BAGIAN I: Aswaja: Dari Mazhab Menuju Manhaj Bagaimanapun Husein adalah cucu Nabi yang dicintai umat Islam.
cucu Nabi yang dicintai umat Islam. Karenanya
kemarahan umat tak terbendung. Kekecewaan ini begitu menggejala dan mengancam Aswaja: Sebuah Penelusuran Historis stabilitas Dinasti. Aswaja (Ahlussunnah wal Jama’ah) adalah satu di antara banyak aliran dan sekte Akhirnya Dinasti Umayah merestui hadirnya paham Jabariyah. Ajaran Jabariyah yang bermuculan di dalam tubuh Islam. Di antara semua aliran, kiranya Aswaja-lah menyatakan bahwa manusia tak punya kekuasaan sama sekali. Manusia tunduk pada yang punya banyak pengikut, bahkan paling banyak di antara semua sekte. Hingga takdir yang telah digariskan Tuhan, tanpa bisa mengubahnya. Opini ini ditujukan dapat dikatakan, Aswaja memegang peran sentral dalam perkembangan pemikiran untuk menyatakan bahwa pembantaian itu memang telah digariskan Tuhan tanpa ke-Islaman. bisa dicegah oleh siapapun juga. Aswaja tidak muncul dari ruang hampa. Ada banyak hal yang memengaruhi Nah, beberapa kalangan yang menolak opini itu akhirnya membentuk second proses kelahirannya dari rahim sejarah. Di antara yang cukup populer adalah opinion (opini tandingan) dengan mengelompokkan diri ke sekte Qadariyah. Jelasnya tingginya suhu konstelasi politik yang terjadi pada masa pasca-Nabi wafat. paham ini menjadi antitesis bagi paham Jabariyah. Qadariyah menyatakan bahwa Kematian Usman bin Afan, khalifah ke-3, menyulut berbagai reaksi. Utamanya, manusia punya free will (kemampuan) untuk melakukan segalanya. Dan Tuhan hanya karena ia terbunuh, tidak dalam peperangan. Hal ini memantik semangat banyak menjadi penonton dan hakim di akhirat kelak. Karenanya, pembantaian itu adalah kalangan untuk menuntut Imam Ali, pengganti Usman untuk bertanggung jawab. murni kesalahan manusia yang harus dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat. Terlebih, sang pembunuh, yang ternyata masih berhubungan darah dengan Ali, tidak Nah, melihat sedemikian kacaunya bahasan teologi dan politik, ada kalangan umat segera mendapat hukuman setimpal. Islam yang enggan dan jenuh dengan semuanya. Mereka ini tak sendiri, karena Mu’awiyah bin Abu Sofyan, Aisyah, dan Abdulah bin Thalhah, serta Amr bin Ash ternyata mayoritas umat Islam mengalami hal yang sama: tak mau terlarut dalam adalah beberapa di antara sekian banyak sahabat yang getol menuntut ‘Ali. Bahkan perdebatan yang tak berkesudahan, mereka menarik diri dari perdebatan. Mereka semuanya harus menghadapi ‘Ali dalam sejumlah peperangan yang ke semua memasrahkan semua urusan dan perilaku manusia pada Tuhan di akhirat kelak. dimenangkan oleh pihak ‘Ali. Mereka menamakan diri Murji’ah. Dan yang paling mengejutkan adalah strategi Amr bin Ash dalam perang Shiffin di Lambat laun, kelompok ini mendapat sambutan yang luar biasa. Terebih karena tepi sungai Eufrat, akhir tahun 39 H, dengan mengangkat mushaf di atas tombak. pandangannya yang apriori terhadap dunia politik. Karenanya, pihak kerajaan Tindakan ini dilakukan setelah pasukan Amr dan Mu’awiyah terdesak. Tujuannya membiarkan ajaran semacam ini, hingga akhirnya menjadi sedemikian besar. Di hendak mengembalikan segala perselisihan kepada hukum Allah. Dan ‘Ali setuju, antara para sahabat yang turut dalam kelompok ini adalah Abu Hurayrah, Abu meski banyak pengikutnya yang tak puas. Bakrah, Abdullah ibn Umar, dan sebagainya. Mereka adalah sahabat yang punya banyak pengaruh di daerahnya masing-masing. Akhirnya tahkim (arbritase) di Daumatul Jandal, sebuah desa di tepi Laut Merah beberapa puluh kilometer utara Mekah, menjadi akar perpecahan pendukung ‘Ali Pada tataran selanjutnya, dapatlah dikatakan bahwa Murjiah adalah cikal bakal yang menjadi Khawarij dan Syi’ah. Kian lengkaplah perseteruan yang terjadi di antara Sunni (proto-sunni). Karena banyaknya umat Islam yang juga merasakan hal senada, kelompok Ali, kelompok Khawarij, kelompok Mu’awiyah, dan sisa-sisa pengikut maka mereka mulai mengelompokkan diri ke dalam suatu kelompok tersendiri. Aisyah dan Abdullah ibn Thalhah. Lantas, melihat parahnya polarisasi yang ada di kalangan umat Islam, akhirnya Ternyata perseteruan politik ini membawa efek yang cukup besar dalam ajaran ulama memopulerkan beberapa hadis yang mendorong umat Islam untuk bersatu. Islam. Hal ini terjadi tatkala banyak kalangan menunggangi teks-teks untuk Tercatat ada 3 hadis (dua diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan satu oleh Imam kepentingan politis. Celakanya, kepentingan ini begitu jelas terbaca oleh publik. Thabrani). Dalam hadis ini, diceritakan bahwa umat Yahudi akan terpecah ke dalam Terlebih masa Yazid ibn Mu’awiyah. 71 golongan, Nasrani menjadi 72 golongan, dan Islam dalam 73 golongan. Semua golongan umat Islam itu masuk neraka kecuali satu. Yazid waktu itu mencoreng muka Dinasti Umayah. Dengan sengaja ia memerintahkan pembantaian Husein bin ‘Ali beserta 70-an anggota keluarganya di “Siapa mereka itu, Rasul?” tanya sahabat. Karbala, dekat kota Kufah, Irak. Parahnya lagi, kepala Husein dipenggal dan diarak “Mâ ana Alaihi wa Ashâby”, jawab Rasul. menuju Damaskus, pusat pemerintahan Dinasti Umayah. Bahkan dalam hadis riwayat Thabrani, secara eksplisit dinyatakan bahwa Itu hanya salah satu di antara sekian pembakuan yang telah terjadi ratusan tahun golongan itu adalah Ahlussunnah wal Jama’ah. sebelumnya. Akhirnya, kejumudan (stagnasi) melanda doktrin Aswaja. Dipastikan, tidak banyak pemahaman baru atas teks-teks keagamaan yang muncul dari para Ungkapan Nabi itu lantas menjadi aksioma umum. Sejak saat itulah kata ‘Aswaja’ penganut Aswaja. Yang terjadi hanyalah daur ulang atas pemahaman ulama-ulama atau ‘Sunni’ menjadi sedemikian populer di kalangan umat Islam. Bila sudah klasik, tanpa menambahkan metodologi baru dalam memahami agama. demikian, bisa dipastikan tidak akan ada penganut Aswaja yang berani mempersoalkan sebutan, serta hadis yang digunakan untuk justifikasi, kendati banyak Lebih lanjut, adanya klaim keselamatan (salvation claim) yang begitu kuat (karena terdapat kerancuan di dalamnya. Karena jika diperhatikan lebih lanjut, hadis itu didukung oleh tiga hadis) membuat orang takut untuk memunculkan hal baru dalam bertentangan dengan beberapa ayat tentang kemanusiaan Muhammad, bukan beragama meski itu amat dibutuhkan demi menjawab perkembangan zaman. peramal. Akhirnya lama-kelamaan Aswaja menjadi lapuk termakan usia dan banyak ditinggal zaman. Lantas, sekarang mari kita dudukkan Aswaja dalam sebuah tempat yang nyaman. Lalu mari kita pandang ia dari berbagai sudut. Dan di antara sekian sudut pandang, Benarkah Aswaja bakal ditinggalkan oleh zaman? Nyatanya, hingga kini, Aswaja satu di antaranya, yakni Aswaja sebagai mazhab (doktrin-ideologi), diakui dan justru dianut oleh mayoritas umat Islam di dunia. Mengapa hal ini terjadi, bila dianggap benar oleh publik. Sementara ada satu pandangan yang kiranya bisa memang Aswaja telah mengalami stagnasi? digunakan untuk memandang Aswaja secara lebih jernih, yakni memahami Aswaja Jawabannya satu: Aswaja adalah doktrin. Seperti yang dicantumkan di muka. Ini sebagai manhaj. Mari kita diskusikan. menyebabkan orang hanya menerimanya secara apriori (begitu saja dan apa adanya). Aswaja sebagai Mazhab Inilah yang dinamakan taklid. Karena itu, stagnasi tetap saja terjadi. Akan tetapi, karena sudah dianggap (paling) benar, maka, bila doktrin itu berbenturan dengan Aswaja selama ini sering dipandang hanya sebagai mazhab (aliran, sekte, ideologi, “kenyataan” (al-Waqâ’i’)—yang terus berkembang dan kadang tidak klop dengan atau sejenisnya). Hal ini menyebabkan Aswaja dianut sebagai doktrin yang diyakini ajaran—maka yang keliru adalah kenyataannya. Realitaslah yang harus kebenarannya secara apriori (begitu saja). Kondisi ini menabukan kritik, apalagi menyesuaikan diri dengan teks. mempertanyakan keabsahannya. Pemahaman semacam itu pada akhirnya menyebabkan pemaksaan ajaran Aswaja Jadi, tatkala menganut Aswaja sebagai mazhab, seseorang hanya mengamalkan dalam realitas untuk menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat. Hal ini apa yang menjadi doktrin Aswaja. Doktrin-doktrin ini sedemikian banyak dan menyebabkan peran Aswaja tidak efektif dalam problem solving. Aswaja hanya akan menyatu dalam kumpulan kitab yang pernah dikarang para ulama terdahulu. Di menjadi duri dalam daging masyarakat yang amat membahayakan. Akibat lain yang kalangan pesantren Nusantara, kiranya ada beberapa tulisan yang secara eksplisit biasa muncul, lebih banyak masalah yang timbul daripada persoalan yang menyangkut dan membahas doktrin Aswaja. terpecahkan. Karenanya, taklid buta seyogianya dihindari. Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari menjelaskan Aswaja dalam kitab Qanun NU Akan tetapi, bagi masyarakat umum yang tingkat pemahamannya beragam, taklid dengan melakukan pembakuan atas ajaran Aswaja, bahwa dalam hal tauhid, Aswaja semacam ini menjadi jalan keluar alternatif dalam menghadapi persoalan dengan (harus) mengikuti Al-Maturidi, ulama Afganistan atau Abu Hasan al-Asy’ari, ulama tetap berpegang pada Islam Aswaja. Tetapi, pantaskah taklid dilakukan oleh kalangan Irak. Bahwa mengenai fikih mengikuti salah satu di antara 4 mazhab. Dan dalam hal intelektual? Kiranya, kita bisa menjawabnya. tasawuf mengikuti al-Ghazali atau al-Junaid. Tentu kita tidak mau Islam dengan Aswaja-nya tidak bisa menyelesaikan problem Selain itu, K.H. Ali Maksum Krapyak, Yogyakarta juga menuliskan doktrin Aswaja umat. Karenanya harus ada keberanian untuk mengadakan gerakan baru, dengan judul Hujjah Ahlus Sunnah wal Jamaah, kitab yang cukup populer di pesantren memberantas kejumudan. Ini adalah tugas mulia yang harus kita—utamanya kader dan madrasah NU. Kitab ini membuka pembahasan dengan mengajukan landasan PMII—tunaikan, demi menyelamatkan ajaran Aswaja dari kejumudan, serta normatif Aswaja. Beberapa hadis (meski daif) dan atsar sahabat disertakan. menyelamatkan masyarakat dari berbagai persoalan yang terus mengemuka. Kemudian, berbeda dengan Kiai Hasyim yang masih secara global, Mbah Maksum menjelaskan secara lebih detail. Beliau menjelaskan persoalan talqin mayit, salat Aswaja sebagai Manhaj tarawih, azan Jumat, salat qabliyah Jumat, penentuan awal Ramadan dengan rukyat, dan sebagainya. Nah, berbagai problem yang dihadapi ideologi Aswaja, kiranya metode yang satu ini menawarkan sedikit jalan keluar. Meski masih tetap mengikuti Aswaja, Aswaja tidak diposisikan sebagai teks (baca: korpus) yang haram disentuh. Karenanya, harus ada cara pandang baru dalam memahami Aswaja. Bahwa dalam setiap ajaran (doktrin) punya nilai substansi yang sifatnya lintas batas karena universalitasnya. Hal ini bisa dilihat dari tiga nilai dasar Aswaja; yakni tawazun, tawasuth, dan i’tidal. Diketahui, nilai-nilai itu nyatanya amat fleksibel dan bisa diterapkan dalam situasi dan kondisi, bahkan tempat apapun. Selain itu, dalam aplikasinya, tiga nilai itu menuntut kerja intelektual agar bisa diterapkan dengan baik. Operasi jenis ini biasa disebut dengan ittiba’, yang tentunya lebih manusiawi. Nilai-nilai ini bila dikembangkan akan menyebabkan Aswaja semakin salih likulli zamân wa makân, aplikatif di setiap masa dan ruang. Pun, Aswaja bisa tampil dengan gaya yang enak dan diterima khalayak umum sebagai sebuah jalan keluar. Selain itu, Sunni yang mayoritas bisa melakukan tugasnya menjaga stabilitas sosial keagamaan. Nah, untuk sampai pada sisi ini, perlu ada keberanian dalam menempuh jalan yang berliku. Harus ada kerja keras untuk mencari lebih jauh tentang ajaran, tata norma, dan metode ijtihad Aswaja yang humaniter, egaliter, dan pluralistis. Hal ini juga bisa menampik beberapa organ Islam ekstrem yang secara eksplisit mengaku sebagai kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, meski suka mengafirkan yang lain, menebar ketidaktenteraman di kalangan umat lain, serta tidak rukun dengan jemaah yang lain. Namun, satu tantangan yang juga harus diperhatikan adalah kita sebagai mahasiswa—kader Aswaja—yang punya kesempatan mendapatkan ilmu pengetahuan yang lebih baik, harus berani mengambil satu tindakan: ijtihad. Dan bila tidak berani sendiri, tidak ada salahnya ijtihad berjemaah. Maka, selamat bergabung dengan kami.[p] Hand-out untuk materi keaswajaan di MAPABA Rayon Syariah Komisariat Walisongo 2007 di PP Al Fatah, Demak.