Anda di halaman 1dari 66

LAPORAN SEMINAR AKHIR STASE

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. N DENGAN DIAGNOSA CKR 456


TANPA PERDARAHAN INTRAKRANIAL + POST OP ACHBAR
Di Ruang 19 RSUD dr. Saiful Anwar Kota Malang

OLEH
KELOMPOK 09 :
Deni dwi kurniawan (P17212195022)
Khairunnisa (P17212195018)
Yuniarti (P17212195048)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG


JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS PROGRAM PROFESI
TAHUN 2019
LAPORAN SEMINAR AKHIR STASE

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. N DENGAN DIAGNOSA CKR 456


TANPA PERDARAHAN INTRAKRANIAL + POST OP ACHBAR
Di Ruang 19 RSUD dr. Saiful Anwar Kota Malang

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Laporan Kelompok Praktek Profesi Ners


Departemen Keperawatan Medikal Bedah

OLEH:
KELOMPOK 09 :
Deni dwi kurniawan (P17212195022)
Khairunnisa (P17212195018)
Yuniarti (P17212195048)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG


JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS PROGRAM PROFESI
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
laporan seminar asuhan keperawatan dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada
Tn. N Dengan Diagnosa Medis Ckr 456 Tanpa Perdarahan Intrakranial +
Post Op Achbar” sebagai salah satu syarat tugas akhir Praktik Klinik
Keperawatan Medikal Bedah di Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang Program
Studi Profesi Ners Jurusan Keperawatan Malang.
Kami menyadari bahwa dalam laporan ini tidak lepas dari bimbingan,
bantuan, dan dukungan dari berbagai pihak, sehingga kendala-kendala yang kami
hadapi dapat diatasi. Oleh karena itu, kami menyampaikan ucapan terima kasih
dan penghargaan sebesar-besarnya kepada:
1. Pembimbing Akademik Program Studi Profesi Ners Politeknik Kesehatan
Kemenkes Malang yang telah membimbing kami.
2. Perseptor Klinik Ruang 19 RSUD dr. Saiful Anwar Kota Malang yang telah
membimbing kami.
3. Semua pihak yang telah memberikan dorongan dan bantuannya dalam
menyelesaikan laporan ini.
Akhir kata, dengan segala kerendahan hati, kami menyadari bahwa masih
terdapat banyak kekurangan dalam penulisan laporan ini, sehingga kami
mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan laporan ini.

Malang, 15 Desember 2019

Kelompok 09
DAFTAR ISI

Sampul Luar

Sampul Dalam

Kata Pengantar................................................................................................................

Daftar Isi.........................................................................................................................

BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang.................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................
1.3 Tujuan..............................................................................................................
1.4 Manfaat............................................................................................................

BAB II Tinjauan Pustaka


2.1 Konsep Penyakit..............................................................................................
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan..........................................................................

BAB III Laporan Asuhan Keperawatan


3.1 Pengkajian.......................................................................................................
3.2 Analisis Data....................................................................................................
3.3 Prioritas Masalah.............................................................................................
3.4 Rencana Keperawatan.....................................................................................
3.5 Implementasi dan Evaluasi..............................................................................

BAB IV Penutup
4.1 Kesimpulan......................................................................................................
4.2 Saran................................................................................................................

BAB V Review Jurnal


5.1 Jurnal Ilmiah....................................................................................................
5.2 Review Jurnal..................................................................................................

Daftar Pustaka
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Otak merupakan organ yang sangan vital bagi seluruh aktivitas dan fungsi
tubuh, karena di dalam otak terdapat berbagai pusat control seperti pengendalian
fisik, intelektual, emosional, sosial, dan keterampilan. Walaupun otak berada
dalam ruang yang tertutup dan terlindungi oleh tulang-tulang yang kuat namun
dapat juga mengalami kerusakan. Salah satu penyebab dari kerusakan otak adalah
terjadinya trauma atau cedera kepala yang dapat mengakibatkan kerusakan
struktur otak, sehingga fungsinya juga dapat terganggu (Black & Hawks, dalam
Tarwoto, 2012).
Cedera kepala ini menimbulkan resiko yang tidak ringan. Resiko utama
pasien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan
atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan
peningkatan tekanan intracranial. Peningkatan tekanan intrakranial akan
mempengaruhi fungsi serebral dan menimbulkan distorsi dan herniaso otak.
Manifestasi klinis cedera kepala meliputi gangguan sadaran, konfusi, abnormalitas
pupil, awitan tiba-tiba defisit neurologik, dan perubahan tanda-tanda vital.
Gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensori, kejang otot, sakit
kepala, vertigo, gangguan pergerakan,kejang dan banyak efek lainnya juga
mungkin terjadi pada pasien cedera kepala (Smeltzer & Bare, 2001).
Menurut WHO, kecelakaan lalu lintas di dunia pada tahun 2004 telah
merenggut satu juta orang setiap tahunnya sampai sekarang dan dari 50 juta orang
mengalami luka dengan sebagian besar korbannya adalah pemakai jalan yang
rentan seperti pejalan kaki, pengendara sepeda motor, anak-anak, dan penumpang
(Wahyudi, 2012). Data kecelakaan di Indonesia yang berasal dari kepolisian
menyebutkan pada tahun 2007, jumlah korban meninggal sebanyak 16.548 jiwa
dan korban yang mengalami cidera kepala sebanyak 20.180. Sebagian besar 70%
korban kecelakaan lalu lintas adalah pengendara sepeda motor dengan golongan
umur 15-55 tahun dan berpenghasilan rendah, serta cidera kepala yang dialami
merupakan urutan pertama dari semua jenis cidera yang dialami korban
kecelakaan lalu lintas. Di Indonesia, penyebab cidera kepala terbanyak karena
kecelakaan lalu lintas dan diikuti perdarahan berkisar antara 17,63%-42,20% yang
menduduki urutan tertinggi, kemudian disusul yang kedua yaitu cidera ekstremitas
mencapai 11,8% (Wahyudi, 2012).
Cedera kepala mencakup trauma pada kulit kepala, tengkorak (kranium dan
tulang wajah), atau otak. Keparahan cedera berhubungan dengan tingkat
kerusakan awal otak dan patologi sekunder yang terkait (Stillwell, 2011).
Cedera kepala ringan adalah cidera karena tekanan atau kejatuhan benda-
benda tumpul yang dapat menyebabkan hilangnya fungsi neurologi sementara
atau menurunnya kesadaran sementara, mengeluh pusing nyeri kepala tanpa
adanya kerusakan lainnya (Triyanto, 2013). Cedera kepala ringan biasanya pasien
sadar, mungkin memiliki riwayat periode kehilangan kesadaran. Amnesia
retrogradterhadap peristiwa sebelum kecelakaan cukup signifikan (Grace &
Borley, 2006). Cedera primer terjadi bersamaan dengan dampak dari gaya
akselerasi-deselerasi atau gaya rotasi, dan mencakup fraktur, gegar, kontusio, dan
laserasi. Efek cidera pada jaringan otak dapat berupa fokal atau difus. Cedera
sekunder dapat dimulai pada saat trauma terjadi atau pada waktu setelahnya.
Cedera sekunder mencakup respon selular dan respon biokimia terhadap trauma
serta penyakit sistemik yang memperburuk cidera primer dan menyebabkan
kerusakan SSP tambahan. Cedera sekunder meliputi gangguan akson, hematoma,
hipertensi intrakranial, infeksi SSP, hipotensi, hipertermia,hipoksemia, dan
hiperkapnia. Setiap usaha harus dilakukan untuk mencegah atau mengontrol
cedera sekunder, yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas (Stillwell, 2011).
Perubahan organik atau kerusakan serabut saraf otak, edema otak dan
peningkatan tekanan intrakranial karena sirkulasi serebral yang tidak adekuat
mengakibatkan terjadinya nyeri (Black & Hawks, dalam Tarwoto, 2012). Nyeri
kepala pada pasien tentu menimbulkan perasaan tidak nyaman dalam hal ini akan
berpengaruh terhadap aktivitasnya, tidak terpenuhinya kebutuhan dasar, bahkan
dapat berdampak pada faktor psikologis, seperti: menarik diri, menghindari
percakapan, dan menghindari kontak dengan orang lain (Potter & Perry, 2006).
Nyeri merupakan bentuk ketidaknyamanan yang didefinisikan dalam berbagai
perspektif. Asosiasi Internasional untuk penilaian nyeri (Internasional Association
for the Study of Pain, IANSP, 1979) mendefinisikan nyeri adalah suatu sensori
subjektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan
kerusakan jaringan yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan
jaringan yang actual, potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian saat
terjadi kerusakan Smeltzer (2002 dalam Andarmoyo, 2013).
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat kerusakan jaringan yang aktual dan potensial. Nyeri adalah alasan utama
seseorang untuk mencari bantuan perawatan kesehatan (Stanley & Beare, 2007).
Salah satu tindakan non farmakologi untuk mengurangi nyeri kepala yaitu dengan
memberikan bantal pada leher, yang diharapkan dapat menurunkan kontraksi otot-
otot leher sehingga nyeri kepala bisa berkurang. Penatalaksanaan nyeri kepala
pada cedera kepala ringan dapat dilakukan dengan pemberian obat-obatan
(farmakologis) meskipun manfaatnya relatif terbatas. Selain itu dapat dilakukan
upaya non farmakologis seperti kompres hangat, traksi leher, colar, dan bantal
pada leher yang mempunyai tujuan untuk mengurangi kontraksi otot-otot leher
yang secara sekunder bisa meningkatkan masalah nyeri (Japardi, 2002).
Dari data dan alasan diatas, maka diperlukan peningkatan kualitas pelayanan
kesehatan. Sehingga perawat dituntut untuk dapat berperan dalam menangani
masalah yang timbul pada pasien dengan CKR. Untuk itu pada kesempatan
seminar akhir stase keperawatan medikal bedah ini, penulis mengadakan tinjauan
kasus dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Tn. N Dengan Diagnosa
Medis Ckr 456 Tanpa Perdarahan Intrakranial + Post Op Achbar”
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja pengkajian pada pasien dengan diagnosa medis Cedera Kepala
Ringan ?
2. Apa saja diagnosa keperawatan pada pasien dengan diagnosa medis
Cedera Kepala Ringan ?
3. Apa saja rencana intervensi keperawatan pada pasien dengan diagnosa
medis Cedera Kepala Ringan?
4. Bagaimana tindakan keperawatan pada pasien dengan diagnosa medis
Cedera Kepala Ringan?
5. Bagaimana evaluasi keperawatan pada pasien dengan diagnosa medis
Cedera Kepala Ringan ?
6. Apa saja dokumentasi keperawatan pada pasien dengan diagnosa medis
Cedera Kepala Ringan?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Melakukan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan diagnosa medis
Cedera Kepala Ringan
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Melakukan pengkajian pada pasien dengan diagnosa medis Cedera
Kepala Ringan
2. Melakukan perumusan diagnosa keperawatan pada pasien dengan
diagnosa medis Cedera Kepala Ringan
3. Menyusun rencana intervensi keperawatan pada pasien dengan
diagnosa medis Cedera Kepala Ringan
4. Melakukan tindakan keperawatan pada pasien dengan diagnosa medis
Cedera Kepala Ringan
5. Melakukan evaluasi keperawatan pada pasien dengan diagnosa medis
Cedera Kepala Ringan
6. Melakukan dokumentasi keperawatan pada pasien dengan diagnosa
medis Cedera Kepala Ringan.
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teoritis
a. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai tambahan pengetahuan bagi mahasiswa keperawatan
dalam rangka peningkatan pengetahuan berkaitan dengan penyakit Cedera
Kepala Ringan.
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Bagi Klien
Meningkatkan pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan klien
tentang penyakit Cedera Kepala Ringan
b. Bagi Perawat
Sebagai salah satu tambahan pengetahuan dalam memberikan
asuhan keperawatan pada Cedera Kepala Ringan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KONSEP PENYAKIT


2.1.1 Definisi
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma)
yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan
struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat,
2009). Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif,
tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, &
Thomas, 2006).
Cedera kepala atau trauma kepala adalah cedera yang terjadi pada
tulang tengkorak, otak atau keduanya disertai atau tanpa disertai adanya
kerusakan struktur otak. Cedera kepala dapat bersifat primer atau sekunder.
Cedera primer adalah cedera yang menimbulkan kerusakan langsung setelah
cedera terjadi misalnya fraktur tengkorak, laserasio, kontusio. Sedangkan
cedera kepala sekunder merupakan efek lanjut dari cedera primer seperti
perdarahan intrakranial, edema serebral, peningkatan intrakranial, hipoksia,
dan infeksi (Hickey, 2003).
2.1.2 Jenis Cedera Kepala
Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi (area) dimana
terjadi trauma (Sastrodiningrat, 2009). Cedera yang tampak pada kepala
bagian luar terdiri dari dua, yaitu secara garis besar adalah trauma kepala
tertutup dan terbuka. Trauma kepala tertutup merupakan fragmen- fragmen
tengkorak yang masih intak atau utuh pada kepala setelah luka. The Brain
and Spinal Cord Organization 2009, mengatakan trauma kepala tertutup
adalah apabila suatu pukulan yang kuat pada kepala secara tiba-tiba
sehingga menyebabkan jaringan otak menekan tengkorak.
Trauma kepala terbuka adalah yaitu luka tampak luka telah
menembus sampai kepada dura mater. (Anderson, Heitger, and Macleod,
2006). Kemungkinan kecederaan atau trauma adalah seperti berikut :
a. Fraktur
Menurut American Accreditation Health Care Commission,
terdapat 4 jenis fraktur yaitu simple fracture, linear or hairline
fracture, depressed fracture, compound fracture. Pengertian dari setiap
fraktur adalah sebagai berikut:
1) Simple : retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit
2) Linear or hairline: retak pada kranial yang berbentuk garis
halus tanpa depresi, distorsi dan ‘splintering’.
3) Depressed: retak pada kranial dengan depresi ke arah otak.
4) Compound : retak atau kehilangan kulit dan splintering pada
tengkorak. Selain retak terdapat juga hematoma subdural
(Duldner, 2008).
b. Luka Memar (Kontosio)
Luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan
dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke
jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna
merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi apabila otak menekan
tengkorak. Biasanya terjadi pada ujung otak seperti pada frontal,
temporal dan oksipital. Kontusio yang besar dapat terlihat di CT-Scan
atau MRI (Magnetic Resonance Imaging) seperti luka besar. Pada
kontusio dapat terlihat suatu daerah yang mengalami pembengkakan
yang di sebut edema. Jika pembengkakan cukup besar dapat
mengubah tingkat kesadaran (Corrigan, 2004).
c. Laserasi (Luka robek atau koyak)
Luka laserasi adalah luka robek tetapi disebabkan oleh benda
tumpul atau runcing. Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan
oleh benda bermata tajam dimana lukanya akan tampak rata dan
teratur. Luka robek adalah apabila terjadi kerusakan seluruh tebal kulit
dan jaringan bawah kulit. Luka ini biasanya terjadi pada kulit yang ada
tulang dibawahnya pada proses penyembuhan dan biasanya pada
penyembuhan dapat menimbulkan jaringan parut.
d. Abrasi
Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial.
Luka ini bisa mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak
sampai pada jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena
banyak ujung-ujung saraf yang rusak.
e. Avulsi
Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit
terkelupas,tetapi sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial.
Dengan kata lain intak kulit pada kranial terlepas setelah kecederaan
(Mansjoer, 2000).
Jenis cedera kepala berdasarkan berat ringannya cedera kepala
Menurut Perhimpunan Dokter Ahli Saraf Indonesia (Perdossi) (2006,
dalam Tarwoto, 2012). cedera kepala berdasarkan berat ringannya
dikelompokkan:
1) Cedera kepala minimal (simple head injury)
Kriteria cedera kepala ini adalah nilai GCS 15, tidak ada
penurunan kesadaran, tidak ada amnesia post trauma dan tidak ada
defisit neurologi.
2) Cedera kepala ringan (mild head injury)
Kategori cedera kepala ini adalah nilai GCS antara 13-15, dapat
terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tidak terdapat
fraktur tengkorak, kontusio atau hematoma dan amnesia post
trauma kurang dari 1 jam.
3) Cedera kepala sedang (moderate head injury)
Pada cedera kepala ini nilai GCS antara 9-12 atau GCS lebih dari
12 akan tetapi ada lesi operatif intrakranial atau abnormal CT Scan,
hilang kesadaran antara 30 menit sampai dengan 24 jam, dapat
disertai fraktur tengkorak, dan amnesia post trauma 1 sampai 24
jam.

4) Cedera Kepala Berat (severe head injury)


Kategori cedera kepala ini adalah nilai GCS antara 3-8, hilang
kesadaran lebih dari 24 jam, biasanya disertai kontusio, laserasi
atau adanya hematoma, edema serebral dan amnesia post trauma
lebih dari 7 hari.

2.1.3 Mekanisme Cedera Kepala


Organ otak dilindungi oleh rambut kepala, kulit kepala, tulang
tengkorak, dan meningen atau lapisan otak, sehingga secara fisiologis
efektif terlindungi dari trauma atau cedera. Cedera kepala terjadi karena
adanya benturan atau daya yang mengenai kepala kepala secara tiba-tiba
(Black & Hawks, 2009). Cedera kepala dapat terjadi melalui 2 mekanisme,
yaitu ketika kepala secara langsung kontak dengan benda atau obyek dan
mekanisme akselerasi-deselerasi. Akselerasi merupakan mekanisme cedera
kepala yang terjadi ketika kepala bergerak membentur benda yang diam
(Hickey, 2003).
Menurut Dollan et al (1996, dalam Tarwoto, 2012) ketika benturan
terjadi, energi kinetik diabsorbsi oleh kulit kepala, tulang tengkorak, dan
meningen, sedangkan sisa energi yang ada akan hilang pada bagian atas
otak. Namun demikian jika nergi atau daya yang dihasilkan lebih besar dari
kekuatan proteksi maka akan menimbulkan kerusakan pada otak.
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala, dibagi menjadi cedera
kepala primer dan cedera kepala skunder. Cedera kepala primer merupakan
cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian cedera. Cedera ini
umumnya menimbulkan kerusakan pada tengkorak, otak, pembuluh darah,
dan struktur pendukungnya (Cunning & Houdek, 1998). Menurut LeJeune
(2002, dalam Tarwoto, 2012) cedera kepala sekunder merupakan proses
lanjutan dari cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik. Pada
cedera kepala sekunder pasien mengalami hipoksia, hipotensi, asidosis, dan
penurunan suplay oksigen otak. Lebih lanjut keadaan ini menimbulkan
edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai adanya
penurunan kesadaran, muntah proyektil, papilla edema, dan nyeri kepala.

2.1.4 Pathofisiologi Cedera Kepala


Menurut Iskandar (2004, dalam Tarwoto 2012) cedera kepala akan
memberikan gangguan yang sifatnya lebih kompleks bila dibandingkan
dengan trauma pada organ tubuh lainnya. Hal ini disebabkan karena struktur
anatomik dan fisiologik dari isi ruang tengkorak yang majemuk, dengan
konsistensi cair, lunak dan padat yaitu cairan otak, selaput otak, jaringan
saraf, pembuluh darah dan tulang. Cedera otak dibedakan atas kerusakan
primer dan sekunder :
1. Kerusakan primer, yaitu kerusakan otak yang timbul pada saat
cedera, sebagai akibat dari kekuatan mekanik yang menyebabkan
deformasi jaringan. Kerusakan dapat berupa fokal atau difus.
2. Kerusakan sekunder, yaitu kerusakan otak yang timbul akibat
komplikasi dari kerusakan primer termasuk kerusakan oleh karena
hipoksia, iskemia, pembengkakan otak, peninggian TIK,
hidrosefalus dan infeksi. Berdasarkan mekanismenya kerusakan ini
dapat dikelompokkan atas dua, yaitu kerusakan hipoksi-iskemi
menyeluruh dan pembengkakan otak menyeluruh.
Fokus utama penatalaksanaan pasien-pasien yang mengalami cedera
kepala adalah mencegah terjadinya cedera otak sekunder. Pemberian
oksigenasi dan memelihara tekanan darah yang baik dan adekuat untuk
mencukupi perfusi otak adalah hal yang paling utama dan terutama untuk
mencegah dan membatasi terjadinya cedera otak sekunder.
2.1.5 Penatalaksanaan Cedera Kepala
Dollan et al (1996, dalam Tarwoto, 2012) mengemukakan bahwa
prinsip penatalaksanaan cedera kepala adalah memperbaiki perfusi jaringan
serebral, karena organ otak sangat sensitif terhadap kebutuhan oksigen dan
glukosa. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan glukosa diperlukan
keseimbangan antara suplay dan demand yaitu dengan meningkatkan suplai
oksigen dan glukosa otak. Untuk meningkatkan suplai oksigen di otak dapat
dilakukan melalui tindakan pemberian oksigen, mempertahankan tekanan
darah dan kadar hemoglobin yang normal. Sementara upaya untuk
menurunkan kebutuhan (demand) oksigen otak dengan cara menurunkan
laju metabolisme otak seperti menghindari keadaan kejang, stres, demam,
suhu lingkungan yang panas, dan aktivitas yang berlebihan.
Menurut Denise (2007, dalam Tarwoto, 2012) kestabilan oksigen
dan glukosa otak juga perlu diperhatikan tekanan intrakranial dengan cara
mengontrol cerebral blood flow (CBF) dan edema serebri. Keadaan CBF
ditentukan oleh berbagai faktor seperti tekanan darah sistemik, cerebral
metabolic rate dan PaCO2. Pada keadaan hipertensi menyebabkan
vasokontriksi pembuluh darah otak hal ini akan menghambat oksigenasi
otak. Demikian juga pada peningkatan metabolisme akan mengurangi
oksigenasi otak karena kebutuhan oksigen meningkat. Disamping itu,
pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema sereral memperbaiki
metabolism otak dan mengurangi gejala penyerta nya seperti nyeri kepala
sangat diperlukan.
2.1.6 Penyebab Trauma Kepala
a) Mekanisme Terjadinya Kecederaan
Beberapa mekanisme yang timbul terjadi trauma kepala adalah
seperti translasi yang terdiri dari akselerasi dan deselerasi.
Akselerasi apabila kepala bergerak ke suatu arah atau tidak
bergerak dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat searah dengan
gerakan kepala, maka kepala akan mendapat percepatan
(akselerasi) pada arah tersebut. Deselerasi apabila kepala bergerak
dengan cepat ke suatu arah secara tiba-tiba dan dihentikan oleh
suatu benda misalnya kepala menabrak tembok maka kepala tiba-
tiba terhenti gerakannya. Rotasi adalah apabila tengkorak tiba-tiba
mendapat gaya mendadak sehingga membentuk sudut terhadap
gerak kepala. Kecederaan di bagian muka dikatakan fraktur
maksilofasial (Sastrodiningrat, 2009).
b) Penyebab Trauma Kepala
Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama
trauma kepala adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan
lalu lintas sebanyak 20%, karena disebabkan kecelakaan secara
umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan akibat
ledakan di medan perang merupakan penyebab utama trauma
kepala (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap
pasien trauma kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per100.000
populasi. Kekerasan adalah penyebab ketiga rawat inap pasien
trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000 populasi di
Amerika Serikat ( Coronado, Thomas, 2007). Penyebab utama
terjadinya trauma kepala adalah seperti berikut :
a. Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan
bermotor bertabrakan dengan kenderaan yang lain atau benda
lain sehingga menyebabkan kerusakan atau kecederaan kepada
pengguna jalan raya (IRTAD, 1995).
b. Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun
atau meluncur ke bawah dengan cepat karena gravitasi bumi,
baik ketika masih di gerakan turun maupun sesudah sampai ke
tanah.
c. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal
atau perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan
cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan
fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan).
2.2 Konsep Nyeri
2.2.1 Pengertian
Nyeri merupakan bentuk ketidaknyamanan, yang didefinisikan
dalam berbagai perspektif. Asosiasi internasional untuk penelitian nyeri
(Internasional Association for the Study of Pain, IASP, 1979)
mendefinisikan nyeri adalah suatu sensori subjektif dan pengalaman
emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan
yang aktual, potensial, atau yang dirasakan dalam kejadian- kejadian saat
terjadi kerusakan Smeltzer (2002, dalam Andarmoyo, 2013).
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat kerusakan jaringan yang aktual dan potensial. Nyeri
adalah alasan utama seseorang untuk mencari bantuan perawatan
kesehatan (Stanley & Beare, 2007).
2.2.2 Proses terjadinya nyeri
Stimulus nyeri: biologis, zat kimia, panas, listrik serta mekanik

Stumulus nyeri menstimulasi nosiseptor di perifer

Implus nyeri diteruskan oleh saraf afferent (A-delta dan C) ke


medulla spinalis melalui dorsal gelatinosa
Imlus bersinapsis di substansi glatinosa (lamina I dan II)
Implus melewati traktus spinothalamus

Implus masuk ke formation impuls langsung masuk


Retikularis ke thalamus

System limbik Fast

Pain

Slow pain

- Timbul respon emosi

- Respon otonom : TD meningkat, keringat dingin

Gambar. Proses terjadinya nyeri


2.2.3 Fisiologi Nyeri
Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi, dan perilaku.
Cara yang paling baik utuk memahami pemahaman nyeri, akan
membantu untuk menjelaskan tiga komponen fisiologis berikut, yakni:
resepsi, persepsi, dan reaksi. Stimulus penghasil nyeri mengirimkan
impuls melalui serabut saraf perifer. Serabut nyeri memasuki medula
spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya
sampai di dalam massa abu-abu di medula spinalis (Andarmoyo,
2013).
Terdapat pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel-sel saraf
inhibitor, mencegah stimulus nyeri sehingga tidak mencapai otak atau
ditransmisi tanpa hambatan ke korteks serebral. Sekali stimulus nyeri
mencapai stimulus korteks serebral, maka otak menginterpretasi
kualitas nyeri dan memproses informasi tentang pengalaman dan
pengetahuan yang lalu serta asosiasi kebudayaan dalam upaya
mempersepsikan nyeri (Supriyansyah, (2013), dalam Potter & Perry,
2006).
a. Resepsi
Semua kerusakan seluler, yang disebabkan oleh stimulus
termal, mekanik, kimiawi, atau stimulus listrik menyebabkan
pelepasan substansi yang menghasilakan nyeri. Pemaparan
terhadap panas atau dingin, tekanan, friksi, dan zat-zat kimia
menyebabkan pelepasan substansi, seperti histamin, bradikinin dan
kalium, yang bergabung dengan lokasi reseptor di nosiseptor
(reseptor yang berespon terhadap stimulus yang membahayakan)
untuk memulai transmisi neural, yang terkait dengan nyeri (Clancy
dan McVicar (1992), dalam Potter & Perry, 2006).
Apabila kombinasi dengan reseptor nyeri mencapai ambang
nyeri (tingkat intensitas stimulus minimum yang dibutuhkan untuk
membangkitkan suatu impuls saraf), kemudian terjadi aktivasi
neuron nyeri. Karena terdapat variasi dalam bentuk dan ukuran
tubuh, maka distribusi reseptor nyeri di setiap bagian tubuh
bervariasi. Hal ini menjelaskan subjektivitas anatomis terhadap
nyeri. Bagian tubuh tertentu pada individu yang berbeda lebih atau
kurang sensitif terhadap nyeri. Selain itu, individu memiliki
kapasitas produksi substansi penghasil nyeri yang berbeda-beda,
yang dikendalikan oleh gen individu itu sendiri (Clancy & McVicar
(1992), dalam Potter & Perry, 2006).
b. Neuroregulator
Neuroregulator atau substansi yang mempengaruhi
transmisi stimulus saraf memegang peranan yang penting dalam
suatu pengalaman nyeri. Substansi ini ditemukan dilokasi
nosiseptor, diterminal saraf di dalam kornu dorsalis pada medulla
spinalis. Neuroregulator dibagi menjadi dua kelompok, yakni
neurotransmitter dan neuromodulator. Neurotrasmitter, seperti
substansi P mengirim impuls listrik melewati celah sinaps diantara
dua serabut saraf. Serabut saraf tersebut adalah serabut eksisator
atau inhibitor. Neuromodulator memodifikasi aktivitas neuron dan
menyesuaikan atau memvariasikan transmisi stimulus nyeri tanpa
secara langsung mentransfer tanda saraf melalui sebuah sinaps
(Potter & Perry, 2006)
c. Teori pengontrol nyeri (Gate Control)
Impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme
pertahanan disepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan
bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan
impuls dihambat saat pertahanan ditutup. Upaya menutup
pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri
(Melzack dan Wall (1965), dalam Potter & Perry, 2006).
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan
serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan.
Neuron delta-A dan C melepaskan substansi P untuk mentransmisi
impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat
mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat
yang melepaskan neurontransmiter penghambat. Apabila masukan
dominan berasal dari serabut beta-A, akan menutup mekanisme
pertahanan. Mekanisme penutupan ini diyakini dapat terlihat saat
seseorang menggosok punggung kien dengan lembut. Pesan yang
dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan
yang dominan berasal serabut beta-A dan C maka akan membuka
pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri.
Bahkan, jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat
kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri (Potter &
Perry, 2006).
Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti
endorphine dan dinofrin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal
dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan
dengan menghambat pelepasan substansi P. Teknik distraksi,
konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk
melepaskan endorphine (Potter & Perry, 2006).
d. Presepsi
Presepsi merupakan titik kesadaran seseorang terhadap
nyeri. Stimulus nyeri ditransmisikan naik ke medulla spinalis ke
thalamus dan otak tengah. Dari thalamus, serabut mentransmisikan
pesan nyeri ke berbagai area otak, termasuk korteks sensori dan
korteks limbik. Ada sel-sel di dalam sistem limbik yang diyakini
mengontrol emosi, khususnya untuk ansietas. Dengan demikian,
sistem limbik berperan aktif dalam memproses reaksi emosi
terhadap nyeri. Setelah transmisi saraf berakhir di dalam pusat otak
yang lebih tinggi, maka individu akan memperesepsikan sensasi
nyeri (Parice (1991), dalam Potter & Perry, 2006).
e. Reaksi
Reaksi terhadap nyeri merupakan respon fisiologis dan
perilaku yang terjadi setelah mempresepsikan nyeri (Potter &
Perry, 2006).
2.2.4 Manifestasi Nyeri
Tanda dan gejala nyeri ada beberapa macam prilaku yang
tercermin dari pasien, namun beberapa hal yang sering terjadi secara
umum orang yang mengalami nyeri akan didapatkan respon psikologis
berupa :
1. Suara : menangis, merintih, menarik/menghembuskan nafas
2. Ekspresi wajah : meringis, mengigit lidah, mengatupkan
gigi, dahi berkerut, tertutup rapat/membuka mata atau
mulut, menggigit bibir.
3. Pergerakan tubuh : kegelisahan, mondar-mandir, gerakan
menggosok atau berirama, gerakan melindungi bagian
tubuh, imobilisasi, dan otot tegang.
4. Interaksi sosial : menghindari percakapan dan kontak
sosial, berfokus aktivitas untuk mengurangi nyeri,
disorientasi waktu.
2.2.5 Respon Nyeri
Respon fisiologisterhadap nyeri dapat sangat membahayakan
individu. Pada saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis menuju ke
batang otak dan hipotalamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi
sebagai bagian dari respon stres. Stimulasi pada cabang simpatis pada
sistem saraf otonom menghasilkan respon fisiologis. Apabila nyeri
berlangsung terus-menerus, berat, dalam, dan melibatkan organ-organ
dalam atau visceral maka sistemsaraf simpatis akan menghasilkan
suatu aksi (Andarmoyo, 2013).
a. Respon Perilaku
Respon prilaku yang ditujukan oleh pasien sangat beragam.
Meskipun respon prilalu pasien dapat menjadi indikasi pertama
bahwa ada sesuatu yang tidak beres, respon prilaku seharusnya
tidak boleh digunakan sebagai penganti untuk mengukur nyeri
kecuali dalam stimulus yang tidak lazim dimana pengukuran tidak
memungkinkan (misal orang tersebut menderita retardasi mental
yang berat atau tidak sadar) (Andarmoyo, 2013).
2.2.6 Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Durasi
Potter & Perry, (2006) berpendapat bahwa nyeri dapat
diklasifikasikan berdasarkan durasinya dibedakan menjadi nyeri akut
dan nyeri kronik.

a) Nyeri Akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadisetelah cedera akut,
penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang
cepat, dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat)
dan berlangsung untuk waktu singkat (kurang dari 6 bulan).
b) Nyeri Kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan yang menetap sepanjang
suatu periode waktu. Nyeri kronik berlangsung lama, intensitas
yang bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan.
2.2.7 Pengukuran Intensitas Nyeri
Menurut Perry & Potter (1993) nyeri tidak dapat diukur secara
objektif misalnya dengan X-Ray atau tes darah. Namun tipe nyeri yang
muncul dapat diramalkan berdasarkan tanda dan gejala. Kadang-
kadang hanya bisa mengkaji nyeri dengan berpatokan pada ucapan dan
prilaku pasien, serta dengan pengkajian nyeri:
1. P (Pemacu) : faktor yang mempengaruhi gawat atau
ringannya nyeri
2. Q (Quality) : kualitas nyeri dikatakan seperti apa yang
dirasakan pasien misalnya, seperti diiris-iris pisau, dipukul-
pukul, disayat.
3. R (Region): Daerah perjalanan nyeri
4. S (Severity) : Keparahan atau intensitas nyeri
5. T (Time) : Lama/ waktu serangan atau frekuensi nyeri
(Hidayat, 2008).
2.2.8 Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi nyeri menurut
Potter& Perry (2006), antara lain:
a) Usia
Usia merupakan variabel penting yang mempengruhi nyeri,
khususnya pada anak dan lansia. Perbedaan perkembangan yang
ditemukan diantara kelompok usia ini dapat mempengaruhi
bagaimana anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri.
b) Jenis Kelamin
Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara makna
dalam respon terhadap nyeri. Diragukan apakah hanya jenis
kelamin saja yang merupakan suatu faktor dalam mengekspresikan
nyeri. Toleransi nyeri sejak lama telah menjadi subyek penelitian
yang melibatkan pria dan wanita, akan tetapi toleransi terhadap
nyeri dipengaruhioleh faktor-faktor biokimia dan merupakan hal
yang unik pada setiap individu tanpa memperhatikan jenis
kelamin.
c) Kebudayaan
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara
individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang
diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka
menyatakan bahwa sosialisasi budaya menentukan perilaku
psikologis seseorang. Dengan demikian, hal ini dapat
mempengaruhi pengeluaran fisiologis opiat endogen dan sehingga
terjadilah persepsi nyeri.
d) Makna Nyeri
Pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap
nyeri. Hal ini juga dikaitkan secara dekat dengan latar belakang
budaya individu tersebut. Individu akan mempersepsikan nyeri
dengan cara berbeda-beda apabila nyeri tersebut memberikan kesan
ancaman, suatu kehilangan, hukuman dan tantangan. Misalnya
seseorang wanita yang melahirkan akan mempersepsikan nyeri,
akibat cedera karena pukulan pasangannya. Derajat dan kualitas
nyeri yang dipersiapkan nyeri klien berhubungan dengan makna
nyeri.
e) Perhatian
Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang
meningkat sedangkan upaya pengalihan dihubungkan dengan
respon nyeri yang menurun. Dengan memfokuskan perhatian dan
konsentrasi klien pada stimulus yang lain, maka perawat
menempatkan nyeri pada kesadaran yang perifer. Biasanya hal ini
menyebabkan toleransi nyeri individu meningkat, khususnya
terhadap nyeri yang berlangsung hanya selama waktu pengalihan.
f) Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks.
Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga
dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas. Pola bangkitan
otonom adalah sama dalam nyeri dan ansietas. Stimulus nyeri
mengaktifkan bagian sistim limbik dapat memproses reaksi emosi
seseorang, khususnya ansietas. Sistem limbik dapat memproses
reaksi emosi seseorang terhadap nyeri, yakni memperburuk atau
menghilangkan nyeri.
g) Keletihan
Keletihan meningkatkan persepsi nyeri, rasa kelelahan
menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan
kemampuan koping. Hal ini dapat menjadi masalah umum pada
setiap individu yang menderita penyakit dalam jangka lama.
Apabila keletihan disertai kesulitan tidur, maka persepsi nyeri
terasa lebih berat dan jika mengalami suatu proses periode tidur
yang baik maka nyeri berkurang.
h) Pengalaman Sebelumnya
Pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa
individu akan menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang
akan datang. Apabila individu sejak lama sering mengalami
serangkaian episode nyeri tanpa pernah sembuh maka rasa takut
akan muncul, dan juga sebaiknya. Akibatnya klien akan lebih siap
untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk
menghilangkan nyeri
i) Gaya Koping
Pengalaman nyeri dapat menjadi suatu pengalaman yang
membuat merasa kesepian, gaya koping mempengaruhi untuk
mengatasi nyeri.
j) Dukungan Keluarga dan Sosial
Faktor lain yang bermakna mempengaruhirespon nyeri
adalah kehadiran orang-orang terdekat klien dan bagaimana siakap
mereka terhadap klien. Walaupun nyeri dirasakan, kehadiran orang
yang bermakna bagi pasien akan meminimalkan kesepian dan
ketakutan. Apabila tidak ada keluarga atau teman, seringkali
pengalaman nyeri membuat klien semakin tertekan, sebaliknya
tersedianya seseorang yang memberi dukungan sangatlah berguna
karena akan membuat seseorang merasa lebih nyaman. Kehadiran
orang tua sangat penting bagi anak-anak yang mengalami nyeri.

2.3 Konsep Asuhan Keperawatan


2.3.1 Pengkajian
Pengkajian cedera kepala meliputi keluhan utama, riwayat penyakit sekarang,
riwayat penyakit dahulu dan pengkajian psikosial (Muttaqin, 2011) :
a) Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan
tergantung seberapa jauh dampak dari trauma kepala disertai penurunan
tingkat kesadaran.
b) Riwayat penyakit sekarang
Adanya riwayat trauma mengenai kepala akibat dari kecelakaan lalu lintas,
jatuh dari ketinggian, trauma langsung ke kepala. Pengkajian yang didapat,
meliputi kesadaran menurun (GCS 14-15), konvulsi, muntah, takipnea,
sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah, luka dikepala, paralise,
akumulasi sekret pada saluran pernapasam, adanya likuor dari hidung dan
telinga serta kejang. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat
kesadaran dihubungkan dengan perubahan di dalam intracranial. Keluhan
perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit,
dapat terjadi letargik, tidak responsif dan koma.

c) Riwayat penyakit dahulu


Riwayat hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes mellitus,
penyakit jantung, anemia, penggunaan obat-obat antikoagulan, aspirin,
vasodilator, obat-obat adiktif dan konsumsi alkohol berlebihan.
d) Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita hipretensi
dan diabetes mellitus.
e) Pengkajian psikososiospritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respon
emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien
dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya, baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
Apakah ada dampak yang timbul pada klien yaitu timbul seperti ketakutan
akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas ecara optimal dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan body image). Adanya perubahan hubungan dan peran karena
klien mengalami kesulitan untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara.
Pola persepsi dan konsep diri didapatkan klien merasa tidak berdaya, tidak
ada harapan, mudah marah dan tidak kooperatif.
Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan Umum
Pada keadaan cedera kepala sedang mengalami penurunan kesadaran
dengan GCS: 9-12 dan terjadi perubahan pada tanda-tanda vital.
1. B1 (Breathing)
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi dari
perubabahan jaringan serebral akibat trauma kepala. Pada beberapa
keadaan hasil dari pemeriksaan fisik akan didapatkan:
- Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum,
sesak napas, penggunaan otot bantu napas dan peningkatan
frekuensi pernapasan. Ekspansi dada: dinilai penuh/tidak penuh dan
kesimetrisannya. Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai:
retraksi dari otot-otot interkostal, substernal, pernapasan abdomen
dan respirasi paradox (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas
paradoksal dapat terjadi jika otot-otot interkostal tidak mampu
menggerakkan dinding dada.
- Pada palpasi, fremitus menurunan dibandingkan dengan sisi yang
lain akan didapatkan jika melibatkan trauma pada rongga otak.
- Pada perkusi, adanya suara redup sampai pekak pada keadaan
melibatkan trauma pada torak/hematoraks.
- Pada auskultasi, bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi,
stridor, ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan
kemampuan batuk yang menurun.
2. B2 (Blood)
Syok hipovolemik yang sering terjadi pada klien dengan cedera
kepala sedang. Hasil pemeriksaan kardiovaskular klien cedera kepala
pada beberapa keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau
berubah, nadi bradikardi, takikardi dan aritmia. Frekuensi nadi cepat
dan lemah berhubungan dengan homeostasis dalam upaya
menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer. Nadi bradikardia
merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan
pucat menunjukkan adanya penurunan kadar hemoglobin dalam darah.
Hipotemsi menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda
awal dari syok.
3. B3 (Brain)
a) Pengakajian tingkat kesadaran
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien cedera kepala
biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, semikomatosa
sampai koma
b) Pengkajian fungsi serebral
- Status mental: observasi penampilan, tingkah laku klien,
nilai gaya bicara, ekspresi wajah dan aktivitas motorik.
- Frekuensi intelektual: penurunan dalam memori, baik
jangka pendek mauapun jangka panjang.
- Lobus frontal: kerusakan fungsi kognitif dan efek
psikologis didapatkan jika trauma kepala mengakibatkan
adanya kerusakan pada lobus frontal kapasitas, memori atau
kerusakan fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi.
Disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam lapang perhatian
terbatas, kesulitas dalam pemahanan, lupa dan kurang
motivasi. Masalah psikolgi yang umum terjadi emosi yang
labil, bermusuhan, frustasi, dendam dan kurang kerja sama.
- Hemisfer: cedera kepala yang hemisfer kiri, mengalami
hemiparase kanan, perilaku lambat dan sangat hati-hati,
kelainan bidang pandang sebelah kanan, disfasia global,
afasia dan mudah frustasi.
- Pengkajian saraf kranial
1. Saraf I : Kelainan fungsi penciuman/anosmia unilateral
atau bilateral.
2. Saraf II : Hematom palpebra, penurunan lapang
pandang dan mengganggu fungsi saraf optikus.
Perdarahan diruang intracranial. Anomali pembuluh
darah didalam otak
3. Saraf III, IV, dan VI: Gangguan mengangkat kelopak
mata. Anisokor.
4. Saraf V: Paralisis saraf trigeminis, didapatkan
penurunan kemampuan kooridnasi gerakan mengunyah.
5. Saraf VII: Persepsi pengecapan mengalami perubahan.
6. Saraf VIII: Perubahan fungsi pendengaran.
7. Saraf IX dan X: Kemampuan menelan kurang baik
dan kesulitan membuka mulut.
8. Saraf XI : Bila tidak melibatkan trauma pada leher,
mobilitas klien cukup baik serta tidak ada atrofi otot
sternokleidomastoideus dan trapezius
9. Saraf XII : Indra pengecapan mengalami perubahan.
- Pengkajian sistem motorik: Pada inspeksi umum,
didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi)
karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis
atau kelemahan salah satu sisi tubuh adalah tanda yang lain:
Tonus otot (didapatkan menurun sampai hilang), kekuatan
otot (pada penilaian dengan menggunakan tingkat kekuatan
otot didapatkan tingkat 0) dan keseimbangan dan
koordinasi (didapatkan mengalami gangguan karena
hemiparese dan hemiplegia).
- Pengkajian refleks: pemeriksaan refleks profunda,
pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum
derajat refleks pada respon normal. Pemeriksaan refleks
patologis, pada fase akut refleks fisiologi sisi lumpuh akan
menghilang,
- Pengakajian sistem sensorik : Hemihipestesi,
ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi,
disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori
primer dianatar mata dan korteksi visual, gangguan
hubungan visual-spasial sering terlihat pada klien dengan
hemiplegia kiri, kehilangan sensorik karena cedera kepala
dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih
berat dengan kehilngan propriosepsi serta kesulitan dalam
menginterprestasikan stimuli visual, taktil dan auditorius.
4. B4 (Bladder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah dan karakteristik
urine, termasuk berat jensi urine. Penurunan jumlah urine dan
peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi
pada ginjal. Setelah cedera kepala, klien mungkin mengalami
inkontinensia urine karena konfusi, kadang-kadang kontrl sfingter
urinarius eksternal hilang atau berkurang.

5. B5 (Bowel)
Kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual dan muntah
pada fase akut. Konstipasi akibat penurunan peristaltic usus.
Inkontinensia alvi yang belanjut menunjukkan kerusakan neurologis
luas. Lesi pada mulut atau perubahan pada lidah menunjukkan
dehidrasi. Pemeriksaan bising usus dilakukan observasi selama 2
menit. Penurunan motilitas usus.
6. B6 (Bone)
Disfungsi motorik paling umum adanya kelamahan pada
seluruh ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan dan turgor
kulit. Adanya perubahan warna kulit; warna kebiruan menunjukkan
sianosis. Pucat pada wajah dan membrane mukosa dapat berhubungan
dengan rendahnya kadar hemoglobin atau syok. Pucat dan sianosis
pada klien yang menggunakan ventilator dapat terjadi akibat
hipoksemia. Warna kemerahan pada kulit menunjukkan demam dan
infeksi. Integritas kulit adanya lesi dan dekubitus. Adanya kesulitas
beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau
paralise/hemiplegi, mudah lelah.
2.3.2 Diagnosa Keperawatan
a. Risiko ketidakefektifan perfusi serebral berhubungan dengan trauma
kepala (Doenges, et al, 2013).
b. Risiko ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kerusakan
neuromuscular (Doenges, et al, 2013).
c. Risiko konfusi kronik berhubungan dengan injuri kepala (Doenges, et
al, 2013).
d. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan
otot, gangguan kogntif dan gangguan sensori persepsi (Doenges, et al,
2013).
e. Risiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan, prosedur invasive
dan malnutrisi (Doenges, et al, 2013).
f. Risiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan (Doenges, et
al, 2013).
g. Gangguan proses keluarga berhubungan dengan krisis situasi (Doenges,
et al, 2013).
h. Defisit pengetahuan mengenai kondisi, prognosis, potensial komplikasi,
pengobatan, perawatan diri (Doenges, et al, 2013).
i. Kebingungan akut berhubungan dengan cedera otak traumatic,
hospitalisasi dilingkungan yang asing, pengaruh obat-obat yang
diberikan (Black dan Hawks, 2014).
j. Defisit kelebihan volume cairan berhubungan dengan kebutuhan untuk
resusitas cairan (Black dan Hawks, 2014).
k. Nyeri akut atau kronis berhubungan dengan cedera (Black dan Hawks,
2014).
l. Defisit perawatan diri: mandi/keberishan, berpakaian/berdandan,
makan, kebersihan oral, toilet (Black dan Hawks, 2014).
m. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring yang lama
(Black dan Hawks, 2014).
n. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak
traumatic (Black dan Hawks, 2014).
o. Gangguan harga diri berhubungan dengan perubahan kemampuan fisik,
kemampuan mentak dan penampilan (Black dan Hawks, 2014).
p. Ketergantungan peran pemberi asuhan berhubungan dengan upaya
untuk merawat klien, anggota keluarga dan menjalankan rumah tangga
(Black dan Hawks, 2014).

2.3.3 Rencana Keperawatan


a. Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan cedera kepala
(SDKI, 2017)
Tujuan:
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama x24 jam perfusi serebral
meningkat
Kriteria Hasil (SLKI, 2019
1) Tingkat kesadaran meningkat
2) TIK menurun
3) Sakit kepala menurun
4) Gelisah menurun
5) Nilai rata-rata tekanan darah membaik
6) Kesadaran membaik
Tindakan (SIKI, 2018):
Observasi:
1) Identifikasi penyebab peningkatan TIK
2) Monitor tanda/gejala peningkatan TIK
3) Monitor MAP, CVP, PAWP, PAP, ICP, CPP
4) Monitor status pernapasan
5) Monitor intake dan output cairan
Terapeutik:
1) Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang
tenang
2) Berikan posisi semi fowler
3) Hindari maneuver valsava
4) Cegah terjadinya kejang
5) Pertahankan suhu tubuh normal
Kolaborasi:
1) Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konvulsan, jika perlu
2) Kolaborasi pemberian diuretic osmosis, jika perlu
3) Kolaborasi pemberian pelunak tinja, jika perlu

b. Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi di


tandai dengan edema (SDKI, 2017)
Tujuan :
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama x24 jam keseimbangan cairan
meningkat.

Kriteria Hasil (SLKI, 2019):


1) Asupan cairan meningkat
2) Haluaran urin meningkat
3) Kelembapan membram mukosa meningkat
4) Edema menurun
5) Dehidrasi menurun
6) Tekanan darah membaik
7) Denyut nadi radial membaik
8) Tekanan arti rata-rata membaik
9) Membrane mukosa membaik
10) Mata cekung membaik
11) Turgor kulit membaik
Tindakan (SIKI, 2018) :
Observasi
1) Periksa tanda dan gejala hypervolemia
2) Identifikasi penyebab hypervolemia
3) Monitor status hemodinamik
4) Monitor intake dan output cairan
5) Monitor tanda hemokonsentrasi
6) Monitor tanda peningkatan tekanan onkotik plasma
7) Monitor kecepatan infus secara ketat
8) Monitor efek samping diuretic
Terapeutik
1) Timbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama
2) Batasi asupan cairan dan garam
3) Tinggikan kepala tempat tidur 30-40˚
Edukasi
1) Anjurkan melapor jika haluaran urin <0,5mL/kh/jam dalam 6 jam
2) Anjurkan melapor jika BB bertambah >1 kg dalam sehari
3) Ajarkan cara mengukur dan mencatat asupan dan haluaran cairan
4) Ajarkan cara membatasi cairan
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian diuretic
2) Kolaborasi penggantian kehilangan kalium alibat diuretic
3) Kolaborasi pemberian continuous renal replacement therapy
(CRRT), jika perlu

c. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan


kekurangan/kelebihan volume cairan
Tujuan :
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama x24 jam diharapkan integritas kulit
dan jaringan meningkat
Kriteria Hasil :
1) Kerusakan jaringan menurun
2) Kerusakan kulit menurun
Tindakan :
Observasi
1) Monitor karakteristik luka
2) Monitor tanda-tanda infeksi
Terapeutik
1) Lepaskan balutan dan plester secara perlahan
2) Cukur rambut daerah luka, jika perlu
3) Bersihkan dengan cairan NaCl atau pembersih nontoksik,
sesuai kebutuhan
4) Bersihkan jaringan nekrotik
5) Berikan salep yang sesuai ke kulit/lesi, jika perlu
6) Pasang balutan sesuai jenis luka
7) Pertahankan tehnik steril saat melakukan perawatan luka
8) Ganti balutan sesuai jumlah eksudat dan drainase
9) Jadwalkan perubahan posisi setiap 2 jam atau sesuai kondisi
pasien
10) Berikan diet dengan kalori 30-35 kkal/kgBB/hari dan
protein 1,25-1,5 g/kgBB/hari
11) Berikan suplemen vitamin dan mineral sesuai indikasi
12) Berikan terapi TENS (stimulasi saraf transcutaneous), jika
perlu
Edukasi
1) Jelaskan tanda dan gejala infeksi
2) Anjurkan mengkomsumsi makanan tinggi kalori dan protein
3) Ajarkan prosedur merawat luka secara mandiri
Kolaborasi
1) Kolaborasi prosedur debridement, jika perlu
2) Kolaborasi pemberian antibiotic, jika perlu
4) Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer yang
tidak adekuat
Tujuan :
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama x24 jam diharapkan tingkat infeksi
menurun
Kriteria Hasil :
1) Demam menurun
2) Kemerahan menurun
3) Nyeri menurun
4) Bengkak menurun
5) Kadar sel darah putih membaik
Tindakan :
Obervasi
1) Monitor tanda dan gejala infeksi local dan sistemik
Terapeutik
1) Batasi jumlah pengunjung
2) Berikan perawatan kulit pada area edema
3) Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien
4) Pertahankan teknik aseptic pada pada pasien berisiko tinggi
Edukasi
1) Jelaskan tanda dan gejala infeksi
2) Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
3) Ajarkan etika batuk
4) Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
5) Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
6) Anjurkan meningkatan asupan cairan
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian imuniasi, jika perlu
BAB 3
LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN
3.1.1 PENGUMPULAN DATA
I. BIODATA
3.2 IMPLEMENTASI BERSIHAN JALAN NAFAS
NAMA &
NO. TANGGAL JAM TINDAKAN KEPERAWATAN TANDA
TANGAN
1. 01 Oktober 09.00 1. Melakukan komunikasi terapeutik Kelompok 09
2019 2. Mencuci tangan sebelum dan sesudah
melakukan tindakan
10.00 3. Mengkaji Frekuensi Nafas
RR : 32x/menit SPO2 : 97%
4. Melakukan auskultasi bagian dada
anterior dan posterior untuk mengetahui
penurunan ventilasi atau adanya suara
nafas tambahan
Ronchi (+/+) Wheezing (-/-)
5. Mengkaji adanya sekret yang kental dan
batuk tidak efektif
- Sekret berwarna putih kental
- Batuk tidak efektif mengeluarkan
sekret
6. Menginformasikan kepada keluarga
tentang larangan merokok di RS
7. Mengajarkan keluarga tentang makna
perubahan sputum seperti warna,
11.00 karakter, jumlah
8. Memberikan terapi yang tepat
- IUFD D5 1/2 NS 1250cc/24 jam
- Syringe pump Aminopilin 12 mg/jam
- Inj. Cefotaxim 3x400mg
- Inj. Chlorampenicol 3x200mg
- Inj. Dexametason 3x1/2 amp
- Inj. Antrain 3x125mg
- P.O Ikalep 2xcth ½
12.00 - Puyer ambroxol/sabutamol 3x1
9. Menganjurkan posisi klien dengan aman
dan nyaman.
12.15 -posisi telentang dengan ganjalan 1 bantal
10. Menganjurkan aktifitas fisik untuk
memfalidasi pengeluaran sekret
- Nebuliser 4x1 hari denga dosis 1,5
Combivent dan 1,5 pz (pengencer)
2. 02 Oktober 08.00 1. Melakukan komunikasi terapeutik
2. Mencuci tangan sebelum dan sesudah
2019
melakukan tindakan
3. Mengkaji Frekuensi Nafas
09.00 RR : 29x/menit SPO2 : 98%
4. Melakukan auskultasi bagian dada anterior
dan posterior untuk mengetahui penurunan
10.00
ventilasi atau adanya suara nafas tambahan
Ronchi (+/+) Wheezing (-/-)
5. Mengajarkan keluarga tentang makna
perubahan sputum seperti warna, karakter,
jumlah
6. Menganjurkan posisi klien dengan aman
dan nyaman
- Posisi telenteng dengan ganjalan 1
bantal
7. Menganjurkan Menganjurkan aktifitas
fisik untuk memfalidasi pengeluaran sekret
- Nebuliser 4x1 hari denga dosis 1,5
Combivent dan 1,5 pz (pengencer)
12.00
8. Mengkaji adanya sekret yang kental dan
batuk tidak efektif
- Sekret berwarna putih kental
- Batuk tidak efektif mengeluarkan
sekret
12.15
1. Membina hubungan saling percaya
- Memperkenalkan perawat jaga
2. Mencuci tangan sebelum melakukan
tindakan
3. Memberikan terapi yang tepat sesui
3. 03 Oktober 08.00 advice dokter
2019 - IUFD D5 1/2 NS 1250cc/24 jam
- Inj. Cefotaxim 3x400mg
- Inj. Chlorampenicol 3x200mg
09.00 - Inj. Antrain 3x125mg
- P.O Ikalep 2xcth ½
- Puyer ambroxol/sabutamol 3x1
4. Melakukan auskultasi dada anterio dan
posterior untuk mengetahui adanya suara
nafas tambahan
Ronchi
+ +
- -
10.00
-
Wheezing
- -
- -
-
5. Menganjurkan aktifitas fisik memfalidasi
pengeluaran secret
- Nebuliser combivent 1,5 cc dengan
pengencer pz 1,5 cc
6. Mengkaji adanya secret yang kental dan
batuk tidak efektif
- Batuk berkurang
- Secret sedikit dengan warna putih

12.00 kental
7. Mengkaji frekuensi nafas
- RR : 26x/menit

12.10

IMPLEMENTASI GANGGUAN PERFUSI JARINGAN CEREBRAL


NO TANGGAL JAM TINDAKAN KEPERAWATAN NAMA &
TANDA
TANGAN
1. 01 Oktober 10.30 1. Mengobservasi pupil dan tanda-tanda Kelompok 09
2019 vital
- Pupil mendekati bawah kelopak
mata (reaksi pada cahaya +/+)
- TTV :
N : 112x/menit RR : 28x/menit
0
S : 38,3 C SPO2 : 98%
2. Mengobservasi tingkat kesadaran/ fungsi
motorik
10.45 - Keadaan umum : lemah
- Kesadaran : Composmetis
- Fungsi motorik : gaya berjalan dan
tingkah laku (-) afek datar, sering
tidur, kelumpuhan anggota badan
(+)
3. Membaringkan klien total dengan posisi
tidur terlentang dengan bantalan tipis
4. Memonitoring tanda-tanda vital seperti
suhu dan RR
11.00
- S : 37 0C - RR : 28x/menit
5. Memonitoring kadar HB dalam darah
- Tanggal 25September HB 11,5 g/dL
11.30
6. Mengkaji tonus otot pergerakan
- Skala MRC : 1 (25%) Terlihat atau
teraba getaran kontraksi otot tetatpi
tidak ada gerakan sama sekali
- CRT : 3dtk
7. Memonitor status cairan
13.00 - IUFD D5 ½ NS 1250 cc / 24jam

1. Mengobservasi pupil atau perubahan


tanda-tanda vital
- Pupil mendekati bawah kelopak
mata (reaksi pada cahaya +/+)
13.30
- TTV :
N : 102x/menit RR : 29x/menit
0
S : 37,6 C SPO2 : 98%
2. Mengobservasi tingkat kesadaran/
2. 02 Oktober 10.30
2019 fungsi motorik
- Keadaan umum : lemah
- Kesadaran : Composmetis
- Fungsi motorik : gaya berjalan dan
tingkah laku (-) afek datar, sering
tidur, kelumpuhan anggota badan
(+)
3. Memonitoring tanda-tanda vital seperti
10.40
suhu dan RR
- S : 36,9 0C - RR : 28x/menit
4. Memonitoring kadar HB dalam darah
- Tanggal 30 september HB 12,3 g/Dl
5. Mengkaji tonus otot pergerakan
- Skala MRC : 1 (25%) Terlihat atau
teraba getaran kontraksi otot tetatpi
tidak ada gerakan sama sekali
- CRT : 3dtk
6. Memonitor status cairan
11.30 - IUFD D5 ½ NS 1250 cc / 24jam
1. Mengkaji pupi dan perubahan tanda-
tanda vital
- Pupil mendekati bawah kelopak
mata (reaksi pada cahaya +/+)
- TTV :
12.00
N : 98x/menit RR : 26x/menit
S : 36,20C SPO2 : 98%
2. Mengobservasi tingkat kesadaran/
fungsi motorik
- Keadaan umum : Cukup
- Kesadaran : Composmetis
- Fungsi motorik : gaya berjalan dan
13.30
tingkah laku (-) afek datar, sering
tidur, kelumpuhan anggota badan
3. 03 Oktober 09.00
(+) tidak rewel
2019
3. Memonitoring tanda-tanda vital seperti
suhu dan RR
- S : 36 0C - RR : 26x/menit
4. Mengkaji tonus otot pergerakan
- Skala MRC : 1 (25%) Terlihat atau
teraba getaran kontraksi otot tetatpi
tidak ada gerakan sama sekali
- CRT : 2 dtk
10.00
5. Memonitor status cairan
- IUFD D5 ½ NS 1250 cc / 24jam
AFF infus klien KRS pukul 15.00

12.00

14.00

IMPLEMENTASI HIPERTERMI
NAMA & TANDA
NO TANGGAL JAM TINDAKAN KEPERAWATAN
TANGAN
1. 01 Oktober 08.00 1. Memantau hidrasi Kelompok 09
2019 - Turgor cukup, crt 3 dtk
kelembapan membran mukosa
kering
08.05 2. Memantau aktivitas kejang
- Klien kejang saat MRS kurang
lebih 7 menit, saat pindah ke
ruang nusa indah tidak ada
kejang berulang
10.30 3. Mengukur tanda-tanda vital
TTV :
N : 112x/menit RR : 28x/menit
S : 38,30C SPO2 : 98%
10.40 4. Mengajarkan keluarga mengukur
suhu dengan baik dan benar untuk
mencegah dan mengenali hipertermi
11.00 5. Mengajarkan indikasi akibat panas
dan tindakan kegawatdarurataran
yang dibutuhkan :
- Memakaikan pakaian yang
mudah menyerap keringat, tipis
serta penggunaan selimut yang
tipis
- Menggunakan waslap dengan
air hangat (hangatk kuku)
didaerah lipatan seperti ketiak,
kening, tengkuk, lipat paha
- Menganjurkan memenuhi
asupan cairan oral ( anjurkan
keluarga memberi minum
sedikit tapi sering)
- Menganjurkan tidak
menggunakan pendingin
ruangan seperti AC ataupun
kipas angin.
6. Memberikan terapi antipiretik
- Antrain 125 mg
11.00 7. Mengajarkan keluarga teknik
penurunan demam dengan
menggunakan metode tepid sponge
hangat.
- Metode penurunana demam
dengan cara menyeka tubuh
dengan air hangat. Suhu
sebelum : 38,3
- Saat hari pertama klien hanya
mendapatkan antrain untuk
penurun demam dan
penggunaan baibaifiver (30
september saat pengkajian)
2. 02 Oktober 09.00 1. Memantau aktivitas kejang
2019 - Klien kejang saat MRS kurang
lebih 7 menit, saat pindah ke
ruang nusa indah tidaj ada
kejang berulang

2. Mengukur tanda tanda vital


10.30
Mengukur tanda-tanda vital
- TTV :
N : 102x/menit RR : 29x/menit
S : 37,60C SPO2 : 98%

11.00 3. Mengajarkan keluarga mengukur


suhu dengan cara yang baik dan
benar (evaluasi)

11.20 4. Memberikan kolaborasi anti piretik


- Antrain 125 mg
5. Melakukan penurunan suhu tubuh

11.30 dengan menggunakan teknik tepid


sponge hangat
- Metode penurunan dengan cara
menyeka tubuh dengan air
hangat . suhu sebelum : 37,60C
Suhu sesudah 30 menit kompres
: 36,90C

1. Memantau Memantau aktivitas


kejang
3. 03 Oktober 08.30 - Klien kejang saat MRS kurang
2019 lebih 7 menit, saat pindah ke
ruang nusa indah tidak ada
kejang berulang

2. Mengukur tanda tanda vital


- TTV :
N : 98x/menit RR : 26x/menit
S : 36,20C SPO2 : 98%
3. Mengevaluasi cara pengukuran
suhu tubuh klien rencana oulang
hari ini pukul 15.00
4. Suhu tubuh dalam batas normal
tidak diperlukan pengompresan
tepid sponge.

IMPLEMENTASI GANGGUAN INTEGRITAS KULIT


NAMA & TANDA
NO TANGGAL JAM TINDAKAN KEPERAWATAN
TANGAN
1. 01 Oktober 08.00 1. Mengubah Ubah posisi setiap 2 Kelompok 09
2019 jam.
- Menjelaskan pada keluarga
tentang tindakan tersebut
2. Mengobservasi terhadap eritema,
08.05
kepucatan dan palpasi area
sekitar, terhadap kehangatan dan
pelunakan jaringan
3. Menjaga kebersihan kulit
semisal seminimal mungkin
10.30
hindari trauma terhadap panas
dan kulit
4. Menjelaskan kepada keluarga
untuk mencuci tangan saat
10.40 memasuki dan meninggalkan
ruangan klien
5. Mencuci tangan sebelum dan
sesudah melakukan perawatan
kepada klien
6. Menganjurkan menggunakan
pakaian yang longgar dan
menyerap keringat untuk
11.00
menghindari ruam.
7. Menjaga kebersihan kulit agar
tetap bersih
8. Moleskan minyak zaitun / babby
oil pada daerah yang tertekan

1. Mengubah Ubah posisi setiap 2


jam.
- Menjelaskan pada keluarga
tentang tindakan tersebut
2. Mengobservasi terhadap eritema,
2. 02 Oktober 08.00
kepucatan dan palpasi area sekitar,
2019
terhadap kehangatan dan
pelunakan jaringan
3. Menjaga kebersihan kulit semisal
09.00 seminimal mungkin hindari trauma
terhadap panas dan kulit
4. Mencuci tangan sebelum dan
sesudah melakukan perawatan

10.00 kepada klien


5. Menganjurkan menggunakan
pakaian yang longgar dan
menyerap keringat untuk
11.00
menghindari ruam.
6. Menjaga kebersihan kulit agar
tetap bersih
7. Moleskan minyak zaitun / babby
oil pada daerah yang tertekan
1. Mengubah Ubah posisi setiap 2 jam.
- Menjelaskan pada keluarga
tentang tindakan tersebut
2. Mengobservasi terhadap eritema,
kepucatan dan palpasi area sekitar,
terhadap kehangatan dan pelunakan
12.00
jaringan
3. Menjaga kebersihan kulit semisal
3. 03 Oktober 09.00
seminimal mungkin hindari trauma
2019
terhadap panas dan kulit
4. Mencuci tangan sebelum dan
10.30 sesudah melakukan perawatan
kepada klien
5. Menjaga kebersihan kulit agar tetap
bersih
6. Moleskan minyak zaitun / babby oil
11.00
pada daerah yang tertekan.

11.20

11.30
IMPLEMENTASI GANGGUAN TUMBUH KEMBANG
NAMA & TANDA
NO TANGGAL JAM TINDAKAN KEPERAWATAN
TANGAN
1. 01 Oktober 08.00 Diagnotik : Kelompok 09
2019 (Kaji, evaluasi, observasi, monitor
ukur) :
1. Mengakaji tingkat tumbuh kembang
anak
2. Mengkaji peningkatan dalam
berespon
Terapeutik:
siapkan,mobilisasi,atur,posisi, dll
3. Melakukan stimulasi yang dapat di
08.05
capai sesuai dengan usia:
gerakan( motorik halus dan
kasar,Rom, posisi duduk,
memberikan benda yang di dapat di
capai)
10.30 4. Memberikan aktivitas yang sesuai,
menarik dan dapat dilakukan oleh
anak.
Edukatif:
(ajarkan, beritahu,jelaskan)
5. Menjelaskan pada orang tua
10.40
pentingnya melakukan stimulasi
tumbuh kembang dengan
menyesuaikan kondisi anak : seperti
perlu istirahat
6. Memberikan pendidikan kesehatan
11.00 stimulasi tumbuh kembang anak
pada keluarga
7. Memberikan motivasi dan informasi
tentang perawatan anak dengan
hydrocapalus serta dapat
memaksimalkan keadaan pasien
dengan cara kontrol ke ahli terapi
wicara ke klinik fisioterapi untuk
mencegah kontraktur otot

Diagnotik :
(Kaji, evaluasi, observasi, monitor
ukur) :
1. Mengkaji peningkatan dalam
berespon
2. 02 Oktober 09.00 Terapeutik:
(siapkan,mobilisasi,atur,posisi, dll)
2019
2. Melakukan stimulasi yang dapat di
capai sesuai dengan usia:
gerakan( motorik halus dan
kasar,Rom, posisi duduk,
10.00
memberikan benda yang di dapat
di capai)
3. Memberikan aktivitas yang sesuai,
menarik dan dapat dilakukan oleh
11.00
anak.
Edukatif:
(ajarkan, beritahu,jelaskan)
4. Memberikan pendidikan kesehatan
stimulasi tumbuh kembang anak
pada keluarga
5. Memberikan motivasi dan
informasi tentang perawatan anak
dengan hydrocapalus serta dapat
memaksimalkan keadaan pasien
dengan cara kontrol ke ahli terapi
10.30
wicara ke klinik fisioterapi untuk
mencegah kontraktur otot
Diagnotik :
(Kaji, evaluasi, observasi, monitor
ukur) :
1. Mengkaji peningkatan dalam
berespon
Terapeutik:
(siapkan,mobilisasi,atur,posisi, dll)
2. Melakukan stimulasi yang dapat di
capai sesuai dengan usia:
gerakan( motorik halus dan
3. 03 Oktober 11.00 kasar,Rom, posisi duduk,
2019 memberikan benda benda yang di
dapat di capai)
3. Memberikan aktivitas yang sesuai,
menarik dan dapat dilakukan oleh
anak.
Edukatif:
(ajarkan, beritahu,jelaskan)
11.20 4. Memberikan motivasi dan
informasi tentang perawatan anak
dengan hydrocapalus serta dapat
memaksimalkan keadaan pasien
dengan cara kontrol ke ahli terapi
wicara ke klinik fisioterapi untuk
11.30
mencegah kontraktur otot
3.3 EVALUASI
DIAGNOSA TANGGAL
NO
KEPERAWATAN 01 Oktober 2019 02 Oktober 2019 03 Oktober 2019
1. Bersihan jalan nafas S: ibu pasien S: ibu pasien S: ibu pasien mengatakan
mengatakan anaknya mengatakan anaknya batuk pilek anaknya
batuk, pilek, keluar batuk, pilek, keluar sudah berkurang
dahak sesak nafas(-), dahak sesak nafas(-), O:
sejak kamis sejak kamis  K/U : Cukup
O: O:  Kesadaran:
 K/U : Lemah  K/U : Lemah Composmentis
 Kesadaran:  Kesadaran:  N : 98x/menit
Composmentis Composmentis RR : 26x/menit
 N : 112 x/ mnt  N : 112 x/ mnt S : 36,20C
S :380 C S :380 C SPO2 : 98%
RR: 26x/Menit RR: 26x/Menit
 Frekuensi batuk klien
SpO2 : 97 % SpO2 : 97 %
sudah berkurang
 Klien Tampak  Klien Tampak
 Suara Nafas
batuk sulit untuk batuk sulit untuk
Terdengar ronchi
dikeluarkan dikeluarkan
+ + +
 Nafas dangkal  Nafas dangkal
 Suara Nafas  Suara Nafas - -
Terdengar ronchi Terdengar ronchi -
+ + + + + +
 Mendapat therapy
+ + + + nebulizer 4x sehari
+ + dengan dosis 1,5 cc
combivent ditambah
1,5 cc NaCL

A:
Bersihan jalan nafas
 Mendapat therapy  Mendapat therapy
teratasi sebagian, klien
nebulizer 4x nebulizer 4x sehari
KRS pukul 15.00 . Revisi
sehari dengan dengan dosis 1,5 cc
VP Shunt ditunda
dosis 1,5 cc combivent
menunggu kondisi klien
combivent ditambah 1,5 cc
stabil
ditambah 1,5 cc NaCL
NaCL A:
P:
A: Bersihan jalan nafas
Bersihan jalan nafas teratasi sebagian Hentikan Intervensi
teratasi sebagian P:
DIAGNOSA TANGGAL
NO
KEPERAWATAN 01 Oktober 2019 02 Oktober 2019 03 Oktober 2019
P: Lanjutkan intervensi
2. Perfusi Jaringan Lanjutkan intervensi 2-10 S: Ibu pasien
Serebral 2-10
mengatakan anaknya
S : Ibu pasien
S : Ibu pasien mengatakan anaknya tidak sesak nafas batuk
mengatakan anaknya terkena hydrocephalus berkurang
terkena sejak lahir
hydrocephalus sejak O:
lahir O:
 K/U : Cukup
 K/U : Lemah
 Vena diarea cerebral
O:  Vena diarea cerebral
melebar, kelemahan
 K/U : Lemah melebar, kelemahan
pada ekstremitas.
 Vena diarea pada ekstremitas.
 Sutura Melebar
cerebral melebar,  Sutura Melebar
 Lingkar Kepala 59 cm
kelemahan pada  Lingkar Kepala 59
Usia 3 tahun
ekstremitas. cm Usia 3 tahun
 Hasil foto scan : tanda-
 Sutura Melebar  Hasil foto scan :
tanda peningkatan
 Lingkar Kepala 59 tanda-tanda
tekanan interakranial
cm Usia 3 tahun peningkatan tekanan
kronik berupa
 Hasil foto scan : interakranial kronik
imopprresio digitae dan
tanda-tanda berupa imopprresio
erosi prosessus
peningkatan digitae dan erosi
kilonidalis posterior.
tekanan prosessus kilonidalis
posterior.  Bentuk kepala
interakranial
dolikosepalik
kronik berupa  Bentuk kepala
dolikosepalik  Perubahan respon
imopprresio digitae
motoric
dan erosi prosessus  Perubahan respon
kilonidalis motoric  Abnormalitas bicara
posterior.  Abnormalitas bicara  Klien terpasang
 Bentuk kepala oksigen saat kejang
A: (saat awal MRS)
dolikosepalik
 Perubahan respon Perfusi jaringan
A:
motoric serebral
teratasisebagian Perfusi jaringan serebral
 Abnormalitas
bicara teratasi sebagian, klien
P: KRS pukul 15.00
A:
Perfusi jaringan Lanjutkan intervensi P:
serebral 1-7
Hentikan intervensi
teratasisebagian
S : ibu pasien
mengatakan suhu
P: S: ibu pasien mengatakan
tubuh anaknya naik
Lanjutkan intervensi sejak hari sabtu klien sudah tidak demam
DIAGNOSA TANGGAL
NO
KEPERAWATAN 01 Oktober 2019 02 Oktober 2019 03 Oktober 2019
1-7 sejak semalam
O:
3. Hipertermi  Klien tampak lemas O:
S : ibu pasien
dan pucat  Keadaan umum klien
mengatakan suhu
 Suhu tubuh : 38,30 C cukup
tubuh anaknya naik
 Klien keadaan  Suhu tubuh : 36,20 C
sejak hari sabtu
berkeringat  pendingin ruangan (-)
O:  pendingin ruangan  akral hangat
 Klien tampak (-)
lemas dan pucat  akral hangat kulit A:
Hipertemi teratasi , klien
 Suhu tubuh : 38,30 teraba hangat
 leukosit 15000/com KRS pukul 15.00
C
 Klien keadaan hasil lab tanggal 25
september 2019 P:
berkeringat
Hentikan intervensi
 pendingin ruangan
(-) A:
 akral hangat kulit Hipertemi teratasi
teraba hangat P:
 leukosit Lanjutkan intervensi
15000/com hasil 1-12
lab tanggal 25
september 2019

A:
Hipertemi teratasi
P:
Lanjutkan intervensi
1-12

S:-
S : Ibu klien
O:
S : Ibu pasien mengatakan 2 jam
mengatakan anak R sekali mengganti  Klien tidur dengan
DIAGNOSA TANGGAL
NO
KEPERAWATAN 01 Oktober 2019 02 Oktober 2019 03 Oktober 2019
sering tidur dengan posisi tidur klien posisi terlentang
posisi terlentang  Klien bedrest total
O:  Lesi (kemerahan) di
4. Gangguan O:  Klien tidur dengan area oksipital
Integritas Kulit  Klien tidur posisi sedikit miring  Gangguan pada
Terlentang diganjal guling kecil ekstremitas bawah
 Klien bedrest total  Klien bedrest total (deformitas)
 Lesi (kemerahan)  Lesi (kemerahan) di
A:
di area oksipital area oksipital
Gangguan integritas kulit
 Gangguan pada  Gangguan pada
teratasi sebagian, klien
ekstremitas bawah ekstremitas bawah
KRS pukul 15.00
(deformitas) (deformitas)
P:
A: A:
Hentikan intervensi
Gangguan integritas Gangguan integritas
kulit teratasi kulit teratasi sebagian
sebagian
P:
P: Lanjutkan intervensi
Lanjutkan intervensi 2-6
1-7
TANGGAL
DIAGNOSA
NO
KEPERAWATAN 17 Oktober 2018 18 Oktober 2018
16 Oktober 2018
5. Gangguan Tumbuh S: Ibu pasien S: - S: -
kembang klien mengatakan O: O:
perkembangan  K/U : Lemah  K/U : Cukup
anaknya  Imobilitas Fisik  Imobilitas Fisik
terhambat.  Tidak mampu  Tidak mampu
O: melakukan melakukan
 K/U : Lemah keterampilan/prila keterampilan/prilaku
 Imobilitas Fisik ku khas sesuai khas sesuai usiannya.
 Tidak mampu usiannya. (Fisik (Fisik bahasa, motorik)
melakukan bahasa, motorik) anak usia 3 tahun
keterampilan/pri anak usia 3 tahun (Tetapi seperti anak 9
laku khas sesuai (Tetapi seperti bulan)
usiannya. (Fisik anak 9 bulan)  Pertumbuhan fisik
bahasa,  Pertumbuhan fisik terganggu (kelemahan
motorik) anak terganggu pada ekstremitas)
usia 3 tahun (kelemahan pada  Afek datar (tidak ada
(Tetapi seperti ekstremitas) ekspresi)
anak 9 bulan)  Afek datar (tidak  Kontak mata terbatas
 Pertumbuhan ada ekspresi)  Nafsu makan menurun
fisik terganggu  Kontak mata Denver Terlampir
(kelemahan terbatas
pada  Nafsu makan A:
ekstremitas) menurun Masalah tumbuh
 Afek datar Denver Terlampir kembang belum teratsi
(tidak ada P:
ekspresi) A: Hentikan intervensi
 Kontak mata Masalah tumbuh
terbatas kembang belum
 Nafsu makan teratsi
menurun P:
Denver Terlampir Lanjutkan intervensi
A:
Masalah tumbuh
kembang belum
teratsi
P:
Lanjutkan
intervensi

BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Pada pasien dengan kasus hidrosefalus terdapat banyak sekali

masalah keperawatan yang muncul. Baik sebelum pemasangan VP-

Shunt maupun setelah tindakan pembedahan yaitu pemasangan VP-

Shunt.

Masalah keperawaan yang muncul terhadap setiap individu

sangatlah berbeda, tergantung bagaimana kondisi klinis dari pasien

tersebut. Dengan dilakukannya tindakan keperawatan atau tindakan

komplementer diharapkan masalah masalah keperawatan yang muncul

dapat ditangani atau meringankan masalah yang muncul.

Setelah melakukan asuhan keperawatan pada An. R selama tiga

hari dan melakukan pengkajian kembali baik secara teoritis maupun

secara tinjauan kasus dengan diagnosa yang muncul antara lain

Bersihan jalan nafas tidak efektif, perfusi jaringan serebral tidak efektif,

hipertermi berhubungan dengan respon inflamasi, gangguan integritas

kulit serta gangguan tumbuh kembang.

4.2 Saran
1.2.1 Bagi Bidang Keperawatan
Saran penulis dalam tindakan keperawatan selanjutnya yaitu
pastikan dahulu data yang didapat di dalam pengkajian yang
kemudian dirumuskan menjadi masalah keperawatan. Dan berikan
penanganan atau tindakan keperawatan yang terupdate dengan
mengacu pada jurnal jurnal terbaru. Namun selalu koordinasikan
dengan tim kesehatan lainnya untuk mengurangi adanya kesalahan
atau justru merugikan pasien.
1.2.2 Bagi Orangtua
Bagi keluarga, Diharapkan keluarga untuk mencari
informasi tentang perawatan anak dengan Hydrocephalus serta
dapat memaksimalkan keadaan pasien yang ada dengan cara
mengajak anak ke ahli terapi wicara, ke klinik fisioterapi untuk
mencegah terjadinya kontraktur (kekakuan otot), dan
memberikan pendidikan anak yang layak (SLB).
BAB 5
REVIEW JURNAL

Analisis Jurnal 1
Judul : Pengaruh Kompres Tepid Sponge Hangat Terhadap Penurunan
Suhu Tubuh Pada Anak Umur 1-10 Tahun Dengan Hipertermia
(Studi Kasus Di RSUD Tugurejo Semarang)
Penulis : Ns. Sri Haryani S, S.Kep, Ns. Syamsul Arif, S.Kep.,M.Kes
Biomed
Tahun : 2012
ABSTRACT

Hyperthermia is a condition when the body temperature is over the set point
and more than 370C. Hyperthermia can be overcome pharmacologically or
non-pharmacologically. Non- pharmacological therapy there are several
ways, one of which is using warm tepid sponge compress therapy. The
purpose of this research is to find out the effect of tepid sponge warm
compress to decrease the body temperature of children aged 1-10 who suffer
hyperthermia in the case study of RSUD Tugurejo Semarang. The design of
the research is using apparent one group pre test post test, the number of the
samples are 36 respondents using total sampling method. In the research the
researcher used digital thermometer and 350C warm water. The result of the
research shows that there is an effect of tepid sponge warm compress towards
the body temperature decrease of children aged 1-10 who suffer
hyperthermia. Based on the result analysis of wilcoxon signed rank test is
shown that the p-value is 0,0001 < 0,05 whith the average decrease is 1,4 0C.
The recommendation of the research is tepid sponge non- pharmacological
therapy can be used to overcome hyperthermia so the patients do not depend
on antipyretic medication.

Keywords : Hyperthermia, Tepid sponge

Populasi : Populasi dalam penelitian ini adalah semua anak usia 1-10
tahun yang mengalami hipertermia (suhu tubuh >37 0C) yang
dirawat di RSUD Tugurejo Semarang yang berjumlah 31
pasien.
Intervension : Pada penelitian ini menggunakan desain Quasi eksperimental
dengan bentuk rancangan one group pretest-postest. Peneliti
mengukur suhu tubuh sebelum dilakukan eksperimen kemudian
setelah dilakukan eksperimen peneliti mengukur kembali suhu
tubuh responden. Pengambilan data peneliti menggunakan
thermometer digital dan menggunakan air hangat dengan suhu
350C. Uji validitas instrumen dilakukan dengan cara mengukur
suhu dengan menggunakan thermometer digital. Termometer
tersebut sudah dikalibrasi dengan tingkat keakuratan 99%
(tercantum dalam brosurnya).
Comparisson : Dalam jurnal ini tidak ada jurnal pembanding antara jurnal
satu dengan jurnal yang lain, hanya ada satu jurnal saja yaitu
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Setiawati, (2009)
menyatakan terdapat perbedaan suhu sebelum dan setelah
intervensi pemberian tepid sponge pada pengukuran pertama 10
menit setelah selesai tepid sponge dan pengukuran kedua (30
menit setelah pengukuran pertama) dengan p value 0,000.
Terdapat perbedaan suhu setelah 10 menit selesai dilakukan
tepid sponge dan 30 menit setelah pengukuran pertama, dengan
p value 0,000.
Outcomes : Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat
disimpulkan nilai rata-rata suhu tubuh sebelum diberikan tepid
sponge sebesar 38,50C dengan standar deviasi 0,40C. Nilai
rata-rata setelah diberikan tepid sponge sebesar 37,10C dengan
standar deviasi 0,50C. Sehingga dapat diketahui ada penurunan
nilai rata-rata suhu tubuh sebesar 1,40C. Ada pengaruh
kompres tepid sponge terhadap penurunan suhu tubuh pada
pasien hipertermi. Hal ini ditunjukkan dengan hasil analisis
wilcoxon didapatkan nilai p=0,0001 (<0,005).
Times : Waktu penelitian dilaksanakan pada tanggal 1 – 17 Januari
2012.

Analisis Jurnal 2
Judul : Efektifitas Tepid Sponge Bath Suhu 32oc Dan 37oc Dalam
Menurunkan Suhu Tubuh Anak Demam
Penulis : Kusnanto*, Ika Yuni Widyawati*, Indah Sri Cahyanti*
Tahun : 2008
ABSTRACT
Introduction: Tepid sponge bath is a therapeutic bath by washing all around of
the body with warm water to decrease body temperature. Warm water that used
were 32oC (nail warm) and 37oC (warm). The aimed of this study was to
compare the effectivity of tepid sponge bath with 32oC and 37oC warm water
on decreasing body temperature at toddler with fever. Method: A quasy
experimental pre post test design was used in this study. The population was
toddler who had body temperature ≥38oC which treated in anggrek pediatric
room dr. Iskak public hospital Tulungagung. There were 26 respondents
recruited by using purposive sampling technique and divided into two group,
each of 13 respondents received tepid sponge bath with 32 oC and others
received tepid sponge bath with 37oC warm water. The independent variable
was tepid sponge bath and dependent variable was body temperature. Data were
collected by using digital termometere and noted in respondent observation,
then analyzed by using Paired t-Test and Mann Withney U- Test. Result: The
result showed that there was an effectivity on decreasing body temperature by
giving tepid sponge bath with 32oC and 37oC warm water with significance
level p=0.000 and there was a difference decreasing body temperature among
both of them with significance level p=0.016. Discussion: It can be concluded
that tepid sponge bath with 37oC warm water was more effective than tepid
sponge bath with 32oC warm water. Further studies should be observed the
effectivity of tepid sponge bath with more specific age, fever character and
more time and respondent.

Keywords: body temperature, fever, tepid sponge bath


Populasi : kelompok usia toddler (berumur 1-3 tahun), mengalami
demam akibat penyakit infeksi virus, tidak mengalami kejang,
tidak diberikan obat antipiretik, tidak memiliki luka pada kulit
dan keluarga bersedia menjadi responden dengan jumalah 28
responden.
Intervension : Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
quasy- eksperimental pre-post test purposive sampling design..
Jumlah sampel sebanyak 28 responden, dibagi menjadi
kelompok perlakuan (diberikan intervensi tepid sponge bath
dengan suhu air hangat 37oC) dan kelompok kontrol (diberikan
intervensi tepid sponge bath dengan suhu air hangat 32oC)
dengan jumlah sampel pada masing-masing kelompok
sebanyak 14 orang.
Comparisson : Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa
penurunan suhu tubuh dengan metode tepid sponge bath pada
suhu tubuh di atas 39oC memberikan selisih penurunan suhu
yang lebih besar dari pada peningkatan suhu tubuh di bawah
39oC (Widyanti, Fatimah, dan Mardhiyah, 2004).
Outcomes : Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian tepid
sponge bath dengan menggunakan air hangat suhu 32oC atau
37oC efektif menurunkan suhu tubuh pada anak demam dan
pemberian tepid sponge bath dengan air hangat suhu 37oC
lebih efektif dalam menurunkan suhu tubuh pada anak demam
di ruang Anggrek RSU dr. Iskak Tulungagung dibandingkan
dengan pemberian tepid sponge bath dengan air hangat suhu
32oC.
Times : Waktu penelitian dilaksanakan selama bulan Januari 2008.

Analisis Jurnal 3
Judul : Comparative Effectiveness of Tepid Sponging and Antipyretic
Drug Versus Only Antipyretic Drug in the Management of Fever
Among Children: A Randomized Controlled Trial
Penulis : S Thomas, C Vijaykumar, R Naik, Pd Moses* And B
Antonisamy**
Tahun : 2009
ABSTRACT
Objective: To compare the effectiveness of tepid sponging and antipyretic drug
versus only antipyretic drug among febrile children. Design: Randomized
controlled trial. Setting: Tertiary care hospital. Participants: 150 children 6 mo –
12yr age with axillary temperature ≥ 101ºF. Intervention: Tepid sponging and
antipyretic drug (Paracetamol) (n=73) or only antipyretic drug (Paracetamol)
(n=77). Main outcome measures: Reduction of body temperature and level of
comfort. Results: The reduction of body temperature in the tepid sponging and
antipyretic drug group was significantly faster than only antipyretic group;
however, by the end of 2 hours both groups had reached the same degree of
temperature. The children in tepid sponging and antipyretic drug had
significantly higher discomfort than only antipyretic group, but the discomfort
was mostly mild.
Conclusion: Apart from the initial rapid temperature reduction, addition of tepid
sponging to antipyretic administration does not offer any advantage in ultimate
reduction of temperature; moreover it may result in additional discomfort.

Keywords : Antipyretic drug, Fever, Hydrotherapy, Paracetamol, Tepid sponging

Populasi :.Populasi dalam penelitian ini adalah 150 anak-anak 6 mo - 12


tahun usia dengan suhu ketiak ≥ 101ºF atau 38,3 ºC
Intervension : Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Desain acak terkontrol , dengan intervensi pemberian spon
hangat dan obat antipiretik (Parasetamol) ( n = 73) atau hanya
obat antipiretik
(Parasetamol) ( n = 77).
Comparisson : Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa
penurunan suhu tubuh dengan metode tepid sponge bath pada
suhu tubuh di atas 39oC memberikan selisih penurunan suhu
yang lebih besar dari pada peningkatan suhu tubuh di bawah
39oC (Widyanti, Fatimah, dan Mardhiyah, 2004).
Outcomes : Hasi pengukuran pertama yaitu Penurunan suhu tubuh dan
tingkat kenyamanan. Hasil penurunan suhu tubuh di tepid
sponge dan kelompok obat antipiretik secara signifikan lebih
cepat daripada kelompok hanya antipiretik; Namun, pada akhir
2 jam kedua kelompok telah mencapai tingkat yang sama suhu.
Anak-anak di spons hangat dan obat antipiretik memiliki
ketidaknyamanan secara signifikan lebih tinggi daripada hanya
kelompok antipiretik, tapi ketidaknyamanan itu sebagian besar
ringan.
Times : Waktu penelitian dilaksanakan selama bulan Februari 2009

KESIMPULAN :
Diagnosa keperawatan yang muncul pada An. R adalah salah satunya
Hipertermia berhubungan dengan respon inflamasi karena masuknya bakteri
(SDKI,2017). Hipertermia adalah suatu keadaan peningkatan suhu tubuh diatas
kisaran normal (Nanda, 2012). Pada kasus ini dimunculkan diagnosa hipertermia
ini karena ditemukan data-data sebagai berikut: anak mengalami peningkatan suhu
tubuh menjadi 38ºC, Nadi 158x/ menit, RR 32x/ menit, akral hangat, mukosa bibir
kering. Penulis menegakan diagnosa tersebut menjadi diagnosa prioritas Kedua
karena hipertermia ini terdapat pada gejala penyerta yang ada pada pasien dengan
Hydrocephalus, yang apabila tidak segera ditangani akan menyebabkan
ketidaknyamanan pada anak dan akan mengakibatkan pada komplikasi lain,
seperti kejang pada anak (Wong, 2010).
Pada anak Hidrosefalus tindakan yang paling sering dilakukan adalah
pemasangan VP-Shunt dengan efek samping atau komplikasi yang sering muncul
pada tindakan tersebut adalah peningkatan suhu tubuh. Peningkatan suhu tubuh
disini diungkapkan sebagai dari proses infeksi yang terjadi dari komplikasi
pemasangan VP-Shunt. Jika dikaitkan dengan kasus yang diangkat, maka terdapat
kesamaan yaitu terjadinya peningkatan suhu tubuh. Suhu tubuh pada kasus anak
dengan hidrosefalus adalah 38ºC. Selain itu terdapat data penunjang yang
menguatkan untuk mengangkat data infeksi, yaitu kadar leukosit dalam darah
yaitu 17,000X103/µL. Dengan terjadi peningkatan suhu tubuh tersebut maka harus
segera dilakukan tindakan keperawatan maupun farmakologis untuk menurunkan
suhu. Tindakan non farmakologis tersebut seperti menyuruh anak untuk banyak
minum air putih, istirahat, serta pemberian water tepid sponge. Penatalaksanaan
lainnya anak dengan demam adalah dengan menempatkan anak dalam ruangan
bersuhu normal dan mengusahakan agar pakaian anak tidak tebal (Budi
(2006)dalam Setiawati (2009).
Dari ke tiga jurnal diatas ini terdapat kesamaan hasil penelitian yang
dilakukan yaitu dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh penurunan suhu tubuh
pada tindakan tepid sponge.
Pada Jurnal 1 dalam penelitian ini peneliti menggunakan thermometer digital
dan menggunakan air hangat dengan suhu 35ºC. Hasil penelitian menunjukkan
ada pengaruh kompres tepid sponge hangat terhadap penurunan suhu tubuh pada
anak umur 1-10 tahun dengan hipertermia. Uji validitas instrumen dilakukan
dengan cara mengukur suhu dengan menggunakan thermometer digital.
Termometer tersebut sudah dikalibrasi dengan tingkat keakuratan 99% (tercantum
dalam brosurnya). Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat
disimpulkan nilai rata-rata suhu tubuh sebelum diberikan tepid sponge sebesar
38,50C dengan standar deviasi 0,40C. Nilai rata-rata setelah diberikan tepid sponge
sebesar 37,10C dengan standar deviasi 0,50C. Sehingga dapat diketahui ada
penurunan nilai rata-rata suhu tubuh sebesar 1,40C. Ada pengaruh kompres tepid
sponge terhadap penurunan suhu tubuh pada pasien hipertermi.
Pada Jurnal 2 Jumlah sampel sebanyak 28 responden, dibagi menjadi
kelompok perlakuan (diberikan intervensi tepid sponge bath dengan suhu air
hangat 37ºC) dan kelompok kontrol (diberikan intervensi tepid sponge bath
dengan suhu air hangat 32ºC) dengan jumlah sampel pada masing-masing
kelompok sebanyak 14 orang. Penelitian dilakukan selama bulan Januari 2008.
Variabel independen dalam penelitian ini adalah tepid sponge bath dengan air
hangat suhu 32ºC dan tepid sponge bath dengan air hangat suhu 37ºC, dengan
lama pemberian masing-masing 10 menit. Variabel dependen dalam penelitian ini
adalah suhu tubuh, diukur sebelum dan selang 30 menit setiap pemberian tepid
sponge bath selesai dilakukan. Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
pemberian tepid sponge bath dengan menggunakan air hangat suhu 32ºC atau
37ºC efektif menurunkan suhu tubuh pada anak demam dan pemberian tepid
sponge bath dengan air hangat suhu 37ºC lebih efektif dalam menurunkan suhu
tubuh pada anak demam.
Pada Jurnal ke 3 Efektivitas komparatif dari dua metode itu dinilai
berdasarkan analisis kovarians. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada
perbedaan suhu rata-rata dari waktu ke waktu antara metode pengobatan setelah
disesuaikan untuk temperatur awal sebagai kovariat. Analisis kovarians
menegaskan pengurangan cepat dari suhu di spons hangat gabungan dan
kelompok antipiretik grafik terlampir. Namun, pada akhir 2 jam kedua kelompok
telah mencapai tingkat yang sama suhu. Tidak ada perbedaan dalam pengurangan
akhir dari suhu antara kedua kelompok. Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk
membandingkan efektivitas metode ini. Beberapa dari mereka telah menunjukkan
bahwa spons hangat dengan obat antipiretik lebih efektif daripada hanya obat
antipiretik (5,6), sementara yang lain menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan
dalam pengurangan suhu (3,4). Kami mengamati bahwa pemberian spons hangat
dan obat antipiretik mengakibatkan penurunan suhu yang cepat di awal 15-30
menit dibandingkan dengan obat antipiretik saja; Namun, pada akhir 2 jam kedua
kelompok telah mencapai tingkat yang sama suhu. Tidak ada perbedaan dalam
pengurangan akhir dari suhu antara kedua kelompok.

Table 1.1 Menunjukkan bahwa Suhu sebelum dan sesudah dilakukan teknik
tepid sponge didapatkan hasil bahwa terdapat penurunan suhu dengan rata-rata 1-
0,60C.

Dari segi farmakologis, dokter juga memberikan antipiretik pada anak. R,


yaitu antrain 125mg. Antrain adalah obat bermerek yang mengandung natrium
metamizole. Metamizole sendiri merupakan obat analgetik, antispasmodik, dan
antipiretik untuk meringankan rasa sakit atau nyeri serta dapat digunakan juga
untuk menurunkan demam.
Analisis Jurnal tentang Tumbuh Kembang
Judul : Pengaruh Terapi Latihan Metode BOBATH terhadap Cerebral
Palsy Diplegi Spastic
Penulis : Zainal Abidin *, Kuswardani **, Didik Purnomo ***
Tahun : 2013
ABSTRACT
Cerebral palsy merupakan suatu penyakit kronik yang mengenai pusat
pengendali pergerakan dengan manifestasi klinis yang tampak pada beberapa
tahun pertama dan secara umum tidak akan bertambah memburuk pada usia
selanjutnya. Angka kejadian cerebral palsy berkisar 1,2-2,5 anak per 1000
anak usia sekolah dini. Data anak dengan kondisi cerebral palsy yang
mengikuti program rehabilitasi fisioterapi pada tahun 2013 adalah sebanyak
75 anak. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh
terapi latihan dengan pendekatan konsep bobath cerebral palsy diplegi
spastic di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Semarang. Populasi
penelitian ini adalah pasien penderita cerebral palsy diplegi spastik. Sampel
penelitian ini menggunakan seluruh populasi, yaitu sebanyak 8 pasien yang
secara keseluruhan diambil sebagai sampel penelitian. Pengumpulan data
didapat dari pemeriksaan spesifik seperti pemeriksaan kekakuan
sendi/spastisitas dengan skala Asworth. Skala Asworth sebagai hasil
pemeriksaan spastisitas. Hal ini berarti spastisitas sebelum dan sesudah
tindakan terapi latihan dengan metode bobath tidak sama. Berdasarkan hasil
penelitian, didapat disimpulkan adanya pengaruh pemberian terapi latihan
dengan menggunakan metode bobath terhadap spastisitas pada kasus cerebral
palsy diplegi spastic.

Kata Kunci: Terapi Latihan, Metode BOBATH, Cerebral Palsy Diplegi


Spastic.

Populasi : Populasi penelitian ini adalah pasien penderita cerebral palsy


diplegi spastik. Sampel penelitian ini menggunakan seluruh
populasi, yaitu sebanyak 8 pasien yang secara keseluruhan
diambil sebagai sampel penelitian.
Intervension : Analisa data berupa deskriptif kuantitatif, yaitu menjelaskan
data kualitatif dan data kuantitatif yang menggunakan uji t
untuk membuktikan adanya pengaruh tiap-tiap variabel.
Variabel terikat berupa terapi latihan dengan menggunakan
metode bobath sedangkan variabel bebas berupa pemeriksaan
kekakuan sendi dengan skala asworth.
Comparisson : dalam jurnal ini tidak ada jurnal pembanding
Outcomes : Berdasarkan hasil data dan pembahasan maka dapat
disimpulkan bahwa terapi latihan dengan metode Bobath dapat
mengurangi spastisitas pada penderita cerebral palsy diplegi
spastic.
Times : Waktu penelitian dilaksanakan selama bulan November 2013
DAFTAR PUSTAKA

A. Ali Keliobas. 2016. Perbandingan Keefektifan Tepid Sponge Dan Kompres Air
Hangat Terhadap Penurunan Suhu Tubuh Pada Anak.
Aoriyanto ett al. 2013. Hidrosefalus Pada Anak.
Mansjoer, A. 2008. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3 jilid 2. Jakarta : Media
Aesculopius.
Meddoy, R, and Newell,S. 2007. Lecture Note Pediatrik. Jakarta: EMS
Wong, D. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik, Edisi 6 Vol 2. Jakarta: EGC.
Mualim. 2010. Askep Hidrosefalus, (online),
(http://mualimrezki.blogspot.com/2010/12/askep-hydrocephalus.html), di
akses pada tanggal 07 Oktober 2019.
Nanda. 2018. Asuhan keperawatan berdasarkan diagnosis medis & NANDA NOC
NIC. Jogjakarta: Mediaction.
Hartatik, S. 2014. Laporan Pendahuluan Hidrosepalus, (online),
(http://lpkeperawatan.blogspot.co.id/2014/01/laporan-pendahuluan-
hidrosefalus.html.V8K_dzUlmqk), di akses pada tanggal 07 Oktober 2019.
JURNAL TERKAIT :

Anda mungkin juga menyukai