Anda di halaman 1dari 13

REFERAT

EVALUASI PENANGANAN KANKER OVARIUM PASCA


PEMBEDAHAN DAN KEMOTERAPI

OLEH :

Nurkamilawati Arista

PEMBIMBING :

Prof.Dr.dr. Syahrul Rauf, Sp.OG(K)

DIVISI ONKOLOGI
DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018

1
EVALUASI PENANGANAN KANKER OVARIUM PASCA
PEMBEDAHAN DAN KEMOTERAPI

I. Pendahuluan

Kanker ovarium adalah kanker terbanyak keenam yang menyerang


wanita. Di seluruh dunia lebih dari 200.000 kasus baru kanker ovarium
setiap tahun, terhitung sekitar 4% dari semua kanker yang didiagnosis pada
wanita. Di Eropa, 37% hingga 41% wanita dengan kanker ovarium bertahan
hidup hingga lima tahun setelah diagnosis. Rendahnya angka harapan
hidup pada sebagian besar penderita kanker ovarium dikarenakan
sebagian besar wanita didiagnosis pada stadium lanjut. Angka harapan
hidup 5 tahun kanker ovarium setelah memulai terapi berkisar antara 41%
dan 43%. Selama beberapa dekade terakhir, peningkatan angka
kelangsungan hidup 5 tahun telah diobservasi, kemungkinan diakibatkan
kemajuan dalam teknik pembedahan dan agen kemoterapi. Diperkirakan
70% -75% pasien akan mengalami kekambuhan, dengan median waktu
hingga rekurensi 18-24 bulan. 1-2

Di antara pasien dengan stadium III dan telah dilakukan optimal


debulking, 50% akan memiliki respon patologis lengkap setelah kemoterapi
lini pertama dengan kelangsungan hidup bebas kanker rata-rata 18 bulan .
Sekitar 20 hingga 30% dari wanita ini akan mengalami kemajuan atau gagal
mencapai respons klinis lengkap saat menerima terapi lini pertama dan
diklasifikasikan sebagai refraktori platinum. 25% wanita lainnya akan
kambuh dalam waktu 6 bulan setelah selesainya terapi lini pertama dan
diklasifikasikan sebagai resisten platinum. Para pasien yang tersisa
dianggap sensitif platinum dan mundur dengan terapi berbasis platinum
meningkatkan risiko toksitas kumulatif terkait platinum.1

Evaluasi secara terstruktur pada pasien yang telah diklasifikasikan


sebagai bebas kanker setelah terapi utama atau yang dikenal sebagai
surveilans dilakukan untuk mengidentifikasi rekurensi penyakit dan untuk

2
memberikan intervensi terapeutik untuk memberikan hasil yang lebih baik.
Menagani efek samping dari pengobatan primer, memfasilitasi perekrutan
untuk uji klinis, atau membangun hubungan antara pasien dan tim onkologi
dalam mengantisipasi kekambuhan berikutnya telah disebutkan sebagai
alasan tambahan untuk evaluasi lanjut. Ada banyak pilihan untuk
surveilance kanker ovarium termasuk pemeriksaan fisik, berbagai
modalitas radiologi, dan pengukuran serum penanda tumor. Von Georgi dkk
mempelajari 704 pasien yang dinyatakan bebas kanker setelah terapi
adjuvan dan dievaluasi dengan berbagai modalitas , hasilnya tidak ada
yang perbedaan terhadap angka ketahanan hidup.2-3

Pasien dan dokter harus secara hati-hati mempertimbangkan pilihan


modalitas evaluasi pasca terapi diberikan, karena akan memiliki dampak
pada kualitas hidup, dan sumber daya yang seringkali terbatas.

II. Rekomendasi Evaluasi Pasca Terapi pada Kanker Oavrium

The National Comprehensive Cancer Network (NCCN) dan Society


of Gynecologic Oncology (SGO) mengeluarkan rekomendasi untuk
surveilans kanker ovarium. NCCN merekomendasikan kunjungan berseri
termasuk pemeriksaan fisis panggul dan pengukuran kadar CA-125 jika
awalnya meningkat. Pencitraan dianjurkan jika secara klinis diindikasikan
dengan PET scan yang memiliki rekomendasi Kategori 2B (konsensus
NCCN berdasarkan studi retrospektif). Sisa bukti untuk pedoman NCCN
adalah Kategori 2A berdasarkan pada “tingkat rendah” atau penelitian
retrospektif bahwa intervensi tersebut tepat. Pada bulan Juni 2011, SGO
menerbitkan rekomendasi untuk surveilans pasca perawatan pada wanita
yang telah mencapai respon lengkap terhadap terapi adjuvant. Pedoman
berbasis bukti ini umumnya sesuai dengan pedoman NCCN dengan
penekanan pada penilaian gejala dan pemeriksaan fisik. Menurut
rekomendasi SGO, peran CA125 harus disesuaikan dengan gejalan pasien
dan pemeriksaannya merupakan pilihan.1,3,4

3
1. Pemeriksaan Fisis

Kunjungan kontrol evaluasi pasca terapi dan pemeriksaan fisik


direkomendasikan setiap 2-4 bulan selama dua tahun kemudian setiap 4-6
bulan selama tiga tahun, kemudian setiap tahun setelah lima tahun. Chan
et al (2008) melakukan penelitian retrospektif untuk menentukan angka
kekambuhan yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan fisik, pencitraan,
atau kadar CA-125 . Dari 80 pasien 3 pasien(4%) diketahui adanya
kekambuhan hanya mellaui pemeriksaan fisik, sementara 28 pasien (35%)
ditemukan adanya kekambuhan setelah ada gejalan. Kadar CA-125
meningkat pada lebih dari 90% pasien yang mengalami rekurensi dan,
setelah anamnesis atau pemeriksaan fisik yang lebih rinci, gejala dan tanda
dapat terdeteksi. Akibatnya, di antara pasien yang kambuh 55% memiliki
gejala dan 53% memiliki temuan fisik. Pasien yang memiliki peningkatan
kadar CA-125 memiliki kelangsungan hidup yang jauh lebih buruk daripada
pasien dengan nilai normal. Namun, ketika pasien dengan CA125 yang
tinggi distratifikasi oleh adanya gejala atau temuan fisik yang abnormal tidak
ada perbedaan dalam angka kelangsungan hidup. Sebuah studi oleh Fehm
et al (2005) pada 58 pasien dengan kanker ovarium rekuren ditemukan
bahwa 60% pasien mengalami gejala : yang paling umum adalah nyeri
perut. Lebih lanjut, 77% memiliki bukti kekambuhan pada pemeriksaan fisik,
89% dalam kasus kekambuhan panggul, sementara 83% mengalami
peningkatan CA125. Tidak jelas dari penelitian ini apakah pasien rekurensi
ditemukan melalui pemeriksaan fisik atau ditemukan setelah peningkatan
kadar CA125 atau keluhan pasien . Von Georgi dkk melaporkan dalam
kohort pada 704 pasien kanker ovarium bahwa 28% dari wanita ini
didiagnosis dengan gejala, dan 15% oleh pemeriksaan ginekologi. Dalam
banyak studi ini pemeriksaan fisik dilakukan oleh trainee dan dokter
kandungan umum. Namun, hasil pemeriksaan fisik harus disesuaikan
dengan gejala dari pasien dan hasil dari kadar Ca-125, karena sangat
jarang ditemukan kekambuhan kanker ovarium hanya berdsarkan
pemeriksaan fisik saja. Terakhir, yang meskipun tidak secara rutin

4
dilakukan di sebagian besar pusat kanker, yaitu pemeriksaan sitologi vagina
yang memiliki sensitivitas sangat rendah untuk mendeteksi kekambuhan
dan tidak direkomendasikan dalam pedoman saat ini.3,5,6

2. Radiologi

The Response Evaluation Criteria in Solid Tumours (RECIST)


digunakan untuk menilai respon tumor baik dalam percobaan atau
pengaturan klinis.

Gambar 1. Kriteria RECIST4

Kriteria ini dikembangkan untuk membakukan bagaimana respon


diukur dan menyederhanakan pengukuran tumor menggunakan parameter
unidimensional . Kriteria GCIG untuk progression oleh RECIST adalah
setiap lesi baru atau 20% peningkatan dalam jumlah diameter terpanjang
dari semua lesi. Kriteria perkembangan ini dapat digunakan sendiri atau
kombinasi dengan CA-125 . Penilaian independen berdasarkan pencitraan
pada kanker ovarium tidak dapat dikonfirmasi terjadi pada 30-40% kasus.
Hopper et al (1996) mempelajari kelebihan interobserver di antara tiga ahli
radiologi yang mengevaluasi pengukuran tumor pada CT scan torax dan

5
abdominopelvic. Ahli radiologi pertama kali diminta untuk mengidentifikasi
lesi indikator dan kemudian diminta untuk mengukur ukuran fokus
independen lainnya. Sekitar 25% ada kesepakatan antara dua atau tiga ahli
radiologi tentang lesi indikator dan ada 15% interobserver variabilitas dalam
pengukuran CT secara keseluruhan . Dalam sebuah studi oleh Muenzel,
variabilitas dalam perubahan diameter terpanjang adalah 24%
mengakibatkan kesalahan klasifikasi respon dalam setengah dari kasus.
Keakuratan ditingkatkan ketika ahli radiologi yang sama membaca
penelitian awal dan lanjutannya, atau ketika banyak pembaca meninjau
gambar untuk konsensus. Pada akhirnya, persentase pasien yang
diklasifikasikan sebagai responden lengkap menurun dari 26% menjadi
15% setelah peninjauan independen terhadap pencitraan pada uji coba lini
kedua pada terapi kanker ovarium. Dalam analisis multivariat indikator
prognostik, didapatkan CA-125 dua kali lebih baik dari RECIST dalam
memprediksi angka kelangsungan hidup. Penelitian sebelumnya telah
menunjukkan bahwa perkembangan radiologi dapat mengetahui
perkembangan klinis selama 2-3 bulan lebih cepat dan, ketika
dikombinasikan dengan CA125, dapat mengetahui perkembangan klinis
hampir lima bulan lebih cepat. 2,5,6,7

Meskipun ada banyak pilihan pencitraan untuk surveilans, beberapa


penelitian menunjukkan tidak ada manfaat peningkatan angka harapan
hidup secara keseluruhan pada studi serial radiologi. Fehm dkk
melaporkan gabungan antara USG transvaginal dan abdominal
mengungkapkan rekurensi pada 70% pasien tetapi kurang sensitif
dibandingkan pemeriksaan vagina pada pasien dengan kekambuhan pada
daerah panggul. Pada 17/58 pasien yang tidak memiliki rekurensi pada
panggul, tidak dapat dinilai pada USG. Pada pemeriksaan serial pada 83
pasien dengan rekurensi kanker ovarium yang dilakukan oleh Testa dkk,
nilai prediksi positif adalah 100% tetapi USG gagal mendeteksi 22 kasus
kekambuhan dalam seri ini . Sensitivitas ultrasound yang dilaporkan adalah
45% hingga 85% dan spesifisitasnya adalah 60-100% .5,7,8

6
Computed tomography (CT) scan membantu dalam evaluasi pasien
dengan rekurensi asimtomatik dan dalam perencanaan operasi sitoreduktif
sekunder. CT Scan konvensional memiliki sensitivitas 40-93% dan
spesifisitas 50-98% untuk rekurensi kanker ovarium. CT Scan spiral
memiliki sensitivitas yang lebih tinggi (terutama untuk metastasis peritoneal)
daripada CT Scan konvensional yang mendeteksi 50-67% lesi peritoneum
dan implan. Lesi yang dikelilingi oleh asites lebih mudah dideteksi dan
menyebabkan if palsu dibandingkan dengan tumor tanpa ascites.
Pemeriksaan CT scan sebelum debulking sekunder dapat membantu
dalam perencanaan operasi ketika hidronefrosis dan invasi ke dinding
panggul adalah indikator kuat pada tumor yang unresectable. Dalam hal
efektivitas biaya, 60-70% dari kekambuhan terdeteksi dengan CT scan
dengan biaya $ 13.454 per diagnosis berulang. Sensitivitas MRI dalam
mendeteksi rekuren mirip dengan CT scan pada lesi lebih besar dari 2cm,
namun, MRI sangat berguna dalam mendeteksi lesi pada permukaan
peritoneal dan serosa usus, puncak vagina, cavum douglasi, dan kandung
kemih atau dapat dilakukan CT scan kontras . CT scan tetap merupakan
modalitas pilihan pertama dibandingkan dengan MRI karena lebih tersedia
secara luas dan lebih murah daripada MRI.7,8

Positron emission tomography (PET) / CT menggunakan fluoro-2-


deoxy-D-glukosa (FDG-PET / CT) FDG memberikan hasil yang lebih baik l
daripada CT dan MRI, terutama yang dicurigai adanya kekambuhan.
Pengalaman klinis juga menunjukkan bantuan PET / CT dalam
perencanaan sitoreduksi kedua dengan mengidentifikasi pasien pada
kasus yang tidak dapat dioperasi. Thrall et al melakukan observasi grafik
retrospektif dari 29 pasien kanker ovarium yang dengan hasil CT scan tidak
dapat dinilai dan peningkatan CA125 dilaporkan sensitivitas 94,5%,
spesifisitas 100% untuk PET / CT dalam mendeteksi penyakit berulang dan
lokalisasi yang lebih tepat. dibandingkan CT scan saja . Dalam penelitian
lain pada 66 pasien, konvensional dan PET CT mendeteksi kekambuhan
dengan jumlah yang sama pada pasien yang memiliki gejala namun dengan
kadar CA125 yang normal normal. Tetapi, 31% pasien tanpa bukti

7
kekambuhan pada CT scan tampak lesi pada pemeriksaan PET / CT.
Bristow menyelidiki kemampuan PET / CT untuk memprediksi penyakit
secara makroskopik pada saat debulking sekunder pada 22 pasien dengan
kanker ovarium epitelial dan peningkatan CA125. PET / CT secara akurat
mendeteksi kekambuhan lebih dari 80% pasien . Ukuran tumor pada 18
dari 22 pasien yang mengalami kekambuhan berkisar antara 1,5 hingga 3,2
cm (median 2,3 cm). Temuan ini didukung dalam penelitian berikutnya yang
menunjukkan ketidakmampuan untuk mendeteksi tumor dengan volume
kecil <1cm dengan PET / CT. Oleh karena itu, CT scan harus dilakukan
pada pasien dengan peningkatan CA125 atau gejala yang mencurigakan
untuk kekambuhan. Jika CT scan tidak meyakinkan atau jika pasien adalah
kandidat yang baik untuk cytoreduction sekunder pemeriksaan PET / CT
akan memberikan informasi tambahan.4,6,7

Tabel 1. Jadwal Kontrol pasca terapi primer pada kanker ovarium yang disarankan 3

8
3. CA125

Antigen kanker 125 atau CA125 adalah glikoprotein yang merupakan


biomarker standar saat ini untuk surveilans kanker ovarium. CA125
meningkat pada 69% -88% kanker ovarium bergantung pada histopatologi
sel kanker, dan meningkat pada 80% kanker ovarium dengan tipe sel
serosa. Pada stadium I pada kanker ovarium biasanya CA125 hanya
mengalami kenaikan hanya sekitar 50% padahal stadium yang paling
operable adalah stadium awal. Sensitivitas CA125 pada rekurensi adalah
62-94% dan spesifsitasnya adalah 91-100% . Kadar CA125 meningkat
setidaknya 3 bulan sebelum kekambuhan dan ada jeda waktu sekitar dua
bulan antara elevasi pada CA125 dan temuan radiologi. GCIG
mendefinisikan kanker ovarium rekuren dengan peningkatan CA125 ≥ dua
kali batas atas normal atau setidaknya selang satu minggu pada pasien
yang telah memiliki hasil kadar CA125 yang normal. Kriteria yang sama
digunakan untuk pasien yang tidak memiliki nilai awal CA125 yang tinggi.
Jika CA125 awalnya meningkat, progresifitas didefinisikan oleh CA125 ≥
dua kali nilai normal pada dua kali pemerikaan setidaknya dengan jeda
satu minggu. Kriteria ini dikembangkan untuk pasien dengan kemoterapi
sitotoksik namun belum divalidasi pada pasien dengan target terapi.
Peningkatan non-spesifik pada CA125 dapat diamati pada pasien dengan
manipulasi pleura atau peritoneum dalam 28 hari terakhir. Ada tingkat
negatif palsu yang tinggi karena 50% pasien dengan CA125 normal pada
evaluasi terapi primer pada lesi mikroskopis dilihat pada operasi kedua .
Biaya pemeriksaan CA125 pada surveillans mrncapai $ 3924 pada setiap
kekambuhan pasien .1-5

Rustin dkk. melaporkan hasil dari uji coba prospectif yang


mempertanyakan penggunaan CA125 dalam surveilans kanker ovarium .
Percobaan ini disetujui oleh Dewan Penelitian Medis Inggris dan Organisasi
Eropa untuk Penelitian dan Perawatan Kanker (MRC OV05 / EORTCC
55955) dengan memasukkan 529 wanita dengan remisi lengkap ke dalam
uji coba secara acak dari pengobatan primer berdasarkan peningkatan
CA125 tanpa diserta gejala dibandingkan yang mengalami rekurenasi tanpa

9
memperhatikan kadar CA125. Dalam kelompok laten, dokter tidak
mengetahui kadar CA125. Data tentang sejauh mana operasi awal mereka
tidak tersedia. Pasien menyelesaikan kuesioner kualitas hidup sebelum
memulai setiap siklus kemoterapi. Kelangsungan hidup rata-rata pada
pasien yang ditugaskan untuk terapi dini adalah 25,7 bulan dibandingkan
27,1 bulan pada mereka yang menerima terapi tertunda (NS). Analisis
interaksi pengobatan (misalnya usia, dan jenis kemoterapi lini kedua) tidak
mengungkapkan adanya faktor-faktor yang memengaruhi hasil. Perempuan
yang berada di kelompok awal mengalami penurunan kualitas hidup
dibandingkan perempuan dalam kelompok pengobatan yang tertunda. Ada
beberapa masalah dengan penelitian ini yang membatasi aplikasinya
terhadap praktik klinis saat ini termasuk perubahan dalam pilihan pada
kemoterapi lini kedua (yaitu doxorubicin liposomal yang memiliki efek yang
pengurangan pada kualitas hidup) selama periode akrual (yaitu 9 tahun)
dan selesai. Selain itu, hanya 7% dari pasien dalam penelitian ini menjalani
operasi debulking sekunder yang mungkin telah mengubah hasil atau
kualitas hidup . Risiko dan manfaat dari prosedur ini berada di luar lingkup
penelitian ini. Namun, ada beberapa baris bukti yang menunjukkan manfaat
kelangsungan hidup untuk pasien yang dipilih secara hati-hati yang secara
optimal teritorisasi dan menjumlah ulang kemoterapi berbasis platinum.
Morris berpendapat bahwa mungkin ada bias seleksi yang menguntungkan
pasien dengan prognosis yang lebih buruk karena 54% pasien memiliki
interval bebas platinum kurang dari setahun dan dokter mungkin tidak
mendaftarkan pasien dengan prognosis yang lebih baik ke dalam penelitian
untuk pengacakan pada variable dengan penundaan pengobatan.2,5,7

Kontroversi lain yang berkaitan dengan tingkat CA125 yang


digunakan untuk menunjukkan kekambuhan dan perbedaan prognosis
berdasarkan variasi dalam kisaran normal. Beberapa penulis berpendapat
bahwa kriteria GCIG terlalu ketat dan bahwa menggunakan kriteria ini saja
memiliki sensitivitas yang rendah. Prat dkk melaporkan bahwa jika kadar
CA125 berada dalam kisaran normal, peningkatan ≥5 U / ml dibandingkan
dengan nilai awal memprediksi kekambuhan dengan sensitivitas 90%

10
dengan nilai prediksi positif 96,4%. Lebih lanjut Liu dkk menyarankan
bahwa untuk pasien dengan CA125 ≤ 10U / ml dan elevasi sampai ≥20U /
ml adalah prediksi kekambuhan. Jika pasien memiliki CA125> 10 U / ml
setelah terapi, setidaknya dua kali lipat adalah prefiktif untuk suatu
kekambuhan. Markman et al juga memvalidasi laporan lain bahwa tingkat
CA125 pasca terapi 10-12 U / ml memprediksi peningkatan angka harapan
hidup yang signifikan. Dalam penelitian ini median PFS adalah 24, 17, dan
7 bulan jika CA125 pada observasi adalah ≤ 10U / ml, 11-20 U / ml, dan 21
hingga 35 U / ml. Xu et al melaporkan temuan serupa dalam kelompok yang
kurang heterogen dari 616 pasien dengan kanker ovarium serosa derajat
tinggi yang dikonfirmasi dengan tinjauan patologi. Sedangkan penulis lain
menggunakan nilai CA125 arbitrer, median CA125 nadir dalam penelitian
ini adalah 10U / ml. Menariknya, pada subset dari 80 pasien yang menjalani
operasi penglihatan kedua, tidak ada korelasi antara beban tumor dan
CA125 nadir mungkin karena ukuran kohort yang kecil atau
ketidakmampuan CA125 untuk membedakan dengan beban tumor yang
rendah. Distribusi nadir CA125 dalam kisaran normal di MRC OV05 /
EORTCC 55955 tidak dilaporkan dan kriteria GCIG untuk perkembangan
CA125 digunakan. Pasien memulai kemoterapi lini kedua rata-rata lima
bulan setelah pengacakan. Sampai data prospektif tersedia untuk
menguatkan praktik ini, inisiasi pengobatan berdasarkan nilai CA125 yang
lebih rendah akan memungkinkan waktu tunggu yang lebih lama, durasi
yang lebih lama pada pengobatan sal-vage dengan lebih banyak toksisitas,
dan peningkatan kecemasan pasien tanpa manfaat apa pun karena ada
tidak ada bukti peningkatan kelangsungan hidup ketika memulai
pengobatan sebelum presentasi gejala.4,6

Pertanyaan juga masih ada tentang CA125 pada pasien yang


dirawat dan terekspos antibodi monoklonal tikus. Ini sangat penting
mengingat agen-agen baru yang mengeksploitasi teknologi ini. CA125 dan
tes in vitro lainnya diketahui tidak dapat diandalkan dengan adanya antibodi
anti-mouse manusia (HAMA) yang dihasilkan sebagai respons terhadap
pengobatan dengan antibodi murine. Namun, sebagian besar anti bodi yang

11
tersedia secara komersial, mis. bevacizumab, sepenuhnya manusiawi dan
tidak ada produksi HAMA. Tes diagnostik CA125 yang lebih baru juga dapat
mencapai pengukuran yang akurat dengan menyaring antibodi HAMA.
Masih ada masalah kinerja serum CA125 karena terapi biologis dapat
mengubah produksi mumin tumor MUC16 yang diakui oleh antibodi dalam
tes CA125. Randall dkk membandingkan klasifikasi respons dengan
RECIST radiografi dibandingkan kriteria CA125 dalam studi lanjutan ke
GOG 170- D. CA125 dikumpulkan sebagai bagian dari penelitian tetapi
tidak digunakan untuk mendefinisikan perkembangan awalnya pada enam
puluh dua pasien yang dapat dievaluasi. PFS median dalam kasus ini
dengan kriteria RECIST adalah 4,7 bulan dan 5,6 bulan oleh CA125 yang
cukup mirip. Namun 8 dari 62 pasien diidentifikasi memiliki pro-gressed
berdasarkan tingkat CA125 dari 6 hingga 38 bulan sebelum progresi
RECIST. Azad dkk juga menyelidiki penggunaan CA125 dibandingkan
dengan kriteria RECIST pada pasien yang diobati dengan sorafenib dan
bevacizumab dalam penelitian kecil dari 15 pasien . Ada 67% kesesuaian
antara kriteria CA125 dan tanggapan mendefinisikan pencitraan obyektif.
Tiga pasien diklasifikasikan dengan penyakit progresif oleh kriteria CA125
sedangkan pencitraan obyektif mengklasifikasikan pasien ini sebagai
responden parsial. Dalam kedua studi, pasien akan dihapus secara
prematur dari terapi agen penargetan dikembangkan untuk digunakan
sebagai agen tunggal atau dalam kombinasi dengan obat sitotoksik dan
meminta perlunya penelitian tambahan untuk memperbaiki kegunaan klinis
CA125 dalam memantau kekambuhan kanker ovarium dan perkembangan
penyakit dan dapat menyebabkan modifikasi lebih lanjut terhadap
RECIST.6,8

Pemeriksaan tumor marker pada surveilans kanker ovarium non


epithelial yaitu pemeriksaan AFP, B-Hcg, inhibin a, LDH dilakukan setiap 2-
4 bulan pada 2 tahun pertama. 6

12
REFERENSI

1. von Georgi R, Schubert K, Grant P, Münstedt K. Post-therapy surveillance


and after-care in ovarian cancer. European Journal of Obstetrics &
Gynecology and Reproductive Biology. 2004 Jun 15;114(2):228-33.
2. Fehm T, Heller F, Krämer S, Jäger W, Gebauer G. Evaluation of CA125,
physical and radiological findings in follow-up of ovarian cancer patients.
Anticancer research. 2005 May 1;25(3A):1551-4.
3. Clarke T, Galaal K, Bryant A, Naik R. Evaluation of follow‐up strategies for
patients with epithelial ovarian cancer following completion of primary
treatment. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2014(9).
4. Le T, Kennedy EB, Dodge J, Elit L. Follow-up of patients who are clinically
disease-free after primary treatment for fallopian tube, primary peritoneal, or
epithelial ovarian cancer: a Program in Evidence-Based Care guideline
adaptation. Current Oncology. 2016 Oct;23(5):343.
5. Colombo N, Peiretti M, Garbi A, Carinelli S, Marini C, Sessa C, ESMO
Guidelines Working Group. Non-epithelial ovarian cancer: ESMO Clinical
Practice Guidelines for diagnosis, treatment and follow-up. Annals of
oncology. 2012 Oct 1;23(suppl_7):vii20-6.
6. Marcus CS, Maxwell GL, Darcy KM, Hamilton CA, McGuire WP. Current
approaches and challenges in managing and monitoring treatment response
in ovarian cancer. Journal of Cancer. 2014;5(1):25.
7. Ledermann JA, Raja FA, Fotopoulou C, Gonzalez-Martin A, Colombo N,
Sessa C, ESMO Guidelines Working Group. Newly diagnosed and relapsed
epithelial ovarian carcinoma: ESMO Clinical Practice Guidelines for
diagnosis, treatment and follow-up. Annals of oncology. 2013 Oct
1;24(suppl_6):vi24-32.
8. Morgan RJ, Armstrong DK, Alvarez RD, Bakkum-Gamez JN, Behbakht K,
Chen LM, Copeland L, Crispens MA, DeRosa M, Dorigo O, Gershenson DM.
Ovarian cancer, version 1.2016, NCCN clinical practice guidelines in
oncology. Journal of the National Comprehensive Cancer Network. 2016 Sep
1;14(9):1134-63.

13

Anda mungkin juga menyukai