Analisis permohonan kredit terkait dengan calon debitur, langkah yang dilakukan bank
sampai dengan menganalisis permohonan kredit.
1. Permohonan Kredit
Tahap pertama dalam pemberian kredit adalah pengajuan permohonan kredit oleh calon
debitur. Permohonan ini bisa diajukan secara tertulis tetapi dalam prakteknya lebih banyak
dilakukan secara lisan.
3. Analisa kredit
Tahap yang paling menentukan dalam analisis dan pengambilan keputusan pemberian kredit
adalah. penentuan layak atau tidak permohonan kredit calon debitur. Disini pihak bank
dituntut obyektif dan konsisten atas hasil analisis dengan berpegang pada prinsip-prinsip
kelayakan kredit.
1. Character (Watak)
Karakter pemohon kredit dapat diperoleh dengan cara mengumpulkan informasi dari
referensi nasabah dan bank-bank lain tentang perilaku, kejujuran, pergaulan, dan ketaatannya
memenuhi pembayaran transaksi. Karakter yang baik jika ada keinginan untuk membayar
kewajibannya.
2. Capacity (Kemampuan)
Kemampuan calon debitur perlu dianalisis apakah ia mampu memimpin perusahaan dengan
baik dan benar. Kalau ia mampu meminpin perusahaan, ia akan dapat membayar pinjaman
sesuai
dengan perjanjian dan perusahaannya tetap berdiri. Sedangkan untuk calon debitur
perorangan, bank harus menganalisa apkah pemohon memiliki sumber-sumber penghasilan
yang memadai untuk membayar kewajibannya sesuai jangka waktu yang telah disepakati.
3. Capital (Modal)
Modal dari calon debitur harus dianalisis mengenai besar dan struktur modalnya yang terlihat
dari neraca lajur perusahaan calon debitur. dan pada umumnya bank tidak akan memberikan
kredit 100% atau dengan kata lain bank tidak akan memberikan kredit jjika calon debitur
tidak memiliki modal sendiri.
4. Condition (Kondisi)
Analisis terhadap aspek ini meliputi analisis terhadap variabel makro yang melingkupi
perusahaan baik variabel regiona1, nasional maupun internasional. Variabel yang
diperhatikan terutama adalah variabel ekonomi.
5. Collateral (Jaminan)
Penilaian ini meliputi penilaian terhadap jaminan yang diberikan sebagai pengaman kredit
yang diberikan bank. Penilaian tersebut meliputi kecenderungan nilai jaminan dimasa depan
dan tingkat kemudahan mengkonversikannya menjadi uang tunai (Marketability). Selain
konsep atau prinsip 5C tersebut diatas,
6. Cash Flow
C lainnya yang terpeting adalah cash flow, karena debitur hanya membayar angsuran
kredit dengan menggunakan uang cash.
1. Personality
Bank mencari data tentang kepribadian calon debitur seperti riwayat hidupnya, hobi, keadaan
keluarga, sosial standing, serta hal-hal lain yang erat hubungannya dengan kepribadian
sipeminjam.
2. Purpose
Bank mencari data tentang tujuan atau keperluan penggunaan kredit.
3. Prospect
Bank mencari data tentang harapan masa depan dari bidang usaha atau kegiatan usaha si
peminjam.
4. Payment
Bank mencari data tentang bagaimana perkiraan pembayaran kembali pinjaman yang akan
diberikan.
5. Party
Party (golongan) dari calon-calon peminjam bank perlu menggolongkan calon debiturnya
menjadi beberapa golongan menurut caracter, capacity dan capital. Penggolongan ini akan
memberi arah analisis bank bagaimana ia harus bersikap.
1. Return
Yaitu penilaian atas hasil yang akan dicapai oleh perusahaan calon peminjam setelah
mendapatkan kredit, apakah hasil tersebut cukup untuk menutup hasil pinjaman serta
sekaligus
memungkinkan pula usahanya untuk berkembang terus.
2. Repayment
Sebagai kelanjutan dari return diatas, yang kemudian diperhitungkan kemampuan, jadwal
serta jangka waktu pengembalian kembali kredit.
Dibutuhkan konsentrasi yang cukup tinggi untuk memahami artikel yang saya sediakan
dibawah ini, saran saya baca dahulu postingan saya sebelumnya dalam label Manajemen Risiko
Kredit.
SA dikembangkan dari pendekatan risiko kredit dalam Basel I. Dalam pendekatan ini,
kelompok aset dalam neraca akan dikalikan dengan bobot risiko yang disebut Aktiva
Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk kemudian dirasiokan dengan jumlah modal,
dengan batas minimum 8%. Rasio minimum capital 8% ini tetap dipertahankan dalam Basel
II.
Dalam perhitungan ATMR, setiap aset neraca dikelompokkan menjadi 5 (lima) kategori utama
berdasarkan perkiraan kualitas debitur selama jangka waktu kontrak atau jangka waktu
pinjaman
Versi singkat dari kelompok aset & bobot risikonya adalah sebagai berikut :
BASEL I:
- Kas, bobot risiko : 0%
- Pemerintah domestik dan pemerintah pusat negara OECD, bobot risiko 0%
- Pinjaman pemerintah negara OECD, bobot risiko 0%
- Sektor publik pemerintah domestik dan negara OECD serta pemerintah daerah, bobot
risiko 0% s.d 50%.
- Interbank (OECD) dan bank pembangunan internasional, bobot risiko 20%
- Utang pemerintah non-OECD, bobot risiko 100%
- Bank non-OECD < 1 tahun, bobot risiko 20%
- Bank non-OECD > 1 tahun, bobot risiko 100%
- Pinjaman mortgage (kredit perumahan) , bobot risiko 100%
- Kredit korporasi dan utang individu yang tidak dijamin, bobot risiko 50%
BASEL II
Berikut ini revisi terhadap Basel I mengenai pembobotan risiko atas eksposur :
Untuk menentukan bobot risiko dengan standardised approach, bank dapat menggunakan
penilaian dari lembaga pemeringkat eksternal yang memenuhi persyaratan otoritas pengawas
nasional untuk keperluan perhitungan modal dan eksposur harus dikenakan bobot risiko setelah
dikurangi cadangan khusus.
Tagihan pada pemerintah dan bank sentral akan dikenakan bobot risiko sebagai berikut:
– Rating AAA to AA-, bobot risikonya adalah 0%
- Rating A+ to A-, bobot risikonya adalah 20%
- Rating BBB+ to BBB-, bobot risikonya adalah 50%
- Rating BB+ to B- , bobot risikonya adalah 100%
- Rating B- to default, bobot risikonya adalah 150%
- Unrated / Tidak berperingkat, bobot risikonya adalah 100%
Berdasarkan diskresi nasional, bobot risiko yang lebih rendah dapat diberikan pada eksposur
bank pada pemerintahnya (atau bank sentral) dalam mata uang domestik dan sumber
pendanaannya juga dalam mata uang yang sama.
Untuk tujuan pembobotan risiko tagihan pada pemerintah, pengawas dapat mengakui country
risk score yang ditetapkan Export Credit Agencies (ECA). Risk scores ECA ini akan dikaitkan
dengan kategori bobot risiko sebagaimana dirinci di bawah ini:
Tagihan pada PSE domestik akan diberikan bobot risiko berdasarkan diskresi nasional, sesuai
dengan opsi 1 atau opsi 2 tagihan pada bank (lihat bagian 4. Tagihan pada bank). Jika opsi 2
yang dipilih, pilihan ini akan diterapkan tanpa memberikan perlakuan khusus untuk tagihan
jangka pendek.
Berdasarkan diskresi nasional, tagihan pada PSE domestik tertentu juga dapat diperlakukan
sebagai tagihan pada pemerintah pada yurisdiksi dimana PSE tersebut didirikan.
Bobot risiko terhadap tagihan pada MDB secara umum akan didasarkan pada penilaian
lembaga pemeringkat eksternal sebagaimana pada opsi 2 tagihan pada bank tetapi tanpa
perlakuan khusus untuk tagihan jangka pendek. Bobot risiko 0% akan diberikan terhadap
tagihan pada MDB yang memiliki peringkat tinggi yang memenuhi kriteria yang ditetapkan
oleh Basel Komite . (saat ini yang memenuhi syarat untuk memperoleh bobot risiko 0% adalah
World Bank Group).
Terdapat dua opsi perlakuan atas tagihan pada bank. Pengawas nasional hanya dapat
menerapkan satu opsi bagi seluruh bank dalam yurisdiksinya. Bobot risiko atas tagihan pada
bank yang tidak berperingkat tidak boleh lebih rendah daripada bobot risiko atas tagihan
kepada pemerintahnya.
Pada opsi pertama, semua bank yang berbadan hukum di suatu negara akan diberikan bobot
risiko satu kategori lebih rendah dibandingkan kategori bobot risiko tagihan pada
pemerintahnya. Tetapi bobot risiko untuk tagihan pada bank di negara berperingkat BB+
sampai B- dan di negara yang tidak berperingkat dibatasi setinggi-tingginya sebesar 100%.
Opsi kedua menggunakan pembobotan risiko yang didasarkan pada penilaian lembaga
pemeringkat kredit eksternal terhadap bank itu sendiri dimana tagihan pada bank yang tidak
berperingkat mendapat bobot risiko sebesar 50%. Pada opsi ini, suatu bobot risiko yang lebih
baik yaitu yang memiliki satu kategori lebih tinggi dapat diberikan pada tagihan dengan jatuh
tempo awal selama tiga bulan atau kurang, tunduk pada batas bawah 20%. Perlakuan ini dapat
diterapkan baik untuk bank yang berperingkat maupun untuk bank yang tidak berperingkat,
tapi tidak untuk bank dengan bobot risiko sebesar 150%
OPSI SATU :
– Rating AAA to AA-, bobot risikonya adalah 20%
– Rating A+ to A-, bobot risikonya adalah 50%
– Rating BBB+ to BBB-, bobot risikonya adalah 100%
– Rating BB+ to B- , bobot risikonya adalah 100%
– Rating B- to default, bobot risikonya adalah 150%
– Unrated, bobot risikonya adalah 100%
OPSI DUA: TAGIHAN JANGKA PENDEK (Tagihan jangka pendek sebagaimana pada opsi
2 didefinisikan memiliki jangka waktu awal 3 bulan atau kurang)
Tagihan pada perusahaan sekuritas dapat diperlakukan seperti tagihan pada bank sepanjang
perusahaan sekuritas tersebut tunduk pada mekanisme pengaturan dan pengawasan yang setara
dengan mekanisme sebagaimana terdapat dalam Basel II (khususnya persyaratan modal
berbasis risiko). Jika tidak, tagihan pada perusahaan sekuritas akan mengikuti ketentuan yang
berlaku untuk tagihan pada perusahaan.
Tabel di bawah ini menggambarkan pembobotan risiko atas tagihan pada perusahaan yang
berperingkat termasuk tagihan pada perusahaan asuransi. Standar bobot risiko untuk tagihan
pada perusahaan yang tidak berperingkat adalah sebesar 100%. Tagihan pada perusahaan yang
tidak berperingkat tidak diperkenankan memperoleh bobot risiko lebih rendah daripada tagihan
pada pemerintahnya.
Otoritas pengawas harus meningkatkan standar bobot risiko untuk tagihan tidak berperingkat
jika secara historis tagihan-tagihan tersebut memiliki kemungkinan wanprestasi/gagal bayar
yang lebih tinggi. Sebagai bagian dari supervisory review process, pengawas juga dapat
memberikan standar bobot risiko lebih tinggi daripada 100% terhadap tagihan pada perusahaan
setelah mempertimbangkan kualitas kredit dari tagihan tersebut.
Berdasarkan diskresi nasional, pengawas dapat mengizinkan bank untuk memberikan bobot
risiko sebesar 100% atas seluruh tagihan pada perusahaan tanpa mempertimbangkan hasil
pemeringkatan eksternal, namun bank wajib menerapkan satu pendekatan secara konsisten,
yaitu menggunakan hasil pemeringkatan yang tersedia atau mengabaikan hasil pemeringkatan.
Tagihan-tagihan yang sesuai dengan criteria tertentu dapat digolongkan sebagai tagihan ritel
untuk perhitungan regulatory capital dan termasuk dalam portofolio ritel sesuai ketentuan.
Eksposur portofolio tersebut dikenakan bobot risiko sebesar 75% kecuali untuk tagihan kredit
yang telah melewati jatuh tempo (past due loans). Tagihan yang berdasarkan ketentuan
termasuk dalam portofolio ritel harus memenuhi empat kriteria berikut:
Pinjaman yang sepenuhnya beragun rumah tinggal yang ditempati atau yang disewakan
memperoleh bobot risiko sebesar 35%. Dalam menerapkan bobot 35% ini, otoritas pengawas
perlu mempertimbangkan aturan pembiayaan perumahan di masing-masing negara, bahwa
bobot yang diizinkan ini diterapkan terbatas hanya untuk yang ditempati dan dengan
memperhatikan prinsip kehati-hatian yang ketat, misal adanya suatu marjin substansial sebagai
jaminan tambahan yang melampaui jumlah pinjaman berdasarkan proses penilaian yang ketat.
Para pengawas perlu meningkatkan standar bobot risiko apabila kriteria tersebut tidak
terpenuhi.
Otoritas pengawas nasional perlu mengevaluasi apakah bobot risiko sebagaimana dimaksud di
atas tergolong terlalu rendah berdasarkan pengalaman wanprestasi untuk jenis eksposur ini di
negaranya.
Porsi yang tidak dijamin dari setiap pinjaman (selain yang memenuhi kualifikasi sebagai
pembiayaan rumah tinggal) yang telah jatuh tempo lebih dari 90 hari, setelah dikurangi
cadangan khusus (termasuk write-offs sebagian), akan diberi bobot risiko sebagai berikut:
Bobot risiko 150% bila cadangan khusus kurang dari 20% outstandingpinjaman.
Bobot risiko 100% bila cadangan khusus tidak kurang dari 20% outstanding pinjaman.
Bobot risiko 100% bila cadangan khusus tidak kurang dari 50% outstanding pinjaman,
tetapi dengan diskresi pengawas dapat berkurang menjadi 50%.
Pada kasus pembiayaan rumah tinggal yang telah memenuhi kualifikasi pinjaman jatuh tempo
yang telah melampaui 90 hari akan diberi bobot risiko sebesar 100% setelah dikurangi
cadangan khusus. Apabila pinjaman tersebut telah jatuh tempo tetapi memiliki cadangan
khusus tidak kurang dari 20% outstanding pinjaman, bobot risiko atas sisa pinjaman dapat
diturunkan menjadi 50% berdasarkan diskresi nasional
Tagihan-tagihan berikut akan diberi bobot risiko sebesar 150% atau lebih:
Tagihan pada pemerintah, PSE, bank, dan perusahaan sekuritas dengan peringkat di
bawah B-.
Tagihan pada perusahaan dengan peringkat di bawah BB-.
Tagihan yang telah jatuh tempo .
Kelas aset yang disekuritisasi (securitisation tranches) dengan peringkat antara BB+
dan Bb akan diberi bobot risiko sebesar 350%.
Pengawas nasional dapat menerapkan bobot risiko 150% atau lebih agar mencerminkan
risiko yang lebih tinggi terhadap beberapa jenis aset misalnya investasi pada modal
ventura dan penyertaan melalui penawaran terbatas (private equity investment).
Secara umum, bobot risiko standar untuk aset lainnya adalah sebesar 100% dan investasi pada
ekuitas atau regulatory capital instrument yang diterbitkan oleh bank atau perusahaan sekuritas
akan diberi bobot sebesar 100%.
Kredit sindikasi adalah kredit yang diberikan oleh dua atau lebih lembaga keuangan dengan
syarat/ketentuan yang sama bagi para peserta sindikasi, menggunakan dokumentasi yang sama,
dan diadministrasikan oleh Agen yang sama pula (Stanley Hurn, 1990).
Aspek hukum yang harus dipahami dalam pemberian kredit sindikasi, antara lain:
Read more »
at July 13, 2013
Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to Pinterest
Labels: SINDIKASI KREDIT
Jul 6, 2012
KREDIT SINDIKASI
Menurut Kamus yang dimuat dalam situs resmi Bank Indonesia (bi.go.id), disebutkan bahwa
kredit sindikasi adalah:
“pemberian kredit oleh sekelompok bank kepada satu debitur, yang jumlah kreditnya terlalu
besar apabila diberikan oleh satu bank saja (loan syndication)”
Kredit sindikasi di Indonesia pada awalnya diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.
6/33/UPK tanggal 3 Oktober 1973 mengenai Pembiayaan Bersama oleh Bank-Bank
Pemerintah (Konsorsium), dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 11/26/UPK yang dikeluarkan
pada tahun 1979. Terakhir, kredit sindikasi diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No.
7/14/PBI/2005 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta
Asing oleh Bank dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/23/DPD tertanggal 8 Juli 2005.
Iswahjudi A. Karim dalam makalahnya berjudul “Kredit Sindikasi” menyebutkan bahwa
Kredit Sindikasi atau ”Syndicated Loan” ialah pinjaman yang diberikan oleh beberapa kreditur
sindikasi, yang biasanya terdiri dari bank-bank dan/atau lembaga-lembaga keuangan lainnya
kepada seorang debitur, yang biasanya berbentuk badan hukum; untuk membiayai satu atau
beberapa proyek (pembangunan gedung atau pabrik) milik debitur.
Mengapa kredit sindikasi dilakukan? Iswahjudi A. Karim selanjutnya menjelaskan bahwa
kredit tersebut diberikan secara sindikasi, karena jumlah yang dibutuhkan untuk membiayai
proyek tersebut sangat besar, sehingga tidak mungkin dibiayai oleh kreditur tunggal. Hal ini
sesuai dengan definisi di atas, bahwa dalam pemberian kredit sindikasi, jumlah kreditnya
terlalu besar apabila diberikan oleh satu bank saja.
Menurut Budhiono Budoyo, keuntungan memberikan kredit sindikasi adalah:
1. Dapat mengatasi masalah BMPK (Batas Maksimal Penyaluran Kredit)
5. Learning process bagi participating bank. Ada beberapa bank yang tidak mempunyai
pengalaman dalam kredit sindikasi. Dengan menjadi salah satu peserta sindikasi, maka bank
tersebut dapat mempelajari mengenai kredit sindikasi
6. Agar dikenal di pasar sindikasi, bagi bank sulit untuk masuk ke dalam suatu kredit sindikasi
terutama apabila tidak mempunyai pengalaman sindikasi.
Hal di atas disebutkan oleh Budhiono Budoyo dalam makalahnya berjudul “Aspek Bisnis dalam
Pembentukan Kredit Sindikasi dan Tanggung Jawab Masing-Masing Pihak di Dalamnya”
yang dibukukan dalam proceedings “Kredit Sindikasi”, hasil kerjasama Pusat Pengkajian
Hukum dan Mahkamah Agung RI.
Sementara itu, Arief T. Surowidjojo dalam makalahnya “Aspek Hukum yang Harus
Diperhatikan dalam Kredit Sindikasi” menguraikan beberapa permasalahan dalam kredit
sindikasi yang harus diperhatikan antara lain:
1. Hak, kewajiban dan tanggung jawab anggota sindikasi, harus secara detail diatur dalam
perjanjian.
2. Hak, kewajiban dan tanggungjawab debitor pada para kreditor, misalnya kapan wanprestasi
terjadi, apakah cukup bila wanprestasi terjadi pada satu kreditor atau harus kepada kreditor
yang lain juga.
4. Masalah dengan hukum dan yurisdiksi, apabila salahsatu peserta sindikasi adalah entity asing
yang tunduk pada hukum asing. Menjadi masalah ke mana penyelesaian sengketa akan
diajukan?
Jadi, karena rumitnya perjanjian kredit sindikasi ini, maka perlu kehati-hatian lebih dari pihak
bank sebelum memutuskan apakah akan ikut dalam suatu perjanjian kredit sindikasi.
1. Peraturan Bank Indonesia No. 7/14/PBI/2005 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan
Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank
2. Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/23/DPD tertanggal 8 Juli 2005