Anda di halaman 1dari 10

TUGAS KIMIA PANGAN 2

(Kripik Pisang Harapan Mandiri


Produk UKM Warga Desa Bajulmati)

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Teti Estiasih, STP, MPi

Disusun untuk memenuhi tugas


Kimia Pangan 2

Disusun oleh :

Nama : Azharia Safira Putri


NIM : 185100101111023
Kelas :A

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
BAB 1
PENDAHULUAN

a. Bahan baku produk


Bahan baku keripik pisang adalah buah pisang. Pisang atau Musa
Paradisiaca merupakan buah asli daerah asia tenggara termasuk Indonesia yang
memiliki potensi produksi cukup besar karena pertumbuhan pisang tanpa
mengenal musim. Nilai energi pisang 136 kalori untuk setiap 100 gram, namun
kandungan protein dan lemak dalam pisang sangat rendah yaitu hanya 2,3 persen
dan 1,3 persen. Pisang banyak mengandung mineral seperti magnesium, kalium,
fosfor, kalsium dan zat besi. Kandungan vitamin dalam pisang adalah vitamin A,
yaitu sekitar 0,003-1,0 mg/100 gram pisang, B, B6, C; kandungan vitamin C pada
pisang olahan sekitar 20-25 mg/100 g. Pisang juga mengandung asam malat,
asam sitrat dan asam oksalat. Sewaktu pisang masih mentah asam organik
utamanya adalah asam oksalat, tetapi setelah tua dan matang asam organik yang
utama adalah asam malat. Namun pisang termasuk non-climacteric dimana
memiliki gas etilen yang meningkatkan proses pematangan sehingga umur daya
simpannya sangat singkat. Maka dari itu untuk memperpanjang umur daya
simpan, buah pisang dapat diolah dalam berbagai macam produk olahan seperti
keripik pisang. Buah pisang yang akan dibuat menjadi keripik dipilih yang sudah
tua dan masih mentah agar mudah diiris, khususnya jenis pisang olahan seperti
pisang kepok, tanduk, nangka, kapas, dan jenis pisang olahan lainnya. Keripik
pisang adalah produk makanan ringan yang dibuat dari irisan buah pisang dan
digoreng dengan bahan tambahan makanan kemudian dikeringkan untuk
mengurangi kadar air dari bahan pangan sehingga daya simpan menjadi lebih
panjang jika pengemasan yang digunakan pun tepat (Putri, 2012).

b. Proses pengolahan
Proses pembuatan keripik pisang dapat dilakukan dengan konvensional
yaitu pengupasan kulit pisang dan pengirisan daging buah pisang dengan tebal 2-
3 mm secara memanjang atau melintang. Kemudian melakukan perendaman
irisan atau potongan pisang dengan larutan natrium bisulfit dan larutan vitamin C
0,1 % selama ± 30 menit untuk memperbaiki tekstur, dan menghindari perubahan
warna pisang atau browning enzimatis. Setelah itu, pencucian irisan buah pisang
menggunakan air agar bersih lalu mengeringkannya agar kadar airnya menurun,
penyerapan minyak berkurang dan produk dapat disimpan lebih lama sebelum
digoreng. Lalu, melakukan tahap penggorengan dengan minyak agar kadar airnya
rendah dan membentuk keripik pisang dengan tekstur pisang yang berubah dari
lembut dan berair menjadi kering dan renyah. Pada proses ini dilakukan
penggorengan sebanyak 2 kali dengan menggunakan minyak goreng yang sesuai
SNI 01-4481-2002 berjumlah banyak, agar semua bahan pisang dapat terendam
saat digoreng. Perbandingan antara minyak goreng dengan irisan pisang adalah 3
liter:1 Kg dengan api yang besar untuk menghasilkan keripik yang renyah selama
4-6 menit dengan kapasitas 2-3 kg sekali menggoreng. Penggorengan dilakukan
satu kali sampai keripik cukup kering dan garing yang ditandai dengan perubahan
warna pisang menjadi kuning keemasan. Setelah itu dilakukan penirisan minyak
dengan menumpuk keripik di alat peniris hingga minyak yang tersisa turun
kembali ke penggorengan untuk mengurangi minyak goreng yang terkandung
dalam keripik pisang setelah proses penggorengan. Setelah itu, didinginkan ± 30
menit dengan kondisi wadah belum ditutup rapat. Kemudian, pemberian bahan
tambahan makanan seperti bumbu-bumbu pemanis, pewarna, dan sebagainya.
Pada tahap pemberian bumbu merupakan tahapan dimana keripik pisang
mengalami peningkatan cita rasa dan aroma keripik pisang. Setelah itu, keripik
pisang dapat dikemas dengan standing pouch full foil. Keripik pisang memiliki
kualitas yang baik apabila memiliki tingkat kerenyahan yang tinggi dan berwarna
cerah (Haryanto dkk, 2013).

c. Komposisi produk
Komposisi kripik pisang dan bahan tambahan pangan lain berupa pisang
pilihan, minyak goreng atau minyak nabati, bahan tambahan pangan seperti
garam sebagai pemberi rasa asin dan pengawet, gula, cabe bubuk, coklat bubuk
yang sudah diolah, dan seasoning (bumbu siap saji) seperti MSG, pewarna
Tartrazin, dan antioksidan asam benzoat. Pisang pilihan dalam membuat keripik
pisang dapat menggunakan jenis pisang kepok, tanduk, nangka, kapas, dan jenis
pisang olahan lainnya. Syarat mutu bahan baku pisang antara lain terbebas hama
penyakit , terbebas dari bau busuk,asam,apek dan bau asing lainnya, terbebas
dari bahan kimia seperti insektisida dan fungisida serta memiliki suhu normal. Air
untuk mencuci bahan baku harus memenuhi persyaratan air bersih sesuai standar
Permenkes RI No. 416/MENKES/PERK/ IX/1990. Kemudian, minyak goreng yang
digunakan berupa minyak kelapa atau minyak kelapa sawit yang bermutu baik
(jernih dan tidak tengik), sesuai SNI 01 – 3741 – 2002. Dalam produk keripik
pisang ini persyaratan bahan tambahan pangan seperti gula halus, garam halus,
cabe bubuk, coklat bubuk yang sudah diolah, seasoning (bumbu siap saji) harus
mengacu pada SNI No.01-0222-1995 (Haryanto dkk, 2013).

d. Kemasan
Proses pengemasan bertujuan untuk meningkatkan daya simpan produk.
Bahan pengemas yang umum digunakan untuk keripik pisang adalah plastik
polipropilen atau aluminium foil dengan ketebalan 0,6-0,8 mm yang telah dicetak
merk keripik pisang sehingga tidak mudah terjadi kebocoran kemasan yang dapat
menimbulkan kripik pisang menjadi lembab dan tidak renyah. Dalam keripik
pisang Harapan Mandiri produksi warga Bajulmati ini menggunakan kemasan
standing pouch full foil yang telah dicetak dengan merk ‘Harapan Mandiri’ dengan
berisikan informasi sesuai dengan PP No.69 tahun 1999 yang menyatakan bahwa
label pada kemasan sekurang-kurangnya harus mencantumkan nama produk,
berat bersih, masa kadaluwarsa, komposisi bahan baku dan informasi atau alamat
tempat pembuatan produk. Kemasan yang dipakai dalam produksi keripik pisang
terbagi beberapa macam sesuai dengan beratnya antara lain dengan netto
sebesar 100 gram, 250 gram, dan 500 gram. Proses sortasi pada keripik pisang ini
dilakukan untuk mengklasifikasi kualitas atau mutu dengan cara memilah dan
mengelompokkan berdasarkan ukuran, warna, dan bentuk keripik yang dihasilkan,
dilakukan secara manua. Pengemasan produk yang berupa kripik sebaiknya
menggunakan mesin pengemas vakum (vacuum sealer). Penyimpanan produk
akhir sebaiknya dilakukan di ruang yang terpisah dengan ruang penyimpanan
bahan baku. Dalam proses pengangkutan dihindarkan dari kerusakan fisik dan
pengaruh cahaya sinar matahari langsung untuk mencegah terjadinya proses
oksidasi. Pada ruang pengepakannya harus mempunyai kelembaban udara (RH)
yang rendah karena sifat keripik vakum ini higroskopisitasnya tinggi misalnya saja
dilakukan di dalam ruang ber-AC. Lantai proses pengemasan harus kedap air,
rata, halus, tidak licin, kuat, dibuat miring agar mudah dibersihkan. Dindingnya
kedap air, rata, halus, berwarna terang, tahan lama, tidak mudah mengelupas,
dan kuat. Terdapat alat cuci atau pembersih yang banyak, ada upaya mencegah
masuknya hama di sarana produksi dan tidak terlihat indikasi adanya hama.
Semua karyawan berpakaian bersih dan tidak ada luka (Haryanto dkk, 2013).

BAB 2
REAKSI KIMIA DAN PERUBAHAN YANG TERJADI SELAMA
PENGOLAHAN DAN DISTRBUSI/PENYIMPANAN

a. Perubahan yang terjadi selama pengolahan dan distribusi/penyimpanan produk

Selama proses pengolahan keripik pisang, terjadi berbagai perubahan fisik


dan kimia pada keripik pisang. Salah satu tahap dalam proses pembuatan keripik
pisang adalah pengeringan untuk mengurangi kadar air yang dapat menyebabkan
ketengikan. Ketengikan dapat terjadi jika produk memiliki kadar air yang tinggi
pada saat digoreng, sehingga mengakibatkan menyerap banyak minyak dan
menjadi mudah berbau tengik. Namun, selama pengeringan, bahan pangan
kehilangan kadar air atau jumlah air yang terkandung dalam bahan, yang
menyebabkan naiknya kadar zat gizi di dalam massa yang tertinggal. Jumlah
protein, lemak, dan karbohidrat yang ada per satuan berat di dalam bahan pangan
kering lebih besar daripada bahan pangan segar. Dalam metode pengeringan
bahan pangan dengan matahari dapat menghasilkan bahan pangan dengan
kepekatan yang tinggi dan dengan kualitas yang lebih tahan atau lebih awet.
Namun, daya tahan vitamin di dalam bahan pangan yang dikeringkan
menggunakan alat pengering pada umumnya lebih baik dari bahan pangan yang
dikeringkan langsung dibawah matahari. Pengeringan bahan pangan akan
mengubah sifat-sifat fisis dan kimianya, dan diduga dapat mengubah
kemampuannya memantulkan, menyerap dan meneruskan sinar, sehingga
mengubah warna bahan pangan. Makin tinggi suhu dan makin lama waktu
pengeringan yang diberikan, maka semakin banyak zat warna yang berubah
(Putri, 2012).
Perlakuan blansing (blanching) ataupun perendaman dalam bahan kimia
dibutuhkan jika terdapat waku tunggu sebelum perlakuan panas pada proses
pengeringan atau pengalengan untuk mengantisipasi terjadinya perubahan warna,
bau, cita rasa, tekstur, gizi inaktif pada buah atau sayuran sebelum diolah lebih
lanjut, seperti pengeringan, pengalengan dan dibekukan sehingga diperoleh
kualitas yang baik. Pada dasarnya, proses blansing bertujuan untuk
menginaktifkan enzim-enzim yang menyebabkan perubahan kualitas bahan
pangan. Ada empat dasar metode blansing, yaitu blansing dengan air panas,
blansing dengan uap air, blansing dengan udara, dan blansing dengan gelombang
mikro atau konduksi elektrik. Pada umumnya blansing dilakukan dengan suhu
dibawah 100˚C selama 1 sampai 5 menit. Pemanasan selama proses blansing
menyebabkan bahan menjadi lebih lunak, layu dan secara organoleptik bahan
lebih baik. Perendaman dalam larutan sulfit, vitamin C, asam sitrat, garam dan
hidrogen peroksida terutama ditujukan untuk memperbaiki atau mengurangi
terjadinya pencoklatan (Putri, 2012).
Penggorengan ditujukan untuk meningkatkan karakteristik warna, flavour
dan aroma yang merupakan kombinasi dari reaksi maillard dan komponen volatil
yang diserap dari minyak. Proses penggorengan menggunakan minyak atau lemak
sebagai media pindah panas. Proses pindah panas terjadi dari minyak goreng
menuju permukaan bahan (bahan menyerap minyak) dan perpindahan massa air
dari dalam ke permukaan bahan (penguapan). Kondisi ini menyebabkan banyak
perubahan dalam bahan, baik secara fisik maupun kimiawi pada bahan yang
digoreng. Perubahan secara fisik antara lain penguapan air, penyerapan minyak,
pemasakan menjadi lebih cepat, garing, perubahan volume, pengebangan rasa
enak, bau yang sedap, dan permukaan produk menjadi mengeras (terbentuk
lapisan keras atau crust), sedangkan tekstur bagian dalam produk dapat
mengeras atau tetap lembek/lunak bergantung pada sifat bahan yang digoreng.
Waktu yang dibutuhkan pada proses penggorengan beragam bergantung pada
tingkat kematangan yang diinginkan, mulai dari 30 detik sampai 20. Sedangkan
perubahan secara kimiawi antara lain gelatinisasi pati, denaturasi protein,
pencoklatan non enzimatik dan perubahan warna produk dari warna alaminya.
Pada keripik pisang terjadi pencoklatan non enzimatik dimana tidak disebabkan
oleh enzim. Ada 2 macam reaksi pencoklatan non enzimatis, yaitu reaksi oksidasi,
karamelisasi dan reaksi maillard. Faktor yang mempengaruhi reaksi pencoklatan
(reaksi Maillard) adalah kadar air yang rendah akan menjadi substrat terjadinya
reaksi pencoklatan ini. Kadar air optimum adalah 18%. Lalu, suhu yang tinggi
membentuk banyak pinggiran coklat, meskipun tidak semua bagian memerlukan
suhu tinggi. Ph tinggi menyebabkan kecepatan reaksi lebih tinggi, jenis asam
amino. Selama proses pengolahan, akan menyebabkan perubahan warna pada
keripik pisang. Maka dari itu diperlukan perendaman pisang dengan larutan bisulfit
dan larutan vit.C (Blansing) setelah dikupas dimaksudkan untuk mengurangi
proses browning yang akan mengakibatkan warna coklat pada buah pisang yang
menyebabkan warna keripik pisang kurang menarik. Suhu normal dalam proses
penggorengan keripik adalah 163-178˚C apabila suhu diatas 196˚C akan
mempercepat proses degradasi minyak goreng dan suhu yang terlalu tinggi
akan menghasilkan produk yang mentah di bagian dalam sementara
dibagian luar telah kering/hangus (Ponno dkk, 2016).

b. Perubahan yang membatasi umur simpan produk


Sesuai dalam literatur Herawati (2017), Produk pangan berlemak rentan
akan penurunan mutu berupa ketengikan selama penyimpanan. Masalah
kerusakan keripik pisang selama penyimpanan yaitu terjadinya ketengikan yang
disebabkan oleh kontak dengan udara atau oksidasi asam lemak tidak jenuh pada
bahan pangan yang ditandai dengan adanya flavour yang tidak enak. Hal ini
berhubungan dengan minyak goreng yang digunakan harus ada kandungan TBHQ
(antioksidan) dan pengemasan dengan pouch foil yang tertutup rapat (vacuum).
Perlakuan dengan vitamin C akan meningkatkan warna produk karena, asam
askorbat yang dilarutkan dalam air akan melepas ion H+. Kemudian ion tersebut
akan berdifusi kedalam bahan dan menyebabkan menurunnya pH bahan. Hal
tersebut akan menurunkan intensitas timbulnya warna coklat pada produk,
sehingga dapat meningkatkan nilai kesukaan panelis terhadap warna produk.
Vitamin C juga dapat mencegah terjadinya browning enzimatis, yaitu dengan
penurunan pH bahan, karena enzim fenolase akan aktif pada pH optimal 6 sampai
7 sebagai pemicu terjadinya browning. Aroma yang dihasilkan bergantung pada
bahan bakunya dan juga penggunaan antioksidan vitamin C dimana asam
askorbat akan bereaksi dengan alkohol yang ada pada bahan dan membentuk
senyawa ester asam organik yang bersifat menguap sehinga mempunyai aroma
yang khas. Aroma semakin meningkat karena tingginya kemampuan untuk
berikatan dengan besi (Fe) sebagai ko-enzim pada reaksi oksidatif. Akibatnya
karbohidrat yang dikatalisis untuk reaksi tersebut akan menurun, sehingga
karbohidratnya meningkat. Karbohidrat (sebagian besar adalah pati) akan terlarut
selama pengolahan bahan menjadi produk dan dapat memberikan rasa yang khas.
Meningkatnya kadar karbohidrat pada bahan dapat meningkatkan kerenyahan
produk dikarenakan karbohidrat yang tinggi mengandung kadar amilopektin (pati)
yang tinggi juga yang akan membentuk gel yang tidak kaku, sehingga kerenyahan
produk meningkat.
BAB 3
KEBUTUHAN AKAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN

a. Penjelasan tentang BTP yang diperlukan


Tujuan penggunaan bahan tambahan pangan adalah dapat meningkatkan
atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat bahan
pangan lebih mudah dihidangkan, serta mempermudah preparasi bahan pangan.
Bahan tambahan yang diperlukan keripik pisang sebagai penambah rasa antara
lain larutan gula sebagai pemanis alami dengan perbandingan 1 kg gula pasir
dalam 5 gelas air. Gula yang digunakan harus bermutu baik, yaitu kering, tidak
bau apek atau masam, tidak nampak adanya ampas atau bahan asing dan
berwarna putih sesuai standar gula kristal putih SNI 01-3140-2001. Penambahan
garam dapur beryodium sebagai pemberi rasa asin dan pengawet yang sesuai SNI
01 – 3556 – 2000. Kemudian dalam penggorengan menggunakan minyak baru
ditambah 120 ppm TBHQ (120 mg/kg minyak), bumbu untuk keripik
(seasoning/bumbu siap saji) sebagai perisa atau pemberi rasa seperti MSG. Dapat
ditambahkan vitamin C dan Natrium Metabisulfit 0,3% – 0,5% digunakan untuk
merendam pisang agar sebagai antimikroorganisme, antipencoklatan (anti
browning) yang dapat menghambat pencoklatan non enzimatis dan enzimatik.
Kalsium karbonat (CaCO3) yang berfungsi sebagai pengeras tekstur yang
menjadikan produk renyah. Asam benzoat juga dapat ditambahkan sesuai kadar
SNI sebagai bahan pengawet. Agar produk kripik pisang berwarna kuning stabil
dapat menggunakan pewarna alami seperti kuning telur dan kunyit, namun dapat
juga ditambahkan Tartrazin CI. No. 19410 sebagai bahan pewarna sintetik kuning
kecoklatan yang berbentuk serbuk (Akolo dkk, 2018).
b. Pencegahan perubahan yang tidak diinginkan dengan menggunakan BTP
Menurut literatur Ratnani (2009) menyatakan bahwa sebelum
penggorengan dengan minyak, dilakukan proses pengeringan keripik pisang untuk
mengantisipasi terjadinya perubahan fisik seperti warna, bau, cita rasa, tekstur,
gizi inaktif sehingga dilakukan penambahan BTP berupa Natrium Metabisulfit
(Na2SO5), Kalsium karbonat dan vitamin C dimana dapat menginaktifkan enzim-
enzim, menghambat reaksi browning (pencoklatan non enzimatis) dan enzimatik
yang mengakibatkan warna coklat di pinggir permukaan serta dari sifat
ketengikan. Dalam penggorengan jika hendak mengganti minyak baru harus
ditambah TBHQ sebanyak 120 mg/kg minyak sebagai antioksidan. Maka dari itu,
agar warna kuningnya tetap stabil dapat ditambahkan pewarna alami seperti
kuning telur dan kunyit, namun juga dapat memakai pewarna kuning sintetik yaitu
Tartrazin. Selain itu, dapat ditambahkan antioksidan dan pengawet seperti garam
dan asam benzoat saat pengupasan pisang dilakukan agar tidak ada mikroba yang
tumbuh. Selain digoreng, kripik pisang dapat ditambahkan gula, garam, dan
bumbu penyedap rasa seperti MSG agar tidak off-flavor.
c. Mekanisme kerja BTP dalam mencegah perubahan yang tidak diinginkan
Menurut Akolo dkk (2018) menyatakan bahwa Natrium metabisulfit
ditambahkan pada bahan pangan untuk mencegah proses pencoklatan (browning)
yang enzimatis pada buah sebelum diolah karena mampu menghambat reaksi
browning enzimatis pada buah pisang. Sulfit akan mereduksi ikatan disulfida pada
enzim, sehingga enzim tidak dapat mengkatalis oksidasi senyawa fenolik
penyebab browning. Sulfit merupakan racun bagi enzim dengan menghambat
kerja enzim esensial. Sulfit akan mereduksi ikatan disulfida enzim mikroorganisme,
sehingga aktivitas enzim tersebut akan terhambat. Dengan terhambatnya aktivitas
enzim, maka mikroorganisme tidak dapat melakukan metabolisme dan akhirnya
akan mati. Oksigen yang membantu reaksi pencoklatan diikat oleh radikal SO,
sehingga reaksi pencoklatan dapat diturunkan kecepatannya. Kalsium karbonat
(CaCO3) merupakan batu kapur tanpa mengalami pemanasan, yang berfungsi
sebagai pengeras tekstur dan emulsifier. Kalsium karbonat larut dalam air, dalam
larutan bersifat asam, dan dapat bergabung dengan asam, garam aluminium, dan
garam amonium. Perlakuan panas terhadap jaringan tanaman biasanya
menyebabkan pelembekan karena stuktur selulosanya mengalami sedikit
perubahan. Maka dari itu, untuk memperoleh tekstur yang keras maka dapat
digunakan bahan tambahan pangan pengeras. Penambahan bahan pengeras
tujuannya adalah agar tekstur bahan pangan tetap keras dan renyah. Jika terlalu
banyak dapat menyebabkan rasa pahit karena garam-garam kalsium memiliki
kelarutan yang rendah. Bumbu penyedap buatan / sintetis misalnya monosodium
glutamat (MSG ) digunakan untuk meningkatkan rasa produk yang diberikan.
Mekanisme kerja asam benzoat atau garamnya sebagai pengawet berdasarkan
pada permeabilitas membran sel mikroba terhadap molekul-molekul asam yang
tidak terdisosiasi. Isi sel mikroba mempunyai pH yang selalu netral. Bila pH
sitoplasma mikroba menjadi asam atau basa, maka akan terjadi gangguan pada
organ-organ sel sehingga metabolisme terhambat dan akhirnya sel mati. Membran
sel mikroba hanya permeabel terhadap molekul asam yang tidak terdisosiasi,
maka untuk mendapatkan efektivitas yang tinggi sebaiknya asam-asam tersebut
digunakan dalam lingkungan asam. Hal ini juga disebabkan pada pH netral dan
basa, asam-asam organik terurai menjadi ion-ionnya (Akolo dkk, 2018).
d. Penjelasan tentang tahapan dalam pengolahan dimana BTP ditambahkan
BTP seperti larutan Vitamin C, Natrium Metabisulfit (Na2SO5) dan Kalsium
karbonat (CaCO3) dapat ditambahkan pada proses perendaman sebelum pisang
digoreng karena dapat menginaktivasi enzim dan menghambat pencoklatan non
enzimatis dan enzimatik dimana sebagai suatu pengawet, antioksidan dan
pereduksi. Maka dari itu, agar warna kuningnya tetap stabil dapat ditambahkan
pewarna alami seperti kuning telur dan kunyit, namun juga dapat memakai
pewarna kuning sintetik yaitu Tartrazin. Selain itu, dapat ditambahkan antioksidan
dan pengawet seperti garam dan asam benzoat saat pengupasan pisang dilakukan
agar tidak ada mikroba yang tumbuh. Sedangkan perisa kripik pisang dapat
ditambahkan gula, garam, dan bumbu penyedap rasa seperti MSG setelah tahap
pendinginan dan penghilangan minyak akibat proses penggorengan pisang agar
tidak off-flavor. Kemudian memasuki proses pengemasan dengan kondisi vacum
menggunakan kemasan PP (Haryanto dkk, 2013).
e. Penjelasan tentang kadar/dosis BTP yang diperlukan
Menurut peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan No.11 tahun 2019
menyatakan bahwa konsentrasi maksimum penggunaan natrium metabisulfit pada
kripik pisang sebanyak 100 mg/kg dengan INS sebesar 223 dan ADI sebesar 0-
0,7 mg/kg berat badan. Sedangkan batas penggunaan kalsium karbonat adalah
200mg/kg, tunggal atau campuran dengan pengeras lain dan 170 INS. Dalam
proses penggorengan minyak goreng yang baru, ditambahkan 120 ppm TBHQ
(120 mg/kg minyak). Lalu, untuk penyedap yang menggunakan penyedap sintetis
batas konsumsi MSG yang diperbolehkan adalah 120 mg/kg perhari. Kemudian
jika menggunakan pewarna kuning sintetis seperti Tartrazin CI. No. 19410, batas
maksimal penggunaan sebesar 70 mg/kg dengan INS sebesar 102 dan ADI= 0-10
mg / kg berat badan. Menurut PerMenKes RI No.722/MenKes/Per/IX/88untuk
bahan pengawet dapat digunakan asam benzoat dengan batas maksimum 350
mg/kg dan 210 INS (BPOM, 2019).
f. Penjelasan tentang prediksi dampak penambahan BTP terhadap karakteristik
produk yang tidak diinginkan dan upaya pencegahannya
Salah satu fungsi bahan tambahan pangan sebagai pengawet pangan atau
mencegah terjadinya reaksi kimia yang dapat menurunkan mutu pangan. Namun
disamping itu, jika penggunaan BTP berlebihan bisa menurunkan karakteristik
produk dan memicu penyakit dalam tubuh. Penambahan BTP yang berlebihan
pada keripik pisang dapat mengakibatkan rasa yang berlebihan pada tenggorokan,
tekstur menjadi sangat keras hingga susah dikunyah dan warna yang pekat.
Dampak lain sebagai penyebab hipersensitivitas seperti pewarna Tartrazin yang
dapat menginduksi reaksi alergi, terutama bagi orang yang alergi terhadap aspirin.
Kemudian jika mengonsumsi MSG berlebihan, menyebabkan kronis karena MSG
akan melekat pada sel retina mata dan menganggu kemampuan sel untuk
memancarkan signal ke otak sehingga memberikan efek kerusakan sel
hipotalamus (otak), hipertensi, asma, diabetes militus, kelematan otot dan tulang.
Maka dari itu, upaya pencegahannya dengan mengonsumsi MSG dengan batas
maksimal 120 mg/kg perhari dan Tartrazin batas maksimal penggunaan sebesar
70 mg/kg . Pada binatang percobaan akan mengakibatkan gejala kerusakan sel
syaraf otak, kerusakan retina mata , memicu cacat lahir, menginduksi kanker. Efek
lain misalnya, kerusakan sel darah merah (RN jingga), penyimpangan dalam
jaringan BVO dan atrofi testis (sikloheksilamin dari siklamat) merupakan faktor –
faktor yang ikut serta dalam keputusan toksikologi mengenai zat tambahan
makanan (Ratnani, 2009).
KESIMPULAN
Keripik pisang merupakan olahan dari bahan baku pisang pilihan yang
melalui proses pengupasan, pengirisan, perendaman, pencucian, pengeringan,
penggorengan, penambahan bumbu, dan pengemasan menggunakan plastik
standing pouch foil (PP) yang tertutup rapat untuk mencegah oksidasi yang
mengakibatkan ketengikan. Bahan tambahan pangan (BTP) bertujuan untuk
meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan. BTP yang
dapat diberikan berupa larutan Vitamin C, Natrium Metabisulfit (Na2SO5) dan
Kalsium karbonat (CaCO3) pada proses perendaman sebagai antibrowning,
pengawet, antioksidan dan pereduksi. Kemudian garam sebagai penyedap dan
pengawet, gula sebagai pemanis dan pemberi rasa alami, seasoning seperti MSG
sebagai penyedap rasa, pewarna kuning alami seperti kuning telur dan kunyit atau
pewarna sintetik seperti Tartrazin, dan antioksidan TBHQ pada minyak dan asam
benzoat. Dalam penambahan BTP harus sesuai dengan peraturan yang telah
ditetapkan BPOM karena jika berlebihan dapat merubah karakteristik suatu produk
makanan dan berbahaya bagi tubuh.

DAFTAR PUSTAKA

Akolo, Ingka dkk. 2018. Analisis Pengaruh Natrium Metabisulfit (Na2S2O5) dan
Lama Penyimpanan terhadap Proses Browning Buah Pir menggunakan
Rancangan Faktorial. Jtech 5(2), 54 – 58
Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia. 2019. Peraturan Badan
Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Bahan
Tambahan Pangan
Haryanto, Didit dkk. 2013. Penyusunan Draft Standard Operating Procedure (Sop)
Pengolahan Keripik Pisang (Studi Kasus Di Salah Satu Industri Rumah
Tangga Keripik Pisang Bandar Lampung). Jurnal Teknologi Industri dan
Hasil Pertanian Volume 18 No.2, hh.132-143
Herawati, Ervika dkk. 2017. Pendugaan Umur Simpan Keripik Pisang Salut Cokelat
“Purbarasa” Berdasarkan Angka Thio Barbituric Acid (TBA) dengan Metode
Accelerated Shelf Life Test (ASLT) Model Arrhenius. Jurnal Reaktor 17(3)
2017: 118-125
Ponno, Yahya dkk. 2016. Perubahan Massa Air, Volume, Dan Uji Organoleptik
Keripik Buah Dengan Berbagai Variasi Waktupada Penggorengan Tekanan
Hampa Udara. Jurnal Pendidikan Teknologi Pertanian, Vol. 2, No.6, hh.1-8
Putri, Annisa Risdianika. 2012. Pengaruh Kadar Air Terhadap Tekstur Dan Warna
Keripik Pisang Kepok (Musa parasidiaca formatypica). Skripsi Fakultas
Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar
Ratnani. 2009. Bahaya Bahan Tambahan Makanan Bagi Kesehatan. Jurnal
Momentum, Vol. 5, No. 1, hh. 16 – 22

Anda mungkin juga menyukai