Dokter Wiliam Saka Dan Fortra
Dokter Wiliam Saka Dan Fortra
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
Prolonged Fever
Disusun oleh
Fortragina Tarakondiorie Cahyasit
I Wayan Saka Wibawa
Pembimbing
dr. William S. Tjeng, Sp. A
1
LEMBAR PERSETUJUAN
TUTORIAL
Prolonged Fever
Oleh :
Pembimbing
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2019
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Tutorial tentang “Prolonged Fever”.
Tutorial ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu
Kesehatan Anak Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih kepada :
1. dr. Ika Fikriah, M. Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp. THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. A Wisnu W, Sp. A, selaku Kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. William S. Tjeng, Sp. A selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan saran selama penulis menjalani co-assistance di Laboratorium
Ilmu Kesehatan Anak.
5. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD AWS/FK
Universitas Mulawarman.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam penulisan, sehingga
penyusun mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnan tutorial klinik ini.
Akhir kata, semoga tutorial klinik ini berguna bagi penyusun sendiri dan para
pembaca.
Penyusun
3
BAB 1
PENDAHULUAN
4
BAB 2
RESUME KASUS
2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 15 Oktober 2019 di ruang melati.
Anamnesis dilakukan dengan cara heteroanamnesis dengan ibu kandung pasien.
6
2.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama dan tidak pernah
masuk rumah sakit sebelumnya, alergi (-).
7
2.2.7 Riwayat Kelahiran
Lahir di : Rumah Sakit
Usia kehamilan : Aterm (9 bulan)
Persalinan ditolong oleh : Dokter
Jenis partus :Spontan
BCG 1 bulan - - - - -
Campak - - - 9 bulan - -
Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Frekuensi nadi : 115 x/menit, regular, kuat angkat
Frekuensi nafas : 22 x/menit, regular
Suhu : 36.0 oC, aksiler ( malam)
36.1 ( pagi saat pemeriksaan)
Status gizi
Berat badan : 10 kg
8
Panjang badan : 86 cm
LILA : 15 cm
LK : 42 cm
LP : 45 cm
Regio Kepala/Leher
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), sianosis (-)
Regio Thorax
Inspeksi : Bentuk dada normal, pergerakan dinding dada simetris
dekstra = sinistra, retraksi intercosta (-), suprasternal dan
supraklavikula (-), nafas cuping hidung (-), nafas tampak
cepat (-)
Palpasi : Pergerakan nafas simetris dekstra = sinistra
Perkusi : sonor seluruh lapangan paru, redup jantung (+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-), suara jantung
S1S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-).
Regio Abdomen
Inspeksi : Perut tampak datar (+)
Auskultasi : Peristaltik usus (+)
Perkusi : Timpani empat kuadran (+)
Palpasi : Soefl, nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-)
Regio Ekstremitas
Inspeksi : Ruam/petekie pada daerah pipi (-)
Palpasi : Akral hangat, nadi teraba cukup, sianosis perifer (-),
edema(-), CRT <2 detik.
9
2.5 Pemeriksaan Penunjang
10
kejernihan Jernih jernih
ph 7 4.8-7.8
Sel epitel + sedikit
leukosit 1-2 0-1
eritrosit 0-1 0-1
silinder - -
Bekteri - -
Jamur - -
11
2.6 Diagnosis
Prolonged fever post GEA et causa typhoid
2.7 Tatalaksana
IVFD D5 ¼ NS 1000 cc/24 jam
Inj Ceftriaxone 2 kali 300 mg/iv
Inj Gentamisin 1 kali 45 mg/iv
Paracetamol 4 kali 1 Cth
2.8 Follow up
Tanggal Pemeriksaan Terapi
Senin, S: demam (-), muntah (-), BAB cair (-), IVFD D5 ¼ NS
14/10/2019 Objective: 1000 cc/24 jam
Kes: CM, tamapk sakit sedang Inj Ceftriaxone 2
TD = 100/70, N = 110x/menit, T : kali 300 mg/iv
35.6 Inj Gentamisin 1
Kepala : anemis (-/-), ikterus (-/-), kali 45 mg/iv
sianosis (-/-) Paracetamol 4
Thoraks : vesikuler (+/+), wheezing kali 1 Cth
(-/-), ronki (-/-), S1S2 tunggal
reguler, murmur (-) Cek HDT, kultur urin,
Abdomen : soefl, nyeri tekan(-) urinalisa, tubex, PRC dan
Eks : akral hangat, CRT <2 detik procalsitonin
12
36,5 Cth
Kepala : anemis (-/-), ikterus (-/-),
sianosis (-/-)
Thoraks : vesikuler (+/+), wheezing
(-/-), ronki (-/-), S1S2 tunggal
reguler, murmur (-)
Abdomen : soefl, nyeri tekan(-)
Eks : akral hangat, CRT <2 detik
13
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Etiologi
Tiga penyebab terbanyak demam persisten berkepanjangan yaitu penyakit
infeksi, penyakit kolagen-vaskular, dan keganasan.1,2,5,7,8 Kesulitan mencari penyebab
demam berkepanjangan disebabkan oleh banyak faktor. Terdapat lebih kurang 200
penyebab demam berkepanjangan yang menimbulkan kesulitan mendiagnosis
etiologi demam berkepanjangan dalam waktu singkat.Pencarian penyebab terkadang
dihubungkan dengan keadaan geografis tempat pasien tinggal, anamnesis yang
kurang lengkap, dan pemeriksaan fisik yang kurang teliti sehingga hal penting yang
seharusnya dapat mendukung diagnosis tidak ditemukan.
3.2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat demam menyumbang 10-20% kunjungan anak sakit
pada layanan kesehatan. Tidak terdapat perbedaan ras dan jenis kelamin dalam
insiden demam.3 Di Indonesia sendiri, demam pada anak merupakan 15% dari
kunjungan pasien di poliklinik dan 10% pasien Unit Gawat Darurat. Sebagian besar
anak berusia dibawah tiga tahun. Penyebab demam diidentifikasi berdasarkan
anamnesa dan pemeriksaan fisik.
14
Demam pada anak umumnya berasal dari virus dan dapat sembuh sendiri,
hanya beberapa berasal dari infeksi bakteri serius, seperti meningitis, bakterinemia,
pneumonia, infeksi saluran kemih, enteritis bakteri, infeksi tulang dan sendi.6
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui angka kejadian, penyebab
serta karakteristik demam berkepanjangan pada anak, namun data tentang angka
kejadian terutama penyebabnya di Indonesia masih kurang.
3.3 Patofisiologi
Pirogen endogen yang dihasilkan oleh sel monosit, makrofag dan sel tertentu
lainnya secara langsung atau dengan perantaraan pembuluh limfe masuk sistem
sirkulasi dan dibawa ke hipotalamus. Di dalam pusat pengendalian suhu tubuh
pirogen endogen menimbulkan perubahan metabolik, antara lain sintesis
prostaglandin E2 (PGE2) yang mempengaruhi pusat pengendalian suhu tubuh
sehingga sel point untuk suhu tersebut ditingkatkan untuk suatu suhu tubuh yang
lebih tinggi. Pusat ini kemudian mengirimkan impuls ke pusat produksi panas untuk
meningkatkan aktivitasnya dan ke pusat pelepasan panas untuk mengurangi
aktivitasnya sehingga suhu tubuh meningkat atau terjadi demam. 4
15
3.4 Diagnosis
1. Anamnesis.
Dalam anamnesis harus diperhatikan:
a. Umur
Pada anak di bawah enam tahun sering menderita infeksi saluran kemih
(ISK), infeksi fokal (abses, osteomielitis), dan juvenile rheumatoid
arthtritis (JRA). Sedangkan pada anak yang lebih besar sering menderita
tuberkulosis, radang usus besar, penyakit autoimun dan keganasan.
b. Karakteristik demam
Saat timbul, lama dan pola/tipe dan gejala non-spesifik seperti anoreksia,
rasa lelah, menggigil, nyeri kepala, nyeri perut ringan dapat membantu
diagnosis. Pola demam dapat membantu diagnosis, demam intermitten
terdapat pada infeksi piogenik, tuberkulosis, limfoma dan JRA, sedangkan
demam yang terus-menerus dapat terjadi pada demam tifoid. Demam yang
relaps dijumpai pada malaria, rat-bite fever, infeksi borelia dan
kegananasan. Demam yang rekurens lebih dari satu tahun lamanya
mengarah pada kelainan metabolik, SSP, atau kelainan pada pusat
pengontrol temperatur dan defisiensi imun.
c. Data epidemiologi
Riwayat kontak dengan binatang (anjing, kucing, burung, tikus) atau pergi
ke daerah tertentu perlu ditanyakan, demikian pula latar belakang genetik
pasien perlu diketahui serta terpaparnya pasien dengan obat (salisilism).4
2. Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik tidak hanya dilakukan pada hari pertama, tetapi
sebaiknya diulang sampai diagnosis dapat ditegakkan. Pembesaran kelenjar
16
getah bening dapat timbul akibat proses infeksi lokal, sedangkan pembesaran
kelenjar getah bening umum mungkin disebabkan infeksi sistemik meliputi
keganasan dan berbagai proses inflamasi. Adanya artralgia, artritis, mialgia
atau sakit pada anggota gerak mengarah pada penyakit vaskular-kolagen.
3. Pemeriksaan Penunjang4,5
Untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding
demam berkepanjangan, diperlukan pemeriksaan penunjang dengan
mempertimbangkan dugaan etiologi berdasarkan usia, iklim, epidemiologi,
dan faktor pejamu. Sebaiknya dilakukan secara bertahap dan tidak serentak
dan disesuaikan dengan derajat penyakit pasien.
17
Uji fungsi hati
Tahap II Pemeriksaan uji serologic terhadap : salmonella, toksoplasma,
leptospira, mononucleosis, CMV, histoplasma
USG abdomen, CT-scan kepala
Tahap III Aspirasi sumsum tulang
Pielografi intravena
Foto sinus paranasal
Antinuclear antibody
Barium enema
Limfangiogram
Biopsi hati
Bila anak tampak sakit berat, diagnosis harus dilakukan dengan cepat, tetapi
bila penyakit lebih kronik, pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan secara
bertahap. Pemeriksaan awal dan rutin meliputi darah tepi lengkap, termasuk hitung
jenis, trombosit, feses lengkap dan urinalisis, uji tuberkulin, laju endap darah, biakan
darah, biakan urin, kalau perlu dilakukan hapusan tenggorok.
18
Pemeriksaan foto thorax dapat dilakukan untuk semua pasien sedangkan foto
mastoid dan sinus nasalis serta traktus gastronintestinal dilakukan atas indikasi
tertentu. Uji untuk HIV she arusnya dilakukan untuk semua pasien. Uji serologi dapat
dilakukan untuk shigelosis, salmonelosis, bruselosis, tularemia, infeksi
mononukleosis, CMV, toksoplasmosis dan beberapa infeksi jamur. CT-scan
membantu identifikasi lesi di kepala, leher, dada, rongga peritoneum, hati, limpa,
KGB intraabdominal dan intrathorax, ginjal, pelvis dan mediastinum. CT-scan atau
USG membantu dalam melakukan biopsi atau aspirasi.4
Keterangan tambahan:
Urinalisis
Menghilangkan diagnosis ISK dan tumor dari traktus urinarius
Kultur
o Kultur darah untuk patogen aerobik dan non-aerobik,
o Kultur urin,
19
o Kultur sputum dan feses: dapat membantu keberadaan
penyakit paru maupun gastrointestinal.
o Kultur untuk bakteri, mikobakteria, dan jamur pada jaringan
dan cairan steril; seperti dari cairan serebrospinal, cairan
pleura, cairan peritoneal, hepar, sumsum tulang, dan nodus
limfe.
Serologi
Merupakan tes yang paling membantu jika sampel menunjukkan hasil
yang signifikan, seperti adanya antibodi spesifik terhadap
mikroorganisme infeksi. Contoh penyakit yang dapat ditegakkan
dari pemeriksaan serologi adalah Brucellosis, infeksi CMV, infeksi
mononucleosis EBV, infeksi HIV, amebiasis,
toxoplasmosis, danklamidia. Kadar serum ferritin berguna untuk kasus
demam berkepanjangan akibat keganasan, dan SLE. Pemeriksaan titer
antibodi antinuklear (ANA), faktor rheumatologi, kadartiroksin, dan
LED karena sangat membantu dalam mendiagnosis kondisitertentu
yaitu lupus, RA, tiroiditis, hipertiroidisme
1. Infeksi bakteri
a. ISK
Keluhan :Mual, muntah, demam, nyeri perut, gangguan berkemih.
Laboratorium: Pada urin pancar tengah terdapat jumlah kuman ≥ 105 cfu per
mL urin, kuman > 104 cfu/mL dengan urine bag dan satu kuman pada aspirasi
supra pubik.
b. Sepsis ( SIRS (≥ 2dari suhu >38°C (100.4°F) atau < 36°C (96.8°F), nadi>90,
RR>20, Leukosit > 12,000/mm³, < 4,000/mm³) dengan sumber infeksi)
20
c. Enteric fever (Demam, gangguan Gastrointestinal, Pada PF hepatomegali
atau splenomegali. Pada labaoratorium leucopenia dengan IgM/IgG
salmonella typhi positif)
d. Tuberkulosis (Scoring TB>=6)
e. Endokarditis (Duke criteria)
f. Pneumonia
Batuk, demam, napas cepat,adanya leukositosis, pemeriksaan rontgen thorax
adanya infiltrate, air broncogram.
g. Pyelonefiris
2. Infeksi Parasit
a. Malaria
b. Toxoplasmosis
3. Penyakit kolagen
a. Juvenile rheumatoid arthritis
b. Systemic lupus erythematosus
4. Neoplasma
a. Hodgkin’s disease c. Leukimia mieloblastik akut
b. Leukimia limfoblastik akut d. Limfoma
5. Penyakit lain
a. Demam obat
b. Tirotoksikosis
c. Hypothalamic central fever
3.6. Penatalaksanaan3,4,8,10,11
Secara umum, perawatan harus diarahkan kepada etiologi yang mendasari, sesuai
kebutuhan, setelah diagnosis dibuat. Jika penyebab pasti belum dapat ditentukan,
beberapa penelitian menyarankan pengecualian terhadap pendekatan umum ini,
seperti:
21
a. Kasus yang memenuhi kriteria untuk endokarditis negatif kultur
b. Kasus di mana temuan klinis menunjukkan TB diseminata (atau, kadang-
kadang, infeksi granulomatosa lainnya)
c. Kasus-kasus dicurigai giant cell arteritis dengan gangguan penglihatan
Pada pasien dengan granuloma hepatik, sekitar 50% pasien sembuh secara
spontan, sementara 50% lainnya memerlukan pengobatan kortikosteroid
(Prednison 1-2mg/kgBB/hari, max 80mg durasi terapi mulai dari
beberapa minggu hingga beberapa tahun).
Pasien dengan giant cell arteritis harus diobati dengan steroid dosis tinggi
(Prednison 1-2mg/kgBB/hari, max 80mg), dan steroid intravena harus
diberikan jika pasien sangat kesakitan atau memiliki gangguan
penglihatan yang signifikan. Hati-hati dalam memonitor pasien, karena
perawatan yang tidak memadai dan toksisitas steroid (misalnya,
hipertensi, diabetes, dispepsia, pengeroposan tulang, psikosis, katarak)
dapat menyebabkan morbiditas yang signifikan.
Pada polymyalgia rheumatica, perawatan terdiri dari perbaikan gejala
dengan terapi steroid (Prednison 1-2mg/kgBB/hari, max 80mg atau
prednisolon 0,1-2mg/kgBB/hari, max 80mg) dan pemantauan ketat.
Ketika obat dicurigai, hentikan obat yang terlibat.
22
a. Untuk anak-anak yang tidak tampak toxic, rekomendasi perawatan adalah
sebagai berikut:
Jadwalkan janji tindak lanjut dalam 24-48 jam dan instruksikan orang tua
untuk kembali bersama anak lebih cepat jika kondisinya memburuk.
Masuk rumah sakit diindikasikan untuk anak-anak yang kondisinya
memburuk atau yang temuan evaluasinya menunjukkan infeksi serius.
b. Untuk anak-anak yang tampak toxic, rekomendasi perawatan adalah sebagai
berikut:
perawatan lebih lanjut; hasil kultur yang tertunda, berikan antibiotik
parenteral. Awalnya berikan ceftriaxone, cefotaxime, atau ampicillin /
sulbaktam (50 mg / kg / dosis).3
Terapi Percobaan
23
parasit malaria atau protozoalain sehingga manifestasi klinisnya menjadi tidak khas
lagi. Hal lain yang penting adalah pemberian kortikosteroid. Kortikosteroid dapat
menghambat respons imun sehingga menganggu hasil uji serologik dan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat (misalnya uji tuberkulin). Dengan menghambat respons
inflamasi dan memberikan perbaikan semu,maka kortikosteroid (Prednison) dapat
menyebabkan infeksi tetap berlangsung dan cenderungmenjadi berat sehingga
mudah terjadi penyulit seperti perforasi dan meluasnya infeksi.4
Pengobatan juga harus segera diberikan apabila keadaan umum pasien sangat
berat dan kritis, tetapi spesimen pemeriksaan harus diambil terlebih dahulu sebelum
pengobatan diberikan. Penting puladiingat bahwa pemberian pengobatan harus
sesuai panduan baik dosis maupun lama pemberian, jangan sekali-kali mengganti
24
antibiotik setiap saat tanpa panduan yang jelas. Bagan suhu merupakan salah satu
alat pemantau terpenting dari awal keberhasilan pengobatan. Pemeriksaan
penunjang lain seperti CRP atau LED dapat dipergunakanuntuk memantau. Untuk
penyakit kolagen, LED atau kadar auto antibodi dapatdipergunakan sebagai alat
pemantau.
Di samping itu, indikator non spesifik seperti perbaikan nafsu makan atau
peningkatan berat badan perlu diperhatikan.Kegagalan pengobatan pada terapi
percobaan ternyata hanya sekitar 5%, seperti yang dilaporkan oleh para penulis.
Separuh kasus tampak mengalami perbaikan klinis,walaupun demam masih
menetap tetapi keadaan umum tidak memburuk, dalam hal demikian penyakit
keganasan seringkali merupakan penyebab demam. Dapat disimpulkan, bahwa
pemeriksaan pada demam tanpa kausa jelas harus dilakukan secara sistematik,
walaupun pada umumnya pengobatan berhasil memuaskan dan jarang berakhir
dengan kegagalan. 4
Terapi simptomatik
Penggunaan obat penurun panas bertujuan untuk menurunkan suhu tubuh dan
membuat anak merasa lebih nyaman, namun tidak efektif untuk mencegah kejang
demam.
25
(non-steroid anti inflammatory drug) yang bekerja menghambat
siklooksigenase-1 dan siklooksigenase-2. Dosis 5-10mg/kgBB/hari
dilaporkan lebih poten dan memiliki efek supresi demam lebih lama
dibandingkan dosis parasetamol. Pemberian ibuprofen pada arthritis
rheumatoid dengan dossi 20-40mg/kgBB/hari. Tatalaksana keracunan
ibuprofen dengan pemberian obat muntah / cuci lambung. Activated charcoal
dan perawatan suportif.4
Tirah baring:
Aktifitas fisik yang tinggi dapat meningkatkan suhu tubuh anak dengan
demam dan tanpa demam. Walaupun demikian, pergerakan anak yang demam selama
aktivitas normal tidak cukup menyebabkan demam. Memaksakan anak demam untuk
tirah baring tidak efektif, tidak disenangi dan mengganggu secara psikologis. Suatu
penelitian kontrol-kasus dari 1082 anak dengan demam, ditemukan bahwa tirah
baring tidak menurunkan suhu secara signifikan.13
26
3.7. Prognosis
Prognosis prolonged fever pada anak lebih baik (dubia ad bonam) daripada
pasien dewasa karena rendahnya frekuensi kasus keganasan. Banyak kasus di mana
diagnosis tak dapat ditegakkan, tetapi demam dapat sembuh secara spontan.
Sebanyak 25% kasus dengan demam yang persisten, penyebab demam masih tetap
tak diketahui meskipun telah melalui evaluasi yang menyeluruh.14,18
Demam Tifoid
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella Typhi. Bakteri Salmonella Typhi berbentuk batang, Gram negatif, tidak
berspora, motil, berflagel, berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 370C,
bersifat fakultatif anaerob dan hidup subur pada media yang mengandung empedu.
Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan dan invasi bakteri sekaligus
multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuclear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus,
dan Peyer’s patch.15,22
Bakteri Salmonella Typhi memiliki beberapa komponen antigen antara lain
antigen dinding sel (O) yang merupakan lipopolisakarida. Antigen flagella (H)
merupakan komponen protein berada dalam flagella. Antigen virulen (Vi)
merupakan polisakarida dan berada di kapsul yang melindungi seluruh permukaan
sel. Salmonella Typhi menghasilkan endotoksin yang merupakan bagian terluar dari
dinding sel, terdiri dari antigen O yang sudah dilepaskan, lipopolisakarida dan lipid
A. Antibodi O, H dan Vi akan membentuk antibodi aglutinin di dalam tubuh. Outer
Membran Protein (OMP) pada Salmonella Typhi merupakan bagian terluar yang
terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel
dengan lingkungan sekitarnya.OMP sebagain besar terdiri dari protein purin,
berperan pada patogenesis demam tifoid dan antigen yang penting dalam
mekanisme respon imun host. OMP berfungsi sebagai barier mengendalikan
masuknya zat dan cairan ke membran sitoplasma selain itu berfungsi sebagai
27
reseptor untuk bakteriofag dan bakteriosin.15,19
Epidemiologi
Demam tifoid terjadi di seluruh dunia, terutama pada negara berkembang dengan
sanitasi yang buruk. Delapan puluh persen kasus tifoid di dunia berasal dari
Banglades, Cina, India, Indonesia, Laos, Nepal, Pakistan. Demam tifoid menginfeksi
setiap tahunnya 21.6 juta orang (3.6/1.000 populasi) dengan angka kematian
200.000/tahun. Insidensi demam tifoid tinggi (>100 kasus per 10.000 populasi per
tahun) dicatat di Asia tengah, Asia selatan, Asia tenggara, Afrika, Amerika Latin, dan
Oceania (kecuali Australia dan Selandia baru) serta yang termasuk rendah (<10 kasus
per 10.000 populasi per tahun) di bagian dunia lainnya.16,17
Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia dengan angka
kejadian yang masih tinggi serta merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
berkaitan dengan kesehatan lingkungan dan sanitasi yang buruk. Prevalensi 91%
kasus demam tifoid terjadi pada usia 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5
tahun.
Patogenesis
Salmonella Typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia. Patogenesis demam
tifoid melibatkan 4 proses mulai dari: (1) penempelan bakteri ke lumen usus, (2)
bakteri bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, (3) bakteri bertahan hidup di
aliran darah, dan (4) bakteri menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan
keluarnya elektrolit dan air ke lumen intestinal.15
Bakteri Salmonella Typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam
tubuh melalui mulut.Pada saat melewati lambung dengan suasanaasam banyak
bakteri yang mati. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus, melekat
pada sel mukosa kemudian menginvasi dan menembus dinding usus tepatnya di
ileum dan yeyunum.Sel M, sel epitel yang melapisi Peyer’s patch merupakan
tempat bertahan hidup dan multiplikasi Salmonella Typhi.15
Bakteri mencapai folikel limfe usus halus menimbulkan tukak pada mukosa
28
usus. Tukak dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Kemudian
mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi
sistemik sampai ke jaringan Reticulo Endothelial System (RES) di organ hati dan
limpa. Setelah periode inkubasi, Salmonella Typhi keluar dari habitatnya melalui
duktus torasikus masuk ke sirkulasi sistemik mencapai hati, limpa, sumsum tulang,
kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Endotoksin merangsang
makrofag di hati, limpa, kelenjar limfoid intestinal dan mesenterika untuk
melepaskan produknya yang secara lokal menyebabkan nekrosis intestinal ataupun
sel hati dan secara sistemik menyebabkan gejala klinis pada demam tifoid.15,16
29
typhi menstimulasi makrofag didalam hati, limfa, folikel limfoma usus halus dan
kelenjar limfe mesentrika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, system vascular yang tidak
stabil, demam, dan menstimulasi system imunologik. 15
Manifestasi Klinis
Gambaran klinis demam tifoid pada anak umur < 5 tahun, khususnya di
bawah 1 tahun lebih sulit diduga karena seringkali tidak khas dan sangat bervariasi.
Masa inkubasi demam tifoid berkisar antara 7-14 hari, namun dapat mencapai 3-30
hari.Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan
tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat.Kemudian
menyusul gejala dan tanda klinis yang biasa ditemukan.15,16
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit.
Demam berlangsung 3 minggu bersifat febris dan suhu tidak terlalu tinggi.Pada
awalnya suhu meningkat secara bertahap menyerupai anak tangga selama 2-7 hari,
lebih tinggi pada sore dan malam hari,tetapi demam bisa pula mendadak
tinggi.Dalam minggu kedua penderita akan terus menetap dalam keadaan demam,
mulai menurun secara tajam pada minggu ketiga dan mencapai normal kembali pada
minggu keempat. Pada penderita bayi mempunyai pola demam yang tidak beraturan,
sedangkan pada anak seringkali disertai menggigil. Pada abdomen mungkin
ditemukan keadaan nyeri, perut kembung, konstipasi dan diare. Konstipasi dapat
merupakan gangguan gastrointestinal awal dan kemudian pada minggu kedua timbul
diare. Selain gejala – gejala yang disebutkan diatas, pada penelitian sebelumnya juga
didapatkan gejala yang lainnya seperti sakit kepala, batuk, lemah dan tidak nafsu
makan. 15,16,17
Tanda klinis yang didapatkan pada anak dengan demam tifoid antara lain
adalah pembesaran beberapa organ yang disertai dengan nyeri perabaan, antara lain
hepatomegali dan splenomegali. Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya
demam adalah nyeri kepala, malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut. Bahkan
dapat pula dijumpai penderita demam tifoid yang datang dengan syok hipovolemik
30
sebagai akibat kurangnya masukan cairan dan makanan. Pasien dapat mengeluh
diare, pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan warna putih ditengah dan
ujung kemerahan. Penderita demam tifoid dapat disertai dengan atau tanpa
gangguan kesadaran.Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak terlalu
dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Selain tanda – tanda klinis yang biasa
ditemukan tersebut,mungkin pula ditemukan gejala lain. Pada punggung dan
anggota gerak dapat ditemukan roseola, yaitu bintik kemerahan karena emboli
dalam kapiler kulit. Penelitian sebelumnya didapatkan data bahwa tanda
organomegali lebih banyak ditemukan tetapi tanda seperti roseola sangat jarang
ditemukan pada anak dengan demam tifoid. 14,15,16
Penegakan Diagnosis
a. Kultur
Sampai saat ini baku emas diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan kultur.
Pemilihan spesimen untuk kultur sebagai penunjang diagnosis pada demam minggu
pertama dan awal minggu kedua adalah darah, karena masih terjadi bakteremia. Hasil
kultur darah positif sekitar 40%-60%. Sedangkan pada minggu kedua dan ketiga
spesimen sebaiknya diambil dari kultur tinja (sensitivitas <50%) dan urin (sensitivitas
20-30%). Sampel biakan sumsum tulang lebih sensitif, sensitivitas pada minggu
pertama 90% namun invasif dan sulit dilakukan dalam praktek.21
b. Pemeriksaan PCR
Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. Typhi hanya membutuhkan waktu
kurang dari 8 jam, dan memiliki sensitivitas yang tinggi sehingga lebih unggul
dibanding pemeriksaan biakan darah biasa yang membutuhkan waktu 5–7 hari.In-
flagelin PCR terhadap S. Typhi memiliki sensitivitas 93,58% dan spesifisitas
87,9%.Pemeriksaan nestedpolymerase chain reaction (PCR) menggunakan primer
H1-d dapat digunakanuntuk mengamplifikasi genspesifik S. typhi dari darah pasien
dan merupakan pemeriksaan diagnostik cepat yang menjanjikan.Pemeriksaan nested
PCR terhadap gen flagelin (fliC) dari S. typhi dapat dideteksi dari spesimen urin
31
21/22 (95.5%), dikuti dari spesimen darah 20/22 (90%), dan tinja 15/22
(68,1%)Sampai saat ini, pemeriksaan PCR di Indonesia masih terbatas dilakukan
dalam penelitian. 21
c. Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan serologis demam tifoid secara garis besar terbagi atas pemeriksaan
antibodi dan pemeriksaan antigen. Pemeriksaan antibodi paling sering dilakukan saat
ini, termasuk didalamnya adalah test Widal, test Hemagglutinin (HA),
Countercurrent immunoelectrophoresis (CIE), dan test cepat/ rapid test (Typhidot,
TUBEX). Sedangkan pemeriksaan antigen S. Typhii dapat dilakukan melalui
pemeriksaan protein antigen dan protein Vibaik menggunakan ELISA/ koaglutinasi
namun sampai saat ini masih dalam penelitian jumlah kecil.
32
ke-4 dengan nested PCR positif S. Typhi mendapatkan sensitivitas 63% dan
spesifisitas 69%, nilai duga positif 43% dan nilai duga negatif 83%, sehingga
pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada anak dengan demam < 5 hari.
Pemeriksaan serologi dengan nilai ≥ 6 dianggap sebagai positif kuat. Namun,
interpretasi hasil serologi yang positif harus berhati-hati pada kasus tersangka demam
tifoid yang tinggal di daerah endemis. IgM anti Salmonella dapat bertahan sampai 3
bulan dalam darah. Positif palsu pada pemeriksaan TUBEX bisa terjadi pada pasien
dengan infeksi SalmonellaEnteridis, sedangkan hasil negatif palsu didapatkan bila
pemeriksaandilakukan terlalu cepat.Perkembangan ilmu pengetahuan dalam
pemeriksaan serologis demam tifoid masih terus berkembang, antara lain dari
spesimen urin dan saliva. 21
2. Pemeriksaan Widal
Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O dan H dari S.
Typhi dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan Widal memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang rendah, sehingga penggunaannya sebagai satu-
satunya pemeriksaan penunjang di daerah endemis dapat mengakibatkan
overdiagnosis. Pada umumnya antibodi O meningkat di hari ke-6-8 dan antibodi H
hari ke 10-12 sejak awal penyakit.20,21
Interpretasi pemeriksaan Widal harus dilakukan secara hati-hati karena
dipengaruhi beberapa faktor yaitu stadium penyakit, pemberian antibiotik, teknik
laboratorium, endemisitas dan riwayat imunisasi demam tifoid. Sensitifitas dan
spesifisitas Widal rendah tergantung, kualitas antigen yang digunakan, bahkan dapat
memberikan hasil negatif hingga 30% dari sampel biakan positif demam tifoid.7,8
Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 69%, spesifisitas 83%.17 Hasil pemeriksaan
Widal positif palsu dapat terjadi oleh karena reaksi silang dengan non-typhoidal
Salmonella, infeksi bakteri enterobacteriaceae lain, infeksi dengue dan malaria,
riwayat imunisasi tifoid atau standardisasi reagen yang kurang baik.Hasil negatif
palsu dapat terjadi karena teknik pemeriksaan tidak benar, penggunaan antibiotik
sebelumnya, atau produksi antibodi tidak adekuat.20,21
33
Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali saja tidak mempunyai arti
penting dan sebaiknya dihindari. Diagnosis demam tifoid baru dapat ditegakkan jika
pada ulangan pemeriksaan Widal selang 1-2 minggu terdapat kenaikan titer
agglutinin O sebesar 4 kali. Uji Widal memiliki beberapa keterbatasan sehingga tidak
dapat dipercaya sebagai uji diagnostik tunggal.20,21
d. Pemeriksaan hematologi
Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik. Leukopeni
sering dijumpai namun bisa terjadi leukositosis pada keadaan adanya penyulit
misalnya perforasi. Trombositopenia dapat terjadi, namun bersifat reversibel.
Anemia pada demam tifoid dapat disebabkan depresi sumsum tulang dan perdarahan
intra intestinal. Pada hitung jenis dapat ditemukan aneosinofilia dan limfositosis
relatif.20,21
34
atau sefotaksim dapat digunakan sebagai pilihan terapi demam tifoid. 15
Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan antibiotik lini pertama terapi demam tifoid yang bersifat
bakteriostatik namun pada konsentrasi tinggi dapat bersifat bakterisid terhadap
kuman- kuman tertentu serta berspektrum luas. Dapat digunakan untuk terapi
bakteri gram positif maupun negatif. Kloramfenikol terikat pada ribosom subunit
50s serta menghambat sintesa bakteri sehingga ikatan peptida tidak terbentuk pada
proses sintesis protein kuman.Sedangkan mekanisme resistensi antibiotik ini terjadi
melalui inaktivasi obat oleh asetil transferase yang diperantarai faktor-R.Masa paruh
eliminasinya pada bayi berumur kurang dari 2 minggu sekitar 24 jam. Dosis untuk
terapi demam tifoid pada anak 50-100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis.Lama
terapi 8-10hari etelah suhu tubuh kembali normal atau 5-7 hari setelah suhu
turun.Sedangkan dosis terapi untuk bayi 25-50mg/kgBB.
Seftriakson
Seftriakson merupakan terapi lini kedua pada kasus demam tifoid dimana bakteri
Salmonella Typhi sudah resisten terhadap berbagai obat. Antibiotik ini memiliki
sifat bakterisid dan memiliki mekanisme kerja sama seperti antibiotik betalaktam
lainnya, yaitu menghambat sintesis dinding sel mikroba, yang dihambat ialah reaksi
transpeptidase dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel. Dosis terapi
intravena untuk anak 50-100 mg/kg/jam dalam 2 dosis, sedangkan untuk bayi dosis
tunggal 50mg/kg/jam.
Ampisilin
Ampisilin memiliki mekanisme kerja menghambat pembentukan mukopeptida yang
diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba.Pada mikroba yang sensitif, ampisilin
akan menghasilkan efek bakterisid. Dosis ampisilin tergantung dari beratnya
penyakit, fungsi ginjal dan umur pasien.Untuk anak dengan berat badan <20 kg
diberikan per oral 50-100 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis, IM 100-200 mg/kg/BB/hari
dalam 4 dosis. Bayi yang berumur <7 hari diberi 50 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis,
sedangkan yang berumur >7 hari diberi 75 mg/kgBB/hari dalam 3dosis.
35
Kotrimoksasol
Kotrimoksasol merupakan antibiotik kombinasi antara trimetoprim dan
sulfametoksasol, dimana kombinasi ini memberikan efek sinergis. Trimetoprim dan
sulfametoksasol menghambat reaksi enzimatik obligat pada mikroba.
Sulfametoksasol menghambat masuknya molekul P- Amino Benzoic Acid (PABA)
ke dalam molekul asam folat, sedangkan trimetoprim menghambat enzim
dihidrofolat reduktase mikroba secara selektif. Frekuensi terjadinya resistensi
terhadap kotrimoksasol lebih rendah daripada masing-masing obat, karena mikroba
yang resisten terhadap salah satu komponen antibiotik masih peka terhadap
komponen lainnya.Dosis yang dianjurkan untuk anak ialah trimetoprim 8
mg/kgBB/hari dan sulfametoksasol 40 mg/kgBB/hari diberikan dalam 2 dosis.
Sefotaksim
Sefotaksim merupakan antibiotik yang sangat aktif terhadap berbagai kuman gram
positif maupun gram negatif aerobik.Obat ini termasuk dalam antibiotik betalaktam,
di mana memiliki mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel mikroba.
Mekanisme penghambatannya melalui reaksi transpeptidase dalam rangkaian reaksi
pembentukan dinding sel. Dosis terapi intravena yang dianjurkan untuk anak ialah
50 – 200 mg/kg/h dalam 4 – 6 dosis.Sedangkan untuk neonatus 100 mg/kg/h dalam
2 dosis.
b. Bedah
Tindakan bedah diperlukan pada penyulit perforasi usus
c. Suportif
- Tirahbaring
- Kebutuhan cairan dan kalord cukup.
36
Indikasi rawat
Demam tifoid berat harus dirawat inap di rumah sakit.
- Cairan dan kalori
- Terutama pada demam tinggi, muntah atau diare, bila perlu asupan cairan dan
kalori diberikan melalui sonde lambung
- Penuhi kebutuhan volume cairan intravascular dan jaringan
- Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik
- Pertahankan oksigenasi jaringan,bila perlu berikanO2
- Pelihara keadaan nutrisi
- Antipiretik, diberikan apabila demam >39, kecuali pada pasien dengan riwayat
kejang demam dapat diberikan lebih awal
- Diet
- Makanan tidak berserat dan mudah dicerna
- Setelah demam reda, dapat segera diberikan makanan yang lebih padat dengan
kalori cukup
- Transfusi darah : kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna dan
perforasi usus.
Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu2,3 :
Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita
mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat
perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam.
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu
ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam tifoid
37
dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan
bawah yang kemudian meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi
cepat, tekanan darah turun dan bahkan sampai syok.
Komplikasi Ekstraintestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis),
miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koagulasi
intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
c. Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis
d. Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis
e. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
f. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis
g. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis, polineuritis
perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.
38
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1 Anamnesis
Teori Kasus
Teori Kasus
40
ikterik (-/-), sianosis (-)
Regio Thorax
Inspeksi : Bentuk dada
normal, pergerakan dinding dada
simetris dekstra = sinistra, retraksi
intercosta (-), suprasternal dan
supraklavikula (-), nafas cuping
hidung (-), nafas tampak cepat (-)
Palpasi : Pergerakan
nafas simetris dekstra = sinistra
Perkusi : sonor seluruh
lapangan paru, redup jantung (+)
Auskultasi : Vesikuler
(+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-),
suara jantung S1S2 tunggal, regular,
murmur (-), gallop (-).
Regio Abdomen
Inspeksi : Perut tampak
datar (+)
Auskultasi : Peristaltik usus
(+)
Perkusi : Timpani empat
kuadran (+)
Palpasi : Soefl, nyeri
tekan (-), hepatomegali (-),
splenomegali (-)
Regio Ekstremitas
Inspeksi :
Ruam/petekie pada daerah pipi (-)
41
Palpasi : Akral hangat,
nadi teraba cukup, sianosis
perifer (-), edema(-), CRT <2
detik.
4.3 Penatalaksanaan
Teori Kasus
42
apabila sensitivitas Salmonella Typhi masih
tinggi terhadap obat tersebut.Tetapi
penelitian-penelitian yang dilakukan
dewasa ini sudah menemukan strain
Salmonella Typhi yang sensitivitasnya
berkurang terhadap kloramfenikol,untuk itu
antibiotik lain seperti seftriakson,
ampisilin, kotrimoksasol atau sefotaksim
dapat digunakan sebagai pilihan terapi
demam tifoid. 15
Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan antibiotik lini
pertama terapi demam tifoid yang bersifat
bakteriostatik namun pada konsentrasi
tinggi dapat bersifat bakterisid terhadap
kuman- kuman tertentu serta berspektrum
luas.
Seftriakson
Seftriakson merupakan terapi lini kedua
pada kasus demam tifoid dimana bakteri
Salmonella Typhi sudah resisten terhadap
berbagai obat.
Ampisilin
Ampisilin memiliki mekanisme kerja
menghambat pembentukan mukopeptida
yang diperlukan untuk sintesis dinding sel
mikroba..
Kotrimoksasol
Kotrimoksasol merupakan antibiotik
kombinasi antara trimetoprim dan
sulfametoksasol, dimana kombinasi ini
memberikan efek sinergis.
43
Sefotaksim
Sefotaksim merupakan antibiotik yang
sangat aktif terhadap berbagai kuman gram
positif maupun gram negatif aerobik.
Bedah
Tindakan bedah diperlukan pada penyulit
perforasi usus
Suportif
- Tirahbaring
- Kebutuhan cairan dan kalorid
dicukupi
44
BAB 5
KESIMPULAN
45
DAFTAR PUSTAKA
4. Soedarmo SSP, et al. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Keempat.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Jakarta.2014.h.21-55.
6. Hegar B et al. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Jilid
1. 2010.Jakarta: IDAI
9. Behrman RE, Kliegman R, Jenson HB. Nelson textbook of pediatrics. 17th ed.
2004. Philadelphia:W.B Saunders
12. Cunha BA, Lortholary O, Cunha CB. Fever of Unknown Origin: A Clinical
Approach. The American Journal of Medicine (2015). 128, 1138.e1-1138.e15
46
13. IDAI. Penanganan Demam Pada Anak. Available from:
http://www.idai.or.id/artikel/klinik/keluhan-anak/penanganan-demam-pada-
anak . Update 15.04.2014
14. Date, K. A., Bentsi-Enchill, A., Fox, K. K., Abeysinghe, N., Mintz, E. D.,
Khan, M. I., Sahastrabuddhe, S., Hyde, T. B., 2014. Typhoid Fever
Surveillance and Vaccine Use South-East Asia and Western Pacific Regions,
2009 - 2013. morbidity and mortality week report, Vol 63(2), pp. 855-860.
15. Soedarmo, S. S. P., Garna, H., Hadinegoro, S. R. S., Satari, H. I., 2015. Buku
Ajar Infeksi dan pediatri Tropis. Edisi 2. Jakarta: badan penerbit IDAI.
16. Widodo, D., 2015. Demam Tifoid. In: Siti, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna Publishing, pp. 549-558.
17. Ochiai, R., Acosta, C. J., Baiqing, D., Bhutta, Z. A., Clemens, J. D., Farrar, J.,
2008. A Study of Typhoid Fever in Five Asian Countries: Disease Burden and
Implications for Control. bulletin of the world health organization, Vol 86(4),
pp. 260-68.
20. Ahmad, S., Banu, F., Kanodia, P., Bora, R., Ranhotra, A., 2016. Evaluation Of
Clinical and Laboratory Profile of Typhoid Fever in Nepalese Children - A
Hospital - Based Study. International Journal of Medical Pediatrics and
Oncology, Vol 2(2), pp. 60-66.
47
48