Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH

TEORI METAKOGNISI DAN IMPLEMENTASINYA PADA


PEMBELAJARAN AUD

Dosen Pengampu : Indah Dwi Sartika, M,Pd.

Disusun Oleh : Kelompok 5


1. Sri Wahyu Lestari (2230210090)
2. Talya Salsabilah (2230210088)

PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan limpahan rahmat, hidayah, dan karuniaNya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah tentang “TEORI METAKOGNISI DAN
IMPLEMENTASINYA PADA PEMBELAJARAN AUD”. Penyusunan makalah
ini disusun sebagai bukti bahwa penulis telah melaksanakan dan menyelesaikan
materi tersebut secara kelompok, serta makalah ini disusun secara kelompok
sebagai tugas pada Semester 2 Mata Kuliah Adiministrasi dan Supervisi
Pendidikan.
Penulis menyadari bahwa tanpa adanya bantuan dan kerjasama dari
dosen pengampu mata kuliah serta teman satu kelompok, serta sumber lainnya,
maka penyusunan makalah ini akan terhambat.
Makalah ini tentunya jauh dari kata sempurna, tetapi penulis bertujuan
untuk menjelaskan dan memaparkan point-point di makalah ini sesuai dengan
pengetahuan yang penulis peroleh baik dari buku, internet, maupun sumber-
sumber yang lain. Penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat khususnya
bagi penulis dan bagi pembaca. Segala kritik dan saran akan penulis terima
demi memperbaiki penyusunan tugas-tugas berikutnya.

Palembang, April 2023

Penulis

i
BAB I
PENDAHULUAN

1) Latar Belakang
Anak usia dini adalah tahapan dalam masa emas yang memerlukan
pelayanan lebih, secara khusus dan langsung bila dibandingkan jenjang
pendidikan lain. Anak usia dini merupakan masa emas (golden age) yang
hanya ada sekali periode dalam kehidupannya dan tidak dapat diulang
kembali.1 Rentang usia anak usia dini yaitu antara 4-6 tahun yang secara
terminologi
disebut juga sebagai anak usia pra sekolah. Usia demikian merupakan masa
peka bagi anak. Para ahli menyebut sebagai masa golden age, dimana
perkembangan kecerdasan pada masa ini mengalami peningkatan sampai
50%. Pada masa ini terjadinya pematangan fungsi-fungsi fisik dan psikis yang
siap merespon stimulasi yang diberikan oleh lingkungan. Masa ini merupakan
tempo untuk meletakkan dasar pertama dalam mengembangkan kemampuan
fisik, kognitif, bahasa, seni, sosial emosional, disiplin diri, nilai- nilai agama,
konsep diri dan kemandirian.2
Dalam mengembangkan aspek kemampuan nilai moral dan agama,
bahasa, kognitif , sosial emosional, fisik motorik maupuan seni pada anak usia
dini diperlukan media pembelajar an yang beragam dan bervariasi agar
stimulasi yang diberikan kepada anak membuahkan hasil yang maksimal.3
Pengetahuan metakognisi adalah pengetahuan seseorang mengenai
proses berpikiryang merupakan persepektif pribadi dari kemampuan orang
lain. Pengalaman metakognisi adalah pengalaman kognisi atau afektif yang
menyertai dan berhubungan dengan semua kegiatan kognitif. Dengan kata

1
Eko Suhendro, Strategi Pembelajaran Pendidikan Anak Usia Dini di Masa Pandemi
Covid-19, Golden Age: Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini Vol. 5, No. 3
(Yogyakarta, : UIN Sunan Kalijaga, 2020), H. 134
2
Ahmad Zaini, Bermain Sebagai Metode Pembelajaran Bagi Anak Usia Dini, Jurnal
Thufula Vol. 3, No. 3 (Kudus : STAIN Kudus, 2015), H. 119
3
Herman Zaini, & Kurnia Dewi, Pentingnya Media Pembelajaran Untuk Anak Usia Dini,
Raudhatul Athfal: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini Vol. 1, No, 1 (Palembang:
UIN Raden Fatah, 2017) H. 83

1
lain, pengalaman metakognisi adalah pertimbangan secara sadar dari
pengalaman intelektual yang menyertai kegagalan atau kesuksesan dalam
pelajaran. Tujuan atau tugas mengacu pada tujuan berpikir seperti membaca
dan memahami suatu bagian untuk kuis mendatang, yang akan mencetuskan
penggunaan pengetahuan metakognisi dan mendorong kepengalaman meta
kognisi baru. Tindakan atau strategi menunjuk berpikir atau perilaku yang
khusus yang digunakan untuk melaksanakannya, yang dapat membantu untuk
mencapai tujuan. Ketika seseorang mengetahui apa saja faktor-faktor yang
mempengaruhi proses kognitifnya sendiri, mengetahui tugas-tugas mana saja
yang dianggap berat atau mudah dan mengetahui apa yang diketahui, berarti
seseorang tersebu ttelah menguasai metakognisinya.
Metakognisi merupakan suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada
diri sendiri sehingga, apa yang dilakukan dapat terkontrol secara optimal.
Seseorang dengan kemampuan seperti ini dimungkinkan memiliki kemampuan
tinggi dalam memecahkan masalah. Hal ini dikarenakan dalam setiap langkah
yang dikerjakan senantiasa muncul pertanyaan apa yang dikerjakan?, mengapa
mengerjakan ini?, hal apa yang bisa membantu dalam memecahkan masalah
ini?. Metakognisi mengacu pada pemahaman seseorang tentang
pengetahuannya, sehinggapemahaman yang mendalam tentang
pengetahuannya yang efektif atau uraian yang jelas tentang pengetahuan yang
dipermasalahkan. Hal ini, menunjukkan bahwa pengetahuan kognisi adalah
kesadaran seseorang tentang apa yang sesungguhnya diketahuinya dan
regulasi kognisi adalah bagaimana seseorang mengatur aktivitas kognitifnya
secara efektif.4
2) Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
makalah ini yaitu :
1. Apa pengertian metakognisi?
2. Apa tujuan teori metakognisi ?
3. Apa indikator teori metakognisi?
4
Fu`ad Arif Noor, Metakognisi dalam Pembelajaran RA, Jurnal Pendidikan Guru
Raudlatul Athfal Vol,1, No,1, (Yogyakarta : STPI Bina Insan Mulia, 2016), H, 12

2
4. Apa pengetahuan metakognisi?
5. Bagaimana implementasi metakognisi dalam pembelajaran anak usia dini?
3) Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan pembuatan
makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui pengertian metakognisi.
2. Untuk mengetahui tujuan teori metakognisi.
3. Untuk mengetahui indikator teori metakognisi.
4. Untuk mengetahui pengetahuan metakognisi.
5. Untuk mengetahui implementasi metakognisi dalam pembelajaran anak
usia dini.

3
BAB II
PEMBAHASAN

1) Pengertian Metakognisi
Metakognisi merupakan ‘kognisi tentang kognisi’ atau ‘pemikiran
tentang pemikiran’. Pada awalnya, kajian-kajian tentang metakognisi
dijalankan di kalangan pelajar muda. Setelah diperkenalkan oleh Flavell
dalam tahun 1976, metakognisi mulai diberi perhatian oleh para ilmuan di
awal tahun 1980an.5 Menurut Flavel metakognisi adalah suatu bentuk
kemampuan untuk melihat diri pada diri sendiri sehingga apa yang dilakukan
dapat terkontrol secara optimal.6 Istilah metakognisi dalam dunia pendidikan
pada waktu terakhir ini telah cukup luas digunakan, antara lain berkaitan
dengan usaha mengoptimalkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah,
atau mengoptimalkan hasil belajar yang dapat dicapai oleh siswa. Pada
prinsipnya usaha melibatkan metakognisi dalam berbagai kegiatan belajar
diharapkan memberi manfaat untuk meningkatkan kualitas belajar yang
dilaksanakan.7
Metakognisi terdiri dari imbuhan “meta” dan “kognisi”. “Meta”
merupakan awalan untuk kognisi yang artinya “sesudah ”kognisi.
Penambahan awalan“meta” pada kognisi untuk merefleksikan ide bahwa
metakognisi di artikan sebagai kognisi tentang kognisi, pengetahuan tentang
pengetahuan atauberpikir tentang berpikir. Laurens mengemukakan fungsi
dari kognisi adalah untuk memecahkan masalah sedangkan fungsi dari
metakognisi adalah untuk mengarahkan pemikiran seseorang dalam

5
Rahman, S,, & Phillips, J, A, (Selangor : Universiti Kebangsaan Malaysia, 2006),
Hubungan antara kesedaran metakognisi, motivasi dan pencapaian akademik pelajar universiti,
Jurnal pendidikan, 31(2), H. 22
6
Geni Sri Elita, Dkk, Pengaruh Pembelajaran Problem Based Learning Dengan
Pendekatan Metakognisi Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis, Mosharafa:
Jurnal Pendidikan Matematika Vol. 8, No. 3, (Jambi: Institut Agama Islam Negeri Kerinci, 2019),
H. 449
7
Mustamin Anggo, Pelibatan Metakognisi Dalam Pemecahan Masalah Matematika,
Edumatica : Jurnal Pendidikan Matematika Vol. 01 No. 01, (Kendari : UNHALU Kendari, 2011),
H. 26
4
memecahkan suatu masalah. Matlin menjelaskan metakognisi adalah
pengetahuan, kesadaran dan pengontrolan seseorang terhadap proses
kognitifnya yang terjadi pada diri sendiri, bahkan metakognisi juga sangat
penting karena pengetahuan tentang proses kognisi dapat membantu seseorang
dalam menyeleksi strategi–strategi pemecahan masalah. Sedangkan menurut
McDevitt dan Ormrod, Metakognisi adalah pengetahuan seseorang tentang
proses berpikirnya dan sengaja digunakan untuk meningkatkan pembelajaran
dan ingatan. Metakognisi berhubungan dengan bagaimana seseorang
menggunakan pikirannya dan merupakan proses kognitif yang paling tinggi
dan canggih. Pernyataan” mengetahui apa yang kamu ketahui dan apa yang
tidak kamu ketahui”, merupakan salah satu contoh pernyataan yang
menerangkan proses metakognisi.
Wellman menyatakan bahwa Metakognisi sebagai suatu bentuk
kognisi, atau proses berpikir duatingkat atau lebih yang melibatkan
pengendalian terhadap aktivitas kognitif. Karena itu metakognisi dapat
dikatakan sebagai berpikir seseorang tentang berpikirnya sendiri. Pengertian
metakognisi yang dikemukakan oleh para pakar diatas sangat beragam, namun
pada hakekatnya memberikan penekanan pada pengetahuan dan kesadaran
seseorang tentang proses berpikirnya sendiri. Metakognisi ini memiliki arti
yang sangat penting, karena pengetahuan tentang proses kognisi sendiri dapat
memandu dalam menata suasana dan menyeleksi strategi untuk meningkatkan
kemampuan kognitif dimasa datang. Sedangkan metakognisi pada makalah ini
adalah pengetahuan, kesadaran dan kontrol seseorang terhadap proses dan
hasil berpikirnya. 8
Livingstone (1997) memberikan definisi metakognitif sebagai thinking
about thinking atau berpikir tentang berpikir, dimana proses berpikir yang
dialami itulah yang menjadi objek berpikirnya. Menurut Naufal, dkk. (2017)
mampu menilai strategi yang digunakan, menyadari kesalahan yang
dilakukan, serta mampu melakukan evaluasi meupakan kemampuan
8
Fu`ad Arif Noor, Metakognisi dalam Pembelajaran RA, Jurnal Pendidikan Guru
Raudlatul Athfal Vol,1, No,1, (Yogyakarta : STPI Bina Insan Mulia, 2016), H, 13

5
metakognitif yang penting untuk dimiliki oleh siswa, Terdapat tiga aspek yang
menjadi indikator dari metakognisi menurut Anderson & Krathwohl (2001),
yaitu pengetahuan tentang tugas-tugas kognitif, strategi, dan pengetahuan diri.
Sedangkan indikator metakognitif menurut Hacker (2004) adalah proses
berpikir seseorang tentang cara berpikirnya sendiri yang terwujud dalam
kemampuan seseorang dalam menyadari apa yang diketahui, apa yang
dilakukan, dan pengalaman metakognitif seseorang. Berdasarkan berbagai
indikator metakgonitif yang dikemukakan oleh pakar pada hakikatnya
memiliki konsep yang sama yaitu menyusun strategi atau rencana tindakan,
memonitor tindakan, dan mengevaluasi tindakan. Namun, pada indikator
metakognitif yang dikemukakan oleh Swartz & Perkins (NCREL, 2007)
terdapat indikator yang mampu menunjukkan tingkatan secara hierarkis dan
intuitif terkait dengan adanya suatu tingkat dalam kesadaran berpikir, yaitu:
1. Tacit use : dalam tingkatan ini siswa menyelesaikan masalah dengan coba-
coba, apa yang siswa katakan tidak memiliki makna, dalam tingkatan ini
siswa tidak mengetahui apa saja yang tidak diketahuinya, selain itu siswa
juga memberikan penjelasan yang tidak menentu.
2. Aware Use : siswa dalam tingkatan ini memiliki kemampuan dalam
membuat keputusan yang memiliki dasar, siswa menyadari kelemahan
yang dimiliki, serta siswa mengetahui hal yang tidak diketahui.
3. Strategic use : pada tingkatan ini siswa mampu menyadari apa yang
sedang dilakukan, siswa juga mampu memberikan argumen dengan baik
untuk mendukung hasil pemikirannya, dan siswa sudah mampu untuk
menggunakan strategi yang memunculkan kesadaran dalam proses
pemecahan masalah dalam soal.
4. Reflective Use : siswa dalam menyelesaikan masalah dengan baik,
menguasai materi matematika yang mendasari masalah yang diberikan,
serta dapat melakukan evaluasi pada hasil pekerjaannya. 9

9
Agma Nadia, Gladissela, and Uki Suhendar, "Tingkatan Metakognitif Siswa dalam
Menyelesaikan Soal Statistika Ditinjau dari Teori Metakognitif Swartz & Perkins," CENDEKIA,
PENDIDIKAN MATEMATIKA 5, no, 3 (Universitas Muhammadiyah Ponorogo, 2021), H, 3
6
2) Tujuan Teori Metakognisi
Pengetahuan metakognitif merupakan bagian yang penting dimiliki
oleh siswa dalam aktivitas belajar. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan
Eggen dan Kauchak (dalam Corebima, 2009) bahwa pengetahuan
metakognitif membantu siswa memahami dan mengatur proses belajar dirinya
sendiri sehingga menjadi siswa yang mampu belajar secara mandiri (self-
regulated learner). Pentingnya pengetahuan metakognitif juga diungkapkan
oleh Williams & Atkins (2009) yaitu membantu siswa melaksanakan banyak
tugas belajarnya secara lebih efektif. Pengetahuan metakognitif memberikan
peran penting dalam aktivitas belajar siswa sehingga perlu menerapkannya
dengan cara diajarkan dan dinilai di dalam kelas.10
Pemecahan masalah merupakan bagian yang sangat penting dalam
proses pembelajaran. Menurut buku Polya berjudul “How To Solve It”, Polya
telah mengembangkan tahap pemecahan masalah, yaitu
1. Memahami masalah;
2. Perencanaan penyelesaian;
3. Rencana eksekusi (rencana penyelesaian eksekusi); dan
4. Memeriksa kembali.
Charles & O'Daffer mengatakan bahwa kunci pemecahan masalah
dalam pembelajaran matematika adalah menumbuhkembangkan kemampuan
berpikir siswa. Proses mewujudkan dan menyesuaikan struktur berpikir siswa
disebut metakognisi, yang meliputi pemikiran tentang metode berpikir siswa
dalam proses merancang metode masalah, memilih strategi untuk menemukan
solusi, dan masalah yang dikonfirmasi sendiri. Konsep metakognisi
disampaikan oleh John Flavell, yaitu berpikir tentang berpikir, atau dalam hal
ini termasuk pengetahuan seseorang tentang proses berpikir internalnya
sendiri.
Menurut Woolfolk, metakognisi mengacu pada cara dalam upaya
meningkatkan kesadaran dan kemampuan proses berpikir berdasarkan proses
10
Dyah Vija Rukminingrum, dkk, Pengetahuan Metakognitif Belajar Siswa Kelas V SD,
Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, Dan Pengembangan Vol. 2, No. 2, (Malang: Universitas
Negeri Malang, 2017), H. 280
7
belajar yang diikuti. Kesadaran berpikir ini akan terjadi jika seseorang dapat
memulai cara berpikir dirinya melalui tahapan perencanaan (planning),
pemantauan (monitoring) dan evaluasi (evaluating) berdasarkan hasil dari
aktivitas kognitif. Jadi siswa yang mampu melakukan pengelolaan aktivitas
kognitif secara baik, akan berpotensi dapat menyelesaikan tugas dan
permasalahan dengan sama baiknya. Margaret W. Matlin menyampaikan
bahwa metakognitif merupakan suatu pengetahuan yang disertai perasaan
sadar mengenai proses kognitif dalam kaitannya dengan cara berpikir individu
secara mandiri.
Metakognisi juga dapat dikatakan sebagai keterampilan yang dimiliki
siswa untuk mengatur serta melakukan kontrol terhadap proses berpikir dalam
dirinya. Dalam hal ini siswa yang mengikuti proses pembelajaran mempunyai
suatu keterampilan khusus dalam mengatur dan melakukan kontrol terhadap
materi atau objek yang dipelajari. Keterampilan metakognitif semacam ini
pada dasarnya berbeda antara satu siswa dengan siswa lainnya, tergantung
pada kemampuan proses berpikirnya. Metakognisi memegang peranan penting
dalam mendukung proses pembelajaran, khususnya dalam pemecahan
masalah. Siswa perlu sadar akan proses berpikir dalam dirinya dan melakukan
evaluasi terhadap hasil dari proses berpikir, sehingga diharapkan dapat
meminimalkan kekeliruan siswa dalam penyelesaian masalah. Jika saling
dikaitkan maka metakognisi juga mempunyai keterkaitan dengan cara siswa
dalam membangun struktur mengenai proses berpikir dalam dirinya sendiri
yang ditunjang oleh kemampuan siswa untuk memilih cara yang tepat dalam
pemecahan masalah. Pengembangan kemampuan metakognitif dalam proses
pemecahan masalah merupakan faktor penting.
Dalam proses pemecahan masalah perlu adanya keterlibatan kesadaran
akan proses berpikir dan kemampuan mengatur diri, sehingga akan
membangun pemahaman yang mendalam ditunjang dengan kemampuan untuk
menyampaikan argumen secara logis. Pemahaman yang mendalam dapat
dikatakan sebagai kunci keberhasilan tercapainya tujuan pembelajaran untuk
semua tingkat pendidikan. Lee dan Baylor (2006) menyampaikan bahwa
8
penekanan dari metakognisi yaitu kemampuan dalam mengetahui serta
melakukan pemantauan kegiatan berpikir seseorang yang akan berbeda-beda
berdasarkan kemampuan masing-masing orang tersebut. Menurut Imel (2002),
metakognisi penting dalam menunjang keberhasilan dalam proses belajar,
mengingat bahwa metakognisi membuka peluang bagi siswa agar mempunyai
kemampuan dalam melakukan pengelolaan kognisi serta mampu menganalisa
kelemahan yang perlu diperbaiki untuk keperluan proses belajar selanjutnya.
Seseorang yang mempunyai kemampuan dalam melakukan keterampilan
tertentu dapat dikategorikan sudah melakukan atau mengalami metakognisi,
yaitu berpikir mengenai tahapan maupun proses untuk merencanakan serta
melaksanakan keterampilan tersebut.
Siswa dapat diberikan dorongan dalam melakukan metakognisi
melalui peningkatan kesadaran siswa bahwa metakognisi mampu menunjang
peningkatan prestasi belajar. Dibandingkan dengan siswa yang umumnya
tidak melakukan metakognisi, siswa yang melakukan metakognisi (peserta
didik dengan kesadaran metakognitif) memiliki hasil yang lebih baik. Dalam
hal ini, metakognisi memungkinkan siswa untuk merencanakan, mengamati
perkembangan, dan memantau proses pembelajaran.11

3) Indikator Metakognisi
Menurut Baker & Brown, Gagne, metakognisi mempunyai sejumlah
aspek indikator, yaitu pengetahuan tentang kognisi, mekanisme terkait
pengendalian diri, serta monitoring kognitif. Sedangkan menurut pendapat
dari Flavell, metakognisi mencakup pengetahuan metakognitif, pengalaman
atau pengaturan metakognitif. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh
Surya, metakognisi mencakup dua dimensi yang saling berhubungan yaitu
pengetahuan kognisi dan regulasi kognitif. Hacker dan Biryukov percaya
bahwa metakognisi terdiri dari tiga indikator, yaitu

11
Atmaja, I, Made Dharma, "Koneksi indikator pemahaman konsep matematika dan
keterampilan metakognisi," Nusantara: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial 8, no, 7 (Universitas
Mahasaraswati Denpasar, 2021): 2052-2053
9
1. Pengetahuan tentang hal-hal yang diketahui (metacognitive knowledge);

2. Melakukan sesuatu (metacognitive skills);

3. Kognisi dan keadaan emosional (metacognitive knowledge) cognitive


experience).
Dalam proses perkembangannya, terdapat perbedaan umum dalam
metakognisi, yaitu pemisahan pengetahuan metakognitif dan keterampilan
metakognitif. Ervin dan Utiya memiliki pandangan yang sama dan percaya
bahwa metakognisi dibagi menjadi dua komponen: pengetahuan kognitif dan
regulasi kognitif. Dalam hal ini, peneliti mentransformasikan kedua
komponen tersebut menjadi pengetahuan metakognitif dan keterampilan
metakognitif. Woolfolk percaya bahwa komponen keterampilan metakognitif
dasar meliputi tiga bagian, yaitu perencanaan, pemantauan dan evaluasi.
Perencanaan merupakan suatu deskripsi mengenai waktu yang diperlukan
untuk penyelesaian suatu masalah, strategi yang akan digunakan, tahapan
penyelesaian, sumber yang bisa digunakan, serta prosedur setiap tahapan.
Pemantauan meliputi perhatian terus menerus terhadap proses berpikir dengan
mengajukan pertanyaan pada diri sendiri untuk menyelesaikan tugas,
memahami masalah secara keseluruhan, kecepatan pemecahan masalah, dan
kesadaran konsep yang dipelajari sebelumnya atau yang belum diteliti.
Menurut Widadah, keterampilan dalam proses pemecahan masalah
dapat dibagi menjadi tiga keterampilan utama. Keterampilan ini meliputi
perencanaan, pemantauan pelaksanaan, dan evaluasi tindakan. Keterampilan
pertama adalah perencanaan, termasuk perencanaan rencana, seperti cara
siswa menulis tentang masalah yang mereka hadapi, menetapkan tujuan,
mendapatkan rencana, dan menghubungkan dengan masalah yang mereka
hadapi. Keterampilan kedua adalah pelaksanaan monitoring, meliputi
bagaimana siswa memeriksa kebenaran langkah-langkah, dan bagaimana
melihat tahapan pemecahan masalah dengan cara lain, kepercayaan diri siswa
dalam menentukan pilihan yang benar, menentukan hasil, dan menganalisis
konsistensi. dengan rencana yang direncanakan. Keterampilan ketiga, evaluasi

10
tindakan, mencakup kemampuan siswa untuk memeriksa kekuatan dan
kelemahan studi sebelumnya, menerapkan solusi dengan cara lain,
menerapkan metode yang mereka temukan untuk memecahkan masalah lain,
mengamati pekerjaan mereka sendiri, dan mengevaluasi tujuan.
Berdasarkan hal tersebut di atas pemetaan koneksi keterampilan
metakognisi sebagai berikut.
1. Membuat Perencanaan

a. Siswa mampu menentukan tujuan.

b. Siswa mampu mendapatkan rencana penyelesaian.

c. Siswa mampu menghubungankan ingatan dengan permasalahan yang


pernah diselesaikan.
2. Monitoring pelaksanaan

a. Siswa mampu meyakini prosedur yang dipilih adalah benar.

b. Siswa mampu melakukan analisis kesesuaian terkait rencana yang


dibuat.
3. Evaluasi tindakan

a. Siswa mampu mengevaluasi kelebihan serta kekurangan yang


dilakukan.

b. Siswa mampu menyadari cara kerja yang sudah dilakukan sendiri.

c. Siswa mampu melakukan evaluasi tujuan.12

4) Pengetahuan Metakognisi
Pengetahuan metakognisi mengacu pada pengetahuan umum tentang
bagaimana manusia belajar dan memproses informasi, seperti halnya
pengetahuan individu mengenai proses memecahkan masalah. Veenman,
menyatakan bahwa pengetahuan metakognisi merupakan proses belajar dapat
benar atau salah, sedangkan pengetahuan diri seseorang cukup lamabertahan

12
Atmaja, I, Made Dharma, "Koneksi indikator pemahaman konsep matematika dan
keterampilan metakognisi," Nusantara: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial 8, no, 7 (Universitas
Mahasaraswati Denpasar, 2021): 2054-2054
11
untuk berubah. Misalnya, siswa dapat membuat kekeliruhan dalam proses
berpikirnya, karena ia merasa meluangkan cukup waktu untuk mempersiapkan
diri menghadapi ulangan. Namun, kenyataannya ia berkali-kali gagal,
sehingga ia beranggapan bahwa guru membuat soal yang demikian sulit untuk
diketahuinya. Karena itu, kesalahan proses berpikir yang dilakukan oleh siswa
akan menghambat siswa untuk memperbaiki pengetahuan diri. Menurut John
Flavell, pengetahuan metakognisi secara umum dapat dibedakan menjadi 3
(Tiga) variabel, yaitu:

1. Variabel individu, yang mencakup pengetahuan tentang persons, manusia


(diri sendiri dan juga orang lain) memiliki keterbatasan dalam jumlah
informasi yang dapat diproses. Dalam variabel individu ini tercakup pula
pengetahuan bahwa seseorang itu lebih paham dalam suatu bidang dan
lemah dibidang lain. Demikian juga pengetahuan tentang perbedaan
kemampuan anda dengan orang lain,

2. Variabel tugas, mencakup pengetahuan tentang tugas-tugas (task), yang


mengandung wawasan bahwa beberapa kondisi sering menyebabkan
seseorang lebih sulit atau lebih mudah dalam memecahkan suatu masalah
atau menyelesaikan suatu tugas. Misalnya, semakin banyak waktuyang
saya luangkan untuk memecahkan suatu masalah, semakin baik saya
mengerjakannya; sekiranya materi pembelajaran yang disampaikan guru
sukar dan tidak akan diulangilagi, maka saya harus lebih konsentrasi dan
mendengarkan keterangan guru dengan seksama,

3. Variabel strategi, mencakup pengetahuan tentang strategi, pengetahuan


tentang bagaimana melakukan sesuatu atau bagaimana mengatasi
kesulitan.
Adkins menyatakan bahwa metakognisi berkaitan dengan ketiga tipe
pengetahuan yaitu pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural dan
pengetahuan kondisional dalam pembelajaran. Pendapat ini juga diperkuat
oleh para ahli lainnya, Crose, Paris dan Jacobs dalam Usman menyatakan
bahwa pengetahuan metakognisi berkaitan dengan ketiga tipe pengetahuan

12
yang sama tersebut. Pengetahuan deklaratif mengacu kepada pengetahuan
tentang fakta dan konsep-konsep yang dimiliki seseorang atau faktor-faktor
yang mempengaruhi pemikirannya dan perhatiannya dalam memecahkan
masalah. Pengetahuan prosedural adalah pengetahuan bagaimana melakukan
sesuatu, bagaimana melakukan langkah-langkah atau strategi-strategi dalam
suatu proses pemecahan masalah. Pengetahuan kondisional mengacu pada
kesadaran seseorang akan kondisi yang mempengaruhi dirinya dalam
memecahkan masalah yaitu: kapan suatu strategi seharusnya diterapkan,
mengapa menerapkan suatu strategi dan kapan strategi tersebut digunakan
dalam memecahkan masalah.
Gamma dalam Usman menyatakan bahwa pengetahuan metakognisi
adalah pengetahuan yang dimiliki seseorang dan tersimpan di dalam memori
jangka panjang, berarti pengetahuan tersebut dapat diaktifkan atau dipanggil
kembali sebagai hasil dari suatu pencarian memori yang dilakukan secara
sadar dan disengaja, atau diaktifkan tanpa sengaja yang secara otomatis
muncul ketika seseorang dihadapkan pada permasalahan tertentu. Berdasarkan
beberapa para ahli tentang pengetahuan metakognisi, maka pengetahuan
metakognisi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kesadaran berpikir
seseorang (peserta didik) tentang proses berpikirnya sendiri yang terdiri dari
pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, pengetahuan kondisional
dalam memecahkan masalah. 13
5) Implementasi Metakognisi dalam pembelajaran Anak Usia Dini
Anak usia dini adalah anak yang berusia 0 – 6 tahun. Menurut para
ahli, usia sebelum memasuki usia dasar merupakan masa keemasan (golden
age) dan merupakan masa kritis dalam tahapan kehidupan manusia yang akan
menentukan perkembangan anak selanjutnya.14
Secara historis metakognitif pada anak usia dini kurang menjadi

13
Fu`ad Arif Noor, Metakognisi dalam Pembelajaran RA, Jurnal Pendidikan Guru
Raudlatul Athfal Vol,1, No,1, (Yogyakarta : STPI Bina Insan Mulia, 2016), H, 14-15
14
Andini Dwi Arumsari, dkk., Pembelajaran Bahasa Inggris pada Anak Usia Dini di Kec
Sukolilo Surabaya, Jurnal PG-PAUD Trunojoyo: Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran Anak Usia
Dini Vol. 4, No. 2 (Surabaya : Universitas NAROTAMA, 2017), H. 134
13
perhatian. Padahal kemampuan metakognitif anak bisa dikembangkan dan
bisa diukur. Hanya baru-baru ini saja para peneliti mulai mendeteksi secara
konkrit metakognitif anak usia 3-5 tahun menggunakan alat penilaian
observasi. Seiring dengan berjalannya waktu Secara umum metode observasi
lebih peka untuk megetahui metakognitif anak. Namun penggunaan metode
observasi kurang mampu memberikan gambaran menyeluruh kemampuan
metakognitif anak secara detail. Karenanya Marulis, et.al (2016) melakukan
penelitian ini untuk pengembangan kemampuan metakognitif anak melalui
wawancara. Mengingat anak-anak mempunyai metakognisi yang terbatas dan
mereka jarang memonitor memori, bahasa, problem solving, atau mengambil
keputusan (Flavell, 1990). Karenanya penelitian terakhir pada metakognisi
anak lebih difokuskan pada topik yang disebut teori berpikir (theory of mind),
tentang bagaimana pikiran mereka bekerja dan pada keyakinan mereka
tentang pemikiran orang lain.
Pada dasarnya kemampuan metakognitif tumbuh dan berkembang
seiring dengan pertambahan usia. Secara umum, kemampuan metakognitif
mulai berkembang pada usia sekitar 5 hingga 7 tahun (Woolfolk, 2008).
Sedangkan menurut Whitebread, dkk, (2010) bahwa ketrampilan metakognitif
muncul sekitar usia 8 – 10 tahun dan didahului oleh kemampuan kognitif lain
seperti perkembangan Theory of Mind (ToM) . Teori berpikir (theory of
mind) yang merupakan bagian dari metakognitif anak sangat berkaitan dengan
kemampuan intelektual. Model Piaget tentang perkembangan intelektual
menjelaskan adanya perkembangan, sehingga kecerdasan dibangun dalam
suatu kurun waktu dalam rangkaian yang tersusun dari tahapan-tahapan yang
saling terkait atau berhubungan, dan tiap tahap ini menentukan
perkembangannya. Perkembangan ini merupakan proses fundamental dimana
tiap elemen dari pembelajaran sebagai fungsi dari perkembangan secara
keseluruhan. Sehingga, perkembangan intelektual seseorang menentukan apa
yang bisa dipelajarinya pada taraf itu.
Kebanyakan studi pengembangan telah mengklasifikasikan
"metakognitif" sebagai perwujudan eksplorasi metamemori anak-anak, yaitu
14
pengetahuan mereka tentang memori. Pengetahuan tentang memori juga telah
diterapkan untuk meneliti pemahaman anak, komunikasi anak, dan
keterampilan pemecahan masalah pada anak. Pada awal 1980-an, penelitian
difokuskan pada anak-anak tentang pengetahuan dunia mental, yang lebih
dikenal istilah "teori tentang berpikir (Theory of mind)" Metamemori secara
sederhana berarti di atas atau di luar kelaziman memori dan ia merupakan
metakognitif. Strategi metamemori dapat berupa mnemonic devices (muslihat
memori), yakni bermacam-macam alat rekayasa akal. Mnemonic devices itu
berarti kiat khusus yang dijadikan ”alat pengait” mental untuk memasukkan
item-item informasi ke dalam sistem akal siswa, antara lain: rima (Rhyme),
singkatan, sistem kata pasak(paku), metode losai, sistem kata kunci (key word
system), dan lain-lain. Contoh dari metamemory adalah pada usia 5 atau 6
tahun, anak-anak biasanya mengetahui bahwa hal-hal yang familar lebih
mudah untuk dipelajari dibandingkan hal-hal yang tidak familiar, bahwa
daftar yang lebih pendek lebih mudah dipahami dari pada yang panjang,
bahwa pengenalan lebih mudah dari pada mengingat kembali, dan bahwa lupa
menjadi lebih mungkin seiring berjalannya waktu.15
Menurut Kuntjojo (2010), anak usia dini memiliki karakteristik
sebagai berikut : a) egosentris, b) memiliki curiosity yang tinggi, c) makhluk
sosial, d) the unique person, e) kaya dengan fantasi, f) daya konsentrasi yang
pendek, g) masa belajar yang paling potensial. Terdapat 6 aspek
perkembangan yang harus dikembangkan pada anak usia dini antara lain nilai
agama dan moral, fisik-motorik, kognitif, bahasa, sosial-emosional, dan seni.16
Pengetahuan metakognitif merujuk pada kesadaran dan pemahaman yang
mendalam mengenai proses dan produk yang dimiliki seseorang, sementara
proses metakognisi merujuk pada kemampuan seseorang untuk memonitor

15
Ruqoyyah Fitri, Metakognitif Pada Proses Belajar Anak Dalam Kajian Neurosains, JP
(Jurnal Pendidikan) : Teori dan Praktik Vol. 2, No, 1, (Surabaya : Universitas Negeri Surabaya,
2017), H. 47-49
16
Titania Widya Prameswari, Merdeka Belajar Merdeka Belajar: Sebuah Konsep
Pembelajaran Anak Usia Dini Menuju Indonesia Emas 2045: Konsep Pembelajaran Anak Usia
Dini Menuju Indonesia Emas 2045, Seminar Nasional Penalaran dan Penelitian Nusantara, Vol. 1,
No. 1, (Kediri : Universitas Nusantara PGRI, 2020), H. 81
15
atau meregulasi aktivitas kognisinya selama pemecahan masalah.17
Sebagaimana dikemukakan pada uraian sebelumnya bahwa metakognisi pada
dasarnya adalah kemampuan belajar bagaimana seharusnya belajar dilakukan
yang di dalamnya dipertimbangkan dan dilakukan aktivitas-aktivitas, sebagai
berikut:

a. Mengembangkan suatu rencana kegiatan belajar,

b. Mengidentifikasi kelebihan dan kekurangannya berkenaan dengan


kegiatan belajar,

c. Menyusun suatu program belajar untuk konsep, keterampilan, dan ide-ide


yang baru,

d. Mengidentifkasi dan menggunakan pengalamannya sehari-hari sebagai


sumber belajar,

e. Memanfaatkan teknologi modern sebagai sumber belajar,

f. Memimpin dan berperan serta dalam diskusi dan pemecahan masalah


kelompok,

g. Belajar dari dan mengambil manfaat pengalaman orang-orang tertentu


yang telah berhasil dalam bidang tertentu,

h. Belajar dari dan mengambil manfaatkan pengalaman orang-orang tertentu


yang telah berhasil dalam bidang tertentu,
i. Memahami faktor-faktor pendukung keberhasilan belajarnya.
Berdasarkan apa yang dipaparkan di atas dapat dinyatakan bahwa
keberhasilan seseorang dalam belajar dipengaruhi oleh kemampuan
metakognisinya. Jika setiap kegiatan belajar dilakukan dengan mengacu pada
indikator dari learning how to learn maka hasil optimal akan mudah dicapai.
Mengingat pentingnya peranan metakognisi dalam keberhasilan belajar, maka
upaya untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik dapat dilakukan dengan
meningkatkan metakognisi mereka. Mengembangkan metakognisi pembelajar

17
Heru Astikasari Setya Murti, Metakognisi dan Theory of Mind (tom), Jurnal Psikologi:
PITUTUR Vol. 1, No. 2 (Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana, 2012), H. 54
16
berarti membangun fondasi untuk belajar secara aktif. Guru sebagai sebagai
perancang kegiatan belajar dan pembelajaran, mempunyai tanggung jawab
dan banyak kesempatan untuk mengembangkan metakognisi pembelajar.
Strategi yang dapat dilakukan guru atau dosen dalam mengembangkan
metakognisi peserta didik melalalui kegiatan belajar dan pembelajaran, adalah
sebagai berikut:

a. Membantu peserta didik dalam mengembangkan strategi belajar dengan:

1. Mendorong pembelajar untuk memonitor proses belajar dan


berpikirnya,

2. Membimbing pembelajar dalam mengembangkan strategi-strategi


belajar yang efektif,

3. Meminta pembelajar untuk membuat prediksi tentang informasi yang


akan muncul atau disajikan berikutnya berdasarkan apa yang mereka
telah baca atau pelejari,

4. Membimbing pembelajar untuk mengembangkan kebiasaan bertanya,


dan

5. Menunjukkan kepada pembelajar bagaimana teknik mentransfer


pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai, keterampilan keterampilan dari
suatu situasi ke situasi yang lain;

b. Membimbing pembelajar dalam mengembangkan kebiasaan peserta didik


yang baik melalui:

1. Pengembangan kebiasaan mengelola diri sendiri. Pengembangan


kebiasaan mengelola diri sendiri dapat dilakukan dengan:

a) Mengidentifikasi gaya belajar yang paling cocok untuk diri sendiri


(visual, auditif, kinestetik, deduktif, atau induktif),

b) Memonitor dan meningkatkan kemampuan belajar (membaca,


menulis, mendengarkan, mengelola waktu, dan memecahkan
masalah),

c) Memanfaatkan lingkungan belajar secara variatif (di kelas dengan


17
ceramah, diskusi, penugasan, praktik di laboratorium, belajar
kelompok, dan seterusnya),

2. Mengembangkan kebiasaan untuk berpikir positif. Kebiasaan berpikir


positif dikembangkan dengan:

a) Meningkatkan rasa percaya diri (self-confidence) dan rasa


harga diri (self-esteem) dan

b) Mengidentifikasi tujuan belajar dan menikmati aktivitas


belajar,

3. Mengembangkan kebiasaan untuk berpikir secara hirarkhis. Kebiasaan


untuk berpikir secara hirarkhis dikembangkan dengan:

a) Membuat keputusan dan memecahkan masalah dan

b) Memadukan dan menciptakan hubungan-hubungan konsep-


konsep yang baru, dan

4. Mengembangkan kebiasaan untuk bertanya. Kebiasaan bertanya


dikembangkan dengan:

a) Mengidentifikasi ide-ide atau konsep-konsep utama dan bukti-


bukti pendukung;

b) Membangkitkan minat dan motivasi; dan

c) Memusatkan perhatian dan daya ingat. Pengembangan


metakognisi pembelajar dapat pula dilakukan dengan aktivitas-
aktivitas yang sederhana kemudian menuju ke yang lebih
rumit.18

18
Fu`ad Arif Noor, Metakognisi dalam Pembelajaran RA, Jurnal Pendidikan Guru
Raudlatul Athfal Vol,1, No,1, (Yogyakarta : STPI Bina Insan Mulia, 2016), H, 17-19
18
BAB III
PENUTUP

1) Kesimpulan
Perkembangan kognitif menjadi salah satu fokus penting selain
perkembangan fisik pada masa anak-anak. Berdasarkan penelitian Flavel,
anak 3 tahun memiliki kemampuan untuk mengatur pikirannya.
Kemampuan inilah yang disebut metakognitif, yaitu suatu kesadaran
tentang kognitif itu sendiri, bagaimana kognitif bekerja serta bagaimana
mengaturnya. Sebagai upaya untuk meningkatkan hasil belajar peserta
didik dapat dilakukan dengan meningkatkan metakognisi mereka.
Mengembangkan metakognisi pembelajar berarti membangun fondasi
untuk belajar secara aktif. Guru sebagai sebagai perancang kegiatan belajar
dan pembelajaran, mempunyai tanggung jawab dan banyak kesempatan
untuk mengembangkan metakognisi pembelajar. Siswa dapat
menggunakan strategi metakognitif dalam pembelajaran meliputi tiga
tahap berikuti, yaitu: merancang apa yang hendak dipelajari; memantau
perkembangan diri dalam belajar; dan menilai apa yang dipelajari. Hal ini
penting untuk mengarahkan mereka agar bisa secara sadar mengontrol
proses berpikir dalam pembelajaran. Untuk meningkatkan kemampuan
metakognitif siswa, guru dapat merancang pembelajaran berkaitan dengan
kemampuan metakognitif tetapi secara infuse (tambahan) dalam
pembelajaran atau bukan merupakan pembelajaran yang terpisah.
2) Saran
Harapan kami sebagai penyusun,semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca, dan kami harapkan juga bahwa jangan hanya
berfokus pada materi ini saja tetapi telusuri lebih dalam tentang “TEORI
METAKOGNISI DAN IMPLEMENTASINYA PADA PEMBELAJARAN
AUD” melalui referensi-referensi lain yang dapat membantu meningkatkan
pengetahuan kita karena dalam penulisan makalah penyusun menyadari
bahwa materinya masih sangat terbatas.
19
DAFTAR PUSTAKA

Andini Dwi Arumsari, dkk. Pembelajaran Bahasa Inggris pada Anak Usia Dini
di Kec Sukolilo Surabaya. Jurnal PG-PAUD Trunojoyo: Jurnal Pendidikan
Dan Pembelajaran Anak Usia Dini Vol. 4 No. 2. (Surabaya : Universitas
NAROTAMA. 2017).
Anggara, Sahya. Administrasi Kepegawaian Negara. (Bandung: CV Pustaka
Setia. 2016).
Anggo, Mustamin. Pelibatan Metakognisi Dalam Pemecahan Masalah
Matematika. Edumatica : Jurnal Pendidikan Matematika Vol. 01 No. 01.
(Kendari : UNHALU Kendari. 2011).
Elita, Geni Sri Dkk. Pengaruh Pembelajaran Problem Based Learning Dengan
Pendekatan Metakognisi Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematis. Mosharafa: Jurnal Pendidikan Matematika Vol. 8 No. 3.
(Jambi: Institut Agama Islam Negeri Kerinci. 2019).
Enceng. Pengertian dan Ruang Lingkup Administrasi Kepegawaian. (Univesitas
Terbuka).
Fitri, Ruqoyyah. Metakognitif Pada Proses Belajar Anak Dalam Kajian
Neurosains. JP (Jurnal Pendidikan) : Teori dan Praktik Vol. 2. No. 1.
(Surabaya : Universitas Negeri Surabaya. 2017).
Hanafi, Mochamad. Peranan Administrasi Kepegawaian Pada Sekolah Menengah
Kejuruan Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Efisiensi-Kajian Ilmu
Administrasi Vol. XV No. 1. (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Februari 2018).
https://www.smkbppbandung.sch.id%2Fmateri%2FRuang%2520Lingkup
%2520Administrasi%2520Kepegawaian.docx
Irawan, Hendri & Yudho Waskito. Analisa dan Perancangan Sistem Informasi
Administrasi Kepegawaian Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor
Nasional Kementerian Perdagangan RI. Vol. 8 No. 2. (Jakarta :
Universitas Budi Luhur. 2011).

20
Murti, Heru Astikasari Setya. Metakognisi dan Theory of Mind (tom). Jurnal
Psikologi: PITUTUR Vol. 1. No. 2 (Salatiga : Universitas Kristen Satya
Wacana. 2012).
Prameswari, Titania Widya. Merdeka Belajar Merdeka Belajar: Sebuah Konsep
Pembelajaran Anak Usia Dini Menuju Indonesia Emas 2045: Konsep
Pembelajaran Anak Usia Dini Menuju Indonesia Emas 2045. Seminar
Nasional Penalaran dan Penelitian Nusantara. Vol. 1. No. 1. (Kediri :
Universitas Nusantara PGRI. 2020).
Putra, Daffa Syaddad Felix Raharjo. Pelaksanaan Administrasi Kepegawaian
Pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Magetan. (IPDN. 2022).
Rukminingrum, Dyah Vija dkk. Pengetahuan Metakognitif Belajar Siswa Kelas V
SD. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Pengembangan Vol. 2 No. 2.
(Malang: Universitas Negeri Malang. 2017).
S.A., Gusman. Manajemen/Administrasi Kepegawaian. (2017).
Suhendro, Eko. Strategi Pembelajaran Pendidikan Anak Usia Dini di Masa
Pandemi Covid-19. Golden Age: Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak
Usia Dini Vol. 5 No. 3 (Yogyakarta. : UIN Sunan Kalijaga. 2020).
Syamsir, S. & Nika Saputra. Administrasi Kepegawaian. (Purbalingga : CV.
Eureka Media Aksara. 2022).
Zaini, Ahmad. Bermain Sebagai Metode Pembelajaran Bagi Anak Usia Dini.
Jurnal Thufula Vol. 3 No. 3 (Kudus : STAIN Kudus. 2015).
Zaini, Herman & Kurnia Dewi. Pentingnya Media Pembelajaran Untuk Anak
Usia Dini. Raudhatul Athfal: Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini Vol.
1 No. 1, (Palembang: UIN Raden Fatah. 2017).

21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35

Anda mungkin juga menyukai