Nama beliau Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil bin Habib Al Hudzali dan kuniyah
beliau Abu Abdirrahman. Ibu beliau Ummu Abdi termasuk diantara sahabat
Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wasallam yang perempuan.
*Abdullah bin Mas’ud adalah sosok sahabat yang sebelum masuk Islam
hanyalah seorang remaja lemah dan miskin, yang menerima upah sebagai
penggembala kambing milik Uqbah bin Abi Mu’aith. Namun setelah ia masuk
dan ditempa dalam Islam maka beliau kemudian menjadi seorang yang faqih
atau ahli hukum ummat Muhammad shallalllahu ‘alaihi wasallam
sebagaimana sabda Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wasallam yang memberi
wasiat kepada para sahabat agar menjadikan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
sebagai pegangan :
"Ambillah petunjuk dari petunjuk Ammar dan Ibnu Ummi ‘Abdi (Abdullah bin
Mas’ud) radhiyallohu ‘anhuma" (HR. Ahmad)
"Dan berpegang teguhlah kepada petunjuk Ammar dan apa saja yang
disampaikan Ibnu Mas’ud kepada kalian maka benarkanlah" (HR. Ahmad)
*Selain itu beliau juga dikenal dengan keberaniannya sebagai orang pertama
yang berani -setelah Rasulullah – mengumandangkan Al-Quran meski harus
mempertaruhkan nyawa di hadapan kaum Quraisy Makkah. Sebagaimana
yang pernah dikisahkan oleh Zubair shallalllahu ‘alaihi wasallam .
*Beliau juga dikenal sebagai sosok sahabat yang sangat dekat dengan
Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wasallam sehingga Abu Musa Al Asy’ari pernah
mengatakan : "Saya telah melihat Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wasallam dan
tidaklah saya melihat kecuali Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu termasuk
keluarganya" Beliau khadim (pelayan) Rasulullah yang senantiasa melayani
bantal, siwak dan sandal beliau shallalllahu ‘alaihi wasallam, Namun kedekatan
beliau dengan Rasulullah tidak menambah pada diri beliau kecuali hanya
bertambah khusyu’ dan tambah baik akhlaknya.
“Ikutilah Sunnah dan jangan berbuat bid’ah karena telah dicukupkan bagi
kalian dan hendaknya kalian berpegang teguh kepada urusan (orang) yang
terdahulu
Sederhana dalam mengerjakan sunnah lebih baik dari bersusah payah dalam
mengerjakan bid’ah
Syarah Hadits
Maknanya seperti perkataan : " íÞæá ÓãÚÊ ÑÓæá Çááå ” atau “ ÞÇá ÑÓæá
Çááå
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memulai hadits ini dengan sifat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : yang selalu benar dan dibenarkan
karena suatu sebab yang telah dijelaskan oleh ulama hadits kita yaitu karena
hal yang akan disebutkan dalam hadits ini berkaitan dengan hal yang ghaib.
Olehnya itu perlu didahului untuk menegaskan sifat Rasulullah (ÇáÕøóÇÏöÞõ
ÇáúãóÕúÏõæúÞõ ) Untuk menjelaskan bahwa apa yang disampaikan Rasulullah,
walaupun masalah yang ghaib adalah benar adanya. Karena kita ketahui bahwa
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pada asalnya tidak mengetahui
yang ghaib kecuali apa yang Allah kabarkan kepadanya. Karena itulah, Abdullah
bin Mas’ud menjelaskan bahwa apa yang beliau sebutkan ini adalah suatu
yang benar dan telah dibenarkan, sesuai sifat Rasulullah tersebut. Merupakan
keyakinan Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa tidak ada suatu makhlukpun
mengetahui yang ghaib kecuali yang telah diberitahukan oleh Allah
sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya dalam QS.72 : 26-27
artinya :“(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak
memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada
rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga
(malaikat) di muka dan belakangnya”
Padahal perkataan Rasulullah ini tidak boleh diberlakukan secara umum dan
hanya dipakai pada kasus yang sesuai dengan kisah dalam hadits tersebut (yatu
masalah benih tanaman) dan asalnya kabar Rasulullah harus diterima kecuali
bila telah dikoreksi oleh Rasulullah.
Di dalam surah Az Zumar : 33 ada isyarat dari Allah tentang sifat Ashshadiqul
masduq :
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan
membenarkannya mereka itulah orang- orang yang bertaqwa”
Ayat ini mengandung pujian Allah kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dalam
kisah Isra’ Mi’raj.
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul.Nya, mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu
Nabi-nabi, para Shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang
sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”
Disini Allah memuji para Nabi, para Shiddiqin, para syuhada dan Allah
mendahulukan shiddiqin daripada syuhada. Para ulama menjelaskan bahwa
ayat ini menerangkan kepada kita akan keutamaan sahabat Abu Bakar
radhiyallahu ‘anhu dibandingkan sahabat Umar bin Khattab radhiyallahu
‘anhu. Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu adalah penghulu para shiddiqin
sedangkan Umar radhiyallahu ‘anhu adalah penghulu para syuhada. Dan di
ayat ini Allah menyebutkan shiddiqin lalu syuhada menunjukkan kemuliaan
Abu Bakar lalu Umar bin Khattab .
Hadits ini membahas tentang penciptaan Bani Adam dan semakna dengan
beberapa ayat di dalam Al Qur’an, diantaranya:
“Hai Manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur)
maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah,
kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari
segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan tidak sempurna, agar Kami
jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami
kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan kemudian Kami keluarkan
kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah
pada kedewasaan, dan diantara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) yang
dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui apapun
yang dahulu diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila
telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan
menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah” (QS Al Hajj :
5)
…Sesungguhnya setiap orang diantaramu dikumpulkan penciptaannya di dalam
rahim ibunya empatpuluh hari berbentuk nutfah…”
Hal ini berlaku untuk semua Bani Adam (sesuai penjelasan hadits ini), namun
dikecualikan untuk Bapak kita Nabi Adam alaihissalam (lihat surah Al
Mu’minun : 17). Kemudian Allah mentashwir (membentuk rupa dan wajah)
sekitar empatpuluh hari pula. Dalam Riwayat Muslim disebutkan bahwa
tashwir terjadi sesudah lewat nutfah empat puluh dua hari, dan sebagaimana
yang diisyaratkan dalam QS. 3 : 6
Dari hal ini ada beberapa masalah fiqhiyah yang dikhilafkan oleh para ulama
(yaitu status bayi sebelum 120 hari/sebelum ditiupkan ruh) :
1. Bila ia lahir sebelum 120 hari, belum dishalatkan karena belum adanya ruh
dan bila lahir setelah 120 hari (4 bulan) dishalatkan (ini pendapat yang rajih).
– Sebagian ulama mengatakan boleh digugurkan bila kurang dari 120 hari
dengan alasan hal ini sama dengan azl (azl adalah seseorang yang
berhubungan dengan istrinya lalu menumpahkan nutfahnya di luar).
– Pendapat yang rajih walaupun kurang dari 120 hari dan belum ditiupkan ruh,
namun karena Allah telah mentashwirnya dan hal ini tidak sama dengan ‘azl
sebab nutfah telah masuk ke dalam rahim wanita maka tidak boleh
digugurkan. Pendapat ini dipilih oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan ulama-
ulama lain.
– Adapun bila lebih dari 120 hari, semua ulama bersepakat ketidakbolehannya.
“…Kemudian diutuslah kepadanya malaikat lalu meniupkan ruh kepadanya dan
diperintahkan atasnya menulis empat perkara :1. Ketentuan rezkinya; 2.
Ketentuan ajalnya; 3. Amalnya; 4. Ia celaka atau bahagia…”
Salah satu tugas malaikat adalah sebagai wakil rahim bagi seorang ibu
sebagaimana pada setiap manusia ada dua malaikat yang senantiasa mencatat
amalnya maka ada malaikat yang mencatat empat hal pada bayi yang akan
lahir. Malaikat ini tidak diketahui namanya (karena tidak dijelaskan dalam
hadits) sebagaimana kebanyakan malaikat tidak diketahui namanya dan hanya
kita ketahui tugasnya, misalnya malaikat pemikul Arsy, malaikat yang bertasbih
di dekat Allah dan lain-lain. Yang kita ketahui namanya hanya beberapa saja
(kurang dari 10).
Tugas malaikat ini adalah meniupkan ruh, dan masalah ruh ini banyak
dikhilafkan dan kita serahkan saja pada Allah sesuai firmanNya
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk
urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".
(QS. 17:85)
Hal ini menunjukkan ada empat hal yang dicatat (pada tiap bayi) dan termasuk
dalam salah satu jenis kitabah. Al kitabah ini ada beberapa macam,
diantaranya ada 5 macam kitabah yang telah dijelaskan oleh sebagian ulama
kita yaitu :
Yaitu yang tercantum pada Lauh Mahfuzh. Semua yang terjadi di bumi ini sejak
pertama hingga akhir yaitu sejak adanya langit dan bumi hingga hari kiamat
semua telah tercatat pada Lauh Mahfuzh.
Yaitu kitabah yang terjadi pada malam Laulatul Qadr, sebagaimana yang
diberitakan dalam QS Ad Dukhan (44):3-4
sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan
sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan
segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami.
Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul,
, pada tiap malam Lailatul Qadr turun malaikat untuk mencatat urusan
manusia dalam satu tahun tentang rezki, ajal dan seterusnya.
3. Kitabah firrahim { yang dituliskan pada tiap anak yang akan lahir}
, yaitu tiap manusia didampingi oleh dua malaikat yang mencatat amalan-
amalan kita, (Raqibun Atid/Kiraman katibin sifat malaikat tersebut dan bukan
namanya)
5. Kitabah hari Jum’at, yaitu kitabah yang ditulis malaikat tiap hari Jum’at,
diriwayatkan :
“Tiap hari Jum’at ada malaikat yang berdiri dipintu masjid dan mencatat setiap
orang yang datang lalu ia tuliskan seseorang bagai menyembelih unta,
bagaikan menyembelih kambing, kemudian bagaikan menyembelih ayam dan
seterusnya hingga khatib telah menaiki mimbar, maka malaikat menutup buku
catatannya.” (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Khuzaimah , dll)
Kitab yang tidak mungkin berubah adalah kitab yang pertama, sedangkan kitab
yang ke-3 ini diikhtilafkan oleh para ulama, apakah akan berubah atau tidak.
Yaitu apakah rezki manusia yang dicatat oleh malaikat sebelum dia lahir bisa
berubah atau tidak.
Sebagian ulama mengatakan tidak dapat berubah lagi dan sebagian
mengatakan dapat berubah dengan amalan-amalan tertentu.
– Pendapat pertama : mengatakan tidak dapat berubah sama sekali, karena hal
itu sudah ditetapkan (telah dicatat) sebelum ia lahir.
– Pendapat kedua :mengatakan hal ini dapat berubah jika kita berusaha.
Dalam beberapa hadits dapat dipahami bahwa umur dan rezki seseorang dapat
berubah jika kita melakukan amalan-amalan tertentu. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri telah mengatakan:
Dan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah juga bersabda :
Hadits shahih ini mengisyaratkan umur dapat bertambah dan rezki menjadi
lapang dan bertambah bila melakukan hal tersebut, dan bila tidak melakukan
amalan tersebut maka umur dan rezkinya tetap (tidak mengalami perubahan)
sesuai dengan yang telah dituliskan oleh malaikat ketika ia dalam rahim
ibunya.
Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia
kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).
diisyaratkan bahwa ada catatan yang dihapus dan diganti. Yang telah tetap dan
itu adalah catatan yang ditulis dalam Ummu Kitab (Lauh Mahfuzh). Adapun
kitabah yang ketiga ini sebagian mengatakan dapat berubah. Wallahu A’lam.
Adapun Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah beliau cenderung pada pendapat tidak
berubah, karena panjangnya umur (yang diungkapkan dalam hadits)
mengandung makna akan berkahnya umur, dan makna umur yang berkah
adalah umur yang hakiki, karena pada dasarnya orang yang umurnya tidak
berkah adalah mayyit dan orang yang beribadah itulah orang yang hidup. Maka
jika seseorang beribadah berarti ia dipanjangkan umurnya yaitu ia dapat hidup
yang sebenarnya, sebagaimana yang diterangkan dalam QS. Al Anfal : 24.
artinya :“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan
Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan
kepada kamu. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara
manusia dengan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu
dikumpulkan.”
Berarti orang yang tidak menyambut seruan Allah dan Rasulnya pada
hakikatnya ia tidak hidup, dan perintah-perintah Allah itulah yang
menghidupkan kita.
Jadi ada 4 (empat) hal yang ditetapkan bagi manusia yang akan lahir,
diantaranya :
1. Rezki
Rezki seseorang telah dicatat oleh Allah melalui malaikat, karena itu seorang
muslim harus mempunyai aqidah bahwa rezkinya telah ditetapkan oleh Allah.
Dalam sebuah hadits dikatakan :
“Tidak meninggal anak cucu Adam sampai ia telah mengambil seluruh rezki
yang telah ditetapkan oleh Allah”.
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allahlah yang
memberi rezki dan Dia mengetahui berdiam binatang itu dan tempat
penyimpanannya semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)
”
Karena itulah seorang muslim tidak boleh khawatir masalah rezki untuk dirinya
dan anak keturunanya dan merupakan aqidah yang bathillah apabila seseorang
membunuh anaknya karena takut miskin. Ini menunjukkan rusaknya aqidah
seseorang dan tidak meyakini janji Allah. Oleh karena itu janganlah seseorang
mengira bahwa dialah yang memberi rezki pada anak-anaknya namun Allah-lah
yang menjamin rezki tersebut. Jangan berfikir bila anak bertambah rezki ita
tidak cukup untuk dibagi-bagikan kepada anak-anak , tapi kita harus yakin
bahwa tiap anak yang lahir maka ada rezkinya tersendiri. Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhuma menanyakan pada Rasulullah tentang dosa-dosa yang
paling besar, lalu Rasulullah bersabda: “Kalian mempersekutukan Allah sedang
Dia-lah yang menciptakanmu, kemudian kamu membunuh anakmu karena
takut ia makan bersamamu, kemudian kamu berzina dengan istri tetanggamu.
(HR. Bukhari & Muslim).
Hal ini juga ditegaskan dalam 2 ayat Al Qur’an, di dalam QS. Al Isro’ : 31
Di ayat ini didahulukan “åã "(mereka) kemudian “ßã” (kamu), maknanya : bila
ada seseorang yang anaknya belum lahir, kemudian ia selalu melakukan usaha-
usaha mencegah kelahiran anaknya, misalnya dengan melakukan KB, karena
mengkhawatirkan tidak dapat memberi makan anak-anaknya, ia khawatir
karena kemiskinannya ia tidak mampu memberi makan pada anak-anaknya, ia
takut ia mendapat dosa karena tidak memberi nafkah pada anak-anakanya.
Makanya Allah mendahulukan “åã” kemudian “ßã”, sehingga kamu tidak usah
khawatir anak-anakmu tidak mempnyai rezki, karena Allah telah menjaminnya,
bahkan Allah terlebih dahulu menjamin rezki mereka kemudian rezki kamu.
Sehingga sudah sangat jelas tidak dapat beralasan karena kemiskinan atau
takut miskin ia mencegah kelahiran anaknya karena masing-masing orang telah
Allah jamin rezkinya, bahkan telah Allah tuliskan (melalui malaikat) pada tiap
anak Adam ketika ia masih berada di dalam kandungan ibunya. Dan ia tidak
akan mati sampai ia menghabiskan rezki tersebut.
Adapun yang boleh sebagaimana dikatakan oleh ulama kita yaitu bila ada
seorang wanita mencegah kelahiran/kehamilannya dengan pertimbangan
kesehatan dan keselamatan. Adapun bila ada pertimbangan dari segi
pendidikan dan pembinaan/tarbiyah anak-anaknya maka hal ini dibolehkan
asalkan program tersebut tidak dilakukan untuk selama-lamanya (seterusnya)
sebagaimana yang difatwakan oleh ulama-ulama kita.
2. Ajal
Ini merupakan aqidah seorang muslim bahwa Allah telah menetapkan dimana
ia meninggal dan kapan ia meninggal dan tidak ada seorangpun yang dapat
mengetahui, karena ini adalah suatu hal yang termasuk “ãÝÇÊÍ ÇáÛíÈ”
sebagaimana yang dikatakan Allah dalam QS. Lukman : 34.
Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari
Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada
dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa
yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat
mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Dan ajal ini adalah suatu hal yang tidak bisa ditolak, dan ia adalah sesuatu yang
tidak dapat ditakhirkan atau dikedepankan. (QS. 7 : 34 / QS. 10 : 49 /
QS.16:61). Bagaimanapun seseorang ingin membunuh dirinya, atau
menangguhkan ajalnya, hal tersebut tidak dapat terjadi bila hal tersebut tidak
dikehendaki oleh Allah. Bila seseorang sedemikian rupa menjauhkan dirinya
dari kematian, dan menempati tempat-tempat yang menurut persangkaannya
(persangkaan jahiliyah) bahwa tempat tersebut tak dapat dimaasuki oleh
malaikat pencabut nyawa, maka hal ini adalah pertanda bahwa oramg tersebut
tidak memahami aqidah ini. Sebagaimana Allah shubhaana wa taala terangkan
dalam QS. An Nisa : 78, yang artinya :
Aqidah yang benar tentang takdir ini melahirkan satu amalan, seorang muslim
tidak akan takut mati, dan ini membuat seorang muslim akan mencari mati
yang terbaik, karena untuk menghindari mati adalah sesuatu yang mustahil.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali Imran : 102,
Ini yang pertama harus kita perhatikan : bahwa kita hanya ingin mati dalam
keadaan muslim, maka bila seseorang ingin mati dalam keadaan Islam maka ia
pun terlebih dahulu harus hidup dalam Islam.
Kematian dalam Islam banyak modelnya. Seorang yang mati dalam Islam
adalah orang yang mati dalam keadaan mengucapkan syahadat dan sangat
banyak kaum muslimin yang mati dalam keadan ini, namun tetap saja
tingkatannya berbeda. Yang paling mulia adalah syahadah fi sabilillah dan
inilah yang dicari para sahabat, kematian yang senantiasa dicari oleh mereka-
mereka yang mengenal hakikat hidup ini dan mengenal hakikat akhirat. Para
sahabat adalah kaum yang berjihad fi sabilillah untuk mrncari syahadah ini.
Dan yang mereka hadapi adalah kaum yang berqital untuk menghindari
kematian. Hal ini ditegaskan oleh Khalid bin Walid ketika menghadapi pasukan
musuh, berkata : “Kami datang bersama pasukan kami untuk mencari
syahadah fi sabilillah. sebagaimana kalian datang untuk mempertahankan
hidup kalian”.
Dari Anas dari Nabi bersabda : tidak ada jiwa yang mati di dalam jihad
kecuali akan beroleh kebajikan di sisi Allah. Dia (jiwa tersebut) amat
menyenangi seandainya dia dapat kembali semula ke dunia, sekalipun ia tidak
mendapat apa-apa bahagian terhadap dunia dan isinya kecuali sebagai orang
yang mati syahid. Sesungguhnya ia berharap dapat kembali semula ke dunia
lalu terbunuh, Hal itu dikarenakan dia melihat/mengetahui kemuliaan syahid.
(HR. Bukhari & Muslim)
Bahwa kematian yang paling mulia adalah maut fisabilillah disebutkan juga
dalam :
Sehingga wajar saja kalau diantara mereka ada yang bersedih ketika tidak
berhasil mendapatkan kematian yang mulia itu. Dan yang paling sedih adalah
qoidul mujahidin Khalid bin Walid yang digelari ÓíÝÇ ãä ÓíæÝ Çááå (pedang
dari pedang-pedang Allah). Ia menangis ketika mau meninggal karena ternyata
Allah menakdirkan beliau meninggal di atas ranjangnya. Dan beliau
menganggap kematian di atas ranjang adalah kematian seorang wanita,
sementara beliau dikenal sebagai seorang sahabat yang selalu berada paling
depan karena beliau adalah seorang panglima dan ketika beliau meninggal
banyak luka-luka yang berada di tubuh beliau. ini menunjukkan bagaimana
beliau selama ini berusaha mendapatkan maut fi sabilillah, namun Allah
menakdirkan yang lain. Kita dapat melihat sahabat Khalid bin Walid ini adalah
sahabat yang paling banyak melakukan peperangan, dan jihad merupakan
profesi yang paling beliau gemari. Dikatakan oleh sebagian ahli siar bahwa
beliau ini tidak terkenal sebagai seorang ahli ilmu di kalangan sahabat bahkan
dikatakan bahwa beliau tidak menghafal seluruh Al Qur’an, dan banyak ayat Al
Qur’’an yang belum beliau hafal. Namun beliau begitu gemar dalam jihad
fisabilillah dan perhatian beliau terhadap jihad begitu besar. Tak satu
perangpun yang beliau tinggalkan. Namun beliau tidak meninggal di ma’rokah
fi sabilillah, padahal boleh jadi seorang sahabat yang baru pertama kali
berjihad sudah mendapatkan maut fisabilillah. Hal ini menunjukkan bahwa
kematian itu ditangan Allah, dimana dan kapan kita meninggal cuma Allah Yang
Mengetahui. Boleh jadi seseorang meninggal di tempat persembunyiannya,
dan boleh jadi orang mencari-cari mati namnn tidak mendapatkan kematian
tersebut.
Khalid bin Walid ketika menangis karena meninggal dalam keadaan seperti itu
namun Rasulullah menghibur dan mengatakan kepada para sahabat bahwa
beliau tetap dicatat sebagai meninggal fisabilillah, karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
Jadi Khalid bin Walid ini sebagaimana yang dikhabarkan Rasulullah bahwa
beliau tetap syahid, walaupun syahidnya bukan syahid dunia dan akhirat
karena syahid itu ada syahid dunia, syahid akhirat dan syahid dunia akhirat.
“Siapa yang meninggal dan belum pernah berperang dan tidak pernah
meniatkan untuk itu, maka matinya adalah dalam salah satu cabang
kemunafikan. (HR. Muslim)
Karenanya seorang muslim tidak boleh menghindari kematian. Dan tidak boleh
ia meninggalkan perintah Allah karena takut akan mati, sebagaimana orang-
orang munafik ketika dipanggil untuk berperang mereka saling memandang
satu sama lainnya, dengan pandangan yang ketakutan karena takut meninggal
(QS. 47 : 20). Dan sebagaimana juga bila mereka dipanggil berjuang, mereka
senantiasa beralasan dengan alasan-alasan yang tidak bisa diterima Ad Din ini,
alasan kepanasan (QS 9 : 81), tidak ada yang menjaga rumahnya (QS 33 : 13)
dan sebagainya. Dan ini juga berlaku bagi seorang da’i. Seorang da’i harus
berani menerima resiko dakwah ini, minimal ia dicela. Mungkin ia diintimidasi,
bahkan mungkin ia akan dibunuh, sebagaimana firman Allah di QS Al Anfal :
30 :
Ini resiko seorang da’i, apakah ia akan ditangkap, akan dibunuh atau
dikeluarkan dari kampungmu. Tidak boleh seorang da’i gentar dengan
dakwahnya atau berhenti dari dakwahnya hanya karena ancaman-ancaman
seperti ini, bahkan kita tahu bahwa ini adalah risiko perjuangan yang harus kita
terima sampai kalau Allah shubhaana wa ta’ala menginginkan kita meninggal
dalam dakwah fisabilillah. Dan inilah yang disebutkan dalam QS 33 : 39,
Sehingga bila kita melihat perjalanan para Nabi-nabi, mereka adalah da’i-da’i
yang menghadapi resiko kematian. Nabiullah Ibrahim yang sampai beliau
dibakar, begitu pula Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat
banyak kisah hidupnya yang menunjukkan seperti itu, bahkan ada dikalangan
Nabi yang meninggal karena dibunuh oleh pengikutnya sendiri. Namun semua
ini tidak membuat goyah perjuangan mereka. Berapa banyak orang saat
sekarang ini yang begitu semangat dalam dakwah, namun ketika diancam
sedikit, atau mendapat sedikit bagian dari dakwahnya atau resiko dari
dakwahnya, maka ia langsung mencabut semua kata-katanya (lihat QS 29 : 10).
Dan kita semua perlu berhati-hati dengan hal seperti ini. Dan kita berdoa
kepada Allah untuk diteguhkan, dan mencintai kematian dan diberi kematian
ang terbaik.
Mari kita ingat perkataan Syaikhu Islam Ibnu Taymiyah ÑÍãå Çááå :
3. Amal
Amal seseorang juga telah ditetapkan oleh Allah shubhaana wa ta’ala. Para
sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Ya Rasulullah apakah amalan-amalan yang kami lakukan untuk sesuatu yang
belum ditetapkan ataukah kami menuju kepada apa yang telah ditetapkan ?”,
Rasulullah menjawab : “ Kepada sesuatu yang telah ditetapkan.” Lalu para
sahabat kembali bertanya : “Kalau begitu untuk apa kita beramal (kita diam
saja) lalu kita menuju apa yang telah Allah shubhaana wa ta’ala tetapkan.” Lalu
sabda Rasulullah : “Beramallah, dan setiap orang dimudahkan dengan apa yang
telah ditetapkan baginya.” Lalu Rasulullah membaca ayat 5 – 10 surah Al Lail.”
Barangsiapa yang bertaqwa dan memang telah ditetapkan baginya, maka Allah
akan memudahkan baginya, sebaliknya siapa yang memang telah Allah
tetapkan dia akan dipersulit maka ia tidak akan bisa menetapkan apa yang
diinginkannya. Seorang muslim hendaknya beramal dan yakin bahwa
bagaimanapun amalan yang dia lakukan dan usaha yang mesti kita lakukan
secara sungguh-sungguh, maka keputusannya di tangan Allah shubhaana wa
ta’ala. Olehnya seorang muslim harus banyak berdoa kepada Allah untuk
ditetapkan kepadanya kebaikan. Disini juga dijelaskan bahwa kemudahan-
kemudahan amal itu datang dari Allah shubhaana wa ta’ala, namun juga perlu
diketahui tidak boleh seseorang, bila pada awalnya ia merasa sulit melakukan
kebaikan bahkan mungkin telah banyak terjerumus kepada kemaksiatan, lalu
mengatakan : “Memang telah takdir saya mungkin menjadi orang jahat”
Namun keyakinan Ahlussunnah wal jamaa’ah: tidak boleh seorang berhujjah
dengan takdir dalam melakukan kemaksiatan. Maksudmya tidak boleh
seseorang melakukan kemaksiatan, kemudian berkata “memang takdir saya
berbuat ini” (misalnya berbuat zina) atau mengatakan “memang takdir saya
mencuri saja”.
Di zaman Khalifah Umar bin Khattab pernah ditangkap seorang pencuri , lalu
pencuri itu akan dipotong tangannya, pencuri tersebut berkata : “Wahai Amirul
Mukminin mengapa anda mau memotong tangan padahal Allah telah
menakdirkan saya mencuri, ini sudah takdir Allah shubhaana wa ta’ala”. Kata
Umar radhiyallahu ‘anhu : “Kalau begitu Allah juga telah menakdirkan tangan
anda dipotong karena mencuri.”
Jadi dalam kemaksiatan kita tidak boleh berhujjah dengan takdir. Yang boleh
berhujjah dengan takdir adalah dalam hal musibah-musibah, misalnya : Kita
ditimpa musibah, kematian, kebakaran, dan sebagainya lalu kita mengatakan
ini semua datang dari Allah shubhaana wa ta’ala sebagaimana yang
difirmankan dalam QS 2 : 156
Kita wajib berusaha mencapai kebaikan ini dan seorang muslim hendaknya
berprasangka baik kepada Allah shubhaana wa ta’ala dan orang-orang yang
berprasangka buruk kepada Allah hanyalah orang-orang yang musyrik. Namun
berprasangka baik kepada Allah tidaklah seperti yang dikatakan orang-orang
Murjiah dengan mengatakan Allah Maha Pemurah dan Allah Maha
Mengampuni dosa-dosa, karena itu mereka tidak beramal namun
mengharapkan syurga Allah. Hal ini tidak benar. Berprasangka baik kepada
Allah maksudnya kita berprasangka bahwa Allah menginginkan kebaikan pada
kita, Allah menakdirkan kepada kita syurga maka kita berusaha untuk meraih
syurga itu.
Allah telah menetapkan apakah seseorang itu sengsara atau bahagia. Dan
hanya ada dua kemungkinan, seseorang akan beruntung atau merugi. Dan
kesengsaraan atau kecelakaan hanya ada satu tempatnya yaitu neraka.
Demikian pula kebahagiaan hanya ada satu tempatnya yaitu syurga, tidak ada
tempat diantara keduanya, tidak ada tempat kesudahan selain syurga dan
neraka. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam QS Hud : 105-106,
108:
“Dikala datang hari itu, tidak ada seorangpun yang berbicara melainkan
dengan izin-Nya, maka diantara mereka ada yang celaka dan bahagia.”
(105)“Adapun orang-orang yang celaka maka (tempatnya) di dalam neraka, di
dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik napas (merintih)” (106)“Adapun
orang-orang yang berbahagia maka tempatnya di dalam syurga mereka kekal
di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki
yang lain, sebagai karunia yang tidak ada putus-putusnya.”(108)
Jadi hanya ada dua kemungkinan seorang masuk syurga atau masuk neraka.
Bagian akhir dari hadits ini diikhtilafkan oleh para ulama, apakah merupakan
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau perkataan Abdullah bin
Mas’ud. Bila ada perkataan dari perawi dan dimasukkan ke dalam hadits
kemudian dianggap sebagai bagian dari hadits tersebut maka oleh ulama kita
dinamakan mudraj. Contoh : perkataan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
tentang wudhu. Beliau mengutip sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
ÇArtinya : Dari Abi Qathn dari Syababah, dari Syu’bah, dari Muhammad bin
Ziyad, dari AbiHurairah, ia berkata : telah bersabda Rasulullah :“Sempurnakan
lah wudhu", Kecelakaanlah api neraka bagi tumit-tumit yang tidak terkena air
wudhu, ia akan dijilat api neraka.” (HR. Al-Khathib)
Mudraj itu kadang terjadi ketika perawi hadits menafsirkan suatu masalah
yang berkaitan dengan hadits tersebut, namun orang-orang yang datang
setelah itu menganggap sebagai bagian dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Namun yang rajih dalam hadits kita ini bahwa bagian akhir ini juga
merupakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bukan mudraj dari
perkatanan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Wallahu a’lam
“Demi Allah yang tidak ada yang berhak disembah kecuali Dia.”
Ada ulama yang menafsirkan jangan terlalu mudah bersumpah karena ketika
kita banyak bersumpah dengan nama Allah itu menunjukkan kurangnya
ta’zhimnya ( mengagungkan ) kepada Allah .
Kalau kita melihat seseorang sejak kecil sampai tua terusaha beramal dengan
amalan shaleh, maka kita tidak boleh memastikan bahwa dia ahli syurga.
Demikian juga sebaliknya. Ini semua ada di tangan Allah shubhaana wa ta’ala.
Orang yang beramal shaleh tidak boleh terpukau dengan amalan-amalannya,
jangan ia menyangka jika sekarang ia beriltizam/komitmen dengan agama
ini,maka ia akan diakhiri dengan amalan tersebut. Allah shubhaana wa ta’ala
yang lebih mengetahui hal tersebut, karena hati ini berbolak-balik
sebagaimana kita dahulu sangat jauh dari Islam, sekarang kita diberi petunjuk
dan pemahaman tentang keislaman ini dan beriltizam dengannya bukan tidak
mustahil Allah akan mengembalikan kita dalam keadaan awal dahulu. Sehingga
kita tidak boleh bangga dengan amalan-amalan kita dan tidak boleh kita yakin
bahwa kita akan masuk syurga. Sebaliknya orang-orang yang terjerumus dalam
kemaksiatan, tidak boleh mengatakan:" Saya ini memang cocok di neraka, saya
ini nampaknya sudah ditetapkan sebagai penghuni neraka". Kita tidak boleh
berputus asa dengan rahmat Allah shubhaana wa ta’ala.
“.,..dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada
berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir"..”
Kita wajib mati dalam keadaan muslim, dan mati dlam keadaan muslim tidak
mungkin diraih kecuali kita hidup dalam keadaan Islam.
Orang yang bertaqwa dengan sebenar-benar taqwa akan mati dalam keadaan
muslim, yaitu ketika dia menjadikan kehidupannya kehidupan yang Islami.
Dalam hadits ini dijelaskan bahwa ada orang yang tidak ikhlas dengan
amalannya. Dan ini ditunjukkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari ketika seseorang ikut berjihad bersama Rasulullah kelihatan begitu
bersemangatanya dalam membunuh orang-orang kafir. Para sahabat
melihatnya dan melaporkannya kepada Rasulullah , dan beliau mengatakan
bahwa ia adalah orang yang ditetapkan masuk neraka. Sahabat heran sehingga
terus mempertanyakannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah peperangan berakhir, orang tersebut didapati meninggal dengan
senjatanya sendiri. Ternyata ia tidak sabar dalam menanggung luka-luka yang
dideritanya, sehingga ia bunuh diri, dan akhirnya sahabat mengetahui
kebenaran perkataan Rasuluuh shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disitulah
Rasulullah bersabda :
Ada lelaki yang beramal seperti amalan ahli Syurga menurut pandangan
manusia sedangkan dia adalah ahli Neraka. Ada juga lelaki yang beramal
dengan amalan ahli Nerakamenurut pandangan manusia sedangkan dia adalah
ahli Syurga
Jadi apa yang kita usahakan berpuluh-puluh tahun namun disudahi dengan
akhir yang tidak baik, maka tidak ada manfaatnya apa yang kita usahakan
dahulu. karena itu seorang hendaknya memperhatikan yang akhirnya atau
berusaha untuk husnul khatimah.
“Siapa yang akhir perkataannya di dunia ini Laa ilaha illallah masuk syurga "
Oleh karena itu hendaknya kita membiasakan diri dengan amalan-amalan yang
baik, mencintai amalan kebaikan, sehingga pada saat kita membutuhkan
pertolongan, Allah shubhaana wa ta’ala akan menyelamatkan kita. Kalau
kebiasaaan kita dalam hidup ini adalah amalan-amalan yang buruk, maka kita
akan dihukum dengan hukuman yang setimpal.
Abu Royah ini adalah orang Mesir, dan ketika sudah banyak bukunya yang
beredar, salah seorang ulama kita di Madinah (bernama Syekh Dhiyaurrahman
Al A’zhomi) berangkat ke Mesir, untuk melihat siapa sebenarnya Abu Royah
itu. Ketika ulama tersebut sampai ke tempat Abu Royah, anaknya tidak
mengizinkan seorangpun untuk menjenguk Abu Royah yang saat itu sedang
menghadapi sakaratul maut. Ulama ini mendesak untuk dan bersikeras untuk
dapat bertemu dengan Abu Royah, akhirnya anak Abu Royah mengizinkan. Dan
ketika beliau menemui Abu Royah, keadaannya sangat mengerikan sekali. Abu
Royah dalam keadaan sakaratul maut dan hanya dapat menghadap ke
tembok dengan wajah yang sangat menghitam dan mulut menganga dan
hanya dapat berkata “Abu Hurairah… Abu Hurairah…” Dia seakan-akan
menyesali celaannya selama ini kepada Abu Hurairah dan ia meninggal dalam
keadaan yang demikian. Inilah contoh bahayanya jika seseorang menjalani
kehidupannya dengan amalan-amalan yang buruk, maka ia mati dengan
keburukannya tersebut.Kalau ia mati dalam keadaan seperti itu sudah jelas :
ÇäãÇ áÃÚãÇá ÈÇáÎæÇ Êíã. Juga disebutkan oleh ulama-ulama kita bahwa
berapa banyak orang yang di akhir hidupnya diajarkan Laa ilaaha illallah namun
dia tidak dapat menyebutnya. Ulama-ulama salaf kita tidak ada yang merasa
aman dengan diri-diri mereka. Mereka menghitung dosa-dosa yang dilakukan
selama ini, jangan-jangan belum diampui oleh Allah subhaana wa ta’ala. Yang
mereka pikirkan juga bagaimana kesudahannya, apakah akan dicampakkan ke
neraka atau dimasukkan ke dalam syurga.
Ada beberapa ayat dalam Al Qur’an yang berkaitan dengan masalah-masalah
ini :
1. QS. 23 : 57-61
2. QS. 52 : 24-27
Allah menjelaskan ahli-ahli syurga. Ahli syurga ketika saling bertanya mereka
menyatakan sesungguhnya mereka sangat takut kepada Allah . Adapun sifat
Ahli neraka adalah merasa aman dari siksa Allah. Tidak ada yang merasa aman
dari siksa Allah kecuali orang-orang yang merugi.
3. QS. 7 : 97-99
“apakah penduduk kampung itu merasa aman Kami timpakan azab pada
malam hari sedang mereka tidur, apakah mereka merasa aman akan
ditimpakan azab diwaktu pagi, sedang merka bermain-main, apakah mereka
merasa aman dari siksa Allah subhaana wa ta’ala ? Tidak ada yang merasa
aman dari siksa Allah kecuali orang-orang yang merugi.
4. QS. 84 : 12-14
“Sesungguhnya hati anak Adam terletak diantara dua jari jemari Allah, Dia
membolak-balikkannya sesuai dengan keinginan-Nya.” (HR. Tirmidzy dan Ibnu
Majah). Karena itu kita minta kepada Allah agar ditetapkan pada kebaikan.
Rasulullah sendiri sering membaca doa :
“Ya Allah, jangan kamu palingkan lagi hati kami ketika Kamu telah memberikan
hidayah kepada kami, dan berikan dari sisi-Mu rahmat, sesungguhnya Kamulah
yang banyak memberikan kepada hamba-hamba-Mu.”
Doa ini hendaknya kita banyak kita ucapkan. Seorang muslim ketika hidayah
masuk pada dirinya, dia harus sadari bahwa itu adalah nikmat yang sangat
besar dari Allah , maka harus dihargai dan dijaga serta takut jika
meninggalkan kita. Kita juga harus tahu lawannya yaitu kesesatan, sehingga
kita berusaha meninggalkan kesesatan-kesesatan tersebut.
“Ada tiga hal yang jika terdapat pada seseorang dia merasakan manisnya
iman. Allah dan Rasul-Nya yang paling dicintainya selain keduanya,dia
mencintai seseorang hanya karena Allah, dan seseorang benci untuk kembali
kepada kekufuran, sebagaimana bencinya untuk dicampakkan ke neraka” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Maksiat yang pernah kita cintai kadang kembali menggoda kita, disaat itu kita
harus benci kemaksiatan tersebut sebagaimana kita benci dicampakkan ke api
neraka. Disitulah kita dapatkan kelezatan iman.
Hidayah adalah nikmat Allah yang sangat besar dan harus dihargai nikmat yang
dengannya kita dapat merasakan kebahagiaan yang kekal abadi. Oleh
karenanya kita harus menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang dapat
menjauhkan kita dari nikmat-nikmat tersebut, atau dapat merusak nikmat
tersebut. Tidak merasa aman dari siksa Allah subhaana wa ta’ala dan tidak
merasa lebih hebat dari orang lain karena boleh jadi sekarang begitu baiknya
tetapi di akhir hayatnya kita tidak baik.
Berkata Abdullah bin Mas’ud bahwa yang harus diangkat sebagai teladan
adalah ulama-ulama salaf, bukan justru figur-figur yang datang belakangan,
sebagaimana yang dilakukan oleh banyak aktifis Islam sekarang ini. Berkata
Abdullah bin Mas’ud :
Orang yang telah meninggal yang beliau maksudkan adalah para sahabat Nabi.
Itulah contoh kita karena mereka telah dipuji oleh Allah dan Rasulullah .
Adapun figur-figur setelah mereka boleh saja dipuji atau diidolakan namun
tidak boleh dilebihkan dari ulama-ulama salaf. Sekarang banyak orang yang
terkagum-kagum pada pemikiran tokoh-tokoh masa kini bahkan
menganggapnya sebagai sesuatu yang baru dan tidak pernah dipikirkan oleh
ulama-ulama salaf. Namun kadang-kadang figur mereka belakangan berkhianat
dengan apa yang pernah dikatakannya. Itulah sebabnya Abdullah bin Mas’ud
melarang mengidolakan orang yang masih hidup. Dan yang harus dijadikan
contoh adalah Nabi dan para sahabatnya. Sehingga kita tidak boleh
mengatakan “assyahid si fulan” atau “si fulan itu syahid”, karena hanya Allah
yang tahu siapa yang syahid dan siapa yang tidak syahid. Kita tidak boleh
memastikan seseorang ahli syurga atau ahli neraka kecuali yang Allah telah
jamin. Salah satunya adalah generasi para sahabat.
Mudah-mudahan hadits ini dapat kita amalkan dalam kehidupan kita sehari-
hari. Amin.
TAKRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari & Muslim bahkan diriwayatkan oleh para
penulis Kutubussittah,kecuali Imam Nasai, juga diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dalam musnadnya dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya.