), dan
12. Transparansi dan kontrol sosial.

• Menurut Bagir Manan:7


1. Pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak asasi
manusia yang berakar dalam penghormatan atas
martabat manusia (Human Dignify).
2. Asas kepastian hukum. Negara hukum bertujuan untuk
menjamin bahwa kepastian hukum terwujud dalam
masyarakat.
3. Asas Similia Similibus (asas persamaan). Dalam negara
hukum, pemerintah tidak boleh mengistimewakan
orang tertentu (harus non-diskriminatif).
4. Asas demokrasi. Asas demokrasi memberikan suatu
cara atau metode pengambilan keputusan. Asas ini
menuntut bahwa setiap orang harus mempunyai
kesempatan yang sama untuk mempengaruhi tindakan
pemerintahan.

7
. Disadur dari tulisan B Arief Sidharta, “Kajian Kefilsafatan tentang
Negara Hukum”, lentera, Edisi 3 Tahun II, November 2004, hal.124-
125.

7
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

5. Pemerintah dan pejabat pemerintah mengemban


fungsi pelayanan masyarakat.

Landasan konsep Negara Hukum Indonesia


Pasal 1 ayat (3) Undang - Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (Konstitusi Indonesia):
“ Negara Indonesia adalah negara hukum”

Pasal 28 I ayat (5) Undang - Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945 ( menjelaskan tentang perwujudan
Konsep Negara Hukum Demokratis Indonesia):
“Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia
sesuai dengan dengan prinsip negara hukum yang
demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin,
diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-
undangan”.
Konsep Negara Hukum Indonesia ini merupakan
perpaduan kedua konsep antara rechtstaat dan the rule of law.
Sebelumnya, konsep negara Hukum di Indonesia lebih
mengarah kepada Rechtstaat, selanjutnya dengan pemberian
nama Negara Hukum Pancasila, yaitu tepatnya pada masa
orde baru dan sebelum amandemen UUD NRI Tahun 1945, dan
menjadi Negara hukum demokratis pada masa reformasi
hingga saat ini.

Dengan demikian, maka jelaslah sudah bahwa Konstitusi


memiliki kedudukan yang amat penting bagi sebuah negara.
Konstitusi pula yang akan menjadi dasar aturan bagaimana
negara akan dijalankan. Melalui Konstitusi, dapat dilihat
gambaran mengenai sistem hukum apa yang dianut,
perkembangan demokrasi, sampai kpada konsep
penyelenggaraan pemerintahan maupun pembagian
kekuasaan dalam negara.

8
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

BAB II
Konstitusi dan Konstitusionalisme

Sejarah dan pemikiran awal tentang Konstitusi

Pemikiran dan ide awal tentang Konstitusi pada dasarnya


telah muncul sejak masa lampau, yaitu masa dimana mulai
berkembangnya poses unifikasi masyarakat menjadi sebuah
komunitas rakyat dalam satu bentuk pengakuan kedaulatan di
bawah satu system pemerintahan. Pada masa ini, secara
sederhana konsitusi melalui pengertian maknanya muncul dalam
satu lingkup sistem pemerintahan yang sangat sederhana pula.
Adalah Yunani kuno, sebuah wilayah yang melahirkan ide gagasan
tentang konstitusi yang didahului dengan munculnya bentuk
Negara kota (polis) yang kemudian memunculkan pula ide-ide
tentang konsep dan sistematika pemerintahan kala itu. Ide-ide
yang berkaitan dengan politik, pemerintahan, negara dan sosial.
Gagasan mengenai konstitusi secara maknawi
diperkenalkan oleh Plato melalui tulisan-tulisan dalam “Nomoi”,
demikian halnya dengan Socrates yang menelurkan konsep
kekuasaan (power), rakyat dan pemerintahan melalui karyanya
“Panatheenaicus” maupun “aeropagiticus”. Pada masa klasik ini,
perkembangan konstitusionalisme masih pada taraf yang amat
primitif dan diberlakukan pada negara kota (polis) yunani kuno.
Selaras dengan itu, Aristoteles yang mewarisi pemikiran Plato dan
hidup dalam rentang waktu selanjutnya, melalui “Politics”
membahas lebih lengkap mengenai Konstitusi termasuk di
dalamnya konsep kedaulatan (sovereignity), kekuasaan Negara

9
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

(power), dan pemerintahan. Meskipun kondisi Negara pada waktu


itu masih berbentuk polis (Negara kota) kecil, akan tetapi
pemikiran filsuf yunani saat itu telah sampai pada cita Negara dan
pemerintahan yang diidealkan. Secara tidak langsung, makna
tentang Konstitusi secara sedikit demi sedikit telah muncul dan
berkembang dalam rangkaian pemikiran yunani kuno.
Selanjutnya, gagasan tentang Konstitusi mulai berkembang
pesat pada masa Romawi dimana gagasan tersebut telah sampai
pada tahap pengertiannya sebagai “superiority law” atau hukum
tertinggi. Pada tahapan masa ini, Konstitusi dimaknai sebagai
suatu aturan hukum yang terpisah dari Negara dan kedudukannya
pun jauh lebih tinggi. Senada dengan itu, Cicero mengartikan
suatu Negara sebagai a bond of law (vinculum yuris)8. Dengan
demikian, maka Konstitusi pun mulai dipahami sebagai aturan
tertinggi yang menentukan bagaimana bangunan kenegaraan
harus dikembangkan sesuai dengan prinsip the higher law9. Hal ini
lantas berimplikasi pada diperkenalkannya hierarki peraturan
(hukum) di bawah konstitusi dan penyelenggaraan pemerintahan
dengan berpegang pada konstitusionalisme.
Baik itu pemikiran konstitusi pada masa Yunani maupun
Romawi, keduanya sama-sama membuktikan keniscayaan akan
dibutuhkannya Konstitusi dalam lingkup kehidupan dan susunan
sebuah Negara. Sejalan dengan itu, Konstitusi pada masa modern
mengalami perkembangan yang luar biasa signifikan seiring
dengan peradaban bernegara. Konstitusi yang pada awal
kemunculannya masih berupa gagasan ide, secara pasti mulai
menemukan bentuk tubuhnya. Bisa dikatakan, berkembangnya
sebuah Kostitusi dibangun dari dalam ide Konstitusi itu sendiri,
atau dengan kata lain, Konstitusi itu sendirilah yang menjamin

8
. Jimly Asshiddiqie, op.cit, hal.13
9
. Ibid, hal. 14
10
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

bagaimana dirinya akan dijalankan dalam kehidupan bernegara


(Konstitusionalisme).
Negara dalam berbagai cara kelahirannya membutuhkan
sebuah Konstitusi untuk menjamin keberadaan dan eksistensi
dirinya. Dengan demikian maka Konstitusi antara satu Negara
dengan Negara lain tentu saja berbeda dalam hal spirit of nation-
nya. Hal demikian terjadi karena perbedaan sosio-kultural,
pergerakan politik, maupun perbedaan dalam hal latar belakang
proses kelahiran dan terbentuknya sebuah Negara.
Kondisi sosio kultural yang ada pada abad pertengahan di
Eropa kontinental menjadikan konstitusi sebagai sebuah legalitas
formal atas absolutisme raja dimana ia sendiri menjadikan
Konstitusi sebagai alat kekuasaan dan hukum. Pada masa ini pula
Negara dan konstitusi berada pada satu garis lurus kekuasaan
absolutisme raja. Konstitusi berfungsi sebagai sarana kekuasaan
dan kedaulatan Raja, sedangkan kekuasaan dan wewenang
Negara (kerajaan) terwakilkan melalui ucapan maupun titah
Raja;“L’etat ces moi”.
Runtuhnya romantisme dan absolutisme raja yang terjadi
sedemikian rupa diiringi dengan munculnya Revolusi dan
industrialisasi di segala bidang, pada tahap selanjutnya telah
melahirkan gagasan pembentukan sekaligus lahirnya Konstitusi
yang di dalamnya memperhatikan hak-hak individu melalui proses
suksesi kala itu. Konstitusi dan konstitusionalisme pada masa ini
sangat kental dengan konsep individualisme dan liberalisme
sebagai efek dari berakhinya periodisasi absolutisme raja.
Konstitusionalisme pada masa ini lebih mengarah pada
perwujudan konsep Laizes Faire, sedangkan posisi Negara hanya
sebagai penjamin atau “penjaga malam” saja. Dikatakan demikian
karena Negara bersifat pasif terhadap kesejahteeraan rakyat dan
menyerahkan urusan perekonomian sesuai kehendak para
pemilik modal maupun mekanisme pasar. Dalam sejarah

11
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

perkembangannya kemudian, teknologi dan industri yang


demikian pesat serta individualisme yang dominan menyebabkan
tidak meratanya strata sosial dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam kondisi seperti itulah Negara dirasa perlu untuk mengambil
langkah guna mewujudkan Negara yang dapat mewujudkan
pemerataan kesejahteraan rakyatnya. Peranan Negara secara
perlahan tidak lagi berada pada posisi naachtwactherstaat,
melainkan menuju pada konsep welfaarstaat
Konstitusi mengalami perluasan substansi justru pada
masa era Negara hukum modern. Konsep Negara hukum yang
muncul dalam dua konsep rechtsstaat dan rule of law merupakan
era dimana konstitusionalisme benar-benar terimplementasikan
secara proposional dalam penyelenggaraan Negara. Baik antara
rechhtstaat yang muncul di eropa kontinental maupun rule of law
yang berkembang di wilayah anglo saxon dan anglo-amerika,
keduanya senada menempatkan Konstitusi sebagai tolak utama
penyelenggaraan Negara dan pemerintahan. Keduanya bahkan
menempatkan HAM didalamnya. Rechtstaat dan rule of law
merupakan metamorfosa dari konsep Negara hukum liberalis-
individualis yang tidak lagi mampu mewujudkan kesejahteraan
masyarakat. Hal ini pula lah yang kemudian secara filosofis
memunculkan ide akan Negara kesejahteraan (welfare state) yang
sampai saat ini menjadi amat mutakhir dalam proses
pengembanan pemerintahan Negara. Konsep ini mendasari
pembentukan Konstitusi-Konstitusi Negara yang muncul
dikemudian hari.

12
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Teori dan Pengertian Konstitusi


a) Definisi Konstitusi
- Konstitusi berasal dari bahasa Perancis (constituer) yang
berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi ialah
pembentukan suatu Negara atau menyusun dan
menyatakan suatu Negara.10
- Konstitusi dalam bahasa latin terdiri dari dua kata :
1. Cume : (sebuah makna preposisi) yang berarti
bersama dengan
2. Stature : berasal dari kata “sta” yang berarti berdiri,
berarti pula “membuat sesuatu berdiri / mendirikan
dan menetapkan”.
Secara keseluruhan berarti menetapkan sesuatu secara
bersama-sama (constituo).11
- Menurut Jimliy Asshiddiqie :
Konstitusi adalah hukum dasar yang dapat berupa tertulis
(berupa UUD) dan tidak tertulis.12
- Menurut Brian Thompson :
“a constitution is a document which containts the rules for
the aperation of an organization”13, artinya : konstitusi
adalah sekumpulan dokumen yang berisi aturan, tata cara
dijalankannya sebuah organisasi.
- Menurut C. F. Strong :
“A collection of principles according to which the powers of
government, the rights of government, and the relations

10
. Wirjono Projodikoro, 1989, “Asas-Asas Hukum Tata Negara di
Indonesia”, Dian Rakyat, Jakarta, hal. 10
11
.Koerniatmanto Soetoprawiro, “Konstitusi: pengertian dan
Perkembangannya”,pro justicia, no. 2 tahun V Mei 1987, hl. 3, dalam
Dahlan Thaib, Ni’matul Huda dan Jazim Hamidi, op cit, hal.3
12
. Jimly Asshiddiqie, op.cit, Hal.35
13
. Brian Thompson, “Textbook sirconstitusional and administrative law”,
dalam Jimliy Asshiddiqie, Ibid, hal.10
13
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

between the two are adjusted14, artinya : “Sekumpulan


aturan yang berkaitan dengan kekuasaan pemerintah, hak-
hak yang diperintah, dan hubungan yang mengatur
diantara keduanya.”
- Menurut Lord Bryce :
“A Frame of political society, organized through and by
law, that is to say, on in which law has established
permanent institutions with recognized functions and
definite rights.15 Artinya : Sebuah bingkai kehidupan
politik, yang terorganisir oleh aturan hukum, yang dalam
hal ini berisikan pula ketentuan lembaga-lembaga negara
yang didalamnya diatur pula ketentuan-ketentuan tentang
HAM.
- Menurut John Alder:
Constitutions means a foundations or basisi, and the
constitutions of a country embodies the basic framework of
rules about the government of that country and about its
fundamental values.16
- Menurut Henc van Masrseveen:
menyatakan bahwa konstitusi adalah: (1) a national
document, di mana konstitusi ini berfungsi untuk
menunjukkan kepada dunia (having constitution to show
to the outside world) dan menegaskan identitas negara (to
emphasize the state’s own identity); (2) a politic-legal
document, di mana konstitusi berfungsi sebagai dokumen

14
. C.F. Strong, 1960, “Modern Politicl Constitution, An Introduction To
The Comparative Study of their History and Existing Form”,
Sidgwick & Jackson Limited, London, hal 9, Dalam Budiman Sinaga,
2005, “Hukum Konstitus”, Kusuma Kalam Semesta, Yogyakarta, hal
15 – 16.
15
. Ibid, hal. 16
16
. John Adler, 1989, “Constitutional and administrative Law”, MacMillan
education ltd, London, hal.43.
14
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

politik dan hukum suatu negara (as a means of forming the


state’s own political and legal system; dan (3) a bitrh of
certificate, di mana konstitusi berfungsi sebagai piagam
kelahiran suatu bangsa (as a sign of adulthood and
independence).17
- Menurut Ferejohn;
konstitusionalisme adalah suatu proses interpretasi yang
dalam satu masyarakat yang para anggotanya
berpartisipasi dalam kekuasaan politik dan secara bersama
berusaha untuk menetapkan apa yang konstitusi diijinkan
atau dipersyaratkan dalam kaitannya dengan persoalan-
persolan spesifik.18
- Menurut A. Mukthie Fadjar :
“Pengertian konstitusi yang ada di Indonesia lazim disebut
Undang-Undang dasar adalah sekumpulan kaidah yang
mengatur organisasi negara, yang merupakan pedoman
pokok berfungsinya suatu negara.”19
- Menurut Usep Ranawijaya20
Ciri Umum UUD sebagai Konstitusi adalah :
1. Konstitusi sebagai kumpulan kaidah hukum diberi
kedudukan yang lebih tinggi daripada kaidah hukum
lainnya, karena dimaksudkan sebagai alat untuk
membatasi wewenang penguasaan sehingga tidak

17
. Dikutip dalam Sri Soemantri, 2002, Undang Undang Dasar 1945,
Kedudukan dan Aspek Perubahannya”, Unpad Press, Bandung, hal.17.
18
. John ferejohn, Jack N Rakove and Jonathan Rhile, 2001,
“Constitutional Culture and Democration Rule”, Cambridge
University Press, United Kingdom, hal. 8-9.
19
. A. Mukthie Fadjar, 2004, “Tipe Negara Hukum”, Banyumedia
Publishing, Malang, hal. 80
20
. Usep Ranawijaya, 1983, “Hukum Tata Negara Indonesia, Dasar-
dasarnya”, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 184.
15
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

boleh dengan mudah diubah oleh golongan yang


kebetulan berkuasa.
2. Konstitusi memuat prinsip-prinsip dan ketentuan-
ketentuan yang dianggap paling pokok mengenai
kehidupan bersama.
3. Konstitusi lahir dari moment sejarah terpenting bagi
masyarakat yang bersangkutan.

b). Konstitusi Tertulis dan Tidak Tertulis

Konstitusi memuat suatu aturan pokok (fundamental)


mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan suatu
bangunan besar yang disebut negara. Sendi-sendi itu
tentunya harus kokoh, kuat dan tidak mudah runtuh agar
bangunan negara tetap tegak berdiri. Ada dua macam
konstitusi di dunia, yaitu “Konstitusi Tertulis” (Written
Constitution) dan “Konstitusi Tidak Tertulis” (Unwritten
Constitution), ini diartikan seperti halnya “Hukum Tertulis”
(geschreven Recht) yang trmuat dalam undang-undang dan
“Hukum Tidak Tertulis” (ongeschreven recht) yang berdasar
adat kebiasaan. Dalam karangan “Constitution of Nations”,
Amos J. Peaslee menyatakan hampir semua negara di dunia
mempunyai konstitusi tertulis, kecuali Inggris dan Kanada. 21
Di beberapa negara ada dokumen tetapi tidak disebut
konstitusi walaupun sebenarnya materi muatannya tidak
berbeda dengan apa yang di negara lain disebut konstitusi.
Ivor Jenning dalam buku (The Law and The Constitution)
menyatakan di negara-negara dengan konstitusi tertulis ada
dokumen tertentu yang menentukan:

21
. Disadur dari mirza nasution, FH. UNSU, 2004
16
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

a. Adanya wewenang dan tata cara bekerja lembaga


kenegaraan
b. Aadanya ketentuan berbagai hak asasi dari warga negara
yang diakui dan dilindungi
Di inggris baik lembaga-lembaga negara termaksud
dalam huruf a maupun pada huruf b yang dilindungi, tetapi
tidak termuat dalam suatu dokumen tertentu. Dokumen-
dokumen tertulis hanya memuat beberapa lembaga-lembaga
negara dan beberapa hak asasi yang dilindungi, satu dokumen
dengan yang lain tidak sama. Karenanya dilakukan pilihan-
pilihan di antara dokumen itu untuk dimuat dalam konstitusi.
Pilihan di Inggris tidak ada. Penulis Inggris yang akhirnya
memilih lembaga-lembaga mana dan hak asasi mana oleh
mereka yang dianggap “constitutional.” 22
Ada konstitusi yang materi muatannya sangat panjang
dan sangat pendek. Konstitusi yang terpanjang adalah India
dengan 394 pasal. Kemudian Amerika Latin seperti uruguay
332 pasal, Nicaragua 328 pasal, Cuba 286 pasal, Panama 271
pasal, Peru 236 pasal, Brazil dan Columbia 218 pasal,
selanjutnya di Asia, Burma 234 pasal, di Eropa, belanda 210
pasal.23
Konstitusi terpendek adalah Spanyol dengan 36 pasal,
Laos 44 pasal, Guatemala 45 pasal, Nepal 46 pasal, Ethiopia 55
pasal, Ceylon 91 pasal dan Finlandia 95 pasal.
Di indonesia sendiri, lebih menganut Konstitusi tertulis
yang terwujud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Disamping itu ada juga Konstitusi tidak
tertulis dalam bentuk Konvensi yang diakui keberadaannya
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

22
. ibid
23
. ibid.
17
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

c). Isi Konstitusi


- Menurut Steenbeek
Secara umum, UUD sebagai Konstitusi tertulis berisi tiga
hal pokok :
Pertama, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia
dan warga negara ; Kedua, ditetapkannya susunan
ketatanegaraan yang bersifat fundamental ; Ketiga,
adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan
yang juga bersifat fundamental.24
- Menurut Bagir Manan dan Kuntana Magnar, UUD berisikan
:
a. Dasar-dasar mengenai jaminan terhadap hak-hak dan
kewajiban penduduk atau warga negara
b. Dasar-dasar susunan atau organisasi negara.
c. Dasar-dasar pembagian dan pembatasan kekuasaan
lembaga-lembaga negara ; dan
d. Hal-hal yang menyangkut identitas negara, seperti
bendera dan bahasa nasional.25
- Menurut I Gede Pantja Astawa
Konstitusi juga dapat berisi pengaturan tentang sistem
ketatanegaraan. Sistem ketatanegaraan dapat diartikan
sebagai susunan ketatanegaraan, yaitu segala sesuatu
yang berkenaan dengan organisasi negara, baik yang
menyangkut tentang susunan dan kedudukan lembaga

24
. Dikutip dari Sri Soemantri, dalam Budiman Sinaga, “Hukum
Konstitusi”, op.cit, hal. 20
25
. Dikutip dari Pendapat Bagir Manan & Kuntana Magnar, dalam Budiman
Sinaga, Ibid, hal. 21
18
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

lembaga negara, tugas dan wewenangnya maupun


mengenai hubungannya satu sama lain.26.

d). Konstitusionalisme
Menurut C.J Friedrich:
“an institusionalised system of effective, regularized
restraints upon governmental action”: suatu sistem yang
terlembagakan, menyangkut pembatasan yang efektif dan
teratur terhadap tindakan-tindakan pemerintahan.27
Menurut Ferejohn;
konstitusionalisme adalah suatu proses interpretasi yang
dalam satu masyarakat yang para anggotanya
berpartisipasi dalam kekuasaan politik dan secara bersama
berusaha untuk menetapkan apa yang konstitusi diijinkan
atau dipersyaratkan dalam kaitannya dengan persoalan-
persolan spesifik.28
Menurut Walton H. Hamilton:
“Constitusionalism is the name given to the trust which
men repose in the power of word engrossed on parchment
to keep a government in order”29:
Menurut Robert N. Wilkin:
“Konstitusionalisme merupakan teori atau prinsip
pemerintahan konstitusional, atau menganut teori
tersebut (konstitusi)”30

26
. I Gede Pantja Astawa, 2000, “Hak Angket Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD 1945”, Disertasi, Pasca
Sarjana UNPAD, Bandung , hal. 3, dalam Budiman Sinaga, Ibid
27
. Friedrich, C.J, 1963, “Man and his government”, McGraw-Hill, New
York, hlm.217, dalam Jimliy Asshiddiqie, opcit, hal. 21.
28
. John Ferejohn, Jack N Rakove and Jonathan Rile, op.cit, hal. 8-9.
29
. Jimly Assiddiqie, op.cit, hal. 23
19
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

“ Konstitusionalisme adalah suatu pemerintahan oleh


hukum (government by law), bukan pemerintahan oleh
orang-orang (government by men).31

30
. G.A. Forrest, 1967, “Constitution and Constitutional law”, dalam
Encyclopedia Britanica, Vol VI, hal. 398, dalam Irfan Idris, 2009,
“Islam dan Konstitusionalisme”,antonylib, Jogjakarta, hal.5.
31
. ibid
20
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

BAB III
KONSTITUSI dan HAM

Pelembagaan HAM dalam Sejarah dan Konstitusi

Pada prinsipnya, pengembanan HAM sebagai unsur


intrinsik yang ada pada diri manusia telah ada sejak lama.
Kesadaran akan adanya hak asasi manusia, harga diri, harkat
dan martabat kemanusiaan sesungguhnya telah diawali sejak
manusia ada di muka bumi. Hal itu disebabkan oleh hak – hak
kemanusiaan secara kodrati sudah ada sejak manusia itu
dilahirkan dan merupakan hak yang melekat dan tidak
terpisahkan pada diri manusia.Hak Asasi sendiri dalam
perwujudannya yang paling sederhana muncul dengan
sendirinya bersamaan dengan kelahiran umat manusia. Ia
muncul hampir bersamaan dengan “kewajiban” yang
membebani manusia sebagai individu maupun kelompok.
Manakala manusia mulai berinteraksi dengan manusia lainnya,
maka hak asasi akan berbenturan satu sama lain, dengan
demikian muncullah kesepakatan awal untuk saling tidak
menghilangkan hak asasi diantara mereka. Kesepakatan ini
kemudian menjadi hukum yang mengatur kehidupan antar
umat manusia, termasuk itu di dalamnya berisi kewajiban
untuk saling menjaga hak, kepentingan dan kebutuhan
manusia. Dengan demikian, Kemunculan Hak Asasi ini sama
lampaunya dengan konsepsi kemunculan hukum dalam
sejarah umat manusia. Dalam pada itu, Pengakuan atas Hak
asasi manusia pada masa lampau masih bersandar pada
bingkai sosio-kultural yng saat itu berlaku sebagai kebiasaan

21
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

(costumary law). Sedangkan pengakuan Hak Asasi dalam


bentuk dokumen tertulis baru muncul pada waktu yang lama
sesudahnya saat manusia mulai mengenal aksara.

Upaya yang dilakukan dalam rangka pengakuan dan


penegakan HAM telah ada sejak dahulu kala. Pada masa
kenabian, Hak Asasi Manusia tergambar melalui pelawanan
Musa terhadap Fir’aun yang memerintahkan pembantaian
terhadap bayi perempuan. Musa juga menyelamatkan kaum
yahudi dari kekejaman Fir’aun serta menyatukan ajaran dan
komunitas umat yahudi dalam satu ajaran Taurat, Ibrahim
yang mencoba meninggikan harkat kemanusiaan hingga
akhirnya selamat meskipun dibakar, serta Muhammad yang
melalui ajaran Islamnya menyerukan persatuan, peninggian
derajat umat manusia serta beberapa langkah penghapusan
perbudakan yang menjadi kebudayaan arab.
Ide dan upaya penegakan Hak Asasi Manusia juga
terjadi pada masa kekaisaran Hammurabi (babylonia) salah
satunya dengan membuat kodifikasi Hammurabi dalam
sebuah prasasti yang didalamya menyatakan kewajiban dan
hak rakyat dalam hal kepatuhan dan penyembahan terhadap
dewa matahari. Di Yunani, Socrates yang terkenal dalam
pemikirannya juga termasuk ke dalam individu pelaku sejarah
yang telah meletakkan dasar perlindungan dan jaminan
diakuinya HAM dengan konsepsinya yang menganjurkan
masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan
pemerintah, yang kemudian diteruskan oleh ahli filsafat
kenegaraan Aristoteles dengan ajaran demokrasinya.32 Selain
itu, di Athena, Solon sudah mencanangkan perlindungan atas
HAM sebagai ekspresi penegakan keadilan dengan

32
. Bambang Soegiono, 2010, artikel- diunduh pada 24 september 2010
melalui www.google.com, hal.1
22
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

pembentukan lembaga peradilan (heliaea) dan majelis rakyat


(eccelesia). Dilanjutkan oleh Pericles yang menghimbau rakyat
untuk menggunakan hak-haknya sebagai warga Negara untuk
berperan serta dalam majelis rakyat tersebut.33
Pergolakan mengenai perkembangan HAM dan
pelembagaannya telah ada dan berkembang dalam beberapa
periode sejarah yang diakui keabsahannya secara modern,
diantaranya :
- “Perjanjian Agung” Magna Charta di Inggris pada 15 Juni
121534, yang kemudian diakui sebagai konstitusi
pemberontakan baron terhadap raja John yang berisi :
hendaknya raja tak melakukan pelanggaran terhadap
hak milik dan kebebasan pribadi seorang pun dari
rakyat. Magna Charta sendiri merupakan sebuah
dokumen pembatasan kekuasaan Raja. Secara explisit,
Magna Charta memberikan kebebasan kepada rakyat,
para Baron dan pihak Gereja termasuk didalamnya
memberikan jaminan hukum. Perjanjian ini
menandakan bahwa Raja harus tunduk pada
Hukum/Undang-Undang. Magna Charta memuat 2
(dua) prinsip utama berkaitan dengan pengakuan dan
penegakan HAM, yaitu: (i) pembatasan terhadap
kekuasaan raja, dan (ii) pengakuan bahwa HAM lebih
penting daripada kedaulatan raja, sehingga
pertimbangan untuk mengurangi HAM haruslah
melalui prosedur hukum yang ada lebih dahulu, prinsip
tersebut dalam perjalanan sejarah hukum modern
dikenal dengan prinsip legalitas.35

33
. Ibid,
34
. Majda el Muhtaj, 2005, “Hak – Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi
Indonesia”, Kencana, Jakarta, hal. 52.
35
. Bambang Soegiono, 2010,op.cit.
23
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

- Petition of Rights, muncul selanjutnya di Inggris pada


Tahun 1628 dan secara garis besar berisi penegasan
jaminan Hak Asasi dalam hal persetujuan pungutan
pajak dan Hak warga Negara untuk medapatkan
jaminan persetujuan dari intervensi militer.
- Hobeas Corpus Act, dibuat pada tahun 1628,
merupakan pakta yang dibuat guna melindungi Hak
Asasi Manusia dalam kaitannya dengan penangkapan
dan penahanan.
- Bill of Right pada 1689, muncul setelah adanya revolusi
tak berdarah (Glorious Revolution) sebagai perlawanan
terhadap Raja James pada tahun 1668. Bill of Rights
berisi pembatasan kekuasaan raja dan dihilangkannya
hak raja untuk melaksanakan kekuasaan terhadap
siapapun atau untuk memenjarakan, menyiksa dan
mengirimkan tentara kepada siapapun tanpa dasar
hukum.36 Disamping itu merupakan sebuah dokumen
yang di dalamnya menegaskan HAM secara spesifik
seperti kebebasan memilih parlemen, kebebasan
beragama dan kebebasan berbicara dan mengeluarkan
pendapat.
- Deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat yang sekaligus
memunculkan Declaration of Independence, pada 6 Juli
177637 memuat penegasan bahwa setiap orang
dilahirkan dalam persamaan dan kebebasan dengan
hak untuk hidup dan mengejar kebahagiaan serta
mengganti pemerintah yang tidak mengindahkan
ketentuan - ketentuan dasar tersebut. Selanjutnya;

36
. Ibid, hal. 52
37
. Marsiyem, “Sari Kuliah Hukum dan HAM”, disampaikan pada saat
mata kuliah hukum dan HAM fakultas Hukum Unissula, Selasa, 12
September 2006.
24
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

- The Four Freedom, dicetuskan oleh Franklin D.


roosevelt pada Kongres Amerika Serikat tanggal 6
Januari 1941 dan berisi tentang Kebebasan untuk
berbicara dan mengeluarkan pendapat (freedom of
speech), Kebebasan untuk memeluk agama (freedom
of religion), Kebebasan dari ketakutan, (freedom from
fear) dan Kebebasan dari kemelaratan (freedom from
want).
- Declaration de Droits de’I home et du citoyen Prancis
pada 14Agustus 1789, diantaranya berisi Hak asasi
pemilikan harta, kekerasan, persamaan, keamanan,
perlawanan terhadap penindasan.38
- Declaration of Human Rights 1948.39
Sebelum munculnya Declaration of Human Rights,
terlebih dahulu PBB membentuk dan mengesahkan
Piagam dan Statuta Mahkamah Internasional
menyangkut perlindungan HAM pada tanggal 26 Juni
1945 di San Fransisco. Selanjutnya, setelah Perang
Dunia II tahun 1946 Badan PBB (UN) yang disebut
ECOSOC merancang piagam HAM yang hasilnya
disahkan dalam Sidang Umum PBB (General Assembly
United Nations) pada tanggal 10 Desember 1948 di
Paris, dikenal dengan sebutan Piagam Sedunia tentang
Hak-hak Manusia (Universal Declaration of Human
Rights). Sebagai sebuah "pernyataan" atas piagam
tersebut baru mengikat secara moral dan bukan yuridis,
sebab mengikat secara yuridis harus dituangkan dalam
bentuk Perjanjian Universal. Pada tanggal 16 Desember
1966 lahir Covenant dari Sidang Umum PBB yang
mengikat secara yuridis bagi semua negara yang

38
. Http://www.wikisource.org
39
. Http:www.Google.com – Declaration of Human Rights.doc
25
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

meratifikasi perjanjian (covenant) tersebut. Covenant


tersebut memuat: (i) perjanjian tentang hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya (covenant on economic,
social dan cultural rights), dan (ii) perjanjian tentang
Hak-hak Sipil dan Politik (covenant on civil and political
rights).40

Konstitusionalisme dan HAM dalam Islam


Hak Asasi Manusia secara lebih awal telah diakui
kedudukannya dalam Islam melalui Al-Quran, sebuah Kitab
suci keempat yang diturunkan dalam sejarah peradaban
manusia setelah Taurat, Zabur dan Injil. Kitab yang diturunkan
melalui kerasulan Muhammad ini tidak hanya membahas
tentang ibadah, tetapi juga manusia dan kemanusiaan.
Perintah wahyu pertama di gua hira yang diturunkan melalui
Jibril kepada Muhammad berupa iqra'_sebuah surat yang
didalamnya berisikan perintah untuk membaca_ pada
dasarnya menggambarkan kewajiban dan pengakuan untuk
mempertinggi harkat, derajat dan martabat manusia sebagai
khalifah dalam memahami alam semesta melalui ilmu
pengetahuan. Secara maknawi, perintah mempertinggi derajat
kemanusiaan ini pada dasarnya merupakan pengakuan atas
hak asasi manusia sebagai makhluk yang paling sempurna.
Al Quran tidak pernah menyebutkan secara eksplisit
baik itu definisi mengenai HAM ataupun mengenai Konstitusi.
Tidak adanya definisi khusus mengenai bentuk sebuah
Konstitusi menyebabkan polarisasi dan fleksibilitas dalam
penafsiran melalui Al-Quran. Akan tetapi disebutkannya
perintah untuk berlaku adil bagi pemimipin serta
dianjurkannya penghormatan terhadap Hak-Hak kemanusiaan

40
. Disadur dari Bambang Sugiono, op.cit, hal. 2-3.
26
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

dalam sebuah kepemimpinan justru memberikan nilai lebih


dan batasan positif dalam penafsirannya. Hal ini kemudian
menjadi dasar pemikiran pembentukan berbagai bentuk
negara dan pemerintahan oleh masyarakat Islam. Lebih lanjut
disebutkan:
“Bahwasanya Allah menyuruh bersifat adil dan berbuat baik”
(Q.S, 16: 90)..41
“Apabila kamu ingin hendak memberi hukum diantara manusia
maka haruslah kamu memberi hukum dengan adil” (Q.S, 4:
5).42
“Dan ajaklah mereka itu bermusyawarah tentang perkara
mereka” (Q.S, 3: 159).43
“dan adapun urusan mereka rakyat hendaklah
dimusyawaratkan antara mereka sendiri” (Q.S, 26: 38).44
Selanjutnya Al-Quran dalam beberapa ayatnya
memerintahkan untuk menegakkan HAM sekaligus mengecam
keras berbagai upaya kedzaliman. Secara lebih tegas kewajiban
dan pengakuan atas HAM disebutkan diantaranya sebagai
beriut;
“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup
ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh” (Q.S, 81; 8– 9)45
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama / itulah
orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan
memberi makan orang miskin” (Q.S, 107: 1 – 3)46
“Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu ?

41
. Al-Quran, surat An-Nahl, ayat 90.
42
. ibid, An-Nisaa, ayat 5.
43
. ibid, Ali Imron, ayat 159.
44
. ibid, As Syura, ayat 38.
45
. ibid, surah At-Takwir, ayat 8-9.
46
. ibid, Al-Maun, ayat 1-3.
27
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

(Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan” (Q.S, 90: 12 13)47


“Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”
“Tidak boleh ada paksaan tentang agama;karena sudahlah
jelas perbedaan antara benar dan sesat” (Q.S, 2: 256).48
“dan sungguh telah kami muliakan keturunan adam dan kami
angkut mereka di daratan dan lautan dan Kami beri, mereka
dari rezeki yang baik-baik, dan kami lebihkan mereka dari
kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan dengan
kelebihan yang sempurna”. (Q.S, 17: 70).49
Redaksional ayat yang terakhir ini merupakan salah
satu dasar menyangkut pandangan Islam tentang Hak-Hak
Asasi Manusia. Manusia siapa pun harus dihormati hak-haknya
tanpa perbedaan. Semua memiliki hak hidup, hak berbicara,
dan mengeluarkan pendapat, hak beragama, hak memperoleh
pekerjaan dan berserikat, dan lain-lain yang dicakup oleh
Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia. Akan tetapi, hak-hak
tersebut tidak boleh bertentangan dengan hak-hak Allah dan
harus selalu berada dalam koridor tuntutan agama-Nya. Dalam
konteks ayat ini manusia dianugerahi Allah keistimewaan yang
tidak dianugerahkan-Nya kepada yang lain dan itu pulalah yang
menjadikan manusia mulia serta harus dihormati dalam
kedudukannya sebagai manusia. Anugerah tersebut berlaku
untuk semua manusia dan lahir bersama kelahirannya sebagai
manusia, tanpa membedakan seseorang dengan yang lain.
Prinsip inilah yang menjadikan Nabi Muhammad saw.berdiri
menghormati jenazah seorang Yahudi, yang ketika itu sahabat-
sahabat Rasul saw. menanyakan sikap beliau itu, Nabi saw.
menjawab: “Bukankah yang mati itu juga manusia?” Begitu
tinggi dan mulia kedudukan manusia maka Allah

47
. ibid, Al-Balad, ayat 12-13
48
. ibid, Al Baqarah, ayat 256.
49
. ibid, Al-Israa, ayat 70.
28
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

mendeklarasikan ketundukan alam semesta terhadap


manusia.50
Dalam pada itu, Qur'an yang bersifat universal memiliki
ciri yang berbeda mengenai HAM, yaitu lebih bersifat teokratis
tetapi memiliki sisi humanistis. Hal ini tentu amat berbeda
dengan HAM versi pemikiran barat yang cenderung berawal
dari konsepsi pemikiran rasional. Meskipun begitu, konsep
HAM dalam Quran memiliki banyak ruang untuk dirasionalkan
dan dimanifestasikan. Penegakan HAM pada awal mula
keislaman ini bertumpu pada entitas kewahyuan dan spiritual
dengan pemberian sanksi moral spiritual oleh Muhammad
sebagai Rasul pada saat itu.
Islam melalui Al-Quran mengajarkan keseimbangan
antara hak dan kewajiban asasi manusia. Lebih dari itu, Islam
memasukkan unsur pengakuan HAM, harkat dan martabat
kemanusiaan sebagai bagian dari aspek “muamalah” yang
kesemuanya itu bisa dimasukkan dalam kategori ibadah.
Melalui Muhammad, pola penegakan dan pengakuan
mengenai Hak Asasi Manusia sedikit demi sedikit mampu
terwujud dalam konstelasi masyarakat Makkah yang masih
jahiliyyah.
Dalam beberapa periode sejarah kejahiliyyahan
masyarakat Makkah, Islam muncul sebagai agama yang
universal dan toleran. Perbudakan yang sudah menjadi
kebiasaan masyarakat tidak secara langsung dihapuskan, tetapi
perlahan-lahan melalui pendekatan yang dilakukan oleh
Muhammad. Islam sangat memahami betapa perbudakan
merupakan salah satu perlakuan yang memasung kebebasan
HAM. Oleh karena itu, perbudakan dihapus melalui pemasukan
ajaran Islam kedalam masyarakat itu sendiri. Hal ini dilakukan

50
. Quraish Shihab, dalam Shaharudin daming, Eskafasi mutiara HAM
dalam Islam dibalik hegemoni barat, makalah. Hal. 4-5.
29
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

melalui perintah untuk memerdekakakan budak sebagai


pengganti atas dilanggarnya aspek ibadah maupun
diabaikannya ketentuan syariat.51 Dengan demikian, diakuinya
perbudakan dalam Islam bukan serta merta untuk dilestarikan
melainkan dihapuskan.
Adapun dalam rangkaian pemikiran rasionalis barat
yang beranggapan Islam bukanlah agama yang mengakui HAM
dikarenakan adanya pencantuman penulisan dan pengakuan
“budak” di dalam Al-Quran, nyatanya adalah sebuah hal yang
keliru. Perbudakan yang tersirat dalam ayat Al-Quran bukanlah
sebagai unsur pengabadian (underogable) atas perbudakan itu
sendiri, melainkan sebuah petunjuk awal untuk upaya
mewujudkan kesetaraan umat manusia termasuk diantaranya
menghilangkan perbudakan. Nilai universalisme Islam yang
mengakui kesetaraan manusia telah menjadi acuan bagi upaya
penghapusan perbudakan masyarakat kuno melalui aspek
keta'atan kepada Tuhan (ketakwaan), spiritualitas dan aspek
ibadah muamalah.
Sejarah pengakuan Hak Asasi Manusia yang dilakukan
oleh Muhammad mengalami masa keemasan pada saat
dilakukannya hijrah dari Makkah menuju Madinah. Pada saat
itulah dimulai penggabungan masyarakat dan kemajuan
heterogenitas masyarakat. Islam terwujud sebagai agama yang
mampu mempersatukan perbedaan kepentingan dan kesukuan
masyarakat madinah. Diangkatnya nabi sebagai kepala negara

51
. Penghapusan budak dilakukan melalui aspek ibadah dan penghukuman
atas dilanggarnya sebuah ketentuan agama. Pada saat itu, hal terberat
yang dilakukan masyarakat adalah memerdekakan budak. Tidak hanya
itu, kemerdekaan secara langsung diberikan oleh Muhammad kepada
budak kaum kafir yang secara terang-terangan menyatakan diri
memeluk Islam. Hal ini pun menjadi tradisi pada masanya,, sehingga
memerdekakan budak turut pula dilakukan oleh para sahabat nabi.dan
para penerus ajaran beliau.
30
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

dan pemerintahan menyebakan pemahaman akan Islam


menjadi demikian kompleks dalam kehidupan beragama dan
bermasyarakat. Peran Muhammad dengan misi Islamnya
mengalami lompatan besar dalam hal pengakuan HAM dan
kehidupan bernegara pada saat disetujuinya Piagam Madinah
sebagai sebuah aturan konstitutif atas kehidupan politik
masyarakat Madinah.

Konstitusi Madinah
Terbentuknya Piagam Madinah sebagai dasar
penyelenggaraan kehidupan dan pemerintahan di Madinah
semakin membuktikan bahwa Sejarah Konstitusionalisme dan
HAM dalam Islam pada dasarnya telah dimulai sejak masa
kerasulan Muhammad SAW sebagai kepala Negara saat itu
(622 M). Dalam posisinya sebagai pemimpin spiritual maupun
pemerintahan di Madinah, beliau telah menerapkan konsep
persamaan hak dan kebebasan beragama serta prinsip-prinsip
pemerintahan yang demokratis meskipun konsep
pemerintahan yang ia pimpin secara mayoritas bersifat
teokratis. Piagam kesepakatan yang kemudian juga dikenal
dengan sebutan shahifah52 tersebut menjadi dasar kehidupan
politis dan sosial kemasyarakatan dalam sebuah Negara
Madinah yang Majemuk. Hal ini menjadi demikian fenomenal
dalam catatan sejarah mengingat kota Madinah adalah satu
wilayah yang menjadi tempat hijrah Rasul yang bersamaan

52
. Shahifah adalah nama yang disebut dalam naskah asli Piagam Madinah.
Menurut Ahmad Sukardja, kata shahifat lebih tepat dikarenakan
menunjuk pada makna piagam atau charter, karena lebih menunjuk
kepada surat resmi yang bersifat pernyataan tentang suatu hal, dalam
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945,
hal.2.
31
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

dengan itu pula menerima kehadirannya sebagai pemimpin


umat sekaligus pembawa agama baru (islam).
Sebagai kepala Negara, Rasul memandang perlunya
unsur persatuan, kesatuan dan musyawarah dalam konsep
bernegara. Konsep Rahmatan lil’alamin, Ukhuwwah ummah
dan Mashlahah ‘aammah (kepentingan dan kesejahteraan
umum) benar-benar termanifestasikan dalam pola
kepemimpinannya.
Konstitusi Madinah yang kemudian diakui
keberadaannya sebagai sebuah Konstitusi pertama dan
otentik pada dasarnya memiliki beberapa kharakteristik
Konstitusi Modern. Berdasarkan masa sejarah pada saat
Konstitusi tersebut dibentuk, secara jelas terlihat pengaruh
yang amat besar yang diberikan oleh Islam melalui Al-Quran
dan As-sunnah yang dideskripsikan melalui perilaku dan seni
kepemipinan Muhammad.
Keberhasilan pembentukan dan penerapan Piagam
Madinah tidak lepas dari pola keteladanan Muhammad
(uswah) dalam mendeskripsikan Islam sebagai rahmat bagi
semesta (rahmatan lil ‘alamiin) termasuk di dalamnya
toleransi bagi umat beragama lain. Disamping itu, adanya cita-
cita besar pembentukan Negara yang damai, sejahtera dan
madani menjadi salah satu latar belakang disusunnya Piagam
ini. Integralisasi aturan kehidupan yang dilakukan oleh
Muhammad bukan hanya ditujukan bagi masyarakat Muslim,
tetapi lebih dari itu Ia menjamin kebutuhan dan Hak-hak
warga Negara yang dipimpinnya dalam kemajemukan budaya
dan agama.
Secara tekstual, Piagam Madinah ini secara lengkap
diriwayatkan oleh Ibn Ishaq (w. 151 H) dan Ibn Hisyam (w. 213

32
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

H),53 Meskipun kharakteristik yang terkandung didalamnya


masih kuno, tetapi kebenaran dan keotentikan piagam
tersebut dapat dipertanggungjawabkan mengingat gaya
bahasa dan penyusunan redaksi yang digunakan dalam Piagam
Madinah ini setaraf dan sejajar dengan gaya bahasa yang
dipergunakan pada masanya. Demikian pula kandungan dan
semangat piagam tersebut sesuai dengan kondisi sosiologis
dan historis zaman itu54. Keotentikan Piagam Madinah ini
diakui pula oleh William Montgomery Watt, yang menyatakan
bahwa dokumen piagam tersebut, yang secara umum diakui
keotentikannya, tidak mungkin dipalsukan dan ditulis pada
masa Umayyah dan Abbassiyah yang dalam kandungannya
memasukkan orang non muslim ke dalam kesatuan ummah.55
Sebagai sebuah Konstitusi, Piagam Madinah memuat
secara explisit megenai persatuan ummat dan dasar
penerapan pembentukan kenegaraan. Kharakteristik tersebut
diantaranya;56
1. Masyarakat pendukung Piagam Madinah merupakan
masyarakat yang majemuk terdiri dari beberapa ikatan
kesukuan dan agama. Unsur kesukuan memegang
peranan penting bagi pembentukan awal sebuah
kelompok dalam komunitas, dengan demikian maka
menjadi awal cikal bakal pembentukan negara. Pada saat
itu, Muhammad menghilangkan primordialisme
kesukuan dan menggantinya dengan nasionalisme
(dilihat dari unsur kegotongroyongan serta musyawarah

53
. Disadur dari artikel dalam www.google.com//sejarah Hak Asasi
Manusia/Piagam Madinah, diunduh pada 24 September 2010, hal.2-3
54
. ibid,.
55
. ibid,.
56
. Sebagaimana diantaranya dirangkum dan disadur dari Irfan Idris, op.cit,
hal 33-35.
33
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

dalam kabilah yang dimaksudkan untuk membangun


satu persatuan Negara Madinah dengan tanpa
menghilangkan ciri-khas masing-masing kabilah, tetapi
menggabungkannya dalam sebuah aturan Piagam yang
kemudian disepakati bersama menjadi sebuah dokumen
pengikat kehidupan majemuk secara politik).
2. Persamaan kedudukan dalam masyarakat yang ditandai
dengan kewajiban untuk saling menghormati,
bekerjasama serta memberikan perlakuan yang adil dan
wajar sesuai dengan kemanusiaan. Termasuk pula di
dalamnya perlindungan politik dan hukum terhadap
kaum minoritas.
3. Pengakuan terhadap agama dan kebebasan menjalankan
ibadah bagi Muslim dan Yahudi serta bagi umat lainnya,
persamaan kedudukan di hadapan hukum bagi seluruh
warga negara, pengakuan atas perjanjian perdata warga
negara, Hak dan kewajiban pembelaan negara terkait
penyerangan dan pertahanan, serta pengakuan atas
perdamaian.
4. Adanya sentralisasi dan desentralisasi pemerintahan
yang ditandai dengan Yatsrib sebagai pusat
pemerintahan serta pembagian wewenang terhadap
penyelesaian permasalahan dalam suku/kabilah yang
diserahkan urusannya kepada masing-masing suku
tersebut, dan menyerahkan urusan kepada Muhammad
(pemimpin pusat) apabila menyangkut permasalahan
antar suku di Madinah. Pada masa ini telah
diperkenalkan asas pembagian kekuasaan (distribution
of power) secara dini dan jauh lebih awal sebelum para
pemikir dan negarawan barat mengkonsepsikannya ke
dalam negara modern.

34
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Konstitusionalisme yang dianut oleh Negara


Madinah, telah merangkum semua sifat yang dibutuhkan oleh
organisasi kenegaraan, baik sifat proklamasi (proclamation of
independence), deklarasi (declaration of birth of state),
perjanjian atau pernyataan-pernyataan yang lain (seperti
halnya konsep declaration of Human Rights maupun le droit de
l'home et du citoyen) termuat pula konsepnya dalam Piagam
ini. Oleh karena kualitasnya yang serba mencakup ini, maka
Piagam Madinah diakui sebagai “Konstitusi tertulis yang
pertama di dunia”.57 Bahkan, Konstitusi Madinah diakui pula
sebagai Konstitusi termodern pada zamannya.58 Modernitas ini
dapat dilihat melalui adanya komitmen yang tinggi, partisipasi
masyarakat dalam pembuatan piagam dan dalam
pemerintahan, serta keterbukaan posisi kepemimpinan
berdasarkan tingkat kecakapan.59
Sayangnya, Demokratisasi dan egalitarianisme
dalam bernegara seringkali tidak menjadikan contoh bagi para
penguasa Islam selanjutnya. Pada masa sesudah Muhammad
wafat, politik pemerintahan dan kenegaraan yang ada
semakin mengarah kepada monarkhi absolut bahkan
cenderung ekstrimisme golongan. Hal ini terbukti melalui
beberapa gejolak politik pada masa pemerintahan
Khulafa'urrasyidin, Dinasti Ummayah hingga masa keemasan
dinasti Abbasiyyah. Pada rentetan masa tersebut, ada garis
absolutisme dalam sistem pemerintahan. Khalifah dalam
sebuah khilafah seringkali bertindak absolut layaknya seorang
raja. Disamping itu, perpecahan ummat dan golongan serta

57
. Djazim Hamidi, Malik, 2009, “Hukum Perbandingan Konstitusi”,
Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, hal.45.
58
. Robert N. Bellah, 1976, Beyond Belief, Harper & Row, New York, hal.
150-151.
59
. ibid,.
35
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

banyaknya pemberontakan politik dalam pemerintahan


seolah menciderai tinta emas penorehan kejayaan peradaban
Islam. Meskipun demikian, harus diakui pula pada masa inilah
peradaban, ijtihad di bidang agama dan ilmu pengetahuan
serta penegakan kesetaraan HAM bagi warga negara
mengalami kemajuan pesat.

a). Unsur HAM dalam Piagam Madinah

1. Hak atas persamaan kedudukan warga negara, terdapat


dalam Preambule: Dengan nama Allah Yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang. Ini adalah piagam dari
Muhammad, Rasulullah SAW, di kalangan mukminin dan
muslimin (yang berasal) dari Quraisy dan Yatsrib
(Madinah), dan yang mengikuti mereka, menggabungkan
diri dan berjuang bersama mereka.

2. Hak atas pengakuan sebagai komunitas kabilah (warga


negara) termaktub dalam:
Pasal 1: Sesungguhnya mereka satu umat, lain dari
(komunitas) manusia lain;
Pasal 12: Seorang mukmin tidak dibolehkan membuat
persekutuan dengan sekutu mukmin lainnya, tanpa
persetujuan dari padanya.

3. Pengakuan atas hak untuk hidup, melangsungkan


kehidupan,dan hak atas jaminan kehidupan;
Pasal 14: Seorang mukmin tidak boleh membunuh orang
beriman lainnya lantaran (membunuh) orang kafir. Tidak
boleh pula orang mukmin membantu orang kafir untuk
(membunuh) orang beriman;

36
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Pasal 15: Jaminan Allah satu. Jaminan (perlindungan)


diberikan oleh mereka yang dekat. Sesungguhnya
mukminin itu saling membantu, tidak tergantung pada
golongan lain.

4. Hak mendapatkan kedudukan yang sama dan perlakuan


yang adil di depan hukum.
Pasal 16: Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti
kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang
(mukminin) tidak terzalimi dan ditentang (olehnya);
Pasal 21: Barang siapa yang membunuh orang beriman
dan cukup bukti atas perbuatannya, harus dihukum
bunuh, kecuali wali si terbunuh rela (menerima diat).
Segenap orang beriman harus bersatu dalam
menghukumnya;
Pasal 23: Apabila kamu berselisih tentang sesuatu,
penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah ‘azza wa
jalla dan (keputusan) Muhammad SAW;
Pasal 26: Kaum Yahudi Banu Najjar diperlakukan sama
seperti Yahudi Banu ‘Awf. ; Pasal 27: Kaum Yahudi Banu
Hars diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf, ;
Pasal 28: Kaum Yahudi Banu Sa’idah diperlakukan sama
seperti Yahudi Banu ‘Awf ;
Pasal 29: Kaum Yahudi Banu Jusyam diperlakukan sama
seperti Yahudi Banu ‘Awf ;
Pasal 30: Kaum Yahudi Banu al-’Aws diperlakukan sama
seperti Yahudi Banu ‘Awf ;
Pasal 31: Kaum Yahudi Banu Sa’labah diperlakukan sama
seperti Yahudi Banu ‘Awf, kecuali orang zalim atau
khianat. Hukumannya hanya menimpa diri dan
keluarganya;

37
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Pasal 32: Suku Jafnah dari Sa’labah (diperlakukan) sama


seperti mereka (Banu Sa’labah) ;
Pasal 33: Banu Syutaybah (diperlakukan) sama seperti
Yahudi Banu ‘Awf. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan)
itu lain dari kejahatan (khianat) ;
Pasal 34: Sekutu-sekutu Sa’labah (diperlakukan) sama
seperti mereka (Banu Sa’labah) ;
Pasal 35: Kerabat Yahudi (di luar kota Madinah) sama
seperti mereka (Yahudi);
Pasal 40: Orang yang mendapat jaminan (diperlakukan)
seperti diri penjamin, sepanjang tidak bertindak
merugikan dan tidak khianat;
Pasal 46: Kaum yahudi al-’Aws, sekutu dan diri mereka
memiliki hak dan kewajiban seperti kelompok lain
pendukung Piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan
penuh dari semua pendukung Piagam ini. Sesungguhnya
kebaikan (kesetiaan) itu berbeda dari kejahatan
(pengkhianatan). Setiap orang bertanggungjawab atas
perbuatannya. Sesungguhnya Allah paling membenarkan
dan memandang baik isi Piagam ini;
Pasal 47: Sesungguhnya Piagam ini tidak membela orang
zalim dan khianat. Orang yang keluar (bepergian) aman,
dan orang berada di Madinah aman, kecuali orang yang
zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang yang
berbuat baik dan takwa. Dan Muhammad Rasulullah
SAW.

5. Hak atas kebebasan beragama dan mendapatkan


perlakuan yang sama dalam masing-masing agama,
tersirat dalam;
Pasal 25: Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat
dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan

38
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

bagi kaum muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini


berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri,
kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan
merusak diri dan keluarganya ;

6. Pengakuan atas hak dan kewajiban bela negara;


Pasal 18: Setiap pasukan yang berperang bersama kita
harus bahu-membahu satu sama lain;
Pasal 19: Orang-orang mukmin itu membalas pembunuh
mukmin lainnya dalam peperangan di jalan Allah. Orang-
orang beriman dan bertakwa berada pada petunjuk yang
terbaik dan lurus.; Pasal 24: Kaum Yahudi memikul biaya
bersama mukminin selama dalam peperangan ;
Pasal 36: Tidak seorang pun dibenarkan (untuk perang),
kecuali seizin Muhammad SAW. Ia tidak boleh dihalangi
(menuntut pembalasan) luka (yang dibuat orang lain).
Siapa berbuat jahat (membunuh), maka balasan
kejahatan itu akan menimpa diri dan keluarganya,
kecuali ia teraniaya. Sesungguhnya Allah sangat
membenarkan (ketentuan) ini;
Pasal 37: Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya, dan
bagi kaum muslimin ada kewajiban biaya. Mereka
(Yahudi dan muslimin) bantu-membantu dalam
menghadapi musuh Piagam ini. Mereka saling memberi
saran dan nasihat. Memenuhi janji lawan dari khianat.
Seseorang tidak menanggung hukuman akibat
(kesalahan) sekutunya. Pembelaan diberikan kepada
pihak yang teraniaya;
Pasal 38: Kamu Yahudi memikul biaya bersama mukminin
selama dalam peperangan;
Pasal 44: Mereka (pendukung Piagam) bahu-membahu
dalam menghadapi penyerang kota Yatsrib;

39
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Pasal 45: Apabila mereka (pendukung piagam) diajak


berdamai dan mereka (pihak lawan) memenuhi
perdamaian serta melaksanakan perdamaian itu, maka
perdamaian itu harus dipatuhi. Jika mereka diajak
berdamai seperti itu, kaum mukminin wajib memenuhi
ajakan dan melaksanakan perdamaian itu, kecuali
terhadap orang yang menyerang agama. Setiap orang
wajib melaksanakan (kewajiban) masing-masing sesuai
tugasnya.

7. Hak atas kemanusiaan dan jaminan perlakuan yang adil


dan wajar bagi masyarakat dan tawanan perang;
Pasal 2: Kaum Muhajirin (pendatang) dari Quraisy sesuai
keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar
diat di antara mereka dan mereka membayar tebusan
tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara
mukminin;
Pasal 3: Banu ‘Awf, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka,
bahu-membahu membayar diat di antara mereka seperti
semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan
dengan baik dan adil di antara mukminin;
Pasal 4: Banu Sa’idah, sesuai keadaan (kebiasaan)
mereka, bahu-membahu membayar diat di antara
mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar
tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di
antara mukminin,
Pasal 5: Banu al-Hars, sesuai keadaan (kebiasaan)
mereka, bahu-membahu membayar diat di antara
mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar
tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di
antara mukminin;

40
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Pasal 6: Banu Jusyam, sesuai keadaan (kebiasaan)


mereka, bahu-membahu membayar diat di antara
mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar
tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di
antara mukminin;
Pasal 7: Banu al-Najjar, sesuai keadaan (kebiasaan)
mereka, bahu-membahu membayar diat di antara
mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar
tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di
antara mukminin;
Pasal 8: Banu ‘Amr Ibn ‘Awf, sesuai keadaan (kebiasaan)
mereka, bahu-membahu membayar diat di antara
mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar
tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di
antara mukminin;
Pasal 9: Banu al-Nabit, sesuai keadaan (kebiasaan)
mereka, bahu-membahu membayar diat di antara
mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar
tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di
antara mukminin;
Pasal 10: Banu al-’Aws, sesuai keadaan (kebiasaan)
mereka, bahu-membahu membayar diat di antara
mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar
tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di
antara mukminin;
Pasal 11: Sesungguhnya mukminin tidak boleh
membiarkan orang yang berat menanggung utang di
antara mereka, tetapi membantunya dengan baik dalam
pembayaran tebusan atau diat.
8. Hak atas perdamaian dan kewajiban penegakan
perdamaian termaktub dalam beberapa makna Pasal;

41
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Pasal 13: Orang-orang mukmin yang takwa harus


menentang orang yang di antara mereka mencari atau
menuntut sesuatu secara zalim, jahat, melakukan
permusuhan atau kerusakan di kalangan mukminin.
Kekuatan mereka bersatu dalam menentangnya,
sekalipun ia anak dari salah seorang di antara mereka;
Pasal 17: Perdamaian mukminin adalah satu. Seorang
mukmin tidak boleh membuat perdamaian tanpa ikut
serta mukmin lainnya di dalam suatu peperangan di jalan
Allah Allah, kecuali atas dasar kesamaan dan keadilan di
antara mereka;
Pasal 20: Orang musyrik (Yatsrib) dilarang melindungi
harta dan jiwa orang (musyrik) Quraisy, dan tidak boleh
bercampur tangan melawan orang beriman;
Pasal 22: Tidak dibenarkan bagi orang mukmin yang
mengakui piagam ini, percaya pada Allah dan Hari Akhir,
untuk membantu pembunuh dan memberi tempat
kediaman kepadanya. Siapa yang memberi bantuan atau
menyediakan tempat tinggal bagi pelanggar itu, akan
mendapat kutukan dan kemurkaan Allah di hari kiamat,
dan tidak diterima daripadanya penyesalan dan tebusan.
Pada masa selanjutnya, setelah terjadi penghianatan
yahudi dan terjadinya perang khandaq, maka dibuatlah
pembedaan dalam hal hak dan kewajiban warga negara.
Pembedaan yang dimaksud adalah mengenai pemisahan
antara kaum muslim dan dzimmi (orang non muslim yang
terbagi menjadi kafir dzimmi dan musta’min). Kafir Dzimmi
adalah warga nonmuslim yang menetap selamanya, serta
dihormati tidak boleh diganggu jiwanya, kehormatannya, dan
hartanya, sedang musta’min adalah orang asing yang
menetap untuk sementara, dan juga harus dihormati

42
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

jiwanya, kehormatannya dan hartanya.60 Kafir dzimmi


memiliki hak-hak kemanusiaan, hak-hak sipil, dan hak-hak
politik. Sedangkan musta’min tidak memiliki hak-hak politik,
karena mereka adalah orang asing.61 Adapun pembedaan
kewajibannya berupa pembayaran zakat atas pertanian,
peternakan dan harta bagi umat muslim, serta kewajiban
pembayaran pajak yang diberlakukan kepada para kaum
dzimmi.
Elaborasi HAM dalam masa kepemimpinan Rasul
tidak hanya pada aspek konstitutif Piagam Madinah saja,
melainkan pada seluruh aspek kehidupan sosiologis yang
akan dibangun saat itu. Penegasan atas kesetaraan dan
kemanusiaan sebagai wujud utama pengakuan HAM dalam
Islam menjadi paripurna pada saat dibacakannya Khutbah
Wada' atau “Khutbah perpisahan” yang disampaikan oleh
nabi pada saat ibadah hajinya yang terakhir:
“Jiwamu, harta bendamu, dan kehormatanmu adalah
sesuci hari ini. Bertakwalah kepada Alloh dalam hal istri-
istrimu dan perlakuan yang baik kepada mereka, karena
mereka adalah pasangan-pasanganmu dan penolong-
penolongmu yang setia. Tak ada seorang pun yang lebih
tinggi derajatnya kecuali berdasarkan atas ketakwaan
dan kesalehannya. Semua manusia adalah anak
keturunan Adam itu diciptakan dari tanah liat.
Keunggulan itu tidak berarti orang Arab berada di atas
orang non Arab dan begitu juga bukan non Arab di atas
orang Arab. Keunggulan juga tidak dipunyai oleh orang
kulit putih lebih dari orang kulit hitam dan begitu juga
bukan orang kulit hitam di atas orang kulit putih.
Keunggulan ini berdasarkan atas ketakwaannya.”

60
. A. Djazuli, 2007, Fiqh Siyasah, Kencana, Jakarta, hal. 63
61
. Ibid,. hal.64.
43
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Melalui khutbah ini dapat ditafsirkan lebih lanjut akan


kajian HAM di dalamnya berupa:

1. Penolakan diskriminasi ras dan warna kulit dalam


masyarakat Islam dan pola kenegaraan Islam.
Penolakan ini dilakukan dalam rangka menghapus
politik perbedaan ras dalam komunitas sosial yang
menjadi kebiasaan kuno masyarakat sebagai bawaan
dari budaya jahiliyyah saat itu.

2. Pengakuan Hak asasi dan perlindungan terhadap


kaum perempuan baik dalam konteks sosial
masyarakat maupun dalam lingkup keluarga.

3. Penolakan atas eksklusivisme dan primordialisme


golongan.

4. Pengakuan atas kesetaraan bangsa antara bangsa


arab maupun diluar bangsa arab.

5. Dasar kesetaraan HAM melalui konsep tauhidi,


ketakwaan (teokratis). Sebagai penjelasan, penegakan
HAM dan konsep pemerintahan dalam negara
Madinah merupakan sebuah fase perbaikan,
perintisan atau pembangunan kembali bangunan
kemasyarakatan, sosial dan kepemimpinan yang telah
rusak diakibatkan oleh kemerosotan moral budaya
jahiliyyah. Dengan demikian maka tidak mungkin
sebuah bangunan masyarakat madani akan muncul
dalam kondisi sosial budaya yang rusak, dan oleh
sebab itu, satu-satunya sistem yang menjadi pilihan
guna merubah tatanan tersebut adalah dengan

44
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

perbaikan moral dan akhlak ummat melalui ajaran


Islam (teokratis) pada saat itu.

6. Diakuinya hak-hak asasi pribadi dan hak asasi di


bidang ekonomi. Pengakuan atas hak ini jauh
mendahului pengakuan yang dilakukan dalam masa
peradaban barat (hak asasi generasi pertama diakui
melalui pasal 2-21 Universal Declaration of Human
Rights, dan hak asasi generasi kedua yaitu hak atas
ekonomi, jaminan sosial dan budaya melalui
pengesahan dua kovenan Internasional yaitu :
International Convenant on Civil and Political Rights
(ICCPR) / Konvenan Internasional tentang Hak-hak
Sipil dan Politik dan International Covenant on
Economic, Social, and Culture Rights (ICESCR)/
Konvonen Internasional tentang Hak-hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya pada tahun 1966).

b). HAM pada masa peradaban Islam pasca Rasulullah

Pasca meninggalnya Rasulullah, maka kepemimpinan


kenegaraan dan pemerintahan diserahkan kepada para
sahabat (khulafaurrasyidin). Pada masa ini pula umat Islam
mencapai kestabilan politik, ekonomi dan efektifitas dalam
hal penegakan dan pengakuan HAM terutama bagi rakyat.
Hal ini terbukti dengan beberapa kebijakan pemerintahan
dari para sahabat yang memberikan kesetaraan dalam
penegakan hukum syariah yang merata dan tidak pandang
bulu baik itu bagi warga negara maupun pejabat pemerintah.
Di samping itu, pola kepemimpinan ini melihat substansi
HAM sebagai suatu isu sentral dalam kaitannya dengan
pendirian Negara serta aspek-aspek kesejahteraan rakyat.

45
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Lebih dari itu, Abu Bakar sebagai pemimpin pertama setelah


wafatnya Rasul kemudian memperkuat dasar-dasar
kenegaraan umat Islam serta penegasan hak dan kewajiban
warga negara baik itu dalam konteks politik, dakwah dan
penegakan ajaran Islam. Hal ini kemudian dilanjutkan oleh
Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib
sebagai khalifah selanjutnya. Adapun penggantian kebijakan
pemerintahan pada masing-masing kekhalifahan ini
bertujuan untuk mereformasi kembali kebijakan-kebijakan
terdahulu yang tidak sesuai dengan ide Islam meskipun itu
mengalami dialektika maupun pro dan kontra yang terjadi di
bidang politik saat itu.
Setelah periode Khulafaurrasyidin, kepemimpinan
umat Islam terwujud dalam beberapa dinasti. Pada masa
inilah pola kepemimpinan yang tadinya mengarah pada
konsep demokratis berubah ke arah absolutisme. Pada masa
ini pula perkembangan akan HAM, agama dan negara mulai
dipisahkan secara jelas. Penegakan HAM tidak semuanya
diimbangi dengan kebijakan politik yang strategis. Ini
dibuktikan dengan terjadinya konflik dan pemberontakan
baik itu dalam masa Dinasti umayyah, Abbasiyyah maupun
pada Dinasti Utsmaniyyah. Dalam pada itu, hak dan
kewajiban di bidang politik dan pemerintahan mulai
tersentralisasi kepada golongan tertentu.

c). HAM pada masa peradaban Islam modern

Penegakan HAM melalui konsepsi Islam pada masa


modern telah mengalami beberapa perkembangan dalam
pelembagaannya. Dalam rangka menandai permulaan abad
ke-15 Era Islam, maka pada bulan September 1981 di Paris
(Perancis) diproklamasikan Deklarasi HAM Islam Sedunia.

46
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Deklarasi ini berdasarkan KItab Suci Al-Qur’an dan AS-Sunnah


yang dirancang oleh para sarjana muslim, ahli hukum dan
para perwakilan pergerakan Islam di seluruh dunia.
Deklarasi HAM Islam Sedunia itu terdiri dari
Pembukaan dan 22 macam hak-hak manusia yang harus
ditegakkan, yakni mencakup :
(1) Hak hidup
(2) Hak kemerdekaan
(3) Hak persamaan dan larangan terhadap adanya
diskriminasi yang tidak terizinkan.
(4) Hak mendapat keadilan.
(5) Hak mendapatkan proses hukum yang adil.
(6) Hak mendapatkan perlindungan dari penyalahgunaan
kekuasaan.
(7) Hak mendapatkanperlindungan dari penyiksaan.
(8) Hak mendapatkan perlindungan atau kehormatan dan
nama baik.
(9) Hak memperoleh suaka (Asylum)
(10) Hak-hak minoritas.
(11) Hak dan kewajiban untuk berpartisipasi dalam
pelaksanaan dan manajemen urusan-urusan publik.
(12) Hak kebebasan percaya, berpikir dan berbicara.
(13) Hak kebebasan beragama.
(14) Hak berserikat bebas.
(15) Hak ekonomi dan hak berkembang dirinya.
(16) Hak mendapatkan perlindungan atas harta benda.
(17) Hak status dan martabat pekerja dan buruh.
(18) Hak membentuk sebuah keluarga dan masalah-
masalahnya.
(19) Hak-hak wanita yang sudah menikah.
(20) Hak mendapatkan pendidikan.
(21) Hak menikmati keleluasaan pribadi (privacy).

47
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

(22) Hak mendapatkan kebebasan berpindah dan bertempat


tinggal.
Menurut Syekh Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia
(HAM) yang dijamin oleh agama Islam dapat diklasifikasikan ke
dalam dua kategori, yaitu :62
(1) HAM dasar yang telah diletakkan oleh Islam bagi seseorang
sebagai manusia, dan
(2) HAM yang dianugerahkan oleh Islam bagi kelompok rakyat
yang berbeda dalam situasi tertentu, status, posisi dan
lain-lainnya yang mereka miliki. Hak-hak asasi manusia
khusus bagi nonmuslim, kaum wanita, buruh/pekerja,
anak-anak dan lainnya merupakan beberapa contoh dari
kategori hak asasi manusia-hak asasi manusia ini.63
Sedangkan hak-hak dasar yang terdapat dalam HAM
menurut Islam ialah : (1) Hak Hidup ; (2) Hak-hak Milik ; (3)
Hak Perlindungan Kehormatan ; (4) Hak Keamanan dan
Kesucian Kehidupan Pribadi ; (5) Hak Keamanan dan
Kemerdekaan Pribadi ; (6) Hak Perlindungan dari Hukuman
Penjara yang Sewenang-wenang ; (7) Hak untuk Meprotes
Kelaliman (Tirani) ; (8) Hak Kebebasan Ekspresi ; (9) Hak
Kebebasan Hati Nurani dan Keyakinan ; (10) Hak
Kebebasan Berserikat ; (11) Hak Kebebasan Berpindah ;
(12) Hak Persamaan Hak dalam Hukum ; (13) Hak
Mendapatkan Keadilan ; (14) Hak Mendapatkan
Kebutuhan Dasar Hidup Manusia ; dan (15) Hak
Mendapatkan Pendidikan.
Dalam perkembangan yang signifikan berhasil
dirumuskan piagam Deklarasi Universal HAM dalam

62
. Syekh Syaukat Hussain, 1784, “Human Right in Islam”, Nursrat Ali
Nasri for KItab Bavan New Delhi, dalam Arief Mangkoesapoetra,
Artikel “HAM dalam perspektif Islam “www.humanrights.com, hal.3.
63
. Ibid, hal. 4.
48
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

perspektif Islam. Pertemuan The Organization of Islamic


Conference (OIC) atau Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada
bulan Agustus 1990 di Kairo telah berhasil melahirkan “The
Cairo Declaration of Human Rights in Islam” yang banyak
berbeda dengan standar HAM Internasional versi Barat.
Sebelumnya, pada pertemuan UNESCO tanggal 19
September 1981. Pada momentum itu, the Islamic Council
yang bermukim di London berhasil menyiapkan draf
deklarasi, yakni Universal Islamic Declaration of Human
Rights.64

d). Islam dan HAM dalam perkembangan kebangsaan Indonesia

Masuknya Islam di bumi Nusantara telah


mempengaruhi kondisi sosio kultural masyarakat. Pada saat
itu, konstelasi masyarakat yang masih memegang teguh
kebudayaan dan agama Hindu-Budha_sebagian masih
animisme dan dinamisme_ secara sedikit demi sedikit
berbaur dan berubah dengan masuknya ajaran Islam.
Perubahan ini dapat dilihat melalui adanya asimilasi kultural
antara kebudayaan Islam dan budaya masyarakat Nusantara,
termasuk di dalamnya peninggalan Hindu-Budha yang masih
lestari. Munculnya kerajaan-kerajaan Islam menandai awal
mula kemajuan peradaban dan pemerintahan Islam di
wilayah Nusantara.

Islam masuk secara damai salah satunya melalui jalur


perdagangan dan berkembang pengajarannya melalui jalan
dakwah. Islam saat itu datang sebagai agama Tauhid yang

64
. Shaharudin daming, Eskafasi mutiara HAM dalam Islam dibalik
hegemoni barat, makalah. op.cit, Hal. 7-8.
49
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

kemudian melakukan pembaharuan di bidang keyakinan


masyarakat terkait persamaan kedudukan manusia serta
dihapusnya pola feodalisme yang memisahkan derajat antara
manusia yang satu dengan manusia yang lain. Islam bahkan
menghapuskan kasta yang pada saat itu masih menjadi
rujukan dalam konteks pergaulan sosial masyarakat. Melalui
kekuatan sosiologis dan budaya yang telah menyatu, Islam
kemudian tampil sebagai salah satu agama yang cukup
dominan di wilayah Nusantara terutama dalam konsep
Kemanusiaan (HAM), pendidikan, pemerintahan, keagamaan
serta konsep perekonomiam perdagangan.

Sebagai agama yang hidup berdampingan dengan


heterogenitas keyakinan masyarakat, Islam tampil dengan
sangat toleran. Budaya sebagai hasil pemikiran manusia tidak
serta merta dihapuskan, tetapi secara perlahan dimasukkan
nilai tauhid ke dalamnya sehingga sesuai dengan nilai dasar
Islam. Lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa Islam pada saat
itu melakukan kompromi budaya dalam hal pemasukan dan
penerapan ajaran-ajarannya.

Konteks persatuan masyarakat yang terwujud


melalui konsep Jama'ah menjadi dasar dalam kekuatan
perjuangan Islam baik itu dalam rangka penegakan syari'ah
maupun dalam pergerakan dan perlawanan terhadap
penjajahan. Agama ini memberikan andil besar dalam
memberikan kekuatan dan semangat tersendiri dalam upaya
perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Islam hadir sebagai sebuah agama yang menjadi


pelengkap (komplementer) dalam kehidupan sosio kultural
dan politik di Indonesia. Meskipun demikian, dalam
rangkaian sejarah perumusan hukum pasca diperolehnya

50
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

kemerdekaan bangsa Indonesia tidaklah serta merta


menjadikan Islam sebagai acuan dan dasar dalam
pembentukan negara indonesia saat itu. Sebagai salah satu
komponen penting dalam struktur sosial Indonesia, ide
pemikiran Islam ternyata tidak mendominasi pembentukan
kenegaraan Indonesia sebagaimana terjadi dalam
perdebatan penyusunan rancangan Undang-Undang Dasar
yang diselenggarakan BPUPKI pada awal masa kemerdekaan
Indonesia. Tidak berhasilnya ide akan negara Islam pada saat
itu telah memberikan pelajaran besar bagi masyarakat Islam
akan pentingnya pengakuan atas persamaan heterogenitas
sosial, masyarakat dan agama dalam sebuah negara. Tidak
masuknya ide Islam ini bukan pula merupakan sebuah
pengingkaran atau penafian terhadap peran Islam itu
sendiri.

Islam dan HAM dalam Konstitusi Indonesia


a. Pembahasan ide Islam dalam UUD 1945
UUD 1945 disahkan dan mulai berlaku sebagai
konstitusi Indonesia melalui sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945.
Sebelumnya, naskah UUD 1945 ini telah dipersiapkan terlebih
dahulu oleh “Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai” atau “Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia”
(BPUPKI).65 Badan ini dibentuk dan dilantik oleh Pemerintah
Bala Tentara Jepang pada tanggal 28 Mei 1945 dalam rangka
memenuhi janji pemerintah Jepang untuk memberi
kemerdekaan kepada bangsa Indonesia.66

65
. Jimliy Asshiddiqie, 2006, “Konstitusi dan Konstitusionalisme”. Op.cit,
hlm 38
66
. Ibid, hlm 39
51
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Pada awal pembahasan Undang-Undang Dasar dalam


rapat BPUPKI, para penyusun telah memperdebatkan bentuk
negara termasuk di dalamnya perdebatan atas pemasukan
unsur Islam. Dalam kesempatan itu, isu tentang Pembentukan
Negara Islam menncuat melalui pandangan yang dilontarkan
oleh KI Bagoes Hadikoesoemo. Dalam uraiannya, beliau
menawarkan ide akan keistimewaan dan relevansi asas Islam
dalam pembentukan Negara Indonesia. Ki Bagoes
mengatakan relevansi empat ajaran pokok dalam Islam
berupa; Ajaran iman atau kepercayaan kepada Allah SWT;
Ajaran beribadah, berhikmat dan berbakti kepada Allah;
Ajaran beramal salih; Ajaran berjihad di jalan Allah.67 Ia
kemudian mengaitkan empat ajaran filosofis Islam tersebut
ke dalam ide dasar pembentukan negara Indonesia.
Selanjutnya ia mengatakan:
“ Tuan -tuan dalam sidang yang terhormat! Dalam
Negara kita, niscaya tuan-tuan menginginkan
berdirinya suatu pemerintahan yang adil dan
bijaksana, berdasasrkan budipekerti yang luhur
bersendi permusyawaratan dan putusan rapat,
serta luas berlebar dada tidak memaksa tentang
agama. Kalau benar demikian, maka dirikanlah
pemerintahan itu atas agama Islam karena ajaran
Islam mengandung kesampaiannya sifat-sifat
itu.”68

67
. Pandangan Ki Bagoes Hadikoesoemo, dalam sidang pertama BPUPKI
tanggal 31 Mei 1945, dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 1998, Jakarta, Sekretariat
Negara Republik Indinesia, hal. 36-37.
68
. Ibid, hal. 41.
52
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Berseberangan dengan itu, Soepomo dan Hatta


menolak ide pembentukan Negara berdasarkan asas Islam.
Keduanya menghawatirkan adanya isu kecemburuan
minoritas serta dalam kemajemukan budaya. Selain itu,
adanya Fakta bahwa negara-negara penganut Islam
mengalami kesulitan dalam perkembangan dan pencarian jati
diri hukum serta ambiguitas pemisahan negara dan agama
membuat kedua tokoh ini sepakat untuk menolak ide
tersebut. Mengenai hal ini Soepomo mengatakan:
“Dengan pendek kata, dalam negara-negara Islam
masih ada pertentangan pendirian tentang
bagaimana seharusnya bentuk hukum negara,
supaya sesuai dengan aliran zaman modern, yang
meminta perhatian dari negara-negara yang turut
berhubungan dengan dunia internasional itu. Jadi,
seandainya kita disini mendirikan negara Islam,
pertentangan pendirian itu akan akan timbul juga
di masyarakat kita dan barangkali Badan
Penyelidik ini pun akan susah memperbincangkan
soal itu. Akan tetapi, tuan-tuan yang terhormat,
akan mendirikan negara Islam di Indonesia berarti,
tidak akan mendirikan negara negara persatuan.
Mendirikan negara Islam di Indonesia berarti
mendirikan negara yang yang akan
mempersatukan diri dengan gologan yang
terbesar, yaitu golongan Islam. Jikalau di Indonesia
didirikan negara Islam, maka tentu akan timbul
soal-soal “minderheden”, soal agama yang kecil-
kecil, golongan agama kristen dan lain-lain.
Meskipun negara Islam akan menjamin dengan
sebaik-baiknya kepentingan golongan-golongan
lain itu, akan tetapi golongan agama kecil itu tidak

53
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

bisa mempersatukan dirinya dengan negara. Oleh


karena itu, cita-cita negara Islam itu tidak sesuai
dengan cita-cita negara persatuan yang telah
diidam-idamkan oleh kita semuanya dan juga yang
telah dianjurkan oleh Pemerintah Balatentara.
Oleh karena itu, saya menganjurkan dan saya
mufakat dengan pendirian yang hendak
mendirikan negara nasional yang bersatu dalam
arti totaliter seperti yang saya uraikan tadi...”69

Penolakan terhadap isu negara Islam juga turut


dikemukakan oleh Soekarno pada rapat lanjutan 1 Juni 1945.
dalam kesempatan itu ia mengatakan:
“...Pertama-tama, saudara-saudara, saya
bertanya: apakah kita hendak mendirikan
Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk
sesuatu golongan? Mendirikan Negara Indonesia
Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka,
tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan
satu orang, untuk memberi kekuasaan pada satu
golongan bangsawan?
Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak!
Baik saudara-saudara yang bernama kaum
kebangsaan yang di sini, maupun saudara-saudara
yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah
mufakat, bahwa bukan negara yang demikian
itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan
suatu negara “semua buat semua”. Inilah salah
satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi.
Maka, yang selalu mendengung di dalam saya
punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di

69
. Soepomo, dalam Risalah Sidang BPUPKI, ibid, hal. 59-60.
54
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai ini, akan


tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun lebih, ialah:
Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat
Negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan.”

Lebih dari itu, Soekarno melalui pidatonya memberikan


ide kebebasan terhadap penerapan pola agama tetapi di
bawah satu kesatuan kebangsaan. Soekarno tidak sekalipun
menolak Islam sebagai agama dalam sebuah negara,
melainkan menolak ide pemasukan tunggal agama ke dalam
sebuah bentuk formal negara. Meskipun demikian bukan
berarti Soekarno menafikan peran Islam dalam sejarah
perjuangan bangsa Indonesia. Melalui pemikirannya, ia
menganjurkan untuk memperhatikan kesetaraan dalam
kemajemukan dan diakuinya hak-hak agama bagi masing-
masing pemeluk agama di bawah satu ide negara kebangsaan.
Penolakan terhadap dimasukkannya ide-ide negara Islam
ke dalam sebuah Konstitusi pada dasarnya membuktikan
bahwa Islam tidak selayaknya menempatkan diri dalam posisi
yang bersaing vis-a-vis dengan komponen lainnya dalam hal
penerapan konsep Negara berdasarkan ideologi Islam dalam
Konstitusi negara-bangsa Indonesia. Akan tetapi, Islam harus
ditampilkan sebagai unsur komplementer dalam fondasi
tatanan sosial, kultural, dan politik negeri ini. Upaya
menjadikan Islam sebagai suatu ideologi alternatif atau
pemberi warna tunggal hanya akan membawa perpecahan
dalam masyarakat secara secara keseluruhan mengingat corak
sosial masyarakat Indonesia yang beragam.70

70
. Disarikan dari pemikiran Abdurrahman Wahid, dalam Zubaidi, 2007,
Islam dan Benturan Peradaban (Dialog Filsafat Barat dengan Islam,
Dialog Peradaban,dan Dialog Agama), Ar-Ruz Media, Yogyakarta,
hal.181.
55
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Unsur HAM dalam Konstitusi Indonesia


1. HAM dalam UUD 1945

Isu tentang HAM telah mengemuka sejak dalam Rapat


Panitia Hukum Dasar BPUPKI pada tanggal 11 Juli 1945 di
gedung Tyuuoo Sangi-in dalam rangka membahas Rancangan
Undang-Undang Dasar. Pada saat itu, Soekarno selaku Ketua
panitia Hukum dasar mempertanyakan keabsahan ide
declaration of rights.71 Akan tetapi ide pemasukan HAM
menggunakan istilah ini kurang begitu disepakati oleh
Soepomo dan Soekiman, menurut pandangan mereka,
declaration of rights lebih disebabkan nilai individualisme yang
amat kental pada saat kemunculannya di amerika. Hal ini
mengemuka mengingat individualisme tidaklah tepat apabila
diterapkan pada Negara kebangsaan Indonesia.
Sedangkan menurut Agus Salim, mengenai penamaan
terhadap dokumen HAM nantinya tidaklah menjadi masalah,
yang terpenting adalah bagaimana hak-hak perlindungan
hukum dan perlindungan dalam hal untuk tidak dilakukan
penghukuman sebelum adanya keputusan pengadilan yang
sah. Selain itu Salim berpendapat bahwa perlunya pengakuan
kebebasan dan kemerdekaan setiap orang melalui satu aturan
hukum (Undang-Undang).72
Setelah disahkan serta berlakunya Undang Undang Dasar
tersebut sebagai Konstitusi Indonesia, maka terdapat
beberapa cakupan rumusan Hak Asasi Manusia secara lengkap
yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan hasil pengamatan
penulis, tidak kurang terdapat dua belas (12) prinsip Hak Asasi
Manusia, yaitu :

71
. Soekarno, ibid, hal. 236.
72
. Agus Salim, ibid, hal.237.
56
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

(1) Hak atas kemerdekaan dari penjajahan


Hak ini termaktub dalam alinea I Pembukaan UUD
1945 ; “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah
hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena
tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri
keadilan”.
(2) Hak akan warga negara, yang terdapat dalam
ketentuan pasal 26 UUD 1945 ayat (1) dan (2) ;
“Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa
Indonesia asli dan orang-orang lain yang disahkan
dengan Undang-undang sebagai warga negara” (ayat
1) dan
“Syarat-syarat yang mengenai kewarganegaraan
ditetapkan dengan Undang-undang” (ayat 2)
(3) Hak persamaan di hadapan Hukum, yang tercermin
dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 ;
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.
(4) Hak mendapatkan pekerjaan, sebagaimana tersirat
dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 ;
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
(5) Hak mendapatkan kehidupan yang layak (Pasal 27 ayat
(2) UUD 1945)
(6) Hak berserikat
Hak ini termaktub dalam ketentuan Pasal 28 UUD
1945 ; “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.

57
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

(7) Hak untuk menyatakan pendapat (Pasal 28 UUD 1945)


(8) Hak beragama
Hak ini tercermin dalam Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD
1945 ; “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa” (ayat 1) dan “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu “ (ayat 2)
(9) Hak bela negara : Pasal 30 ayat (1) dan (2) UUD 1945 ;
“Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta
dalam usaha pembelaan negara” (ayat 1), dan “Syarat-
syarat tentang pembelaan negara diatur dengan
Undang-undang (ayat 2)
(10) Hak mendapatkan pengajaran
Hak ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 31 ayat (1)
dan (2) UUD 1945 ;
“Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”
(ayat 1), dan “Pemerintah mengusahakan satu sistem
pengajaran nasional yang diatur dengan Undang-
undang” (ayat 2)

(11) Hak akan kesejahteraan sosial.73


Tercantum dalam Pasal 33 ayat (1), (2) dan (3) UUD
1945 ; “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan” (ayat 1), “Cabang-
cabang produksi yang penting bagi negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara” (ayat 2) dan “Bumi dan air dan kekayaan alam

73
. Dikutip dari salah satu pendapat Dahlan Thaib, sebagaimana disadur
oleh Majda el-Muhtaj, dalam Majda El Muhtaj. Op cit, hal. 97.
58
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan


dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat” (ayat 3).
(12) Hak mendapatkan jaminan atas kehidupan dan sosial
Pasal 34 UUD 1945 ;
“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipeliharan oleh
negara.”

Secara kuantitatif, pasal-pasal yang menerangkan HAM


dalam UUD 1945 berjumlah delapan buah dan satu pembahasan
lagi pada alinea I Pembukaan UUD 1945. Akan tetapi, menurut
pandangan Dahlan Thaib, terdapat 15 prinsip Hak Asasi
Manusia,74 diantaranya adalah :
5. Hak untuk menentukan nasib sendiri
(Pembukaan UUD 1945 alinea I)
6. Hak akan warga negara
(Pasal 26 ayat (1) dan (2) UUD 1945)
7. Hak akan kesamaan dan persamaan di hadapan hukum
(Pasal 27 ayat (1) UUD 1945)
8. Hak untuk bekerja
(Pasal 27 ayat (2) UUD 1945)
9. Hak akan hidup layak
(Pasal 27 ayat (2) UUD 1945)
10. Hak untuk berserikat
(Pasal 28 UUD 1945)
11. Hak untuk menyatakan pendapat
(Pasal 28 UUD 1945)
12. Hak untuk beragama
(Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945)

74
. Dahlan Thaib, “Reformasi Hukum Tata Negara”, Mencari Model
Alternatif Perubahan Konstitusi”, dalam Jurnal Hukum Ius Quia
Lustum, 1998, UII Press , No. 10, Vol. 5, Yogyakarta, hal.. 12
59
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

13. Hak untuk membela negara


(Pasal 30 UUD 1945)
14. Hak untuk mendapatkan pengajaran
(Pasal 31 UUD 1945)
15. Hak akan kesejahteraan sosial
(Pasal 33 UUD 1945)
16. Hak akan jaminan sosial
(Pasal 34 UUD 1945)
17. Hak akan kebebasan dan kemandirian peradilan
(Penjelasan Pasal 24 dan 25a UUD 1945)
18. Hak mempertahankan tradisi budaya
(Penjelasan Pasal 32 UUD 1945)
19. Hak mempertahankan bahasa daerah
(Penjelasan Pasal 36 UUD 1945)
Menurut pandangannya, kajian tentang HAM tidak
terbatas pada lingkup pasal maupun alinea pembukaan
UUD 1945 saja, tetapi juga meluas pada penjelasan pasal-
pasalnya (Point 13, 14 dan 15).

2. HAM dalam UUD RIS 1949 (Konstitusi RIS 1949)


Konstitusi RIS mulai berlaku sejak 14 Desember
1949. Sebelumnya, ide pembentukan Republik Indonesia
Serikat bermula dari diadakannya Konferensi Meja Bundar
(KMB / Round Table Conference) pada 23 Agustus – 2
Desember 1949 di Den Haag. Konferensi ini dihadiri oleh
wakil-wakil dari republic Indonesia dan B. F. O (Bijeenkoomst
Voor Federal Overleg) serta wakil Nederland dan Komisi
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia.
Dibentuknya Konstitusi RIS ini pada dasarnya
dipengaruhi politik pecah belah belanda melalui agresinya
yang kedua. Dalam pada itu, secara politik pihak Belanda

60
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

melakukan penekanan guna memperkecil wilayah kekuasaan


Republik Indonesia.
Sebagai dasar berdirinya Republik Indonesia Serikat,
kemudian dirancang sebuah Undang-undang Dasar oleh
Delegasi RI dengan BFO75 yang kemudian dikenal dengan
nama Konstitusi Republik Indonesia Serikat.76
Dalam pada itu, konstitusi RIS memiliki Rumusan
HAM yang cukup kompleks. Hal ini dibuktikan dengan
pengaturan bab tersendiri dari HAM tersebut (BAB I bagian 5
Hak-hak dan kebebasan dasar manusia – didalamnya
terdapat 27 Pasal). Selain itu, konstitusi RIS juga mengatur
kewajiban pemerintah yang berkaitan erat dengan jaminan
pengakuan atas HAM – (diatur dalam BAB I, bagian 6 Asas-
asas Dasar, berisikan 8 Pasal). Dengan demikian konstitusi RIS
memiliki 2 sub bab yang mengatur HAM. Yang pertama
mengatur HAM secara mendasar, dan yang kedua mengatur
kewajiban asasi dalam rangka penegakan HAM. Bila dilihat
dan dijumlahkan secara keseluruhan, maka jumlah pasal
konstitusi RIS yang mengatur HAM adalah 35 pasal.
Adapun prinsip-prinsip HAM dalam konstitusi RIS
1949 (UUD RIS 1949) adalah sebagai berikut :
(1) Hak atas kemerdekaan dari penjajahan
Termaktub dalam Mukadimah alinea I :
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak
segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di
atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai
dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.”
(2) Hak warga negara
Pasal 5 ayat (1) dan (2) UUD RIS 1949

75
. Majda el Muhtaj, op.cit. hal. 74
76
. Mohammad Mahfud MD, 1998, Politik Hukum Indonesia, LP3ES,
Jakarta, hal.. 39
61
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

“Kewarganegaraan Republik Indonesia Serikat diatur


oleh Undang-Undang Federal” (ayat 1), dan
“Pewarganegaraan (naturalisasi) dilakukan oleh atau
dengan kuasa Undang-Undang Federal mengatur
akibat-akibat pewarganegaraan terhadap istri orang
yang telah diwarganegarakan dan anak-anaknya yang
belum dewasa.
(3) Hak atas pengakuan personal
Termaktub dalam Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 UUD RIS
1949
“Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi
terhadap Undang-Undang.” (Pasal 7 ayat 1), dan
“Sekalian orang yang ada didaerah negara sama
berhak menuntut perlindungan untuk diri dan harta
bendanya.
(4) Hak atas kebebasan untuk bergerak
Pasal 9 ayat (1), (2) UUD RIS 1949
“Setiap orang berhak dengan bebas bergerak dan
tinggal dalam perbatasan negara” (ayat 1), dan
“Setiap orang berhak meninggalkan negeri dan – jika
ia warga negara atau penduduk – kembali kesitu”
(ayat 2).
(5) Hak atas kebebasan untuk tidak diperbudak
Pasal 10 UUD RIS 1949 :
“Tiada seorangpun boleh diperbudak, diperhulur atau
diperhamba. Perbudakan, perdagangan budak dan
penghambaan dan segala perbuatan berupa apapun
yang umumnya kepada itu, dilarang.
(6) Hak atas kebebasan berpikir dan beragama
Pasal 18 UUD RIS 1949 :
“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran dan
keinsyafan batin dan agama ; hak ini meliputi pula

62
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

kebebasan bertukar agama atau keyakinan, begitu


pula kebebasan menganut agamanya atau
keyakinannya, baik sendiri maupun dalam
lingkungannya sendiri dengan jalan mengajarkan,
mengamalkan, beribadat, mentaati perintah dan
aturan-aturan agama serta dengan jalan mendidik
anak-anak dalam iman dan keyakinan orang tua
mereka.”
(7) Hak atas kebebasan berpendapat
Pasal 19 UUD RIS 1949 :
“Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan
mengeluarkan pendapat.”
(8) Hak atas kebebasan berkumpul
Pasal 20 UUD RIS 1949 :
“Hak penduduk atas kebebasan berkumpul dan
berapat secara damai diakui dan sekadar perlu
dijamin dalam peraturan-peraturan Undang-undang.”
(9) Hak berserikat
Pasal 28 UUD RIS 1949 :
“Setiap orang berhak mendirikan serikat pekerja dan
masuk ke dalamnya untuk melindungi
kepentingannya.
(10) Hak kebebasan dari perampasan
Pasal 25 ayat (2) UUD RIS 1949 :
“Seorangpun tidak boleh dirampas miliknya dengan
semena-mena.”
(11) Hak persamaan dihadapan hukum
Pasal 7 ayat (2) UUD RIS 1949 ;
“Setiap orang berhak menuntut perlakuan dan
perlindungan yang sama oleh Undang-undang.”
(12) Hak perlindungan atas penentangan dan subversife
Pasal 7 ayat (3) UUD RIS 1949 ;

63
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

“Setiap orang berhak menuntut perlindungan yang


sama terhadap tiap-tiap pembangkangan dan
terhadap tiap-tiap penghasutan untuk melakukan
pembangkangan demikian.”
(13) Hak mendapatkan bantuan hukum
Pasal 7 ayat (4) UUD RIS 1949 :
“Setiap orang berhak mendapatkan bantuan hukum
yang sungguh dari hakim-hakim yang ditentukan
untuk itu, melawan perbuatan-perbuatan yang
berlawanan dengan hak-hak dasar yang
diperkenankan kepadanya menurut hukum.”
(14) Hak atas pelayanan dan proses hukum yang baik
Pasal 11, 12, 13 ayat (1) dan (2) UUD RIS 1949
Pasal 11 UUD RIS 1949 :
“Tiada seorang pun jua akan disiksa ataupun
diperlakukan atau dihukum secara ganas, tidak
mengenal peri kemanusiaan atau menghina.”
Pasal 12 UUD RIS 1949
“Tiada seorang jua pun boleh ditangkap atau
ditahan, selainnya atas perintah untuk itu oleh
kekuasaan yang sah menurut aturan-aturan
Undang-Undang dalam hal-hal dan menurut
cara-cara yang diterangkan dalamnya.”
Pasal 13 ayat (1) UUD RIS 1949 :
“Setiap orang berhak, dalam persamaan yang
sepenuhnya, mendapat perlakuan jujur dalam
perkaranya. Oleh hakim yang tak memihak,
dalam hal menetapkan hak-hak dan
kewajiban-kewajibannya dan dalam hal
menetapkan apakah suatu tuntutan hukuman
yang dimajukan terhadapnya beralasan atau
tidak.”

64
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Pasal 13 ayat (2) UUD RIS 1949 :


“Bertentangan dengan kemauannya, tiada
seorang jua pun dapat dipisahkan dari pada
hakim, yang diberikan kepadanya oleh aturan-
aturan hukum yang berlaku.”
(15) Hak asas praduga tak bersalah
Pasal 14 ayat (1), (2) dan (3) UUD RIS 1949 :
“Setiap orang yang dituntut dan disangka melakukan
suatu peristiwa pidana berhak dianggap tak bersalah,
sampai dibuktikan kesalahannya dalam suatu sidang
pengadilan, menurut aturan-aturan hukum yang
berlaku, dan ia dalam sidang itu diberikan jaminan
yang telah ditentukan dan yang perlu untuk
pembelaan” (ayat 1), “Tiada seorang jua pun boleh
dituntut untuk dihukum atau dijatuhkan hukuman,
kecuali karena suatu aturan hukum yang sudah ada
dan berlaku terhadapnya” (ayat 2), dan “Apabila ada
perubahan dalam aturan hukum seperti tersebut
diatas dalam ayat diatas, maka dipakailah ketentuan
yang lebih baik bagi tersangka” (ayat 3).
(16) Hak untuk menggugat (melakukan gugatan)
Pasal 21 ayat (1) UUD RIS 1949 :
“Setiap orang berhak dengan bebas memajukan
pengaduan kepada penguasa, baik dengan lisan atau
pun dengan tertulis.”

(17) Hak untuk mendapatkan pekerjaan


Pasal 27 ayat (1) dan (2) UUD RIS 1949 ;
“Setiap warga negara dengan menurut syarat-syarat
kesanggupan, berhak atas pekerjaan yang ada” (ayat
1), dan “Setiap orang yang melakukan pekerjaan
dalam hal-hal yang sama berhak atas pengupahan

65
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

yang adil yang menjamin kehidupannya bersama


dengan keluarganya, sepadan dengan martabat
manusia” (ayat 2)
(18) Hak ikut serta dalam pemerintahan
Pasal 22 ayat (1) dan (2) UUD RIS 1949 :
“Setiap warga negara berhak turut serta dalam
pemerintahan dengan langsung atau dengan
peraturan wakil-wakil yang dipilih dengan bebas
menurut cara yang ditentukan oleh Undang-
Undang” (ayat 1), dan “Setiap warga negara dapat
diangkat dalam tiap-tiap jabatan pemerintahan.”
(ayat 2)
(19) Hak bela negara
Pasal 23 UUD RIS 1949 :
“Setiap warga negara berhak dan berkewajiban turut
serta dengan sungguh-sungguh dalam pertahanan
kebangsaan.”

Mengenai kewajiban asasi negara, Konstitusi RIS tidak


menggunakan kata negara, melainkan penguasa.77 Dan
menurut penulis, ada beberapa prinsip-prinsip kewajiban asasi
yang terangkum dalam beberapa pasal konstitusi RIS yaitu :
(1) Kewajiban asasi atas kesejahteraan, dari jaminan
sosial rakyat.
Pasal 24 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36 ayat (1) UUD
RIS 1949
Pasal 24 ayat (1) UUD RIS 1949 :

77
. Pendapat ini dinukil dari pandangan Majda El-Muhtaj mengenai Rumusan
kewajiban asasi negara dalam UUD RIS 1949. Secara lebih lanut,
pendapat ini dapat dilihat dalam : Majda El Muhtaj, 2005, “Hak Asasi
Manusia dalam konstitusi Indonesia”, Kencana, Jakarta, hal. 105.
66
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

“Penguasa tidak akan meningkatkan


keuntungan atau kerugian kepada
termasuknya warga negara dalam sesuatu
golongan rakyat.”
Pasal 35 UUD RIS 1949 :
“Penguasa sesungguhnya memajukan
kepastian dan jaminan sosial, teristimewa
pemastian dan penjaminan syarat-syarat
perbuatan dan keadaan perburukan yang baik,
pencegahan dan pemberantasan
pengangguran serta penyelenggaraan
persediaan untuk hari tua dan pemeliharaan
janda-janda dan anak-anak yatim piatu.”
Pasal 36 ayat (1) UUD RIS 1949 :
“Meninggikan kemakmuran rakyat adalah
suatu hal yang terus menerus
diselelenggarakan oleh penguasa, dengan
kewajibannya senantiasa menjamin bagi setiap
orang derajat hidup orang yang sesuai dengan
maratabat manusia untuk dirinya serta
keluarganya.”
(2) Kewajiban asasi dalam hal pendidikan, pengajaran
ilmu pengetahuan dan kebudayaan
Pasal 38, 39 ayat (1), (2) dan (4) UUD RIS 1949
Pasal 38 UUD RIS 1949 :
“Penguasa melindungi kebebasan
mengusahakan kebudayaan serta kesenian
dan ilmu pengetahuan. Dengan menjunjung
asas ini maka penguasa memajukan sekuat
tenaganya perkembangan kebangsaan dalam
kebudayan serta kesenian dan ilmu
pengetahuan.”

67
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Pasal 39 ayat (1) UUD RIS 1949 :


“Penguasa wajib memajukan sedapat-
dapatnya perkembangan rakyat baik ruhani
maupun jasmani, dan dalam hal ini
teristimewa berusaha selekas-lekasnya
menghapuskan buta huruf.”
Pasal 39 ayat (2) UUD RIS 1949 :
“Di mana perlu, penguasa memenuhi
kebutuhan akan pengajaran umum yang
diberikan atas dasar memperdalam keinsyafan
kebangsaan, mempererat persatuan
Indonesia, membangun dan memperdalam
perikemanusiaan, kesabaran dan
penghormatan yang sama terhadap keyakinan
agama setiap orang dengan memberikan
kesempatan dalam jam pelajaran agama
sesuai dengan keinginan orang tua murid-
murid.”
Pasal 39 ayat (4) UUD RIS 1949 :
“Terhadap pengajaran rendah, maka penguasa
berusaha melaksanakan dengan lekas
kewajiban belajar yang umum.”
(3) Kewajiban asasi atas jaminan hak untuk hidup sehat
Pasal 40 UUD RIS 1949 :
“Penguasa senantiasa berusaha dengan sungguh
memajukan kebersihan umum dan kesehatan rakyat.”
(4) Kewajiban asasi dalam hal kebebasan beragama
Pasal 41 ayat (1) UUD RIS 1949 :
“Penguasa memberi perlindungan yang sama kepada
segala perkumpulan dan persekutuan agama yang
diakui.”

68
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

(5) Kewajiban asasi dalam hal penguasaan kebebasan


beragama
Pasal 41 ayat (2) UUD RIS 1949 :
“Penugasan mengawasi supaya segala persekutuan
dan perkumpulan agama patuh taat kepada Undang-
undang, termasuk aturan-aturan hukum yang tak
tertulis.”

Berdasarkan pada deskripsi diatas, maka dapat


ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya terdapat
pengakuan sekaligus jaminan atas HAM yang seimbang
dalam Konstitusi RIS ini. Menurut analisis Yamin, Konstitusi
RIS dan Konstitusi Sementara RI 1950 adalah satu-satunya
konstitusi di dunia yang berhasil mengadopsi muatan
UDHR / DUHAM kedalam sebuah konstitusi,78 demikian
pula pendapat yang dikemukakan oleh Todung Mulya
Lubis.79 Dalam hal ini ia sejalan dengan pendapat Yamin.
Senada dengan itu, Majda El-Muhtaj juga memperkuat
argumen bahwa pada dasarnya ada keterkaitan yang erat

78
. Pendapat ini dikemukanan Yamin dalam bukunya : “Proklamasi dan
Konstitusi Republik Indonesia”, 1982, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.
86
79
.- Todung Mulya Lubis. “In Search of Human Rights : Legal Political
Dilemmas of Indonesia’s New Order. 1966-1990.” (Jakarta :
GramediaPustaka Utama. 1993) hlm 64. Lihat juga Majda El-Muhtaj.
Op.cit. hal.. 106.
-Secara lebih lengkap. Todung Mulya Lubis berpendapat :“almost of
Human Rights Provisions of UDHR were adopted, making the 1949
constitution eligible to be Regarded as part of the Human Rights success
represented by the UDHR. Despite the setback to the idea of the unitary
state as envisioned by the founding father in 1945, the 1949 constitutions
constitutes historical evidence of a commitment to human Rights, and
follows thr revival of interest in human rights concern in the west.
69
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

antara pasal-pasal HAM dalam Konstitusi RIS dengan UDHR


/ DUHAM PBB tahun 1948.80 Selanjutnya Majda kemudian
membandingkan substansi pasal HAM dalam konstitusi RIS
dengan UDHR / DUHAM seperti dikutip di bawah ini :

Perbandingan pasal-pasal HAM dalam UDHR dan


Konstitusi RIS 194981

Pasal HAM dalam


Pasal HAM dalam Konstitusi
No UDHR/DUHAM PBB
RIS 1949
1948
1 6 7 Ayat (1)
2 7 7 Ayat (2)
3 7 7 Ayat (3)
4 8 7 Ayat (4)
5 8 8
6 13 Ayat (1) 9 Ayat (1)
7 13 Ayat (2) 9 Ayat (2)
8 4 10
9 5 11
10 9 12

80
.Disarikan dari pendapat Majda El-Muhtaj mengenai ketentuan HAM
dalam konstitusi RIS yang sebagian besar mengadopsi dari UDHR /
DUHAM, Majda El-Muhtaj. Op.cit. hal. 107
81
.Tabel ini diambil dari hasil perbandingan HAM dalam UDHR &
Konstitusi RIS 1949 yang dilakukan oleh Majda EL-Muhtaj, Ibid, hal..
107, table 5.4
70
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

11 10 13 Ayat (1)
12 - 13 Ayat (2)
13 11 Ayat (1) 14 Ayat (1)
14 11 Ayat (1) 14 Ayat (2)
15 11 Ayat (2) 14 Ayat (3)
16 18 18
17 19 19
18 20 Ayat (1) 20
19 - 21 Ayat (1)
20 21 Ayat (1) 22 Ayat (1)
21 21 Ayat (2) 22 Ayat (2)
22 - 23
23 17 Ayat (1) 25 Ayat (1)
24 17 Ayat (2) 25 Ayat (2)
25 23 Ayat (1) 27 Ayat (1)
26 23 Ayat (2) 27 Ayat (2)
27 23 Ayat (4) 28

71
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

3. HAM dalam UUDS 1950


UUDS 1950 secara resmi mulai berlaku pada tanggal 17
Agustus 1950 melalui ditetapkannya UU No. 7 Tahun 1950.
Menurut Jimly, naskah UUDS ini merupakan naskah yang baru
dalam rangka mengganti UUD RIS 1949.82 Selengkapnya ia
mengatakan :
“UUDS 1950 ini bersifat mengganti sehingga
isinya tidak hanya mencerminkan perubahan
terhadap Konstitusi Republik Indonesia Serikat
Tahun 1949, tetapi juga menggantikan naskah
Konstitusi RIS itu dengan naskah yang baru sama
sekali dengan nama Undang-undang Dasar
Sementara Tahun 1950.”
Dan konsekuensi atas hal tersebut adalah kembalinya
bentuk negara Indonesia yang semula berbentuk federal
menjadi negara kesatuan Republik Indonesia.
Pada mulanya, awal perubahan dari RIS menajdi NKRI
ini berdasar kesepakatan berupa naskah persetujuan bersama
pada tanggal 19 Mei 1950. Dan untuk mempersiapkan naskah
Undang-undang Dasar yang nanti akan berlaku sebagai UUDS,
maka dibentuklah satu panitia bersama. Pada tanggal 12
Agutus 1950, naskah tersebut disahkan oleh Badan Pekerja
Komite Nasional Pusat dan baru pada tanggal 14 Agustus 1950
naskah tersebut disahkan oleh Dewan Rakyat dan Senat
Republik Indonesia Serikat.83 Dan selanjutnya, pada tanggal 17
Agustus 1945 naskah UUD ini resmi berlaku menjadi UUDS
1950.
Meskipun naskah UUDS ini merupakan naskah yang
sama sekali baru akan tetapi kajian HAM dalam setiap pasalnya

82
. Jimly Asshiddiqie. Op.cit. hlm. 47.
83
. Ibid
72
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

sangat urgen untuk dikaji. Berikut adalah beberapa kajian atas


Rumusan HAM dalam UUDS 1950 :
Hak atas kemerdekaan dari penjajahan
Mukadimah alinea I UUDS 1950
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak
segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di
atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai
dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.”
Hak atas personalitas
Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 17 UUDS 1950
Pasal 7 ayat (1)
“Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi terhadap
Undang-undang.”
Pasal 8 UUDS 1950
“Sekalian orang yang ada didaerah negara sama
berhak menuntut perlindungan untuk diri dan harta
bendanya.”
Pasal 17 UUDS 1950
Kemerdekaan dan rahasia dalam perhubungan surat
menyurat tidak boleh diganggu gugat, selainnya dari
atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang telah
disahkan untuk itu menurut Peraturan-peraturan
Undang-undang dalam hal-hal yang diterangkan dalam
peraturan itu.”
Hak atas warga negara
Pasal 5 ayat (1) dan (2) UUDS 1950 :
“Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur oleh
Undang-undang” (ayat 1), dan “Pewarganegaraan
(naturalisasi) dilakukan oleh atau dengan kuasa
Undang-undang” (ayat 2).
Hak atas kebebasan untuk bergerak
Pasal 9 ayat (1) dan (2) UUDS 1950 :

73
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

“Setiap orang berhak dengan bebas bergerak dan


tinggal dalam perbatasan negara” (ayat 1), dan
“Setiap orang berhak meninggalkan negeri dan jika ia
warga negara atau penduduk – kembali kesitu.” (ayat
2)
Hak atas kebebasan dari perbudakan
Pasal 10 UUDS 1950 :
“Tiada seorang pun boleh diperbudak, diperulur atau
diperhamba perbudakan, perdagangan budak dan
perhambatan dan segala perbuatan berupa apapun
yang tujuannya untuk itu.”
Hak kebebasan beragama
Pasal 18 dan Pasal 43 ayat (1), (2), (3), (4) UUDS 1950
Pasal 18 UUDS 1950
“Setiap orang berhak atas kebebasan agama,
keinsyafan batin dan pikiran.”
Pasal 43 ayat (1) UUDS 1950 :
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Pasal 43 ayat (2) UUDS 1950 :
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.”
Pasal 43 ayat (3) UUDS 1950 :
“Penguasa memberi perlindungan yang sama kepada
segala perkumpulan dan persekutuan agama yang
diakui. Pemberian sokongan berupa apapun oleh
penguasa kepada penjabat-penjabat agama dan
persekutuan-persekutuan atau perkumpulan-
perkumpulan agama dilakukan atas dasar sama hak.”
Pasal 43 ayat (4) UUDS 1950 :

74
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

“Penguasa mengawasi supaya segala persekutuan


dan perkumpulan agama patuh-taat kepada Undang-
undang termasuk aturan-aturan hukum yang tak
tertulis.”
Hak atas kebebasan berpendapat
Pasal 19 UUDS 1950 :
“Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan
mengeluarkan pendapat.”
Hak atas kebebasan berkumpul
Pasal 20 UUDS 1950 :
“Hak penduduk atas kebebasan berkumpul dan
berapat diakui dan diatur dengan Undang-undang.”
Hak berserikat
Pasal 20 UUDS 1950 (idem), dan
Pasal 29 UUDS 1950 :
“Setiap orang berhak mendirikan serikat, sekerja dan
masuk kedalamnya untuk memperlindungi dan
memperjuangkan kepentingannya.”
Hak atas kepemilikan
“Pasal 8, Pasal 26 ayat (1), (2) dan (3) UUDS 1950 :
Pasal 8 UUDS 1950 :
“Sekalian orang yang ada didaerah negara sama
berhak menuntut perlindungan untuk diri dan harta
bendanya.”
Pasal 26 ayat (1), (2) dan (3) UUDS 1950 :
“Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri
maupun bersama dengan orang lain” (ayat 1),
“Seorang pun tidak boleh dirampas miliknya dengan
semena-mena’ (ayat 2), dan “Hak milik itu adalah
suatu fungsi sosial” (ayat 3)
Hak untuk tidak dirampas
Pasal 26 ayat (2) UUDS 1950 :

75
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

“Seorang pun tidak boleh dirampas miliknya dengan


semena-mena.”
Hak persamaan dihadapan hukum
Pasal 7 ayat (2) UUDS 1950 :
“Sekalian orang berhak menuntut perlakuan dan
perlindungan yang sama oleh Undang-undang.”
Hak perlindungan atas penentangan dan subversif
Pasal 7 ayat (3) UUDS 1950 :
“Sekalian orang berhak menuntut perlindungan yang
sama terhadap tiap-tiap pembelakangan dan terhadap
tiap-tiap penghasutan untuk melakukan
pembelakangan demikian.”
Hak mendapatkan bantuan hukum
Pasal 7 ayat (4) UUDS 1950 :
“Setiap orang berhak mendapat bantuan hukum yang
sungguh dari hakim yang ditentukan untuk itu,
melawan perbuatan-perbuatan yang berlawanan
dengan hak-hak dasar yang diperkenankan kepadanya
menurut hukum.”
Hak atas pelayanan dan proses hukum yang baik
Pasal 11 – 16 UUDS1950
Pasal 11 UUDS 1950 :
“Tidak seorang juapun akan disiksa ataupun
diperlakukan atau dihukum secara ganas, tidak
mengenal peri kemanusiaan yang menghina.”
Pasal 12 UUDS 1950 :
“Tiada seorang juapun boleh ditangkap atau ditahan
selain itu atas perintah untuk itu oleh kekuasaan yang
sah menurut aturan-aturan Undang-undang dalam hal-
hal dan menurut cara yang diterangkan di dalamnya.”
Pasal 13 UUDS 1950 :

76
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

“Setiap orang berhak, dalam persamaan yang


sepenuhnya mendapat perlakuan jujur dalam
perkaranya oleh hakim yang tak memihak dalam hal
menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dan
dalam hal menetapkan apakah suatu tuntutan hukum
yang dimajukan terhadapnya beralasan atau tidak”
(ayat 1), dan ”Bertentangan dengan kemauannya tiada
seorang jua pun dapat dipisahkan daripada hak ini,
yang diberikan kepadanya oleh aturan-aturan hukum
yang berlaku”(ayat 2)
Pasal 14 UUDS 1950 :
“Setiap sesuatu peristiwa pidana berhak dianggap tak
bersalah sampai dibuktikan kesalahannya dalam suatu
sidang pengadilan menurut aturan-aturan hukum yang
berlaku, dan ia dalam sidang itu diberikan segala
jaminan yang telah ditentukan dan yang perlu untuk
pembelaan” (ayat 1), “Tiada seorang jua pun boleh
dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman, kecuali
karena suatu aturan hukum yang sudah ada dan
berlaku terhadapnya.” (ayat 2), dan “Apabila ada
perubahan dalam aturan hukum seperti tersebut dalam
ayat diatas, maka dipakailah ketentuan yang lebih baik
bagi si tersangka” (ayat 3).
Pasal 15 UUDS 1950 :
“Tiada suatu pelanggaran atau kejahatan pun boleh
diancamkan hukuman berupa rampasan semua barang
kepunyaaan yang bersalah” (ayat 1), dan “Tidak suatu
hukuman pun mengakibatkan kematian perdata atau
kehilangan segala hak-hak kewargaan.” (ayat 2)
Pasal 16 UUDS 1950 :
“Tempat kediaman siapapun tidak boleh diganggu-
gugat” (ayat 1), dan “menginjak suatu pekarangan

77
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

tempat kediaman atau memasuki suatu rumah


bertentangan dengan kehendak orang yang
mendiaminya, hanya dibolehkan dengan hal-hal yang
ditetapkan dalam suatu aturan hukum yang berlaku
baginya.” (ayat 2)
Hak praduga tak bersalah
Pasal 12 UUDS 1950 :
“Tiada seorang jua pun boleh ditangkap atau ditahan
selain atas perintah untuk itu oleh kekuasaan yang sah
menurut aturan-aturan Undang-undang dalam hal-hal
dan menurut cara yang diterangkan di dalamnya.”
Hak untuk menggugat
Pasal 22 ayat (1) dan (2) UUDS 1950 :
“Sekalian orang baik sendiri-sendiri maupun bersama-
sama berhak dengan bebas memajukan pengadilan ke
penguasa, baik dengan lisan ataupun dengan tulisan.”
(ayat 1), dan “sekalian orang baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama berhak memajukan
permohonan kepada penguasa.” (ayat 2)
Hak untuk mendapatkan pekerjaan dan upah
Pasal 28 ayat (1), (2), (3) dan (4) UUDS 1950 :
“Setiap warga negara, sesuai dengan kecakapannya,
berhak atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan.”
(ayat 1), “Setiap orang berhak dengan bebas memilih
pekerjaan dan berhak pada atas syarat-syarat
perburuhan yang adil.” (ayat 2), “Setiap orang yang
melakukan pekerjaan yang sama dalam hal-hal yang
sama, berhak atas pengupahan yang sama dan atas
perjanjian-perjanjian yang sama baiknya.” (ayat 3), dan
“Setiap orang yang melakukan pekerjaan, berhak atas
pengupahan adil yang menjamin kehidupannya

78
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

bersama dengan keluarganya, sepadan dengan


martabat manusia.” (ayat 4).
Hak ikut serta dalam pemerintahan
Pasal 23 ayat (1), (2) UUDS 1950 :
“Setiap warga negara berhak turut serta dalam
pemerintahan dengan langsung atau dengan
perantaraan wakil-wakil yang dipilih dengan bebas
menurut cara yang ditentukan oleh Undang-undang”
(ayat 1), dan “Setiap warga negara dapat diangkat
dalam tiap-tiap jabatan pemerintahan. Orang asing
boleh diangkat dalam jabaan-jabatan pemerintah
menurut aturan-aturan yang ditetapkan oleh Undang-
undang” (ayat 2)
Hak bela negara
Pasal 24 UUDS 1950 :
“Setiap warga negara berhak dan berkewajiban turut-
serta dengan sungguh dalam pertahanan negara.”
Hak atas pendidikan
Pasal 30 ayat (1), (2), (3) dan Pasal 31 UUDS 1950 :
Pasal 30 ayat (1), (2), dan (3) UUDS 1950 :
“Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”
(ayat 1), “Memilih pengajaran yang akan diikuti, adalah
bebas.” (ayat 2), dan “Mengajar adalah bebas, dengan
tidak mengurangi pengawasan penguasa yang
dilakukan terhadap itu menurut peraturan Undang-
undang.” (ayat 3).
Pasal 31 UUDS 1950 :
“Kebebasan melakukan pekerjaan sosial dan amal,
mendirikan organisasi-organisasi untuk itu dan juga
untuk pengajaran partikelir dan mencari dan
mempunyai harta untuk maksud-maksud itu, diakui,
dengan tidak mengurangi pengawasan penguasa yang

79
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

dilakukan terhadap itu menurut peraturan Undang-


undang.”
Hak atas kesejahteraan sosial
Pasal 36, Pasal 37 ayat (1), (2) dan (3) UUDS 1950
Pasal 36 UUDS 1950 :
“Penguasa menjamin kepastian dan jaminan sosial,
teristimewa pemastian dan penjaminan syarat-syarat
perburuhan dan keadaan-keadaan perbuatan yang baik,
pencegahan dan pemberantasan pengangguran serta
penyelenggaraan persediaan untuk hari tua dan
pemeliharaan janda-janda dan anak-anak yatim piatu.”
Pasal 37 ayat (1), (2) dan (3) UUDS 1950 :
“ Penguasa terus-menerus menyelenggarakan usaha
untuk meninggikan kemakmuran rakyat dan
berkewajiban senatiasa menjamin bagi setiap orang
derajad hidup yang sesuai dengan martabat manusia
untuk dirinya serta keluarganya.” (ayat 1), “Dengan
tidak mengurangi pembatasan yang ditentukan untuk
kepentingan umum dengan peraturan-peraturan
undang-undang, maka kepada sekalian orang diberikan
kesempatan menurut sifat, bakat dan kecakapan
masing-masing untuk turut serta dalam perkembangan
sumber-sumber kemakmuran negeri.” (ayat 2), dan
“Penguasa mencegah adanya organisasi-organisasi yang
bersifat monopoli partikulir yang merugikan ekonomi
nasional menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan
dengan undang-undang.” (ayat 3).
Hak atas jaminan sosial
Pasal 38 ayat (1), (2) dan (3) UUDS 1950 :
“Perkembangan disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan atas asas kekeluargaan” (ayat 1),
“Cabang-cabang produksi yang penting bagi

80
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

negara dan yang menguasai hajat hidup orang


banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” (ayat
3).
Hak berdemonstrasi dan mogok
Pasal 21 UUDS 1950 :
“Hak berdemontrasi dan mogok diakui dan diatur
dengan undang-undang.”
Hak atas jaminan sosial
Pasal 39 (1) dan (2) UUDS 1950 :
“Keluarga berhak atas perlindungan oleh
masyarakat dan negara” (ayat 1), dan “Fakir miskin
dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”
(ayat2).
Disamping adanya pengakuan HAM seperti terurai
pada pasal-pasal UUDS 1950, ada juga pasal yang bermakna
ganda (disamping memuat Rumusan HAM, berisikan pula
kewajiban asasi pemerintah sebagai wujud jaminan atas
penegakan HAM itu sendiri). Kewajiban dan Hak asasi yang
dimaksud adalah :
a. Kewajiban asasi atas kesejahteraan dan jaminan
sosial
Pasal 36, 37 ayat (1), (2), (3) dan pasal 38 ayat
(1), (2) dan (3) UUDS 1950.
Pasal 36 UUDS 1950 :
“Penguasa memajukan kepastian dan jaminan
sosial, teristimewa pemastian dan penjaminan
syarat-syarat perbuatan dan keadaan-keadaan
perburukan yang baik, pencegahan dan
pemberantasan pengangguran serta
penyelenggaraan persediaan untuk hari tua

81
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

dan pemeliharaan janda-janda dan anak yatim


piatu.”
Pasal 37 ayat (1), (2) dan (3) UUDS 1950 :
“Penguasa terus-menerus menyelenggarakan
usaha untuk meninggikan kemakmuran rakyat
dan berkewajiban senantiasa menjamin bagi
setiap orang derajad hidup yang sesuai dengan
martabat manusia untuk dirinya serta
keluarganya.” (ayat 1), “Dengan tidak
mengurangi pembatasan yang ditentukan
untuk kepentingan umum dengan peraturan-
peraturan undang-undang, maka kepada
sekalian orang diberikan kesempatan menurut
sifat, bakat dan kecakapan masing-masing
untuk turut serta dalam perkembangan
sumber-sumber kemakmuran negeri.” (ayat 2),
dan “Penguasa mencegah adanya organisasi-
organisasi yang bersifat monopoli partikulir
yang merugikan ekonomi nasional menurut
peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan
Undang-undang.” (ayat 3).

Pasal 38
“Perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan”
(ayat 1), “Cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara”
(ayat 2), dan “Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara dan digunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”.

82
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

b) Kewajiban asasi dalam hal pendidikan, pengajaran


ilmu pengetahuan dan kebudayaan
Pasal 40, 41 ayat (1) – (5) pasal 43 yat (3) dan (4)
UUDS 1950
Pasal 40 UUDS 1950 :
“Penguasa melindungi kebebasan
mengusahakan kebudayaan serta kesenian
dan ilmu pengetahuan. Dengan menjunjung
asas ini maka penguasa memajukan sekuat
tenaganya perkembangan kebangsaan dalam
kebudayaan serta kesenian dan ilmu
pengetahun.”
Pasal 41 ayat (1) – (5) UUDS 1950 :
“Penguasa wajib memajukan perkembangan
rakyat baik rohani maupun jasmani” (ayat 1),
“Penguasa teristimewa berusaha selekas-
lekasnya menghapuskan buta huruf.” (ayat2),
“Penguasa memenuhi kebutuhan akan
pengajaran umum yang diberikan atas dasar
memperdalam keinsyafan kebangsaan,
mempererat persatuan Indonesia,
membangun dan memperdalam perasaan peri
kemanusaan, kesabaran dan penghormatan
yang sama terhadap keyakinan agama setiap
orang dengan memberikan kesempatan dalam
jam pelajaran untuk mengajarkan pelajaran
agama sesuai dengan keinginan orang tua
murid-murid” (ayat 3), “Terhadap pengajaran
rendah, maka penguasa berusaha
melaksanakan dengan lekas kewajiban belajar
yang umum.” (ayat 4), dan “Murid-murid
sekolah partikulir yang memenuhi syarat-

83
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

syarat kebaikan-kebaikan menurut Undang-


undang bagi pengajaran umum, sama haknya
dengan murid-murid sekolah umum” (ayat 5)
Pasal 43 ayat (3) dan (4) UUDS 1950 :
“Penguasa memberi perlindungan yang sama
kepada segala perkumpulan dan persekutuan
agama yang diakui. Pemberian sokongan
berupa apa pun oleh penguasa kepada
pejabat-pejabat agama dan persekutuan-
persekutuan atau perkumpulan-perkumpulan
agama dilakukan atas dasar sama hak” (ayat
3), dan “Penguasa mengawasi supaya segala
persekutuan dan perkumpulan agama patuh-
taat kepada Undang-undang, termasuk aturan-
aturan hukum yang tak tertulis” (ayat 4).
c) Kewajiban asasi atas pengusahaan kebersihan
umum dan kesehatan
“Penguasa senantiasa berusaha dengan sungguh-
sungguh memajukan kebersihan umum dan
kesehatan rakyat.”

Secara kuantitatif, HAM dalam UUDS 1950 berjumlah


34 pasal, dan secara anatomik Rumusan HAM dalam UUDS
1950 tidak berbeda jauh dengan Rumusan HAM dalam UUD
RIS 1949. Hanya saja, HAM dalam UUDS ini telah mengalami
sedikit banyak perubahan atau modifikasi. Paling tidak, dalam
UUDS ini mulai dicantumkan dua hak baru, yakni “Hak
mogok”84 dan “Hak milik yang memiliki fungsi sosial.”85 Selain
itu, ada juga pembahasan mengenai kebebasan beragama

84
. Lihat Pasal 21 UUDS 1950
85
. Dikutip dari penjelasan Majda El Muhtaj, dalam : Majda El-Muhtaj,
op.cit. hlm. 109 (lihat juga Pasal 26 ayat (3) UUDS 1950)
84
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

secara lebih spesifik. Hal ini dibuktikan dengan dihilangkannya


kalimat “meliputi kebebasan bertukar agama atau keyakinan”
dari redaksi pasal 18 UUDS 1950. Sebelumnya, kalimat ini
berada dalam redaksi pasal 18 UUD RIS 1949.86 Oleh sebab itu,
tidak salah apabila kemudian Soepomo beranggapan bahwa
HAM dalam UUDS 1950 memiliki kesamaan secara umum,
tetapi juga terdapat perbedaan-perbedaan yang prinsipiil.87
Dalam pada itu, alasan filosofi yang mendasar mengenai
kesamaan antara kedua UUD tersebut adalah adanya kondisi
mendesak yang dibutuhkan untuk segera menyusun naskah
Undang-undang Dasar Sementara setelah diperoleh
kesepakatan untuk mengembalikan bentuk negara Indonesia
dari RIS menjadi NKRI. Hal ini tercantum dalam “Piagam
Persetujuan Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan
pemerintah Republik Indonesia” bagian II huruf A angka I yang
dinyatakan :
“Undang-undang Dasar negara kesatuan
diperdapat dengan mengubah Konstitusi
Sementara Republik Indonesia Serikat sedemikian
rupa, sehingga essentialia Undang-undang Dasar
Republik Indonesia antara lain :
- Pasal 27
- Pasal 29
- Pasal 33

86
. Disarikan dari pendapat Soepomo mengenai “Tiga perbedaan mendasar
konstitusi RIS 1949 dengan UUDS 1950 dalam hal penegasan tentang
HAM”, dalam Soepomo, “Undang-undang Dasar Sementara Republik
Indonesia”, 1950, Djakarta, Nordhoff-Kolff N. V, hal. 9-14
87
. Ibid,.
85
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

ditambah dengan bagian-bagian yang baik dari


Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat
termasuk didalamnya. 88

Dalam pada itu, dibentuklah Badan Konstituante untuk


merumuskan Undang-Undang Dasar baru dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Akan tetapi, Majelis Konstituante
kemudian dibubarkan kembali oleh Presiden Soekarno dengan
alasan kegagalan Badan Konstituante dan bertepatan pula
terjadi reses. Kala itu. Akan tetapi pada kenyataannya, Badan
Konstituante sendiri mengalami ksulitan untuk mencapai
mufakat disebabkan meruncungnya perdebatan yang tak
kunjung usai antara kaum nasionalis dan kaum Islam berkaitan
dengan bentuk Negara dan ide dasar filosofi Negara. Hal ini
kurang lebih sama dengan perdebatan yang terjadi pada masa
perancangan naskah Undang-Undang Dasar dalam BPUPKI.

4. HAM dalam amandemen I UUD NRI tahun 1945


Perubahan pertama (amandemen I) disahkan pada
tanggal 19 Oktober 1949 disahkan dalam sidang umum MPR RI
antara tanggal 12-19 Oktober 1999,89 dan boleh dikatakan
bahwa amandemen pertama ini merupakan tanggal sejarah
yang telah berhasil mematahkan semangat konservatisme dan
romantisme di sebagian kalangan masyarakat yang cenderung
mensakralkan atau menjadikan UUD 1945 bagaikan sesuatu
yang suci dan tidak boleh disentuh oleh ide perubahan sama
sekali.90 Secara umum inti perubahan I UUD 1945 menyoroti

88
. Lihat Piagam Persetujuan Pemeintah Republik Indonesia Serikat dan
Pemerintah Republik Indonesia. Dikutip dari catatan lampiran III
dalambuku Joeniarto, op.cit. hal. 160
89
. Jimly Asshiddiqie. Op.cit. hal. 88
90
. Ibid, hal. 59
86
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

perihal kekuasaan Presiden (eksekutif).91 Dan dalam


amandemen I tidak dilakukan perubahan pengurangan atau
penambahan materi-materi tentang HAM. Jumlah materi HAM
yang ada masih cenderung sama dengan sebelum diadakannya
amandemen. Adapun amandemen I UUD NRI tahun 1945 ini
mencakup 9 pasal yaitu pasal 5 ayat (1), pasal 7, pasal 9 ayat
(1) dan ayat (2), pasal 13 ayat (2), dan ayat (3), pasal 14 ayat
(1) dan ayat (2), pasal 15, pasal 17 ayat (2) dan ayat (3), pasal
20 ayat (1) sampai ayat (4), dan pasal 21.

5. HAM dalam amandemen II UUD NRI Tahun 1945


Perubahan kedua (amandemen II) UUD NRI Tahun 1945
ditetapkan dalam sidang Tahunan MPR pada tanggal 7 sampai
18 Agustus 2002. Cakupan materi yang diubah pada naskah
perubahan kedua ini lebih luas dan lebih banyak lagi, yaitu
mencakup 27 pasal yang tersebar dalam 7 bab, yaitu Bab VI
tentang “Pemerintah Daerah”, Bab VII tentang “Dewan
Perwakilan Rakyat”, Bab IXA tentang “Wilayah Negara”, Bab X
tentang “Hak Asasi Manusi”, Bab XII tentang “Pertahanan dan
Keamanan Negara”, dan Bab XV tentang “Bendera, Bahasa dan
Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.”92
Jika ke-27 pasal tersebut dirinci jumlah ayat atau butir
ketentuan yang diaturnya, maka isinya mencakup 59 butir
ketentuan yang mengalami perubahan atau bertambah dengan
rumusan ketentuan baru sama sekali.93
Salah satu poin terpenting dari amandemen kedua UUD
NRI Tahun 1945 adalah adanya penambahan materi tentang Hak
Asasi Manusia (HAM). Pada amandemen kedua kali ini, HAM

91
. Majda El-Muhtaj. Op.cit. hal. 88
92
. Jimly Asshiddiqie. Op. cit. hal. 59.
93
. Ibid,.
87
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

dimasukkan dalam satu Bab tersendiri, yaknbi BAB XA mengenai


“Hak Asasi Manusia” yang berisikan 10 pasal.94
Adapun mengenai Rumusan HAM yang terkandung
dalam perubahan (amandemen) II UUD NRI Tahun 1945 adalah :
BAB /
No ISI
PASAL
Setiap warga negara berhak dan
BAB X/27
1 wajib ikut serta dalam upaya
Ayat (3)
pembelaan negara
Setiap orang berhak untuk hidup
BAB
2 serta berhak mempertahankan hidup
XA/28A
dan kehidupannya.
(1) Setiap orang berhak membentuk
keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan
yang sah.
BAB
3 (2) Setiap anak berhak atas
XA/28B
kelangsungan hidup, tumbuh,
dan berkembang serta berhak
atas perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi.
(1) Setiap orang berhak
BAB mengembangkan diri melalui
4 pemenuhan kebutuhan dasarnya,
XA/28C
berhak mendapat pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu

94
. Lihat : Perincian pasal HAM dalam : “Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-undang Republik
Indonesia nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi”, (Jakarta
: Sekjend dan Kapaniteraan MKRI, 2006) hal. 33-39.
88
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

pengetahuan dan teknologi, seni


dan budaya
(2) Setiap orang berhak untuk
memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa dan
negaranya.
(23)Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan
yang sama dihadapan hukum.
(24)Setiap orang berhak bekerja serta
BAB mendapatkan imbalan dan
5 perlakuan yang adil dan layak
XA/28D
dalam hubungan kerja.
(25)Setiap warga negara berhak
memperoleh kesempatan yang
sama dalam pemerintahan.
(26)Setiap oang berhak atas status
kewarganegaraan.
1) Setiap orang bebas memeluk
agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan
BAB dan pengajaran, memilih
6
XA/28E pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih
tempat tinggal di wilayah negara
dan meninggalkannya, serta

89
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

berhak kembali.
2) Setiap orang berhak atas
kebebasan menyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran
dan sikap, sesuai dengan hati
nuraninya.
3) Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul
dan mengeluarkan pendapat.
Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan
BAB
7 pribadi dan lingkungan sosialnya,
XA/28F
serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki segala jenis
saluran yang tersedia.
(13) Setiap orang berhak
atas perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat,
dan harta benda yang di bawah
kekuasaannya, serta berhak atas
rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk
BAB
8 berbuat atau tidak berbuat
ZA/28G
sesuatu yang merupakan hak
asasi.
(14) Setiap orang berhak
untuk bebas dari penyiksaan atau
perlakuan yang merendahkan
derajat martabat manusia dan
berhak memperoleh suaka politik
90
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

dari negara lain.


- Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan
kesehatan.
- Setiap orang berhak mendapat
kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang
BAB sama guna mencapai persamaan
9
XA/28H dan keadilan
- Setiap orang berhak atas jaminan
sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara
utuh sebagai manusia yang
bermartabat.
- Setiap orang berhak mempunyai
hak milik pribadi dan hak milik
tersebut tidak boleh diambil alih
secara sewenang-wenang oleh
siapapun.
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran
BAB dan hati nurani, hak beragama,
10 hak untuk tidak diperbudak, hak
XA/28I
untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum

91
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

yang berlaku surut adalah hak


asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa
pun.
(2) Setiap orang berhak bebas dari
perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apa pun
dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan
yang bersifat diskriminatif itu.
(3) Identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati
selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban.
(4) Perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak
asasi manusia adalah tanggung
jawab negara, terutama
pemerintah.
(5) Untuk menegakkan dan
melindungi hak asasi manusia
sesuai dengan prinsip negara
hukum yang demokratis, maka
pelaksanaan hak asasi manusia
dijamin, diatur, dan dituangkan
dalam peraturan perundang-
undangan.
(1) Setiap orang wajib menghormati
BAB hak asasi manusia orang lain
11
XA/28J dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan

92
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang
wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat
demokratis.
BAB Tiap-tiap warga negara berhak dan
12 XII/30 wajib ikut serta dalam usaha
Ayat (1) pertahanan dan keamanan negara.

Berdasarkan materi muatan HAM yang ada dalam


amandemen ke II tersebut, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa terdapat (penambahan) prinsip-prinsip
Hak Asasi Manusia, diantaranya :
1) Hak bela negara
BAB X Pasal 27 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
2) Hak untuk hidup
BAB XA Pasal 28A UUD NRI Tahun 1945.
3) Hak untuk berkeluarga
BAB XA Pasal 28B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
4) Hak anak

93
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

BAB XA Pasal 28B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.


5) Hak atas pendidikan dan pengembangan diri.
BAB XA Pasal 28C ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun
1945.
6) Hak atas jaminan dan proses hukum yang adil.
BAB XA Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
7) Hak atas upah kerja
BAB XA Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
8) Hak kesempatan dalam pemerintahan
BAB XA Pasal 28D ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
9) Hak atas status kewarganegaraan
BAB XA Pasal 28D ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 dan
Pasal 28E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
10) Hak atas kebebasan beragama
BAB XA Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun
1945.
11) HAK Komunikasi dan Informasi
BAB XA Pasal 28 E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
12) Hak komunikasi dan informasi
BAB XA Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945.
13) Hak perlindungan diri dan kekebasan asasi
BAB XA Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
14) Hak untuk bebas dari penyiksaan
BAB XA Pasal 28G ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
15) Hak atas kehidupan yang layak
BAB XA Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
16) Hak mendapatkan keadilan
BAB XA Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
17) Bab atas jaminan sosial
BAB XA Pasal 28H ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
18) Hak hidup dan universalitas hak asasi

94
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

BAB XA Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.


19) Hak untuk bebas dari diskriminasi
BAB XA Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
20) Hak atas identitas budaya adat
BAB XA Pasal 28I ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
Sedangkan mengenai kewajiban asasi sebagai
wujud pengakuan sekaligus penegakan atas HAM itu
sendiri adalah :
1. Kewajiban asasi negara/pemerintah dalam
perlindungan, pemajuan dan penegakan HAM.
BAB XA Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945.
2. Kewajiban asasi atas penegakan HAM melalui legalitas
peraturan perundang-undangan.
BAB XA Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945.
3. Kewajiban asasi berupa penghormatan dan pengakuan
HAM oleh setiap orang
BAB XA Pasal 28J ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
4. Kewajiban asasi setiap orang untuk tunduk kepada
Undang-Undang.
BAB XA Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

Pemberian bab tersendiri terhadap Rumusan HAM


dalam amandemen II ini harus diakui sebagai sebuah
keberhasilan dalam proses pengakuan, pemenuhan, dan
penegakan HAM. Akan tetapi, menurut Saldi Isra, materi
muatan HAM dalam Perubahan Kedua UUD 1945 tidak
konsisten dalam merumuskan kategori hak-hak asasi, apakah
pembagiannya menuut kategori Hak sipil dan hak ekonomi,
sosial dan budaya, ataukah mendefinisikannya dengan
menggunakan pembagian atas derogable rights dan

95
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

nonderogable rights, ataukah merumuskannya dengan cara


memuat hak-hak individual, komunal, dan vulnerable rights.95
Sedangkan menurut Majda, ketidakjelasan makna
penegakan HAM terlihat dari Bab Pasal 27 ayat (3) dengan Bab
XII Pasal 30 ayat (1) tentang Hak atas pembelaan negara. Hal
yang sama juga terjadi pada Bab XA Pasal 28D dengan Bab X
Pasal 27 ayat (1) tentang Hak atas persamaan di hadapan
hukum (equality before the law). Begitu juga pada Bab XA
Pasal 28F dengan Pasal 28 tentang Hak berserikat dan
berkumpul.96 Ketidakjelasan lainnya juga terlihat dari
penekanan muatan HAM yang tidak jelas sebagai akibat dari
penggabungan muatan HAM dengan muatan HAM lainnya
yang sebenarnya tidak sejalan atau tidak sinkron, seperti pada
BAB XA Pasla 28E yang menggabungkan hak beragama dengan
hak mendapatkan pekerjaan dan hak atas kewarganegaraan.97
Menurut pandangan Satya Arinanto, secara
redaksional materi muatan HAM dalam perubahan kedua UUD
1945 sebagian besar merupakan pasal-pasal yang berasal atau
setidak-tidaknya memiliki kesamaan dengan pasal-pasal HAM
sebagaimana diatur dalam Tap MPR No. XVII / MPR / 1998
tentang Hak Asasi Manusia.98
Melalui analisis para sarjana hukum tersebut, dapat
diambil kesimpulan bahwa Rumusan HAM dalam amandemen
(perubahan) ke II UUD NRI Tahun 1945 bisa dikatakan
belumlah sempurna. Ketidaksempurnaan pada amandemen II
ini semakin terlihat bila diperbandingkan dengan naskah HAM
pada konstitusi RIS 1949 yang dapat dikatakan sangat

95
. Saldi Isra. Quo Vadis Reformasi Konstitusi ? dalam Media Indonesia. 1
Agustus 2006. Diunduh dari : www.mediaindonesia.com.
96
. Majda El Muhtaj. op.cit. hal. 115.
97
. Ibid,.
98
. Satya Arinanto. op.cit.
96
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

signifikan (Pada konstitusi RIS 1949, rincian Rumusan tentang


HAM diatur dan dirinci secara lengkap dan terpisah pada tiap
pasalnya, tidak secara tumpang tindih seperti dalam
amandemen II UUD NRI Tahun 1945). Namun demikian, harus
diakui bahwa pengaturan materi muatan HAM yang dilakukan
melalui amandemen II merupakan sebuah starting point dalam
upaya penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Sedangkan,
kekurangan yang ada tersebut dapat diminimalisir dengan cara
memaksimalkan implementasi penegakan HAM, serta
memperjelasnya dengan peraturan perundang-undangan yang
ada dibawahnya secara lebih lanjut.

6. HAM dalam Amandemen (Perubahan) ke III UUD NRI Tahun


1945
Amandemen II UUD NRI Tahun 1945 ditetapkan pada
tanggal 9 November 2001 melalaui sidang Tahunan MPR-RI
tanggal 7 sampai 9 November 2001. Bab-bab di dalam UUD
1945 yang mengalami perubahan adalah Bab I tentang “Bentuk
dan Kedaulatan”, Bab II Tentang “Mejelis Permusyawaratan
Rakyat”, Bab III tentang “Kekuasaan Pemerintah Negara”, Bab
V tentang “Kementerian Negara”, BAb VIIA tentang “Dewan
Perwakilan Daerah”, Bab VIIB tentang “Pemilihan Umum”, dan
Bab VIIIA tentang “Badan Pemeriksa Keuangan”. Menurut
Jimliy Asshiddiqie99, Dari segi jumlahnya dapat dikatakan
perubahan ketiga ini paling luas cakupan materinya (7 BAB, 23
Pasal, dan 68 butir ketentuan atau ayat). Dan disamping itu
substansi yang diaturnya sebagian besar sangat mendasar.
Materi yang tergolong sukar mendapatkan kesempatan
cenderung ditunda pembahasannya dalam sidang-sidang
terdahulu. Karena itu, selain secara kuantitatif materi

99
. Jimliy Asshiddiqie, “Konstitusi dan Konstitusionalisme”, op.cit. hal. 60
97
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

perubahan ketiga ini lebih banyak muatannya, juga dari segi


isinya, secara kualitatif materi perubahan ketiga ini dapat
dikatakan sangat mendasar pula.
Dalam amandemen III ini tidak terdapat perubahan
(pengurangan atau penambahan) Rumusan HAM dalam tiap
pasalnya, dan dalam hal ini Rumusan HAM masih sama persis
seperti halnya yang terangkum dalam amandemenke II UUD
NRI Tahun 1945.

7. HAM dalamAmandemen (perubahan) IV UUD NRI Tahun 1945


Amanademen (Perubahan) IV UUD 1945 disahkan dan
ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002 melalui sidang
Tahunan MPR-RI tanggal 1 sampai 10 Agustus 2002. Dalam
naskah Perubahan Keempat ini, ditetapkan bahwa (a)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama,
kedua, ketiga dan perubahan keempat ini adalah Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan
kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959
serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959
oleh Dewan Perwakilan Rakyat; (b) Penambahan bagian akhir
pada Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia dengan kalimat “Perubahan tersebut
diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia ke-9 tanggal 18 Agustus 2000
Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan”; (c)
Pengubahan penomoran Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4)
Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 3 ayat (2) dan (3); Pasal

98
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

25E Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 25A; (d)
Penghapusan judul Bab IV tentang “Dewan Pertimbangan
Agung” dan pengubahan substansi Pasal 16 serta
penempatannya ke dalam Bab III tentang “Kekuasaan
Pemerintah Negara”; (e) Pengubahan dan/atau penambahan
Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3), Pasal 11
ayat (1); Pasal 16; Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3), Bab
XIII, Pasal 31 ayat (1), ayat (2); Bab XIV, Pasal 33 ayat (4) dan
ayat (5); Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4); Pasal
37 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5); Aturan
Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Dengan demikian secara keseluruhan naskah
Perubahan Keempat UUD 1945 mencakup 19 pasal, termasuk
satu pasal yang dihapus dari naskah UUD. Ke-19 pasal
tersebut terdiri atas 31 butir ketentuan yang mengalami
perubahan, ditambah 1 butir yang dihapuskan dari naskah
UUD.100
Sedangkan apabila berbicara mengenai Rumusan
HAM yang ada dalam Amandemen IV (penambahan maupun
pengurangan Rumusan HAM dari sebelumnya) terdapat
dalam 4 pasal yaitu Pasal 31 sampai Pasal 34 UUD NRI Tahun
1945. Adapun prinsip HAM yang terkandung dalam empat (4)
pasal perubahan tersebut adalah :
1) Hak atas pendidikan
Pasal 31 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
“Setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan.”
2) Kewajiban asasi negara atas pendidikan

100
. Disadur dari Jimliy Asshiddiqie. Op.cit. hal. 60-61
99
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Pasal 31 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) UUD NRI
Tahun 1945
“Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan
dasar dan pemerintah wajib membiayainya,” (ayat 2),
“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan seta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur
dengan Undang-Undang” (ayat 3), “negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-
kurangnya dua puluh persen dari anggaran
pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”
(ayat 4), “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan
dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia.” (ayat
5)
3) Kewajiban asasi negara dalam menjamin kemajuan
budaya (Hak atas budaya)
Pasal 32 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
“Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di
Tengah Peradaban dunia dengan menjamin kebebasan
masayrakat dalam memelihara dan mengembangkan
nilai-nilai budayanya.”
4) Kewajiban asasi negara
Pasal 32 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
“Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah
sebagai kekayaan budaya nasional.”
5) Hak asasi atas kesejahteraan dan memelihara sosial
dan ekonomi

100
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945


(Dilakukan penambahan ayat pada pasal ini.
Sebelumnya, Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 hanya
terdiri dari tiga (3) ayat)
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar
atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.”
6) Kewajiban asasi negara atas jaminan sosial
Pasal 34 ayat (1), (2), dan (3) UUD NRI Tahun 1945
“Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara
oleh negara’ (ayat 1), “ Negara mengembangkan
sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai martabat kemanusiaan’ (ayat 2), dan
“Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum
yang layak” (ayat 3).
7) Kewajiban asasi negara atas jaminan kesehatan dan
pelayanan umum
Pasal 34 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945
“Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum
yang layak.”

Secara kualitas maupun kuantitas, materi muatan


HAM yang dirubah dalam amandemen IV cenderung lebih
sedikit bila dibandingkan dengan materi (rumusan) HAM yang
ada dalam amandemen II. Disamping itu, amandemen IV lebih
menyoroti perspektif HAM dari sudut kewajiban asasi negara /

101
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

pemerintah dalam rangka pengakuan dan penegakan atas


HAM, atau dengan kata lain amandemen IV ini merupakan
bahan pelengkap (complementary) atas muatan HAM yang
telah ada dalam amandemen II UUD NRI Tahun 1945.
Akan tetapi, yang perlu menjadi catatan penting dalam
hal pergeseran makna HAM baik itu dalam UUD 1945, UUD RIS
1949, UUDS 1950, maupun dalam amandemen UUD NRI Tahun
1945 adalah adanya korelasi dan ketergantungan yang kuat
terhadap konfigurasi politik tertentu. Meminjam pendapat
Mahfud MD : “Jika konfigurasi politik demokratis, maka HAM
memperoleh tempat dan implementasi yang relatif
proporsional, tetapi jika konfigurasi politik sedang bekerja di
bawah payung otoritarian maka HAM pun akan mendapat
perlakuan yang buruk.101
Sedangkan dalam hal memperbandingkan
kompleksitas Rumusan HAM dalam masing-masing konstitusi
tersebut tentunya tidak terlepas dari instrumen-instrumen
HAM Internasional yang kemudian penulis jadikan tolak ukur
kelengkapan perbandingan HAM yang dalam
konstitusionalisme Indonesia.
Melalui tolak ukur tersebut, dapat disimpulkan bahwa
UUD RIS 1949 dan UUDS 1950 merupakan konstitusi yang
secara lengkap mengadopsi muatan UDHR / DUHAM PBB
1948. sedangkan bila dilihat pada UUD NRI Tahun 1945
sesudah amandemen, meski masih terdapat banyak
kekurangan tetapi konstitusi itu memiliki implementasi
(Konstitusionalisme) yang lebih banyak dibandingkan dengan
UUD RIS maupun UUDS 1950 Adopsi atas instrumen-instrumen

101
. Diambil dari pendapat Mahfud MD “Perlindungan Hukum atas Hak
Asasi Manusia” makalah diskusi ilmiah tentang Perlindungan HAM
dalam sistem Hukum Indonesia Antara Universitas-Pusat Studi
Sosial Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 18 Oktober 1994. Hal. 6
102
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

HAM Internasional justru terlihat pada elaborasi peraturan


perundang-undangan yang ada dibawahnya.

103
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

DAFTAR PUSTAKA

A. Daftar Buku
Ade Maman Suherman, 2004,Pengantar Perbandingan Sistem Hukum.
Jakarta : Grafindo.

Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia : Analisis Yuridis Normatif


Tentang Unsur-unsurnya. Jakarta : UI. Press.

Ahmad Syafi'i Ma'rif, 1996, Studi Tentang Percaturan Dalam


Konstituante; Islam dan masalah Kenegaraan, Jakarta; LP3ES.

______________________ 1998, Islam dan Politik di Indonesia Pada


Masa Demokrasi Terpimpin di Indonesia 1959-1965. Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga Press.

A.Mukhtie Fajar, 2004, Tipe Negara Hukum. Malang : Banyumedia


Publishing.

A. Mahsyur Effendi, 1980, Tempat Hak-Hak Asasi Manusia dalam Hukum


Internasional/Nasional. Bandung: Alumni.

Abul A'la Al Maududi,1982, Human Rights in Islam, Delhi: Markai


Maktaba Islami.

Ann Elisabeth Mayer, 1999, Islam and Human Rights: Tradition and
Politics, Oxford: westview Press.

B.J. Boland, 1985, Pergumulan Islam di Indonesia,Jakarta: Grafiti Press.

Bagir Manan, 2004, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta: FH. UII Press.

Bahtiar Effendy, 2001, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan,


Yogyakarta: Galang Press.

104
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Budiman Sinaga, 2005, Hukum Konstitusi. Yogyakarta ; Kusuma Alam


Semesta. Juni.

Burn, H. Weston, Hak Asasi Manusia dalam T. Mulyana Lubis, Hak Asasi
Manusia dalam Masyarakat Dunia (Isu dan Tindakan), Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, dikutip oleh Deny Iskandar P, 2006,
Ide Normatif Mahkamah Konstitusi dalam Konteks Cita Hukum
dan Negara Hukum, Malang: Disertasi Pasca Sarjana Unibraw.

C.F. Strong, 2004, Konstitusi – Konstitusi Politik Modern, Bandung :


Nuansa dan Nusamedia.

C.S.T. Kansil, et all, 2001, Konstitusi Konstitusi Indonesia Tahun 1945-


2000, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Dahlan Thaib, dkk. 2005, Teori dan Hukum Konsitusi. Jakarta : Grafindo
Persada.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994, Kamus Besar Bahasa


Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

Departemen Agama RI, 2007, Al-Hikmah, Qur'an & Terjemahannya,


Bandung: Diponegoro.

Djazuli, 2007, Fiqh Siyasah,Implementasi Kemashlahatan Ummat dengan


Rambu-rambu Syariah, Jakarta, Kencana.

E.C.S. Wade, 1986, Constitusional Law. New York: Longman, Green and
co.

Eric Barendt, 1998, An Introduction to Constitutional Law, London:


Oxford University Press.

Endang Syaifuddin Anshari, 1981, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan


Sejarah konsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan

105
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Nasionalis Sekuler tentang Dasar Negara Republik Indonesia


1945-1959. Bandung: Perpustakaan Salman ITB.

H.A.K Pringgodigdo, 1981, Tiga Undang-Undang Dasar. Jakarta : PT.


Pembangunan.

Harun Nasution dan Bahtiar Effendy, 1987, Hak Asasi Manusia Dalam
Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus.

______________________.2001, Agama dan Negara dalam Perspektif


Islam. Jakarta: Media Dakwah.

I Gede Pantja Astawa, 2000, Hak Angket Dalam Sistem Ketatanegaraan


Indonesia Menurut UUD 1945. Bandung : UNPAD.

Jazim Hamidi, Malik, 2008, Hukum Perbandingan Konstitusi, Jakarta:


Prestasi Pustaka Publiser.

Jimly Asshiddiqie, 2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi


(Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan Ham), Konstitusi Press.

_______________ 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta :


Konstitusi Press.

John Adler, 2002, General Principles of Constitusional and Administrative


Law. New York: Palgrave Macmillan.

Joeniarto, 2001, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jakarta :


Bumi Aksara.

K.C. Wheare, 2003, Konstitusi – Konstitusi Modern. Surabaya : Pustaka


Eureka.

Koentjaraningrat, 1993, Metode – Metode Penelitian Masyarakat.


Jakarta : Gramedia.

106
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Krisna Harahap, 2003, HAM dan Upaya Penegakannya di Indonesia.


Bandung: Grafiti Budi Utami.

Laica Marzuki, 2006, Berjalan – Jalan di Ranah Hukum. Jakarta : Sekjend


dan Kepaniteraan NKRI.

M.A. Anshari, Endang Syaifuddin, 1986, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan
Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan
Nasionalis Sekuler tentang Dasar Negara Republik Indonesia
1945-1959. Jakarta: Rajawali Press.

M. Lukman Hakim, 1996, Deklarasi Islam tentang HAM, Surabaya:


Risalah Gusti.

Majda El Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusi dalam Konstitusi Indonesia.


Jakarta : Kencana.

Maria Soemardjono, 1989, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian.


Yogyakarta : Universitas Gajah Mada Press.

Miriam Budiarjo, 2001, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama.

Muhammad Alim, 2001, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam


Konstitusi Madinah dan UUD 1945. Yogyakarta : UII Press.

Muhammad Alim, 2004, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam


Konstitusi Madinah dan UUD 1945. Yogyakarta : UII Press.

Mohammad Tholchah Mansoer, 1979, Hukum, Negara, Masyarakat,


Hak-hak Asasi Manusia dan Islam. Bandung : Alumni.

Moh Mahfud MD, 2000, Demokrasi dan KOnstitusi di Indonesia : Studi


Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan.
Jakarta : Rineka Cipta.

107
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Muhammad Taher Azhary, 2003, Negara Hukum: Suatu Studi tentang


Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam,
Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini.
Jakarta: Prenada Media.

Muh. Yamin, 1960, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid


I, II, dan III. Jakarta : Yayasan Prapanca.

______________________.1982, Proklamasi dan Konstitusi Republik


Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia.

______________________. 1998, Politik Hukum di Indonesia. Jakarta :


LP3ES.

Ni’matul Huda, 2003, Politik Ketatanegaraan Indonesia : Kajian Terhadap


Dinamika Perubahan UUD 1945. Yogyakarta : FH UII Press.

Phillipus M Hadjon, 1957, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia.


Surabaya ; PT. Bina Ilmu.

Paul S. Baut, Benny Herman. K, 1988, Kompilasi Deklarasi Hak Asasi


Manusia,. Jakrta: YLBHI.

Ruhollah Khomeini, 1981, Islam & Revolution, diterjemahkan oleh Hamid


Algar, Berkeley Calif: Mizan Press.

Robert N. Bellah, 1976, Beyond Belief. New York: Harper & Row.

Satjipto Rahardjo, 2008, Negara Hukum Yang Membahagiakan


Rakyatnya, Jogjakarta: Genta Press.

Satya Arinanto, 2003, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di


Indonesia. Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara FH. UI.

108
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Sjahran Basah, 1992, Ilmu Negara : Pengantar, Metode, dan Sejarah


Perkembangan. Bandung : Citra Aditya.

Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998, Risalah Sidang


BadanPenyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Jakarta.

Subandi Al Marsudi, 2001, Pancasila dan UUD ’45 dalam Paradigma


Reformasi. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Sudikno Mertokusumo, 1990, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar.


Yogyakarta : Liberty.

Sukron Kamil, 2002, Islam & Demokrasi: Telaah Konseptual & Historis.
Jakarta: Gaya Media Pratama.

Soepomo, 1950, Undang-Undang Dasar Sementara Republik


Indonesia.Djakarta : Noordhoof-Kolff. N.V.

Sudargo Gautama, 1973, Pengertian tentang Negara Hukum. Bandung:


Alumni.

Sri Soemantri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia,


Bandung: Alumni.

Syaukat Hussein, 1978, Human Rights in Islam. India: Nusrat Ali Nasri for
Kitab Bhavan.

Tahir Mahmood, 1993, Human Rights in Islamic Law, New Delhi: Institute
of Objective Studies.

Todung Mulya Lubis, 1993, In Search of Human Rights ; Leged Political


Dilemmas of Indonesia’s New Order, 1966-1990. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama.

109
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Todung Mulya Lubis, November 1983, Perkembangan Hukum dalam


Perspektif Hak Asasi Manusia, Makalah untuk Raker Peradilan.

ICCE UIN Jakarta, 2003, Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat
Madani. Jakarta: Prenada Media.

Umar Basalim, 2002, Pro dan Kontra Piagam Jakarta di Era Reformasi.
Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.

Usep Ranawijaya, 1983, Hukum Tata Negara Indonesia, Dasar-dasarnya.


Jakarta : Ghalia Indonesia.

Wirjono Projodikoro, 1989, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia.


Jakarta : Dian Rakyat.

Zubaedi, 2007, Islam dan Benturan Antarperadaban (Dialog Filsafat Bara


tdengan Islam, Dialog Peradaban, dan Dialog Agama,
Yogyakarta, Ar-Ruz Media.

B. Peraturan Perundangan – Undangan


UUD Tahun 1945

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

UUD Republik Indonesia Serikat tahun 1949

UUD Sementara tahun 1950.

Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia

Ketetapan MPR No. XI/MPR/2000 tentang Penugasan Badan Pekerja


Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia untuk
Melanjutkan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention


Againts Torture and Other Cruel, Inhumanor Degrading

110
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Treratment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan


dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak
Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Kemanusiaan.

Undang_Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan


Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Undang-Undang No. 9 Tahun 1999 Tentang Pengesahan International


Convention on the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination 1965 (Konvensi Internasional tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965.

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999. Jakarta : Bumi Aksara, 2003.

Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi


Manusia.

Keputusan Presiden RI No. 50 tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak


Asasi manusia.

Keputusan Presiden RI No. 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi


Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia.

Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 181 tentang Komisi Nasional


Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.

Keputusan Presiden RI No. 61 Tahun 2003 tentang Perubahan Keputusan


Presiden Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional
Hak Asasi Manusia.Keputusan Presiden RI No. 40 Tahun 2004
tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi ManusiaIndonesia
Tahun 2004-2009.

Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Undang –


Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan
Undang – Undang Republik Indonesia nomor 24 tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, Jakarta : Sekjend Mahkamah
Konstitusi RI, 2006.

111
handbook Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

C. Daftar Bacaan
Arief Mangkoesapoetra. HAM dalam Perspektif Islam.blog.

Departemen Hukum dan HAM. Sejarah HAM, Sejarah Internasional HAM


dan Sejarah Nasional HAM. Jakarta : 2007.

Departemen Hukum dan HAM. Inventarisasi Peraturan Perundang-


undangan tentang HAM, 2010.

Saharuddin Daming, Eskafasi Mutiara HAM dalam Islam di balik


Hegemoni Barat, makalah, diunduh melalui www.google.com,
Oktober 2010.

Human Rights in Islam, India: Nusrat Ali Nasri for Kitab Bhavan, 1978,
dalam www.google//artikel//document of human rights.

Marsiyem, Sari Kuliah Hukum dan HAM (Disampaikan pada saat


menyampaikan mata kuliah hukum dan HAM). Semarang, FH
Unnisula, 12 September 2006.

Marwan Ja'far, Meneguhkan Politik Aswaja, dalam Suara


Merdeka_wacana, Semarang: harian Suara Merdeka, Jumat, 23
Juli 2010, hal.6.

Rahmat Bowo Suharto,. Sebuah Catatan tentang Hak Asasi Manusia,


Makalah Raker dan Diseminasi Ranham, 6 – 7 November 2007.

www.wikisource.com//human rights in islam//file.

www.google.com//HYPERLINK "http://www.google.com-declaration/"
human rights.doc

www.google.com//magna Charta/humanrights/doc.

www.google.com//petitionofrights//humanrights//doc.

www.google.com//declarationofindependence/humanrights/doc.

112

Anda mungkin juga menyukai