Anda di halaman 1dari 42

1.

Terminologi Transformasi pedagogic


Dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen dikemukakan
kompetensi pedagogic adalah “kemampuan mengelola pembelajaran peserta
didik”. Depdiknas (2004:9) menyebut kompetensi ini dengan “kompetensi
pengelolaan pembelajaran”. Kompetensi ini dapat dilihat dari kemampuan
merencanakan program belajar mengajar, kemampuan melaksanakan
interaksi atau mengelola proses belajar mengajar, dan kemampuan
melakukan penilaian. Kompetensi menyusun rencana pembelajaran menurut
Joni (1984:12), kemampuan merencanakan program belajar mengajar
mencakup kemampuan : (1) merencanakan pengorganisasian bahan-bahan
pengajaran, (2) merencanakan pengelolaan kegiatan belajar mengajar, (3)
merencanakan pengelolaan kelas, (4) merencanakan penggunaan media dan
sumber pengajaran, dan (5) merencanakan penilaian prestasi siswa untuk
kepentingan pengajaran. Menurut Dwi Siswoyo, kompetensi Pedagogik
bukanlah kompetensi yang hanya bersifat teknis belaka, yaitu “kompetensi
mengelola peserta didik..” (yang dirumuskan dalam PP RI No. 19 tahun 2005),
karena “pedagogy” or “paedagogy” adalah “the art and science of teaching and
educating”(Dwi Siswoyo:2006).
Depdiknas (2004:9) mengemukakan kompetensi penyusunan rencana
pembelajaran meliputi; (1) mampu mendeskripsikan tujuan, (2) mampu
memilih materi, (3) mampu mengorganisir materi, (4) mampu menentukan
matode/strategi pembelajaran, (5) mampu menentukan sumber
belajar/media/alat peraga pembelajaran, (6) mampu menyusun perangkat
penilaian, (7) mampu menentukan teknik penilaian, dan (8) mampu
mengalokasikan waktu. Berdasarkan uraian di atas, merencanakan program
belajar mengajar merupakan proyeksi guru mengenai kegiatan yang harus
dilakukan siswa selama pembelajaran berlangsung, yang mencakup :
merumuskan tujuan, menguraikan deskripsi satuan bahasan, merancang
kegiatan belajar mengajar, memilih berbagai media dan sumber belajar, dan
merencanakan penilaian penguasaan tujuan. Kompetensi pedagogic ini
mencakup pemahaman dan pengembangan potensi peserta didik, perencanan
dan pelaksanaan pembelajaran, serta system evaluasi pembelajaran, juga
harus menguasai “ilmu pendidikan”. Kompetensi ini diukur dengan
performance test atau episodes terstruktur dalam praktek pengalaman
lapangan (PPL), dan tase based test yang dilakukan secara tertulis.
Kemampuan mengelola pembelajaran, meliputi :
1) Pemahaman peserta didik
2) Perancangan, pelaksanaan dan evaluasi hasil belajar
3) Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi
yang dimilikinya.
Pendidikan adalah proses sepanjang hayat dan perwujudan pembentukan diri
secara utuh dalam pengembangan segenap potensi dalam rangka
pemenuhan semua komitmen manusia sebagai individu, makhluk sosial dan
sebagai makhluk Tuhan. Dalam pendidikan, secara implicit terjalin hubungan

1
antara dua pihak, yaitu pihak pendidik dan pihak peserta didik yang di dalam
hubungan itu berlainan kedudukan dan peranan setiap pihak, akan tetapi
sama dalam hal dayanya yaitu salling mempengaruhi guna terlaksananya
proses pendidikan (transformasi pendidikan, nilai-nilai dan keterampilan-
keterampilan yang tertuju kepada tujuan-tujuan yang diinginkan.
Kalau mendidik diartikan sebagai memberi nasihat, petujnjuk, mendorong agar
rajin belajar, memberi motivasi, menjelaskan sesuatu atau ceramah, melarang
prilaku yang tidak baik, menganjurkan dan menguatkan perilaku yang baik,
dan menilai apa yang telah dipelajari anak, itu bisa dilakukan oleh semua
orang. Dan tidak perlu susah-susah membuat pendidik menjadi profesional.
Tetapi mendidik seperti ini apakah dapat menjamin anak-anak akan
berkembang sempurna secara batiniah dan lahiriah?
Mendidik adalah membuatkan kesempatan dan menciptakan situasi yang
kondusif agar anak-anak sebagai subjek berkembang sendiri. Mendidik adalah
suatu upaya membuat anak-anak mau dan dapat belajar atas dorongan diri
sendiri untuk mengembangkan bakat, pribadi, dan potensi-potensi lainnya
secara optimal. Berarti mendidik memusatkan diri pada upaya pengembangan
afeksi anak-anak, sesudah itu barulah pada pengembangan kognisi dan
keterampilannya. Berkembangnya afeksi positif terhadap belajar, merupakan
kunci keberhasilan belajar berikutnya, termasuk keberhasilan dalam meraih
prestasi kognisi dan keterampilan. Bila afeksi anak sudah berkembang secara
positif terhadap belajar, maka guru, dosen, orang tua, maupun anggota
masyarakat tidak perlu bersusah-susah membina mereka agar rajin belajar.
Apapun yang terjadi mereka akan belajar terus untuk mencapai cita-cita. Inilah
pengertian yang benar tentang mendidik. Melakukan pekerjaan mendidik
seperti ini tidaklah gampang. Hanya orang-orang yang sudah belajar banyak
tentang pendidikan dan sudah terlatih mampu melaksanakannya.
Sesudah paham akan makna kata mendidik, lalu dikembangkan criteria
keberhasilan mendidik. Keberhasilan itu tidak ditentukan olah prestasi
akademik peserta didik. Prestasi akademik otomatis akan muncul manakala
pendidikan berhasil. Lagipula prestasi seperti itu akan benar-benar
mencerminkan prestasi akademik mereka masing-masing secara obyektif
bukan karena mencontek atau cara-cara yang tidak sah lainnya, sebab para
peserta didik telah memiliki budaya belajar yang positif.

2
2. Teori yang berkaitan dengan pentingnya TKIP
a. Teori Pentingnya Teknologi komunikasi dan dalam Pendidikan
Kecenderungan dunia pendidikan di Indonesia masa mendatang
adalah :
 Berkembangnya pendidikan terbuka dengan modus belajar jarak jauh
(distance learning). Kemudahan untuk menyelenggarakan pendidikan
terbuka dan jarak jauh perlu dimaksukan sebagai strategi utama.
 Sharing resource bersama antar lembaga pendidikan/latihan dalam
sebuah jaringan perpustakaan dan instruen pendidikan lainnya
 Penggunaan perangkat teknologi informasi interaktif, seperti CD-ROM
Multimedia, dalam pendidikan secara bertahap menggantikan TV dan
Video. Dengan adanya perkembangan teknologi informasi dalam
bidang pendidikan, maka pada saat ini sudah dimungkinkan untuk
diadakan belajar jarak jauh dengan menggunakan media internet untuk
menghubungkan antara mahasiswa dnegan dosennya, melihat jadwal
kuliah, mengirimkan berkas tugas yang diberikan dosen, dan
sebagainya, semua itu sudah dapat dilakukan.

b. Peran Amigdala dalam Pencerdasan Manusia


1) Amigdala berperan sebagai sumber emosi. Hipocampus dan amigdala
merupakan bagian penting dalam ingatan dan pembelajaran otak.
Amigdala sendiri merupakan spesialis masalah-masalah emosional
yang jika dipisahkan dari otak maka seseorang tidak dapat menangkap
makna emosional atau mengalami kebutaan afektif. Le Doux adalah
orang pertama yang menemukan peran amigdala dalam otak
emosional, yang menjelaskan bahwa amigdala mampu mengambil alih
kendali apa yang kita kerjakan bahkan sewaktu otak sedang berpikir.
Hal ini menumbangkan gagasan lama tentang sistem limbik dengan
menempatkan amigdala pada pusat tindakan dan struktur limbik lainnya
pada peran yang amat berbeda.
2) Inti kecerdasan emosi. Amigdala bereaksi berdasarkan kognitif bawah
sadar, yaitu menangkap stimulus dari lingkungan sehingga mengetahui
identitas apa yang diterima serta memutuskan menyukai atau tidak baru
kemudian memberi pendapat tentangnya. hal ini dapat menjelaskan
mengapa emosi begitu penting bagi nalar yang efektif di dalam
pengambilan keputusan. Adanya pengaruh dari fungsi amigdala
terhadap neokorteks inilah yang merupakan inti kecerdasan emosional.
3) Mekanisme kerja kecerdasan emosi. Lobus prefrontal bagian kanan
yang terletak pada ujung lain dari sirkuit prefrontal merupakan tempat
perasaan-perasaan negatif (takut, marah, dan sebagainya). Lobus
prefrontal bagian kiri merupakan bagian yang berfungsi untuk
mematikan atau mengatur emosi-emosi yang tidak menyenangkan.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa lobus prefrontal merupakan
saklar peredam ledakan amigdala atau menjadi manajer emosi dengan

3
tugas menghambat sinyal-sinyal yang telah dikirim oleh amigdala dan
pusat-pusat limbik lainnya.
4) Dinamika IQ dikalahkan EI Korteks prefrontal merupakan wilayah yang
bertanggungjawab terhadap “ingatan kerja”, yaitu kemampuan atensi
untuk menyimpan fakta-fakta penting dalam pikiran yang berguna untuk
penyelesain maslah. Lobus Prefrontal ini terkait dengan sirkuit otak
limbik. Kaitan antara sirkuit prefrontal amigdala inilah yang merupakan
titik temu antara nalar dan emosi. Dengan demikian kemurungan
emosional yang terus menerus dapat mengganggu kemampuan kerja
intelektual seseorang sehingga dalam pengambilan keputusan dapat
menimbulkan bencana.
Kecerdasan rasional saja tidak menyediakan kemampuan untuk
menghadapi gejolak yang ditimbulkan oleh kesulitan hidup. Kecerdasan
emosilah yang memotivasi kita untuk mencari manfaat dan potensi unik
kita dan mengaktifkan aspirasi dan nilai-nilai yang paling dalam,
mengubahnya dari apa yang kita fikirkan menjadi apa yang kita jalani.
Kecerdasan emosional Reuven Bar On dibagi menjadi lima, yaitu:
1) Ranah intrapribadi memiliki lima skala yaitu; kesadaran diri, sikap
asertif, kemandirian, penghargaan diri dan aktualisasi diri.
2) Ranah antarpribadi memiliki tiga skala yaitu; empati tanggungjawab
sosial dan hubungan antarpribadi.
3) Ranah penyesuaian diri/orientasi kognitif memiliki tiga skala yaitu; uji
realitas, sikap fleksibel dan pemecahan masalah.
4) Ranah pengendalian stress memiliki dua skala yaitu; ketahanan
menanggung stress dan pengendalian impuls.
5) Ranah suasana hati/afeksi memiliki dua skala yaitu; optimisme dan
kebahagiaan.
Hal ini serupa dengan pendapat Segal bahwa wilayah EQ adalah
hubungan pribadi dan antarpribadi; EQ bertanggungjawab atas harga diri,
kesadaran diri, kepekaan sosial dan kemampuan adaptasi sosial.28
Salovey memperluas kecerdasan emosional menjadi lima wilayah utama,
yaitu:
1) Empati Merasakan yang dirasakan oleh orang lain dan memahami
perspektifnya, menumbuhkan hubungan saling percaya serta
menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang.
2) Kesadaran diri Mengetahui apa yang kita rasakan dan
menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri
serta memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan dan
kepercayaan diri yang kuat.
3) Pengaturan diri Menangani emosi kita sehingga berdampak positif
terhadap pelaksanaan tugas; peka terhadap kata hati dan sanggup
menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, mampu pulih
kembali dari tekanan emosi.

4
4) Motivasi Menggunakan hasrat untuk menggerakan dan menuntun
menuju sasaran, membantu mengambil inisiatif dan bertindak sangat
efektif serta bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi.
5) Keterampilan sosial Menangani emosi dengan baik ketika berhubungan
dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan
sosial dan berinteraksi dengan lancar serta menggunakan keterampilan
ini untuk mempengaruhi orang lain. Senada dengan pendapat di atas,
Shapiro juga menyebutkan kualitas- kualitas kecerdasan emosional,
diantaranya: empati, mengungkapkan dan memahami perasaan,
mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri,
disukai, kemampuan memecahkan masalah antarpribadi, ketekunan,
kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat.

c. Mazhab Pembelajaran Matematika


- Teori Pemahaman (Undersanding) dari Skemp
Bell (1978) mengemukakan bahwa “Understanding of theories about
how people learn and the ability to aply these theories in tesching
mathematics are important prerequisites for effective mathematics
teaching”. Apa yang telah dikemukakan tersebut menunjukkan kepada
guru akan pentingnya pemahaman teori-teori yang berkait dengan
sebagaimana para siswa belajar dan bagaimana mengaplikasikan teori
tersebut di kelasnya masing-masing. Salah seorang ahli adalah Skemp
yang telah menyatakan dan membedakan dua pemahaman yaitu
pemahaman relasional dan pemahaman instrumental. Menurut Skemp,
yang disebut pemahaman relasional adalah memahami dua hal secara
bersama-sama, yatu apa dan mengapanya. Sedangkan pemahaman
instrumental adalah pemahaman secara keseluruhan.
Misalkan seorang guru matematika SMA mengingatkan siswa tentang
rumus suku ke-n suatu barisan aritmetika adalah Un = a + (n-1) b.
Seorang siswa lalu ada yang menyatakan bahwa ia tidak mengerti
tentang rumus itu. Gurunya lalu menjelaskan dengan menyatakan :
“rumus itu menunjukkan bahwa untuk menentukan suku ke-n suatu BA
adalah dengan mengalikan banyaknya suku setlah dikurangi 1 dengan
bedanya lalu hasilnya ditambah dengan suku pertamanya”. Si siswa
lalu menyatakan : “kalau begitu saya paham sekarang,” si siswa lalu
menlanjutkan menyelesaikan tugasnya mengerjakan latihan-latihan
soal.
- Teori Konstruktivisme
Teori ini menyatakan bahwa pengetahuan akan tersusun atau
terbangun di dalam pikiran siswa sendiri ketika ia berupaya untuk
mengorganisasikan pengalaman barunya berdasar pada kerangka
kognitif yang sudah ada di dalam pikirannya. Dengan demikian,
pengetahuan tidak dapat dipindahkan dengan begitu saja darei otak

5
seorang guru ke otang setiap siswa. setiap siswa harus membangun
pengetahuan itu did lam otaknya sendiri-sendiri.
Para ilmuan pernah menyatakan benda-benda langit berputar
mengelilingi bumi. Pendapat yang salah ini dapat bertahan selama dua
abad lamanya. Jika para ilmuan dapat melakukan kesalahan, maka
para siswa akan dapat melakukan kesalahan dengan kadar yang jauh
lebih tinggi karena keterbatasan pengalaman, penalaran dan
pengetahuan prasyarat mereka. Di dalam ruang kelas, ada siswa yang
menyatakan bahwa 1 : ½ = ½ . Mungkin saja, 1 : ½ telah diperlakukan
seperti memperlakukan 1 : 2. Contoh ini sebetulnya telah menunjukkan
inti dari konstruktivisme, yaitu para siswa akan secara aktif membangun
pengetahuannya, dalam hal ini secara tidak sadar telah membangun
suatu teori atau pengetahuan bahwa 1 : ½ = ½ berdasar pada
pengetahuan yang sudah dimilikinya, yaitu 1 : 2.
- Teori Presentasi Bruner
Teori bruner tentang tiga tahap pada proses belajar berkait dengan tiga
tahap yang harus dilalui agar para siswa proses belajarnya dapat terjadi
secara optimal. Dalam arti akan terjadi internaslisasi pada diri siswa
tersebut, yaitu suatu keadaan dimana pengalaman yang baru dapat
menyatu ke dalam struktur kognitif mereka. Ketiga tahap proses belajar
tersebut adalah :
(1) Tahap enaktif
Pada tahap ini, siswa dituntut untuk mempelajari pengetahuan
matematika dengan menggunakan sesuatu yang lebih konkret bagi
siswa. Contohnya, 72 x 73 = 75, akan jauh lebih konkret dasripada
ma x mb = ma+b.
(2) Tahap Ikonik
Setelah mempelajari pengetahuan dengan benda nyata atau benda
konkret, tahap berikutnya adalah tahap ikonik, dimana para siswa
mempelajari suatu pengetahuan dalam bentuk gambar atau diagram
sebagai perwujudan dari kegiatan yang menggunakan benda
konkret atau nyata tadi.
(3) Tahap Simbolik
Dengan menjumlahkan dua bilangan bulat hanya dengan
menggunakan garis-garis bilangan maupun koin positif dan
negative, baik secara enaktif (menggunakan benda nyata) maupun
ikonik (menggunakan gambar atau diagram), belumlah cukup. Untuk
itu, menurut Brunner para siswa harus melewati suatu tahap dimana
pengetahuan tersebut diwujudkan dalam bentuk symbol-simbol
abstrak. Dengan kata lain, siswa harus mengalami proses abstraksi
yang terjadi pada saat seseorang menyadari adanya kesamaan di
antara perbedaan-perbedaan yang ada.
Penggunaan dan pemilihan teori yang cocok untuk setiap materi pada
mata pelajaran matematika adalah ditentukan oleh karakteristik materi dan

6
karakteristik siswa yang diajar. Dengan kata lain, semua teori dapat
digunakan, asalkan disesuaikan dengan materi maupun siswa yang akan
diterapkan teori belajar matematika.

7
d. Cara memperbaiki Sembilan kesalahan arah proses pendidikan kita

Ukuran keberhasilan atau sukses pendidikan selama ini selalu


ditekankan pada aspek kuantitatif (angka-angka) seperti pencapaian NEM,
nilai raport, perolehan kursi Perguruan Tinggi Negeri dan sebagainya.
Padahal seharusnya tolak ukur keberhasilan pendidikan tidak hanya
menyangkut aspek kognitif namun juga aspek afektif dan psikomotorik.
Sehingga watak atau karakter anak, keimanan kepada Tuhan, sopan
santun, akhlak, budi pekerti luhur dimasukkan dalam kriteria disamping
nilai akademis yang baik. Paradigma terakhir inilah yang seharusnya
dijadikan acuan dalam menilai keberhasilan proses pendidikan sehingga
tidak hanya terjadi transfer knowladge dalam proses pembelajaran akan
tetapi juga terjadi transfer value and skill. Dengan orientasi seperti ini maka
anak selain pintar juga memahami nilai-nilai yang berlaku dimasyarakat
sesuai dengan disiplin ilmu yang dipelajarinya serta mempunyai
keterampilan hidup dalam menghadapi permasalahan-permasalahan di
masyarakat.
Mengacu pada paradigma tersebut dapat dipahami bahwa
pendidikan merupakan tanggung jawab bersama yang harus diemban
secara berkesinambungan dan terencana dalam merubah perilaku anak ke
arah yang lebih baik dan dewasa. Paradigma pendidikan tersebut, yang
pada hakikatnya merupakan tujuan pembangunan pendidikan Indonesia
harus dijadikan paradigma dalam membangun dunia pendidikan. Pemikiran
bahwa keberhasilan pendidikan hanya dapat dilihat sebatas angka-angka
(hasil) harus mulai mengalami transformasi ke arah “proses” . Hal ini
sangat sejalan dengan semangat reformasi total yang selama ini begitu
gencar dan marak disuarakan dengan sudah diberlakukannya Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ).

Perbaikan Sistem Evaluasi Pendidikan


Sistem evaluasi pendidikan di tingkat SD, SMP, dan SMA, serta Perguruan
Tinggi perlu dirancang agar memacu peserta didik untuk lebih kreatif,
imaginative, dan inovatif. Sistem evaluasi yang selama ini kerap dipakai
adalah sistem pilihan berganda yang memungkinkan peserta didik untuk
melakukan upaya coba-coba. Sistem evaluasi seperti ini memang
memudahkan untuk upaya pengkoreksian, namun peserta didik seakan
dihambat untuk mengemukakan pendapatnya sendiri karena pilihan
terbatas pada apa yang tersedia dalam lembar ujian. Berbeda halnya
dengan ujian essay yang merangsang peserta didik untuk berfikir kreatif,
imaginative, dan inovatif. Untuk menjembataninya maka perlu ditawarkan
sistem evaluasi perpaduan yang mengakomodasi kreatifitas siswa. Disisi
lain evaluasi yang sempurna adalah juga evaluasi yang tidak hanya
mengukur IQ (kecerdasan otak anak) akan tetapi kecerdasan emosi (EQ),

8
kecerdasan spiritual (SQ), kecerdasan social (SbsQ) harus menjadi dasar
dalam penilaian keberhasilan pendidikan.

Revisi Materi Pembelajaran


Perlunya revisi materi pembelajaran untuk menjawab tantangan dunia kerja
sehingga terjadi link and match antara dunia pendidikan dan dunia karja.
Selain itu lembaga-Iembaga pendidikan perlu dipacu untuk menjalin kerja
sama dengan dunia usaha. Kerja sama ini sangat penting dalam rangka
mencari titik temu antara permintaan bursa tenaga kerja dengan out put
pendidikan serta dalam rangka memacu berbagai riset ilmiah dimanfaatkan
oleh dunia usaha sehingga kekurangan dana untuk riset yang selama ini
dikeluhkan oleh dunia pendidikan dapat disediakan oleh dunia usaha yang
membutuhkan temuan-temuan yang dihasilkan oleh riset ilmiah.

Pembaharuan Sistem Proses Belajar Mengajar


Perlunya dilakukan pembaharuan sistem proses belajar mengajar untuk
menumbuhkan kegemaran belajar pada siswa dengan memanfaatkan
temuan- temuan terbaru dalam pendidikan yang menggabungkan antara
konsep pembelajaran serta konsep discovery dan entertainment, serta
memanfaatkan ICT sebagai media belajar dengan mengoptimalkan
sumber-sumber belajar lain di internet, alam sekitar, dan lain-lain.

9
Penetapan Aturan Yang Ketat Dalam Pemberian Gelar Akademis
Perlunya diterapkan aturan yang ketat dalam pemberian titel dan gelar
akademik sehingga dihasilkan out put pendidikan yang berkualitas.
Penekanan terhadap konsep pendidikan sebagai suatu proses merupakan
suatu pilihan agar titel. Dan gelar akademis tidak hanya dipandang dari
segi seremonial dan statusnya. . . .

Keseimbangan Antara Praktek dan Teori Dalam Pembelajaran


Perlunya dilakukan keseimbangan antara praktek dan teori dalam
pembelajaran sehingga peserta didik mampu mengapresiasi ilmu yang
diperolehnya dan menemukan relevansi ilmu tersebut dengan kehidupan
dan keperluan hidup sehari-hari.

Pemberian Otonom; Kepada Lembaga-Lembaga Pendidikan


Pemberian otonomi kepada lembaga-Iembaga pendidikan dalam
penyelenggaraan proses pendidikan dengan melibatkan secara aktif
seluruh “stake holder” lembaga pendidikan sehingga terbentuk lembaga
pendidikan yang mandiri.

Penghargaan Terhadap Profesi Guru


Penghargaan terhadap profesi guru dengan meningkatkan tingkat
kesejahteraan guru serta peningkatan profesionalisme melalui berbagai
pelatihan dan kesempatan melanjutkan pendidikan.

Pemerataan Kesempatan Belajar


Perlunya dilakukan pemerataan kesempatan belajar dengan penyediaan
sarana dan prasarana yang memadai, jika pemerintah merencanakan wajib
belajar sembilan atau mungkin 12 tahun akan tetapi secara rasio antara
sekolah dasar dengan sekolah lanjutan pertama saja perbandingannya
sudah sangat jauh, maka kita kecil sekali berharap bahwa program
tersebut dapat berjalan dengan baik.

Strategi Sekolah dalam Daerah Otonom


Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut di atas, maka upaya
yang dilakukan harus tertata dengan baik yakni antara pemerintah,
sekolah, keluarga serta masyarakat dalam membangun sekolah masa
depan.
Untuk itu maka ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan oleh
sekolah dalam era otonomi dan persaingan global tersebut, antara lain:
1) Pengembangan Sikap Siswa
Sikap siswa yang harus dikembangkan dalam menghadapi
persaingan adalah sebagai berikut:
a) Flexibility ( fleksibel) guna memasuki tahun 2009 yang sarat dengan
persaingan, maka sikap yang fleksibel amat diperlukan. Seorang anak

10
harus dapat dan mampu beradaptasi dengan segala situasi, kondisi,
dan orang yang dihadapinya.
b) Futuritive (berorientasi pada masa depan), segala sesuatu yang
dilakukan dan diprogramkan untuk anak harus berorientasi pada
kemajuan dan mengantisipasi masa depan.
c) Openess (terbuka). Sikap yang terbuka merupakan keharusan yang
tidak bisa ditawar, khususnya terbuka terhadap perubahan. Orang yang
tidak mau menerima perubahan akan selalu tertinggal dan ditinggalkan.
d) Planned (mempunyai perencanaan) . Keberhasilan selalu diawali
dengan sebuah perencanaan yang baik. Tanpa perencanaan, maka
akan sulit bagi siswa untuk melakukan atau mengerjakan sesuatu.
Untuk itu sekolah harus selalu mendorong siswa untuk senantiasa
membuat perencanaan. Plan your work. Work your plan.
e) Competitive (bersaing). Agar anak termotivasi untuk berprestasi maka
sekolah harus menciptakan suasana persaingan yang sehat di antara
semua siswa. Ciptakan situasi dan sugesti dimana setiap anak
mempunyai kesempatan yang sarna untuk mencapai suatu prestasi.
f) Tolerance to failure (toleransi terhadap kegagalan). Kegagalan adalah
keberhasilan yang tertunda. Itulah yang harus selalu ditekankan pada
siswa agar ia tidak kecewa dan patah semangat jika mengalami sebuah
kegagalan. Dengan sikap seperti ini siswa akan termotivasi untuk selalu
mencoba dan tidak terpaku pada hasil. Kedua, Toleransi terhadap
ketidakpastian, era globalisasi merupakan era yang penuh dengan
ketidakpastian. Anak yang senantiasa menghadapi persoalan dalam
situasi yang terus berubah anak terdidik untuk senantiasa mempunyai
toleransi terhadap ketidakpastian. Dengan perubahan yang begitu
cepat bukan menjadikan anak menajdi cemas bahkan mengalah
dengan keadaan akan tetapi menjadikan ia kreatif untuk mencari solusi
atas ketidakpastian yang ia hadapi. Ketiga, toleransi terhadap
ketidaksempurnaan. Setiap orang atau masa (kurun waktu) pasti
mempunyai kelemahan dan kelebihan, untuk itu maka yang perlu
dibangun adalah sikap toleran terhadap kekurangan dan kelebihan
orang lain.
g) Diciplene (disiplin) . Sikap ini merupakan sebuah keharusan mutlak.
Tanpa adanya kedisiplinan, khususnya terhadap rencana yang tetah
dibuat maka akan sulit untuk mendapatkan keberhasiJan. Untuk itu
seorang anak harus didorong untuk belajar disiplin.
h) Diligence (rajin, tekun). Orang bijak mengatakan rajin pangkal pandai.
Tanpa adanya sikap rajin/tekun maka akan sulit bagi seorang siswa
untuk mencapai keberhasilan. Sikap tekun dan rajin ini harus dupupuk
di sekolah dalam menghasitkan pribadi anak yang bersungguh-sungguh
dalam bekerja.

11
i) Taqwa. Taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan sumber
kekuatan seseorang yang memberi arah dan makna pada semua
aktivitas yang ditakukan.

2) Keterampilan berfikir siswa yang harus dikembangkan


Keterampilan berfikir atau motivasi akademik siswa yang harus
dikembangkan untuk menghadapi era globalisasi adalah sebagai berikut:
a) Creative (kreativitas). Siswa yang kreatif tidak mudah untuk dipengaruhi
oleh orang lain. Dengan ide-ide kreatifnya ia akan menciptakan kreasi-
kreasi baru yang orisinil (bukan tiruan).
b) Inovative (Inovasi/pembaharuan). Mempunyai inovasi merupakan salah
satu prasyarat dalam memasuki era globalisasi. Dengan adanya inovasi
maka seorang siswa akan selalu berorientasi pada perubahan .
c) Critical (kritis) . Sikap kritis akan membuat seseorang peka terhadap
situasi. Sehingga dengan kecersdasan dan inovasinya ia akan
tertantang untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.
d) Analitical (analisa). Siswa yang siap memasuki era persaingan global
adalah siswa yang mampu menganalisis semua fenomena yang ada
disekelilingnya.
e) Hipothesised (Jawaban sementara). Jawaban sementara yang dimiliki
siswa dalam menghadapai perubahanmutlak diperlukan, agar ia tidak
menjadi generasi yang tidak jelas dalam arah hidupnya.

12
3. a. Sepuluh perubahan Pendidikan
1) Pendidikan sebagai proses pembelengguan atau proses pembebasan
Pendidikan bagi kaum tertindas haruslah dirancang sebagai perlawanan
yang membebaskan mereka. Metodologi mengenai hal ini dimaksudakan
untuk mengola bagaimana penindasan dapat berpartisipasi langsung
dalam pendidikan seperti ini. Metode pendidikannya bersifat aktif dan
bersifat pasif dan secara tidak langsung merefleksikan apa yang terjadi
dalam dunia nyata. Ini dikarenakan, manusia adalah makhluk eksistensial
yang ada dalam dan bersama dunia. Interaksi dengan dunia adalah wadah
atau tempat perenungan manusia. ini lah yang oleh Paolo Freire sebagai
proses pembebasan.
2) Pendidikan sebagai proses pembodohan atau proses pencerdasan
Dalam skala yang lebih besar dibanding diri sendiri maka kecerdasan atas
bangsa dan negeri ini menjadi sebuah impian yang bisa kembali kita
upayakan pencapaiannya secara serius di tahun kelinci ini. Bangsa yang
cerdas akan menjadikan negeri ini menjadi negeri yang cerdas. Negeri
yang cerdas akan membuat kita dihormati dalam pergaulan internasional.
Negeri yang cerdas memungkinkan kehidupan masyarakatnya menjadi
jauh lebih baik dan lebih sejahtera.
3) Pendidikan sebagai proses perampasan hak anak-anak atau justru
menjunjung tinggi hak anak-anak
Dalam dunia pendidikan hak-hak anak terkesan dirampas, hal ini
disebabkan
masyarakat menjadikan sekolah sebagai panggung pentas, bukan sebagai
tempat latihan maupun laboratorium belajar. Pembelajaran di sekolah
diharapkan oleh orang tua siswa untuk memperoleh ranking atas, sehingga
anak diharuskan mendapat nilai yang baik. Anak harus naik ke panggung
pentas dengan nilai terbaik, tetapi tidak untuk belajar dengan baik. Oleh
karena itu, sistem ranking di sekolah memacu masyarakat untuk
memperoleh persepsi yang salah tentang pendidikan di sekolah.
4) Pendidikan menghasilkan tindak kekerasan atau menghasilkan tindak
perdamaian
Maraknya tawuran pelajar merupakan bukti bahwa pendidikan
menghasilkan
tindak kekerasan. Konflik tidak berusaha dipecahkan secara damai dan
kreatif, namun sebaliknya dengan kekerasan. Konflik antara guru-siswa
juga sering mencuat, memberikan gambaran bahwa konflik belum dapat
diselesaikan secara damai.
Hal ini merefleksikan pengalaman mereka baik di dalam keluarga, sekolah
maupun masyarakat. Kemasan seni pertunjukan (sinetron, dll) terkesan
menonjolkan kekerasan dalam setiap penyelesaian konflik. Dalam
kehidupan keluarga, konflik suami, isteri, orang tuan, dan anak
mengesankan kekerasan dalam cara penyelesaiannya.

13
Kejujuran sering menjadi sumber kemarahan sehingga menipu lebih
selamat daripada jujur Anak yang belum memahami suatu pelajaran,
seringkali dikatakan sebagai anak yang bodoh (menjadi penyebab anak
kehilangan jati diri) Padahal pendidikan adalah proses pemberdayaan,
yang diharapkan dapat memberdayakan peserta didik menjadi manusia
yang cerdas, manusia berilmu dan berpengetahuan, serta terdidik.
5) Pendidikan sebagai proses pengebirian potensi manusia atau
pemberdayaan potensi manusia
Secara realita, matapelajaran masih terkesan terkotak-kotak. Kurikulum
belum mampu menjadikan anak memiliki wawasan integratif, yaitu manusia
terdidik yang berilmu dan berpengetahuan sekaligus beriman mampu
hidup dalam perbedaan.
Setiap perbedaan dalam masyarakat dapat menjadi pemicu konflik, yang
pemecahannya dilakukan secara kekerasan Belajar dengan pendekatan
kelompok memiliki peranan penting. Saat ini pendekatan belajar masih
didominasi dengan belajar tekstual yang tidak mampu membangun
kesadaran, sikap dan tindakan.

14
6) Pendidikan untuk memecah wawasan manusia atau menyatukan
wawasan manusia
Pelajaran sejarah yang semestinya mampu dimanfaatkan sebagai alat
pendekatan mengenal karakteristik bangsa masih terfokus menjadi
pelajaran hapalan Pelajaran geografi yang semestinya mampu
membangun kesadaran dalam memahami karakteristik tanah air, juga
masih menjadi bahan hapalan. Proses pembelajaran dan bahan pelajaran
belum mampu membangun sikap dan kesadaran persatuan
7) Pendidikan sebagai wahan disintegrasi atau justru wahana
mempersatukan bangsa
Pendidikan masih terkesan otoriter, baik manajemen, interaksi, proses,
kedudukan maupun substansinya. Pejabat pendidikan, seakan-akan telah
memiliki modal ”benar dalam segala hal, sehingga berhak mengoreksi,
memberi petunjuk, berhak menyalahkan bawahan, dll. Pengawasan
melekat (waskat) menjadikan atasan otoriter, padahal justru informasi dari
bawahan umumnya membawa kebenaran.
8) Pendidikan menghasilkan manusia otoriter atau menghasilkan
manusia demokratis
Transaksi pendidikan masih satu arah dan vertikal. Sumber informasi
masih didominasi oleh guru. Pembelajaran jarang didudukkan sebagai
sumber informasi alternatif sehingga menyebabkan tidak terjadi interaksi
horizontal. Pengalaman demokratis belum diperoleh dalam pembelajaran,
masih dipahami secara tekstual. Dalam praktik, kedudukan substansi, dan
proses pembelajaran masih berorientasi vertikal, yakni dari atas ke bawah.
9) Pendidikan menghasilkan manusia apatis terhdap lingkungan atau
responsive dan peduli terhdap lingkungan
Sikap otoriter dalam sistem pendidikan, menciptakan manusia patuh,
namun disisi lain berakibat anak menjadi pemberontak, kemudian yang
disalahkan adalah budi pekerti. Anak menjadi tidak terangsang untuk
peduli lingkungan, karena sumber pendidikan satu-satunya adalah teks.
Pengalaman anak yang beragam dan sangat berharga, jarang
dimanfaatkan sebagai sumber belajar Evaluasi keberhasilan juga oleh
ditentukan oleh ukuran tekstual, bukan konseptual, sehingga anak
dijadikan sebagai korban untuk kurikulum, bukan
kurikulum untuk anak.
10) Pendidikan hanya terjadi di sekolah atau bisa terjadi di mana-mana
Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
pada dasarnya merupakan undang-undang pendidikan sekolah, bukan
sistem pendidikan nasional. Hal ini disebabkan undang-undang tersebut
hanya mengatur sistem pendidikan di sekolah, mulai dari taman kanak-
kanak hingga perguruan tinggi, yang akibatnya sekolah menjadi gudang
tuntutan semua muatan pendidikan, sampai akhirnya menjadi rancu.

15
b. Langkah yang ditempuh oleh guru professional untuk menjamin
pendidikan yang bermanfaat bagi bangsa
Dalam konteks yang aplikatif, kemampuan professional guru dapat
diwujudkan dalam penguasaan sepuluh kompetensi guru, yang meliputi:
1) Menguasai bahan, meliputi: a) menguasai bahan bidang studi dalam
kurikulum, b) menguasai bahan pengayaan/penunjang bidang studi.
2) Mengelola program belajar-mengajar, meliputi: a) merumuskan tujuan
pembelajaran, b) mengenal dan menggunakan prosedur pembelajaran
yang tepat, c) melaksanakan program belajar-mengajar, d) mengenal
kemampuan anak didik.
3) Mengelola kelas, meliputi: a) mengatur tata ruang kelas untuk
pelajaran, b) menciptakan iklim belajar-mengajar yang serasi.
4) Penggunaan media atau sumber, meliputi: a) mengenal, memilih dan
menggunakan media, b) membuat alat bantu yang sederhana, c)
menggunakan perpustakaan dalam proses belajar-mengajar, d)
menggunakan micro teaching untuk unit program pengenalan lapangan.
5) Menguasai landasan-landasan pendidikan.
6) Mengelola interaksi-interaksi belajar-mengajar.
7) Menilai prestasi siswa untuk kepentingan pelajaran.
8) Mengenal fungsi layanan bimbingan dan konseling di sekolah, meliputi:
a) mengenal fungsi dan layanan program bimbingan dan konseling, b)
menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling.
9) Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah.
10) Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan
guna keperluan pengajaran

c. Makna Profesionalisme guru bagi suatu bangsa


Profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu
pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi
penerapannya. Profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan
manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme
lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi
tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
Memperhatikan kualitas guru di Indonesia memang jauh berbeda
dengan dengan guru-guru yang ada di Amerika Serikat atau Inggris. Di
Amerika Serikat pengembangan profesional guru harus memenuhi standar
empat standar standar pengembangan profesi guru yaitu;
1) Standar pengembangan profesi A adalah pengembangan profesi untuk
para guru sains memerlukan pembelajaran isi sains yang diperlukan
melalui perspektif-perspektif dan metode-metode inquiri. Para guru
dalam sketsa ini melalui sebuah proses observasi fenomena alam,
membuat penjelasan-penjelasan dan menguji penjelasan-penjelasan
tersebut berdasarkan fenomena alam;

16
2) Standar pengembangan profesi B adalah pengembangan profesi untuk
guru sains memerlukan pengintegrasian pengetahuan sains,
pembelajaran, pendidikan, dan siswa, juga menerapkan pengetahuan
tersebut ke pengajaran sains. Pada guru yang efektif tidak hanya tahu
sains namun mereka juga tahu bagaimana mengajarkannya. Guru yang
efektif dapat memahami bagaimana siswa mempelajari konsep-konsep
yang penting, konsep-konsep apa yang mampu dipahami siswa pada
tahap-tahap pengembangan, profesi yang berbeda, dan pengalaman,
contoh dan representasi apa yang bisa membantu siswa belajar;
3) Standar pengembangan profesi C adalah pengembangan profesi untuk
para guru sains memerlukan pembentukan pemahaman dan
kemampuan untuk pembelajaran sepanjang masa. Guru yang baik
biasanya tahu bahwa dengan memilih profesi guru, mereka telah
berkomitmen untuk belajar sepanjang masa. Pengetahuan baru selalu
dihasilkan sehingga guru berkesempatan terus untuk belajar;
4) Standar pengembangan profesi D adalah program-program profesi
untuk guru sains harus koheren (berkaitan) dan terpadu. Standar ini
dimaksudkan untuk menangkal kecenderungan kesempatan-
kesempatan pengembangan profesi terfragmentasi dan tidak
berkelanjutan.
Apabila guru di Indonesia telah memenuhi standar profesional guru
sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat maka kualitas Sumber Daya
Manusia Indonesia semakin baik. Selain memiliki standar profesional guru
sebagaimana uraian di atas, di Amerika Serikat dijelaskan bahwa untuk
menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal:
1) Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya,
2) Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang
diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa,
3) Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui
berbagai cara evaluasi,
4) Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan
belajar dari pengalamannya,
5) Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam
lingkungan profesinya.
Guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan mempunyai :
1) Dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat
teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21;
2) penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan
yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan
konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di
lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya
diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia;
3) pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi
guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan

17
berkesinambungan antara LPTK dengan praktek pendidikan.
Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya
program pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis
yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah.

Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya


paradigma baru untuk melahirkan profil guru Indonesia yang profesional di
abad 21 yaitu; (1) memiliki kepribadian yang matang dan berkembang; (2)
penguasaan ilmu yang kuat; (3) keterampilan untuk membangkitkan
peserta didik kepada sains dan teknologi; dan (4) pengembangan profesi
secara berkesinambungan. Keempat aspek tersebut merupakan satu
kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha
lain yang ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru yang profesional.
Dimensi lain dari pola pembinaan profesi guru adalah (1) hubungan
erat antara perguruan tinggi dengan pembinaan SLTA; (2) meningkatkan
bentuk rekrutmen calon guru; (3) program penataran yang dikaitkan
dengan praktik lapangan; (4) meningkatkan mutu pendidikan calon
pendidik; (5) pelaksanaan supervisi; (6) peningkatan mutu manajemen
pendidikan berdasarkan Total Quality Management (TQM); (7) melibatkan
peran serta masyarakat berdasarkan konsep linc and match; (8)
pemberdayaan buku teks dan alat-alat pendidikan penunjang; (9)
pengakuan masyarakat terhadap profesi guru; (10) perlunya pengukuhan
program Akta Mengajar melalui peraturan perundangan; dan (11) kompetisi
profesional yang positif dengan pemberian kesejahteraan yang layak.
Apabila syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu terpenuhi akan
mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan
dinamis. Hal ini sejalan dengan pendapat Semiawan (1991) bahwa
pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang
semula sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam
menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang invitation learning
environment. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru memiliki
multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator,
transformator, change agent, inovator, konselor, evaluator, dan
administrator.
Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara
global, karena guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan
informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga
membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era
hiperkompetisi. Tugas guru adalah membantu peserta didik agar mampu
melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta
desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini
meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual, sosial,
emosional, dan keterampilan. Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan
saja guru harus mempersiapkan generasi muda memasuki abad

18
pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik
sebagai individu maupun sebagai profesional.

Kondisi pendidikan nasional kita memang tidak secerah di negara-


negara maju. Baik institusi maupun isinya masih memerlukan perhatian
ekstra pemerintah maupun masyarakat. Dalam pendidikan formal, selain
ada kemajemukan peserta, institusi yang cukup mapan, dan kepercayaan
masyarakat yang kuat, juga merupakan tempat bertemunya bibit-bibit
unggul yang sedang tumbuh dan perlu penyemaian yang baik. Pekerjaan
penyemaian yang baik itu adalah pekerjaan seorang guru. Jadi guru
memiliki peran utama dalam sistem pendidikan nasional khususnya dan
kehidupan kita umumnya.
Guru sangat mungkin dalam menjalankan profesinya bertentangan
dengan hati nuraninya, karena ia paham bagaimana harus menjalankan
profesinya namun karena tidak sesuai dengan kehendak pemberi petunjuk
atau komando maka cara-cara para guru tidak dapat diwujudkan dalam
tindakan nyata. Guru selalu diinterpensi. Tidak adanya kemandirian atau
otonomi itulah yang mematikan profesi guru dari sebagai pendidik menjadi
pemberi instruksi atau penatar. Bahkan sebagai penatarpun guru tidak
memiliki otonomi sama sekali. Selain itu, ruang gerak guru selalu dikontrol
melalui keharusan membuat satuan pelajaran (SP). Padahal, seorang guru
yang telah memiliki pengalaman mengajar di atas lima tahun sebetulnya
telah menemukan pola belajarnya sendiri. Dengan dituntutnya guru setiap
kali mengajar membuat SP maka waktu dan energi guru banyak terbuang.
Waktu dan energi yang terbuang ini dapat dimanfaatkan untuk
mengembangkan dirinya.

Dunia guru masih terselingkung dua masalah yang memiliki mutual


korelasi yang pemecahannya memerlukan kearifan dan kebijaksanaan
beberapa pihak terutama pengambil kebijakan; (1) profesi keguruan kurang
menjamin kesejahteraan karena rendah gajinya. Rendahnya gaji
berimplikasi pada kinerjanya; (2) profesionalisme guru masih rendah.
Selain faktor di atas faktor lain yang menyebabkan rendahnya
profesionalisme guru disebabkan oleh antara lain; (1) masih banyak guru
yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini disebabkan oleh
banyak guru yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari sehingga waktu untuk membaca dan menulis untuk
meningkatkan diri tidak ada; (2) belum adanya standar profesional guru
sebagaimana tuntutan di negara-negara maju; (3) kemungkinan
disebabkan oleh adanya perguruan tinggi swasta sebagai pencetak guru
yang lulusannya asal jadi tanpa mempehitungkan outputnya kelak di
lapangan sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap
etika profesi keguruan; (4) kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan

19
kualitas diri karena guru tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang
diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi.
Pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan profesionalisme
guru diantaranya meningkatkan kualifikasi dan persyaratan jenjang
pendidikan yang lebih tinggi bagi tenaga pengajar mulai tingkat
persekolahan sampai perguruan tinggi. Program penyetaaan Diploma II
bagi guru-guru SD, Diploma III bagi guru-guru SLTP dan Strata I (sarjana)
bagi guru-guru SLTA. Meskipun demikian penyetaraan ini tidak bermakna
banyak, kalau guru tersebut secara entropi kurang memiliki daya untuk
melakukan perubahan.
Selain diadakannya penyetaraan guru-guru, upaya lain yang
dilakukan pemerintah adalah program sertifikasi. Program sertifikasi telah
dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam (Dit
Binrua) melalui proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar (ADB Loan
1442-INO) yang telah melatih 805 guru MI dan 2.646 guru MTs dari 15
Kabupaten dalam 6 wilayah propinsi yaitu Lampung, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, NTB dan Kalimantan Selatan (Pantiwati, 2001).
Selain sertifikasi upaya lain yang telah dilakukan di Indonesia untuk
meningkatkan profesionalisme guru, misalnya PKG (Pusat Kegiatan Guru,
dan KKG (Kelompok Kerja Guru) yang memungkinkan para guru untuk
berbagi pengalaman dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka
hadapi dalam kegiatan mengajarnya (Supriadi, 1998).
Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus
menerus. Dalam proses ini, pendidikan prajabatan, pendidikan dalam
jabatan termasuk penataran, pembinaan dari organisasi profesi dan tempat
kerja, penghargaan masyarakat terhadap profesi keguruan, penegakan
kode etik profesi, sertifikasi, peningkatan kualitas calon guru, imbalan, dll
secara bersama-sama menentukan pengembangan profesionalisme
seseorang termasuk guru.
Dengan demikian usaha meningkatkan profesionalisme guru
merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK sebagai penghasil guru,
instansi yang membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau yayasan
swasta), PGRI dan masyarakat.

Dari beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah di atas, faktor


yang paling penting agar guru-guru dapat meningkatkan kualifikasi dirinya
yaitu dengan menyetarakan banyaknya jam kerja dengan gaji guru.
Program apapun yang akan diterapkan pemerintah tetapi jika gaji guru
rendah, jelaslah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya guru akan mencari
pekerjaan tambahan untuk mencukupi kebutuhannya. Tidak heran kalau
guru-guru di negara maju kualitasnya tinggi atau dikatakan profesional,
karena penghargaan terhadap jasa guru sangat tinggi. Dalam Journal PAT
(2001) dijelaskan bahwa di Inggris dan Wales untuk meningkatkan
profesionalisme guru pemerintah mulai memperhatikan pembayaran gaji

20
guru diseimbangkan dengan beban kerjanya. Di Amerika Serikat hal ini
sudah lama berlaku sehingga tidak heran kalau pendidikan di Amerika
Serikat menjadi pola anutan negara-negara ketiga. Di Indonesia telah
mengalami hal ini tetapi ketika jaman kolonial Belanda. Setelah memasuki
jaman orde baru semua ber ubah sehingga kini dampaknya terasa, profesi
guru menduduki urutan terbawah dari urutan profesi lainnya seperti dokter,
jaksa, dll.

d. Cara merekonstruksi masyarakat melalui pengubahan sistem


pendidikan
Selama ini bila dicermati banyak sensitivitas yang hilang dari proses
pembelajaran di sekolah, karena perhatian sekolah/guru lebih terjebak
pada faktor kognitif. “Karakter yang berkualitas harus dibentuk sejak usia
dini, kegagalan dalam penanaman kepribadian yang baik di usia dini akan
membentuk pribadi-pribadi yang bermasalah kelak di masa dewasanya”
(Freud). Bangsa ini telah berkali-kali diterpa badai, sebagai dampak dari
pendidikan yang cenderung hanya memperhatikan faktor kognitif (fungsi
belahan otak kiri). Kerusuhan Mei 1998, meningkatnya tindak kekerasan
baik secara individu maupun kolektif, meningkatnya prilaku merusak diri
(narkoba, seks bebas, alkohol), penurunan etos kerja, semakin kaburnya
pedoman moral baik dan buruk, perilaku tidak jujur yang telah begitu
membudaya, dan lain sebagainya.
Sampai saat ini pendidikan di sekolah masih berorientasi pada
filosofi “pedagogy of the oppresed” yang menekan dan menindas peserta
didik. Banyak guru yang keasyikan memberi tugas sebanyak-banyaknya,
guru cenderung hanya ingin didengarkan oleh siswanya (siswa menjadi
pendengar pasif), banyak pula guru yang memposisikan dirinya sebagai
subjek sedangkan peserta didiknya hanya dijadikan objek dalam proses
pembelajaran, akibatnya peserta didik cenderung belajar hanya untuk
sekolah.
Sudah saatnya kita tinggalkan sistem pendidikan yang tumpul itu, ke
depan pendidikan harus berorientasi pada filosofi “pedagogy of love”. Guru
harus mampu mengundang keingintahuan peserta didiknya, yang dapat
melarutkan jiwa siswa pada kesukaan/senang dan akhirnya cinta belajar.
Pihak sekolah, guru, dan para praktisi pendidikan lainnya harus menyadari
bahwa belahan otak kiri dan kanan peserta didik perlu dioptimalkan secara
seimbang dan menyeluruh, kemudian mengaplikasikannya secara nyata
dalam proses pembelajaran. Dengan demikian proses pembelajaran dapat
berjalan cepat, efektif, penuh kreatifitas yang menyenangkan,
mengasyikkan, dan tentu akan mencerdaskan serta menguatkan posisi
anak sebagai anak harapan negara dan bangsa Indonesia tercinta ini.
Pemerintah menetapkan standar mutu pendidikan yang dimulai
pada tahun 2004 dengan nilai 4,01. Nilai tersebut ditetapkan sebagai
standar nasional, regional, ataupun internasional/global itu tidak salah,

21
bahkan dengan skor ini sebetulnya masih terlalu rendah, dan mengapa
tidak ditetapkan saja dengan nilai 7,01 atau 8,01 sekalian? Kesalahannya
terletak pada penerapan standar mutu pendidikan itu, memangnya peserta
didik dapat disamakan dengan produk teknologi sehingga perlu diberi
standar mutu seperti ISO 2000, …, 2003, 2004, 2005, 2007 dan
seterusnya. Pemerintah dalam hal ini Mendiknas, tampaknya masih
mengunakan paradigma pendidikan yang tumpul, menyeragamkan, dan
jelas menghakimi siswa (masalah anak yang diselesaikan dengan
kepentingan orang dewasa).
Standar mutu pendidikan seharusnya tidak boleh dijadikan standar
kelulusan, karena fungsi standar mutu pendidikan yang tepat adalah
sebagai target capaian ideal dari suatu proses pembelajaran. Sehingga
skor itu menjadi standar atau alat ukur dalam mengevaluasi sejauh mana
hasil dari kinerja Depdiknas, Dinas Diknas Provinsi, Dinas Diknas
Kabupaten/Kota, sekolah, dan terutama guru dalam melakukan KBM.
Berdasarkan standar mutu pendidikan yang ada, dan ternyata setelah
dievaluasi hasilnya rata-rata tidak mencapai target seperti yang telah
ditetapkan, maka itulah hasil kinerja dari jajaran pendidikan kita. Artinya
untuk langkah selanjutnya perlu disusun dan diambil langkah-langkah
strategis, tentunya sebagai upaya dalam memperbaiki kinerja segenap
jajaran pendidikan. Jadi tidak perlu ada ujian ulang atau apalah istilahnya,
karena skor itu semestinya bukan untuk memvonis lulus atau tidak lulusnya
peserta didik.

22
4. a. Perbandingan Teori “Hemisphere Specialization”
Perkembangan kreativitas sangat erat kaitannya dengan
perkembangan kognitif individu karena kreativitas sesungguhnya merupakan
perwujudan dari pekerjaan otak. Para pakar kreativitas, misalnya Clark (1988)
dan Gowan (1989) melalui Teori Belahan Otak (Hemisphere Theory)
mengatakan bahwa sesungguhnya otak manusia itu menurut fungsinya terbagi
menjadi dua belahan, yaitu belahan otak kiri (left hemisphere) dan belahan
otak kanan (right hemisphere). Otak belahan kiri mengarah kepada cara
berfikir memusat (convergen thinking), sedangkan otak belahan kanan
mengarah kepada cara berfikir menyebar (difergent thinking). Seseorang yang
lebih mengoptimalkan belahan otak sebelah kiri, akan cenderung memilh
sesuatu yang memiliki kepastian karena hanya mempercayai satu jawaban
dari satu pertanyaan. Hal ini akan membawanya pada tingkat intelegensi atau
logika yang tinggi. Sedangkan seseorang yang cenderung menggunakan
kemampuan otak sebelah kanan akan cenderung memiliki tingkat kreativitas
yang tinggi karena dia akan mencari jawaban dari satu persoalan lebih dari
satu alternative. Dia akan mencari sesuatu yang berbeda, jawaban yang
berbeda dari orang lain. Belahan otak kiri lebih menunjang kemampuan
seseorang dalam beberapa bidang diantaranya matematika, sejarah, dan
kemampuan berbahasa. Sedangkan belahan otak kanan lebih berfungsi
sebagai penebar angan-angan atau imajinasi atau sesuatu yang di luar
kebiasaan.
Tingkat perkembangan intelektualitas seseorang dapat diselidiki melalui
teori belahan otak yang bekerja aktif. Intelek merupakan daya atau potensi
untuk memahami sesuatu. Tingkat pemahaman masing-masing individu
berbeda disesuaikan dengan tingkat kematangan dan usia seseorang.
Mengapa? Karena tak setiap individu berada pada perkembangan normal.
Terlihat dari fenomena yang menunjukkan bahwa ada sebagian golongan
anak-anak yang perlu perhatian khusus yaitu anak-anak sub normal.
Sekalipun mereka berada pada usia yang sama dengan anak-anak normal,
daya atau potensi untuk memahami sesuatu sangat berbeda. Sehingga tigkat
kematangan anak juga ikut menentukan.
Piaget, mengklasifikasikan tahap-tahap perkembangan intelektual bagi
anak-anak normal yaitu tahap sensorimotor, praoperasional, operasional
konkretdan tahap operasioanal formal. Tahap sensorimotor ialah tahap
perkembangan intelektual dimana anak berusia 0-2 tahun. Pada tahap ini,
anak masih melakukan perilaku praverbal, hubungan dengan lingkungan
melalui refleks bawaan. Tahap pra operasional pada saat anak berusia 2-7
tahun menandai dimulainya anak memperlihatkan simbol-simbol berupa kata-
kata sederhana dan mimik muka. Pada tahap ini anak mulai meniru, bermain
dan berlatih bicara. Operasional konkrit ketika anak berusia 7-11 tahun
merupakan tahap dimana anak mulai melakukan kegiatan rasional dan
berpersepsi meskipun masih dimulai dari sesuatu yang konkret. Pada tahap

23
perkembangan masa anak-anak akhir yaitu usia 11-16 tahun sang anak mulai
mampu berpikir abstrak.
Intelektual juga dapat ditimbang dari tingkat kekreativan seseorang.
Biasanya, keduanya saling mengisi dan melengkapi, jika intelektual seseorang
rendah, maka kreativitasnya tinggi, demikian pula sebaliknya. Kreativitas lebih
cenderung mengarah pada kemampuan yang mencakup tindakan manusia.
Kemampuan kreatif yang dimiliki oleh seseorang akan menghasilkan output
yang sangat beragam. Output tersebut memiliki ciri-ciri sebagai suatu hal yang
benar-benar baru dan belum pernah ada sebelumnya, entah hasil dari
kombinasi produk yang lama atau inovasi dan pengembangan dari sesuatu
yang telah ada hingga menjadi suatu hal baru. Sesuatu tersebut tidak hanya
sekadar baru melainkan juga memberikan manfaat bagi banyak orang. Jadi,
kualitas produk kreatif ditentukan oleh sejauhmana produk tersebut memiliki
kebaruan, bermanfaat dan dapat menyelesaikan masalah. Ini karena produk
kreatif secara langsung menggambarkan penampilan actual seseorang dalam
kegiatan kreatif.
Peran kreativitas dalam dunia pendidikan akan menentukan prestasi
anak di sekolah. Kreativitas bukan untuk diajarkan melainkan dilatih dan
dikembangkan melalui berbagai jalur disesuaikan dengan konteks. Jika
dipandang dari sudut pendidikan cenderung mengarah ke kreativitas dalam
hal kognitif yang akan dikembangkan guna mengoptimalkan potensi anak
sehingga turut menyumbangkan kemajuan ilmu pengetahuan dan seni.
Menurut Glifford, ada dua jenis kemampuan berpikir yang diantaranya
merupakan indicator dari kreativitas disebut dengan kemampuan berpikir
divergen atau upaya menghasilkan banyak jawaban dari satu pertanyaan.
Sedangkan kemampuan berpikir lain disebut konvergen yang hanya
menghasilkan satu jawaban dari satu pertanyaan. Kemampuan berpikir
divergen akan menumbuhkan sikap kreatif karena ketika seseorang dalam
kehidupannya mengalami satu persoalan, dia akan berupaya menyelesaikan
masalah itu dengan berpedomaan maslah itu dengan berpedoam berupaya
menyelesaikan maslah itu dengan berpedoamn pada nya mengalami satu
persoalan, dia dapan pada berbagai alternative dan pertimbanagn sampai
akhirnya dia dapat memilih atau mengkombinasikan alternative pemecahan
masalah itu secara tepat dan tuntas. Namun, ternyata kemampuan berpikir
konvergen tidak kalah penting ketika ciri-ciri aptitude kreativitas yaitu
kelancaran, fleksibilitas, dan orisinalitas dalam berpikir dioperasionalisasikan
dalam tes berpikir konvergen.
Proses perkembangan kreativitas dapat ditInjau dari perkembangan
kognitif seseorang. Pada tahap sensori motorik atau saat anak berusia 0
sampai 2 tahun, dia belum memiliki kemampuan untuk mengembangkan
kreativitasnya. Sebab, pada tahap ini tindakan anak masih berupa tindakan
fisik yang bersifat refleksi, pandangannya terhadap objek masih belum
permanent, belum memiliki konsep ruang dan waktu, belum memiliki konsep
tentang sebab-akibat, bentuk permainannya masih merupakan pengulangan

24
refleks-refleks, belum memiliki tentang diri ruang, dan belu memiliki
kemampuan berbahasa.pada tahap praoperasional atua sat anak berusia 2-7
tahun, kemampuan mengembangkan kreativitas sudah mulai tumbuh karena
anak sudah mulai mengembangkan memori dan telah memiliki kemampuan
untuk memikirkan masa lalu dan masa yang akan datang, meskipun dalam
jangka pendek. Pada tahap operasional konkret atau saat anak berusia 7-11
tahun, kreativitasnya juga sudah semakin berkembang. Faktor-faktor
memungkinkan semakin berkembangnya kreativitas itu adalah sudah mulai
mampunya seorang anak menampilkan operasi-operasi mental, berpikir logis
dalam bentuk sederhana, mengembangkan kemampuannya untuk memelihara
identitas diri, memahami konsep tentang ruang sudah semakin meluas, telah
mampu menyadari akan adanya masa lalu, masa kini, dan masa yang akan
datang, serta mampu mengimajinasikan sesuatu, meskipun biasanya masih
memerlukan bantuan ojek-objek konkret. Pada tahap operasional formal atau
tahap masa akhir anak-anak yaitu sekitar usia 11-16 tahun, perkembangan
kreativitas sedang berada pada tahap yang amat potensial bagi
perkembangan kreativitas. Jadi pada tahap terakhir ini merupakan tingkat
kesuburan tertinggi saat anak mau mengoptimalkan kerativitasnya.
Perkembangan kreativitas sangat dipengaruhi oleh lingkungan
khuusnya lingkungan keluarga dan sekolah. Lingkungan yang diperkaya
disertai dengan basic akan memungkinkan tingkat keoptimalan pencapaian
perkembanagan kreativitas melaju pesat. Namun, jika hanya berpaku pada
basic tanpa ditunjang dengan dorongan dari lingkungan yang subur, kreativitas
itu akan berkembang secara lambat bahkan mati. Sedangkan dalam
lingkungan sekolah, guru tentu tidak akan mampu mengajarkan pikiran kreatif
tetapi hanya mengajarkan ketrampilan unutk kreatif berupa cara berpikir
menghadapi masalah secara kreatif atau teknik untuk memunculkan gagasan-
gagasan orisinal. Selanjutnya, setelah menumbuhkan dia juga harus
memupuk dan mengotimalkan perkembangan kreativitas tersebut.
Untuk mengembangkan kreativitas, diperlukan upaya awal yaitu
menjadikan anak kritis dan kreatif. Lalu, bagaimana upaya tersebut? Apa
sebanarnya berpikir kritis itu? Kritis merupakan kemampuan dan kesediaan
untuk menilai berbagai pernyataan dan mengambil keputusan, yang
didasarkan pada alas an dan fakta yang memiliki dukungan yang baik, bukan
berdasarkan emosi. Secara garis besar yaitu sikap seseorang yang tak mudah
percaya, mencari kebenaran atau asal-usul sebuah teori dan cepat tanggap
terhadap suatu masalah. Sikap ini akan menumbuhkan pikiran kreatif yaitu
berusaha menciptakan sesuatu yang baru atau orisinil serta adanya keinginan
untuk meneliti bahkan menciptakan. Sekali pun kritis lebih cenderung
mengarah ke perwatakan seseorang dari pada kecakapan, namun hubungan
keduanya sangat diperlukan bagi pembentukan makna pada pikiran anak. Jika
pikiran kritis telah berkesempatan merasuk dalam diri seseorang, maka
seseorang tak sekadar hanya mampu berpersepsi namun, akan membuahkan
pengetahuan dan wawasan mendalam dan berkualitas yang sesuai dengan

25
landasan dan kaidah-kaidah kebenaran. Sehingga tak dapat dipungkiri bahwa
dalam kehidupan sehari-hari aspek ini sangat diperlukan sebagai penalaran.
Aspek ini menuntut adanay kesadaran seseorang tentang diri dan
lingkungannya. Seseorang melakukan tindakan berdarkan akal sehat bukan
hanya emosi, sehingga menghindarkan diri dari sikap egois yang berlebihan.
Biasanya pemikiran ini mengalami perkembangan pada masa
pertengahan masa anak-anak. Lalu, Ebenih-benih itu muncul bagaimana
menyuburkannya? Diawali dengan mengarahkan anak menggunakan proses-
proses berpikir yang benar, dan mengenalkan serta mengembangkan bineka
strategi pemecahan masalh, selanjutnyameningkatkan gambaran mental
mereka, memperluas unutk memperdalam dasar-dasar pengetahuan disertai
langkah memberikan motivasi anak untuk menggunakan ketrampilan berpikir
yang baru saja dipelajari.
Menjadikan seseorang memiliki pikiran kritis dapat ditempuh dengan
berbagai cara. Salah satunya melalui pendidikan sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam paparan sebelumya. Namun, sesungguhnya pendidikan yang
menjadikan anak kritis tidak sesempit itu. Lingkup pendidikan tak terbatas
pada menbaga pendidikan formal yaitu sekolah. Tetapi, lembaga keluarga dan
masyarakat turut menjadi pendorong lahirnya manusia kritis. Apalagi lembaga
keluarga merupakan penentu awal bagi perkembangan seseorang. Keluarga
membentuk perkembangan mental, psikologis, dan emosional seseorang.
Sehingga siap tidaknya seseorang melakukan sesuatu dapat dilihat dari
kondisi keluarganya. Latar belakang keluarga yang harmonis, memberi
kebebasan kepada anak unutk bereksplorasi,memilih atau memutuskan
sesuatu akan mempengaruhi pola pikirnya kelak. Dengan berada di keluarga
yang demikian, dia akan merasa dihargai sehingga tak ada keraguan dan
ketakutan untuk melakukan sesuatu dan cenderung memiliki rasa percaya diri
serta tanggung jawab yang tinggi unutk melakukan hal-hal positif.ternasuk
ketika dia mulai bersekolah, benih-benih kritis pun telah mulai tumbuh. Apalagi
jika sikapnya yang kritis tersebut direspon dengan baik,maka tingkat
kekritisannya akan semakin meningkat dan akan memicu lahirnya sikap
kreatif.
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa kreatif secara sederhana
diartikan sebagai sikap berusaha menciptakan sesuatu yang baru atau orisinil
serta adanya keinginan untuk meneliti bahkan menciptakan. Kreativitas
memiliki indikator yaitu kemampuan berpikir konvergen yang merujuk pada
pemikiran yang menghasilkan banyak jawaban atas pertanyaan yang sama.
Berpikir divergen merupakan aktivitas mental asli, murni, dan baru , yang
berbeda dari pola pikir sehari-hari dan menghasilkan lebih dari satu
pemecahan masalah. Namun, output antara divergen dan kreativitas berbeda.
Kreativitas seseorang ditandai adanya penonjolan sikap seperti berdaya
imajinasi kuat, memiliki inisiatif, minat yang luas, kebebasan berpikir, selalu
ingin tahu, berkeinginan mandapatkan penagalamn-pengalaman baru,

26
percaya diri yang tinggi, penuh semangat, berani menagmbil resiko, dan
berani mengemukakan pendapat serta memiliki keyakinan (Munandar, 1999)
Selain menggunakan peta pikiran, pemberdayaan otak kanan juga
dapat kita lakukan dengan cara kita menghadirkan alat peraga dalam kegiatan
pembalajaran. Misalnya saja alat peraga gambar, melalui alat peraga ini maka
panca indera anak akan berfungsi dan berkolaborasi dengan otak. Sehingga
kerja otak akan semakin mudah karena dibantu oleh alat indera. Sehingga
apabila suatu informasi itu suatu saat dipanggil lagi. Maka akan cepat terjawab
panggilan itu, karenatelah ada koneksi antara alat indera dan otak yang dapat
mempermudah itu semua.

b. Pemahaman tentang kreativitas diperlukan dalam pengembangan


intelektual
Kreativitas adalah suatu yang menggambarkan adanya hubungan
antara konsep yang khusus dengan konsep yang khusus dengan konsep yang
akan diteliti. Konsepsional juga digunakan untuk mendefinisikan pengertian di
dalam penelitian, agar tidak mengalami pembiasan dalam pengumpulan data
hingga pada tahap analisis pengertian. kreatifitas adalah Kemampuan
seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun
karya nyata, baik dalam bentuk ciri – cirri aptitude maupun non aptitude, baik
dalam karya baru maupun kombinasidengan hal – hal yang sudah ada, yang
semuanya itu relatifberbeda denganapa yang telah ada sebelumnya.
Kretivitas merupakan : “Kemampuan yang mencerminkan kelancaran,
keluwesan (fleksibilitas), dan originalitas dalam berfikir, serta kemampuan
untuk mengelaborasi (mengembangkan, memperkayam memperinci( suatu
gagasan”.
Setiap orang pada dasarnya memiliki potensi kreatif dan kemampuan
mengungkapkan dirinya secara kreatif dalam bidang dan kadar yang berbeda
– beda. Yang penting dalam pendidikan adalah bahwa bakat kreatif dapat dan
perlu ditingkatkan dan dikembangkan.
Pengembangan kreatifitas dengan pendekatan 4P
1) Pribadi,
Kreatifitas adalah ungkapan keunikan individu dalam interaksi dengan
lingkungan. Dari pribadi yang unik inilah diharapkan timbul ide – ide baru dan
produk – produk yang inovatif.

2) Pendorong,
Untuk mewujudkan bakat kreatif siswa diperlukan dorongan dan
dukungan dari lingkungan (motivasi eksternal) yang berupa apresiasi,
dukungan, pemberian penghargaan, pujian, insentif, dan dorongan dari dalam
diri siswa sendiri (motivasi internal) untuk menghasilkan sesuatu. Bakat kreatif
dapat berkembang dalam lingkungan yang mendukung, tetapi dapat pula
dihambat dalam lingkungan yang tidak mendukung. Banyak orang tua yang

27
kurang menghargai kegiatan kreatif anak mereka dan lebih memprioritaskan
pencapaian prestasi akademik yang tinggi dan memperoleh rangking tinggi
dalam kelasnya. Demikian pula guru meskipun menyadari pentingnya
perkembangan kreatifitas tetapi dengan kurikulum yang ketat dan kelas
dengan jumlah murid yang banyak maka tidak ada waktu bagi pengembangan
kreativitas.

3) Proses,
Untuk mengembangkan kreativitas siswa, ia perlu diberi kesempatan
untuk bersibuk secara aktif. Pendidik hendaknya dapat merangsang siswa
untuk melibatkan dirinya dalam berbagai kegiatan kreatif. Untuk itu yang
penting adalah memberi kebebasan kepada siswa untuk mengekspresikan
dirinya secara kreatif. Pertama – tama yang perlu adalah proses bersibuk diri
secara kreatif tanpa perlu selalu atau terlalu cepat menuntut dihasilkan produk
kreatif yang bermakna.

4) Produk,
Kondisi yang memungkinkan seseorang menciptakan produk kreatif
yang bermakna adalah kondisi pribadi dan lingkungan yaitu sejauh mana
keduanya mendorong seseorang untuk melibatkan dirinya dalam proses
(Kesibukan , kegiatan) kreatif. Yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa
pendidik menghargai produk kreatifitas anak dan mengkomunikasikannya
kepada yang lain, misalnya dengan mempertunjukkan atau memamerkan hasil
karya anak. Ini akan lebih menggugah minat anak untuk berkreasi.
Freud menjelaskan proses kretif dari mekanisme pertahanan (defence
mechanism). Freud percaya bahwa meskipun kebanyakan mekanisme
pertahanan menghambat tindakan kreatif, mekanisme sublimasi justru
merupakan penyebab utama kreativitas karena kebutuhan seksual tidak dapat
dipenuhi, maka terjadi sublimasi dan merupakan awal imajinasi.
Erns Kris (1900-1957) menekankan bahwa mekanisme pertahanan
regresi seiring memunculkan tindakan kreatif.
Orang yang kreatif menurut teori ini adalah mereka yang paling mampu
“memanggil” bahan dari alam pikiran tidak sadar.
Seorang yang kreatif tidak mengalami hambatan untuk bias “seperti
anak” dalam pemikirannya. Mereka dapat mempertahankan “sikap bermain”
mengenai masala-masalah serius dalam kehidupannya. Dengan demikian
mereka m ampu malihat masalah-masalah dengan cara yang segar dan
inovatif, mereka melakukan regresi demi bertahannya ego (Regression in The
Survive of The Ego)
Carl Jung (1875-1967) percaya bahwa alam ketidaksadaran
(ketidaksadaran kolektif) memainkan peranan yang amat penting dalam
pemunculan kreativitas tingkat tinggi. Dari ketidaksadaran kolektif ini timbil
penemuan, teori, seni dan karya-karya baru lainnya.

28
Sejak anak lahir, gerakannya belum berdifensiasi, selanjutnya baru
berkembang menjadi pola dengan kecenderungan kiri atau kanan. Hampir
setiap orang mempunyai sisi yang dominan. Pada umunya orang lebih biasa
menggunakan tangan kanan (dominasi belahan otak kiri), tetapi ada sebagian
orang kidal (dominan otak kanan). Terdapat “dichotomia” yang membagi
fungsi mentala menjadi fungsi belahan otak kanan dan belahan otak kiri.
Setiap individu memiliki kecenderungan atau dorongan mewujudkan
potensinya, mewujudkan dirinya, dorongan berkembang menjadi matang,
dorongan mengungkapkan dan mengaktifkan semua kapasitasnya. Dorongan
ini merupakan motivasi primer untuk kreativitas ketika individu membentuk
hubungan-hubungan baru denganlingkungannya dalam upaya manjadi dirinya
sepenuhnya. Kretaivitas memang tidak dapat dipaksakan, tetapi harus
dimungkinkan untuk tumbuh, bibit unggul memerlukan kokdisi yang memupuk
dan memungkinkan bibit itu mengembangkan sendiri potensinya. Bagaimana
cara menciptakan lingkungan eksternal yang dapat memupuk dorongan dalam
diri anak (internal) untuk mengembangkan kreativitasnya? Menurut
pengalaman Carl Rogers dalam psikoterapi adalah dengan menciptakan
kondisi keamanan dan kebebasan psikologis.

c. Tingkat Perkembangan Kreativitas


Tahap-tahap dalam proses kreativitas berlangsung sebagai berikut:
Tahap I : Persiapan (preparation) Pada tahap ini ide itu datang dan
timbul dari berbagai kemungkinan. Namun, biasanya ide itu berlangsung
dengan hadirnya suatu ketrampilan, keahlian, atau ilmu pengetahuan tertentu
sebagai latar belakang atau sumber dari mana ide itu lahir.
Tahap II : Inkubasi (Incubation) Dalam ilmu kedokteran masa inkubasi
menunjuk pada masa pengeraman suatu penyakit. Dalam pengembangan
kreatifitas, pada masa ini diharapkan hadirnya suatu pemahaman serta
kematangan terhadap ide yang tadi timbul (setelah dieram). Berbagai teknik
dalam menyegarkan dan meningkatkan kesadaran itu, seperti meditasi, latihan
peningkatan kreativitas, dapat dilangsungkan untuk memudahkan
“perembetan”, perluasan, dan pendalaman ide
Tahap III : Iluminasi (Illumination) Suatu tingkat penemuan saat
inspirasi yang tadi diperoleh, dikelola, digarap, kemudian menuju kepada
pengembangan suatu hasil (product development). Pada masa ini terjadi
komunikasi terhadap hasilnya dengan orang yang signifikan (yang penting)
bagi penemu, sehingga hasil yang telah dicapai dapat lebih disempurnakan
lagi.
Tahap IV : Verifikasi (verification) Perbaikan dari perwujudan hasil dan
tanggung jawab terhadap hasil menjadi tahap terakhir dari proses ini.
Diseminasi dari perwujudan karya kreatif untuk diteruskan kepada masyarakat
yang lebih luas terjadi setelah perbaikan dan penyempurnaan terhadap
karyanya itu berlangsung.

29
Proses kreativitas yang memiliki empat tahap seperti dilukiskan oleh
Graham Wallas memiliki tiga tingkat sesuai dengan pendapat Gowan dan
Treffinger, yaitu tingkat I, II, III, yang masing-masing disebut:
I. Tingkat I : Tingkat kreativitas Tingkatan yang disebut kreativitas ini
ditandai oleh ciri-ciri timbulnya pemikiran yang divergen dan baru
secara intuitif, atau penemuan pikiran baru yang hidup di masyarakat
itu. Dari segi efektif kehidupan tingkat ini ditandai oleh keterbukaan dan
toleransi terhadap keraguan tentang sesuatu. Kehidupan perasaan
ditandai oleh kepercayaan pada diri sendiri dalam menghadapi
tantangan
II. Tingkat II : Tingkat psikodelik Tingkat kedua atau yang dikenal dengan
tingkat psikodelik atau perluasan pikiran dan perasaan (expansion of
mind and emotion) ditandai oleh pengembangan kesadaran untuk
menjangkau pada pandangan di luar pandangan ataupun kebiasaan
kita sendiri dan penerimaan ide dan respons yang berbeda untuk
diterima dan dihormati sebagai sesuatu yang original.
III. Tingkat III : Tingkat imajinatif Pada tingkat ini sudah ada suatu
perkembangan produk (hasil, product development). Ciri utama dari
product development ini adalah sudah teresapinya empat tahap
perkembangan kreatif sebagaimana dilukiskan di muka dan telah pula
ada penerimaan (acceptance) dari penemuan tersebut dalam kelompok
tertentu. Pada tingkat ini sudah dapat dihasilkan produk, yaitu suatu
bentuk baru dari suatu pola, model, struktur, ataupun konsep yang
sebelumnya belum atau tidak Ketiga tingkat yang telah disebutkan
tersebut dijelaskan oleh Gowan sebagai tingkat dikenal oleh kelompok
manusia tertentu perkembangan di atas tingkat pekembangan kognitif
Piaget dan afektif Erickson, dan merupakan tingkat perkembangan
manusia yang tertinggi.
Perkembangan kreativitas dapat diibaratkan lingkaran eskalasi yang
memiliki ciri yang terdiri dari lima aspek:
I. Aspek I : Urutan (succession) Jenjang perkembangan terjadi menurut
urutan. Istilah ini menyiratkan adanya urutan yang mengisyaratkan
bahwa jenjang yang satu mendahului jenjang berikutnya. Meskipun
demikian, perkembangan itu sangat fleksibel karena dipengaruhi oleh
sifat organisme dan pengaruh lingkungan. Jenjang perkembangan
terjad secara teratur dan hierarkhis
II. Aspek II : Diskontinuitas (discontinuity) Perkembangan terjadi sejajar
dengan urutan. Pada setiap tahap terjadi proses keseimbangan
(equilibrium), dan setiap tahap yang mengakibatkan diskontinuitas akan
kembali lagi pada equilibrium
III. Aspek III : Kemenonjolan (emergence) Pada setiap jenjang muncul
karakteristik yang menonjol yang tidak nampak pada jenjang
sebelumnya. Beberapa di antara yang merupakan manifestasi dari
karakteristik yang menonjol ini ada yang tidak diharapkan atau tidak

30
dikenal pada tahap sebelumnya, namun selalu merupakan persiapan
untuk tahap perkembangan berikutnya.
IV. Aspek IV : Diferensiasi Istilah ini menunjukkan pada pengertian
“spesifikasi” atau “difokuskan-kepada-sesuatu”, ibarat suatu kamera
menerangi lapangan optik tertentu. Pengalaman kreatif disini menjadi
sistem yang terorganisasi dalam sistem nilai yang menentukan pilihan
dalam pola tertentu.
V. Aspek V : Integrasi Istilah ini menunjuk pada sistem dari semua jenjang.
Sampai batas tertentu dapat disamakan dengan pengertian integral
matematika yang mengisyaratkan adanya fungsi tertentu yang terkait
dengan fungsi lain dari tingkat yang lebih tinggi dan ditambahkan
dengan suatu konstanta yang harus diperoleh melalui pengamatan dari
sumber lain. Jadi, ada kompleksitas 10 yang lebih besar yang
bermakna dan terlihat adanya kebebasan

d. Kaitan Perkembangan Kognitif dalam Belajar TKIP


Pengertian kontribusi dan implikasi teori belajar dan instruksional
secara luas merupakan suatu proses kegiatan untuk mengadakan
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, serta
pengawasan dari teknologi pendidikan dan proses pendidikan, sehubungan
dengan itu maka semua kegiatan ataupun aktivitas didalam proses
pendidikan harus disertai proses manajemen termasuk dalam
pembentukan badan-badan perkumpulan.
Kontribusi dan implikasi teori belajar dan instruksional merupakan
kegiatan di sektor ilmu pendidikan yang dapat diartikan secara luas
sebagai kegiatan individu atau umum, usaha dan organisasi yang dengan
penempatan manajemen, rekayasa dan modifikasi teknologi melalui
investasi penanaman modal untuk mencapai pendidikan yang berkualitas
hingga seterusnya dapat memasuki serta menguasai pasar.
Sebagai cabang dari sektor ilmu pendidikan, teori belajar dapat
mendorong pengembangan pendidikan dan nilai tambah yang relatif besar
dan meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Kegiatan teori belajar dan
instruksional merupakan salah satu usaha yang sangat potensial untuk
dikembangkan, karena pendidikan merupakan kebutuhan yang essensial
untuk makhluk hidup khususnya manusia disepanjang hidupnya, baik
sebagai bahan utama secara langsung maupun kebutuhan secara tidak
langsung karena lebih dahulu harus mengalami proses kegiatan
pengolahan dengan perlakuan teknologi.
Kontribusi dan implikasi teori belajar dan instruksional merupakan
suatu bagian terpenting dari teknologi pendidikan yang memiliki potensi
cukup besar dalam mengoptimalisasikan peningkatan pendidikan dengan
memanfaatkan faktor-faktor yang tersedia yaitu sarana dan prasarana.
Dengan memfungsikan hubungan antara keterkaitan antar sistem berbagai

31
sarana maupun prasarana yang tersedia menjadi suatu kesatuan dalam
sisitem pendidikan akan menghasilkan suatu sistem pendidikan yang dapat
mengefisiensikan pengembangan pendidikan.
Teknologi pendidikan atau teknologi pembelajaran telah dipengaruhi
oleh teori dari berbagai bidang kajian. Kontribusi spesifik dan pengaruh
penelitian dan teori terhadap kawasan-kawasan dalam teknologi
pendidikan adalah sebagai berikut:
I. Desain
Dengan pembelajaran berakar pada teori belajar. Pandangan pakar
perilaku sangat mendominasi dalam aplikasi perancangan pembelajaran.
Saat ini, perancangan pembelajaran menekankan pada aplikasi psikologi
kognitif ( Polson, 1993 dalam Seel & Richey, 1994 )
II. Pengembangan
Proses pengembangan pembelajaran bergantung pada prosedur
desain, akan tetapi prinsip-prinsip utamanya diturunkan dari hakekat
komunikasi dan proses belajar,

Kawasan pengembangan ini didasarkan pada teori Shannon dan


Weaver ( 1949 ), yang menjelaskan tentang penyampaian pasar dari
pengirim kepada penerima dengan menggunakan sarana sensorik. Selain
itu kawasan pengembangan juga dipengaruhi oleh literatur visual melalui
penerapan teori berfikir visual dan komunikasi visual.
III. Pemanfaatan
Kawasan ini berkembang dan mencakup pada difusi dan
pemanfaatan ilmu pengetahuan termsuk peranan publik sebagai suatu
mekanisme perkembangan. Contoh tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi pemanfaatan proses dan materi pembelajaran termasuk
sikap si belajar terhadap teknologi. tingkat independensi si belajar dan
faktor-faktor lain yang dapat menghambat atau mendukung pemanfaatan
media tau materi dalam konteks sistem pembelajaran yang lebih luas.
Pemanfaatan dalam teknologi pendidikan banyak menyinggung masalah-
masalah seperti penggunaan media secara optimal dan pengaruh media
terhadap waktu yang diperlukan untuk belajar ( Thompson, Simonson, dan
Margrave, 1992 ).
IV. Pengolahan
Pengolahan dalam pembelajaran muncul karena pengaruh aliran
perilaku dan berfikir sistematik behaviorisme serta aspek humanistik, dari
teori komunikasi, motivasi dan produktifitas, dan ini banyak diaplikasikan
pada berbagai bidang pengolahan dan pengelola perubahan.
V. Penilaian
Analisis dan penilaian peranan penting dalam proses desain
pembelajaran dan teknologi itu sendiri.

32
5. a. Penerapan 4 Teori Belajar
1) Teori Belajar Behaviorisme
Menurut teori belajar ini adalah perubahan tingkah laku, seseorang
dianggap belajar sesuatu bila ada menunjukkan perubahan tingkah laku.
Misalnya, seorang siswa belum bisa membaca maka betapapun gurunya
berusaha sebaik mungkin mengajar atau bahkan sudah hafal huruf A sampai
Z di luar kepala, namun bila siswa itu gagal mendemonstrasikan
kemampuannya dalam membaca, maka siswa itu belum bisa dikatakan
belajar. Ia dikatakan telah belajar apabila ia menunjukkan suatu perubahan
dalam tingkah laku ( dari tidak bisa menjadi bisa membaca ).
Yang terpenting dari teori ini adalah masukan atau input yaitu berupa
stimulus dan out put yang berupa respons. Sedang apa yang terjadi diantara
stimulus dan respons itu dianggap tidak penting diperhatikan sebab tidak bisa
diamati. Yang bisa diamati adalah stimulus dan respons, misalnya stimulus
adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa tersebut dalam rangka
membantu siswa untuk belajar. Stimulus ini berupa rangkaian alfabet,
beberapa kalimat atau bacaan, sedangkan respons adalah reaksi terhadap
stimulus yang diberikan gurunya.
Menurut teori behaviorisme apa saja yang diberikan guru ( stimulus )
dan apa saja yang dihasilkan siswa ( respons ) semua harus bisa diamati,
diukur, dan tidak boleh hanya implisit ( tersirat ). Faktor lain yang juga penting
adalah faktor penguat ( reinforcement ). Penguat adalah apa saja yang dapat
memperkuat timbulnya respons. Bila penguatan ditambah ( positive
reinforcement ) maka respons akan semakin kuat. Begitu juga bila penguatan
dikurangi ( negative reinforcement ) responspun akan tetap dikuatkan..
Misalnya bila seorang anak bertambah giat belajar apabila uang sakunya
ditambah maka penambahan uang saku ini disebut sebagai positive
reinforcement. Sebaliknya jika uang saku anak itu dikurangi dan pengurangan
ini membuat ia makin giat belajar, maka pengurangan ini disebut negative
reinforcement.
Aplikasi teori belajar behaviorisme dalam pembelajaran tergantung dari
beberapa hal seperti tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik
siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.
Pandangan tentang belajar menurut aliran tingkah laku, tidak lain
adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara
stimulus dan respon. Atau dengan kata lain belajar aalah perubahan yang
dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara
yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon.
Menurut Thorndike, salah satu pendiri aliran tingkah laku, belajar
adalah proses interaksi antaa stimulus (yang mungkin berupa pikiran,
perasaan dan gerakan) dan respons (yang juga berupa pikiran, perasaan, atau
gerakan). Jelasnya, menurut Thorndike, perubahan tingkah laku boleh
berwujud sesuatu yang konkret atau yang nonkonkret.

33
2) Teori Belajar Kognitivisme
Menurut teori ini, belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman.
Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan
tingkah laku yang bisa diamati. Asumsi dasar teori ini adalah setiap orang
telah mempunyai pengalaman dan pengetahuan dalam dirinya. Pengalaman
dan pengetahuan ini tertata dalam bentuk struktur kognitif. Menurut teori ini
proses belajar akan berjalan baik bila materi pelajaran yang baru beradaptasi
secara klop dengan struktur kognitif yang telah dimiliki oleh siswa.
Aplikasi teori belajar kognitivisme dalam pembelajaran, guru harus
memahami bahwa siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam
proses berpikirnya, anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar belajar
menggunakan benda-benda konkret, keaktifan siswa sangat dipentingkan,
guru menyusun materi dengan menggunakan pola atau logika tertentu dari
sederhana kekompleks, guru menciptakan pembelajaran yang bermakna,
memperhatian perbedaan individual siswa untuk mencapai keberhasilan
siswa.
Pada masa-masa awal diperkenalkannya teori ini para ahli mencoba
menjelskan bagaimana siswa mengolah stimulus dan bgaimana siswa
tersebut bisa sampai ke respons tertentu (pengaruh aliran tingkah laku masih
terlihat disini). Namun, lambat laun perhatian ini mulai bergeser. Saat ini
perhatian mereka terpusat pada proses bagaimana suatu ilmu ang baru
berasimilasi dengan ilmu yang sebelumnya telah dikuasai oleh siswa.
Seorang guru yang mengajar tapi tidak menghiraukan tahapan-tahapan
sensori motor, tahap pra-operasional, tahap operasional konkret dan tahap
operasional formal, akan cenderung menyulitkan siswa. misalnya saja,
mengajarkan konsep abstrak tentang matematika kepada sekelompok siswa
kelas dua SD, tanpa adanya usaha untuk mengkonkretkan konsep tersebut,
tidak hanya akan percuma tetapi justru akan lebih membingungkan siswa itu
sendiri.

3) Teori Belajar Humanistik


Tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar
dianggap berhasil jika si belajar telah memahami lingkungannya dan dirinya
sendiri. Dengan kata lain si belajar dalam proses belajarnya harus berusaha
agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya.
Secara umum teori ini cenderung bersifat elektik dalam arti memanfaatkan
teknik belajar apapun agar tujuan belajar dapat tercapai.

Aplikasi teori humanistik dalam pembelajaran, guru lebih mengarahkan


siswa untuk berpikir induktif, mementingkan pengalaman serta membutuhkan
keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar.
Dalam praktik, teori ini antara lain terwujud dalam pendekatan yang
diusulkan oleh Ausubel, yang disebut belajar bermakna. Dalam hal ini Bloom
menunjukkan apa yang mesti dikuasai oleh siswa ada dalam tiga kawasan,

34
yakni Kognitif, Psikomotor dan Afektif. Taksonomi Bloom ini seperti yang telah
kita ketahui berhasil memberikan inspirasi kepda banyak pakar lain untuk
mengembangkan teori belajar dan pembelajaran. Pada tingkatan yang lebih
praktis, taksonomi ini telah banyak membantu praktisi pendidikan untuk
memformulasikan tujuan-tujuan belajar dalam bahasa yang mudah dipahami,
operaisonal, serta dapat diukur.
Selain itu taksonomi Bloom ini juga banyak dijadikan pedoman untuk
embuat butir-butir soal ujian, bahkan oleh orang-orang yang sering mengkritik
taksonomi tersebut. Kritikan atas klasifikasi kemampuan yang dikemukakan
Bloom ternyata diperbaiki oleh pakar pendidikan dengan mengadakan revisi
pada aspek kognitif.
Sementara menurut Kolb, da empat tahapan belajar, yakni pengalaman
konkret, pengamatan aktif dan reflektif, konseptualisasi dan eksperimentasi
aktif. Pada tahap paling dini, seorang siswa hanya mampu sekedar ikut
mengalami suatu kejadian. Dia belum mempunyai kesadaran tentang hakikat
kejadian tersebut. Dia pun belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu
kejadian harus terjadi seperti itu.
Pada tahap kedua, siswa tersebut lambat laun mengadakan observasi
aktif terhadap suatu kejadian, serta mulai berusaha memikirkan dan
memahaminya. Inilah yang kurang lebih terjadi pada tahapan pengamatan
aktif dan reflektif.
Pada tahapan ketiga, siswa mulai belajar untuk membuat abstraksi atau
teori tentang sesuatu hal yang pernah diamatinya. Pada tahap ini, siswa
diharapkan sudah mampu untuk membuat aturan-aturan umum (generalisasi)
dari berbagai contoh kejadian yang meskipun tampak berbeda-beda, tetapi
mempunyai landasan aturan yang sama.
Pada tahap akhir, siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan
umum ke situasi yang baru. Dalam dunia matematika misalnya, siswa tidak
hanya memahami asal-usul sebuah rumus, tetapi ia juga mampu memaknai
rumus tersebut untuk memecahkan masalah yang belum pernah ia temu
sebelumnya.

4) Teori belajar Sibernetik


Teori ini masih baru jika dibandingkan dengan ketiga teori yang telah
dijelaskan sebelumnya . Teori ini berkembang sejalan dengan perkembangan
ilmu informasi. Menurut teori ini belajar adalah pengolahan informasi . Teori ini
berasumsi bahwa tidak ada satupun jenis cara belajar yang ideal untuk segala
situasi, sebab cara belajar sangat ditentukan oleh sistem informasi.
Aplikasi teori sibernetik terhadap proses pembelajaran hendaknya
menarik perhatian, memberitahukan tujuan pembelajaran kepada siswa,
merangsang kegiatan pada prasyarat belajar, menyajikan bahan perangsang,
memberikan bimbingan belajar, mendorong untuk kerja, memberikan balikan
informatif, menilai unjuk kerja, meningkatkan retensi dan alih belajar.

35
b. Permasalahan Guru dalam Pembelajaran
Dalam dunia pendidikan, keberadaan peran dan fungsi guru merupakan
salah satu faktor yang sangat signifikan. Guru merupakan bagian terpenting
dalam proses belajar mengajar, baik di jalur pendidikan formal, informal
maupun nonformal. Oleh sebab itu, dalam setiap upaya peningkatan kualitas
pendidikan di tanah air, guru tidak dapat dilepaskan dari berbagai hal yang
berkaitan dengan eksistensi mereka.
Filosofi sosial budaya dalam pendidikan di Indonesia, telah
menempatkan fungsi dan peran guru sedemikian rupa sehingga para guru di
Indonesia tidak jarang telah di posisikan mempunyai peran ganda bahkan
multi fungsi. Mereka di tuntut tidak hanya sebagai pendidik yang harus mampu
mentransformasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus sebagai
penjaga moral bagi anak didik. Bahkan tidak jarang, para guru dianggap
sebagai orang kedua, setelah orang tua anak didik dalam proses pendidikan
secara global.
Saat ini setidak-tidaknya ada empat hal yang berkaitan dengan
permasalahan yang dihadapi guru di Indonesia, yaitu : pertama, masalah
kualitas/mutu guru, kedua, jumlah guru yang dirasakan masih kurang, ketiga,
masalah distribusi guru dan masalah kesejahteraan guru.

c. Penerapan Teori Deskriptif dan Prespektif dalam Pembelajaran


Tujuan utama pendidikan adalah mencerdaskan anak bangsa.
Depdiknas selaku pemangku system pendidikan nasional bertanggung jawab
penuh dalam pengelolaan pendidikan. Dan sudah selayaknya tujuan tersebut
bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Baik kalangan masyarakat
menengah ke atas maupun menengah ke bawah. Sebab, pemerintah sudah
terlanjur berikrar mencerdaskan bangsa. Oleh karena itu, setiap warga Negara
Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat
dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, ras, etnis, agama,
dan gender. Namun, realitas tersebut tampaknya hanya seputar wacana.
Sebab, sejak tahun 2003 pemerintah malah menerapkan undang-undang
“kastanisasi” pendidikan yaitu pendidikan bukan untuk disamaratakan, namun
dibuat berkelas-kelas. Misalnya masyarakat pribumi kelas menengah ke
bawah bersekolah di sekolah rakyat, sedangkan anak para bangsawan dan
priyai bersekolah disekolah bangsawan.
Dan adanya kastanisasi tersebut,perlunya menerapkan Teori Preskriptif
dan Deskriptif bahwa teori pembelajaran adalah prespektif dan teori belajar
adalah deskriptif. Preskriptif karena tujuan utama teori pembelajaran adalah
menetapkan metode pembelajaran yang optimal dan deskriptif karena tujuan
utama teori belajar adalah memeriksa proses belajar. Dan teori ini dapat
memecahkan masalah kastanisasi tersebut, karena teori pembelajaran
menaruh perhatian pada hubungan di antara variabel-variabel yang
menentukan hasil belajar. Teori ini menaruh perhatian pada bagaimana

36
seorang belajar. Teori pembelajaran sebaliknaya, yakni menaruh perhatian
pada seseorang memengaruhi orang lain agar terjadi hal belajar. Dengan kata
lain, teori pembelajaran berurusan dengan upaya mengontrol variabel-variabel
yang dispesifikasi dalam teori belajar agar dapat memudahkan belajar. Bukan
mementingkan jutaan rupiah yang dianggap sebagai bentuk komersialisasi
dan kapitalisasi pendidikan, yang hanya berpihak kepada orang-orang kaya.
Sementara orang-orang miskin tersingkirkan sedemikian rupa dari akses
pendidikan yang sebenarnya juga menjadi hak dan kebutuhan hidupnya.
Dan kita sebagai calon pendidik, dengan merujuk pada akar masalah
yang telah diidentifikasi di atas, sesungguhnya mewujudkan sekolah dengan
budgeting yang besar tetapi bisa diakses dengan murah oleh orang tua siswa
sangatlah mungkin. Langkah pertama yang harus ditempuh oleh setiap
sekolah adalah mengoptimalkan peran komite sekolah. Dan yang harus
dilakukan oleh komite sekolah adalah menjalin jaringan kemitraan seluas
mungkin. Dan inilah yang akan menjadi pintu gerbang alternatif sumber dana.
Langkah kedua, sekolah harus kreatif dalam menghidupi dirinya sendiri
dengan cara membangun perekonomian sekolah. Dan ini bisa dilakukan
dengan mengoptimalkan peran koperasi sekolah dalam pemenuhan
kebutuhan semua warga sekolah, selengkap mungkin.
Langkah ketiga, merupakan tanggung jawab pemerintah. Dan ini patut
menjadikan pemikiran pemerintah. Pemerintah secara berani mengalokasikan
anggaran untuk pendidikan. Minimal alokasi itu adalah 20% dari total
anggaran sebagai yang diamanatkan Undang-Undang. Dan pemerintah bisa
menggalang korporasi-korporasi yang ada di daerahnya yang secara khusus
diarahkan untuk memajukan pendidikan daerah. Dari asumsi tersebut maka
orang tua hanya menanggung 15% biaya yang dibutuhkan atau bahkan lebih
rendah lagi. Seandainya langkah-langkah tersebut tidak berjalan, betapa
mahalnya biaya pendidikan yang harus dibayar oleh masyarakat.
Alternatif teori lain yang dapat digunakan adalah Teori Belajar Kognitif.
Karena teori ini lebih menaruh perhatian pada peristiwa-peristiwa internal.
Belajar adalah proses pemaknaan informasi dengan jalan mengaitkannya
dengan struktur informasi yang telah dimiliki. Peristiwa belajar yang dialami
manusia bukan semata masalah respon terhadap stimulus (rangsangan),
melainkan adanya pengukuran dan pengarahan diri yang dikontrol oleh otak.
Dalam aliran kognitif, penataan kondisi bukan sebagai penyembah terjadinya
belajar, melainkan sekedar memudahkan belajar. Keaktifan individu dalam
belajar menjadi unsur yang sangat penting dan menentukan kesuksesan
belajar. Bukan semata-mata biaya mahal yang menentukan suatu
kesuksesan. Munculnya cara belajar siswa aktif, keterampilan proses, dan
penekanan pada berfikir produktif merupakan bukti bahwa teori ini telah
merambah praktik pembelajaran.

37
6. a. Transfer Komponen Identik dalam Generalisasi
Di bawah ini merupakan skema komponen pembelajaran
Sebagai sebuah sistem, masing-masing komponen tersebut
membentuk sebuah integritas atau satu kesatuan yang utuh. Masing-masing
komponen saling berinteraksi yaitu saling berhubungan secara aktif dan saling
mempengaruhi. Misalnya dalam menentukan bahan pembelajaran merujuk
pada tujuan yang telah ditentukan, serta bagaimana materi itu disampaikan
akan menggunakan strategi yang tepat yang didukung oleh media yang
sesuai. Dalam menentukan evaluasi pembelajaran akan merujuk pada tujuan
pembelajaran, bahan yang disediakan media dan strategi yang digunakan,
begitu juga dengan komponen yang lainnya saling bergantung
(interdevedensi) dan saling terobos (interpenetrasi).
Tujuan pembelajaran merupakan suatu target yang ingin dicapai oleh
kegiatan pembelajaran. Tujuan pembelajaran ini merupakan tujuan antara dala
upaya mencapai tujuan-tujuan lain yang lebih tinggi tingkatannya, yaitu tujuan
pendidikan dan tujuan pembangunan nasional. Dimulai dari tujuan
pembelajaran (umum dan khusus), tujuan-tujuan itu bertingkat-tingkat, yakni
membangun manusia (peserta didik) yang sesuai dengan yang dicita-citakan.
Materi pembelajaran pada dasarnya adalah isi dari kurikulum yakni
berupa materi pelajaran atau bidang studi dengan topic/sub topic dan
rinciannya. Secara umum isi kurikulum itu dapat dipilah menjadi tiga unsure
utaa, yaitu logika (pengetahuan tentang benar-salah berdasarkan prosedur
keilmuan), etika (pengetahuan tentang baik-buruk) berupa nilai moral, dan
estetika (penetahuan tentang indah-jelek) berupa muatan nilai seni.
Sedangkan bila memilahnya berdasarkan taknsonomi bloom, bahan
pembelajaran itu berupa kognitif, afektif dan psikomotor.
Metode dan teknik di dalam proses belajar mengajar bergantung pada
tingkah laku yang terkandung dalam rumusan tujuan tersebut. Dengan kata
lain, metode dan teknik yang ditunakan untuk tujuan yang menyangkut
pengetahuan akan berbeda dengan metode dan teknik untuk tujuan yang
menyangkut ketrampilan dan sikap.
Proses pembelajaran merupakan proses komunikasi antara sumber
pesan dan penerima pesan. Guru dapat berperan sebagai sumber pesan atau
mungkin hanya pengelola pesan. Sebagai sumber pesan berarti guru harus
menciptakan kondisi yang memungkinkan proses komunikasi dapat berjalan
lancar, agar pesan yang disampaikan dapat diterima melalui “channel” yaitu
alat-alat indera siswa. guru perlu mengidentifikasi berbagai kemungkinan atau
hal-hal yang dapat mengganggu proses terjadinya komunikasi yaitu dengan
menggunakan alat-alat bantu pengeajaran. Alat bantu bukan hanya dapat
memperlancara proses komunikasi akan tetapi dapat merangsang siswa untuk
merespon dengan cepat tentang pesan yang akan disampaikan. Oleh sebb itu
alat bantu yang dapat mendukung proses kelancaran komunikasi antara guru
dan siswa dapat dipandang sebagai media pengajaran.

38
Sedangkan evaluasi merupakan suatu proses yang sistematis dari
pengumpulan, analisis dan interpretasi informasi/data untuk menentukan
sejauh mana siswa telah mencapai tujuan pembelajaran.

b. Perlunya Pembelajaran didasarkan pada Teori Keilmuan


Pembelajaran atau pengajaran menurut Dengeng adalah upaya untuk
membelajarkan siswa. Perencanaan pembelajaran harus melibatkan senua
variable pembelajaran. Inti dari desain pembelajaran yang dibuat adalah
penetapan metode pembelajaran yang optimal untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan.
(1) Perbaikan kualitas pembelajaran
Perbaikan kualitas pembelajaran haruslah diawali dengan perbaikan
desain pembelajaran.
(2) Pembelajaran Dirancang dengan Pendekatan Sistem
Pendekatan sistemakan memberikan peluang yang lebih besar dalam
mengintegrasikan semua variable yang mempengaruhi belajar, termasuk
keterkaitan antarvariabel pengajaran, yakni variable kondisi pembelajaran,
variable metode dan variable pembelajaran.
(3) Desain Pembelajaran Mengacu pada Bagaimana Seseorang Belajar
Kualitas pembelajaran banyak bergantung pada bagaimana pembelajaran
dirancang.
(4) Desain Pembelajaran Diacukan pasa Siswa Perorangan
Karakteristik siswa merupakan perkembangan intelektual siswa, tingkat
motivasi, kemampuan berpikir, gaya kognitif, gaya belajar, kemampuan
awal dan lain-lain.
(5) Desain Pembelajaran Harus Diacukan pada Tujuan
Ketercapaian ranah sikap biasanya terbentuk setelah secara kumulatif dan
dalam waktu yang relati lama, terintegrasi secra keseluruhan pada hasil
langsung pembelajaran.
(6) Desain Pembelajaran Muaranya Kemudahan Belajar
Setiap kegiatan yang dilakukan guru telah terencana, dan guru dapat
dengan mudah melakukan kegiatan pembelajaran dengan baik yang
sasaran akhirnya adalah memberi kemudahan belajar siswa dapat
tercapai.
(7) Desain Pembelajaran Melibatkan Variabel Pembelajaran
Ada tiga variable pembelajaran yang perlu dipertimbangkan dalam
merancang pembelajaran. Ketiga variable tersebut adalah variable kondisi,
metode, dan variable pembelajaran.
 Kondisi pembelajaran mencakup semua variable yang tidak dapat
dimanipulasi oleh perencana pembelajaran dan harus diterima apa
adanya.
 Variabel metode pembelajran mencakup semua cara yang dapat
dipakai untuk mencapai tujuan pembelajaran dalam kondisi tertentu.

39
 Variable hasil pembelajaran mencakup semua akibat yang muncul dari
pengguna metode tertentu pada kondisi tertentu, seperti keefisien
pembelajaran, efisiensi pembelajaran, dan daya tarik pembelajaran.
(8) Desain Pembelajaran Menetapkan Metode untuk Mencapai Tujuan
Inti dari desain pembelajaran adalah menetapkan metode pembelajaran
yang optimal untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan.

c. Pentingnya Desain Pembelajaran dalam Kegiatan Pembelajaran


Cunningham mengemukakan bahwa perencanaan ialah menyeleksi
dan menhubungkan pengetahuan, fakta, imajinasi, dan asumsi untuk masa
yang akan dating dengan tujuan memvisualisasikan dan memformulasikan
hasil yang inginkan, urutan kegiatan yang diperlukan, dan perilaku dalam
batas-batas yang dapat diterima yang akan digunakan dalam penyelesaian.
Definisi kedua mengemukakan bahwa perencanaan adalah hubungan
antara apa yang ada sekarang dengan bagaimana seharusnya yang
berkaiatan dengan kebutuhan, penetu tujuan, prioritas, program, dan alokasi
sumber.
Definisi lain perencanaan adalah suatu cara untuk mengantisipasi dan
menyeimbangakan perubahan.
Berdasarkan kajian diatas, dapat dibuat suatu rumusan baru tentang
perencanaan, yakni suaru cara yang memuaskan untuk membuat suatu
kegiatan dengan berjalan dengan baik, disertaidengan berbagai langkah
antisipasif guna memperkecil kesenjangan yang terjadi sehingga kegiatan
tersebut mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Proses pembelajaran merupakan suatu proses tyang sistematis. Menurut
Mudoffir (1990), system dapat diartikan sebagai suatu kesatuan unsur-unsur
yang saling berintegrasi dan berinteraksi secara fungsional yang memproses
masukan menjadi keluaran.
Pembelajaran merupakan suatu sistem dengan ciri-ciri sebagai berikut.
 Ada tujuan yang ingin dicapai
 Ada fungsi-fungsi untuk mencapai tujuan
 Ada komponen yang melaksanakan fungsi-fungsi
 Ada interaksi antar komponen
 Ada penggabungan yang menimbulkan jalinan keterpaduan
 Adanya proses transformasi
 Ada proses balikan untuk perbaikan
 Ada daerah batasan dan lingkungan

d. Model yang sangat sesuai untuk dikembangkan di Sekolah


Model Pembelajaran Kontekstual
- Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning /
CTL) menurut Nurhadi (2003) adalah konsep belajar yang mendorong guru

40
untuk menghubungkan antara materi yang diajarkan dan situasi dunia nyata
siswa.
Menurut Johnson (2002) CTL adalah sebuah proses pendidikan yang
bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademik yang
mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik
dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks
keadaan pribadi, sosial dan budaya mereka.
Dasar Toeri Model Pembelajaran Kontekstual
Menurut Johnson (2004) tiga pilar dalam CTL yaitu :
- CTL mencerminkan prinsip kesaling-bergantungan
- CTL mencerminkan prinsip diferensiasi
- CTL mencerminkan prinsip pengorganisasian diri
Komponen Model Pembelajaran CTL
Ada tujuh komponen utama dalam pembelajaran CTL yaitu :
- Bertanya (Questioning)
- Kontruktivisme (Contruktivism)
- Menemukan (Inquiry)
- Permodelan (Modeling)
- Masyarakat Belajar (Learning Community)
- Penilaian sebenarnya (Aithentic assesment)
Pola / Skenario Pembelajaran Kontekstual
Contoh pengaitan-pengaitan yang dilakukan dalam CTL :
Di kelas yang tinggi para guru mendorong siswa untuk membaca,
menulis dan berfikir secara kritis dengan meminta mereka untuk focus pada
persoalan-persoalan kontroverrsial di lingkungan atau masyarakat mereka.
Kelas dibagi dalam kelompok dan setiap kelompok memilih sebuah persoalan
kontroversial dan menelitinya.
Langkah-langkah Pembelajaran CTL dalam Kelas
- Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiry untuk semua topik
- Mengembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih
bermakna dengan cara bekerja sendiri pengetahuan dan keterampilan
bertanya
- Mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya
- Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran
- Menciptakan masyarakat belajar
- Melakukan refleksi di akhir penemuan
- Melakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara
• Ciri kelas yang menggunakan pendekatan kontekstual :
Pengalaman nyata
Kerja sama, saling menunjang
Gembira, belajar dengan gairah
Pembelajaran terintegrasi
Menggunakan berbagai sumber
Siswa aktif dan kritis

41
Menyenangkan, tidak membosankan
Sharing dengan teman
Guru kreatif
• Contoh skenario pembelajaran kontekstual :
Pengorganisasian : kelompok kecil 4 – 5 orang
Pertemuan I : menyelidiki perubahan air menjadi uap dan kembali lagi
menjadi air
☼ Tanya jawab tentang terjadinya hujan
☼ Penjelasan penggunaan alat
☼ Melakukan kegiatan percobaan
☼ Mengamati dan melaporkan hasil percobaan
☼ Menyimpulkan hasil kegiatan
☼ Memberi contoh terapan dalam kehidupan sehari-hari
Pertemuan II : menyelidiki wujud lilin yang dipanaskan
kemudian didinginkan
☼ Tanya jawab tentang terjadinya perubahan wujud pada lilin
☼ Penjelasan penggunaan alat
☼ Melakukan kegiatan percobaan
☼ Mengamati dan melaporkan hasil percobaan
☼ Menyimpulkan hasil kegiatan
☼ Memberi contoh terapan dalam kehidupan sehari-hari
Alat dan bahan :
☼ Air, lilin, korek api
☼ Kompor / pemanas, cairan
Penilaian
☼ Penilaian tertulis (mengenal perubahan wujud, menganalisa benda
yang berubah wujud dapat ke wujud semula)
☼ Kinerja (mengamati kinerja siswa atau melalukan percobaan)
☼ Produk (merancang dan membuat alat penyulingan air)

42

Anda mungkin juga menyukai