Anda di halaman 1dari 27

PATOLOGI SOSIAL

Makalah untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Psikopatologi.

Dibina oleh :

Bapak Nur Aziz Afandi, M.Si

Oleh:

1. Risa Damayanti (180541100091)


2. M. Mahardhika Garrin A (180541100097)
3. Alif Lailatul M (180541100120)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
SEPTEMBER 2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
segala berkat dan rahmat-Nya yang memberikan kesehatan dan nikmat kepada kami
selaku penulis sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik sesuai dengan
waktu yang direncanakan. Makalah berjudul “Patologi Sosial” disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Psikopatologi. Pada kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih kepada Bapak Nur Aziz Afandi, M.Si sebagai dosen
pembimbing mata kuliah Psikopatologi yang telah memberikan tugas kepada kami.

Kami telah berupaya dengan semaksimal mungkin dalam penyelesaian


makalah ini, namun kami menyadari masih banyak kelemahan baik dari segi isi
maupun tata bahasanya. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari pembaca demi sempurnanya makalah ini.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih banyak dan penulis berharap


makalah ini dapat berguna bagi kita semua.

Bangkalan, September 2019

Oleh,

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Contents
PATOLOGI SOSIAL ............................................................................................... i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar belakang .............................................................................................. 1
B. Tujuan .......................................................................................................... 1
BAB II ..................................................................................................................... 2
A. Pengertian Patologi Sosial............................................................................ 2
B. Poverty (Kemiskinan) ................................................................................... 3
1. Psikoterapi ................................................................................................ 3
2. Psikofarmakologi ...................................................................................... 4
3. Pedoman Diagnosa ................................................................................... 4
C. Kriminal (Criminality) ................................................................................. 4
1. Psikoterapi ................................................................................................ 5
2. Psikofarmakologi ...................................................................................... 5
3. Pedoman Diagnosa ................................................................................... 5
D. Kenakalan Remaja (Juvenile Deliquency) ................................................... 6
1. Faktor-faktor Terjadinya Kenakalan Remaja ........................................... 6
2. Pendekatan Humaniter Menurut Kartini Kartono .................................... 7
3. Psikofarmakologi ...................................................................................... 9
4. Pedoman Diagnosis .................................................................................. 9
E. Perjudian (Gambling) ................................................................................. 10
1. Terapi Judi Patologis .............................................................................. 10
2. Psikofarmakologi .................................................................................... 11
3. Pedoman Diagnosis ................................................................................ 11
F. Korupsi (Corruption) ................................................................................. 12
1. Psikoterapi .............................................................................................. 12
2. Psikofarmakologi .................................................................................... 13
3. Pedoman Diagnosis ................................................................................ 14
BAB III ................................................................................................................. 15
A. Cara Mendapatkan Data ............................................................................. 15

iii
B. Studi kasus ................................................................................................. 15
BAB IV ................................................................................................................. 22
PENUTUP ............................................................................................................. 22
A. Cara Penanganan ........................................................................................ 22
B. Kesimpulan ................................................................................................ 22
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 23

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Pertemuan banyak kebudayaan serta berkembangnya ilmu pengetahuan


dan teknologi sebagai hasil dari semakin padatnya jaringan komunikasi daerah,
nasional, dan internasional. Perkembangan ini kadangkala bisa berlangsung
lancar dan lembut. Tetapi, tidak jarang pula sebagiannya berlangsung melalui
konflik-konflik hebat. Masalah-masalah sosial dalam masyarakat tersebut
sering disebut sebagai “patologi sosial”.

Timbulnya kelompok-kelompok dan fraksi-fraksi ditengah masyarakat


yang terpecah-pecah, masing-masing menaati norma-norma dan peraturannya
sendiri, dan bertingkah semau sendiri. Maka muncullah banyak masalah sosial,
tingkahlaku sosiopatik, deviasi sosial, disorganisasi sosial, disintegrasi sosial,
dan diferensiasi sosial. Lambat laun, hal itu menjadi meluas dalam masyarakat.

B. Tujuan
Dalam mempelajari patologi social ini bertujuan untuk memahami apa
itu masalah social dan penanganan yang harus dilakukan dalam mengatasi hal
tersebut di masyarakat.

1
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Pengertian Patologi Sosial

Patologi sosial berasal dari gabungan dua konsep yaitu patos yang
berarti penyakit dan logos yang berarti ilmu/studi. Berdasarkan dasar
epitimologis tersebut, maka patologi sosial dapat didefinisikan sebagai
suatu ilmu atau disiplin yang mempelajari dan mengkaji tentang penyakit
dalam suatu masyarakat (Kartono, 2005). Penyakit dalam masyarakat dalam
hal ini tidak diartikan secara harfiah, namun ilmu ini melihat dan membagi
masyarakat ke dalam dua golongan, yaitu masyarakat yang sehat dan
masyarakat yang sakit. Selanjutnya, masyarakat yang sakit inilah yang
kemudian dalam beberapa konsep disebut-sebut sebagai masalah sosial
karena dalam bingkai teori fungsionalis dianggap telah mengacaukan
harmoni dan keseimbangan dalam suatu sistem masyarakat.

Menurut Soejono Soekanto (1982) masalah sosial adalah suatu


ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat yang
membahayakan kelompok sosial. Masalah-masalah social menyangkut
nilai-nilai social yang mencangkup pula segi moral. Karena untuk dapat
mengklasifikasikan suatu persoalan sebagai masalah social, harus
digunakan penilaian sebagai pengkurannya. Apabila suatu masyarakat
menganggap sakit jiwa, bunuh diri, perceraian, penyalahgunaan obat bius
(narcotics addiction) sebagai masalah social, masyarakat tersebut tidak
semata-mata menunjuk pada tata kelakuan yang menyimpang. Akan tetapi,
sekaligus juga mencerminkan ukuran-ukuran umum mengenai segi moral.

Stark, dalam Kartono (1975), membagi masalah-masalah sosial menjadi


tiga macam, yaitu:

a. Konflik dan kesenjangan, seperti: kemiskinan, kesenjangan, konflik


antar kelompok, pelecehan seksual dan masalah sosial.

2
b. Perilaku menyimpang, seperti: kecanduan obat terlarang, gangguan
mental, kejahatan, kenakalan remaja dan kekerasan pergaulan.

c. Perkembangan manusia, seperti: masalah keluarga, usia lanjut,


kependudukan (seperti urbanisasi) dan kesehatan seksual.

B. Poverty (Kemiskinan)

Kemiskinan sebenarnya tidak saja diamati, tetapi juga dirasakan.


Membangun empati bersama dengan orang dan keluarga miskin mungkin
lebih dari cukup, terutama bagi pengambil kebijakan publik. Oleh
karenanya, Dilon dan Hermanto (1993: dikutip dari Suparlan, 1984.)
mencermati bahwa ada 2 (dua) pandangan tentang kemiskinan. Di satu
pihak, kemiskinan adalah suatu proses, di pihak lain kemiskinan sebagai
suatu akibat atau fenomena di dalam masyarakat. Sebagai suatu proses,
kemiskinan mencerminkan kegagalan suatu sistem masyarakat dalam
mengalokasikan sumber daya dan dana secara dil kepada anggota
masyarakatnya. Dengan demikian, kemiskinan dapat pula dipandang
sebagai salah satu akibat dari kegagalan dari kelembagaan pasar (bebas)
dalam mengalokasikan sumberdaya yang terbatas secara adil kepada
seluruh anggota masyarakat. Hal ini memunculkan kemiskinan relatif atau
dikenal pula kemiskinan struktural.

1. Psikoterapi

Cara untuk mencegah atau terhindari dari sitat merusaknya


kemiskinan dan kekayaan adalah dengan berpikir secara pragmatis dan
sesuai dengan kebutuhan. Dan melakukan analisis diri, atau refleksi
positif secara terus menerus. Menyelesaikan masalah secepatnya dan
hindari konflik yang merugikan. Ramahlah terhadap semua orang yang
memungkinkan dan berperilaku sesuai dengan masyarakat yang ada. Ini
tentunya berlaku untuk pribadi yang hidup secara normal atau unik tapi
biasa. Mereka yang lebih menyukai kepuasaan dan keamanan hidup
yang bukan ke arah penciptaan, kreativitas, dan dunia ide-ide yang

3
menantang. Yang paling penting adalah mau untuk berubah atau
mengubah sudut pandang, keyakinan, dan cara kita hidup di dunia jika
memang itu yang bisa menjadikan kita diri yang lebih baik lagi.

2. Psikofarmakologi

Obat yang digunakan dalam hal ini menggunakan Tranquilizer


(penenang). Kelompok obat ini memiliki efek anti cemas, anti tegang
dan anti agitasi. Dimana ini berfungsi untuk mengontrol proses saraf
agar lebih tenang dalam berfikir. Terutama dalam patologi ini banyak
orang yang memiliki pemikiran tidak tenang dikarenakan factor
ekonomi yang mencekik.

3. Pedoman Diagnosa

Ciri umum dari patologi ini adalah adanya kecemasan berlebihan


terhadap keadaan ekonomi, sehingga menghambat aktivitas
kesehariannya. Kecemasan ini terjadi karena seseorang merasa bahwa
ia tidak dapat mencapai aktualisasi dirinya secara penuh dan membuat
dirinya tidak berguna, dan hal itu mengakibatkan hilangnya performa
dalam diri seseorang.

C. Kriminal (Criminality)
Secara yuridis formal, kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang
bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat,
sifatnya asosial dan melanggar hukum serta undang-undang pidana. Di
dalam perumusan pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) jelas tercantum: Kejahatan adalah semua bemuk perbuatan yang
memenuhi perumusan ketemuan-ketentuan KUHP. Misalnya pembunuhan
adalah perbuatan yang memenuhi perumusan Pasal 338 KUHP, mencuri
memenuhi bunyi Pasal 362 KUHP sedang kejahatan penganiayaan
memenuhi Pasal 351 KUHP.

4
1. Psikoterapi

Penanganan pelaku sampai saat ini masih berdasarkan KUHP


yang ada. Dalam psikologi kriminal, penanganan pada pelaku kejahatan
agresif diantaranya:

a. Penanganan psychoparmalogical. Dengan tujuan terhadap


suasana hati, pengaruh emosi hanya muncul pada psikiatri
dengan menenangkan/memabukkan. Kemudian muncul isu etis
yaitu potensi menghukum tidak jelas, tidak memperhatikan
penyebab dari lingkungan, dampak samping seperti tremor,
mulut kering dan saraf. Penggunaan obat-obat dengan
pendekatan pragmatis.
b. Intervensi psikodinamik. Pertumbuhan kepribadian dan terapi.
Isu yang muncul terapi kelompok yaitu memotivasi pasien dan
kapasitas untuk berubah, tekanan keluarga dan pengadilan,
kesuksesan bergantung pada ego pasien, terapi tidak mengubah
kepribadian.
c. Behavioural dan kognitif (self instruction)
2. Psikofarmakologi
Hlusinogen Depresan (depressant) adalah obat yang
menghambat atau mengekang aktivitas system syaraf pusat. Obat
tersebut mengurangi perasaan tegang dan cemas, menyebabkan gerakan
kita lebih lambat.
3. Pedoman Diagnosa
Gangguan kepribadain antisosial dalam pedoman diagnosis gangguan
jiwa menurut DSM IV-TR (keluaran American Psychiatric Association)
dan ICD 10 (keluaran Badan Kesehatan Dunia/WHO). Gangguan
kepribadian yang banyak dihubungkan dengan perilaku kekerasan dan
kriminalitas adalah gangguan antisosial.

5
D. Kenakalan Remaja (Juvenile Deliquency)

Kenakalan remaja seringkali disebut juvenile deliquency (juvenilis


= muda, bersifat kemudaan; delinquency dari "delinquere = jahat, durjana,
pelanggar, nakal) ialah anak-anak muda yang selalu melakukan kejahatan,
dimotivir untuk mendapatkan perhatian, status sosial dan penghargaan dari
lingkungannya.

Mereka itu disebut pula sebagai pemuda-pemuda brandalan, atau


pemuda aspalan yang selalu berkeliaran di jalan-jalan aspalan, atau
anakanak jahat nakal. Pada umumnya mereka tidak memiliki kesadaran
sosial dan kesadaran moral. Tidak ada pembentukan Ego dan Super-ego,
karena hidupnya didasarkan pada basis instinktif yang primitif. Mental dan
kemauannya jadi lemah, hingga impuls-impuls, dorongan-dorongan dan
emosinya tidak terkendali lagi.

1. Faktor-faktor Terjadinya Kenakalan Remaja


Faktor-faktor Terjadinya Kenakalan Remaja Menurut Kartini
Kartono Sebab-sebab remaja menjadi delinquent (nakal), antara lain
ialah:

a) Instabilitas psikis.

Tipe ini banyak terdapat pada anak-anak gadis, dengan


sikap yang pasif, tanpa kemauan dan sugestible sifatnya.
Biasanya mereka itu tidak memiliki karakter, terlalu labil
mentalnya. Emosinya tidak matang, dan inteleknya mengalami
retardasi; pada umumnya mereka tidak agresif, tapi kemauan
dan karakternya sangat lemah. Sehingga mudah mereka jadi
pecandu alkohol, dan obat-obat bius; lalu mudah terperosok
pada praktek dan perbuatan-perbuatan immoral seksual serta
melakukan pelacuran/prostitusi.

b) Defisiensi dari kontrol Super-ego.

6
Sebagai akibat dari defisiensi ini, muncul banyak
agresivitas. Dorongan-dorongan, impuls-impuls dan sikap-sikap
bermusuhannya meledak-ledak secara eksplosif seperti pada
penderita epilepsi/ayan. Semua ini mengakibatkan defek
intelektual, hingga pasien selalu melakukan reaksi yang primitif,
yang ditampilkan dalam gejala: tingkahlaku jahat-kejam tidak
berperikemanusiaan, dan suka menteror orang lain serta
lingkungan
c) Fungsi persepsi yang defektif.
Mereka itu tahu bahwa perilakunya jahat kriminal,
namun mereka tidak menyadari arti dan kualitas dari
kejahatannya. Sebab hati nuraninya sudah menumpul, hingga
tingkah-lakunya menjadi buas jahat dan kejam kelewat-lewat.

2. Pendekatan Humaniter Menurut Kartini Kartono


Kenakalan remaja dalam kenyataannya memiliki bentuk
yang variatif termasuk di dalamnya kenakalan berupa
penyimpangan seks.
Dalam konteksnya dengan penyimpangan seksual bahwa
penyimpangan seksual adalah ketidakwajaran seksual (sexual
perversion) itu mencakup perilaku-perilaku seksual atau fantasi-
fantasi seksual yang diarahkan pada pencapaian orgasme lewat
relasi di luar hubungan kelamin heteroseksual, dengan jenis kelamin
yang sama, atau dengan partner yang belum-dewasa, dan
bertentangan dengan norma-norma tingkah laku seksual dalam
masyarakat yang bisa diterima secara umum.
Penyimpangan seksual ini jelas merupakan substitusi dari
relasi kelamin heteroseksual yang biasanya bersifat kompulsif, dan
tegar menetap. Karena itu disfungsi seksual dan penyimpangan
seksual itu merupakan satu aspek dari gangguan kepribadian dan
penyakit neurotis yang umum.

7
Berdasarkan keterangan di atas maka perlu pendekatan
humaniter (kemanusiaan). Pemahaman dan pendekatan secara
humaniter terhadap juvenile delinquency dilakukan atas dasar
beberapa pertimbangan berikut:
a. Didasarkan atas pandangan hidup dan falsafah hidup
kemanusiaan/humaniter terhadap pribadi anak-anak dan para
remaja.
b. Kebutuhan akan perawatan dan perlindungan terhadap anak-
anak dan remaja yang nakal-jahat, bermasalah dan menjadi
masalah sosial, disebabkan oleh ketidakdewasaan mereka.
c. Untuk menggolongkan anak dan remaja delinkuen tersebut
ke dalam satu kategori yang berbeda dengan kategori
kriminalitas orang dewasa.
d. Untuk menerapkan prosedur-prosedur peradilan,
penghukuman, penyembuhan dan rehabilitasi khusus;
terutama sekali untuk menghindarkan anak-anak dari
pengalaman traumatis yang tidak perlu, serta melindungi
mereka dari tindak-tindak manipulatif oleh orang-orang
dewasa.
e. Adanya tugas "parens patriae" sebagai orang tua dan bapak
oleh orang dewasa dan masyarakat, khususnya oleh negara
untuk ikut bertanggung jawab memikul beban memelihara
dan melindungi anak-anak dan para remaja yang terhalang
proses perkembangan mentalnya, dan cacat secara sosial.

Sehubungan dengan kelima pertimbangan tadi,


masyarakat dan pemerintah secara bersama-sama melakukan
aktivitas-aktivitas penanganan terhadap masalah kejahatan anak
tersebut, antara lain dengan jalan menyelenggarakan upaya:

a) mendirikan panti rehabilitasi dan pengoreksian,


b) peradilan anak-anak,
c) badan kesejahteraan anak,

8
d) foster home placement,
e) undang-undang khusus untuk pelanggaran dan kejahatan
yang dilakukan oleh anak-anak dan para remaja,
f) sekolah bagi anak-anak gembel,
g) rumah tahanan untuk anak, dan lain-lain.
3. Psikofarmakologi
Obat Antipsikotik telah digunakan untuk mengatasi agresif dalam
konteks gangguan tingkah laku dan ketidak mampuan belajar. Pada
prakteknya obat ini sering di gunakan dan dilaporkan terdapat
perbaikan prilaku oleh klinis dan keluarga. Banyak obat ini telah
dicoba untuk gangguan perilaku, termasuk gangguan tingkah laku
agresif dan Juvenile Deliquency.
4. Pedoman Diagnosis
Definisi Kenakalan Anak dan Remaja Menurut DSM-IV
(Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder-4th Edition),
kenakalan anak dan remaja adalah tindakan kriminal (sesuai dengan
batasan hukum setempat) yang dilakukan oleh anak remaja meliputi
berbagai masalah neuropsikiatri, meskipun untuk istilah kenakalan
lebih memfokuskan pada batasan hukum dibandingkan dengan
batasan medis (Soetjiningsih 2002:24).
Adapun dalam diagnosis kenakalan anak dan remaja
digunakan beberapa parameter sebagai berikut :
a. Perilaku agresif terhadap orang lain dan binatang, seperti :
1) Sering mengganggu, mengancam dan atau mengintimidasi
orang lain.
2) Sering memulai perkelahian fisik.
3) Menggunakan senjata yang dapat membahayakan fisik
orang lain (misalnya : Pentungan, batu, pecahan botol,
pisau, sejata api).
4) Mengancam orang lain secara fisik.
5) Mengancam binatang secara fisik.
6) Mencuri yang menimbulkan korban (misalnya : membegal,
mencuri dompet, memeras, merampok dengan
menggunakan senjata).

9
7) Memaksa orang lain untuk melakukan aktifitas seksual
dengannya.
b. Merusak hak milik orang lain, seperti :
1) Sengaja membakar dengan maksud menimbulkan
kerusakan yang serius.
2) Sengaja menghancurkan milik orang lain (selain
menggunakan api).
c. berbohong, seperti :
1) Sering berbohong untuk mendapatkan harta benda atau
keuntungan atau untuk menghindari kewajiban.
2) Mengutil, melakukan pemalsuan.
d. Pelanggaran serius terhadap peraturan, seperti :
1) Sering keluar malam walaupun sudah dilarang oleh orang
tua atau kerabat keluarga paling tidak 2 kali (atau satu kali
tanpa kendali dalam waktu lama).
2) Sering bolos sekolah, mulai umur kurang dari 13 tahun.
(Wirdiani dan Soetjiningsih 2004 : 244).

E. Perjudian (Gambling)

Judi-Patologis adalah ketidakmampuan seseorang menahan


dorongan untuk berjudi yang dapat mengakibatkan konsekuensi pribadi atau
sosial sangat berat.

Judi-Patologis biasanya dimulai pada awal masa remaja bagi laki-


laki dan antara usia 20 sampai 40 tahun bagi wanita. Judi patologis sering
melibatkan perilaku yang berulang-ulang. Orang dengan masalah ini
mengalami kesulitan menolak atau mengendalikan dorongan untuk berjudi.
Pada orang yang mengembangkan Judi-Patologis kadang-kadang perjudian
mengarah ke kebiasaan. Kebiasan ini akan diperburuk dengan situasi stres
yang dialami penderita.

1. Terapi Judi Patologis


Penjudi jarang datang langsung secara suka rela untuk diterapi.
Masalah hukum, tekanan keluarga atau keluhan psikiatrik lainnya
membawa penjudi pada terapi. Gamblers Anonymous (GA) didirikan
di Los Angeles pada tahun 1957 dan meniru Alcoholics Anonymous

10
(AA); GA merupakan terapi yang efektif, terjangkau. setidaknya di kota
besar, untuk judi pada sejumlah pasien. GA adalah suatu metode terapi
kelompok inspirasional yang meliputi pengakuan di hadapan publik,
tekanan kelompok sependeritaan, dan adanya penjudi yang telah pulih
(seperti pada AA) yang siap membantu anggota untuk menolak impuls
berjudi. Meskipun demikian, angka drop-out dari GA tinggi. Pada
beberapa kasust perawatan di rumah sakit dapat membantu dengan
memindahkan pasien dari lingkungannya. Tilikan sebaiknya tidak
dicari sampai pasien benar-benar jauh dari perjudian selama 3 bulan.
Pada saat ini, pasien yang merupakan penjudi patologis dapat menjadi
kandidat yang sangat baik untuk psikoterapi berorientasi tilikan. Terapi
kognitif perilaku (contoh., teknik relaksasi digabungkan dengan
visualisasi penghindaran judi) memiliki beberapa keberhasilan.

2. Psikofarmakologi

Hanya sedikit yang diketahui mengenai efektivitas


farmakoterapi untuk menerapi pasien dengan judi patologis. Satu studi
melaporkan bahwa tujuh dari sepuluh pasien tetap tidak berjudi selama
8 minggu setelah mengonsumsi fiuvoxamine. Juga terdapat laporan
kasus mengenai keberhasilan terapi dengan lithium dan clomipramine
(Anafranil). Jika judi disertai gangguan depresif, mania, ansietas, atau
gangguan jiwa lain, farmakoterapi dengan antidepresan, lithium. atau
agen anti ansietas dapat berguna.

3. Pedoman Diagnosis

Gambaran yang esensial dari gangguan ini adalah berjudi


secara berulang yang menetap (persistently repeated gambling), yang
berlanjut dan seringkali meningkat meskipun ada konsekuensi sosial
yang merugikan seperti menjadi miskin, hubungan dalam keluarga
terganggu, dan kekacauan kehidupan pribadi.

 Judi patologis harus dibedakan dari :

11
(a) Judi dan taruhan untuk kesenangan atau sebagai upaya
mendapatkan uang, orang ini dapat menahan diri apabila kalah
banyak atau ada efek lain yang merugikan
(b) Judi berlebihan oleh penderita gangguan manik
(c) Judi pada kepribadian dissosial (disini terdapat lebih banyak
gangguan dalam perilaku sosial lain yang menetap, terlihat
pada tindakan-tindakan agresif atau cara-cara lain yang
menunjukkan sangat kurang peduli terhadap kesejahteraan
dan perasaan orang lain).

F. Korupsi (Corruption)
Tindak pidana korupsi adalah perbuatan pelanggaran terhadap
lingkup sosial maupun ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana
korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary-
crimes) melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra-ordinary
crimes), sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat
dilakukan secara biasa tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa (extra-
ordinary enforcement) (Djaja, 2010). Meningkatnya tindak pidana korupsi
yang tidak terkendali akan membawa dampak negatif, tidak hanya terhadap
kehidupan perekonomian nasional dengan merugikan kondisi keuangan
negara, namun juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi pada kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Nas,Price dan Weber (Kurniawan, 2009) menyebutkan bahwa faktor
penyebab korupsi terkait dengan karakteristik individual yang terjadi ketika
seseorang serakah dan tidak dapat menahan godaan, lemah, dan tidak
memiliki etika sebagai seorang pejabat publik. Dampak dari tindakan
korupsi sangat beragam, salah satunya dapat memunculkan terjadinya
kesenjangan ekonomi, ketidakadilan dan terhambatnya sektor atau bidang
tertentu di lingkungan masyarakat.

1. Psikoterapi

12
a. Logoterapi
Bastaman (2007) menyatakan bahwa logoterapi merupakan
terapi yang menekankan pada pencarian makna hidup dengan tujuan
untuk memberi fokus terhadap masa depan. Logoterapi adalah suatu
proses terapi pengobatan atau penyembuhan untuk menemukan
makna hidup dan pengembangan spiritual seseorang. Makna hidup
berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini
dirasakan demikian berarti dan berharga.
Kemampuan memaknai hidup melalui logoterapi juga sesuai
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sutejo (2017) mengenai
pengaruh logoterapi kelompok terhadap kemampuan memaknai
hidup pada residen Napza, menunjukkan bahwa ada perbedaan yang
signifikan antara makna hidup residen yang diberikan logoterapi
kelompok dengan yang tidak diberikan logoterapi kelompok. Makna
hidup penting untuk dicapai dan dimiliki individu dalam kondisi
apapun sehingga dapat memunculkan kesadaran untuk
bertanggungjawab secara penuh dalam kehidupannya.
b. Hipnoforensik

Penggunaan teknik hipnotis digunakan untuk menggali


informasi yang disembunyikan oleh tersangka. Penyidikan dengan
langkah hipnotis ini dilakukan kepada tersangka yang memberikan
keterangan secara berbelit-belit atau kepada saksi yang diundang
KPK yang mana saksi tersebut dinilai menjadi saksi kunci. Dengan
demikian diharapkan kesulitan dalam penyidikan dapat sedikit demi
sedikit terpecahkan.

2. Psikofarmakologi

Suatu penelitian dengan metode double blinded dengan


menggunakan kontrol dan plasebo menunjukkan bahwa pasien dengan

13
gangguan kepribadian ambang mempunyai respons yang baik terhadap
obat golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) dengan
perbaikan pada kemarahan, perilaku agresif impulsif (terutama agresi
verbal), dan afek yang labil.6,9 Obat ini membantu psikoterapi dengan
mengurangi “suara-suara afektif” seperti kemarahan yang menetap,
kecemasan atau disforia, yang mencegah pasien untuk tidak
merefleksikan hal tersebut ke dunia internal mereka. Juga terdapat bukti
bahwa SSRI menstimulasi neurogenesis, terutama di hippocampus,
yang memperbaiki memori deklaratif verbal.
3. Pedoman Diagnosis
Gangguan kepribadian yang paling cocok disematkan kepada
koruptor, yaitu jenis gangguan kepribadian antisosial. Gangguan
kepribadian antisosial lebih dikenal dengan sebutan gangguan
psikopatik dengan orang yang menderitanya disebut psikopat.
Beberapa ciri yang sekiranya cocok dengan karakter dari
seorang koruptor adalah tidak merasa bersalah atas perbuatan yang telah
dilakukan malahan ada kecenderungan untuk mengulanginya terus,
sering berbohong, menggunakan orang lain untuk kepentingan pribadi,
perilaku impulsif, agresif, tidak bertanggung jawab serta menggunakan
alasan-alasan rasionalisasi untuk membenarkan segala tindakannya
yang salah dan merugikan orang lain.

14
BAB III
KASUS PATOLOGI SOSIAL

A. Cara Mendapatkan Data


B. Studi kasus

Setiap tindakan kenakalan siswa betapapun kecilnya jika tidak


mendapatkan penjelasan, teguran, serta kontroling untuk memperbaikinya,
akan mengakibatkan seseorang akan terlanjur melakukan yang lebih
berbahaya lagi sehingga dapat dikategorikan sebagai tindakan kejahatan.
Kenakalan siswa sebagai suatu kondisi yang kurang menyenangkan dalam
kehidupan sosial banyak jenisnya. Dan berdasarkan hasil wawancara
dengan Bapak Dodik Susilo selaku Guru BP Di MTs Hasanah Surabaya,
ada tiga macam jenis kenakalan siswa di MTs Hasanah, yaitu:22 Pertama,
Kenakalan siswa yang menyentuh psikologis, seperti tercemarnya nama
baik seseorang, harga diri serta martabat seseorang karena fitnah. Kedua,
kenakalan siswa yang menyentuh atau berkaitan dengan masalah material
atau kebendaan, seperti pengerusakan gedung. Ketiga, kenakalan siswa
yang menyentuh norma-norma agama, sosial, atau adat yang berlaku dalam
masyarakat, seperti mencuri, tawuran atau melakukan hubungan seks di luar
nikah. Dari observasi lapangan, interview, dan dokumentasi dari Kepala
Sekolah dan guru BK di MTs Hasanah Surabaya. Di lihat dari nilai-nilai
keislaman dan hukum yang berlaku maka bentuk kenakalan siswa di
antaranya: menggoda lawan jenis, suka berkelahi, bolos sekolah, berkata
kotor, mengolok-olok sesama teman di dalam kelas sehingga memicu
pertengkaran, dan mengakibatkan kegaduhan di dalam lingkungan sekolah
dan kurang disiplin di dalam mematuhi aturan yang sudah di terapkan oleh
pihak sekolah. Hal ini diperjelas oleh keterangan Ibu Khairun Nisa’ SS,
M.Pd, selaku kepala MTs Hasanah: “Tindak kenakalan memang tidak
pernah lepas dari kehidupan siswa hal ini terjadi di Sekolah MTs Hasanah
Surabaya yang mana siswa-siswa tersebut sebagian termasuk siswa yang
delenquen. Setiap tindak kenakalan yang dilakukan oleh siswa pasti ada

15
faktor yang mendukung tindakan tersebut. Jadi setiap tindakan yang
menyimpang tidak terlepas dari pengaruh faktor yang negative yang
diterima oleh setiap individu siswa atau kelompok siswa.”

Dari bentuk-bentuk kenakalan siswa di atas, Bapak Dodik Susilo


mengatakan bahwa hasil Wawancara dengan Bapak Dodik Susilo selaku
Guru BP Di MTs Hasanah Surabaya, pada 29 Juli 2016. Hasil Wawancara
dengfan Ibu Khairun Nisa SS.M.Pd selaku Kepala Sekolah, pada 29 Juli
2016. 24 Hasil Wawancara Dengan Bapak Dodik Susilo Guru BP MTs
Hasanah Surabaya pada 19 Juli 2016.“Semua bentuk kenakalan itu
merupakan bagian dari perilaku menyimpang yang kerap akan merugikan
mereka sendiri. Oleh karena itu pihak sekolah, guru dan orang tua, wajib
hukumnya mengerti dan peduli.Lebih lanjut beliau mengatakan:
“...Perkelahian antar pelajar kian semarak serta menyebar luas akan
eksistensinya kemana-mana. hampir tidak ada satupun sudut kota yang tidak
pernah terencana sebelumnya dan dalam skala kecil hingga ke taraf tawuran
yang melibatkan antar pelajar dalam jumlah besar dan telah direncanakan
sebelumnya..”Siswa adalah mereka yang berusia 13-18 tahun. Pada usia
tersebut, seseorang sudah melampaui masa kanak-kanak, namun masih
belum cukup matang untuk dapat dikatakan dewasa. Ia berada pada masa
transisi. Karena transisi itulah yang kerap banyak godaan untuk menuju
matang. Di MTs Hasanah siswa cenderung menampakkan gejala
(fenomena) ini dengan mengekspresikannya melalui coba-coba ingin
merasakan dan melakukan analisis serta telaah keilmuan. Adanya
perkembangan keingintahuan ini, selain banyak bertanya siswa juga banyak
memberikan kritik baik dalam perkataan maupun prilaku. Sedangkan faktor
yang mendukung terciptanya siswa-siswa yang delenquen di MTs Hasanah
Surabaya bermacam-macam ragamnya. Adanya faktor-faktor tersebut
adalah dari hasil observasi dan interview didapat bahwa yang
mempengaruhi para siswa setempat adalah: ekonomi yang kurang,
perhatian dan kontrol dari keluarga yang kurang, media masa, cetak, dan
elektronik, pergaulan yang negative, pengaruh lingkungan sekolah yang
negative, rasa ingin tau dan mencoba, dan kurang faham terhadap nilai-nilai

16
keagamaan.27 Sementara, data dari observasi didapatkan bahwa faktor yang
mempengaruhi kenalakn siswa adalah: perhatian orang tua terhadap anak
kurang, kurangnya komunikasi dalam keluarga, pengaruh teman dan
pergaulan, ekonomi keluarga yang rendah, pemahaman dan minat beragama
yang kurang, dan kesadaran individu siswa kurang. “Sebenarnya di antara
penyebab kenakalan anak-anak di sini yang paling berdampak negatif
adalah kurang perhatian orang tua. Banyak siswa nakal disebabkan kedua
orang tuanya pergi bekerja keluar negeri, sehingga perhatian orang tua
kepada siswa menjadi kurang. Di samping itu hal-hal yang bisa
mempengaruhi siswa di sekolah di antaranya adalah teman
sepermainan.Peraturan di sekolah sudah ketat tetapi siswa masih bisa
mencari kelemahan dari peraturan yang sudah dibuat.”

Lebih lanjut, ketika penulis mewawancarai salah seorang siswa di


sekolah ini, salah satu penyebab kenakalan siswa di antaranya disebabkan
karena pengaruh lingkungan keluarga yang tidak harmonis, seperti
pernyataanya di bawah ini: “..Kedua orang tua saya bercerai, Bapak
menikah lagi dan tidak merawat keluarga saya. Sedangkan Ibu bekerja ke
Arab, sehingga di rumah saya tinggal dengan nenek..”

Setelah itu, penulis melakukan wawancara dengan Muhammad


Anas salah seorang siswa kelas IX yang sering membolos sekolah dan suka
mengamen di jalan raya : “Saya suka mengamen di jalanan karena untuk
menambah jatah uang jajan saya dikarenakan yang dikasih orang tua tidak
cukup untuk bermain internet dan Play Station. Walaupun saya pernah
tertangkap oleh SATPOL PP saya merasa biasa-biasa saja karena walaupun
saya tertangkap orang tua saya pasti datang dan membebaskan saya, dan
alasan mengapa saya sering bolos sekolah karena saya sering diolok-olok
oleh teman teman satu kelas saya. Nah, daripada saya di sekolahan menjadi
bahan tertawaan mending saya membolos dengan bermain internet dan Play
Station nanti kalau sudah waktunya pulang saya ikut pulang juga karena
orang tua saya tidak mungkin tahu kalau saya tidak sekolah, tapi saya akhir
akhir ini merasa apa yang saya lakukan itu salah dan saya harus berhenti

17
karena kalau saya seperti itu terus tidak ada baiknya untuk saya karena saya
selalu masuk kantor BP dan saya juga malu karena orang tua saya selalu
dipanggil karena masalah saya, dan saya juga ingin berubah pak masak saya
terus terusan seperti ini, karena saya kalau terus terusan begini nanti saya
gak maju maju.”

Selanjutnya, penulis juga melakukan wawancara dengan Fajar


Yudha Pratama Siswa kelas IX yang juga suka membolos : “...Saya tidak
suka membolos, tapi berhubung saya diajak oleh teman teman yang lain jadi
terpaksa saya juga ikut membolos, walaupun saya juga tahu pasti dihukum
kalau ketahuan Guru BP saya ikut saja nanti saya buat alasan sakit jadi absen
saya bukan Alpa tetapi izin tidak masuk, tapi meskipun begitu saya juga
merasa agak menyesal karena semakin sering saya tidak masuk sekolah saya
bisa ketinggalan pelajaran yang nanti nilai saya akan jeblok, karena cita cita
saya ingin jadi dokter.

Hasil wawancara dengan Bapak Dodik Susilo S.Pd Guru BP MTs


Hasanah Surabaya, pada 19 Agustus 2013. 29 Hasil wawancara dengan
Ahmad Sofiuddun, siswa kelas IX, pada 19 Agustus 2013.Hasil wawancara
dengan Muhammad Anas Siswa kelas IX MTs Hasanah Surabaya pada 17
Juli 2016. Selain melakukan wawancara dengan Siswa MTs Hasanah
Surabaya Penulis juga melakukan wawancara dengan orang tua siswa
dengan memanggil orang tua dan visit home. Diungkapkan oleh Solikin,
orang tua dari Opi Antoni yang mengatakan bahwa : “.. sebenarnya saya
juga tidak ingin anak saya membantu saya untuk bekerja pak. Tapi
bagaimana lagi pak, anak saya berkemauan begitu dan saya pikir juga
asalkan tidak mengganggu jam belajarnya saya biarkan saja dan untuk yang
keluar malam saya juga sudah melarang mas tapi anaknya tetap saja
berangkat pak kalau saya larang takutnya dia malah berontak pak, karena
selama ini walaupun seperti itu nilainya juga tidak merosot pak dan kalau
sekolah juga tidak malas “

Begitu juga yang diungkapkan oleh Ibu To’ani orang tua


Muhammad Anas yang mengatakan : “ saya sudah tidak kurang-kurang pak

18
untuk memberi tahu anak saya pak tapi dia selalu bandel, pamit sekolah
ternyata tidak sekolah pak, tapi akhir akhir ini alhamdulillah pak sudah
sadar pak karena sering belajar agama dan habis di panggil oleh Guru BP
nya ".

Dari wawancara di atas, penulis menyimpulkan bahwa faktor


kenakalan siswa paling dominan dimulai dari diri sendiri dan lingkungan
sekitarnya yang mendukung untuk melakukan hal itu. Seperti halnya
Muhammad Anas yang tidak sungkan ketika melakukan kegiatan
mengamen di jalan raya pada malam hari. Padahal, tidak semestinya sebagai
seorang siswa yang masih duduk di bangku MTs melakukan hal yang seperti
itu. Namun, dari keluarga sepertinya sudah mengetahui hal tersebut namun
tidak ada perlakuan atau tindakan untuk memberikan efek jera agar anak
tersebut tidak melakukan hal yang seperti itu yaitu mengamen di jalan raya.
Dan dari teman sekolahnya juga terlalu sering untuk mengolok olok
terhadap apa yang dilakukan leh rekannya. Karena terlalu seringnya dalam
keseharian di sekolah memanggil nama temannya dengan sebutan yang
tidak semestinya dengan julukan atau nama orang tuanya yang dilakukan
oleh Opi Antoni kepada sesama teman di sekolahnya bisa memicu sebuah
pertengkaran karena di antara salah satunya ada yang tersingung jika
dipanggil dengan panggilan yang tidak semestinya.

C. Diagnosis
Hasil dari diagnosis yang telah dilakukan setelah membaca dan
memahami dari kasus yang terdapat diatas bahwa ada tiga macam jenis
kenakalan siswa di MTs Hasanah, yaitu: Pertama, kenakalan psikologis,
seperti tercemarnya nama baik seseorang, harga diri serta martabat
seseorang karena fitnah. Kedua, kenakalan materialis, seperti pengerusakan
gedung. Ketiga, kenakalan normatif, seperti mencuri, tawuran atau
melakukan hubungan seks di luar nikah. Faktor penyebab timbulnya
berbagai jenis kenakalan siswa berasal dari ketiga lingkungan yaitu
keluarga, sekolah dan masyarakat.

19
Dari kenekalan-kenakalan siswa tersebut, maka MTs Hasanah
melakukan beberapa hal dalam menanggulanginya dengan tiga cara yaitu:
pertama, preventif. Ini yang dianggap cukup berhasil adalah mengadakan
pendekatan dengan orang tua atau wali siswa. Kedua, represif. Cara represif
cukup berhasil adalah memberi hukuman yang mendidik dan tugas. Ketiga,
kuratif. Cara ini cukup berhasil adanya silaturrahim ke rumah siswa. Di sisi
lain berapa solusi tersebut harus diiringi dengan internalisasi Pendidikan
Agama Islam dengan baik, baik melalui ceramah (nasehat), diskusi, dan
teladan yang baik dari semua pihak. Dari observasi, wawancara, serta
metode dokumentasi, ditemukan efektfitas Pendidikan Agama Islam dalam
mengentas problem kenakalan siswa di MTs Hasanah Surabaya. Dengan
adanya peninggatan mutu akhlak siswa baik di dalam kelas, di luar ataupun
di lingkungan masyarakat, maka bisa dikatakan upaya reinternalisasi
Pendidikan Agama Islam tidak hanya memberikan pengetahuan, tapi juga
memberikan nilai.

20
21
BAB IV

PENUTUP
A. Cara Penanganan
Upaya yang dilakukan oleh masyarakat untuk mencegah dan
menanggulangi penyakit masyarakat antar lain yaitu dengan menegakkan
hukum yang berlaku secara tegas, memberikan pengajaran dan pemahaman
nilai-nilai agama, budaya maupun norma-norma yang ada terhadap
masyarakat serta mensosialisasikan kepada mesyarakat akan pentingnya
pendidikan dan yang terpenting adalah memperbaiki persepsi masyarakat
terhadap suatu perbedaan.

Memberikan pengajaran dan menjelaskan tentang pendidikan


kewarganegaraan, nilai-nilai pancasila dan nilai kebangsaan pada semua
masyrakat Indonesia, sehingga semua nilai mendarah daging kpada seluruh
rakyat dan warga dapat sadar dan mengerti tentang permasalahan bangsa
dan menkonsistenikan segala tindakan warga terhadap nilai-nilai bangsa.

B. Kesimpulan
Dari uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya
“patologi sosial” adalah ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala sosial
yang dianggap “sakit”, disebabkan oleh faktor-faktor sosial. Sedangkan
penyakit masyarakat adalah semua tingkah laku yang melanggar norma-
norma dalam masyarakat dan dianggap menganggu, merugikan serta tidak
dikehendaki oleh masyarakat. Faktor-faktor yang mempengaruhi
munculnya penyakit masyarakat antara lain yaitu faktor keluarga, faktor
lingkungan dan faktor pendidikan.

22
DAFTAR PUSTAKA

Kartono, Kartini. 2003. Patologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Kartini Kartono. 1986. Patologis Sosial 3 Gangguan-gangguan Kejiwaan,


Jakarta: CV. Rajawali

Tangdilintin, P., 2000. Masalah-masalah Sosial (Suatu Pendekatan Analisis


Sosiologis). Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.

Soekanto, Soejorno. 1984. Sosiologi Suatu Pengantar, cetakan ke-44. Jakarta: PT


RajaGrafindo Perseda.

Suparlan, Parsudi. 1984. Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta : Yayasan Obor


Indonesia.

Djaja, E. (2010). Memberantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta:Sinar Grafika.

Sutejo. (2017). Pengaruh Logoterapi Kelompok Terhadap Kemampuan Memaknai


Hidup Pada Residen Napza. Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia, 5(1),
27-32. http://dx.doi.org/10.21927/jnki.2017.5(1).27-32

Amalia, Ulfa. 2018. Logo Terapi Sebagai Pembentuk Sikap Anti Korupsi pada
Mahasiswa. Jurnal Psycho Idea. No. 02.

23

Anda mungkin juga menyukai