Anda di halaman 1dari 48

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Kasus

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

Prolonged Fever

Disusun oleh
Fortragina Tarakondiorie Cahyasit
I Wayan Saka Wibawa

Pembimbing
dr. William S. Tjeng, Sp. A

Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik pada


Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Samarinda
2019

1
LEMBAR PERSETUJUAN

TUTORIAL

Prolonged Fever

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Stase Anak

Oleh :

Fortragina Tarakondiorie Cahyasit (1810029014)

I Wayan Saka Wibawa (1810029015)

Pembimbing

dr. William S. Tjeng, Sp. A

LAB / SMF ILMU KESEHATAN ANAK

Fakultas Kedokteran

Universitas Mulawarman

RSUD Abdul Wahab Sjahranie

2019

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Tutorial tentang “Prolonged Fever”.
Tutorial ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu
Kesehatan Anak Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih kepada :
1. dr. Ika Fikriah, M. Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp. THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. A Wisnu W, Sp. A, selaku Kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. William S. Tjeng, Sp. A selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan saran selama penulis menjalani co-assistance di Laboratorium
Ilmu Kesehatan Anak.
5. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD AWS/FK
Universitas Mulawarman.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam penulisan, sehingga
penyusun mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnan tutorial klinik ini.
Akhir kata, semoga tutorial klinik ini berguna bagi penyusun sendiri dan para
pembaca.

Samarinda, Oktober 2019

Penyusun

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam berkepanjangan (prolonged fever) adalah suatu kondisi suhu
tubuh lebih dari 38°C yang menetap selama lebih dari 8 hari dengan penyebab
yang sudah atau belum diketahui.1-2 Walaupun angka kejadian dan mortalitas
tidak sebesar penyakit lainnya, tetapi masih terdapat masalah dalam
menegakkan diagnosis dan mencari penyebab. Tidak terdapat perbedaan ras
dan jenis kelamin dalam insiden demam.3

Kesulitan dalam mencari penyebab timbulnya demam berkepanjangan


disebabkan oleh banyak faktor terutama karena penyebab yang beraneka
ragam. Sampai saat ini, lebih dari 200 penyebab demam berkepanjangan yang
telah dilaporkan. Berbagai penelitian yang dilakukan di dunia tentang
penyebab demam berkepanjangan hampir selalu menemukan tiga penyebab
terbanyak dari penyebab demam berkepanjangan yaitu infeksi, keganasan dan
penyakit jaringan ikat meskipun penyebab spesifiknya dapat berbeda. Kasus
infeksi merupakan penyebab terbanyak dari demam berkepanjangan pada
anak.1

1.2 Tujuan Penulisan

Refleksi ini bertujuan untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan


mengenai Prolonged Fever, serta perbandingan antara teori dan kasus.

4
BAB 2
RESUME KASUS

Allonamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada 15 Oktober 2019.


Alloanamnesis diberikan oleh ibu pasien.
2.1 Identitas Paisen
Nama : An. AI
Usia : 1 tahun 3 bulan
Jenis Kelamin : Laki laki
Alamat : Jalan Dr Sutomo No 36 Rt 38
Tanggal MRS : 13 Oktober 2019

Identitas orang tua


Nama ibu : Ny Mirnawati
Usia : 33 tahun
Pekerjaan : Guru
Alamat : Jalan Dr Sutomo No 36 Rt 38

Nama ayah : Budirman


Usia : 40 tahun
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jalan Dr Sutomo No 36 Rt 38

2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 15 Oktober 2019 di ruang melati.
Anamnesis dilakukan dengan cara heteroanamnesis dengan ibu kandung pasien.

2.2.1 Resume Klinik


Pasien pertama kali terdiagnosis prolonged fever, panas hari ke-11, TD :
100/70 mmHg, N : 115x/menit, RR : 22x/menit, T 36.5oC. Diberikan terapi IVFD
D5 1/4 NS 1000 cc/24 jam, Inj Ceftriaxone 2 kali 300 mg/iv, Inj Gentamisin 1
kali 45 mg/iv, Paracetamol 4 kali 1 Cth. Setelah dilakukan pemeriksaan
penunjang didapatkan hasil tubex (+) skala 4 dan didiagnosis demam typhoid.

2.2.2 Keluhan Utama


Demam sejak 11 hari yang lalu

2.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD Abdul Wahab Sjahranie rujukan dari RS Dirgahayu
dengan keluhan demam terus menerus sejak hampir 11 hari sebelum masuk rumah
sakit. Demam timbul setelah pasien sebelumnya diare selama 4 hari, BAB pasien
encer disertai ampas dan lendir serta sangat berbau seperti bau busuk, tidak ada
BAB hitam atau darah dan berbusa, di hari ke 3 dan 4 pasien diare dengan BAB
berwarna putih pucat seperti dempul dan berbau busuk. Demam pasien naik turun
dengan pola demam meningkat pada sore hingga malam hari dan menurun di pagi
hingga siang hari. Demam terkadang turun setelah diberi obat penurun panas.
Pasien sebelumnya telah di rawat di RS Dirgahayu selama 8 hari, di hari kedua
dirawat di RS Dirgahayu pasien mengeluhkan mual dan muntah tiap kali makan
dan minum, muntah berupa makanan atau minuman yang dikonsumsi oleh pasien,
selain itu pasien terlihat lemas dan mengalami penurunan nafsu makan. Di hari ke
empat di rawat di RS Dirgahayu ibu pasien mengatakan pasien kuning terutama
pada mata dan wajah pasien selama 4 hari lamanya dan dikatakan oleh dokter
bahwa bilirubin pasien meningkat dari normal. Di hari ke delapan di rawat di RS
Dirgahayu pasien dirujuk ke RS Abdul Wahab Sjahranie dengan alasan
pemeriksaan laboratorium lebih lengkap untuk menganalisa penyebab sakit
pasien.
Ibu pasien menyangkal terdapat kejang, penurunan kesadaran, mimisan,
sesak nafas, menangis saat BAK, kemerahan pada kulit anggota gerak dan tubuh
serta perdarahan spontan, tidak ada BAB hitam atau darah dan muntah darah juga
tidak ada.

6
2.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama dan tidak pernah
masuk rumah sakit sebelumnya, alergi (-).

2.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga


- Tidak ada anggota keluarga pasien yang memiliki riwayat serupa
- Riwayat asma (-)
- Riwayat kejang (-)
- Riwayat DM (-)
- Riwayat Hipertensi (-)
- Riwayat trauma (-)
- Riwayat operasi (-)
- Alergi (+) seafood kaka pasien

2.2.6 Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak


Berat badan lahir : 2.900 g
Panjang badan lahir : 51 cm
Tengkurap : 4 bulan
Duduk : 6 bulan
Berdiri : 7 bulan
Berjalan : 1 tahun
Berbicara 2 suku kata : 1 tahun
Gigi keluar : 5 bulan
Makan dan Minum Anak
ASI : lahir sampai sekarang
Susu sapi : mulai 6 bulan
Makanan lunak : mulai 6 bulan
Makanan padat : mulai 1 tahun
Pemeriksaan Prenatal
Periksa di : Dokter
Penyakit kehamilan : Tidak ada
Obat-obat yang sering diminum : -

7
2.2.7 Riwayat Kelahiran
Lahir di : Rumah Sakit
Usia kehamilan : Aterm (9 bulan)
Persalinan ditolong oleh : Dokter
Jenis partus :Spontan

2.2.8 Riwayat Imunisasi Dasar


Imunisasi Usia saat imunisasi

I II III IV Booster Booster


I II

BCG 1 bulan - - - - -

Polio 1 bulan 2 bulan 3 bulan - - -

Campak - - - 9 bulan - -

DPT 2 bulan 3 bulan - - - -

Hepatitis B 0 bulan 2 bulan 3 bulan - - -

2.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : Allert
Kesadaran : CM

Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Frekuensi nadi : 115 x/menit, regular, kuat angkat
Frekuensi nafas : 22 x/menit, regular
Suhu : 36.0 oC, aksiler ( malam)
36.1 ( pagi saat pemeriksaan)
Status gizi
Berat badan : 10 kg

8
Panjang badan : 86 cm
LILA : 15 cm
LK : 42 cm
LP : 45 cm

Regio Kepala/Leher
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), sianosis (-)
Regio Thorax
Inspeksi : Bentuk dada normal, pergerakan dinding dada simetris
dekstra = sinistra, retraksi intercosta (-), suprasternal dan
supraklavikula (-), nafas cuping hidung (-), nafas tampak
cepat (-)
Palpasi : Pergerakan nafas simetris dekstra = sinistra
Perkusi : sonor seluruh lapangan paru, redup jantung (+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-), suara jantung
S1S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-).
Regio Abdomen
Inspeksi : Perut tampak datar (+)
Auskultasi : Peristaltik usus (+)
Perkusi : Timpani empat kuadran (+)
Palpasi : Soefl, nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-)

Regio Ekstremitas
Inspeksi : Ruam/petekie pada daerah pipi (-)
Palpasi : Akral hangat, nadi teraba cukup, sianosis perifer (-),
edema(-), CRT <2 detik.

2.4 Pemeriksaan Neurologis


Kesadaran: GCS E4M6V5
Kepala : pupil isokor 2 mm, refleks cahaya + | + normal

9
2.5 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan 13/10/2019 Nilai Normal


Leukosit 5.87 6.000 – 18.000 103/µL
Hemoglobin 10.3 13,4 – 19,8 g /dL
Eritrosit 4.35 4.00-5.20 106 /µL
Hematokrit 32.2 33,0 - 41,0 %
MCV 74.0 81,0 – 99,0 fL
MCH 23.7 27,0 – 31,0 pg
MCHC 32.0 33,0 – 37,0 g/dL
Trombosit 640 150.000 – 450.000 /µL
Neutrofil% 39 40 – 74 %
Limfosit% 43 19 – 48 %
Monosit% 14 3–9%
Eosinofil% 3 0–7%
Basofil% 0 0–1%
Imunoserologi
Tubex +( skala 4) 0-2 Skala score
Procalsitonin < 0.20 < 0.36 ng/mL

Kimia Klinik (13/10/2019)


GDS 95 Mg/dl
Natrium 137 Mmol/L
Kalium 5.6 Mmol/L
Choride 108 Mmol/L
Urinalisa (13/02/2019)
Berat jenis 1.002 1.003-1.030
Hb - -
Warna Kuning kuning

10
kejernihan Jernih jernih
ph 7 4.8-7.8
Sel epitel + sedikit
leukosit 1-2 0-1
eritrosit 0-1 0-1
silinder - -
Bekteri - -
Jamur - -

11
2.6 Diagnosis
Prolonged fever post GEA et causa typhoid

2.7 Tatalaksana
 IVFD D5 ¼ NS 1000 cc/24 jam
 Inj Ceftriaxone 2 kali 300 mg/iv
 Inj Gentamisin 1 kali 45 mg/iv
 Paracetamol 4 kali 1 Cth

2.8 Follow up
Tanggal Pemeriksaan Terapi
Senin, S: demam (-), muntah (-), BAB cair (-),  IVFD D5 ¼ NS
14/10/2019 Objective: 1000 cc/24 jam
 Kes: CM, tamapk sakit sedang  Inj Ceftriaxone 2
 TD = 100/70, N = 110x/menit, T : kali 300 mg/iv
35.6  Inj Gentamisin 1
 Kepala : anemis (-/-), ikterus (-/-), kali 45 mg/iv
sianosis (-/-)  Paracetamol 4
 Thoraks : vesikuler (+/+), wheezing kali 1 Cth
(-/-), ronki (-/-), S1S2 tunggal
reguler, murmur (-) Cek HDT, kultur urin,
 Abdomen : soefl, nyeri tekan(-) urinalisa, tubex, PRC dan
 Eks : akral hangat, CRT <2 detik procalsitonin

A: prolonged fever post GEA


Selasa S: demam (-)  Pasien boleh
15/10/2019 Objective: pulang dengan
 Kes: CM, tamapk sakit sedang obat pulang
 TD = 110/70, N = 110x/menit , T: Cefixime 2x1/2

12
36,5 Cth
 Kepala : anemis (-/-), ikterus (-/-),
sianosis (-/-)
 Thoraks : vesikuler (+/+), wheezing
(-/-), ronki (-/-), S1S2 tunggal
reguler, murmur (-)
 Abdomen : soefl, nyeri tekan(-)
 Eks : akral hangat, CRT <2 detik

A: prolonged fever ec typhoid

13
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Etiologi
Tiga penyebab terbanyak demam persisten berkepanjangan yaitu penyakit
infeksi, penyakit kolagen-vaskular, dan keganasan.1,2,5,7,8 Kesulitan mencari penyebab
demam berkepanjangan disebabkan oleh banyak faktor. Terdapat lebih kurang 200
penyebab demam berkepanjangan yang menimbulkan kesulitan mendiagnosis
etiologi demam berkepanjangan dalam waktu singkat.Pencarian penyebab terkadang
dihubungkan dengan keadaan geografis tempat pasien tinggal, anamnesis yang
kurang lengkap, dan pemeriksaan fisik yang kurang teliti sehingga hal penting yang
seharusnya dapat mendukung diagnosis tidak ditemukan.

Salah satu sumber mengatakan infeksi merupakan penyebab terbanyak 58


(97%) demam berkepanjangan, dan penyakit lain 2 anak (3%), demam tifoid 21
pasien sedangkan infeksi virus didapatkan pada 10 pasien (15%). Infeksi bakteri
terbanyak pada usia 3-36 bulan dan di atas 6 tahun, sedangkan infeksi virus pada anak
usia 3-36 bulan. Pada kelompok usia 3-36 bulan penyakit infeksi tersering adalah
tuberkulosis paru dan infeksi saluran kemih, sedangkan usia >6 tahun adalah demam
tifoid. Infeksi tuberkulosis paru sering disertai gizi kurang dibandingkan penyebab
infeksi lain, sedangkan demam tifoid lebih banyak pada anak dengan status gizi
baik.1

3.2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat demam menyumbang 10-20% kunjungan anak sakit
pada layanan kesehatan. Tidak terdapat perbedaan ras dan jenis kelamin dalam
insiden demam.3 Di Indonesia sendiri, demam pada anak merupakan 15% dari
kunjungan pasien di poliklinik dan 10% pasien Unit Gawat Darurat. Sebagian besar
anak berusia dibawah tiga tahun. Penyebab demam diidentifikasi berdasarkan
anamnesa dan pemeriksaan fisik.

14
Demam pada anak umumnya berasal dari virus dan dapat sembuh sendiri,
hanya beberapa berasal dari infeksi bakteri serius, seperti meningitis, bakterinemia,
pneumonia, infeksi saluran kemih, enteritis bakteri, infeksi tulang dan sendi.6
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui angka kejadian, penyebab
serta karakteristik demam berkepanjangan pada anak, namun data tentang angka
kejadian terutama penyebabnya di Indonesia masih kurang.

3.3 Patofisiologi

Demam ditimbulkan oleh senyawa yang dinamakan pirogen. Dikenal dua


jenis pirogen yaitu pirogen eksogen dan endogen. Pirogen eksogen merupakan
senyawa yang berasal dari luar tubuh pejamu dan sebagian besar terdiri dari produk
mikroba, toksin atau mikroba itu sendiri. Bakteri gram negatif memproduksi pirogen
eksogen berupa polisakarida yang disebut pula sebagai endotoksin. Bakteri gram
positif tertentu dapat pula memproduksi pirogen eksogen berupa polipeptida yang
dinamakan eksotoksin. Pirogen eksogen menginduksi pelepasan senyawa di dalam
tubuh pejamu yang dinamakan pirogen endogen. Pirogen endogen tersebut diproduksi
oleh berbagai jenis sel di dalam tubuh pejamu terutama sel monosit dan makrofag.
Senyawa yang tergolong pirogen endogen adalah sitokin seperti interleukin (IL-1β,
IL-1, IL-6), tumor nekrosis faktor (TNF-α, TNF-β) dan interferon.4

Pirogen endogen yang dihasilkan oleh sel monosit, makrofag dan sel tertentu
lainnya secara langsung atau dengan perantaraan pembuluh limfe masuk sistem
sirkulasi dan dibawa ke hipotalamus. Di dalam pusat pengendalian suhu tubuh
pirogen endogen menimbulkan perubahan metabolik, antara lain sintesis
prostaglandin E2 (PGE2) yang mempengaruhi pusat pengendalian suhu tubuh
sehingga sel point untuk suhu tersebut ditingkatkan untuk suatu suhu tubuh yang
lebih tinggi. Pusat ini kemudian mengirimkan impuls ke pusat produksi panas untuk
meningkatkan aktivitasnya dan ke pusat pelepasan panas untuk mengurangi
aktivitasnya sehingga suhu tubuh meningkat atau terjadi demam. 4

15
3.4 Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan


penunjang.

1. Anamnesis.
Dalam anamnesis harus diperhatikan:

a. Umur
Pada anak di bawah enam tahun sering menderita infeksi saluran kemih
(ISK), infeksi fokal (abses, osteomielitis), dan juvenile rheumatoid
arthtritis (JRA). Sedangkan pada anak yang lebih besar sering menderita
tuberkulosis, radang usus besar, penyakit autoimun dan keganasan.

b. Karakteristik demam
Saat timbul, lama dan pola/tipe dan gejala non-spesifik seperti anoreksia,
rasa lelah, menggigil, nyeri kepala, nyeri perut ringan dapat membantu
diagnosis. Pola demam dapat membantu diagnosis, demam intermitten
terdapat pada infeksi piogenik, tuberkulosis, limfoma dan JRA, sedangkan
demam yang terus-menerus dapat terjadi pada demam tifoid. Demam yang
relaps dijumpai pada malaria, rat-bite fever, infeksi borelia dan
kegananasan. Demam yang rekurens lebih dari satu tahun lamanya
mengarah pada kelainan metabolik, SSP, atau kelainan pada pusat
pengontrol temperatur dan defisiensi imun.

c. Data epidemiologi
Riwayat kontak dengan binatang (anjing, kucing, burung, tikus) atau pergi
ke daerah tertentu perlu ditanyakan, demikian pula latar belakang genetik
pasien perlu diketahui serta terpaparnya pasien dengan obat (salisilism).4

2. Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik tidak hanya dilakukan pada hari pertama, tetapi
sebaiknya diulang sampai diagnosis dapat ditegakkan. Pembesaran kelenjar

16
getah bening dapat timbul akibat proses infeksi lokal, sedangkan pembesaran
kelenjar getah bening umum mungkin disebabkan infeksi sistemik meliputi
keganasan dan berbagai proses inflamasi. Adanya artralgia, artritis, mialgia
atau sakit pada anggota gerak mengarah pada penyakit vaskular-kolagen.

Apabila ditemukan kelainan bunyi jantung harus dipikirkan


endokarditis, gejala gastrointestinal seperti nyeri perut, adanya darah pada
tinja, diare atau kehilangan berat badan mengarah pada inflamasi di usus
besar. Nyeri perut atau adanya massa mungkin timbul menyertai ruptur
apendiks. Ikterus mengarah kepada hepatitis, sedangkan ruam menunjukkan
penyakit vaskular-kolagen, keganasan atau infeksi. Faringitis, tonsilitis atau
abses peritonsil dapat disebabkan oleh bakteri atau infeksi mononukleosis,
CMV, atau leptospirosis.

3. Pemeriksaan Penunjang4,5
Untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding
demam berkepanjangan, diperlukan pemeriksaan penunjang dengan
mempertimbangkan dugaan etiologi berdasarkan usia, iklim, epidemiologi,
dan faktor pejamu. Sebaiknya dilakukan secara bertahap dan tidak serentak
dan disesuaikan dengan derajat penyakit pasien.

Tabel 2.1 Tahapan pemeriksaan penunjang4

Tahap I  Foto toraks


 Darah perifer lengkap, hitung jenis, dan morfologi
 Hapusan darah tebal
 LED atau CRP
 Urinalisis
 Pemeriksaan mikroskopik apusan darah, urin
 Biakan darah, urin, feses, dan hapusan tenggorok
 Uji tuberkulin

17
 Uji fungsi hati
Tahap II  Pemeriksaan uji serologic terhadap : salmonella, toksoplasma,
leptospira, mononucleosis, CMV, histoplasma
 USG abdomen, CT-scan kepala
Tahap III  Aspirasi sumsum tulang
 Pielografi intravena
 Foto sinus paranasal
 Antinuclear antibody
 Barium enema
 Limfangiogram
 Biopsi hati

Bila anak tampak sakit berat, diagnosis harus dilakukan dengan cepat, tetapi
bila penyakit lebih kronik, pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan secara
bertahap. Pemeriksaan awal dan rutin meliputi darah tepi lengkap, termasuk hitung
jenis, trombosit, feses lengkap dan urinalisis, uji tuberkulin, laju endap darah, biakan
darah, biakan urin, kalau perlu dilakukan hapusan tenggorok.

Adanya pansitopenia,neutropenia yang tidak dapat dijelaskan sebabnya,


apalagi bila disertai dengan trombositopenia atau adanya limfoblas pada hapusan
darah perifer perlu dikonsultasikan kepada ahli hematologi/onkologi serta dilakukan
punksi sumsum tulang. Jumlah limfosit yang meningkat pada hitung jenis mengarah
pada mononukleosis atau infeksi virus sedangkan neutropenia berat pada pasien yang
sakit ringan sampai sedang bisa disebabkan oleh berbagai infeksi lain. Leukositosis
dan meningkatnya LED menunjukkan adanya penyakit vaskular kolagen dan infeksi.
Anemia hemolitik bisa terdapat pada penyakit vaskular-kolagen atau endokarditis,
sedangkan anemia non hemolitik mengarah pada penyakit kronik atau keganasan.
Piuria dan bakteriuria menunjukkan infeksi saluran kemih, hematuria menunjukkan
kemungkinan endokarditis.

18
Pemeriksaan foto thorax dapat dilakukan untuk semua pasien sedangkan foto
mastoid dan sinus nasalis serta traktus gastronintestinal dilakukan atas indikasi
tertentu. Uji untuk HIV she arusnya dilakukan untuk semua pasien. Uji serologi dapat
dilakukan untuk shigelosis, salmonelosis, bruselosis, tularemia, infeksi
mononukleosis, CMV, toksoplasmosis dan beberapa infeksi jamur. CT-scan
membantu identifikasi lesi di kepala, leher, dada, rongga peritoneum, hati, limpa,
KGB intraabdominal dan intrathorax, ginjal, pelvis dan mediastinum. CT-scan atau
USG membantu dalam melakukan biopsi atau aspirasi.4

Dalam pencarian etiologi penyebab demam, ESR (erythrocyte sedimentation


rate) harus dievaluasi. Adanya peningkatan ESR disertai anemia kronik sering
dihubungkan dengan giant cell arteritis atau polymyalgia rheumatica. C-reactive
protein (CRP) sebaiknya diperiksa karena merupakan indikator spesifik terhadap
respon metabolik terhadap inflamasi pada fase akut. ANA (anti nuclear antibody),
antineutrophil sytoplasmic antibody, faktor reumatoid dan krioglobulin serum harus
dinilai untuk menegakkan penyakit vaskuler kolagen lainnya dan vaskulitis.
PPD (purified protein derivative)diperiksa untuk menskrining pasien tuberculosis.
.Beberapa pemeriksaan diagnostik terbaru seperti serologi dan kultur virus, memiliki
peran penting dalam mengevaluasi penyakit ini. Namun apabila berbagai evaluasi
intensif telah dilakukan tanpa memberiksan hasil maka tes-tes yang invasif seperti
punksi lumbal maupun biopsi
sumsum tulang, hepar serta kelenjar getah bening, dapat dipertimbangkan sesuai
dengan kecurigaan klinis yang ditemukan.

Keterangan tambahan:

 Urinalisis
Menghilangkan diagnosis ISK dan tumor dari traktus urinarius

 Kultur
o Kultur darah untuk patogen aerobik dan non-aerobik,
o Kultur urin,

19
o Kultur sputum dan feses: dapat membantu keberadaan
penyakit paru maupun gastrointestinal.
o Kultur untuk bakteri, mikobakteria, dan jamur pada jaringan
dan cairan steril; seperti dari cairan serebrospinal, cairan
pleura, cairan peritoneal, hepar, sumsum tulang, dan nodus
limfe.
 Serologi
Merupakan tes yang paling membantu jika sampel menunjukkan hasil
yang signifikan, seperti adanya antibodi spesifik terhadap
mikroorganisme infeksi. Contoh penyakit yang dapat ditegakkan
dari pemeriksaan serologi adalah Brucellosis, infeksi CMV, infeksi
mononucleosis EBV, infeksi HIV, amebiasis,
toxoplasmosis, danklamidia. Kadar serum ferritin berguna untuk kasus
demam berkepanjangan akibat keganasan, dan SLE. Pemeriksaan titer
antibodi antinuklear (ANA), faktor rheumatologi, kadartiroksin, dan
LED karena sangat membantu dalam mendiagnosis kondisitertentu
yaitu lupus, RA, tiroiditis, hipertiroidisme

3.5. Diagnosis Banding

1. Infeksi bakteri
a. ISK
Keluhan :Mual, muntah, demam, nyeri perut, gangguan berkemih.

Laboratorium: Pada urin pancar tengah terdapat jumlah kuman ≥ 105 cfu per
mL urin, kuman > 104 cfu/mL dengan urine bag dan satu kuman pada aspirasi
supra pubik.

b. Sepsis ( SIRS (≥ 2dari suhu >38°C (100.4°F) atau < 36°C (96.8°F), nadi>90,
RR>20, Leukosit > 12,000/mm³, < 4,000/mm³) dengan sumber infeksi)

20
c. Enteric fever (Demam, gangguan Gastrointestinal, Pada PF hepatomegali
atau splenomegali. Pada labaoratorium leucopenia dengan IgM/IgG
salmonella typhi positif)
d. Tuberkulosis (Scoring TB>=6)
e. Endokarditis (Duke criteria)
f. Pneumonia
Batuk, demam, napas cepat,adanya leukositosis, pemeriksaan rontgen thorax
adanya infiltrate, air broncogram.

g. Pyelonefiris
2. Infeksi Parasit
a. Malaria
b. Toxoplasmosis
3. Penyakit kolagen
a. Juvenile rheumatoid arthritis
b. Systemic lupus erythematosus
4. Neoplasma
a. Hodgkin’s disease c. Leukimia mieloblastik akut
b. Leukimia limfoblastik akut d. Limfoma
5. Penyakit lain
a. Demam obat
b. Tirotoksikosis
c. Hypothalamic central fever

3.6. Penatalaksanaan3,4,8,10,11

Secara umum, perawatan harus diarahkan kepada etiologi yang mendasari, sesuai
kebutuhan, setelah diagnosis dibuat. Jika penyebab pasti belum dapat ditentukan,
beberapa penelitian menyarankan pengecualian terhadap pendekatan umum ini,
seperti:

21
a. Kasus yang memenuhi kriteria untuk endokarditis negatif kultur
b. Kasus di mana temuan klinis menunjukkan TB diseminata (atau, kadang-
kadang, infeksi granulomatosa lainnya)
c. Kasus-kasus dicurigai giant cell arteritis dengan gangguan penglihatan

Contoh pengobatan khusus:

 Pada pasien dengan granuloma hepatik, sekitar 50% pasien sembuh secara
spontan, sementara 50% lainnya memerlukan pengobatan kortikosteroid
(Prednison 1-2mg/kgBB/hari, max 80mg durasi terapi mulai dari
beberapa minggu hingga beberapa tahun).
 Pasien dengan giant cell arteritis harus diobati dengan steroid dosis tinggi
(Prednison 1-2mg/kgBB/hari, max 80mg), dan steroid intravena harus
diberikan jika pasien sangat kesakitan atau memiliki gangguan
penglihatan yang signifikan. Hati-hati dalam memonitor pasien, karena
perawatan yang tidak memadai dan toksisitas steroid (misalnya,
hipertensi, diabetes, dispepsia, pengeroposan tulang, psikosis, katarak)
dapat menyebabkan morbiditas yang signifikan.
 Pada polymyalgia rheumatica, perawatan terdiri dari perbaikan gejala
dengan terapi steroid (Prednison 1-2mg/kgBB/hari, max 80mg atau
prednisolon 0,1-2mg/kgBB/hari, max 80mg) dan pemantauan ketat.
 Ketika obat dicurigai, hentikan obat yang terlibat.

Konsultasi kepada ahli berdasarkan riwayat pasien, pemeriksaan fisik, data


laboratorium, dan temuan radiologis. Konsultasi kepada Spesialis penyakit menular,
hematologi / onkologi, Rheumatoid, paru, saluran pencernaan, endokrin, dan
radiologi intervensi serta bedah.10

Rekomendasi pengobatan untuk anak-anak dengan demam tanpa fokus lokasi


didasarkan pada penampilan, usia, dan suhu anak.

22
a. Untuk anak-anak yang tidak tampak toxic, rekomendasi perawatan adalah
sebagai berikut:
 Jadwalkan janji tindak lanjut dalam 24-48 jam dan instruksikan orang tua
untuk kembali bersama anak lebih cepat jika kondisinya memburuk.
 Masuk rumah sakit diindikasikan untuk anak-anak yang kondisinya
memburuk atau yang temuan evaluasinya menunjukkan infeksi serius.
b. Untuk anak-anak yang tampak toxic, rekomendasi perawatan adalah sebagai
berikut:
 perawatan lebih lanjut; hasil kultur yang tertunda, berikan antibiotik
parenteral. Awalnya berikan ceftriaxone, cefotaxime, atau ampicillin /
sulbaktam (50 mg / kg / dosis).3

Terapi Percobaan

Risiko terapi percobaan

Menurut pendapat umum, sebaiknya terapi percobaan tidak boleh diberikan


pada saat sedang mencari penyebab demam tanpa kausa jelas. Pendapat ini
berdasarkan bahwa obat yang diberikan akan mempersulit pemeriksaan lebih lanjut,
kadang-kadang dapat sangat menganggu. Beberapa antibiotik seringkali
menyebabkan reaksi hipersensitivitas yang berakibat menimbulkan demam,
timbulnya ruam kulit, kelainan darah atau kadangkala menyebabkan kegagalan
fungsi organ tertentu. Antibiotik spektrum
luas juga dapat mengurangi kepekaan terhadap pemeriksaan biakan. Hal ini
terutama terjadi pada demam enterik (salmonelosis, shigelosis)
dan streptococcus pyogenes.

Pemberian antibiotik salep pada abses tidak dapat menyembuhkan tanpa


dilakukan drainase,sehingga demam tidak akan segera turun. Pemberian obat anti
tuberkulosis (rifampisin atau streptomisin) akan mempengaruhi hasil biakan bakteri
piogenik. Tetrasiklik dan kotrimoksazol akan menghambat sebagian pertumbuhan

23
parasit malaria atau protozoalain sehingga manifestasi klinisnya menjadi tidak khas
lagi. Hal lain yang penting adalah pemberian kortikosteroid. Kortikosteroid dapat
menghambat respons imun sehingga menganggu hasil uji serologik dan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat (misalnya uji tuberkulin). Dengan menghambat respons
inflamasi dan memberikan perbaikan semu,maka kortikosteroid (Prednison) dapat
menyebabkan infeksi tetap berlangsung dan cenderungmenjadi berat sehingga
mudah terjadi penyulit seperti perforasi dan meluasnya infeksi.4

Risiko pemberian terapi percobaan:

1. Mengurangi kepekaan pemeriksaan biakan


2. Mengubah perjalanan penyakit, tetapi tidak sembuh
3. Reaksi samping obat mengecohkan penyakit dasar
4. Kortikosteroid menurunkan kepekaan uji serologic
5. Kortikosteroid menyebabkan perjalanan penyakit lain parah tanpa
gejala klinis yang jelas.

Kegunaan terapi percobaan

Di dalam kenyataannya, pemberian terapi percobaan tidak dapat dihindarkan.


Setelah dilakukan pemeriksaan dengan seksama (klinis dan laboratorium) kita dapat
menduga diagnosisnya, walaupun seringkali tidak terbukti. Apabila dugaan
diagnosis terhadap infeksi yang spesifik, maka terapi percobaan dapat dibenarkan,
dengan memberikan antibiotik spektrum sempit tetapi relevan untuk
mikroorganisme patogen yang diduga. Apabila dugaan diagnosis tersebut memang
benar, maka pada tindak lanjut pemberian terapi percobaan harus sesuai dengan
hasil yang diharapkan.

Pengobatan juga harus segera diberikan apabila keadaan umum pasien sangat
berat dan kritis, tetapi spesimen pemeriksaan harus diambil terlebih dahulu sebelum
pengobatan diberikan. Penting puladiingat bahwa pemberian pengobatan harus
sesuai panduan baik dosis maupun lama pemberian, jangan sekali-kali mengganti

24
antibiotik setiap saat tanpa panduan yang jelas. Bagan suhu merupakan salah satu
alat pemantau terpenting dari awal keberhasilan pengobatan. Pemeriksaan
penunjang lain seperti CRP atau LED dapat dipergunakanuntuk memantau. Untuk
penyakit kolagen, LED atau kadar auto antibodi dapatdipergunakan sebagai alat
pemantau.

Di samping itu, indikator non spesifik seperti perbaikan nafsu makan atau
peningkatan berat badan perlu diperhatikan.Kegagalan pengobatan pada terapi
percobaan ternyata hanya sekitar 5%, seperti yang dilaporkan oleh para penulis.
Separuh kasus tampak mengalami perbaikan klinis,walaupun demam masih
menetap tetapi keadaan umum tidak memburuk, dalam hal demikian penyakit
keganasan seringkali merupakan penyebab demam. Dapat disimpulkan, bahwa
pemeriksaan pada demam tanpa kausa jelas harus dilakukan secara sistematik,
walaupun pada umumnya pengobatan berhasil memuaskan dan jarang berakhir
dengan kegagalan. 4

Terapi simptomatik

Penggunaan obat penurun panas bertujuan untuk menurunkan suhu tubuh dan
membuat anak merasa lebih nyaman, namun tidak efektif untuk mencegah kejang
demam.

a. Parasetamol merupakan pilihan lini pertama untuk menurunkan demam dan


menghilangkan nyeri. Merupakan metabolit aktif asetanilid dan fenasetin.
Pilihan dosis 10-15 mg/kgBB/ x. Keracunan paraseetamol dapat diberikan
antidotum berupa N-asetil-sistein dosisi 300mg/kgBB IV selama 20 jam
(diberikan dalam waktu 24 jam setelah pemberian parasetamol. Dilaporkan
cukup efektif jika diberikan 140mg/kgBB PO dilanjutkan 4 jam kemudian
70mg/kgBB setiap 4 jam sampai 17 dosis)4
b. Ibuprofen.
Merupakan turunan asam propionat yang memiliki efek antiinflamasi,
analgesik dan antipiretik. Ibuprofen termasuk kedalam obat golongan NSAID

25
(non-steroid anti inflammatory drug) yang bekerja menghambat
siklooksigenase-1 dan siklooksigenase-2. Dosis 5-10mg/kgBB/hari
dilaporkan lebih poten dan memiliki efek supresi demam lebih lama
dibandingkan dosis parasetamol. Pemberian ibuprofen pada arthritis
rheumatoid dengan dossi 20-40mg/kgBB/hari. Tatalaksana keracunan
ibuprofen dengan pemberian obat muntah / cuci lambung. Activated charcoal
dan perawatan suportif.4

Tirah baring:

Aktifitas fisik yang tinggi dapat meningkatkan suhu tubuh anak dengan
demam dan tanpa demam. Walaupun demikian, pergerakan anak yang demam selama
aktivitas normal tidak cukup menyebabkan demam. Memaksakan anak demam untuk
tirah baring tidak efektif, tidak disenangi dan mengganggu secara psikologis. Suatu
penelitian kontrol-kasus dari 1082 anak dengan demam, ditemukan bahwa tirah
baring tidak menurunkan suhu secara signifikan.13

Kompres air hangat (tepid sponging):

Tepid merupakan suatu kompres/sponging dengan air hangat. Penggunaan


kompres air hangat di lipat ketiak dan lipat selangkangan (inguinal) selama 10-15
menit akan membantu menurunkan panas dengan cara panas keluar lewat pori-pori
kulit melalui proses penguapan. Jika dokter dan orang tua merasa kompres diperlukan
(misalnya suhu tubuh meningkat lebih dari 40 derajat Celsius, yang tidak respon obat
penurun panas, maka penting untuk memberikan obat penurun panas terlebih dahulu
untuk menurunkan pusat pengatur suhu di susunan saraf otak bagian hipotalamus,
kemudian dilanjutkan kompres air hangat.13

26
3.7. Prognosis

Prognosis prolonged fever pada anak lebih baik (dubia ad bonam) daripada
pasien dewasa karena rendahnya frekuensi kasus keganasan. Banyak kasus di mana
diagnosis tak dapat ditegakkan, tetapi demam dapat sembuh secara spontan.
Sebanyak 25% kasus dengan demam yang persisten, penyebab demam masih tetap
tak diketahui meskipun telah melalui evaluasi yang menyeluruh.14,18

Demam Tifoid
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella Typhi. Bakteri Salmonella Typhi berbentuk batang, Gram negatif, tidak
berspora, motil, berflagel, berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 370C,
bersifat fakultatif anaerob dan hidup subur pada media yang mengandung empedu.
Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan dan invasi bakteri sekaligus
multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuclear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus,
dan Peyer’s patch.15,22
Bakteri Salmonella Typhi memiliki beberapa komponen antigen antara lain
antigen dinding sel (O) yang merupakan lipopolisakarida. Antigen flagella (H)
merupakan komponen protein berada dalam flagella. Antigen virulen (Vi)
merupakan polisakarida dan berada di kapsul yang melindungi seluruh permukaan
sel. Salmonella Typhi menghasilkan endotoksin yang merupakan bagian terluar dari
dinding sel, terdiri dari antigen O yang sudah dilepaskan, lipopolisakarida dan lipid
A. Antibodi O, H dan Vi akan membentuk antibodi aglutinin di dalam tubuh. Outer
Membran Protein (OMP) pada Salmonella Typhi merupakan bagian terluar yang
terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel
dengan lingkungan sekitarnya.OMP sebagain besar terdiri dari protein purin,
berperan pada patogenesis demam tifoid dan antigen yang penting dalam
mekanisme respon imun host. OMP berfungsi sebagai barier mengendalikan
masuknya zat dan cairan ke membran sitoplasma selain itu berfungsi sebagai

27
reseptor untuk bakteriofag dan bakteriosin.15,19

Epidemiologi
Demam tifoid terjadi di seluruh dunia, terutama pada negara berkembang dengan
sanitasi yang buruk. Delapan puluh persen kasus tifoid di dunia berasal dari
Banglades, Cina, India, Indonesia, Laos, Nepal, Pakistan. Demam tifoid menginfeksi
setiap tahunnya 21.6 juta orang (3.6/1.000 populasi) dengan angka kematian
200.000/tahun. Insidensi demam tifoid tinggi (>100 kasus per 10.000 populasi per
tahun) dicatat di Asia tengah, Asia selatan, Asia tenggara, Afrika, Amerika Latin, dan
Oceania (kecuali Australia dan Selandia baru) serta yang termasuk rendah (<10 kasus
per 10.000 populasi per tahun) di bagian dunia lainnya.16,17
Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia dengan angka
kejadian yang masih tinggi serta merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
berkaitan dengan kesehatan lingkungan dan sanitasi yang buruk. Prevalensi 91%
kasus demam tifoid terjadi pada usia 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5
tahun.

Patogenesis
Salmonella Typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia. Patogenesis demam
tifoid melibatkan 4 proses mulai dari: (1) penempelan bakteri ke lumen usus, (2)
bakteri bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, (3) bakteri bertahan hidup di
aliran darah, dan (4) bakteri menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan
keluarnya elektrolit dan air ke lumen intestinal.15
Bakteri Salmonella Typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam
tubuh melalui mulut.Pada saat melewati lambung dengan suasanaasam banyak
bakteri yang mati. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus, melekat
pada sel mukosa kemudian menginvasi dan menembus dinding usus tepatnya di
ileum dan yeyunum.Sel M, sel epitel yang melapisi Peyer’s patch merupakan
tempat bertahan hidup dan multiplikasi Salmonella Typhi.15
Bakteri mencapai folikel limfe usus halus menimbulkan tukak pada mukosa

28
usus. Tukak dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Kemudian
mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi
sistemik sampai ke jaringan Reticulo Endothelial System (RES) di organ hati dan
limpa. Setelah periode inkubasi, Salmonella Typhi keluar dari habitatnya melalui
duktus torasikus masuk ke sirkulasi sistemik mencapai hati, limpa, sumsum tulang,
kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Endotoksin merangsang
makrofag di hati, limpa, kelenjar limfoid intestinal dan mesenterika untuk
melepaskan produknya yang secara lokal menyebabkan nekrosis intestinal ataupun
sel hati dan secara sistemik menyebabkan gejala klinis pada demam tifoid.15,16

Skema Patofisiologi Demam Tifoid


Penularan Salmonella Typhi sebagian besar jalur fekal oral, yaitu melalui makanan
atau minuman yang tercemar oleh bakteri yang berasal dari penderita atau pembawa
kuman, biasanya keluar bersama dengan feses. Diduga endotoksin dari Salmonella

29
typhi menstimulasi makrofag didalam hati, limfa, folikel limfoma usus halus dan
kelenjar limfe mesentrika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, system vascular yang tidak
stabil, demam, dan menstimulasi system imunologik. 15

Manifestasi Klinis
Gambaran klinis demam tifoid pada anak umur < 5 tahun, khususnya di
bawah 1 tahun lebih sulit diduga karena seringkali tidak khas dan sangat bervariasi.
Masa inkubasi demam tifoid berkisar antara 7-14 hari, namun dapat mencapai 3-30
hari.Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan
tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat.Kemudian
menyusul gejala dan tanda klinis yang biasa ditemukan.15,16
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit.
Demam berlangsung 3 minggu bersifat febris dan suhu tidak terlalu tinggi.Pada
awalnya suhu meningkat secara bertahap menyerupai anak tangga selama 2-7 hari,
lebih tinggi pada sore dan malam hari,tetapi demam bisa pula mendadak
tinggi.Dalam minggu kedua penderita akan terus menetap dalam keadaan demam,
mulai menurun secara tajam pada minggu ketiga dan mencapai normal kembali pada
minggu keempat. Pada penderita bayi mempunyai pola demam yang tidak beraturan,
sedangkan pada anak seringkali disertai menggigil. Pada abdomen mungkin
ditemukan keadaan nyeri, perut kembung, konstipasi dan diare. Konstipasi dapat
merupakan gangguan gastrointestinal awal dan kemudian pada minggu kedua timbul
diare. Selain gejala – gejala yang disebutkan diatas, pada penelitian sebelumnya juga
didapatkan gejala yang lainnya seperti sakit kepala, batuk, lemah dan tidak nafsu
makan. 15,16,17
Tanda klinis yang didapatkan pada anak dengan demam tifoid antara lain
adalah pembesaran beberapa organ yang disertai dengan nyeri perabaan, antara lain
hepatomegali dan splenomegali. Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya
demam adalah nyeri kepala, malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut. Bahkan
dapat pula dijumpai penderita demam tifoid yang datang dengan syok hipovolemik

30
sebagai akibat kurangnya masukan cairan dan makanan. Pasien dapat mengeluh
diare, pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan warna putih ditengah dan
ujung kemerahan. Penderita demam tifoid dapat disertai dengan atau tanpa
gangguan kesadaran.Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak terlalu
dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Selain tanda – tanda klinis yang biasa
ditemukan tersebut,mungkin pula ditemukan gejala lain. Pada punggung dan
anggota gerak dapat ditemukan roseola, yaitu bintik kemerahan karena emboli
dalam kapiler kulit. Penelitian sebelumnya didapatkan data bahwa tanda
organomegali lebih banyak ditemukan tetapi tanda seperti roseola sangat jarang
ditemukan pada anak dengan demam tifoid. 14,15,16

Penegakan Diagnosis
a. Kultur
Sampai saat ini baku emas diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan kultur.
Pemilihan spesimen untuk kultur sebagai penunjang diagnosis pada demam minggu
pertama dan awal minggu kedua adalah darah, karena masih terjadi bakteremia. Hasil
kultur darah positif sekitar 40%-60%. Sedangkan pada minggu kedua dan ketiga
spesimen sebaiknya diambil dari kultur tinja (sensitivitas <50%) dan urin (sensitivitas
20-30%). Sampel biakan sumsum tulang lebih sensitif, sensitivitas pada minggu
pertama 90% namun invasif dan sulit dilakukan dalam praktek.21

b. Pemeriksaan PCR
Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. Typhi hanya membutuhkan waktu
kurang dari 8 jam, dan memiliki sensitivitas yang tinggi sehingga lebih unggul
dibanding pemeriksaan biakan darah biasa yang membutuhkan waktu 5–7 hari.In-
flagelin PCR terhadap S. Typhi memiliki sensitivitas 93,58% dan spesifisitas
87,9%.Pemeriksaan nestedpolymerase chain reaction (PCR) menggunakan primer
H1-d dapat digunakanuntuk mengamplifikasi genspesifik S. typhi dari darah pasien
dan merupakan pemeriksaan diagnostik cepat yang menjanjikan.Pemeriksaan nested
PCR terhadap gen flagelin (fliC) dari S. typhi dapat dideteksi dari spesimen urin

31
21/22 (95.5%), dikuti dari spesimen darah 20/22 (90%), dan tinja 15/22
(68,1%)Sampai saat ini, pemeriksaan PCR di Indonesia masih terbatas dilakukan
dalam penelitian. 21

c. Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan serologis demam tifoid secara garis besar terbagi atas pemeriksaan
antibodi dan pemeriksaan antigen. Pemeriksaan antibodi paling sering dilakukan saat
ini, termasuk didalamnya adalah test Widal, test Hemagglutinin (HA),
Countercurrent immunoelectrophoresis (CIE), dan test cepat/ rapid test (Typhidot,
TUBEX). Sedangkan pemeriksaan antigen S. Typhii dapat dilakukan melalui
pemeriksaan protein antigen dan protein Vibaik menggunakan ELISA/ koaglutinasi
namun sampai saat ini masih dalam penelitian jumlah kecil.

1. Pemeriksaan serologis test cepat/ rapid test


Pemeriksaan serologis test cepat antibodi S. Typhi saat ini merupakan
diagnostik bantu yang paling banyak dilaporkan dan dikembangkan, mengingat
sebagian besar penderita demam tifoid adalah penduduk negara berkembang dengan
sarana laboratoriumnya terbatas. Alat diagnostik seperti Typhidot dan Tubex
mendeteksi antibodi IgM terhadap antigen spesifik outermembrane protein (OMP)
dan O9 lipopolisakarida dari S. Typhi. Telah banyakpenelitian yang membuktikan
bahwa pemeriksaan ini memiliki sensitivitas spesifisitas hampir 100% pada pasien
demam tifoid dengan biakan darah positif S. Typhi. Pemeriksaan antibodi IgM
terhadap antigen O9 lipopolisakarida S. Typhi (Tubex)R dan IgM terhadap S. Typhi
(Typhidot)R memiliki sensitivitas dan spesifisitas berkisar 70% dan 80%. Studi meta
analisis di 2015 menunjukkan bahwa Tubex TF memiliki sensitivitas 69% dan
spesifisitas 88%. Rapid Diagnostic Test (RDT) Tubex dan Typhidot tidak
direkomendasi sebagai uji diagnosis cepat tunggal, pemeriksaan kultur darah dan
teknik molekuler tetap merupakan baku emas. Hari pemeriksaan terbaik adalah pada
anak dengan demam ≥5 hari. Penelitian di Palembang (2014), menunjukan bahwa
pemeriksaan Tubex-TF untuk deteksi antibodi IgM S. Typhi pada anak demam hari

32
ke-4 dengan nested PCR positif S. Typhi mendapatkan sensitivitas 63% dan
spesifisitas 69%, nilai duga positif 43% dan nilai duga negatif 83%, sehingga
pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada anak dengan demam < 5 hari.
Pemeriksaan serologi dengan nilai ≥ 6 dianggap sebagai positif kuat. Namun,
interpretasi hasil serologi yang positif harus berhati-hati pada kasus tersangka demam
tifoid yang tinggal di daerah endemis. IgM anti Salmonella dapat bertahan sampai 3
bulan dalam darah. Positif palsu pada pemeriksaan TUBEX bisa terjadi pada pasien
dengan infeksi SalmonellaEnteridis, sedangkan hasil negatif palsu didapatkan bila
pemeriksaandilakukan terlalu cepat.Perkembangan ilmu pengetahuan dalam
pemeriksaan serologis demam tifoid masih terus berkembang, antara lain dari
spesimen urin dan saliva. 21

2. Pemeriksaan Widal
Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O dan H dari S.
Typhi dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan Widal memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang rendah, sehingga penggunaannya sebagai satu-
satunya pemeriksaan penunjang di daerah endemis dapat mengakibatkan
overdiagnosis. Pada umumnya antibodi O meningkat di hari ke-6-8 dan antibodi H
hari ke 10-12 sejak awal penyakit.20,21
Interpretasi pemeriksaan Widal harus dilakukan secara hati-hati karena
dipengaruhi beberapa faktor yaitu stadium penyakit, pemberian antibiotik, teknik
laboratorium, endemisitas dan riwayat imunisasi demam tifoid. Sensitifitas dan
spesifisitas Widal rendah tergantung, kualitas antigen yang digunakan, bahkan dapat
memberikan hasil negatif hingga 30% dari sampel biakan positif demam tifoid.7,8
Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 69%, spesifisitas 83%.17 Hasil pemeriksaan
Widal positif palsu dapat terjadi oleh karena reaksi silang dengan non-typhoidal
Salmonella, infeksi bakteri enterobacteriaceae lain, infeksi dengue dan malaria,
riwayat imunisasi tifoid atau standardisasi reagen yang kurang baik.Hasil negatif
palsu dapat terjadi karena teknik pemeriksaan tidak benar, penggunaan antibiotik
sebelumnya, atau produksi antibodi tidak adekuat.20,21

33
Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali saja tidak mempunyai arti
penting dan sebaiknya dihindari. Diagnosis demam tifoid baru dapat ditegakkan jika
pada ulangan pemeriksaan Widal selang 1-2 minggu terdapat kenaikan titer
agglutinin O sebesar 4 kali. Uji Widal memiliki beberapa keterbatasan sehingga tidak
dapat dipercaya sebagai uji diagnostik tunggal.20,21

d. Pemeriksaan hematologi
Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik. Leukopeni
sering dijumpai namun bisa terjadi leukositosis pada keadaan adanya penyulit
misalnya perforasi. Trombositopenia dapat terjadi, namun bersifat reversibel.
Anemia pada demam tifoid dapat disebabkan depresi sumsum tulang dan perdarahan
intra intestinal. Pada hitung jenis dapat ditemukan aneosinofilia dan limfositosis
relatif.20,21

Penatalaksanaan Demam Tifoid


a. Antibiotik
Antibiotik merupakan terapi utama pada demam tifoid, karena pada dasarnya
patogenesis infeksi Salmonella Typhi berhubungan dengan keadaan bakterimia.
Pemberian terapi antibiotik demam tifoid pada anak akan mengurangi komplikasi
dan angka kematian, memperpendek perjalan penyakit serta memperbaiki gambaran
klinis salah satunya terjadi penurunan demam. Namun demikian pemberian
antibiotik dapat menimbulkan drug induce fever, yaitu demam yang timbul
bersamaan dengan pemberian terapi antibiotik dengan catatan tidak ada penyebab
demam yang lain seperti adanya luka, rangsangan infeksi, trauma dan lain-
lain.Demam akan hilang ketika terapi antibiotik yang digunakan tersebut dihentikan.
Kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama pada terapi demam tifoid, hal ini
dapat dibenarkan apabila sensitivitas Salmonella Typhi masih tinggi terhadap obat
tersebut. Tetapi penelitian-penelitian yang dilakukan dewasa ini sudah menemukan
strain Salmonella Typhi yang sensitivitasnya berkurang terhadap
kloramfenikol,untuk itu antibiotik lain seperti seftriakson, ampisilin, kotrimoksasol

34
atau sefotaksim dapat digunakan sebagai pilihan terapi demam tifoid. 15
 Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan antibiotik lini pertama terapi demam tifoid yang bersifat
bakteriostatik namun pada konsentrasi tinggi dapat bersifat bakterisid terhadap
kuman- kuman tertentu serta berspektrum luas. Dapat digunakan untuk terapi
bakteri gram positif maupun negatif. Kloramfenikol terikat pada ribosom subunit
50s serta menghambat sintesa bakteri sehingga ikatan peptida tidak terbentuk pada
proses sintesis protein kuman.Sedangkan mekanisme resistensi antibiotik ini terjadi
melalui inaktivasi obat oleh asetil transferase yang diperantarai faktor-R.Masa paruh
eliminasinya pada bayi berumur kurang dari 2 minggu sekitar 24 jam. Dosis untuk
terapi demam tifoid pada anak 50-100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis.Lama
terapi 8-10hari etelah suhu tubuh kembali normal atau 5-7 hari setelah suhu
turun.Sedangkan dosis terapi untuk bayi 25-50mg/kgBB.
 Seftriakson
Seftriakson merupakan terapi lini kedua pada kasus demam tifoid dimana bakteri
Salmonella Typhi sudah resisten terhadap berbagai obat. Antibiotik ini memiliki
sifat bakterisid dan memiliki mekanisme kerja sama seperti antibiotik betalaktam
lainnya, yaitu menghambat sintesis dinding sel mikroba, yang dihambat ialah reaksi
transpeptidase dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel. Dosis terapi
intravena untuk anak 50-100 mg/kg/jam dalam 2 dosis, sedangkan untuk bayi dosis
tunggal 50mg/kg/jam.
 Ampisilin
Ampisilin memiliki mekanisme kerja menghambat pembentukan mukopeptida yang
diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba.Pada mikroba yang sensitif, ampisilin
akan menghasilkan efek bakterisid. Dosis ampisilin tergantung dari beratnya
penyakit, fungsi ginjal dan umur pasien.Untuk anak dengan berat badan <20 kg
diberikan per oral 50-100 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis, IM 100-200 mg/kg/BB/hari
dalam 4 dosis. Bayi yang berumur <7 hari diberi 50 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis,
sedangkan yang berumur >7 hari diberi 75 mg/kgBB/hari dalam 3dosis.

35
 Kotrimoksasol
Kotrimoksasol merupakan antibiotik kombinasi antara trimetoprim dan
sulfametoksasol, dimana kombinasi ini memberikan efek sinergis. Trimetoprim dan
sulfametoksasol menghambat reaksi enzimatik obligat pada mikroba.
Sulfametoksasol menghambat masuknya molekul P- Amino Benzoic Acid (PABA)
ke dalam molekul asam folat, sedangkan trimetoprim menghambat enzim
dihidrofolat reduktase mikroba secara selektif. Frekuensi terjadinya resistensi
terhadap kotrimoksasol lebih rendah daripada masing-masing obat, karena mikroba
yang resisten terhadap salah satu komponen antibiotik masih peka terhadap
komponen lainnya.Dosis yang dianjurkan untuk anak ialah trimetoprim 8
mg/kgBB/hari dan sulfametoksasol 40 mg/kgBB/hari diberikan dalam 2 dosis.
 Sefotaksim
Sefotaksim merupakan antibiotik yang sangat aktif terhadap berbagai kuman gram
positif maupun gram negatif aerobik.Obat ini termasuk dalam antibiotik betalaktam,
di mana memiliki mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel mikroba.
Mekanisme penghambatannya melalui reaksi transpeptidase dalam rangkaian reaksi
pembentukan dinding sel. Dosis terapi intravena yang dianjurkan untuk anak ialah
50 – 200 mg/kg/h dalam 4 – 6 dosis.Sedangkan untuk neonatus 100 mg/kg/h dalam
2 dosis.

b. Bedah
Tindakan bedah diperlukan pada penyulit perforasi usus

c. Suportif
- Tirahbaring
- Kebutuhan cairan dan kalord cukup.

36
Indikasi rawat
Demam tifoid berat harus dirawat inap di rumah sakit.
- Cairan dan kalori
- Terutama pada demam tinggi, muntah atau diare, bila perlu asupan cairan dan
kalori diberikan melalui sonde lambung
- Penuhi kebutuhan volume cairan intravascular dan jaringan
- Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik
- Pertahankan oksigenasi jaringan,bila perlu berikanO2
- Pelihara keadaan nutrisi
- Antipiretik, diberikan apabila demam >39, kecuali pada pasien dengan riwayat
kejang demam dapat diberikan lebih awal
- Diet
- Makanan tidak berserat dan mudah dicerna
- Setelah demam reda, dapat segera diberikan makanan yang lebih padat dengan
kalori cukup
- Transfusi darah : kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna dan
perforasi usus.

Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu2,3 :
 Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita
mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat
perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam.

b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu
ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam tifoid

37
dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan
bawah yang kemudian meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi
cepat, tekanan darah turun dan bahkan sampai syok.

 Komplikasi Ekstraintestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis),
miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koagulasi
intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
c. Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis
d. Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis
e. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
f. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis
g. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis, polineuritis
perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.

38
BAB 4

PEMBAHASAN

4.1 Anamnesis

Teori Kasus

Dalam anamnesis harus diperhatikan:  Pasien laki laki atas nama


AI usia 1 tahun 3 bulan,
a. Umur
alamat di Jalan dokter
Pada anak di bawah enam tahun
sutomo samarinda.
sering menderita infeksi saluran
 Demam 11 hari
kemih (ISK), infeksi fokal
 Demam timbul setelah
(abses, osteomielitis), dan
pasien diare selama 4 hari
juvenile rheumatoid arthtritis
dengan BAB cair dengan
(JRA). Sedangkan pada anak
ampas dan lendir serta
yang lebih besar sering
berbau busuk, demam
menderita tuberkulosis, radang
naik turun dengan pola
usus besar, penyakit autoimun
demam meningkat pada
dan keganasan.
sore hingga malam hari
b. Karakteristik demam dan menurun sejak pagi
Demam intermitten terdapat pada hingga siang hari.
infeksi piogenik, tuberkulosis,  Demam terkadang turun
limfoma dan JRA, sedangkan setelah diberi obat
demam yang terus-menerus penurun panas.
dapat terjadi pada demam tifoid.  Pasien juga mengeluhkan
Demam yang relaps dijumpai mual dan muntah tiap
pada malaria, rat-bite fever, kali makan dan minum
infeksi borelia dan kegananasan.  Pasien terlihat lemas dan
Demam yang rekurens lebih dari penurunan nafsu makan.
satu tahun lamanya mengarah
 Pasien juga kuning pada
pada kelainan metabolik, SSP,
mata dan wajahnya
atau kelainan pada pusat
selama 4 hari dikarenakan
pengontrol temperatur dan bilirubin pasien naik.
defisiensi imun.  Ibu pasien menyangkal
terdapat kejang,
c. Data epidemiologi
penurunan kesadaran,
Riwayat pergi ke daerah tertentu
mimisan, sesak nafas,
perlu ditanyakan, demikian pula
menangis saat buang air
latar belakang genetik pasien
kecil, kemerahan pada
perlu diketahui serta terpaparnya
kulit anggota gerak dan
pasien dengan obat (salisilism).
tubuh, serta perdarahan
spontan.

4.2 Pemeriksaan Fisik

Teori Kasus

Adanya artralgia, artritis, mialgia atau sakit Tanda-tanda vital


pada anggota gerak mengarah pada penyakit Tekanan darah: 100/70 mmHg
vaskular-kolagen. Frekuensi nadi: 115 x/menit, regular,
kuat angkat
Apabila ditemukan kelainan bunyi jantung
Frekuensi nafas: 22 x/menit, regular
harus dipikirkan endokarditis, gejala
Suhu: 36.0 oC, aksiler ( malam), 36.1
gastrointestinal seperti nyeri perut, adanya
( pagi saat pemeriksaan)
darah pada tinja, diare atau kehilangan berat
badan mengarah pada inflamasi di usus
Status gizi
besar. Nyeri perut atau adanya massa
Berat badan : 10 kg
mungkin timbul menyertai ruptur apendiks.
Panjang badan : 86 cm
Ikterus mengarah kepada hepatitis,
LILA : 15 cm
sedangkan ruam menunjukkan penyakit
LK : 42 cm
vaskular-kolagen, keganasan atau infeksi.
LP : 45 cm
Faringitis, tonsilitis atau abses peritonsil
dapat disebabkan oleh bakteri atau infeksi
Regio Kepala/Leher
mononukleosis, CMV, atau leptospirosis.
Konjungtiva anemis (-/-), sklera

40
ikterik (-/-), sianosis (-)

Regio Thorax
Inspeksi : Bentuk dada
normal, pergerakan dinding dada
simetris dekstra = sinistra, retraksi
intercosta (-), suprasternal dan
supraklavikula (-), nafas cuping
hidung (-), nafas tampak cepat (-)
Palpasi : Pergerakan
nafas simetris dekstra = sinistra
Perkusi : sonor seluruh
lapangan paru, redup jantung (+)
Auskultasi : Vesikuler
(+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-),
suara jantung S1S2 tunggal, regular,
murmur (-), gallop (-).

Regio Abdomen
Inspeksi : Perut tampak
datar (+)
Auskultasi : Peristaltik usus
(+)
Perkusi : Timpani empat
kuadran (+)
Palpasi : Soefl, nyeri
tekan (-), hepatomegali (-),
splenomegali (-)

Regio Ekstremitas
Inspeksi :
Ruam/petekie pada daerah pipi (-)

41
Palpasi : Akral hangat,
nadi teraba cukup, sianosis
perifer (-), edema(-), CRT <2
detik.

4.3 Penatalaksanaan

Teori Kasus

c. Antibiotik  IVFD D5 ¼ NS 1000 cc/24


Antibiotik merupakan terapi utama pada jam
demam tifoid, karena pada dasarnya  Inj Ceftriaxone 2 kali 300
patogenesis infeksi Salmonella Typhi mg/iv
berhubungan dengan keadaan  Inj Gentamisin 1 kali 45
bakterimia.Pemberian terapi antibiotik mg/iv
demam tifoid pada anak akan mengurangi  Paracetamol 4 kali 1 Cth
komplikasi dan angka kematian,
memperpendek perjalan penyakit serta
memperbaiki gambaran klinis salah
satunya terjadi penurunan demam.Namun
demikian pemberian antibiotik dapat
menimbulkan drug induce fever, yaitu
demam yang timbul bersamaan dengan
pemberian terapi antibiotik dengan catatan
tidak ada penyebab demam yang lain
seperti adanya luka, rangsangan infeksi,
trauma dan lain- lain.Demam akan hilang
ketika terapi antibiotik yang digunakan
tersebut dihentikan.Kloramfenikol masih
merupakan pilihan pertama pada terapi
demam tifoid, hal ini dapat dibenarkan

42
apabila sensitivitas Salmonella Typhi masih
tinggi terhadap obat tersebut.Tetapi
penelitian-penelitian yang dilakukan
dewasa ini sudah menemukan strain
Salmonella Typhi yang sensitivitasnya
berkurang terhadap kloramfenikol,untuk itu
antibiotik lain seperti seftriakson,
ampisilin, kotrimoksasol atau sefotaksim
dapat digunakan sebagai pilihan terapi
demam tifoid. 15
 Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan antibiotik lini
pertama terapi demam tifoid yang bersifat
bakteriostatik namun pada konsentrasi
tinggi dapat bersifat bakterisid terhadap
kuman- kuman tertentu serta berspektrum
luas.
 Seftriakson
Seftriakson merupakan terapi lini kedua
pada kasus demam tifoid dimana bakteri
Salmonella Typhi sudah resisten terhadap
berbagai obat.
 Ampisilin
Ampisilin memiliki mekanisme kerja
menghambat pembentukan mukopeptida
yang diperlukan untuk sintesis dinding sel
mikroba..
 Kotrimoksasol
Kotrimoksasol merupakan antibiotik
kombinasi antara trimetoprim dan
sulfametoksasol, dimana kombinasi ini
memberikan efek sinergis.

43
 Sefotaksim
Sefotaksim merupakan antibiotik yang
sangat aktif terhadap berbagai kuman gram
positif maupun gram negatif aerobik.
Bedah
Tindakan bedah diperlukan pada penyulit
perforasi usus
Suportif
- Tirahbaring
- Kebutuhan cairan dan kalorid
dicukupi

44
BAB 5

KESIMPULAN

Telah dilakukan pemeriksaan pada pasien laki lakiAn. AI usia 1 tahun 3


bulan dengan diagnosis awal prolonged fever. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang didapatkan penegakan diagnosis kearah demam typhoid
dan penatalaksanaan yang telah diberikan sesuai dengan literatur yang
mendukung kasus tersebut.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Bakry B A, Tumbelaka A R, Chair I. Etiologi dan Karakteristik Demam


Berkepanjangan Pada Anak di RSCM Jakarta. 2008. Jakarta:Sari Pediatri;
Vol 10
2. Latupeirissa D. Demam berkepanjangan pada anak di RSUP Fatmawati tahun
2008-2010. 2012. Jakarta: Sari Pediatri; vol 14

3. Hymes SR.Fever without Focus. Available from


https://emedicine.medscape.com/article/970788-treatment Updated: Nov 07,
2016

4. Soedarmo SSP, et al. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Keempat.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Jakarta.2014.h.21-55.

5. Kim YS et al. Etiology and clinical characteristics of fever of unknown origin


in children: a 15-year experience in a single center. Korean Journal of
Pediatric. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5383636/ Published online
2017 Mar 27

6. Hegar B et al. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Jilid
1. 2010.Jakarta: IDAI

7. Initial guidelines for prolonged fever in children [Pediatrics Classics Series]


available from: https://www.2minutemedicine.com/initial-guidelines-for-
prolonged-fever-in-children-pediatric-classics-series/

8. Gustawan I W, Tarin A. Pola kuman dan sensitivitas antibiotik kasus demam


berkepanjangan pada pasien anak yang di rawat di bagian anak RSUP sanglah
Denpasar. Jurnal ilmiah kedokteran Medicina [S.l.], v. 45, n. 1, jan. 2015.
ISSN 2540-8321. Available from:
https://ojs.unud.ac.id/index.php/medicina/article/view/13271.

9. Behrman RE, Kliegman R, Jenson HB. Nelson textbook of pediatrics. 17th ed.
2004. Philadelphia:W.B Saunders

10. Gompf SG. Fever of Unknown Origin. Available from


https://emedicine.medscape.com/article/217675-treatment#showall Updated:
Mar 01, 2018

11. WHO Indonesia. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah


Sakit.2009. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia

12. Cunha BA, Lortholary O, Cunha CB. Fever of Unknown Origin: A Clinical
Approach. The American Journal of Medicine (2015). 128, 1138.e1-1138.e15

46
13. IDAI. Penanganan Demam Pada Anak. Available from:
http://www.idai.or.id/artikel/klinik/keluhan-anak/penanganan-demam-pada-
anak . Update 15.04.2014

14. Date, K. A., Bentsi-Enchill, A., Fox, K. K., Abeysinghe, N., Mintz, E. D.,
Khan, M. I., Sahastrabuddhe, S., Hyde, T. B., 2014. Typhoid Fever
Surveillance and Vaccine Use South-East Asia and Western Pacific Regions,
2009 - 2013. morbidity and mortality week report, Vol 63(2), pp. 855-860.

15. Soedarmo, S. S. P., Garna, H., Hadinegoro, S. R. S., Satari, H. I., 2015. Buku
Ajar Infeksi dan pediatri Tropis. Edisi 2. Jakarta: badan penerbit IDAI.

16. Widodo, D., 2015. Demam Tifoid. In: Siti, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna Publishing, pp. 549-558.

17. Ochiai, R., Acosta, C. J., Baiqing, D., Bhutta, Z. A., Clemens, J. D., Farrar, J.,
2008. A Study of Typhoid Fever in Five Asian Countries: Disease Burden and
Implications for Control. bulletin of the world health organization, Vol 86(4),
pp. 260-68.

18. Depkes RI, 2008. Laporan Nasional RISKESDAS 2007.


http://www.depkes.go.id

19. Retnosari, S. & Tumbelaka, A. R., 2000. Pendekatan Diagnostik Serologik


dan Pelacak Antigen Salmonella typhi. Sari Pediatri, Vol 2(2), pp. 90-95.

20. Ahmad, S., Banu, F., Kanodia, P., Bora, R., Ranhotra, A., 2016. Evaluation Of
Clinical and Laboratory Profile of Typhoid Fever in Nepalese Children - A
Hospital - Based Study. International Journal of Medical Pediatrics and
Oncology, Vol 2(2), pp. 60-66.

21. IDAI. (2016). Rekomendasi IDAI mengenai Pemeriksaan Penunjang


Diagnostik Demam Tifoid. REKOMENDASI No.018/Rek/PP IDAI/VII/2016.

22. KEMENKES. (2008). Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Keputusan


Menteri Kesehatan Republik Indonesia NOMOR 364/MENKES/SK/V/2008.

47
48

Anda mungkin juga menyukai