Anda di halaman 1dari 12

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/338048365

Pengelolaan Wisata Kampung Biru Arema dalam Upaya Membangun


Hubungan Resiprositas

Article · December 2019


DOI: 10.17605/OSF.IO/QW4XY

CITATIONS READS

0 29

1 author:

Syahrul Hindarto
Brawijaya University
3 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

LEON (Lomba Esai Nasional) View project

Antropologi Religi View project

All content following this page was uploaded by Syahrul Hindarto on 19 December 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


ANTROPOLOGI KEPENDUDUKAN
“Aspek
Sosiokultural dalam Studi Demografi Kampung Biru dan
Kampung Putih Kota Malang”
Antropologi
Universitas Brawijaya

Pengelolaan Wisata Kampung Biru Arema dalam Upaya


Membangun Hubungan Resiprositas

Blue Arema Village Tourism Management in an Effort to


Build Reciprocity Relations
Syahrul Hindarto1
1 Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya, Jl. Veteran Malang 65145,
Indonesia, email; syahrulhindarto@student.ub.ac.id

Abstrak
Pemukiman kumuh merupakan masalah yang banyak ditemukan di kawasan
perkotaan. Pertumbuhan penduduk perkotaan yang pesat berimplikasi pada
tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang kota sebagai lahan pemukiman yang
seakan tumbuh secara sporadis. Kota Malang saat ini menjadi wilayah yang ramai
disoroti oleh masyarakat luas karena pariwisatanya. Salah satu kawasan wisata
yang menarik masyarakat luas adalah adanya kampung wisata tematik. Salah satu
kampung tematik pertama yang berhasil di menarik perhatian wisatawan adalah
kampung warna-warni Jodipan. Melihat keberhasilan kampung tersebut, Pemerintah
mulai menerapkan konsep pembangunan tersebut di wilayah yang memiki kondisi
serupa. Berawal dari hal tersebut banyak bermunculan kampung tematik yang salah
satu di sebelah kampung Warna-Warni yaitu Kampung Biru Arema. Kampung Biru
Arema merupakan kampung yang mengusung wisata tematik baru bernuasa biru
sebagai lambang klub sepakbola Arema. Untuk fenomena pengelolaan kampung
tersebut sebagai upaya masyarakat membangun hubungan resiprositas maka
penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan entografi. Hasil
yang didapatkan menunjukkan bahwa masyarakat mulai sadar dampak positif
kampung wisata tematik. Mereka mulai melakukan pemberian Pemerintah itu
dengan cara perawatan rutin setiap hari minggu dalam wujud kerja bakti. Mereka
memiliki kewajiban mengelola tersebut untuk dikembalikan kepada Pemerintah
dalam bentuk prestise. Selebihnya keuntungan ekonomi dari adanya wisata tematik
tersebut mampu meningkatkan kondisi kesejahteraan masyarakat Kampung Biru
Arema.

Katakunci : Pemukiman Kumuh, Kampung Biru Arema, Resiprositas, Pengelolaan

1. PENDAHULUAN
Pemukiman kumuh merupakan sebuah permasalahan yang banyak ditemukan di kawasan
perkotaan. Mereka yang tinggal di pemukiman kumuh pada umumnya adalah orang-orang dengan
kondisi ekonomi yang rendah. Kawasan perkotaan merupakan tempat terjadinya pola aktivitas
masyarakat dari berbagai aspek mulai sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Keseimbangan antar
aspek dan hubungan yang saling berkaitan antara perencanaan dan penataan ruang kota
memperhatikan kualitas lingkungan, hubungan sosial budaya, pertumbuhan ekonomi dan pola
fisik ruang, yang akan membentuk proses mencapai suatu kawasan perkotaan yang layak huni.
Seiring perkembangannya, kawasan perkotaan cenderung mengalami permasalahan tipikal, yaitu
tingginya tingkat pertumbuhan penduduk terutama akibat arus urbanisasi yang menyebabkan
pengelolaan ruang kota semakin rumit. Pertumbuhan penduduk perkotaan yang pesat berimplikasi
pada tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang kota sebagai lahan pemukiman yang seakan
tumbuh secara sporadis. Pada sudut-sudut tertentu, berdiri bangunan-bangunan modern dan
mewah yang menandakan bahwa pemiliknya adalah orang dari kelas atas. Di sisi lain, di antara
bangunan-bangunan ekslusif tersebut terselip ruang-ruang lain yang terpinggirkan, misalnya di
bantaran sungai yang kondisinya memprihatinkan dan menjadi penyebab terjadinya kesenjangan
sosial antara pemukiman kaum konglomerat dan kaum proletar (Pinandita & Subarsono, 2018:3).
Kota Malang saat ini menjadi wilayah yang ramai disoroti oleh masyarakat luas karena
pariwisatanya. Banyak ragam destinasi pariwisata yang ditawarkan Kota Malang. Mulai dari
keindahan bentang alamnya, kebudayaan, ruang publik yang dikemas dengan menarik, hingga
adanya kampung tematik. Kampung tematik merupakan sebuah perkampungan yang
menawarkan spot foto yang eye-catching dan instagramable. Salah satu kampung tematik
pertama yang berhasil di menarik perhatian wisatawan adalah kampung warna-warni Jodipan.
Kampung Warna-Warni Jodipan proses pembentukannya berawal dari kondisi Jodipan yang
kumuh dan bahkan telah dinominasikan sebagai 11 perkampungan terkumuh di Indonesia. seperti
yang diberitakan oleh (Phinemo.com, 2017) berawal dari ide mahasiswa yang melakukan tugas
praktikum public relations dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Ide tersebut
terinspirasi dari Kampung Warna di Rio de Jaineiro, Brazil. Awalnya Kampung Jodipan hanya
beberapa rumah saja yang di cat. Namun sekarang semua rumah dicat dan digambari mural,
kemudian juga ditambahi jembatan kaca sebagai penghubung antara Kampung Jodipan dengan
Kampung Tridi yang terpisah oleh sungai Brantas. Setelah di resmikan pada tanggal 4 September
2016 oleh Pemerintah Kota Malang, karena dirasa hasilnya cukup bagus yang membuat
masyarakat menjadi sadar lingkungan. Pekampungan Warna-Warni yang indah ini juga semakin
banyak di buru oleh wisatawan lokal dan macanegara. Kemudian Pemerintah Kota Malang ikut
andil dalam perkembangannya dan berupaya membangun kampung-kampung di Kota Malang
dengan konsep serupa. Berawal dari hal tersebut banyak bermunculan kampung tematik yang
salah satu di sebelah kampung Warna-Warni yaitu Kampung Biru Arema.
Kampung Biru Arema merupakan salah satu kampung tematik yang dibentuk oleh Pemerintah
Kota Malang yang letaknya di dekat Kampung Warna-Warni. Pembangunan Kampung Biru Arema
sebagai bentuk pengembangan kawasan dan pembangunan suatu wilayah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Nuasa pernuh warna biru dan mural logo Arema, singo edan, dan foto
pemain Arema menandakan sebuah gambaran sederhana keadaan lokasi. Pemerintah Kota
Malang mengusung wisata tematik baru yang bernuasa biru sebagai lambang klub sepakbola
Arema. Kampung tersebut merupakan kelanjutan program penataan kawasan dari Pemerintah
Kota Malang. Keberadaan kampung ini semakin melengkapi wisata kampung tematik. Sebanyak
500 rumah yang dicat warna biru dan selesai proses pembangunannya pada akhir tahun 2017.
Mereka mendapat bantuan dari program Corporate Social Rensponsibility (CSR) dari PT. Indana
Paint. Hal tersebut membuat warga juga melakukan swadaya seperti perbaikan sarana dan
prasarana sebelum dicat (Kumparan.com). Beberapa fasilitas umum dibenahi oleh masyarakat
secara gotong royong. Perlahan kampung yang dulunya terkenal kumuh sekarang menjadi salah
satu ikon destinasi wisata baru di Kota Malang. Hal tersebut juga membuat warga untuk terus
menjaga kebersihan (Okezone.com, 2018a).
Gotong royong sebagai bentuk kolektif merupakan salah satu ciri khas masyarakat Indonesia
untuk melakukan sebuah kegiatan bersama-sama dengan satu tujuan. Unsur penting gotong
royong sebenarnya merupakan perasaan yang saling membutuhkan dan terdapat dalam jiwa
masyarakat (Koentjaraningrat, 1997:4). Bentuk-bentuk resiprositas untuk kegiatan yang bersifat
sosial dan komunal memang sangat banyak dilakukan. Resiprositas yang dipaparkan oleh Polanyi
(1968) adalah pertukaran timbal balik dari kelompok-kelompok yang berhubungan secara simetris.
Tanpa adanya syarat simetris antar kelompok atau individu tersebut, maka kelompok-kelompok
atau individu-individu tersebut cenderung menempatkan diri dalam kedudukan dan peranan yang
sama ketika proses pertukaran berlangsung (Hudayana, 1991). Di Kampung Biru Arema juga ada
beberapa bentuk resiprositas yang tercermin dalam kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan
masyarakat sekitar. Kegiatan-kegiatan sosial yang dimaksudkan adalah salah satunya seperti
upaya kolektif masyarakat melakukan perbaikan sarana dan prasarana sebelum dicat, dan
melakukan pengelolaan kampung wisata pasca di cat dengan bentuk membuat mekanisme
pembagian sistem kerja loket, kerja bakti mempercantik kampung dengan tanaman, dan
pemuculan usaha kecil menengah (UKM). Dalam aktivitas tersebut mereka tidak menempatkan
diri pada kedudukan sosial yang berbeda, mereka sama-sama sebagai warga kelompok
masyarakat kampung. Meskipun sebagai warga kampung mereka memiliki derajat kekayaan dan
prestise sosial yang berbeda-beda. Dalam peristiwa tersebut mereka perannya sama, yaitu
memiliki tanggung jawab untuk mengelola kampung dan melayani wisatawan.
Berawal dari beberapa bentuk resiprositas tersebut, saya kemudian ingin mengetahui lebih
lengkap mengenai bentuk-bentuk resiprositas. Selain itu, di Kampung Biru Arema sekarang
masyarakat mulai diupayakan sadar dalam kegiatan sosial untuk tujuan pengelolaan kampung
wisata. Beberapa hal yang menjadi pertanyaan saya adalah Bagaimana latar belakang dan
gambaran masyarakat Kampung Biru Arema saat ini? Bagaimana upaya pembangunan hubungan
resiprositas yang ada dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kampung Biru Arema?

2. METODOLOGI
Untuk menjawab masalah yang telah dirumuskan, kerangka kegiatan yang akan berhubungan
langsung dengan informan yakni masyarakat di Kampung Biru Arema. Pembangunan kampung
wisata tersebut dilandaskan pada premis resiprositas yang secara sederhana diartikan sebagai
proses pertukaran timbal balik antara individu atau antar kelompok (Hudayana, 1991).
Resiprositas atau hubungan timbal balik adalah sesuatu yang peting untuk dilakukan dalam
kehidupan sosial masyarakat. Berkaitan dengan konsep tersebut, bahwa setiap manusia pasti
membutuhkan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan satu sama lain. Hubungan
resiprositas yang dibangun di masyarakat Kampung Biru Arema adalah adanya kewajiban
Pemerintah untuk memberi kesejahteraan ekonomi warga, dan masyarakat memiliki kewajiban
untuk menerima, kemudian masyarakat melalui upaya kegiatan pengelolaan yang dilakukannya
memiliki kewajiban untuk mengembalikan namun bukan dalam bentuk materi, melainkan dalam
bentuk prestise. Hal tersebut senada dengan yang dijelaskan oleh (Dalton, 1968) bahwa
resiprositas merupakan pola pertukaran sosial-ekonomi. Dalam pertukaran tersebut, individu
memberikan dan menerima pemberian barang atau jasa karena kewajiban sosial. Terdapat
kewajiban orang untuk memberi, menerima, dan mengembalikan kembali pemberian dalam
bentuk yang sama atau berbeda. Dengan melakukan resiprositas orang tidak hanya mendapatkan
barang tetapi dapat memenuhi kebutuhan sosial yaitu penghargaan baik ketika berperan sebagai
pemberi atau pun penerima.
Penelitian di Kampung Biru Arema, Kelurahan Kidul Dalem, Kecamatan Klojen, Kota Malang ini
menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode pendekatan enografi. Penelitian kualitatif
berusaha membangun realitas dan memahami makna yang tersirat dalam sebuah fenomena
maupun teks dengan memperhatikan proses peristiwa serta otentisnya (Soemantri, 2005).
Penelitian kualitatif meliputi porses pengumpulan materi-materi empiris, termasuk studi kasus,
pengalaman pribadi, life story, wawancara, teks-teks, observasi (Denzin & Lincoln, 2011).
Singkatnya penelitian kualitatif berupaya memperoleh data dalam bentuk kata-kata dan gambar.
Dalam penelitian kualitatif ini diharapkan mampu melakukan interpretasi fenomena yang terjadi
untuk mendapatkan pemahaman mendalam. Melalui penelitian lapangan yang dilakukan, sumber
data dibagi menjadi dua yaitu data primer yang berasal dari wawancara peneliti dengan informan
dan observasi partisipasi. Sedangkan data sekunder akan diperoleh melalui studi pustaka dan
beberapa data statistik lapangan sebagai penguat dan penunjang data-data primer. Sementara itu
pendekatan entografi digunakan untuk mendeskripsikan suatu kebudayaan dari sudut pandang
masyarakat yang diteliti (Spradley, 1997). Sehingga dapat diperoleh pengertian yang benar-benar
dipahami masyarakat, karena masyarakat itu sendiri yang menjelaskan. Artinya akan memperoleh
suatu data etik dan emik dalam masyarakat. Berdasarkan pendapat di atas, maka dalam
pengumpulan data lapangan perlu memperhatikan beberapa hal yaitu menggunakan:
a. Observasi
Kegiatan ini dilakukan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan
penginderaan, di mana peneliti terlibat dalam keseharian informan (Bungin, 2007).
Pengamatan serta perencanaan aktivitas respon subjek penelitian dilakukan untuk
mendapatkan lokasi yang sesuai dengan tujuan peneliti.
b. Wawancara
Metode pengumpulan melalui wawancara diperlukan untuk mendapatkan data primer,
yakni data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian. Dalam penelitian ini wawancara
dilakukan kepada pihak-pihak yang dipandang bersangkutan dengan permasalahan dan
sasaran yang hendak dicapai. Cara mendapatkan data dari informan yaitu dengan
melakukan interaksi secara bertatap muka, baik dengan menggunakan panduan
wawancara maupun tanpa panduan wawancara dengan melibatkan diri langsung dalam
kehidupan informan sehingga suasana menjadi hidup dan dilakukan berkali-kali (Rahardjo,
2011).
c. Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan untuk mencari data skunder melalui penelusuran literatur, yaitu
lewat buku-buku, artikel, penelitian ilmiah, dan tulisan-tulisan yang sekiranya mendukung
terhadap permasalah yang dikaji. Data tersebut dimanfaatkan sebagai pelengkap data
primer yang diperoleh melalui wawancara dan observasi.
Data yang diperoleh selama penelitian lapangan dari keterangan-keterangan informan
kemudian dianalisis, analisis data dalam penelitian ini adalah dengan menganalisis data yang
muncul berupa gagasan-gagasan informan. Proses analisi merupakan proses penyeleksian data,
reduksi yang dilakukan dengan penyederhanaan keterangan dari data yang ada. Kemudian data
tersebut dikelompokkan secara terpisah antara latar belakang dan gambaran masyarakat
Kampung Biru Arema serta upaya pembangunan hubungan resiprositas yang ada dalam
kehiduapan sosial ekonomi masyarakat Kampung Biru Arema. Kalimat-kalimat yang disajikan
dilokuskan pada hal yang diteliti, kemudian disimpulkan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Kampung Biru Arema


Lahirnya pemukiman yang tidak layak huni di perkotaan seringkali disebut sebagai pemukiman
kumuh (slum area). Pemukiman kumuh adalah pemukiman yang tidak layak huni karena
ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta
sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Pemukiman kumuh tersebut terbentuk dari
sebuah tatanan kehidupan suatu komunitas yang hidup secara tersendiri dengan batas-batas
sosial dan budaya yang jelas. Secara sosial dan ekonomi, komunitas pemukiman bersifat
heterogen. Warganya memiliki mata pencaharian yang beraneka ragam dan mengenal adanya
pelapisan sosial serta kemampuan perekonomian yang berbeda-beda (Pinandita & Subarsono,
2018:3). Pemukiman kumuh merupakan bagian pemukiman tradisional sebelum masuknya
perencanaan pemukiman modern, yang kemudian di Indonesia disebut dengan nama kampung.
Salah satu kampung kota di Kota Malang yang tergolong kumuh dapat dijumpai di Kelurahan
Kidul Dalem tepatnya di Kampung Biru Arema. Penyebab kumuhnya kampung ini adalah
ketidakseimbangan ketersediaan lahan untuk tempat tinggal. Akibatnya sebagian besar warga di
Kelurahan Kidul Dalem tinggal di bantara Dearah Aliran Sungai (DAS) Brantas. Selain itu,
penyebab kumuhnya kampung ini terbukti dari rendahnya kesadaran warga terhadap kebersihan
lingkungan. Mereka terbiasa membuang sampah sembarangan di sungai. Kurangnya penataan
ruang dalam pendirian rumah dan ketersediaan fasilitas kebersihan yang belum memadai juga
menjadi penyebab kumuhnya pemukiman Kampung Biru Arema, terutama terkait ketersediaan
sanitasi karena tidak semua warga memiliki toilet, hanya ada sebuah toilet umum yang digunakan
warga secara bergantian. Melihat kondisi pemukiman tersebut, kemudian Pemerintah Kota
Malang terinsiprasi dari kampung sebelahnya yaitu, Kampung Warna-Warni yang sukses dibuat
sebagai kawasan wisata berbasis kampung tematik. Kesuksesan tersebut tampak dari adanya
penataan ruang dan mempercantik rumah dengan cat berwarna warni yang menarik dan tidak
monoton. Kesuksesan tersebut menghadirkan wisatawan dari domestik maupun mancanegara.
Sementara itu, potensi wisata yang saat ini dikembangkan oleh Pemerintah Kota Malang
adalah kampung tematik. Kampung tematik yang dipromosikan salah satunya yaitu, Kampung Biru
Arema. Kampung Biru Arema terletak di Jalang Embong Brantas, Kelurahan Kidul Dalem,
Kecamatan Klojen, Kota Malang. Kampung tersebut diresmikan oleh Walikota Malang pada
tanggal 6 Januari 2018 yang sebelumnya telah bekerjasama dengan PT. Indana Paint sebagai
bentuk Corporate Social Responsibility (CSR) dengan sumbangan sebesar Rp, 1,5 miliar dalam
bentuk cat yang mengubah kampung tersebut menjadi kampung berwarna biru (Setiawan,
2019:35). Berdasarkan hasil wawancara bahwa sumbangan dalam bentuk cat tersebut dieksekusi
oleh pekerja PT. Indana Paint untuk mewarnai sekitar 500 rumah menjadi warna biru. Masyarakat
sekitar juga ada beberapa yang membantu pewarnaan tersebut, namun tidak banyak orang.
Mereka lebih memberikan bantuan kepada pekerja tersebut dalam bentuk penyediaan makanan
atau minuman seperti kopi dan gorengan.
Kampung Biru Arema dahulunya disebut sebagai Kampung Embong Brantas. Kawasan
tersebut awalnya mendapat label sebagi kampung kumuh. Kemudian karena melihat kawasan
kumuh di sebelahnya yaitu Kampung Jodipan yang disulap menjadi Kampung Warna-Warni
sukses dijadikan sebagai kampung tematik yang menarik banyak perhatian wisatawan domestik
dan mancanegara. Seperti yang telah diberitakan oleh (Okezone.com, 2018b) Pemerintah Kota
Malang mulai ikut andil dalam penanganan kawasan Kampung Biru Arema sebagai bagian dari
rencana pembangunan nasional. Kampung Biru Arema tersebut dikerjakan selam 4 bulan oleh
tukang dan seniman mural yang didanai oleh perusahaan cat tembok di Kota Malang. Sekitar 15
ton cat digunakan untuk mempercantik bangunan rumah di dua RW yaitu RW 4 dan RW 5 dengan
total 282 kepala keluarga yang tinggal di daerah sana. Seperti yang kita ketahui bahwa warna biru
merupakan warna kebanggaan dari suporter Arema (Arek Malang), hal tersebut terlihat dari
kostum bola-nya berwarna biru.
Setelah diresmikannya Kampung Biru Arema tersebut memberikan harapan baru kepada
masyarakat lokal untuk mengais rezeki dari hadirnya wisatawan. Berdasarkan hasil wawancara,
dulunya pada bulan Januari-Juli 2018 belum dilakukan pengelolaan wisata melalui ticketing.
Kemudian setelah bulan Juli 2018 hingga sekarang pengelolaan ticketing dilakukan dengan
nominal sebesar Rp. 3.000 pada loket yang telah disediakan oleh warga. Loket tersebut berada di
antara jalan kecil menurun di sebelah Jembatan Sungai Berantas. Pengunjung bisa melihat
ornamen-ornamen lampion dan mural klub sepakbola Arema pada pintu masuk. Kampung Biru
Arema juga dihiasi dengan gambar-gambar lucu tiga dimensi, bedanya gambar yang disajikan
merupakan para pemain legenda klub sepakbola Arema sehingga para penggemar klub bola bisa
berfoto dengan tokoh yang diinginkan.
Selain menjadi tempat wisata, dampak yang ditimbulkan adalah perubahan perilaku
masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan. Awalnya warga sekitar sering membuang
sampah di bantaran sungai dan acuh kepada kebersihan lingkungan, namun sekarang kebiasaan
buruk tersebut sudah mulai ditinggalkan. Selain itu, dari adanya parwisata berbasis kampung
tematik ini, masyarakat Kampung Biru mulai mendapatkan dampak kesejahteraan sosial. Karena
setiap hari banyak wisatawan yang datang ke lokasi. Masyarakat yang dulunya pengangguran,
sekarang banyak mulai mendapatkan pekerjaan dari adanya wisata tematik tersebut. Seperti
misalnya, sekitar 5 orang ibu-ibu mulai mendapat pekerjaan untuk jaga di loket secara bergantian
sesuai shift kerja mereka. Kemudian juga ada beberapa orang yang memproduksi kerajinan
tangan yang dijual untuk wisatawan. Selain itu, warga sekitar juga perlahan memulai membuka
usaha-usaha kecil rumahan seperti membuka toko, menjual makanan dan minuman. Artinya,
program kampung tematik tersebut mampu meningkatkan produktivitas dan perekonomian warga
setempat.
3.2 Pengelolaan Wisata Kampung Tematik
Pengelolaan merupakan suatu proses yang membantu merumuskan kebijakan-kebijakan
dan pencapaian tujuan. Peran Pemerintah dalam pengelolaan pariwisata, seperti melaksanakan
pembinaan kepariwisataan dalam bentuk pengaturan, pemberian bimbingan dan pengawasan
terhadap penyelenggaraan. Pengelolaan kawasan wisata adalah upaya peningkatan ekonomi
masyarakat untuk mengaktifkan potensi dan menintegrasikan masyarakat sekitar untuk
memperoleh keuntungan dengan adanya pengelolaan kawasan wisata tematik Kampung Biru
Arema. Sektor pariwisata menjadi salah satu kegiatan ekonomi suatu negara, apabila sektor
pariwisata dikembangkan secara berencana dan terpadu, maka peran sektor pariwisata akan
melebihi industri-industri lainnya. Sektor pariwisata juga memiliki fungsi sebagai katalisator
pembangunan, sekaligus akan mempercepat proses pembangunan itu sendiri. Pariwisata juga
memiliki andil untuk membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat (Yachya, & Mawardi, 2016).
Pariwisata menurut (Yoeti, 1997:63) adalah suatu bentuk perjalanan yang dilakukan untuk
sementara waktu, dari suatu tempat ke tempat lain, dengan maksud tujuan bukan berusaha
(bussines) atau mencari nafkah di tempat yang ia kunjungi, melainkan semata-mata hanya
sebagai konsumen yang menikmati perjalanan tersebut untuk memenuhi keinginan yang
bermacam-macam. Sendangkan dalam Undang-undang RI Nomor 10 tahun 2009 Tentang
Kepariwisataan Pasal 1 Ayat 3 dinyatakan bahwa “pariwisata adalah berbagai macam kegiatan
wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat,
pengusaha, dan pemerintah. Penjelasan tersebut dapat diartikan bahwa pariwisata adalah
kegiatan wisata yang didukung oleh berbagai fasilitas yang disediakan oleh pengelola wisata.
Pengelola wisata tersebut meliputi masyarakat, pemerintah, dan pengusaha.
Seperti yang saya uraikan di atas bahwa perencanaan dan pengelolaan wisata tematik
Kampung Biru Arema juga berdasar pada konsep pariwisata itu sendiri. Bahwa dalam prosesnya
dari awal sebelum terbentuknya wisata hingga terbentukan wisata Kampung Biru Arema beberapa
stakeholder ikut andil berperan dan berpartisipasi dalam mensukseskan tujuan-tujuan pembuatan
kampung wisata tersebut. Peran terbesar dari perencanaan kampung wisata tersebut dipegang
oleh Pemerintah, karena ia yang memiliki otoritas yang tinggi. Pemerintah mulai terinspirasi dari
adanya kesuksesan pembangunan kawasan kumuh Jodipan menjadi Kampung wisata Warna-
warni yang sekarang bisa dinikmati oleh wisatawan domestik maupun mancanegara. Sehingga
berawal dari hal tersebut Pemerintah mulai menerapkan konsep yang sama pada Kampung Biru
Arema. Ia mulai melakukan perubahan tata kelola untuk memperindah dan mempercantik
kawasan Kampung Biru Arema yang bernuasa warna biru sebagai salah satu ikon kebanggaan
warga Malang Raya terhadap club sepakbola Arema. Kampung yang awalnya dilihat kumuh
sekarang dirubah menjadi kampung wisata yang kekumuhannya sekarang tidak terlalu tampak.
Selanjutnya, Pemerintah melakukan kerjasama dengan perusahaan cat yaitu PT. Indana
Paint untuk mengecat sekitar 500 rumah agar tampak berwarna biru. Melalui program Corporate
Social Responsibility (CSR) dengan sumbangan sebesar Rp, 1,5 miliar dalam bentuk cat, hal
tersebut dapat mengubah kampung Brantas yang kumuh tersebut menjadi kampung berwarna
biru. Semua usaha yang dilakukan oleh stakeholder ini diberikan sepenuhnya kepada masyarakat
Kampung Biru Arema sebagai bentuk pelayanan mereka. Harapannya masyarakat dapat
memperoleh keuntungan ekonomi dari adanya program tersebut. Kemudian, setelah program itu
dijalankan, masyarakat lokal awalnya banyak yang menolak, namun setelah melalui negosiasi
dengan tokoh masyarakat Kampung Biru Arema yaitu pak Wawan, banyak masayarakat yang
mulai sadar akan adanya dampak positif dari wisata pembangunan kampung tematik tersebut.
Masyarakat mulai bergotong royong membantu beberapa pekerjaan yang sekiranya bisa
mereka kerjakan. Dalam proses pengecatan rumah, ada beberapa masyarakat yang ikut andil
dalam kegiatan tersebut. Selebihnya masyarakat mulai sadar untuk memperbaiki sarana dan
prasarana yang akan disediakan untuk wisatawan. Sementara itu, beberapa warga memiliki
kewajiban untuk berbagi dengan sesama anggota kelompok masyarakat dengan memberikan
kontribusi seperti menyumbang makanan dan minuman kepada pekerja yang ngecat rumah.
Berbagai fasilitas pendukung untuk mewujudkan Kampung Biru Arema di Kelurahan Kidul Dalem
masyarakat setiap hari minggu rutin melakukan kerja bakti untuk perawatan berbagai sarana
umum. Perawatan tersebut dilakukan dalam bentuk perbaikan akses jalan, taman-taman
kampung, toilet umum, penerangan dan penyiapan lahan parkir. Semua itu adalah hasil swadaya
warga Kampung Biru Arema.
Setelah semuanya sudah siap menjadi kawasan kampung wisata tematik, masyarakat
mulai membentuk sistem pengelola secara terogranisir melalui Kelompok Sadar Wisata dan
Karang Taruna. Wujud dari pengelolaan tersebut antara lain yaitu adanya ornamen mural,
penyediaan loket, penambahan tanaman di pinggir-pinggir lorong, memunculkan usaha-usaha
kecil seperti jualan siomay atau bakso dan warung.
Dengan demikian, pengelolaan kampung wisata tematik tersebut adalah bentuk dari
adanya kerjasama berbagai stakeholder dalam mewujudkan Kampung Biru Arema untuk
menfasilitasi masyarakat dalam bentuk wista kampung tematik sebagai upaya untuk
meningkatkan perekonomiannya dan menghapus citra kumuh di wilayah tersebut.
3.2.1 Penambahan spot foto wisatawan
Spot foto adalah tempat wisatawan untuk menikmati suasana yang instagramable.
Suasana tersebut diwujudkan oleh warga Kampung Biru melalui mural logo-logo Arema, singo
edan, dan foto pemain Arema. Ketika saya hadir disana, saya merasakan nuansa Arema banget.
Saya memasuki lorong-lorong atau gang sempit yang padat penduduk, di tembok-tembok sebelah
kanan kiri tempat saya berjalan ada beberapa logo-logo Arema dan Singoendan yang dilukis.
Lukisan mural tersebut beradasarkan hasil wawancara bahwa hal tersebut dilukis oleh orang-
orang yang ahli dibindangnya, ada beberapa dari mahasiswa Universitas Brawijaya yang
menyumbangkan karya lukisan muralnya di sana dan beberapa lainnya dari orang-orang
panggilan.
Selain adanya lukisan mural tersebut, di bawah jembatan yang memisahkan Kampung Biru
Arema dengan Kampung Warna-Warni ada patung singoedan dan panggung. Tempat tersebut
sebagai salah satu tempat spot foto utama wisatawan, karena disana adalah tempat di mana
warga sekitar mengadakan acara-acara kolektif.
Penambahan spot-spot foto tersebut merupakan bentuk pengelolaan masyarakat lokal
yang diberikan untuk wisatawan. Sehingga dengan adanya hal-hal tersebut wisatawan dapat
secara leluasa menikmati suasana Kampung Biru Arema yang khas Malang.

3.2.2 Masyarakat bergabung dengan kelompok


Pengelolaan kawasan wisata, secara khusus dikatakan sangat efektif dalam mendukung
usaha kecil dan penciptaan kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar. Pengelolaan tersebut
meruapakan tanggung jawab masyarakat lokal untuk melakukan perawatan pada kampungya.
Ada upaya dari pemerintah untuk memberikan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat, sehingga
masyarakat juga memiliki hubungan timbal balik dengan Pemerintah.
Dalam dimensi ekonomi pengelolaan kampung tematik tersebut memainkan peran penting
warga lokal sebagai katalis bagi pembangunan wilayah. Pengelolaan tersebu berpengaruh besar
terhadap masyarakat sekitar. Masyarakat yang dulunya tinggal di kawasan yang berlabel tidak
layak huni (kumuh) dan banyak yang pengangguran, sekarang bergabung sebagai kelompok
sadar wisata. Masyarakat sekitar dapat bergabung sebagai anggota kelompok tersebut untuk
dapat bekerja dan mendapatkan penghasilan dari pengelolaan kawasan kampung wisata tematik
yang telah dibangun tersebut. masyarakat sekitar dapat bekerja sesuai dengan keahliannya.
Seperti misalnya ada yang bergabung dalam sistem kerja shift di penjagaan loket. Kemudian ada
yang mengembangkan usah kecil menegahnya seperti menyulap sampah kering menjadi bahan-
bahan siap pakai, seperti vas bunga, hiasa meja, aksesoris wanita dan lain sebagainya. Selain
akesesoris, masyarakat sekitar juga mengembangkan usaha dagang, seperti berjualan makanan
dan minuman.

3.2.3 Masyarakat sekitar berwirausaha


Dalam pengelolaan wisata kampung tematik sangat menguntungkan bagi masyarakat
sekitar, terutama dari sektor beriwausaha. Masyarakat sekitar tidak hanya memperoleh
keuntungan dari bergabung dengan kelompok, masyarakat sekitar yang tidak tergabung dalam
kelompok mereka dapat berwirausaha. Masyarakat yang berwirausaha membuka toko, menjual
makanan dan minuman, serta mengaplikasikan keahliannya dalam membuat kerajinan buah
tangan.
Menurut Yoeti (2008:58) pembangunan wisata diarahkan pada peningkatan pariwisata
untuk menjadikan sektor andalan yang mampu mengalahkan kegiatan ekonomi, termasuk sektor-
sektor lainnya yang terikat, sehingga lapangan pekerjaan dan pendapatan masyarakat dapat
meningkat. Berkaitan dengan pembangunan ekonomi masyarakat sekitar merupakan kegiatan
yang amat penting untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar. Dalam upaya peningkatan
ekonomi, masyarakat sekitar dapat berwirausaha melalui bisnis kuliner, bisnis penjualan oleh-
oleh, dan bisnis toko.
Selain itu, aspek pengembangan sumber daya manusia melalui penggalian ide kreatif
sangat penting dilakukan agar masyarakat sekitar sebagai pemilik bisa terus mempertahankan
tempat wisata mereka sehingga bisa menarik minat pengunjung. Sebagai kampung wisata tematik
tersebut masyarakat selalu mengadakan pertemuan untuk mengembangkan potensi wisata yang
mereka miliki. Pelatihan yang dilakukan kepada ibu-ibu PKK dalam seminggu sekali sangat
penting dilakukan untuk memproduksi kerajianan-kerajinan tangan seperti souvenir gantungan
kunci yang mereka buat untuk wisatawan. Di Kampung Biru Arema juga mengadakan pertemuan
ibu-ibu PKK yang mana dalam pertemuan tersebut diselingi dengan pelatihan penggunaan barang
bekas yang dimanfaatkan sebagai hiasan yang nantinya dijadikan sebagai spot-spot foto.

3.2.4 Sistem ticketing


Masyarakat yang tergabung dalam kelompok sadar wisata bisa ikut andil dalam mengelola
sistem ticketing kampung wisata tersebut. Dalam upaya meningkatkan perekonomian
masayarakat sekitar sistem ticketing sangat diperlukan. Tiket tersebut dijadikan syarat wisatawan
untuk menikmati suasana Kampung Biru Arema. Pengelolaan tiket tersebut dilakukan dengan cara
selama satu hari terdapat 2 orang yang jaga secara bergantian sesuai dengan shift yang sudah
disepakati. Berdasarkan wawancara saya dengan penjaga loket bahwa harga tiket masuk ke
kawasan Kampung Biru Arema seharga Rp. 3.000 dan parkir sepeda motor seharga Rp. 2.000.
Pembagian hasil dari tiket yang Rp. 3.000 tersebut dapat diuraikan seperti ini: Rp. 1.000 untuk kas
kampung, Rp. 1.100 untuk pengrajin souvenir, Rp. 900 untuk penjaga loket. Hal tersebut sudah
diatur dan disepakati bersama dengan pengelola kampung. Pendapatan yang dihasilkan dari
ticketing tersebut digunakan oleh membiayai perawatan kampung agar dapat terjaga dan bisa
terus mempertahankan tempat wisata mereka sehingga bisa menarik minat wisatawan lebih
banyak.
Salah satu prinsip pembentukan kampung wisata tematik tersebut adalah pendistribusian
(pembagian) keuntungan secara adil pada anggota komunitas. Hal ini dilakukan untuk
menghindari perselisihan antar anggota kelompok. Kawasan Kampung Biru Arema juga
menerapkan sistem pembagian keuntungan secara adil. Anggota yang rajin melakukan penjagaan
di loket maka mereka berhak mendapatkan keuntungan lebih banyak, hal ini sesuai dengan
kesepatkan yang telah disepakati oleh anggota kelompok. Sendangkan mereka yang tidak aktif
mendapatkan keuntungan yang lebih sedikit dibandingkan mereka yang aktif dan rajin. Hal ini
dilakukan guna memotivasi kinerja anggota, agar mereka aktif dan ikut bertanggung jawab dengan
apa yang dia kerjakan.

3.2.5 Tanaman di pinggir-pinggir lorong

(Gambar 1: saya saat sedang melintasi lorong pemukiman warga)

Sebagai kampung wisata tematik, di setiap dinding-dinding rumah warga dihiasi dengan
gambar-gambar Arema serta tokoh-tokoh pemain sepakbola club Arema. Sekarang di Kampung
Biru Arema dilengkapi dengan pengembangan budi daya ikan dan tanaman organik, seperti
bunga hias, serta pengelolaan limba air rumah tangga yang ramah lingkungan. Perkembangan
Kampung Biru Arema sangat cepat dan mampu mengimbangi dan mampu mengimbangi kampung
tematik lain di Kota Malang.
Ketika Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Biru Langit di Kampung Biru Arema telah
mengadakan kegiatan talk show yang mengangkat isu-isu tentang kepedulian lingkungan. Hal
tersebut mampu memotivasi semangat warga untuk lebih peduli dengan lingkungar sekitar mereka
dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk mereka. Di Kampung Biru Arema ini lebih
mengedepankan wisata edukasi lingkungan sehingga diharapkan wisatawan juga dapat belajar
tentang tata kelola lingkungan. Bentuk-bentuk tata kelola lingkungan tersebut dicerminkan oleh
warga sekitar melalui tanaman yang ada di sekitar pinggir-pinggir lorong rumah. Setiap rumah di
kawasan Kampung Biru Arema dipasang tanaman hidroponik. Penanamanya sendiri dikelola oleh
anggota kelompok PKK. Jadi setiap rumah yang tidak ikut kerja bakti di hari minggu didenda
dengan memberikan dua buah pot beserta tanaman. Selain itu, warga sekitar Kampung Biru
Arema diwajibkan untuk mengeluarkan tanaman di depan rumahnya. Tanaman-tanaman tersebut
seringkali digunakan untuk memperindah tampilan sebuah ruang maupun halaman rumah.
Di sisi lain, ketika saya berada di samping loket, saya melihat ada tanaman budidaya
kangkung dan cabe. Setelah saya bertanya kepada ibu yang jaga di loket, tanaman tersebut
merupakan tanaman budidaya yang dikelola oleh ibu-ibu PKK.
(Gambar 2: Budidaya tanaman milik warga Kampung Biru Arema)

Sebagai kawasan destinasi wisata, masyarakat sekitar mulai aktif untuk menjadikan
kampung tersebut sebagai kampung mandiri. Upaya budidaya tanaman tersebut merupakan
bentuk gotong-royong anggota kelompok untuk merawat kampungnya agar terlihat lebih asri.
Sehingga pemandangan tanaman-tamanan yang ada di lorong-lorong rumah warga menambah
kesan yang sejuk untuk dipandang wisatawan.

3.3 Implikasi masyarakat membangun resiprositas


Secara sederhana masyarakat telah membangun upaya pertukaran timbal balik antar
individu atau kelompok. Syarat individu atau beberapa kelompok tersebut agar dapat melakukan
aktivitas resiprositas adalah adanya hubungan personal di antara mereka. Pola hubungan ini
terjadi di dalam komunitas kecil masyarakat Kampung Biru Arema di mana anggota-anggota
kelompok tersebut menempati lapangan hidup yang sama. Dalam komunitas kecil tersebut kontrol
sosial sangat kuat dan hubungan sosial yang intensif mendorong orang untuk berbuat mematuhi
suatu aktivitas yang menjadi kebiasaan mereka (Hudayana, 1991).
Proses pertukaran resiprositas bukan hanya proses yang pendek, namun juga dapat
panjang, yaitu jangka waktunya memakan waktu bukan hanya sekejab seperti proses jual beli.
Bahkan proses tersebu bisa berlangsung sepajang hidupnya individu dalam masyarakat, bahkan
mungkin sampai di teruskan oleh anak keturunanya. Di Kampung Biru Arema juga ada beberapa
bentuk resiprositas yang tercermin dalam kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan masyarakat
sekitar. Kegiatan-kegiatan sosial yang dimaksudkan adalah salah satunya seperti upaya kolektif
masyarakat melakukan perbaikan sarana dan prasarana sebelum dicat, dan melakukan
pengelolaan kampung wisata pasca di cat dengan bentuk membuat mekanisme pembagian
sistem kerja loket, kerja bakti mempercantik kampung dengan tanaman, dan pemuculan usaha
kecil menengah (UKM). Dalam aktivitas tersebut mereka tidak menempatkan diri pada kedudukan
sosial yang berbeda, mereka sama-sama sebagai warga kelompok masyarakat kampung.
Meskipun sebagai warga kampung mereka memiliki derajat kekayaan dan prestise sosial yang
berbeda-beda. Dalam peristiwa tersebut mereka perannya sama, yaitu memiliki tanggung jawab
untuk mengelola kampung dan melayani wisatawan. Situasi seperti ini bisa berlangsung karena
komunitas tempat hidup warga Kampung Biru Arema mejaga homogenitas, dan resiprositas yang
menjadi perwujudan dari nilai-nilai kebersamaan.
Pentingnya syarat adanya hubungan personal bagi aktivitas resiprositas adalah berkaitan
dengan motif-motif dari orang yang melakukan resiprositas. Motif tersebut adalah harapan untuk
mendapatkan prestise sosial seperti misalnya: penghargaan, kemuliaan, kewibawaan, popularitas,
sanjungan, dan berkah. Motif tersebut tidak hanya ditunjukan kepada pihak-pihak yang melakukan
kerjasama resiprositas, namun juga lingkungan di mana mereka berada (Hudayana, 1991).
Keberadaan resiprositas juga ditunjang oleh struktur masyarakat yang egaliter. Suatu
masyarakat yang ditandai oleh rendahnya tingkat stratifikasi sosial, sedangkan kekuasaan politik
relatif terdistribusi merata di kalangan warganya. Struktur masyarakat yang egaliter ini memberi
kemudahan bagi warganya untuk menempatkan diri dalam kategori sosial yang sama ketika
mengadakan kontak resiprositas.
Beberapa aktivitas yang dilakukan oleh warga Kampung Biru Arema merupakan usaha
mereka membangun hubungan resiprositas dengan individu maupun kelompok. Terlihat dari
aktivitas pengelolaan dan perawatan kampung wisata tematik tersebut, dikelola secara terorganisir
dan dilakukan dengan cara kerjasama dan gotong royong. Upaya tindakan masyarakat melakukan
aktivitas tersebut merupakan peluang masyarakat untuk menjalin hubungan resiprositas umum.
Resiprositas umum berlaku di kalangan golongan masyarakat yang miskin, dan golongan
masyarakat yang memperoleh nafkah tidak tetap. Beberapa ahli menilai suatu aktivitas gotong-
royong sebagai kata lain dari resiprositas, merupakan suatu mekanisme untuk mengatasi
kemiskinan (Hudayana, 1991). Pendapat ini dapat dibenarkan, mengingat dengan melakukan
kerjasama resiprositas, warga di Kampung Biru Arema dapat berbagai resiko menghadapai
kekurangan sandang, pangan, dan papan. Sejatinya Kampung Biru Arema berada di tengah-
tengah kota, namun kultur masyarakatnya masih dibilang sama seperti orang desa yang
mempunyai adat sambatan dalam kampung sebagai kawasan wisata tematik dan dengan
lembaga tersebut pekerjaan dan biaya yang ditanggung menjadi ringan karena dibantu oleh
stakeholder dan warga masyarakat secara kolektif.
Program pembangunan kawasan kumuh menjadi kawasan wisata tematik dari Pemerintah
Kota Malang ternyata membawa dampak pengaruh yang positif untuk masyarakat kota, pada
khususnya masyarakat Kampung Biru Arema. Adanya pemberian program kampung wisata
tematik tersebut terjalin hubungan timbal balik antara Pemerintah dengan Masyarakat sekitar.
Resiprositas ini dilatarbelakangan oleh beberapa faktor yaitu sosial dan budaya masyarakat.
Ketika masyarakat di berikan program wisata kampung tematik tersebut. Mereka juga memiliki hak
untuk mengelola kawasan tersebut. Jika dilihat dari sudut pandang ekonomi, resiprositas dapat
meringankan hubungan masyarakat ketika mengadakan upaya pengelolaan dan perawatan
kampung itu secara kolektif. Walaupun permasalahan pendanaan untuk perawatan tersebut masih
kurang tetapi mereka berupaya secara kolektif untuk memenuhi kekurangan tersebut dengan cara
iuran kas kampung agar mereka tetap bisa melakukan perawatan kampungnya.
Hubungan yang dikelola sebagai tenaga untuk perawatan kampung biasanya direkrut dari
tetangga, karena tetangga saling kenal dekat dan percaya. Hubungan ketetanggan merupakan
salah satu faktor untuk mempermudah pengelola dalam mengelola kampung wisata tematik
tersebut. Hubungan ketetanggan terjalin ketika mereka melakukan aktivitas bersama seperti,
acara kerja bakti, acara arisan mingguan, kegiatan posyandu, dan lain-lain. Aktivitas inilah yang
akhirnya memperkuat rasa solidaritas antar warganya yang mampu merubah ke arah hubungan
kekeluargaan. Hal ini dapat terlihat jelas ketik antar warga saling bekerjasama mengurus
kampungnya.
Aktivitas pengelolaan kampung wisata tematik tersebut telah menjadi tanggung jawab
warga Kampung Biru Arema untuk melakukan perawatan kampungya. Sehingga dalam hal ini
terjadi hubungan timbal balik antar sesama individu dan antar kelompok. Di mana kelompok
masyarakat di Kampung Biru Arema, mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pemberian
tersebut kepada Pemerintah. Pengembalian tersebut bukan sepenuhnya diartikan dalam bentuk
uang, namun dalam resiporitas hal tersebut dapat dikembalikan oleh masyarakat Kampung Biru
Arema dalam bentuk prestise. Hal tersebut sudah dapat dibukitikan dengan adanya upaya
masyarakat mengelola kampungya dan masyarakat mulai sadar akan adanya dampak positif
kampung wisata tematik tersebut. sehingga usaha yang dilakukan oleh masyarakat sekitar dapat
dinikmati oleh wisatawan domestik dan mancanegara. Kedatangan wisatawan telah memberikan
keuntungan tersendiri bagi Pemerintah. Selain itu, prestise yang diraih oleh Kampung Biru Arema
yang semula merupakan kampung kumuh sekaran disulap menjadi kampung wisata tematik yang
lebih tertata dan rapi. Hal tersebut merupaka imbalan yang diberikan oleh masyarakat kepada
Pemerintah. Sehingga Pemerintah dan stakeholder yang membantu merencanakan dan
membangun kawasan tersebut ikut senang karena program yang mereka jalankan berhasil.

4. KESIMPULAN
Kampung Biru Arema merupakan salah satu kampung wisata tematik yang digagas oleh
Pemerintah Kota Malang untuk meningkatkan kesejahteraan warga masyarakat. Pemukiman
warga secara fisik sudah dikemas dengan cukup menarik. Awalnya kampung ini terlihat kumuh,
sehingga pemerintah melirik keberhasilan kampung sebelah, yaitu Kampung warna-warni. Oleh
sebab itu, Pemerintah Kota Malang mulai menerapkan konsep yang sama di Kampung Biru
Arema. Keberadaan kampung ini semakin melengkapi wisata kampung tematik.
Prosesnya dari awal sebelum terbentuknya wisata hingga terbentukan wisata Kampung
Biru Arema beberapa stakeholder ikut andil berperan dan berpartisipasi dalam mensukseskan
tujuan-tujuan pembuatan kampung wisata tersebut. Peran terbesar dari perencanaan kampung
wisata tersebut dipegang oleh Pemerintah, karena ia yang memiliki otoritas yang tinggi.
Pemerintah mulai terinspirasi dari adanya kesuksesan pembangunan kawasan kumuh Jodipan
menjadi Kampung wisata Warna-warni yang sekarang bisa dinikmati oleh wisatawan domestik
maupun mancanegara. Sehingga Pemerintah Kota Malang menerapkan konsep yang sama di
Kampung Biru Arema. Keberadaan kampung ini semakin melengkapi wisata kampung tematik.
Sebanyak 500 rumah yang dicat warna biru dan selesai proses pembangunannya pada
akhir tahun 2017. Mereka mendapat bantuan dari program Corporate Social Rensponsibility
(CSR) dari PT. Indana Paint. Hal tersebut membuat warga juga melakukan swadaya seperti
perbaikan sarana dan prasarana sebelum dicat.
Usaha yang dilakukan oleh masyarakat secara gotong royong untuk membangun kawasan
ini menjadi lebih menarik dan diminati oleh wisatawan dilakukan secara rutin. Gotong royong
sebagai bentuk kolektif merupakan salah satu ciri khas masyarakat Indonesia untuk melakukan
sebuah kegiatan bersama-sama dengan satu tujuan. Di Kampung Biru Arema juga ada beberapa
bentuk resiprositas yang tercermin dalam kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan masyarakat
sekitar. Kegiatan-kegiatan sosial yang dimaksudkan adalah salah satunya seperti upaya kolektif
masyarakat melakukan perbaikan sarana dan prasarana sebelum dicat, dan melakukan
pengelolaan kampung wisata pasca di cat dengan bentuk membuat mekanisme pembagian
sistem kerja loket, kerja bakti mempercantik kampung dengan tanaman, dan pemuculan usaha
kecil menengah.
Aktivitas pengelolaan kampung wisata tematik tersebut telah menjadi tanggung jawab
warga Kampung Biru Arema untuk melakukan perawatan kampungya. Beberapa usaha perawatan
kampung yang dilakukan oleh masyarakat yaitu seperti menambah spot foto untuk menikmati
suasana yang instagramable. Suasana tersebut diwujudkan oleh warga Kampung Biru melalui
mural logo-logo Arema, singo edan, dan foto pemain Arema. Hal tersebut sepenuhnya diberikan
untuk wisatawan. Kemudian, dalam pengelolaan wisata kampung tematik sangat menguntungkan
bagi masyarakat sekitar, terutama dari sektor wirausaha. Masyarakat sekitar tidak hanya
memperoleh keuntungan dari bergabung dengan kelompok, masyarakat sekitar yang tidak
tergabung dalam kelompok mereka dapat berwirausaha. Masyarakat yang berwirausaha
membuka toko, menjual makanan dan minuman, serta mengaplikasikan keahliannya dalam
membuat kerajinan buah tangan. Selanjutnya, salah satu prinsip pembentukan kampung wisata
tematik tersebut adalah pendistribusian (pembagian) keuntungan secara adil pada anggota
komunitas. Hal tersebut dilakukan dalam wujud pengelolaan sistem ticketing wisata. Yang terakhir,
sebagai kawasan destinasi wisata, masyarakat sekitar mulai aktif untuk menjadikan kampung
tersebut sebagai kampung mandiri. Upaya budidaya tanaman tersebut merupakan bentuk gotong-
royong anggota kelompok untuk merawat kampungnya agar terlihat lebih asri. Sehingga
pemandangan tanaman-tamanan yang ada di lorong-lorong rumah warga menambah kesan yang
sejuk untuk dipandang wisatawan.
Beberapa aktivitas yang dilakukan oleh warga Kampung Biru Arema merupakan usaha
mereka membangun hubungan resiprositas dengan individu maupun kelompok. Terlihat dari
aktivitas pengelolaan dan perawatan kampung wisata tematik tersebut, dikelola secara terorganisir
dan dilakukan dengan cara kerjasama dan gotong royong. Sehingga dalam hal ini terjadi
hubungan timbal balik antar sesama individu dan antar kelompok. Di mana kelompok masyarakat
di Kampung Biru Arema, mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pemberian tersebut kepada
Pemerintah. Pengembalian tersebut bukan sepenuhnya diartikan dalam bentuk uang, namun
dalam resiporitas hal tersebut dapat dikembalikan oleh masyarakat Kampung Biru Arema dalam
bentuk prestise. Hal tersebut sudah dapat dibukitikan dengan adanya upaya masyarakat
mengelola kampungya dan masyarakat mulai sadar akan adanya dampak positif kampung wisata
tematik tersebut. Dengan demikian, eksistensi kota dalam setting kota tentunya sangat
bergantung pada peran warga dan aktor-aktor lain dalam memajukan kampungnya menjadi
kampung yang bermakna. Bermakna bagi warga penghuninya dan dalam tata ruang kota.

DAFTAR PUSTAKA
1. Bungin, B. (2007). Penelitian kualitatif: komunikasi, ekonomi, kebijakan publik,
dan ilmu sosial lainnya. Kencana.
2. Dalton, G. (1961). Economic Theory and Primitive Society 1. American anthropologist, 63(1), 1-25.
3. Denzin, N. K., & Lincoln, Y. S. (Eds.). (2011). The Sage handbook of qualitative
research. Sage.
4. Hudayana, B. (1991). Konsep resiprositas dalam antropologi ekonomi. Jurnal Humaniora, (3).
5. Koentjaraningrat, K. (2019). Sistem Gotong Royong dan Jiwa gotong Royong. Antropologi
Indonesia, 4-16.
6. Michi, S. A. (2018). Kampung Biru Arema: Dulu Kumuh Kini Jadi Lokasi Wisata Baru. Dikutip pada
tanggal 5 Desember 2019 dari https://kumparan.com/kumparantravel/kampung-biru-arema-dulu-
kumuh-kini-jadi-lokasi-wisata-baru
7. Midaada, A. (2018). Kampung Biru Arema, dari Wilayah Kumuh Menjadi Destinasi Wisata Kece.
Dikutip pada tanggal 5 Desember 2019 dari
https://lifestyle.okezone.com/read/2018/03/05/406/1867969/kampung-biru-arema-dari-wilayah-
kumuh-menjadi-destinasi-wisata-kece?page=2
8. Pemerintah, R. I. (2009). Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2009 Tentang
Kepariwisataan. Jakarta: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
9. Pinandita, I. S., & Subarsono, P. A. (2018). Kampung Wisata Sebagai Wujud Transformasi
Masyarakat Kampung Kumuh Jodipan (Studi Kasus: Kampung Warna-Warni Jodipan, Di
Kampung Juanda, Kelurahan Jodipan, Kecamatan Blimbing, Kota Malang) (Doctoral Dissertation,
Universitas Gadjah Mada).
10. Rahardjo, M. (2011). Metode pengumpulan data penelitian kualitatif.
11. Setiawan, F. N., Nufiarni, R., & Pujiyanti, F. (2019). Pemetaan Rute Wisata Kampung Biru Arema
(KBA) Kota Malang. Jurnal Surya Masyarakat, 2(1), 35-44.
12. Somantri, G. R. (2005). Memahami metode kualitatif. Makara, Sosial Humaniora,
9 (2), 57–65.
13. Wicaksono, S. (2018). Potret Kampung Biru Arema, Wisata Baru Kebanggaan Malang. Dikutip
pada tanggal 5 Desember 2019 dari https://phinemo.com/potret-kampung-biru-arema-
kebanggaan-malang/
14. Yachya, A. N., & Mawardi, M. K. (2016). Pengelolaan Kawasan Wisata Sebagai Upaya
Peningkatan Ekonomi Masyarakat Berbasis Cbt (Community Based Tourism)(Studi Pada
Kawasan Wisata Pantai Clungup Kabupaten Malang). Jurnal Administrasi Bisnis, 39(2), 107-116.
15. Yoeti, H. O. A. (1997). Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata Penerbit PT. Pradnya
Paramita (cetakan pertama), Jakarta.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai