Anda di halaman 1dari 8

BISNIS SAHABAT RULULLAH SAW

UTSMAN BIN AFFAN

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 2
1.Habib Kurniawan
2.Lina Andriyati
3.Erlita Prihatin N
4.Wiwi Widiawati
BISNIS SAHABAT RASULULLAH SAW

UTSMAN BIN AFFAN

A. PENDAHULUAN

Utsman bin Affan merupakan Khulafaur Rasyidin yang ke-3, setelah Khalifah
Umar Bin Khattab R.A. Utsman bin Affan adalah menantu sekaligus sahabat
Nabi Muhammad SAW. Ia juga dikenal sebagai seorang saudagar yang kaya dan
sangat dermawan. Beliau adalah seorang pedagang kain yang kaya raya.

Kekayaannya ini ia belanjakan guna mendapatkan keridhaan Allah SWT, yaitu


untuk pembangunan umat dan ketinggian Islam. Beliau memiliki kekayaan ternak
lebih banyak dari pada orang arab lainya pada saat itu.

B. LATAR BELAKANG

1. Kekayaan Utsman Bin Affan

Berikut adalah salah satu kisah yang dapat menggambarkan betapa kaya dan
dermawannya Utsman:

Pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq R. A. terjadi musim paceklik


yang dahsyat. Kaum muslimin mendatangi khalifah Abu Bakar dan mengeluhkan
tentang kondisi tersebut dan bertanya tentang apa yang harus mereka lakukan
untuk mengatasi kondisi tersebut.

Khalifah Abu Bakar pun menenangkan kaum muslimin yang datang pada saat itu
dan mendoakan semoga Allah segera menurunkan pertolongan pada mereka
sebelum malam tiba.

Menjelang sore, datanglah rombongan kafilah dagang yang baru pulang dari
berdagang. Rombongan ini ternyata adalah rombongan dari saudagar Utsman bin
Affan yang baru saja berbelanja sekaligus berdagang dari negeri Syam. Mereka
membawa seribu unta yang mengangkut berbagai kebutuhan penduduk seperti
gandum, minyak, dan kismis. Kedatangan rombongan kafilah dagang ini segera
mengundang para tengkulak (pedagang) kota untuk membeli barang-barang
kebutuhan yang dibawa oleh rombongan kafilah tersebut. Mereka bermaksud
membeli barang-barang dagangan dari kafilah Utsman bin Affan untuk kemudian
dijual kembali kepada para penduduk dengan mengambil keuntungan.

Ketika mereka bertanya kepada Utsman bin Affan tentang harga jual dari
barang-barang tersebut, Utsman pun dengan lantang berkata kepada mereka,
“Dengan segala hormat, berapa banyak keuntungan yang akan kalian berikan
kepadaku?” Dengan penuh semangat mereka menjawab, “Dua kali lipat wahai
Utsman.” Utsman menjawab, “Sayang sekali! Penawaran kalian belum dapat
menyaingi penawaran yang sudah aku terima. Sudah ada penawaran yang lebih
tinggi dari kalian.”

Para pedagang lokal tentu tidak menyerah begitu saja, karena mereka tahu bahwa
penduduk kota saat itu sedang sangat membutuhkan barang-barang kebutuhan
tersebut sehingga kemungkinan besar pasti akan laku meskipun dijual kembali
dengan harga tinggi. Merekapun kemudian menaikkan tawarannya sampai lima
kali lipat dari penawaran pertama. Akan tetapi Utsman bin Affan tetap menolak
dengan alasan yang sama yaitu bahwa sudah ada penawar lain yang menawar
lebih tinggi lagi dari penawaran para pedagang tersebut.

2. Berbisnis dengan Allah

Atas reaksi Utsman bin Affan tersebut para pedagang tentu menjadi sangat
penasaran, siapakah orang yang sudah berani menawar semua dagangan itu
dengan harga yang lebih tinggi dari penawaran mereka, yang saat itu sudah sangat
tinggi menurut mereka? Akhirnya para pedagang pun mengajukan pertanyaan lagi
kepada Utsman, “Hai Utsman, di kota Madinah ini sepertinya sudah tak ada lagi
pedagang yang dapat membeli daganganmu selain kami. Selain itu kami juga
paling duluan menawar dagangan mu. Jadi siapakah orang yang mendahului kami
dan berani menawar lebih tinggi dari kami?” Utsman bin Affan pun akhirnya
menjawab, “Allah SWT memberikan kepadaku sepuluh kali lipat, apakah kalian
mau memberi lebih dari itu?”

Utsman melanjutkan perkataannya, “Allah telah menjadi saksi bahwa seluruh


barang yang dibawa kafilah ini merupakan sedekah dariku untuk para fakir
miskin dan kaum Muslimin, aku ikhlas karena Allah, karena aku semata mencari
ridha-Nya.” Pada sore hari itu juga Utsman bin Affan r.a. membagi-bagikan
seluruh makanan yang dibawa oleh kafilah tadi kepada fakir miskin dan kaum
muslimin Madinah. Semuanya mendapat bagian yang cukup untuk kebutuhan
keluarganya masing-masing dalam jangka waktu yang lama.

3. Kisah Sumur milik Utsman Bin Affan

Berbisnis dengan Allah tidak akan pernah membawa kerugian. Hal itulah yang
ditunjukkan Utsman pada kisah ini.

Waktu itu, kota Madinah dilanda paceklik sehingga kesulitan mendapatkan air
bersih. Satu-satunya yang tersisa adalah sumur milik seorang Yahudi yang
bernama sumur Raumah. Kaum muslimin dan penduduk Madinah harus antre dan
membeli air bersih orang Yahudi tersebut.
Nabi kemudian menghimbau agar ada dari kaum muslimin yang bisa
membebaskan sumur itu dan menyumbangkannya untuk ummat agar
mendapatkan surga Allah SWT.

Melihat kondisi yang memprihatinkan tersebut maka Rasulullah SAW pun


meminta bantuan dari para sahabatnya untuk dapat membebaskan sumur
RAUMAH dari tangan si Yahudi.

Beliupun bersabda ;

“Wahai Sahabatku, siapa saja diantara kalian yang menyumbangkan hartanya


untuk dapat membebaskan sumur itu, lalu menyumbangkannya untuk umat, maka
akan mendapat surga-Nya Allah Ta’ala” (HR. Muslim)

Utsman bin Affan Ra tergerak hatinya dan menemui Yahudi pemilik sumur
Raumah. Namun, meski Utsman memberikan penawaran harga tertinggi, si
Yahudi tidak mau menjualnya. Dia bilang, “Seandainya sumur ini aku jual
kepadamu wahai Ustman, maka aku tidak bisa mendapatkan penghasilan yang
bisa aku peroleh setiap hari.” demikian Yahudi tersebut memberikan alasan
penolakannya.

Utsman bin Affan r.a. yang sudah sangat ingin sekali mendapatkan balasan pahala
berupa Surga-Nya Allah Ta’ala, tidak mau kehilangan cara mengatasi menghadapi
penolakan Yahudi ini. Selain sebagai pebisnis sukses beliaupun adalah seorang
negosiator yang ulung. Kemudian setelah berpikir sejenak Utsman bin Affan pun
melancarkan strategi negosiasinya kepada si Yahudi, “Bagaimana kalau aku beli
setengahnya saja dari sumurmu”.

“Maksudmu bagaimana wahai Utsman?” tanya Yahudi tersebut keheranan.


“Begini, jika engkau setuju menjual setengahnya kepadaku maka kita akan
memiliki sumur ini bergantian. Satu hari sumur ini menjadi milikku, esoknya
kembali menjadi milikmu, kemudian lusa menjadi milikku lagi demikian
selanjutnya bergantian satu hari – satu hari. Bagaimana?” tanya Utsman lagi.

Yahudi itupun berfikir cepat,”Saya mendapatkan uang besar dari Utsman tanpa
harus kehilangan sumur milikku”. Akhirnya si Yahudi setuju menerima tawaran
Utsman tadi dan disepakati pula hari ini sumur RAUMAH adalah milik Utsman bin
Affan R.a.

Utsman bin Affan pun segera mengumumkan kepada seluruh penduduk Madinah
bahwa sejak saat ini selang satu hari maka penduduk Madinah yang mau
mengambil air di sumur Raumah, boleh mengambil dengan gratis. Seraya ia
mengingatkan agar penduduk Madinah mengambil air dalam jumlah yang cukup
untuk 2 hari, karena esok hari sumur itu bukan lagi milik Utsman.

Keesokan hari Yahudi mendapati sumur miliknya sepi pembeli, karena penduduk
Madinah masih memiliki persedian air di rumah. Yahudi itupun mendatangi
Utsman dan berkata “Wahai Utsman belilah setengah lagi sumurku ini dengan
harga sama seperti engkau membeli setengahnya kemarin”. Utsman setuju, lalu
dibelinyalah seharga saat membeli setengah sumur awal, maka sumur Raumah pun
menjadi milik Utsman bin Affan secara penuh.

Kemudian Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu mewakafkan sumur Raumah


untuk kepentingan penduduk Madinah dan kaum muslimin muhajirin. Sejak saat
itu sumur Raumah dapat dimanfaatkan oleh siapa saja, termasuk Yahudi pemilik
lamanya.

4. Kisah Hotel milik Utsman Bin Affan

Setelah sumur itu diwakafkan untuk kaum muslimin, beberapa waktu kemudian,
tumbuhlah di sekitar sumur itu beberapa pohon kurma dan terus bertambah. Lalu
Daulah Utsmaniyah memeliharanya hingga semakin berkembang, disusul
kemudian dipelihara oleh Pemerintah Arab Saudi, hingga kini berjumlah 1550
pohon.

Selanjutnya pemerintah Arab Saudi, dalam hal ini Departemen Pertanian Saudi
menjual hasil kebun kurma ini ke pasar-pasar, setengah dari keuntungan itu
disalurkan untuk anak-anak yatim dan fakir miskin, sedang setengahnya ditabung
dan disimpan dalam bentuk rekening khusus milik Utsman bin Affan di salah satu
bank Saudi atas nama Utsman bin Affan, di bawah pengawasan Departeman
Pertanian.

Begitulah seterusnya, hingga uang yang ada di bank itu cukup untuk membeli
sebidang tanah dan membangun hotel yang cukup besar di salah satu tempat yang
strategis dekat Masjid Nabawi. Bangunan hotel itu sudah pada tahap penyelesaian
dan akan disewakan sebagai hotel bintang 5. Diperkirakan omsetnya sekitar 50 juta
Riyal per tahun (setara dengan 200 Milyar rupiah per tahun). Setengah dari
keuntungan diwakafkan untuk anak-anak yatim dan fakir miskin, dan setengahnya
lagi tetap disimpan dan ditabung di bank atas nama Utsman bin Affan radhiyallahu
anhu.

Begitulah kisah sekaligus sejarah tentang keberadaan rekening bank atas nama
Utsman Bin Affan dan bisnis yang diwakafkan oleh Utsman bin Affan 1400 tahun
yang lalu dan masih bertahan hingga kini. Bukti tentang bagaimana berbisnis
dengan Allah itu adalah suatu perniagaan yang tidak pernah merugi, bahkan
menguntungkan berlipat-lipat dan pahala yang senantiasa berkelanjutan tanpa henti,
bahkan saat manusia sudah meninggal.

5. Kecerdikan Utsman bin Affan

Karena ingin sekali mendapatkan pahala berupa surga Allah, Utsman sebagai
seorang pebisnis tidak kehilangan akal mengatasi penolakan Yahudi itu.
“Bagaimana kalau aku beli setengahnya saja dari sumurmu?” Utsman mencoba
bernegosiasi.
“Maksudmu?” tanya Yahudi keheranan.
“Jika engkau setuju, kita memiliki sumur ini bergantian. Satu hari sumur ini
milikku, esoknya kembali menjadi milikmu. Lusa menjadi milikku lagi. Begitu
seterusnya berganti-ganti setiap hari. Bagaimana?” Jelas Utsman.

Yahudi itu pun berpikir cepat, “Aku mendapatkan uang besar dari Utsman tanpa
kehilangan sumur milikku.” Akhirnya dia menerima tawaran Utsman.

Hari pertama itu disepakati sumur milik Utsman. Beliau mengumumkan kepada
penduduk Madinah yang mau mengambil air di sumur Raumah. Mereka
dipersilakan mengambil air secara gratis seraya mengingatkan agar mereka
mengambil air dalam jumlah yang cukup untuk 2 hari karena esoknya sumur itu
akan menjadi milik orang Yahudi itu lagi.

Keesokan harinya, si Yahudi mendapati sumur miliknya sepi pembeli karena


penduduk masih memiliki persediaan air di rumah. Yahudi itupun mendatangi
Ustman dan berkata, “Wahai Utsman belilah setengah lagi sumurku ini dengan
harga sama seperti engkau membeli setengahnya kemarin.” Utsman setuju lalu
dibelinya dengan harga 20.000 dirham. Maka sumur itupun menjadi milik Utsman
sepenuhnya.

Utsman lalu mewakafkan sumur Raumah. Sejak itu, sumur Raumah bisa
dimanfaatkan oleh siapa pun termasuk si Yahudi, pemilik lamanya.

6. Pahala yang Terus Mengalir

Beberapa waktu kemudian, tumbuhlah pohon kurma di sekitar sumur. Jumlahnya


terus bertambah dan dipelihara oleh Bani Utsmaniyah. Lalu disusul
pemeliharannya oleh pemerintah Saudi hingga berjumlah 1.550 pohon.

Selanjutnya, Departemen Pertanian Pemerintah Saudi menjual hasil kebun kurma


ini ke pasar-pasar. Setengah dari keuntungan disalurkan untuk anak-anak yatim
dan miskin. Setengahnya lagi disimpan dalam bentuk rekening di salah satu bank
atas nama Utsman bin Affan sampai sekarang sejak 1400 tahun yang lalu.

Waktu terus berjalan hingga uang di bank itu cukup untuk membeli sebidang
tanah dan membangun hotel yang cukup besar di lokasi strategis dekat Masjid
Nabawi. Hotel itu kemudian diberi nama Hotel Utsman bin Affan karena
dibangun dari uang rekeningnya. Hotel tersebut diperkirakan dapat menghasilkan
omzet sekitar RS 50 juta per tahun. Setengah keuntungannya untuk anak yatim
dan fakir miskin, dan setengahnya lagi kembali dimasukkan ke rekening Utsman
di bank.

7. Model bisnis Utsman Bin Affan


Kisah ini benar-benar menjadi bukti bahwa kalau berdagang mengharap ridha
Allah SWT maka akan selalu menguntungkan, tidak akan pernah merugi. Ini
salah satu bentuk sedekah jariyah yang pahalanya terus mengalir.

Model bisnis seperti ini juga yang coba kami lakukan di Gerakan Menulis Buku
Indonesia. Kami mengajak penulis untuk ikut berdonasi buku ke pelosok-pelosok
Nusantara sehingga ilmu dari buku-buku tersebut akan terus tersebar dan
memberi manfaat bagi banyak orang. Semoga Allah meridhoi usaha-usaha kami
dan kawan-kawan pembaca semua. Karena ilmu yang bermanfaat adalah salah
satu amalan yang tidak akan terputus bahkan setelah kita meninggal.

“Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah segala amalannya, kecuali dari


tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang
mendoakannya”. [HR. Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i].

Dan disebutkan pula pada hadits riwayat Ibnu Majah dan Baihaqi dari Abi
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:

“Sesungguhnya di antara amalan dan kebaikan seorang mukmin yang akan


menemuinya setelah kematiannya adalah: ilmu yang diajarkan dan disebarkannya,
anak shalih yang ditinggalkannya, mushaf yang diwariskannya, masjid yang
dibangunnya, rumah untuk ibnu sabil yang dibangunnya, sungai (air) yang
dialirkannya untuk umum, atau shadaqah yang dikeluarkannya dari hartanya
diwaktu sehat dan semasa hidupnya, semua ini akan menemuinya setelah dia
meninggal dunia”.
DAFTAR PUSTAKA

Rachmawati, Fauziah. 2015. 10 Kunci Rezeki Ala Sahabat Rasulullah, PT. Bhuana
Ilmu Populer: Jakarta.
https://pondokislami.com/hikmah-berbisnis-dengan-allah-seperti-utsman-bin-affan.ht
ml

Anda mungkin juga menyukai